Pengaruh Cara Pengolahan Tepung Ikan Dari Limbah Industri Pengolahan Ikan Nila Terhadap Energi Metabolisme Ayam Kampung
Ayam Kampung
Secara zoologis klasifikasi ayam kampung adalah Filum : Chordata, Sub Filum :Vertebrata, Kelas: Aves, Ordo: Galliformes, Famili: Phasianidae, Genus: Gallus-gallus, Species: Gallus-gallus domesticus. Ayam kampung adalah ayam yang jinak yang telah terbiasa hidup di tengah-tengah masyarakat yang padat penduduknya. Daya adaptasinya tinggi karena ayam ini mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi lingkungan dan iklim yang ada (Sarwono, 1997). Menurut Murtidjo (1994) di Indonesia ayam kampung merupakan salah satu jenis ternak yang telah tersebar luas di seluruh pelosok nusantara dan mempunyai peranan besar dalam mendukung perekonomian pedesaan. Jika dibandingkan dengan ternak lain ayam kampung memiliki kelebihan karena mempunyai kecepatan adaptasi terhadap lingkungan dan daya tahan terhadap penyakit juga relatif tinggi.
Hampir semua ayam kampung yang terdapat di Indonesia memiliki bentuk badan yang kompak dan baik sekali susunan otot-ototnya. Bentuk jari kakinya begitu panjang, tetapi kuat dan ramping, kukunya tajam, tinggi paha dan betisnya sedang tetapi kokoh. Semakin pesatnya perkembangan usaha ternak ayam ras sama sekali tidak menurunkan pamor produk ayam kampung di mata masyarakat sebagai konsumen (Rasyaf, 1992).
Ransum Ayam Kampung
Ransum adalah makanan yang terdiri dari satu atau lebih bahan makanan yang diberikan kepada ayam untuk kebutuhan sehari semalam. Suatu ransum dikatakan berkualitas apabila ransum ini mengandung semua zat gizi yang diperlukan oleh ayam. Untuk kelompok ayam yang umurnya tertentu diternakkan dengan tujuan tertentu akan membutuhkan ransum yang berbeda kandungan gizinya dengan ransum yang dibutuhkan pada sekelompok umur yang lain dengan tujuan yang lain pula (Aisyah dan Rahmat, 1989).
Ransum dimakan oleh ayam dalam bentuk tepung lengkap, butiran pecah dan dikunyah di dalam tubuhnya dan diubah dengan enzim-enzim pencernaan menjadi unsur gizi yang dibutuhkannya yaitu protein dan asam-asam amino, energi, vitamin dan mineral. Unsur-unsur gizi itulah yang kelak akan digunakan oleh ayam untuk kehidupan pokoknya dan untuk produksi. Oleh karena itu jelas bahwa baik atau buruknya produksinya sangat bergantung pada ransum yang dimakan ayam tersebut (Rasyaf, 1991). Kebutuhan gizi ayam kampung dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Kebutuhan Gizi Ayam Kampung Minggu 0-12 12-22 22 keatas Energi (%) 2600 2400 2400-2600 Protein (%) 15-17
14
14 Kalsium (%) 0,9 1,00 3,4 Phospor (%) 0,45 0,45 0,34 Methionin (%) 0,37 0,21 0,22-0,30 Lisin(%) 0,87 0,45 0,68
Sumber : Nawawi dan Norrohmah (1997)
Konsumsi pakan dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas ransum serta faktor-faktor lainnya seperti umur, palatabilitas, aktivitas ternak, tingkat produksi dan pengelolaannya. Konsumsi ternak ayam kampung dapat dilihat dari Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Kebutuhan Pakan Ayam Kampung Pedaging Umur (Minggu) Konsumsi (g/ekor/hari) Berat Badan (g)
1
5 41 180
Pada ayam kemampuan adaptasi saluran pencernaan berdasarkan atas fungsi fisiologis tergantung pada pasokan nutrisi yang diberikan pada periode perkembangan awal setelah menetas. Menurut Zhou et al. (1990), status nutrisi dan pola pemberian ransum dapat memodifikasi fungsi saluran pencernaan.
