BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Kualitas Fisik Rumah Terhadap Kejadian ISPA Pasca Bencana Erupsi Gunung Sinabung Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Tiganderket Karo Sumatera Utara Pada Tahun 2015

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Gunung Sinabung adalah Ketinggian gunung ini adalah 2.460 meter. Gunung ini tidak pernah tercatat meletus sejak tahun 1600 (Global

  Volcanism Program, 2008). Tanggal 27 Agustus 2010 terjadi beberapa kali letusan freatik yang mengeluarkan asap mencapai 1500 meter dari mulut kawah.

  Sejak saat itu Gunung Sinabung diubah dari tipe B menjadi tipe A (Kementerian ESDM, 2013).

  Erupsi Gunung Sinabung pada tahun 2013 terjadi sejak tanggal 15 September 2013 dan berlangsung hingga saat ini. Badan Geologi ESDM pada tanggal 24 November 2013 melaporkan bahwa dampak erupsi awan panas dapat membahayakan jiwa manusia dan membakar benda-benda yang dilalui awan panas karena awan panas merupakan material vulkanik yang terdiri dari campuran abu, gas, batuan yang bersuhu tinggi berkisar >200˚C. Penduduk dari 17 Desa dan

  2 Dusun harus diungsikan sejak tanggal 24 November 2013 oleh karena status Gunung Sinabung dinaikkan menjadi level IV(Awas).

  Status level IV(Awas) ini terus bertahan hingga memasuki tahun 2014, guguran lava pijar dan semburan awan panas masih terus terjadi sampai 3 Januari 2014 dan mulai tanggal 4 Januari 2014 terjadi rentetan kegempaan, letusan, dan luncuran awan panas terus-menerus, disertai dengan abu vulkanik yang saat itu mencapai Kota Medan yang jaraknya sekitar 80 km dari pusat letusan (Suryani, 2014).

  1 Setelah kondisi ini bertahan terus-menerus, pada minggu terakhir Januari 2014 kondisi Gunung Sinabung mulai stabil dan pengungsi yang berasal dari beberapa desa diluar radius bahaya (5 km) dapat dipulangkan.

  Kecamatan Tiganderket adalah salah satu kecamatan yang berdomisili di luar radius bahaya (5 km) dari puncak Gunung Sinabung. Pasca mengungsi, masyarakat di Kecamatan Tiganderket kembali ke desa mereka masing-masing. Namun permasalahan tidak selesai sampai pulang dari pengungsian saja, karena sekalipun Kecamatan Tiganderket berada di luar radius bahaya, efek debu vulkanik selain berdampak langsung di lokasi bencana juga berdampak ke wilayah sekitarnya yang lebih luas. Debu vulkanik yang bertebaran di udara dan terbawa angin ke daerah-daerah lain dalam radius puluhan bahkan ratusan kilometer biasanya ukurannya sangat kecil.

  Menurut Wardhana (2004), pencemaran partikel seperti debu pada peristiwa meletusnya gunung berapi merupakan dampak pencemaran partikel yang disebabkan karena peristiwa alamiah (faktor internal). Secara umum partikel-partikel yang mencemari udara dapat merusak lingkungan dan menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernapasan. Pada saat menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan terhirup masuk ke dalam paru-paru. Ukuran debu partikel (debu) yang masuk ke dalam paru-paru akan menentukan letak penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Partikel yang berukuran kurang dari 5 mikron akan bertahan di saluran nafas bagian atas, sedangkan partikel 3-5 mikron akan tertahan di bagian tengah, partikel lebih kecil 1-3 mikron akan masuk ke kantung paru-paru, menempel pada alveoli. Partikel yang lebih kecil, kurang 1 mikron akan ikut keluar saat dihembuskan.

