DINAMIKA POLITIK PEMILIHAN KEPALA DESA

DINAMIKA POLITIK PEMILIHAN KEPALA DESA
Leni Novianti, 141510501223, Program Studi Agroteteknologi, Fakultas
Pertanian, Universitas Jember
Abstract
Indonesia experienced a change in politics and in the economy in the
aftermath of the reform. Components that undergo a change that the party system,
the electoral system and the relationship between central government and local
governments. The general election is a political process in which citizens have
had the right to vote for the voice channel to select certain people to be
representative of the people. Subjects in the election is the voters and candidates.
As with other citizens of rural communities also have the right to elect and be
elected as representatives of the people. However, the current political situation in
the village is healthy idak politics because politics is the politics of money used.
Political money in Pilkades tarnish democratization in Indonesia.
Abstrak
Indonesia mengalami perubahan dalam bidang politik maupun dalam
bidang ekonomi pada masa setelah reformasi. Komponen yang mengalami
perubahan yaitu sistem kepartaian, sistem pemilihan umum dan hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemilihan umum merupakan proses
politik dimana warga negara yang telah memiliki hak memilih untuk menyalurkan
suaranya untuk memilih orang-orang tertentu untuk menjadi wakil rakyat. Subyek

dalam pemilu adalah pemilih dan kandidat. Sama halnya dengan warga negara
lain masyarakat desa juga berhak untuk memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat.
Namun saat ini politik yang terjadi di desa merupakan politik yang idak sehat
karena politik yang digunakan adalah politik uang. Politik uang dalam Pilkades
menodai demokratisasi di Indonesia.

Pendahuluan
Pasca reformasi 1998, Indonesia mengalami perubahan sistem politik
yang signifikan yaitu demokratisasi, baik dalam kehidupan politik maupun
dalam kehidupan ekonomi. Dalam konteks artikel ini, diantara komponen
yang mengalami perubahan itu adalah sistem kepartaian, sistem pemilihan umum,
dan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ketiga
komponen ini memiliki pengaruh yang cukup serius terhadap kehidupan politik
pada tingkat desa.

Sistem kepartaian, Indonesia menerapkan sistem multi-partai diiringi
dengan

pencabutan


politik

masa

mengambang

(floating

mass).

Konsekuensinya, penduduk desa bebas untuk menjadi pengurus, anggota,
dan atau simpatisan partai politik manapun. Terkait dengan sistem pemilihan
umum, reformasi menghendaki para pejabat politik, terutama eksekutif pada
tingkat pemerintahan pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dipilih
langsung oleh rakyat. Konsekuensinya, frekuensi penduduk desa mengikuti
pemilihan umum semakin tinggi. Dalam kurun waktu lima tahun, paling tidak,
mereka akan mengikuti empat pemilu yakni: pemilu presiden/wakil presiden,
pemilu anggota DPR/DPD/DPRD, pemilu gubernur/wakil gubernur, pemilu
bupati/wakil bupati dan/atau walikota/wakil walikota, serta pemilihan kepala desa
(pilkades).

Sementara itu, ketika reformasi berhasil mengubah hubungan pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah melalui kebijakan desentralisasi (pemusatan)
yang diaplikasikan sejak 1999, jarak proses pembuatan keputusan politik
semakin pendek dan pemerintah daerah semakin memiliki ruang manuver
lebih besar untuk mempercepat pembangunan daerah. Di depan mata, terlihat
jelas bagaimana desentralisasi diiringi dengan pemekaran desa/kelurahan,
implementasi Dana Alokasi Desa (DAD), dan semakin strategisnya posisi
kepala desa dan penduduk desa karena imbas pemilihan kepala daerah secara
langsung.
Artikel ini tidak berfokus untuk menganalisis demokratisasi di era
desentralisasi secara utuh. Sebaliknya, artikel ini diarahkan menganalisis relasi
calon kepala desa dan para pemilih di era desentralisasi. Masalah ini menarik
untuk