Saluran Pencernaan Ayam
Protein berguna untuk membentuk jaringan tubuh, memperbaiki jaringan yang rusak untuk keperluan berproduksi dan kelebihannya akan dibuah menjadi energi (Aisyah dan Rahmat, 1989). Menurut Nawawi dan Nurromah (1997) ayam kampung umur 0-4 minggu atau fase starter membutuhkan protein sekitar 19-20 %, umur 4-8 minggu atau fase grower I membutuhkan protein sekitar 18-19 %, umur 8-12 minggu atau fase grower II membutuhkan protein sekitar 16-18 %, umur 12-18 minggu membutuhkan protein sekitar 16-17 % dan umur 18-24 minggu membutuhkan protein sekitar 16-17 %.
Sumber a. Sudaryani dan Santosa (1995)
8 47 360 9 41-44 660 10 44-47 720 11 48-52 770 12 51-55 830
7 46 310
6 45 240
4 34 130
9
95
27
3
65
18
2
45
Ayam tidak mengeluarkan urine cair. Urine pada unggas mengalir ke dalam kloaka dan dikeluarkan bersama – sama feses. Warna putih yang terdapat dalam ekskreta ayam sebagian besar adalah asam urat, sedangkan nitrogen urine mamalia kebanyakan adalah urea. Saluran pencernaan yang relatif pendek pada unggas digambarkan pada proses pencernaan cepat (lebih kurang empat jam) (Anggorodi, 1985).
Kapasitas saluran pencernaan pada ayam periode awal dalam memanfaatkan nutrisi (asam amino dan gula) telah dilaporkan oleh Rovira et al. (1994). Pemberian protein atau asam amino dalam jumlah banyak dapat meningkatkan daya serap usus atau berakibat sebaliknya dengan pembatasan ransum. Kemampuan usus dalam memanfaatkan nutrisi ditentukan oleh perkembangan saluran percernaan secara fisiologis yang dilihat dari segi aktivitas enzim.
Meskipun aktivitas enzim pencernaan pada umumnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : Genetis, komposisi ransum dan intake (Nitsan et al., 1991). Intake lebih berpengaruh terhadap produksi dan aktivitas enzim pencernaan.
Pencernaan adalah penguraian makanan ke dalam zat - zat makanan dalam saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan tubuh (Anggorodi, 1985). Ayam merupakan ternak non ruminansia yang artinya ternak yang mempunyai lambung sederhana atau monogastrik. Pada umumnya bagian - bagian penting dari alat penceernaan adalah mulut, farinks, esofagus, lambung, usus halus dan usus besar. Makanan yang bergerak dari mulut sepanjang saluran pencernaan oleh gerakan peristaltik yang disebabkan karena adanya kontraksi otot di sekeliling saluran (Tillman et al., 1991).
Seperti kita ketahui bahwa ayam tidak mempunyai gigi geligi untuk mengunyah ransum sebagaimana ternak lainnya, namun punya paruh yang dapat melumatkan makanan. Oleh karena itu, daya cerna ayam terhadap ransumnya lebih rendah 10% dari pada ternak lain (Kartadisastra, 1994).
Pencernaan secara mekanik tidak terjadi di dalam mulut melainkan di
gizzard (empedal) dengan menggunakan batu - batu kecil atau grid yang sengaja
dimakan, lalu masuk ke dalam usus halus. Disini terjadi proses penyerapan pencernaan dengan menggunakan enzim - enzim pencernaan yang disekresikan oleh usus halus seperti cairan duodenum, empedu, pankreas dan usus. Di dalam usus besar terjadi proses pencernaan yang dilakukan oleh jasad renik yang berfungsi sebagai penghancur protein yang tidak dapat diserap oleh usus halus (proteolitik) (Tillman et al., 1991).
