Sejarah Negara Kamboja dengan Thailand tahun

1

Tugas Kelompok
Sejarah Asia Tenggara

Materi : Negara Kamboja
OLEH KELOMPOK 6 GENAP (B)
1. Liah Rutama

1343033004

2. M. Fadlan

1313033050

3. Murdiati

1313033056

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN IPS

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami hanturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang atas berkat
rahmat-Nya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan tugas kelompok yang
berjudul “Negara Kamboja”.
Penulisan ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Sejarah Asia Tenggara
yang dibimbing oleh Bapak Drs. Maskun, M.H. dan Bapak Marzius Insani, S.Pd.
Dalam penulisan tugas kelompok ini, kami mengakui bahwa masih banyak
memiliki kekurangan dalam teknis penulisan maupun materi. Untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi menyempurnakan
pembuatan tugas kelompok ini. Semoga tugas kelompok ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.


Bandar Lampung, Maret 2015

Atas Nama Kelompok 6

3

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1
1.3 Tujuan ............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Profil Negara Kamboja ................................................................... 3
2.1.1 Bendera Negara Kamboja ...................................................... 5
2.1.2 Lambang Negara Kamboja..................................................... 5

2.1.3 Sumber Daya Alam................................................................. 6
2.2 Sejarah Kamboja ............................................................................. 7
2.3 Kebudayaan Negara Kamboja ........................................................ 9
2.4 Pemerintahan dan Politik Kamboja .............................................. 11
2.4.1 Peran Asean dalam Penyelesaian Masalah Kamboja .......... 24
2.4.2 Hubungan Kamboja dengan Indonesia................................. 27
2.5 Kehidupan Sosial Kamboja .......................................................... 28
2.6 Perekonomian Kamboja ............................................................... 29
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................... 31
3.2 Saran.............................................................................................. 32

LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

1

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Kamboja merupakan sebuah negara monarki konstitusional di Asia Tenggara, dan
merupakan penerus dari Kekaisaran Khmer. Kamboja berbatasan dengan Thailand
(barat), Laos (utara), Vietnam (timur), dan Teluk Thailand (selatan). Negara
ini dilewati oleh Sungai Mekong dan Danau Tonle Sap.
Kamboja yang mempunyai nama lain Kampuchea (bahasa Khmer), Cambodge
(bahasa Perancis), Cambodia (bahasa Inggris), merupakan suatunegara yang
terletak di Semenanjung Indocina bagian barat daya. Pada masa pra kolonial,
Kamboja merupakan suatu kerajaan yang besardengan wilayah yang membentang
dari laut Cina Selatan sampai perbatasan Birma, tetapi sekarang Kamboja
hanyalah sebuah negara kecil di Asia Tenggara dengan luas sekitar 181.035
kilometer persegi.
Lima puluh persen dari wilayah tersebut berupa hutan belantara yang masih
perawan sehingga sangat bermanfaat bagi tempat persembunyian para gerilyawan
dari pengejaran pihak lawan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana profil Negara Kamboja?
2. Bagaimana sejarah Kamboja?

3. Apa saja kebudayaan yang ada di Kamboja?

2

4. Bagaimana keadaan politik dan pemerintahan Kamboja?
5. Bagaimana kehidupan sosial masyarakat Kamboja?
6. Bagimana perekenomian dari Negara Kamboja?
1.3 Tujuan

1. Mengetahui profil dari Kamboja.
2. Mengetahui sejarah Negara Kamboja.
3. Untuk mengetahui kebudayaan yang ada di Kamboja.
4. Memahami keadaan politik dan sistem pemerintahan Kamboja.
5. Untuk mengenal kehidupan sosial masyarakat Kamboja.
6. Memahami keadaan perekonomian di Kamboja.

3

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Profil Negara Kamboja

Profil Negara Kamboja
Nama Resmi
Bentuk Negara
Ibu kota

Kingdom of Cambodia
Kerajaan Konstitusional
Phnom Penh

4

Tahun Merdeka
Kepala Negara
Kepala
Pemerintahan
Luas Wilayah
Iklim

Agama
Bahasa Nasional
Lagu Nasional
Hari Nasional

1953
Raja Norodom Sihamoni
PM Hun Sen
181.035 sq km
Tropis
Budha
Khmer
Nokor Reakh
9 November
Kamboja dibagi menjadi 20 Provinsi & 4 Kota praja.

Pembagian Wilayah Daerah Kamboja kemudian dibagi menjadi Distrik,
komunion . distrik besar,dan kepulauan.

Letak Astronomis


Negara Kamboja terletak antara 10o LU-14o LU dan
102,5o BT-107,5o BT
Kamboja berbatasan dengan Thailand di sebelah

Letak Geografis

Barat, Laos di Utara, Vietnam di Timur, dan Teluk
Thailand di Selatan. Sungai Mekong dan Danau
Tonle Sap melintasi negara ini.

Wilayah Kamboja berikilim tropis, bulan NovemberMei merupakan musim kemarau. Musim hujan
berlangsung dari bulan Mei-Oktober. Suhu udara
berkisar antara 20-36

. Musim hujan sangat

Kondisi Iklim
diperlukan untuk budidaya tanaman padi. Pada saat
musim hujan, Danau Tonle Sap yang merupakan

danau terbesar di Kamboja meluas hingga sekitar 8
kali ukuran saat musim kemarau.
Mata Uang

Riel

5

2.1.1

Bendera Negara Kamboja

Bendera Nasional: Terdiri dari tiga segi panjang melintang yang sejajar, di
tengahnya adalah segi panjang agak lebar warna merah, di atas dan bawahnya
adalah segi panjang warna biru. Warna merah melambangkan keberuntungan dan
kegembiraan, warna biru lambang terang dan kebebasan. Di bagian tengah jalur
warna merah terdapat gambar Angkor Watt putih dengan pinggiran emas. Angkor
Watt adalah bangunan Buddha yang tersohor, melambangkan sejarah Kamboja
yang panjang dan budayanya yang tua.
2.1.2


Lambang Negara Kamboja

6

Pedang raja di dalam gambar berbentuk belah ketupat berada di atas sebuah baki,
melambangkan supremasi kekuasaan raja, lalu atap berbentuk payung lima susun
dikawal oleh singa di kedua sisinya dalam budaya adat Kamboja, angka lima
melambangkan kesempurnaan dan keberuntungan, daun palem di kedua sisi
melambangkan kemenangan. Pita di bagian dasar tertulis "Raja Kerajaan
Kamboja" dalam bahasa Kamboja. Seluruh gambar melambangkan Kerajaan
Kamboja di bawah pimpinan raja adalah sebuah negara kesatuan, utuh, bersatu
dan bahagia.
2.1.3

Sumber Daya Alam

Kamboja merupakan salah satu negara yang memiliki komoditas utama seperti
pakaian,


kayu,

karet,

beras,

ikan,

tembakau

dan

alas

kaki. Kamboja

memiliki hutan kayu yang paling berharga dan penghasil permata yang paling
produktif di dunia (kecuali berlian). Kamboja, sebagian besar wilayahnya
merupakan daratan yang subur karena di sana terdapat salah satu sungai terbesar
di Asia, yaitu Sungai Mekong.
Sebenarnya, Kamboja bisa menjadi sebuah negara yang kaya. Karena dalam
beberapa tahun belakangan ini, kondisinya lebih baik dari Ethiopia, Turki, Peru,
Mesir, Afganistan atau Irak. Namun dengan tidak stabilnya kondisi politik, maka
kemungkinan pertumbuhan ekonomi tidak dapat terwujud.