  Menurut The International Volcanic Health Hazard Network yang dikutip oleh Suryani (2014), secara umum debu vulkanik menyebabkan masalah kesehatan khususnya menyebabkan iritasi pada paru-paru, kulit dan mata. Gejala pernapasan akut yang sering dilaporkan oleh masyarakat setelah gunung mengeluarkan debu adalah iritasi selaput lendir dengan keluhan bersin, pilek dan beringus, iritasi dan sakit tenggorokan (kadang disertai batuk kering), batuk dahak, mengi, sesak napas, iritasi pada jalur pernapasan dan juga napas menjadi tidak nyaman. Gangguan ini akan lebih berat bila terkena pada orang atau anak yang sebelumnya mempunyai riwayat alergi saluran napas bronkitis kronis, emfisema, atau asma. Selain itu,mata dan paru-paru kulit juga dapat teriritasi oleh debu vulkanik.

  Kondisi bencana gunung meletus menyebabkan kondisi lingkungan menjadi buruk, sarana dan prasarana umum menjadi terbatas. Hal ini mendukung terjadinya penularan kasus ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) menjadi lebih cepat. Pada kondisi seperti ini, jumlah kasus ISPA sangat besar dan menduduki peringkat teratas (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

  ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat disebabkan oleh kuman, virus, ataupun aspirasi (makanan, bahan bakar minyak, debu, dan sebagainya) yang dimulai dengan keluhan gejala ringan sampai menyebabkan kematian. Meskipun pada orang dewasa tidak menimbulkan kesakitan yang parah, namun pada orang tertentu ISPA juga bisa berpotensi menimbulkan masalah kesehatan yang lebih besar, terutama pada orang yang memiliki asma, alergi, dan penyakit paru kronik (Ahyanti dan Artha, 2013).

  Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2008, 4 dari 10 penyakit penyebab kematian di dunia adalah penyakit bidang paru dan pernapasan. WHO menyebutkan bahwa ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering dinegara sedang berkembang yang menyerang 400 sampai dengan 500 juta jiwa dengan Proportional Mortality Rate (PMR) sebesar 26,67%.

  Menurut Riskesdas tahun 2007, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 2 pada balita(13,2%) setelah diare (17,2%). Sejak tahun 2007 sampai 2012, angka cakupan penemuan pneumonia balita tidak mengalami perkembangan berarti yaitu berkisar 23%-27,71% (Kementerian Kesehatan RI,2013).

  Berdasarkan data Puskesmas Tiganderket, ISPA termasuk dalam sepuluh besar penyakit dan masih menduduki urutan pertama, disusul penyakit lainnya seperti hipertensi, gastritis, rhemautic, diare, dan lain-lain. Proporsi kasus ISPA di Puskesmas Tiganderket pada tahun 2013 sebesar 37,69% dan meningkat pada tahun 2014 sebesar 43,74% (Profil Kesehatan Puskesmas Tiganderket, 2013, 2014). Peningkatan proporsi kasus ISPA ini terjadi bahkan setelah masyarakat di kecamatan Tiganderket sudah setahun menempati desa mereka pasca mengungsi.

  Peningkatan kasus ISPA ini diperkirakan karena desa-desa di kecamatan Tiganderket hampir setiap hari terpapar debu vulkanik, sehingga sanitasi lingkungan rumah menjadi buruk.

  Sanitasi lingkungan rumah merupakan sanitasi minimum yang diperlukan untuk menyediakan lingkungan rumah sehat yang memenuhi syarat kesehatan yang menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia (Azwar, 1990).

  Menurut Kepmenkes RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, parameter penilaian rumah sehat yang dinilai meliputi lingkup 3 (tiga) kelompok komponen penilaian, yaitu : (1) kelompok komponen rumah, meliputi langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela kamar keluarga, dan ruang tamu, ventilasi, sarana pembuangan asap dapur, pencahayaan; (2) kelompok sarana sanitasi, meliputi sarana air bersih, sarana pembuangan kotoran, sarana pembuangan air limbah, dan sarana pembuangan sampah; dan (3) kelompok perilaku penghuni, meliputi perilaku membuka jendela kamar tidur, membuka jendela ruang keluarga dan tamu, membersihkan halaman rumah, membuang tinja bayi/anak ke kakus, dan membuang sampah pada tempatnya.