Didalam empedal bahan - bahan makanan mendapat proses pencernaan secara mekanis. Partikel - partikel yang besar secara mekanik akan diperkecil dengan tujuan memudahkan proses pencernaan enzimatis di dalam saluran pencernaan berikutnya. Untuk memudahkan proses pencernaan mekanis maupun enzimatis dalam mempersiapkan pakan banyak dilakukan dengan menggiling bahan - bahan pakan tersebut (Parakkasi, 1985).
Pencernaan Ransum
Daya cerna juga merupakan presentasi nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrisi yang dimakan dan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Nutrisi yang tidak terdapat dalam feses inilah yang diansumsikan sebagai nilai yang dicerna dan diserap. Anggorodi (1979) menyatakan bahwa pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu ransum adalah usaha menentukan jumlah nutrisi dari suatu ransum yang didegradasi dan diserp dalam saluran pencernaan.
Penentuan kecernaan/daya cerna dari suatu ransum dapat diketahui dimana harus dipahami terlebih dahulu dua hal penting yaitu : jumlah nutrien yang terdapat dalam ransum dan jumlah nutrien yang dapat dicerna da dapat diketahui bila ransum telah mengalami proses pencernaan (Tilman et al., 1991).
Tepung Ikan
Tepung ikan merupakan salah satu bahan baku sumber protein hewani dan mineral yang dibutuhkan dalam komposisi makanan ternak. Tepung ikan adalah produk berkadar air rendah yang diperoleh dari penggilingan ikan. Kandungan proteinnya relatif tinggi tersusun oleh asam-asam amino esensial yang kompleks (methionin dan lysin) dan mineral (Ca dan P,serta vitamin B12). Bahan yang digunakan yaitu ikan, dan biasanya berbagai jenis ikan laut dapat diolah menjadi tepung ikan, akan tetapi yang paling ekonomis adalah ikan-ikan kecil (rucah) yang kurang disukai untuk dikonsumsi dan harganya relatif murah (Boniran, 1999).
Tepung ikan merupakan bahan makanan ternak yang berkadar protein tinggi, mudah dicerna dan kaya akan asam amino essensial terutama lisin dan metionin sehingga dapat digunakan sebagai penutup kekurangan yang terdapat pada bii-bijian. Disamping itu tepung ikan kaya akan vitamin B, mineral dan kandungan lemak yang cukup juga merupakan sumbangan dalam memenuhi kebutuhan ternak akan energi (metabolis) dan juga vitamin yang larut dalam lemak yaitu vitamin A dan D (Sarwono, 1997).
Adapun penggunaan tepung ikan ini terdiri dari berbagai jenis yang beredar di pasaran. Tepung ikan yang beredar dipasaran disebut sebagai tepung ikan pabrik (komersil) yang telah mengalami pengolahan dan pencampuran dengan bahan lain. Namun ternyata tepung ikan tidak hanya bisa didapat dari pabrik, tepung ikan juga dapat diproduksi sendiri yang murni berasal dari limbah- limbah ikan (sempengan) yang tidak dipergunakan oleh manusia lagi dan bahkan kandungan proteinnya sendiri masih utuh dibanding tepung ikan produksi parbrik (Sunarya, 1998).
Kandungan nutrisi tepung ikan tertera pada tabel 3 berikut : Tabel. 3 Kandungan nutrisi tepung ikan
Uraian Kandungan Nutrisi
a
Protein Kasar (%) 526
a
Serat Kasar (%)
22
b
Lemak Kasar (%)
48
b
Kalsium (%) 665
b
Posfor (%) 359
b
Energi Metabolisme (kkal/kg) 2810 Sumber : NRC (1994).