7

Pertanian padi merupakan tanaman utama, penanamannya terutama di sekitar
Tonselap, istimewa dekat Battambang. Disepanjang sebelah menyebelah hilir
Mekong dan di selatan Kompong Cham pada umumnya penghasilan padi rendah,
namun demikian masih terdapat kelebihan padi utnuk diekspor karena
penduduknya tidak banyak.
Getah merupakan tanaman ladang yang paling penting dan juga sebagai bahan
ekspor utama bagi negeri ini. Daerah penanamannya di sepanjang bukit Cardamon
dan di tanah tinggi Annam dekat Kompong Cham. Lada hitam termasuk penting,
terutama diusahakan orang Cina dan merupakan bahan ekspor. Daerah
penanamannya di pegunungan Gajah dekat Kampot. Tanaman lain yang
diusahakan merupakan tanaman kering seperti tembakau, kapas, kacang tanah,
jagung, kapuk, tebu dan lain-lain. Tanaman ini terutama terdapat di tanah pamah
sepanjang Mekong dan Tonselap, sedangkan Jute di sekitar Battambang untuk
membuat goni, beras dan tikar kasar.
Perikanan merupakan kegiatan kedua besarnya di negara ini, kebanyakn para
petani menjadi nelayan pada musim kering. Daerah perikanan terpenting ialah
Tonselap yang menghasilkan 50% dari jumlah tangkapan ikan di Khmer. Daerah
perikanan lainnya meliputi kawasan pinggir laut di sepanjang Mekong dan
cabang-cabangnya di sawah padi dan paya-paya. Sebagian besar hasil tangkapan
ikan di negara ini telah dijadikan bahan ekspor.
Bahan galian (pertambangan) kurang penitng, karena jumlahnya kecil, hanya
fosfat dan biji besi yang ditambang dalam jumlah besar. Biji besi terdapat dekat
Phnom Penh dan posfat dekat Kampot dan Battambang.
2.2 Sejarah Negara Kamboja
Perkembangan peradaban Kamboja terjadi pada abad 1 Masehi. Selama abad ke3,4 dan 5 Masehi, negara Funan dan Chenla bersatu untuk membangun daerah
Kamboja. Negara-negara ini mempunyai hubungan dekat dengan China dan India.

8

Kekuasaan dua negara ini runtuh ketika Kerajaan Khmer dibangun dan berkuasa
pada abad ke-9 sampai abad ke-13.
Kerajaan Khmer masih bertahan hingga abad ke-15. Ibukota Kerajaan Khmer
terletak di Angkor, sebuah daerah yang dibangun pada masa kejayaan
Khmer. Angkor Wat, yang dibangun juga pada saat itu, menjadi simbol bagi
kekuasaan Khmer.
Pada tahun 1432, Khmer dikuasai oleh Kerajaan Thai. Dewan Kerajaan Khmer
memindahkan ibukota dari Angkor ke Lovek, dimana Kerajaan mendapat
keuntungan besar karena Lovek adalah bandar pelabuhan. Pertahanan Khmer di
Lovek akhirnya bisa dikuasai oleh Thai dan Vietnam, dan juga berakibat pada
hilangnya sebagian besar daerah Khmer. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1594.
Selama 3 abad berikutnya, Khmer dikuasai oleh Raja-raja dari Thai dan Vietnam
secara bergilir.
Pada tahun 1863, Raja Norodom, yang dilantik oleh Thai, mencari perlindungan
kepada Perancis. Pada tahun 1867, Raja Norodom menandatangani perjanjian
dengan pihak Perancis yang isinya memberikan hak kontrol provinsi Battambang
dan Siem Reap yang menjadi bagian Thai. Akhirnya, kedua daerah ini diberikan
pada Kamboja pada tahun 1906 pada perjanjian perbatasan oleh Perancis dan
Thai.
Kamboja dijadikan daerah Protektorat oleh Perancis dari tahun 1863 sampai
dengan

1953,

sebagai

daerah

dari

Koloni

Indochina.

Kamboja

Perancis merupakan bagian dari kolonial potektorat Kekaisaran Perancis di Asia
Tenggara. Didirikan pada tahun 1863 ketika Raja Kamboja Norodom meminta
Perancis agar Kamboja dijadikan sebagai protektoratnya. Pada tahun 1867, Siam
(Thailand)

meninggalkan

kedaulatan

atas

Kamboja

dan

protektorat Perancis secara resmi diakui di Kamboja. Kemudian Kamboja
diintegerasikan ke dalam Indochina Perancis pada tahun 1887 bersama dengan
protektorat koloni Perancis di Vietnam (Cochinchina, Annam dan Tonkin). Pada
tahun 1946, Kamboja diberikan pemerintahan sendiri oleh Uni Perancis dan
statusnya sebagai protektorat dihapus pada tahun 1949. Kamboja kemudian

9

meraih

kemerdekaan

pada

tahun 1953 melalui Persetujuan

Jenewa setelah

penjajahan Jepang pada 1940-an, akhirnya Kamboja meraih kemerdekaannya dari
Perancis

pada 9

November 1953.

Kamboja

menjadi

sebuah

kerajaan

konstitusional dibawah kepemimpinan Raja Norodom Sihanouk.
Pada saat Perang Vietnam tahun 1960-an, Kerajaan Kamboja memilih untuk
netral. Hal ini tidak dibiarkan oleh petinggi militer, yaitu Jendral Lon Nol dan
Pangeran Sirik Matak yang merupakan aliansi pro-AS untuk menyingkirkan
Norodom Sihanouk dari kekuasaannya. Dari Beijing, Norodom Sihanouk
memutuskan untuk beraliansi dengan gerombolan Khmer Merah, yang bertujuan
untuk menguasai kembali tahtanya yang direbut oleh Lon Nol. Hal inilah yang
memicu perang saudara timbul di Kamboja.
Khmer Merah akhirnya menguasai daerah ini pada tahun 1975, dan mengubah
format Kerajaan menjadi sebuah Republik Demokratik Kamboja yang dipimpin
oleh Pol Pot. Mereka dengan segera memindahkan masyarakat perkotaan ke
wilayah pedesaan untuk dipekerjakan di pertanian kolektif. Pemerintah yang baru
ini menginginkan hasil pertanian yang sama dengan yang terjadi pada abad 11.
Mereka menolak pengobatan Barat yang berakibat rakyat Kamboja kelaparan dan
tidak ada obat sama sekali di Kamboja.
Pada

November

1978,

Vietnam

menyerbu

RD

Kamboja

untuk

menghentikan genosidabesar-besaran yang terjadi di Kamboja. Akhirnya, pada
tahun 1989, perdamaian mulai digencarkan antara kedua pihak yang bertikai ini di
Paris. PBB memberi mandat untuk mengadakan gencatan senjata antara pihak
Norodom Sihanouk dan Lon Nol.
Sekarang, Kamboja mulai berkembang berkat bantuan dari banyak pihak asing
setelah perang, walaupun kestabilan negara ini kembali tergoncang setelah sebuah
kudeta yang gagal terjadi pada tahun 1997.
2.3 Kebudayaan Negara Kamboja
Seni dan pertunjukan tradisional biasanya digunakan sebagai bagian dari
kehidupan masyarakat Khmer pada beberapa abad lalu, seperti yang digambarkan

10

pada pahatan timbul Angkor Wat. Bagaimanapun, saat Khmer Merah memerintah
di Kamboja dari tahun 1975 hingga 1979, banyak seni Khmer yang dilarang dan
dihancurkan, termasuk kuil-kuil. Banyak juga penari, penyanyi, dan artis yang
dibunuh.
Sekarang Kamboja dengan bantuan dari negara-negara asing, mencoba untuk
menghidupkan kembali seni dan budaya tradisionalnya. Saat ini pertunjukan seni
tradisional seperti tarian Apsara, paling banyak diadakan oleh organisasi swasta,
seperti hotel dan restoran.