dikaji

sebab

diduga desentralisasi


yang

meningkatkan

frekuensi

pengalaman para pemilih dalam pemilihan umum akan menciptakan para
pemilih yang semakin rasional. Untuk mengkaji persoalan ini, kami akan
memaparkan terlebih dahulu makna dan sistem pemilihan umum. Dilanjutkan
dengan pemaparan tentang teori-teori politik tentang perilaku kandidat dan
perilaku pemilih. Teori-teori ini, tentu saja, banyak diambil dari luar. Karena
bahan yang diambil dari luar memiliki kelemahan-kelemahan. Beragam

kelemahan teori-teori ini perlu diulas secara menyeluruh jika ingin digunakan
sebagai contoh untuk memahami relasi politik calon kepala desa (the candidate)
dengan para pemilih kepala desa (the voter). Tetapi, keberadaan teori-teori ini
tetap penting untuk membangun kerangka pikir dalam rangka menjelaskan
nexus candidate-voter dalam konteks pilkades.
Pembahasan
Makna dan Sistem Pemilihan Umum

Pemilihan umum (general elections) dapat didefenisikan sebagai
proses politik dimana warga negara yang sudah memiliki hak pilih menyalurkan
suaranya untuk memilih orang-orang tertentu yang akan duduk mewakili mereka
di lembaga perwakilan, baik itu lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif.
Orang-orang yang terpilih melalui pemilihan umum inilah yang menjalankan
roda pemerintahan perwakilan. Pemilu, hak pilih dan atau hak memilih
warga negara, dan lembaga perwakilan merupakan sebagian dari ciri-ciri sistem
pemerintahan demokrasi.
Pemilihan umum merupakan fenomena politik yang bisa dijelaskan
dari dimensi sistem, kontestasi, proses, nilai dan norma, dan metode tertentu.
Pemilihan umum bersifat universal karena diterapkan di semua negara yang
menggunakan demokrasi sebagai bentuk pemerintahannya. Tetapi, muatan
dimensi sistem, kontestasi, proses, metode, prosedur, nilai dan norma
penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri bisa berbeda antara negara yang
satu dengan negara lainnya.
Dilihat dari sistemnya, dikenal dua sistem pemilihan umum, yakni:
single-member electoral system dan proportional representation electoral
system. Dalam pola single-member electoral system, wilayah negara dibagi ke
dalam banyak daerah pemilihan. Hanya satu wakil dapat dari setiap daerah
pemilihan.


Sedangkan

dalam pola

proportional

representation

electoral

system, wilayah negara juga dibagi ke dalam banyak daerah pemilihan.
Tetapi, setiap daerah pemilihan bisa diwakili beberapa orang atau lebih

tergantung kepada jumlah penduduk

yang ada di daerah pemilihan tersebut

(Rodee, et al., 1983).
Di lihat dari dimensi kontestasinya, pemilihan umum bisa diikuti

individu dan/atau partai politik. Meskipun individu diperkenankan menjadi
kontestan pemilihan

umum,

tetapi

kebanyakan

negara-negara

demokrasi

mensyaratkan keberadaan partai politik sebagai wadah bagi warga negara untuk
menduduki jabatan-jabatan politik yang dipilih melalui pemilihan umum. Per
defenisi,

partai

didirikan


oleh

politik dapat didefenisikan sebagai organisasi politik yang
sekumpulan

warga

negara

untuk

mengagregasikan,

mensosialisasikan, mengkomunikasikan, dan mengartikulasikan kepentingan
politik anggotanya.
Pemilihan umum terdiri atas tahapan-tahapan tertentu yang berkaitan satu
dengan yang lainnya. Di Indonesia, sebagai contoh, pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD Daerah dilaksanakan melalui beberapa
tahapan, yakni: pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih,

pendaftaran peserta pemilu, penetapan proses pemilu, penetapan jumlah kursi
dan penetapan daerah pemilihan, pencalonan, kampanye,