Teknologi Pengolahan Tepung Ikan
Tepung ikan adalah suatu produk padat yang diperoleh dengan mengeluarkan sebagian air atau seluruh lemak dari ikan atau limbah (Martosubroto, 1985). Pengolahan tepung ikan pada prinsipnya adalah perubahan bentuk dari ikan utuh atau limbahnya menjadi bentuk tepung ikan. Sedangkan metode yang digunakan dapat dilakukan secara konvensional maupun sederhana (Erlina et al., 1985; Ilyas et al., 1985).
Teknologi Pengolahan tepung ikan yang dipilih dapat ditentukan berdasarkan ketersediaan bahan mentah yang akan diolah. Jika bahan mentah yang akan diolah dalam jumlah besar dan teratur pengadaannya, maka dapat digunakan cara konvensional yang lazim digunakan dalam industri tepung ikan. Sebaliknya jika bahan mentah tersedia dalam jumlah kecil dan tidak teratur pengadaannya maka dapat diolah menggunakan metode sederhana. Selain pemilihan teknologi pengolahan juga harus disesuaikan dengan jenis ikan yang akan diolah, karena ikan yang berkadar lemak tinggi lebih sulit mengolahnya daripada ikan yang berkadar lemak rendah. Pada pengolahan tepung ikan selain dihasilkan tepung ikan, juga didapat minyak ikan yang mempunyai nilai ekonomis cukup baik (Ilyas et al., 1985).
Pembuatan Tepung Ikan
Tepung ikan di pasaran berasal dari hasil olahan industri pabrik tepung ikan dan industri kecil yang keduanya berbeda baik secara pengolahan, peralatan maupun mutu produk. Pada industri kecil/rumah tepung ikan diolah dengan cara dan peralatan yang sederhana (Sunarya, 1998). Adapun prinsip dasar pengolahan tepung ikan adalah pengukusan, pengepresan, pengeringan dan penggilingan.
a.
Pengukusan
Bahan baku dikukus terlebih dahulu agar protein terkoagulasi sehingga air dan minyak dikeluarkan. Pengukusan merupakan tahap menetukan dalam pengolahan tepung ikan. Tingkat pengukusan harus tepat, sehingga seluruh bahan mentah akan menggumpal (terkoagulasi). Jika tidak terjadi penggumpalan total maka akan dihasilkan press cake dengan kadar air dan lemak yang masih tinggi. Akibatnya pemisahan menyak dari cairan juga sukar. Tujuan pengukusan agar terjadi proses denaturasi protein daging dan pemecahan sel-sel daging ikan sehingga air dan minyak mudah diperas keluar. Selain itu pengukusan dimaksudkan untuk menghambat kegiatan enzim dan pertumbuhan mikroba penyebab pembusukan (Departemen Pertanian, 1987).
b.
Pengepresan
Pengepresan dilakukan untuk memisahkan antara padatan dan cairan (air dan minyak). Pada pengepresan diperkirakan akan menurunkan kadar air menjadi 50 % dan kadar minyak 4-5%. Pada industri kecil/rumah tangga pengepresan dilakukan dengan cara dinjak-injak. Hal tersebut dapat mengakibatkan tepung ikan menjadi kotor dan pengeluaran air menjadi tidak sempurna serta mudah diserang serangga, jamur karena kadar air dan lemak masih tinggi. warna dan bau akan cepat berubah sehingga mutu tepung ikan cepat turun (Saleh, 1990).
c.
Pengeringan
Pengeringan bahan padatan yang didapat kemudian dikeringkan. Pada industri tepung ikan skala besar pengeringan dilakukan dengan dua cara yaitu pengeringan secara langsung dan tidak langsung. Pengeringan langsung dilakukan dengan cara preess cake kedalam ruangan yang dialiri udara panas 500
C. Keuntungan cara ini adalah cepat, namun panas yang berlebihan akan merusak kandungan nutrisi bila tidak dikontrol dengan baik. Cara pengeringan tidak langsung dengan memanaskan bahan yang dipres (pada conveyor) dalam silinder yang diselimuti uap panas, pengeringan dilakukan sampai kadar air mencapai 6-9%. sedangakan pada industri kecil, pengeringan dilakukan dengan sinar matahari (Sunarya, 1988). d.