 Tari Tradisional Kamboja (Robam)
Tari Tradisional Kamboja (Robam) Ratusan tahun yang lalu, Robam (tari) Apsara
ditampilkan hanya untuk Kerajaan Khmer, walaupun setelah itu tarian ini juga
ditampilkan untuk perayaan khusus Kerajaan, seperti perayaan setelah menang
dari perang. Akan tetapi sebuah serangan yang dilakukan Kerajaan Siamese
(sekarang Thailand) pada abad ke-15 berimbas ke Robam Apsara. Serangan
tersebut memaksa Kerajaan Khmer untuk memindahkan ibu kota mereka ke
Phnom Penh dan sejak itu tarian ini pun hanya dipertunjukkan secara terbatas
hanya di kalangan istana. Saat ini Tari Apsara dapat ditonton di hotel dan restoran
di Phnom Penh.
 Buong Suong
Sejarawan mempercayai Buong Suong adalah tarian Khmer yang paling kuno.
Tarian dibawakan satu kali, di bawah perintah Kerajaan untuk meminta hujan
pada dewa-dewa selama musim kering dan berkah untuk rakyat Kerajaan Khmer.
 Robam Trot (Tari “Troddi”)
Tarian rakyat tradisional Khmer ini biasanya ditampilkan selama perayaanperayan Tahun Baru Kamboja. Dipercaya bahwa tarian ini sebenarnya berasal dari
bagian barat (barat laut) Kamboja saat masyarakat Khmer belum terpengaruh oleh
budaya India kuno. Tanggal Tahun Baru Kamboja pada 2012. Robam Trot (Tari

11

Troddi) memiliki arti membuang ketidakberuntungan di tahun lalu dan
mengharapkan kehidupan yang lebih baik di Tahun Baru. Kadang tarian ini juga
dibawakan untuk meminta hujan selama musim kemarau. Penari biasanya terdiri
dari 16 orang, baik pria dan wanita.
 Musik Tradisional Kamboja
Seperti tarian-tarian tradisional, beberapa instrumen musik tradisional Kamboja
juga terlihat pada dinding-dinding kuil di era Angkorian, yang digambarkan pada
relief timbul. Beberapa instrumen musik tradisional mereka sangat mirip dengan
alat musik tradisional Jawa, seperti “gamelan” Jawa. Di antara musik tradisional
Khmer, seperti Pinpeat, Mohori, Phleng Kar (musik perkawinan Khmer), dan
Phleng Arak (lebih sering dimainkan untuk memberi penghormatan pada leluhur
mereka)
 Pinpeat
“Pi” mengacu pada alat musik dari buluh dan ‘peat’ mengacu pada alat
musik perkusi. Pinpeat biasanya dimainkan untuk mengiringi penari
tradisional Khmer, dan juga selama acara keagamaan. Saat mengiringi
penari Khmer, Pinpeat merupakan cara berinteraksi antara musisi, penari,
dan vokalis.
 Mohori
Pada dahulu kala Mohori dipentaskan di Kerajaan Istana, sama seperti
Pinpeat walaupun terkadang dimainkan juga di beberapa desa. Walaupun
instrumen musik yang digunakan mirip dengan Pinpeat, instrumen utama
Mohori terdiri dari dua jenis Roneat dan dua jenis Tro (biola Khmer).
2.4 Pemerintahan dan Politik Kamboja
Kerajaan Kamboja adalah sebuahnegara berbentuk monarki konstitusional diAsia
Tenggara. Negara ini merupakan penerus Kekaisaran Khmer yang pernah
menguasai seluruh Semenanjung Indochina antara abad ke-11 dan 14. Kamboja
merupakan salah satu negara di Indocina yang pernah menjadi bagian dari wilayah
protektorat Prancis. Keterlibatan Prancis secara formal di dalam sistem

12

pemerintahan Kamboja dimulai sejak tahun 1863 hingga 1953, pada saat Kamboja
memperoleh kemerdekaannya. Sejak memperoleh kemerdekaannya, Kamboja
mengalami banyak konflik internal. Salah satu manifestasi dari konflik tersebut
adalah banyaknya pergantian rezim yang terjadi dalam jangka waktu yang
tergolong sempit. Pergantian rezim ini turut dibarengi oleh penggantian nama
Kamboja sebagai sebuah negara.Tercatat enam kali pergantian nama (rezim)
Kamboja.
Masing-masing nama memberikan keunikan tersendiri terhadap bagaimana sistem
pemerintahan di Kamboja berjalan. Keunikan tersebut salah satunya tidak terlepas
dari peran dan kekuasaan tokoh-tokoh penting pada masing-masing rezim,
misalnya Norodom Sihanouk (1953-1970), Lon Nol (1970-1975), Khmer MerahPol Pot (1975-1979), dan Hun Sen (1989-sekarang).
 Masa Pemerintahan Norodom Sihanouk
Kamboja merupakan salah satu negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara
dan termasuk rumpun bangsa Indo-Cina. Seperti bangsa-bangsa lain di Asia yang
mengalami masa penjajahan Barat, Kamboja mengalami penjajahan Prancis sejak
tahun 1863.
Perlawanan rakyat Kamboja, dibawah pimpinan Raja Norodom Sihanouk,
memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 9 November 1953. Sihanouk ingin
membangun Kamboja yang modern. Dalam mengerahkan dukungan politiknya, ia
mendirikan front nasional yang bernama Gangkum Reastr Niyum (popular
Socialist Community). Ia berhasil menekan oposisi konservatif dan radikal kiri
seperti Partai Komunis Khmer yang dikenal dengan sebutan “Khmer Merah”.
Sihanouk menilai ancaman dari dalam negeri lebih kecil dibanding ancaman dari
negara tetangganya, yaitu Vietnam Selatan dan Thailand. Keadaan ini semakin
parah dengan posisi Amerika Serikat, Cina, dan Uni Soviet yang menjadikan
Kamboja sebagai ajang perebutan pengaruh. Sihanouk mengambil sikap
mengadakan pendekatan kepada Cina dan Vietnam Utara. Kamboja mengizinkan
komunis dua negara tersebut masuk ke negerinya sebagai persiapan untuk