  Berdasarkan observasi awal, ketika debu vulkanik beterbangan di dalam atau di halaman rumah warga, jarang sekali mereka dapat membersihkan debu vulkanik tersebut. Hal ini disebabkan oleh minimnya air bersih pasca erupsi Gunung Sinabung. Debu vulkanik yang tidak dibersihkan dari tanaman-tanaman atau jalanan seringkali terbawa angin masuk kedalam rumah dan terhirup warga.

  Lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada terjadinya dan tersebarnya ISPA.

  Menurut Pudjiastuti (2002), partikel debu menyebar di atmosfer akibat dari berbagai proses alami seperti letusan gunung, hembusan debu serta tanah oleh angin. Partikel debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang-layang di udara, di lingkungan tempat tinggal kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan. Selain dapat membahayakan terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan aestetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warna bangunan.

  Partikel debu vulkanik yang menyebar di udara mempengaruhi kualitas fisik rumah yang meliputi kondisi lantai, jenis dinding, luas ventilasi, suhu, kelembaban dan kepadatan hunian. Selain itu, perilaku penghuni juga mempengaruhi kadar debu vulkanik di dalam rumah.

  Berdasarkan hasil penelitian Ardianto dan Ririh (2009), kepadatan hunian kamar, kelembaban kamar, suhu kamar, ventilasi, lama tinggal, dan kebiasaan merokok berhubungan bermakna dengan kejadian ISPA. Hasil penelitian Maryani (2012) juga menunjukkan ada hubungan antara luas ventilasi kamar, kelembaban udara kamar, kepadatan hunian kamar, kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang, dan tidak ada hubungan antara pencahayaan alami dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.

  Pada awal tahun 2015, masih terdapat kasus gangguan ISPA yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Tiganderket pasca erupsi Gunung Sinabung. Hal ini diketahui dari laporan bulanan Puskesmas Tiganderket yang mencatat 101 orang dari 322 orang yang berkunjung ke puskesmas Tiganderket didiagnosa menderita

  ISPA oleh dokter.

  Oleh karena itu peneliti tertarik ingin mengetahui hubungan kualitas fisik rumah terhadap kejadian ISPA pasca bencana erupsi Gunung Sinabung di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Tiganderket, Karo, Sumatera Utara pada tahun 2015.

  1.2 Perumusan Masalah

  Saat ini masih terdapat peningkatan kejadian ISPA pasca bencana erupsi Gunung Sinabung, dan belum diketahui secara jelas faktor risiko yang mempengaruhi. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor risiko yang berkaitan dengan lingkungan fisik rumah, maka diharapkan akan dapat diupayakan penanggulangannya yang lebih komprehensif di desa yang menjadi wilayah kerja puskesmas Kecamatan Tiganderket.

  1.3 Tujuan Penelitian

  1.3.1 Tujuan Umum

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan karakteristik responden, kualitas fisik rumah dan perilaku penghuni terhadap kejadian ISPA pasca bencana erupsi Gunung Sinabung di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Tiganderket, Karo, Sumatera Utara pada tahun 2015.

  1.3.2 Tujuan Khusus

  1) Untuk mengetahui karakteristik responden (umur, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan, pekerjaan dan alamat desa tempat tinggal) di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Tiganderket, Karo, Sumatera Utara pada tahun 2015.

  2) Untuk mengetahui kondisi fisik rumah (kondisi lantai, kondisi dinding, luas ventilasi, kelembaban kamar, suhu kamar, dan kepadatan hunian kamar) di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Tiganderket, Karo, Sumatera Utara pada tahun 2015.

  3) Untuk mengetahui perilaku penghuni (kebiasaan membersihkan rumah, kebiasaan menutup/membuka jendela, dan kebiasaan merokok) di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Tiganderket, Karo, Sumatera Utara pada tahun 2015.