Penggilingan Penggilingan dan penepungan bahan yang telah dikeringkan selanjutnya digiling dan ditepungkan dengan alat penepung dan dilakukan pengepakan ke dalam kantung plastik. Selama penggudangan dan distribusi mungkin terjadi proses oksidasi minyak (lemak) yang dapat berakibat terjadi ketengikan dan perubahan warna. Untuk mencegahnya dapat ditambahkan antioksidan misalnya ethoxyginin antara 200-1000 mg/kg tepung ikan (Saleh, 1990).
Silase Tepung Ikan
Silase ikan adalah ikan utuh atau sisa-sisa ikan yang diawetkan dalam kondisi asam dengan penambahan asam (silase kimia) atau dengan fermentasi (silase biologi), silase ikan ini dihasilkan dalam bentuk cair karena protein ikan dan jaringan struktur lainnya didegradasi menjadi unit larutan yang lebih kecil oleh enzim yang ada pada ikan (Kompiang, 1990).
Prinsip pembuatan silase adalah dengan menurunkan nilai pH (derajat keasaman) bahan yang diawetkan sedemikian rupa sehingga pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan perusak dapat dihambat/dimatikan (Windsor, 1974). Penurunan nilai pH tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara kimiawi dengan penambahan asam dan secara biologi dengan proses fermentasi dengan penambahan karbohidrat (Kompiang, 1985).
Pada hakekatnya prinsip pembuatan silase biologi sama dengan silase kimiawi, hanya saja asam yang digunakan sebagai bahan pengawet dihasilkan dalam proses fermentasi. Pada proses fermentasi tersebut diperlukan suatu bahan yang kaya akan karbohidrat sebagai sumber energi bagi pertumbuhan bakteri.
Pada pembuatan silase secara biologi bakteri-bakteri akan memfermentasikan gula sehingga terbentuk asam laktat yang dapat menurunkan nilai pH dan berfungsi sebagai bahan pengawet silase ikan tersebut (Kompiang, 1980).
Ikan dicincang Digiling Penambahan biokult plain (as.laktat), tetes tebu/dedak padi
Diaduk Dimasukkan kedalam kantong plastik (anaerob) Disimpan/difermentasi
Gambar 1. Proses pembuatan silase ikan secara biologi
Energi Bruto
Ternak umumnya memperoleh energi dari pakan yang dikonsumsi. Akan tetapi tidak semua energi pakan tersebut dapat digunakan oleh tubuh ternak.
Penggunaan energi pakan untuk tubuh unggas sangat penting untuk diketahui terutama untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan tujuan pemeliharaan. Hal ini lebih penting lagi karena tidak semua bahan pakan yang mempunyai energi bruto yang sama mempunyai daya guna yang sama (Wahju, 1985).
Energi dibutuhkan oleh semua ternak hampir dalam semua proses kehidupan, didalam proses metabolisme antara lain mengatur tekanan darah, tekanan jantung, penyerapan dan ekskresi serta sintesis komponen tubuh (Parakkasi, 1983). Nilai energi pakan dapat dinyatakan dalam bentuk energi bruto, energi dapat dicerna, energi metabolis, dan energi netto (NRC, 1994). Energi bruto adalah jumlah panas yang dilepaskan jika suatu zat mengalami suatu oksidasi sempurna menjadi CO dan air. Menurut Blakely dan Bade (1991),
2
energi bruto merupakan kandungan seluruh energi yang terdapat dalam bahan pakan atau ransum yang tidak seluruhnya dipergunakan oleh tubuh.