13

menyerang Vietnam Selatan. Norodom Sihanouk pun menolak bantuan ekonomi
yang akan diberikan Amerika Serikat. Sikap Sihanouk membuat pihak oposisi dan
kaum pedagang Kamboja mengkritik tindakannya.
Pada tahun 1970, ketika Sihanouk pergi berobat ke luar negeri kesempatan itu
dimanfaatkan oleh birokrat sipil dan pejabat militer untuk menjatuhkan rezimnya.
Perdana Menteri Letnan Jenderal Lon Nol dan Pangeran Sisowath Sirik Matak
yang pro-Amerika Serikat memimpin pemberontakan pada tanggal 18 Maret
1970. Mereka berhasil mendirikan Republik Khmer dengan Letnan Jenderal Lon
Nol sebagaai presidennya pada tanggal 9 oktober 1970. Lon Nol termasuk
golongan anti komunis. Ia menuntut penarikan pasukan Vietnam Utara dari
Kamboja Timur. Bahkan, ia mengizinkan Amerika Serikat dan Vietnam Selatan
untuk membersihkan Kamboja dari penduduk Vietnam Utara pada April 1970.
Sejak tergulingnya Sihanouk, Kamboja terus dirundung kemelut yang
berkepanjangan. Di satu sisi Vietnam Utara mendukung Khmer Merah untuk
menggulingkan Letnan Jenderal Lon Nol (Republik Khmer). Di sisi lain, Vietnam
Selatan memberi dukungan kepada Letnan Jenderal Lon Nol. Sementara itu,
Norodom Sihanouk mendirikan Royal Government of Nation Union of Combodia
ditempat pengasingannya (Cina). Organisasi ini mendapat dukungan Cina dan
Vietnam Utara.
 Masa Pemerintahan Lon Nol
Republik Khmer Lon Nol yang beraliran kapitalis pro-AS menjadikan
Kamboja berada dibawah hegemoni AS untuk melawan Vietnam Utara. Akan
tetapi, Angkatan darat dan armada laut Amerika Serikat justru mengubah
Kamboja menjadi medan pertempuran dalam rangka melawan komunisme
Vietnam

Utara.

akibat petaka yang

Lebih

dari

100.000

penduduk

dijatuhkan

pesawat

pembom

sipil Kamboja tewas
Amerika

B-52. Pada

akhirnya, pemerintahan Lon Nol kehilangan dukungan dari rakyatnya yang
mengakibatkan destabilitasi ekonomi dan militer di Kamboja dan gelombang
dukungan terhadap Pol Pot.

14

 Masa Pemerintahan Khmer Merah-Pol Pot
Pada tahun 1975 hingga 1979 merupakan masa-masa kelam bagi rakyat Kamboja
ketika pemerintahan dikuasai Pol Pot dibawah rezim Khmer Merah. Khmer
Merah menduduki tampuk kekuasaan setelah berhasil menggulingkan Republik
Khmer Lon Nol pada 17 April 1975. Jatuhnya rezim Lon Nol memberikan
secercah harapan baru bagi penduduk Kamboja untuk mencapai kedamaian
setelah terjebak dalam perang saudara sejak 1967. Namun kenyataannya, rezim
Pol Pot dengan kebijakannya justru menambah panjang penderitaan rakyat.
Khmer Merah (Bahasa Perancis: Khmer Rouge) adalah cabang militer Partai
Komunis Kampuchea (nama Kamboja kala itu). Pada tahun 1960-an dan 1970-an,
Khmer Merah melakukan perang gerilya melawan rezim Shihanouk dan Marsekal
Lon Nol. Pada 17 April 1975, Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot berhasil
menggulingkan kekuasaan dan menjadi pemimpin Kamboja.
Hanya dalam beberapa hari saja, rezim baru ini telah menghukum mati sejumlah
besar rakyat Kamboja yang tadinya bergabung dengan rezim Lon Nol. Penduduk
Phnom Phen dan juga penduduk di provinsi lain terpaksa keluar dari kota dan
pindah ke daerah-daerah penampungan. Phnom Phen menjadi kota mati. Seluruh
perekonomian di seluruh negeri berubah di bawah garis keras komunis, Uang
hilang dari peredaran. Akibat dari semua itu adalah terjadinya kelaparan dan
wabah penyakit di daerah tersebut.
Selama 44 bulan berikutnya, jutaan orang Kamboja menjadi korban teror dari
Khmer Merah. Para pengungsi yang berhasil lari ke Thailand menceritakan
kekejaman kelompok ini yang antara lain menghukum mati anak-anak hanya
karena mereka tidak lahir dari keluarga petani. Selain itu orang-orang keturunan
Vietnam dan Cina juga turut diteror dan dibunuh. Siapa saja yang disangka
sebagai orang yang berpendidikan, atau menjadi angota dari keluarga pedagang
pasti dibunuh dengan cara dipukul sampai mati, bukan dengan ditembak dengan
dalih untuk menghemat amunisi.


Killing Fields (Ladang Pembantaian)

15

Masa empat tahun Pol Pot dan Khmer Merahnya berkuasa di Kamboja,
adalah masa yang membuat seluruh dunia geger. Khmer Merah berupaya
mentransformasi Kamboja menjadi sebuah negara Maois dengan konsep
agrarianisme. Rezim Khmer juga menyatakan, tahun kedatangan mereka
sebagai "Tahun Nol" (Year Zero). Mata uang, dihapuskan. Pelayanan pos,
dihentikan. Kamboja diputus hubungannya dengan luar negeri. Hukum
Kamboja juga dihapuskan.
Rezim Khmer Merah dalam kurun waktu tersebut diperkirakan telah
membantai sekitar dua juta orang Kamboja. Ada sekitar 343 "ladang
pembantaian" yang tersebar di seluruh wilayah Kamboja. Choeung Ek
adalah "ladang pembantaian" paling terkenal. Di sini, sebagian besar
korban yang dieksekusi adalah para intelektual dari Phnom Penh, yang di
antaranya adalah: mantan Menteri Informasi Hou Nim, profesor ilmu
hukum Phorng Ton, serta sembilan warga Barat termasuk David Lioy
Scott

dari Australia.

Sebelum

dibunuh, sebagian

besar mereka

didokumentasikan dan diinterogasi di kamp penyiksaan Tuol Sleng.
Penjara S-21 atau Tuol Sleng adalah organ rezim Khmer Merah yang
paling rahasia. Pada 1962, penjara S-21 merupakan sebuah gedung SMA
bernama Ponhea Yat. Semasa pemerintahan Lon Nol, nama sekolah diubah
menjadi Tuol Svay Prey High School.
Tuol Sleng yang berlokasi di subdistrik Tuol Svay Prey, sebelah selatan
Phnom Penh, mencakupi wilayah seluas 600 x 400 meter. Setelah Phnom
Penh jatuh ke tangan Khmer Merah, sekolah diubah menjadi kamp
interogasi dan penyiksaan tahanan yang dituduh sebagai musuh politik. Di
“ladang pembantaian” ini, para intelektual diinterogasi agar menyebutkan
kerabat atau sejawat sesama intelektual. Satu orang harus menyebutkan 15
nama orang berpendidikan yang lain. Jika tidak menjawab, mereka akan
disiksa. Kuku-kuku jari mereka akan dicabut, lantas direndam cairan
alkohol. Mereka juga disiksa dengan cara ditenggelamkan ke bak air atau

16

disetrum. Kepedihan terutama dirasakan kaum perempuan karena kerap
diperkosa saat diinterogasi.
Setelah diinterogasi selama 2-4 bulan, mereka akan dieksekusi di Choeung
Ek. Sejumlah tahanan politik yang dinilai penting ditahan untuk
diinterogasi sekitar 6-7 bulan, lalu dieksekusi.



Dampak Dari Kebijakan Pemerintahan Pol Pot

Pemerintahan Pol Pot dengan kebijakan-kebijakannya yang ekstrim
serta obsesinya untuk membangun masyarakat komunis model asli
rakyat Kamboja, mengakibatkan penderitaan serta hilangnya jutaan
nyawa rakyat Kamboja. Tindakan represif dan sadis Khmer Merah
ternyata berdampak pada kondisi dalam negeri Kamboja yaitu konflik
internal dan menimbulkan invasi Vietnam ke Kamboja.