masa tenang,

pemungutan dan perhitungan suara, penetapan hasil pemilu, dan pengucapan
sumpah/janji

anggota DPR,

DPD,

dan

DPRD

provinsi,

dan


DPRD

kabupaten/kota yang terpilih (Pasal 4 Ayat 2 UU No. 10 Tahun 2008).
Di

lihat dari nilai dan normanya, pemilihan umum diselenggarakan

dengan berpedoman kepada seperangkat nilai dan norma tertentu. Sebagai
contoh, pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD Daerah wajib dilaksanakan secara
efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil. Keberadaan nilai dan norma penting untuk memelihara proses pemilihan
umum yang berkualitas.
Di lihat dari metodenya, pemilihan umum memiliki banyak submetode. Misalnya, bagaimana metode mentransformasikan suara menjadi
kursi, bagaimana metode pencoblosan suara (dicoblos, dicontreng, dipilih
melalui

komputer,

atau menggunakan


e-voting),

bagaimana

metode

kampanyenya,

bagaimana

metode pencalonan kontestan pemilu, dan lain

sebagainya.
Perilaku pemilih dan kandidat
Pemilih dan kandidat merupakan subyek dalam pemilihan umum.
Keduanya merepresentasikan warga negara yang memiliki hak konstitutional
untuk dipilih dan/atau memilih. Perbedaan keduanya terletak pada pelaksanaan
hak konstitutional ini. Jika para pemilih merealisasikan hak memilihnya,
maka kandidat (baik yang mencalonkan diri melalui jalur perseorangan
dan/atau melalui jalur partai politik) merealisasikan hak untuk dipilih.
Dalam konteks makalah ini, perbedaan antara pemilih dan kandidat
bisa dijelaskan melalui aspek perilakunya. Yang dimaksud dengan aspek perilaku
dari sisi pemilih adalah respon fisik, psikis, dan sosial yang diberikan para
pemilih akibat kehadiran stimulus dari dalam dan luar dirinya yang
mempengaruhi pilihan akhirnya dalam proses pemilihan umum. Sedangkan dari
sisi kandidat, aspek perilaku merujuk kepada serangkaian respon fisik, psikis,
dan sosial yang diberikan kandidat untuk mempengaruhi keputusan akhir para
pemilih dalam pemilihan umum.
Pemilihan umum, apapun sistem dan metodenya, keputusan akhir para
pemilih berada dua spektrum pilihan, yakni: memilih dan/atau tidak
memilih. Pertanyaan yang selalu memicu adrenalin intelektual ilmuwan
politik terhadap fenomena ini adalah mengapa para pemilih memilih dan/atau
tidak memilih dalam pemilihan umum. Penulis akan menguraikan beberapa
teori yang telah dikembangkan ilmuwan politik untuk menjelaskan persoalan
perilaku pemilih ini.
Menurut Adams, Merrill III, dan Grofman (2005), ada tiga sudut
pandang yang bisa digunakan ilmuwan politik untuk memahami perilaku
pemilih, yakni: model spatial (para pemilih termotivasi akibat serangkaian
kebijakan yang ditawarkan, sedang, dan/atau dijalankan kandidat), model
behavioral, (keputusan para pemilih tidak hanya dipengaruhi faktor kebijakan
tetapi dipengaruhi juga oleh faktor identifikasi partai politik, karakteristik

sosio-demografis,

persepsi

pemilih

terhadap

kondisi

ekonomi,

evaluasi

retrospektif pemilih terhadap kinerja incumbent) dan model party competition
(perilaku

pemilih

dipengaruhi

faktor

loyalitas

kepada partai politik,

kemampuan pemilih menganalisis program-program yang ditawarkan kandidat,
dan persepsi bahwa tidak ada kontestan pemilihan umum yang atraktif.
Argumentasi Adams, Merrill III, dan Grofman (2005) memiliki
kelemahan serius jika ingin digunakan untuk memahami relasi politik calon
kepala desa dengan para

pemilih.