Energi Metabolisme
Energi berasal dari dua kata Yunani yaitu : En yang berarti dalam, dan
Ergon yang berarti kerja. Energi yang terdapat dalam bahan makanan tidak
seluruhnya digunakan oleh tubuh. Untuk setiap bahan makanan minimal ada 4 nilai energi yaitu energi bruto (gross energy atau combustible energi), energi dapat dicerna, energi metabolisme dan energi neto (Wahju, 1997). Metabolisme merupakan keseluruhan proses perubahan kimiawi yang dikendalikan oleh enzim yang terjadi dalam sel, organ atau organisme yang bertujuan mensintesis makro molekul dalam bahan makanan untuk melaksanakan suatu fungsi tertentu dalam sel (Rifai et al., 1990), untuk produksi energi, kemudian sebagian disimpan dan sisanya dibuang sebagai limbah kotoran (Stauffer, 1989).
Energi metabolisme adalah perbedaan antara kandungan energi bruto pakan suatu ransum dengan dengan energi bruto yang dikeluarkan melalui ekskreta (Sibbald, 1980). Energi metabolis adalah energi yang dapat dimanfaatkan oleh unggas (Blakely dan Bade 1991). Nilai energi metabolis antara lain dipengaruhi oleh kandungan energi bruto dalam pakan atau ransum, jumlah ransum yang dikonsumsi, dan jenis ternak (Storey dan Allen, 1982). Energi metabolis juga dipengaruhi oleh kemampuan ternak untuk memetabolis ransum atau bahan pakan didalam tubuhnya (Sibbald, 1980). Energi neto adalah energi yang dapat dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi tubuh (Blakely dan Bade, 1991).
Proses pencernaan dan metabolisme di dalam tubuh ternak akan mengolah sebagian senyawa kimia yang masuk menembus dinding usus menjadi energi yang tersedia, yang kemudian akan digunakan untuk berbagai keperluan baik untuk hidup pokok, aktivitas maupun untuk menghasilkan produk (Amrullah, 2003). Gas yang dihasilkan oleh ternak unggas biasanya diabaikan sehingga energi metabolisme merupakan energi bruto bahan pakan atau ransum dikurangi dengan energi bruto feses dan urin (NRC, 1994). Banyaknya feses tergantung pada kuantitas bahan yang tidak tercerna seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin (Anggorodi, 1985).
Penentuan kandungan energi metabolisme bahan makanan secara biologis dilakukan pertama kali oleh Hill et al. (1960). Metode Hill pada dasarnya mengukur konsumsi energi dengan energi ekskreta. Metode ini menggunakan Cr
2 O 3 sebagai indikator. Selain itu, metode ini menampilkan prinsip penentuan
energi metabolisme melalui substitusi glukosa dalam ransum basal yang diketahui energi metabolismenya dengan bahan yang akan diuji dalam proporsi tertentu.
Sibbald dan Slinger (1963); Valdes dan Leeson (1992) mengembangkan metode substitusi dengan suatu rumus turunan untuk menghitung energi metabolisme bahan pakan dalam ransum perlakuan. Sibbald (1976) mengembangkan metode baru dalam menentukan energi bruto bahan pakan dengan mengukur energi bruto feses dan energi bruto endogenous. Metode ini dapat mengetahui nilai energi metabolisme murni (EMM), yaitu energi metabolisme yang sudah dikoreksi dengan energi endogenous. Akan tetapi metode ini mengandung unsur pemberian makanan secara paksa.
Parsons et al. (1984) menyatakan bahwa metode Sibbald mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya beberapa bahan pakan/ransum mungkin sulit dimasukkan secara paksa. McNab (2000) menambahkan bahwa metode ini dapat menimbulkan stres pada ternak. Akan tetapi, kelebihan dari metode Sibbald diantaranya adalah jumlah bahan makanan uji yang dibutuhkan sedikit, melibatkan sedikit analisis kimia, waktu singkat dan biaya yang murah (Farrel, 1978). Metode Farrell lebih memperhatikan kesejahteraan hewan karena tidak ada unsur pemaksaan. Ayam yang digunakan juga tidak memerlukan pemulihan kondisi. Melatih ayam untuk makan terus menerus dalam waktu satu jam dan pembuatan pellet dalam jumlah besar merupakan pembatas metode Farrell. Pelleting ransum juga akan mempengaruhi nilai energi metabolisme ransum tersebut (McNab, 2000).