17

Intervensi Vietnam
Di tengah-tengah suasana dalam negeri yang kacau akibat kerja
paksa dan pembantaian massa terhadap penduduk Kamboja,
muncullah tokoh Heng Samrin dan Hun Sen. Kedua tokoh tersebut
secara terang-terangan menentang garis kebijakan Pol Pot dan
Khieu Samphan. Sebagai wujud penentangan terhadap garis
kebijakan Pol Pot tersebut, Heng Samrin dan Hun Sen berusaha
mengadakan

kudeta

meskipun

pada

akhirnya

mengalami

kegagalan. Setelah gagal mengadakan kudeta dan pemerintahan
terus mengadakan pengejaran terhadap kelompoknya, akhirnya
Heng Samrin dan Hun Sen beserta kelompoknya melarikan diri ke
Vietnam guna mencari suaka politik.
Di samping mencari suaka politik Heng Samrin dan Hun Sen juga
berusaha

mengadakan

konsolidasi

dengan

Vietnam

guna

menghentikan kekuasaan diktator Pol Pot. Sementara itu,
pertentangan antara Vietnam dengan Khmer Merah semakin tajam
dan tidak terjembatani. Masalahnya adalah kecenderungan kuat
bahwa Khmer Merah berkiblat kepada RRC. Bahkan RRC
merupakan negara donatur utama bagi Kamboja terutama dalam
bidang perdagangan dan militer. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya penasihat-penasihat militer RRC yang berada di
Kamboja (Jackson, 1985: 169).
Sedangkan Vietnam sendiri yang lebih dekat dengan Uni Soviet
sedang mengalami friksi yang sangat tajam dengan RRC.
Ultimatum Vietnam tentang masalah kedekatan Khmer Merah
dengan RRC tidak ditanggapi oleh Khmer Merah, bahkan Khmer
Merah semakin terang-terangan memperlihatkan kecondongannya
kepada RRC. Vietnam yang sangat berjasa dalam membantu
Kamboja ketika perang menghadapi Perancis dan dalam upaya
menjatuhkan pemerintahan Lon Nol merasa sangat kecewa. Hal ini

18

disebabkan setelah memperoleh kemerdekaan, Kamboja justru
memusuhi Vietnam dan berkiblat ke Peking. Kekecewaan Vietnam
semakin bertambah ketika pada tahun 1977 kamboja melakukan
pelanggaran yaitu memasuki Vietnam tanpa ijin di daerah
perbatasan dengan alasan melakukan pengejaran terhadap pasukan
pemberontak.
Tindakan tentara Kamboja tersebut jelas mendapat perlawanan dari
tentara Vietnam sehingga perang di perbatasan tidak dapat
dihindari (Kirdi Dipoyudo, 1983: 55). Perang perbatasan terus
berlangsung dan semakin memanas. Vietnam yang sejak bulan
Januari 1978 sudah mengelar pasukannya lengkap dengan
pesenjataan modern bantuan Uni Soviet termasuk tank, alteleri,
pesawat,dan helikopter secara perlahan-lahan sudah menguasai
daerah perbatasan kedua negara. Bahkan di sebelah selatan
pasukan Vietnam sudah mengasai kota Takeo yang terletak 70
kilometer selatan kota Phnom Penh, dan di sebelah utara pasukan
Vietnam mereka sudah menyusup jauh ke dalam wilayah Kamboja
di propinsi Prey Veng.
Menanggapi serangan pasukan Vietnam tersebut, Kamboja juga
telah menurunkan setengah dari jumlah pasukan daratnya yaitu
sekitar 80.000 personil ke wilayah perbatasan guna menahan
pasukan Vietnam. Pasukan Kamboja yang menahan gerak maju
pasukan Vietnam diorganisir sesuai dengan sistem yang digunakan
tentara RRC.
Dalam sengketa perbatasan kali ini sebenarnya Vietnam sudah
meminta Kamboja, yang telah memutuskan hubungan diplomatik
dengan Hanoi, agar mau mengadakan perundingan-perundingan
guna menyelesaikan sengketa perabatasan mereka. Namun
pemerintahan Hanoi tersebut ditolak oleh Phnom Penh dengan
alasan Phnom Penh tidak akan maju ke meja perundingan sebelum

19

pasukanpasukan Vietnam ditarik mundur dari wilayah Kamboja.
Bahkan menurut siaran radio Phnom Penh, Kamboja menuduh
Vietnam melakukan agresi karena alasan ekonomi dalam negeri
yang kacau dan persediaan beras yang tidak mencukupi (Kompas,
4 Januari 1978).
Perang di daerah perbatasan yang berlangsung sejak bulan Januari
1978 belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, bahkan
perang semakin karena Vietnam terus menambah jumlah
pasukannya. Pada akhir bulan Desember1978 sekitar 120.000
sampai 150.000 pasukan Vietnam sudah berada di Kamboja.
Dengan dukungan sejumlah tank, kendaraan lapis baja, dan
pesawat tempur buatan Uni Soviet, pasukan pemberontak
KNUFNS bersama tentara Vietnam melancarkan serangan besarbesaran ke sejumlah wilayah di Kamboja terutama di daerah basis
pertahanan Khmer Merah (Ovy Ndouk, 1981: 418).
Setelah bertempur selama beberapa hari akhirnya pada tanggal 7
Januari 1979 pasukan pemberontak KNUFNS yang dibantu tentara
Vietnam berhasil merebut kota Phnom Penh dari tangan Pol Pot.
Menurut siaran radio Moskow, segera setelah berhasil merebut kota
Phnom Penh, tentara pemberontak KNUFNS mengibarkan bendera
kebangsaannya yang berwarna merah dengan bintang kuning di
berbagai gedung pemerintahan ibukota (Tempo, 13 Januari 1979:
7).
Dengan jatuhnya kota Phnom Penh ke tangan pemerintahan
KNUFNS yang dibantu Vietnam, hal ini berarti menandai
berakhirnya masa pemerintahan Khmer Merah dan muncul
pemerintahan baru di bawah Heng Samrin dan Hun Sen. Namun
keberhasilan Vietnam dalam melakukan invasi ke Kamboja
tersebut harus dibayar dengan terjadinya konflik terbuka dengan
RRC. RRC yang pada bulan Februari 1979 mulai meningkatkan

20

pertahanannya di Propinsi Yunan dan Quangsi, dua propinsi yang
merupakan perbatasan Vietnam dengan RRC, yaitudengan
menempatkan sejumlah pesawat tempur M-19 dan pesawat
pembomIlyushin-28.
Sementara itu, munculnya pemerintahan Heng Samrin dan HunSen banyak mendapat simpati dari rakyat. Sebagian rakyat setuju
dan bahkan mendukung gerakan invasi yang dilakukan Vietnam
tersebut, dengan alasan bahwa Vietnam dianggap sebagai dewa
penyelamat bagi kehidupan rakyat Kamboja dari kekuasaan Khmer
Merah.
Sehubungan dengan hal tersebut maka pemerintah Heng Samrin
berusaha keras mengembalikan kepercayaan dan harga diri rakyat
Kamboja yang tertindas selama pemerintahan Pol Pot. Untuk
memulihkan pada kondisi normal dan stabil maka pemerintahan
baru tersebut mulai mengadakan serangkaian kegiatan yang berupa
pembangunan di segala sektor guna membangkitkan semangat dan
gairah

rakyat

Kamboja

dalam

membangun

kembali

perekonomiannya.
Namun usaha-usaha yang dilakukkan pemerintahan baru Phnom
Penh tersebut banyak mengalami kegagalan, terutama dalam
memperoleh pengakuan dan reputasi dari dunia internasional. Hal
ini disebakan karena tindakan invasi yang dilakukan Vietnam tidak
dibenarkan dalam hukum internasional. Selain dari dunia
internasional, kecaman juga datang dari para petinggi ASEAN
yang berbuntut dengan dikeluarkan komunike bersama antara
Mentari Luar Negeri ASEAN.
Komunike yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 2 Januari
1979 ini berisi mengutuk intervensi bersenjata Vietnam di
Kamboja, menegaskan hak-hak rakyat Kamboja untuk menentukan
masa depan mereka yang bebas dari campur tangan pihak luar dan