Model

party

competition

tidak

bisa

diterapkan karena pencalonan seseorang dalam pilkades tidak melalui partai
politik. Hanya model spatial dan model behavioral yang bisa diterapkan meski
dengan sangat hati-hati. Sebab, dalam kasus model behavioral, tidak seluruh
variabel dalam model ini bisa diaplikasikan karena kurang relevan. Sebagai
contoh, model ini menganggap persepsi pemilih terhadap kondisi ekonomi
merupakan salah satu determinan para pemilih. Dalam konteks pilkades,
variabel ini kurang relevan karena faktanya kondisi perekonomian desa lebih
banyak

disebabkan

karena

faktor-faktor

ekternal

(misalnya,

kebijakan

pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota).
Gerak Perubahan Masyarakat Desa: Sustensi dan Resistensi
Pada dasarnya masyarakat desa adalah masyarakat yang bersifat egaliter
(di Jawa dikenal dengan konsep sami-sami, padha-padha) (Suhartono, 1999).
Secara historis masyarakat desa mengalami proses transformasi sosial sejak
zaman kerajaan, kolonial, Orde Lama, Orde Baru, hingga kini (sebut saja “Orde
Transisi Menuju Demokrasi”).
Pada masa kerajaan, mungkin saja sebagian masyarakat desa masih dalam
situasi egalitarian, pelapisan sosial belum terbentuk secara tegas. Diskriminasi dan
diferensiasi sosial belum mengeras, karena semua warga desa adalah karama
atau anak tani yang menggarap tanah bersama-sama atau bergiliran. Semangat
kebersamaan (kolektivisme atau komunalisme) menjadi motivasi dan inspirasi
partisipasi rakyat dalam kehidupan desa, misalnya dalam bentuk gotong royong
dan sambatan. Kepemimpinan sosial berlangsung dalam model primus interpares

(yang menonjol di antara sesama, atau juga disebut cikal bakal) {Suhartono, ibid}.
Namun, sebagian masyarakat desa yang lain telah mengalami proses feodalisasi
karena sang primus interpares terserap dalam birokrasi kerajaan, dan menjadi
“raja kecil” di desanya (bekel). Desa masuk dalam orbit kekuasaan kerajaan dan
diposisikan sebagai

supplierlogistik dan tenaga kerja, dibawah pengawasan

seorang pejabat kerajaan atau pangeran (disebut patuh). Protes rakyat terhadap
kebijakan raja biasanya dilakukan dalam bentuk pepe, atau keluar dari desanya
pindah ke desa lain (Ong Hok Ham, 1988).
Pada masa kolonial proses diferensiasi dan stratifikasi sosial kian menguat,
akibat diberlakukannya sistem kekuasaan indirect rule yang menempatkan elit
lokal sebagai perpanjangan tangan kekuasaan dan kepentingan pemerintah
kolonial Belanda. Posisi tertinggi bagi rakyat Indonesia dalam jajaran birokrasi
pemerintahan kolonial ialah sebagai bupati, sedangkan level di atasnya
diperuntukkan bagi orang Belanda. Birokrat pribumi sepertinya sengaja
ditempatkan pada posisi yang “tersudut”, di satu sisi dituntut loyal kepada
atasannya, namun di sisi lain hal itu dilakukan dengan cara menindas rakyatnya
sendiri. Para bupati menjadi semacam boneka yang otoritasnya tergantung kepada
kekuasaan kolonial (Kartodirdjo, 1984).
Pada masa kolonial partisipasi rakyat desa telah di bebas gunakan untuk
melancarkan eksploitasi kolonial lewat penguasa lokal. Pemerintah kolonial telah
menutup “partisipasi demokratis” rakyat desa dan mengubahnya ke bentuk
“partisipasi kolektif otoriter”, yang mau tidak mau mengakibatkan rakyat harus
tergantung pada perkebunan dan pemerintah. Ketergantungan rakyat desa kepada
pemerintah kolonial Belanda semakin besar sejalan dengan makin menipisnya
kepentingan kolektif desa.
Namun, studi Sartono Kartodirdjo (1984) tentang pemberontakan petani di
Banten pada tahun 1888 membuktikan bahwa kaum petani (masyarakat desa pada
umumnya) sesungguhnya adalah masyarakat yang dinamis, “tidak diam saja”, tapi
penuh inisiatif. Pemberontakan petani Banten dapat dibaca sebagai bentuk
resistensi otoritas tradisional akibat masuknya birokrasi modern yang sekuler,
yang berpusat pada otoritas kolonial.