Jumlah energi yang dapat dimanfaatkan sewaktu ransum masuk ke tubuh unggas bergantung pada komposisi bahan makanan dan zat makanan dalam ransum, spesies, faktor genetis, umur unggas, juga kondisi lingkungan (Amrullah, 2003).
Daya cerna suatu bahan pakan dipengaruhi oleh kandungan serat kasar, keseimbangan zat - zat makanan dan faktor ternak (bobot badan) yang selanjutnya akan mempengaruhi nilai energi metabolisme suatu bahan pakan. Hal ini didukung oleh pernyataan Mc. Donald et al, (1994) bahwa rendahnya daya cerna terhadap suatu bahan pakan mengakibatkan banyaknya energi yang hilang dalam bentuk ekskreta sehingga nilai energi metabolisme menjadi rendah.
Menurut Sibbald (1979), energi metabolisme semu (EMS) merupakan perbedaan antara energi ransum dengan energi feses dan urin, dimana pada unggas feses dan urin bercampur menjadi satu dan disebut ekskreta. Energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn) biasanya paling banyak digunakan untuk memperkirakan nilai energi metabolisme. EMSn berbeda dengan EMS karena EMSn telah dikoreksi oleh retensi nitrogen (RN) dimana RN bisa bernilai positif atau negatif. Energi metabolisme murni (EMM) merupakan EM yang dikoreksi dengan energi endogenous. Energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen (EMMn) memiliki hubungan yang sama dengan EMM seperti halnya EMSn terhadap EMS. Menurut Sibbald dan Wolynetz (1985) energi metabolisme dapat dinyatakan dengan empat peubah, yaitu EMS, EMSn, EMM dan EMMn.
Retensi Nitogen
Retensi nitrogen adalah sejumlah nitrogen dalam protein ransum yang masuk ke dalam tubuh kemudian diserap dan digunakan oleh ternak (Sibbald dan Wolynetz, 1985). Retensi nitrogen itu sendiri merupakan hasil konsumsi nitrogen yang dikurangi ekskresi nitrogen dan nitrogen endogenous.
Sibbald (1980) menyatakan bahwa nitrogen endogenous ialah nitrogen yang terkandung dalam ekskreta yang berasal dari selain bahan pakan yang terdiri dari peluruhan sel mukosa usus, empedu dan peluruhan sel saluran pencernaan. Genetik, umur dan bahan pakan merupakan faktor yang mempengaruhi retensi nitrogen karena tidak semua protein yang masuk kedalam tubuh dapat diretensi (Wahju, 1997).
Selain itu menurut NRC (1994), nilai retensi nitrogen berbeda untuk setiap jenis ternak, umur dan faktor genetik. Banyaknya nitrogen yang diretensi dalam tubuh ternak akan mengakibatkan ekskreta mengandung sedikit nitrogen urin dan energi dibandingkan dengan ternak yang tidak meretensi nitrogen.
Pengukuran retensi nitrogen ransum bertujuan untuk mengetahui nilai kecernaan protein ransum. Retensi nitrogen dapat bernilai positif atau negatif tergantung pada konsumsi nitrogen. Ewing (1963) menyatakan bahwa retensi nitrogen yang menurun dengan meningkatnya protein ransum mungkin disebabkan sebagian kecil digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi. Hal ini menunjukkan pentingnya energi yang cukup dalam ransum jika ayam digunakan untuk mengevaluasi kualitas protein berdasarkan keseimbangan protein. Retensi nitrogen akan negatif apabila nitrogen yang dikeluarkan melebihi konsumsi nitrogen, sebaliknya retensi nitrogen akan positif apabila nitrogen yang dikonsumsi melebihi nitrogen yang dikeluarkan melalui ekskreta (Parakkasi, 1985).