21

menyerukan ditariknya semua pasukan asing dari Kamboja
(Muchtar E. Harahap dan M. Abriyanto, 1990:


Upaya Penyelesaian Konflik Kebijakan Pemerintahan Pol Pot

a. Militer
Pada awalnya rakyat Kamboja melakukan perlawanan-peralawanan
kecil yang dengan mudah dapat diatasi oleh pemerintah. Tokoh-tokoh
pemerintah, tentara, tokoh Khmer Merah yang telah dikecewakan
maupun disingkirkan oleh pemerintahan Pol Pot kemudian bersatu.
Dengan bantuan negara lain yang mempunyai kepentingan politik di
Kamboja, akhirnya menjadi suatu perlawanan yang besar dan sulit
untuk ditanggulangi oleh pemerintahan Pol Pot.
Pol Pot pada masa pemerintahannya berhasil menguasai Partai
Komunis Kamboja dengan menyingkirkan lawan-lawan politiknya.
Yang disingkirkan olehnya pendukung Sihanouk, kelompok Barat
Daya, dan tokoh-tokoh wilayah Timur. Sekelompok kecil anggota
wilayah Timur yang lolos dari pembunuhan itu salah satunya adalah
Heng Samrin. Walau bukan merupakan tokoh Partai Komunis
Kamboja, Heng Samrin adalah seorang tokoh anti Pol Pot yang
militan.
Heng Samrin lahir di desa Prey Veng tahun 1934. Dia dibesarkan
dalam karier militer, pada tahun 1959 bergabung dengan Khmer
Merah. Pada periode itu sampai tahun 1975, dia menduduki posisi
jabatan Komandan Batalyon danKomandan Resimen Gerilya Khmer
Merah, Resimen yang pertama memasuki kota Phnom Penh. Pada saat
Pol Pot berkuasa, Heng Samrin menjadi anggota Komite Sentral Partai
Komunis Kamboja dan sekaligus menjadi Komisaris Politik dan
Komandan Divisi VI. Ia menentang kebijakan pemerintahan Pol Pot

22

dan bekerjasama dengan Vietnam, pada saat itu Heng Samrin sudah
menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Militer Kamboja Timur.
Pada Bulan April 1978 di Kompong Cham timur laut Kamboja, Heng
Samrin bersama Hun Sen dan pasukannya melakukan penyerangan
terhadap tentara pemerintah sebagai bentuk pertentangan. Usaha
kudeta yang dilakukan Heng Samrin dan Hun Sen pada waktu itu
mengalami kegagalan. Pemerintah terus mengadakan penumpasan
serta pengejaran terhadap tokoh maupun orang sipil yang dianggap
terlibat gerakan makar. Hal ini membuat Heng Samrin dan Hun Sen
harus melarikan diri ke Vietnam untuk mendapat suaka politik.
Vietnam menampung dan mendukung para pelarian politik Kamboja
untuk tetap berjuang.
Vietnam sendiri mempunyai dendam terhadap pemerintahan Pol Pot.
Selain itu Vietnam juga memiliki ambisi untuk menguasai Kamboja.
Pemerintahan Pol Pot pada puncak kekuasaannya mendepak Vietnam
dan Uni Soviet dari Kamboja. Pol Pot tidak pernah mengakui dalam
upaya menjatuhkan rezim Lon Nol dan lebih dekat dengan Cina.
Pemerintah Pol Pot terlibat pertempuran dengan tentara Vietnam di
perbatasan Vietnam. Vietnam mengambil peluang dengan adanya
perpecahan dalam tubuh Partai Komunis Kamboja. Salah satu anggota
Komite Sentral Kamboja dan memegang posisi Wakil Kepala Staf
Wilayah Militer Kamboja Timur, Heng Samrin ternyata tertarik untuk
bekerjasama dengan Vietnam.
Politik luar negeri Kamboja mengalami permasalahan yang cukup
berat. Masalah perbatasan dengan Vietnam berlanjut dengan adanya
peperangan yang berlarut-larut. Permasalahan ini menyita perhatian
pemerintah sehingga pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri
semakin berkembang. Vietnam menggunakan kesempatan ini untuk
terus mendukung perjuangan rakyat Kamboja yang dipelopori oleh
Heng Samrin. Puncaknya pada tanggal 3 Desember 1978 dua ratus

23

lebih wakil dari berbagai golongan rakyat Kamboja yang memberontak
memutuskan untuk bergabung dengan membentuk suatu gerakan
pembebasan yang disebut “Front Persatuan Nasional Kamboja untuk
Keselamatan Nasional” atau “ Front Persatuan Penyelamatan Rakyat
Kamboja” yang selanjutnya dinamakan Kampuchea National United
Front for National Salvation (KNUFNS).

KNUFNS ini merumuskan dan mengesahkan tujuan revolusi Kamboja
yaitu:
Membangkitkan seluruh semangat rakyat Kamboja untuk
bangkit dan berjuang menumbangkan pemerintahan diktator
Pol Pot demi terbinanya negeri Kamboja yang damai,
merdeka, demokratis, netral, dan non blok menuju sosialisme.
Membubarkan parlemen, menyelenggarakan pemilu bagi
parlemen baru dan mengorganisasikan kembali kekuatan
demokratis rakyat di segala tingkat.
Membentuk sel-sel KNUFNS untuk menggalang dukungan
rakyat dan mendirikan Tentara Nasional Kamboja untuk
mengganyang pemerintahan Pol Pot dan Ieng Sary.
Melancarkan politik perdamaian, persahabatan, dan non blok
terhadap semua negara tanpa memandang sistem politik dan
sosialnya.
Akan menyelesaikan semua perselisihan dengan tetangganya
melalui perundingandamai dan akan mengakhiri perang
perbatasan dengan Vietnam.

24

Memulihkan hubungan persahabatan, kerjasama, dan rukun
tetangga dengan negara-negara Asia lainnya, serta ikut
berusaha membina Asia Tenggara sabagai kawasan damai,
merdeka, bebas, netral, stabil, dan makmur.
Tidak akan ikut persekutuan militer manapun dan tidak
memperkenankan negara manapun membuka pangkalan
militer atau mengirim persenjataan militer ke Kamboja.