Masuknya

modernisasi

birokrasi

membawa

akibat,

antara

lain,

terganggunya lembaga lembaga tradisional, ketidakserasian sosial, dan perasaan
tidak aman dan frustrasi di kalangan luas. Oleh karena itu, pemberontakan itu
dapat pula dipandang sebagai ekspresi protes sosial terhadap, atau penyesuaian
negatif kepada, perubahan sosial yang dipaksakan dari luar oleh dominasi Barat
(Kartodirdjo, 1984). Jika pada masa kolonial partisipasi politik rakyat desa telah
direduksi, maka pada awal kemerdekaan partisipasi

politik rakyat desa

dihidupkan kembali. Namun, aktivitas politik rakyat desa hanya sempat hidup
beberapa tahun saja. Pemerintahan Orde Lama mendorong kaum tani untuk
masuk ke partai politik atau aktif dalam organisasi-organisasi petani yang
didirikan oleh partai. Dengan langkah ini, pemerintah berharap dapat
mempercepat proses defeodalisasi struktur politik desa.
Selain itu, kebijakan pembangunan desa diarahkan pada upaya perbaikan
produktivitas hasil pertanian. Kebijakan itu dijalankan antara lain dengan
mengganti Undang-undang Agraria tahun 1870 yang dibuat oleh pemerintah
kolonial Belanda dengan UUPA No.5/1960, dengan tujuan memperbaiki
ketimpangan

struktur

kepemilikan

tanah.

Selain

itu

pemerintah

juga

mengeluarkan UU Bagi Hasil, yang menetapkan bahwa seluruh kesepakatan bagi
hasil harus dilakukan secara tertulis. Undang-undang ini juga menentukan bahwa
hasil panen harus dibagi dalam proporsi yang adil antara pemilik tanah dengan
penggarap. Tujuan diberlakukannya dua kebijakan itu ialah meningkatkan rasa
tanggung jawab penduduk desa demi mencapai kesejahteraan sosial. (Mubyarto
and Loekman Soetrisno, 1989).
Pada masa Orde Baru, pemerintah melihat bahwa rendahnya produktivitas
petani disebabkan karena petani terlalu banyak terlibat dalam politik. Akibatnya,
perhatian petani kepada pembangunan pertanian jadi berkurang. Agar petani lebih
banyak mencurahkan perhatiannya kepada pembangunan pertanian, maka
pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa secara politik petani Indonesia
diposisikan sebagai “massa mengambang”. Semua partai politik dan organisasiorganisasi petani yang berafiliasi dengannya tidak diijinkan membentuk
kepengurusan hingga di tingkat desa. Satu-satunya organisasi petani yang