  4) Untuk mengetahui hubungan karakteristik responden dengan kejadian ISPA pasca bencana erupsi Gunung Sinabung di wilayah kerja Puskesmas

  Kecamatan Tiganderket, Karo, Sumatera Utara pada tahun 2015. 5)

  Untuk mengetahui hubungan kondisi fisik rumah dengan kejadian ISPA pasca bencana erupsi Gunung Sinabung di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Tiganderket, Karo, Sumatera Utara pada tahun 2015. 6)

  Untuk mengetahui hubungan perilaku penghuni dengan kejadian ISPA pasca bencana erupsi Gunung Sinabung di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Tiganderket, Karo, Sumatera Utara pada tahun 2015.

1.4 Hipotesis Penelitian

  1) Ada hubungan karakteristik responden dengan kejadian ISPA di wilayah kerja puskesmas Kecamatan Tiganderket, Karo, Sumatera Utara pada tahun 2015.

  2) Ada hubungan kondisi fisik rumah dengan kejadian ISPA di wilayah kerja puskesmas Kecamatan Tiganderket, Karo, Sumatera Utara pada tahun

  2015.

  3) Ada hubungan perilaku penghuni dengan kejadian ISPA di wilayah kerja puskesmas Kecamatan Tiganderket, Karo, Sumatera Utara pada tahun

  2015.

1.5 Manfaat Penelitian

  1) Sebagai informasi bagi masyarakat dalam upaya menjaga sanitasi lingkungan guna mencegah dan mengurangi resiko terjadinya kejadian

  ISPA. 2)

  Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan dalam penentuan intervensi dari permasalahan kesehatan yang terjadi yang berhubungan dengan faktor lingkungan dan kejadian ISPA. 3)

  Sebagai sarana belajar bagi penulis dalam menerapkan pengetahuan yang telah didapat selama mengikuti pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 4)

  Sebagai bahan referensi bagi perpustakaan FKM USU dan peneliti selanjutnya.

Dokumen yang terkait

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pembuatan dan karakterisasi beton kedap suara dari serat tandan kosong kelapa sawit semen pc dan pasir

0 0 6

BAB II DASAR TEORI 5.1 Tinjauan Ringkas Organisasi - Perancangan Sistem Verifikasi Keanggotaan Dengan Kartu Cerdas Nirkontak Berbasis Arduino Mega 2560

0 0 13

KATA PENGANTAR - Perancangan Sistem Verifikasi Keanggotaan Dengan Kartu Cerdas Nirkontak Berbasis Arduino Mega 2560

0 2 14

I. Identitas Pekerja penyemprot - Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dengan Gejala Keracunan Pada Penyemprot Pestisida di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2015

0 0 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida 2.1.1 Pengertian Pestisida - Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dengan Gejala Keracunan Pada Penyemprot Pestisida di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2015

0 0 40

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dengan Gejala Keracunan Pada Penyemprot Pestisida di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2015

0 1 7

HUBUNGAN PEMAKAIAN ALAT PELINDUNG DIRI DENGAN GEJALA KERACUNAN PADA PENYEMPROT PESTISIDA DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT TANJUNG GARBUS PAGAR MERBAU PTPN II TAHUN 2015

0 2 16

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN - Evaluasi Rancangan Alat Pemipih Purun untuk Mengurangi Keluhan Muskuloskeletal Pengrajin (Kasus : Koperasi Serba Usaha Muara Baimbai)

0 6 8

Hubungan Kualitas Fisik Rumah Terhadap Kejadian ISPA Pasca Bencana Erupsi Gunung Sinabung Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Tiganderket Karo Sumatera Utara Pada Tahun 2015

0 0 59

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) 2.1.1 Definisi ISPA - Hubungan Kualitas Fisik Rumah Terhadap Kejadian ISPA Pasca Bencana Erupsi Gunung Sinabung Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Tiganderket Karo Sumatera Utara Pada Ta

0 1 13