 Menuju Perdamaian
Pada tahun 1982, Tiga kelompok (faksi) yang masih bertahan di Kamboja yaitu
Khmer Merah, dan Front kemerdekaan nasional, netral, kedamaian dan kerja sama
Kamboja (FUNCINPEC) pimpinan Pangeran Sihanouk, serta Front nasional
kebebasan orang-orang Khmer yang dipimpin oleh perdana menteri yang
terdahulu yaitu Son Sann, membentuk koalisi yang bertujuan untuk memaksa
keluar tentara Vietnam. Tahun 1989, tentara Vietnam akhirnya mundur dari
Kamboja.
Tahun 1992, PBB (UNTAC), mengambil alih sementara pemerintahan negara ini.
Tahun berikutnya, PBB menggelar pemilu demokratis yang dimenangkan oleh
FUNCINPEC. Faksi ini kemudian membentuk pemerintahan koalisi bersama
Partai Rakyat Kamboja (CPP) pimpinan Hun Sen.
Sekarang, Kamboja telah berkembang pesat berkat bantuan dari negara-negara
asing. Negara ini bahkan telah menggelar persidangan terhadap seorang mantan
pemimpin Khmer Merah atas dakwaan melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Rakyat di kota dan desa juga telah hidup tenang walaupun dihantui
bahaya ranjau darat yang masih banyak bertebaran di seluruh penjuru negeri.
2.4.1

Peran Asean Dalam Penyelesaian Masalah Kamboja

25

Upaya menuju penyelesaian politik yang menyeluruh dimulai pada tahap regional,
di mana dalam menyikapi konflik Kamboja, ASEAN meletakan dasar
pemikirannya atas dua hal yaitu, dinamika politik, ekonomi, dan sosial dalam
tubuh ASEAN sendiri, dan tingkat encaman eksternal serta situasi regional
ataupun internasional yang dapat berpengaruh terhadap persepsi ASEAN dalam
penyelesaian masalah tersebut.
Pada tingkat regional, dimulai sejak masa jatuhnya rezim pemerintaan Pangeran
Sihanouk di tahun 1970, para Menteri Luar Negeri ASEAN telah mencoba untuk
membahas secara intensif konflik yang mulai marak di Kamboja. Negara-negara
yang tergabung dalam forum ASEAN ini berupaya untuk mencapai suatu
kesepakatan bersama agar dapat merumuskan formulasi yang tepat, sehingga pada
mulanya organisasi ini dapat berfungsi sebagai mediator untuk mendamaikan
pihak-pihak yang bertikai pada saat itu. Negara-negara menginginkan agar
seyogyanya setiap pihak dapat bekerja sama dalam mencegah semakin luasnya
konflik yang melanda Kamboja sebagai penghormatan atas Piagam PBB dan juga
Konferensi Jenewa tahun 1954 mengenai kawasan Indochina demi menciptakan
suasana yang kondusif di Kamboja.
Terhitung sejak dibentuknya CGDK sebagai koalisi pemerintahan pada tahun
1982, negara-negara ASEAN secara aktif mendukung resolusi PBB yang
mengakui CGDK sebagai badan pemerintah yang sah di Kamboja, dan untuk itu
memiliki legitimasi dan hak untuk duduk di Majelis Umum PBB sebagai wakil
Kamboja. ASEAN melalui para Menlunya pada tanggal 21 September 1983
mengeluarkan keputusan bersama terhadap upaya rekonsiliasi di Indochina
dengan penarikan keluar pasukan Vietnam dari Kamboja dengan batas waktu yang
ditentukan.
Selanjutnya dalam komunikasi bersama pertemuan tingkat menteri ASEAN ke 17
yang digelar di Jakarta tanggal 9-10 Juli 1984, para menlu ASEAN menegaskan
kembali posisi mereka untuk mencari penyelesaian politik yang komprehensif dan
menguatkan keabsahan kemerdekaan Kamboja pada 21 September 1983 sebagai
dasar dari penyelesaian politik yang menyeluruh di Kamboja. Hal ini kembali

26

ditegaskan pada serangkaian pertemuan Menlu ASEAN berikutnya yaitu di
Jakarta pada November 1983, di Kuala Lumpur pada bulan Desember 1983 dan
kembali di Jakarta pada bulan Januari 1984.
Bagi ASEAN sendiri, upaya ini dilandaskan pada konsep Zone of Peace, Freedom
and Neutrality (ZOPFAN) yang dicanangkan pada tahun 1971. ZOPFAN
menjamin perdamaian, keamanan serta kedaulatan bersama negara-negara di
kawasan Asia Tenggara yang netral dan bebas dari campur tangan pihak luar. Di
tingkat global, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada tahun 1981, PBB
menggelar Konferensi Internasional untuk Kampuchea (ICK) yang walaupun
dinilai tidak terlalu berhasil, namun konferensi ini telah membangun suatu
pondasi

prakarsa

komprehensif

untuk

untuk

secara

memelihara

konsensus

mengupayakan

perdamaian

dan

solusi

keamanan

yang
dunia.

Gagasan pembicaraan intensif antara ASEAN dan pihak-pihak yang bertikai di
Kamboja yaitu CGDK dan pemerintahan Heng Samrin di Phnom Penh pada
perkembangannya kurang mendapat dukungan dan menemui jalan buntu, baik
secara kolektif dari negara-negara ASEAN, maupun dari pihak CGDK dan
Vietnam sendiri. Tidak lama setelah itu, tepatnya pada bulan September 1985,
Sihanouk mengusulkan suatu Cocktail Party yang dapat mengakomodir pihakpihak yang bersengketa di Kamboja beserta negara-negara yang terkait untuk
dapat membicarakan penyelesaian masalah Kamboja.
Pada bulan November 1985 atau kurang lebih dua bulan setelah itu, Indonesia
menyatakan kesediaannya untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Cocktail
Party tersebut. Terhitung sejak wacana Cocktail Party direncanakan, hingga
penentuan tanggal pelaksanaan acara tercatat serangkaian kendala yang berpotensi
untuk menggagalkan penyelenggaraan acara dimaksud. Munculnya berbagai
kendala ini tak lain disebabkan oleh perbedaan pendapat dan agenda kepentingan
masing-masing pihak yang bertikai Kendati jalan panjang dan melelahkan harus
dilewati untuk merealisasikan rencana gagasan pertemuan tersebut, akhirnya
rencana pertemuan resmi pertama tersebut berhasil diadakan pada tanggal 25–28
Juli 1988 di Bogor, Indonesia.

27

Pertemuan yang dikenal dengan Jakarta Informal Meeting I (JIM I) ini
menampilkan terobosan untuk pertama kalinya, di mana pihak-pihak yang secara
langsung terlibat di dalam konflik, yaitu keempat faksi, kedua tetangga Indochina
dan enam negara ASEAN bertemu untuk mendiskusikan elemen-elemen
mekanisme penyelesaian awal. Sekalipun pembicaraan antar faksi berjalan cukup
alot karena masing-masing bersikeras mempertahankan posisinya, namun hasil
dari pertemuan ini dinilai cukup efektif untuk menyepakati persepsi dan
kesepahaman bersama sehingga beberapa rekomendasi dapat dilahirkan dengan
penekanan pada pemisahan dua isu yaitu berkaitan dengan invasi Vietnam,
Vietnam untuk menarik mundur pasukannya dari Kamboja sebagai itikad baik
penyelesaian

konflik,

kesepahaman

mengenai

pentingnya

pencegahan

berkuasanya kembali rezim Pol Pot yang telah mengakibatkan penderitaan bagi
rakyat Kamboja, pembentukan kelompok kerja guna membahas elemen-elemen
dasar dari konflik itu sendiri dan menyusun usulan-usulan sebegai bahan masukan
bagi pertemuan selanjutnya.
Dalam rangka menindaklanjuti JIM I, pada tanggal 16-18 Februari 1989 digelar
JIM II yang turut dihadiri oleh negara-negara peserta JIM I. Pada pertemuan ini
dapat disepakati berbagai kemajuan yang bersifat teknis sebagai tindak lanjut dan
penyeragaman persepsi dari hasil pertemuan pertama. Beberapa hasil yang
menonjol diantaranya adalah penarikan seluruh pasukan Vietnam yang harus
segera dilakukan dengan batas waktu 30 September 1989 sebagai bagian dari
kerangka penyelesaian politik yang menyeluruh. Kemudian dibahas pula
mengenai himbauan penghentian keterlibatan pihak asing termasuk dukungan
militer dan persenjataan terhadap masing-masing pihak yang bertikai di Kamboja.
Pertemuan ASEAN di Brunei pada tanggal 3-4 Juli 1989 telah memformulasikan
suatu pijakan bersama atas konflik Kamboja sebagai hasil dari pertemuan JIM I
dan JIM II. Setelah situasi politik yang relative aman, Kampuchea akhirnya masuk
anggota ASEAN pada tanggal 16 Desember 1998. Keadaan Kampuchea lebih
stabil lagi ketika Pol Pot (pemimpin Khmer Merah) meninggal pada tahun 1998.