diijinkan hanyalah HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), yang bersifat
non-politis.
Adapun gejolak sosial-politik masyarakat desa pada era Orde Baru antara
lain dapat dilihat dari peristiwa pemilihan kepala desa (Pilkades). Penelitian yang
dilakukan oleh Balai Penelitian Pers dan Pendapat Umum Yogyakarta (BP3U,
1988) menunjukkan bahwa penyebab munculnya gejolak dalam masyarakat desa
antara lain: jumlah pemilih tidak memenuhi kuorum, calon tunggal tidak terpilih,
calon favorit tidak lulus ujian tulis, calon tersangkut OT (organisasi terlarang),
penghitungan suara dilakukan dua kali (secara terbuka dan secara tertutup),
kelebihan suara pemilih (ada pemilih tidak sah), aksi boikot (sebagian pemilih
sengaja tidak memberikan suaranya).
Selama rezim Orde Baru berkuasa, Pilkades telah berlangsung dalam dua
gelombang, gelombang I dilaksanakan pada periode 1988-1989 dan gelombang II
pada periode 1996-1997. Baik pelaksanaan Pilkades pada gelombang I maupun II
telah menimbulkan berbagai gejolak dalam masyarakat desa. Studi Douglas
Kammen (2000) menunjukkan bahwa terjadi banyak protes dalam pelaksanaan
Pilkades di Jawa. Protes Pilkades muncul dalam berbagai bentuk dan dipicu oleh
banyak alasan.
Pada era reformasi, situasi desa ditandai oleh berbagai pergolakan politik
menyangkut isu: pemilihan kepala desa (Pilkades), masalah penguasaan tanah,
kasus tuntutan pencopotan jabatan (mulai dari kepala desa sampai bupati),
munculnya semacam gerakan tandingan yang efeknya memecah-belah dan
menggelisahkan masyarakat (misal isu “dukun santet” di Banyuwangi).
Masyarakat desa menuntut para kepala desa beserta perangkatnya yang selama
masa Orde Baru aktif membantu mengumpulkan suara untuk Golkar agar
mengundurkan diri. Demikian pula kepada para camat yang dinilai telah
melakukan tind ak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) “dipaksa” oleh rakyat
desa untuk melepaskan jabatannya (Soetrisno, 1999).
Selain itu, eforia reformasi di desa juga ditandai dengan terjadinya aksiaksi penjarahan. Gejolak rakyat desa makin meninggi sejak diimplementasikannya
undang-undang otonomi daerah pada Januari 2001. Respon masyarakat desa

terutama difokuskan pada isu perubahan posisi dan fungsi pemerintahan desa,
pemilihan anggota BPD, dan pengisian perangkat desa.
Praktik politik uang di Desa
Desa merupakan satuan pemerintahan terkecil yang melaksanakan fungsifungsi pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, desa juga merupakan
wadah partisipasi rakyat dalam aktivitas politik dan pemerintahan. Desa
seharusnya merupakan media interaksi politik yang simpel dan dengan demikian
sangat potensial untuk dijadikan cerminan kehidupan demokrasi dalam suatu
masyarakat negara.
Prinsip-prinsip

praktek

politik

demokratis

dapat

dimulai

dari

kehidupan politik di desa. Unsur-unsur esensial demokrasi dapat diterjemahkan
dalam pranata kehidupan politik di level pemerintahan formal paling kecil
tersebut. Menurut Robert Dahl, terdapat tiga prinsip utama pelaksanaan
demokrasi, yakni: 1) kompetisi, 2) partisipasi, dan 3) kebebasan politik dan sipil
(Sorensen, 2003).
Dinamika dan konstelasi politik di desa memiliki kekhasan tersendiri.
Kekhasan tersebut antara lain ditunjukkan dalam prosesi pemilihan kepala desa
(Pilkades) yang jauh dari hiruk pikuk dunia kepartaian. Dalam kejumudan yang
dihadapi masyarakat dengan tidak sehatnya kehidupan kepartaian di Indonesia,
baik oleh karena tidak berjalannya fungsi-fungsi ideal kepartaian termasuk
rekrutmen

politik

maupun

ketidakmampuan

elit

di

dalamnya

dalam

mengartikulasi kepentingan sebagian besar rakyat, seharusnya masyarakat
dapat menemukan alternatif lain dalam melaksanakan demokrasi prosedural
melalui pemilihan Kepala Desa.
Ekspektasi atas sehatnya Pilkades sebagai wahana demokratisasi atau
konsolidasi demokrasi sangat besar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
pada perhelatan Pilkades di Desa Naggrak Bogor menyatakan bahwa kehidupan
demokrasi yang baik sebenarnya bisa dimulai dengan pelaksanaan demokrasi di
desa melalui pemilihan kepala desa atau Pilkades. Asalkan, pilkades di desa itu
dapat dijalankan dengan langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil

(Kompas, 11 Maret 2007). Bahkan pada masa menguatnya desakan perubahan
Pemilihan Presiden dari Pemilihan dalam lembaga Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) ke Pemilihan Presiden langsung, Pilkades seringkali menjadi
referensi. Ruang publik seringkali dihiasi dengan statemen semacam ini: “..Kalau
Pilkades saja sangat demokratis dengan pemilihan secara langsung, masak
pemilihan presiden tidak berani secara langsung?!”.
Salah satu tantangan besar demokratisasi dalam lingkup desa adalah
merebaknya politik uang (money politics) dalam Pilkades. Di beberapa
daerah fenomena demikian tampak benderang. Seorang calon kepala desa atau
kades tertangkap tangan sedang melakukan praktik politik uang menjelang
pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) Desa Ujungmanik, Kecamatan
Kawungangten, Kabupaten Cilacap (Kompas Jawa Tengah, 2 Maret 2007). Tidak
saja dilakukan oleh calon Kades, disinyalir ada keterlibatan bandar judi
dalam praktek politik uang. Dalam penyelenggaraan Pilkades, bandar judi dari
sekitar desa akan berdatangan untuk meramaikan pasar taruhan dan kalau
mungkin ikut mempengaruhi hasil pemilihan (Kompas, 8 Maret 2007). Fenomena
negatif demikian muncul dalam transisi demokrasi di Indonesia.
Secara

teoretik,

fenomena hybrid

John

Markoff

dalam demokrasi

(2002),

mengindikasikan

pada masa transisi.

adanya

Ada percampuran

elemen-elemen demokratis dengan elemen-elemen non demokratis yang dapat
ditemui secara bersamaan dalam sebuah sistem politik. Larry Diamond (2003)
memberikan sinyalemen yang tidak jauh berbeda. Ada fenomena yang dia
sebut sebagai demokrasi semu (pseudo democracy). Indikatornya, mekanisme
demokrasi tidak menjamin adanya demokrasi hakiki. Politik uang (money
politics) merupakan salah satu fenomena negative mekanisme elektoral di dalam
demokrasi. Dalam demokrasi yang belum matang, seperti di Indonesia, politik
uang dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan.
Kesimpulan dan Saran
Pemilihan umum merupakan proses politik dimana warga negara yang
sudah memiliki hak pilih menyalurkan suaranya untuk memilih orang-orang yang

akan menjadi wakil rakyat. Pemilih dan kandidat merupakan subyek dalam
pemilihan umum.

Pemilih merupakan warga negara yang berhak memilih

sedangkan kandidat memiliki hak untuk dipilih. Di dalam desa masyarakat juga
berhak untuk memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat yaitu sebagai Kepala Desa
yang dilaksanakan dengan Pilkades. Namun saat ini Pilkades diterapkan secara
tidak shat yaitu dengan politik uang yang menodai demokratisasi di Indonesia.
Desa merupakan satuan pemerintahan terkecil yang melaksanakan fungsi-fungsi
pelayanan

kepada

masyarakat. Desa seharusnya merupakan media interaksi

politik yang simpel dan dengan demikian sangat potensial untuk dijadikan
cerminan kehidupan demokrasi dalam suatu masyarakat negara.
Referensi
Alamsyah. 2011. Dinamika Politik Pilkades di Era Otonomi Daerah. Taman
Praja, 1 (1): 1-15.
Halili. 2009. Praktik Politik Uang Dalam Pemilihn Kepala Desa. Humaniora, 14
(2): 99-112.
Latief, M. S. 2003. Demokratisasi Desa: Kendala, Prospek dan Implikasi
Kebijakan. Center of population and Policy Studies, 1 (1): 1-17.