28

2.4.2

Hubungan Kamboja dengan Indonesia

Hubungan diplomatic Indonesia dengan Kamboja telah terjalin sejak tahun 1957,
kedua negara menandatangani Perjanjian Persahabatan di Jakarta pada 13 Februari
1959. Dalam kurun waktu Januari-Mei 2008, total nilai perdagangan Indonesia
dan Kamboja mencapai 67,51 juta dolar AS dengan surplus bagi Indonesia sebesar
66,35 juta dolar AS.

Nilai perdagangan tersebut naik sebesar 20 persen dari total perdagangan dalam
periode yang sama di tahun 2007 (56,02 juta dolar AS) dengan surplus sebesar
54,67 juta dolar AS bagi Indonesia. Hubungan kerja sama antara Kamboja dengan
Indonesia dalam ASEAN salah satunya adalah ditandatanganinya persetujuan
bebas visa bagi pemegang paspor biasa untuk kedua negara.

2.5 Kehidupan Sosial Kamboja
Kamboja merupakan negara yang berpenduduk nomor dua terkecil di Asia
Tenggara dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta jiwa. Mayoritas negara-negara
lainnya di Asia Tenggara memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih banyak
daripada Kamboja.
Pada tahun 1975, Selama empat tahun masa kekuasaan dari Khmer merah,
jumlah penduduk menurun drastis menjadi hanya 6 juta jiwa, banyak dari mereka
yang di bunuh oleh khmer merah tetapi ada juga yang kelaparan dan ada pula
yang bermigrasi dalam jumlah yang cukup besar, terutama orang-orang dari
etnik Vietnam. Kelompok penduduk yang dominan di Kamboja adalah dari etnik
Khmer, sekitar 85% dari jumlah keseluruhan penduduk kamboja. Sisanya adalah
orang dari etnik Vietnam, lalu diikuti oleh orang-orang dari etnikCina, dan sekitar
100.000 muslim Cham, serta yang terakhir adalah beberapa dari suku primitive.

29

Bahasa resmi penduduk Kamboja adalah bahasa Khmer. Bahasa lain yang
digunakan adalah bahasa Prancis, sebagian besar penduduk beragama Buddha.
Sebagian besar penghidupan penduduknya di sektor pertanian. Hasil pertanian di
Kamboja adalah beras, jagung, merica, tembakau, kapas, gula aren, dan lain
sebagainya. Sedangkan hasil tambangnya adalah besi, tembaga, mangan, dan
emas. Hasil industri Kamboja adalah tekstil, kertas, plywood, dan minyak.
Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kamboja bertani, buruh, dan mencari
ikan. Penghasilan rata-rata masyarakat Kamboja, di luar Phnom Penh, $20 atau
82.000 Riel (mata uang Kamboja), setara dengan Rp 190.000 per bulan. Namun,
di desa dan kampung-kampung, masyarakat amat menggemari transaksi
menggunakan Dollar. Terlebih dengan para pendatang.
2.6 Perekonomian Kamboja
Pertumbuhan ekonomi Kamboja didukung oleh empat sektor utama yaitu,
pertanian,

pariwisata,

Kamboja adalah 1.266

garmen
Dollar

dan
AS

properti. Pendapatan
per

tahun.

Jumlah

per

kapita

ini

di

di

dapat

berdasarkan sistem pengukuran baru, yang digunakan oleh organisasi-organisasi
internasional seperti Bank Dunia.
Perekonomian Kamboja sempat turun pada masa Republik Demokratik berkuasa.
Tapi, pada tahun 1990-an, Kamboja menunjukkan kemajuan ekonomi yang
membanggakan.

Pendapatan perkapita Kamboja

meningkat

drastis,

namun

peningkatan ini tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara - negara lain di
kawasan ASEAN. PDB bertumbuh 5.0% pada tahun 2000 dan 6.3 % pada tahun
2001. Agrikultur masih menjadi andalan utama kehidupan ekonomi masyarakat
terutama bagi masyarakat desa, selain itu bidang pariwisata dan tekstil juga
menjadi bidang andalan dalam perekonomian di Kamboja.
Setelah beberapa dekade terbelit perang dan konflik, kini Kamboja menikmati
pertumbuhan ekonomi yang mencapai 10 persen pertahun selama lima tahun
terakhir. Namun, pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi Kamboja turun drastis

30

menjadi 0.1%. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menurunkan tingkat
kemiskinan dari 47% pada tahun 1994 menjadi sekitar 30% pada tahun 2009.
Dengan demikian Kamboja telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan sebesar
1% setiap tahunnya. GDP per kapita meningkat dari US$ 247 pada tahun 1994
menjadi US$ 693 (2009) dan diprediksikan sebesar US$735 (2010).
Produk utama sektor pertanian Kamboja adalah padi. Pemerintah Kamboja telah
berhasil meningkatkan kapasitas produksi padi sebanyak 2,6 ton per hektar selama
tahun 2005-2008. Pada tahun 2008, Kamboja berhasil memproduksi 7,17 juta ton
padi. Pada tahun 2009 Kamboja dapat memproduksi 8 juta ton beras.
Pemerintah Kamboja akan terus mendorong peningkatan produktivitas tanaman
dari 2,6 ton per hektar menjadi 3 ton per hektar. Pemerintah juga akan melakukan
diversifikasi pangan dengan mendorong peningkatan produksi maizena, kacangkacangan, singkong, kentang, sayur-sayuran, soya bean dan tebu.
Guna mendukung trend peningkatan sektor pertanian, pada bulan April 2010, PM
Hun Sen mencanangkan kebijakan pertanian baru yang dimaksudkan untuk
meningkatkan produktivitas pertanian khususnya padi, antara lain dengan
meniadakan lisensi ekspor untuk beras serta berbagai insentif investasi bagi sektor
pertanian.
Sektor

garmen

merupakan

salah

satu

sektor

unggulan

yang selama

ini menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi Kamboja. Pada tahun 2008,
sektor garmen menyumbangkan 15 persen dari GDP Kamboja dan 65 persen
dari total ekspor Kamboja.

Neraca

perdagangan

Kamboja

sampai

dengan

tahun 2008 masih didominasi ekspor sektor garmen Kamboja yang tercatat
mencapai USD 2,9 milyar, sedangkan impor garmen Kamboja sebesar USD 1,298
milyar. Pasar utama bagi garmen kamboja adalah Amerika Serikat dan Uni
Eropa dengan 90% dari produknya diekspor ke kedua wilayah ekonomi tersebut.

31

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kamboja yang mempunyai nama lain Kampuchea (bahasa Khmer), Cambodge
(bahasa Perancis), Cambodia (bahasa Inggris), merupakan suatu negara yang
terletak di Semenanjung Indocina bagian barat daya. Secara geografis, Negara
yang mempunyai lu