PENERAPAN TINDAK PIDANA RINGAN KASUS (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS)

  Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran) Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H.

  Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UNA, Kisaran Sumatera Utara

  Abstrak : PENERAPAN TINDAK PIDANA RINGAN KASUS (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS) dengan rumusan masalah yaitu 1.

  Bagaimana Gambaran Umum Tindak Pidana Ringan? 2. Bagaiamana Penerapan Tindak Pidana Ringan Kasus Perusakan Barang (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS)? Oleh karena itu pendekatan yang digunakan terhadap masalah ini tidak dapat terlepas dari pendekatan yang beroriaentasi pada kebijakan.Pendekatan kebijakan mencakup pengertian pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan rasional, pendekatan ekonomis dan pragmatis serta pendekatan yang berorientasi pada nilai. Hakim berpatokan kepada pasal 406 KUHP Perusakan barang. Sehingga dalam halini pihak Pengadu merasa keberatan dengan putusan hakim kepada Dani Hendrawan Panjaitan yang tidak memberikan keadilan bagi pihak pengadu. Sehingga pihak pengadu mengajukan Banding serta kasasi namun tetap memakai dan memperkuat Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/PID.B/2013/PN.KIS.

  Kata Kunci : Penerapan, Tindak Pidana Ringan, Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran) Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS

  PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Hakikat hukum pidana telah dikenal bersamaan dengan manusia mulai mengenal hukum; walaupun pada saat itu belum dikenal pembagian bidang- bidang hukum dan sifatnya juga masih tidak tertulis. Adanya peraturan-peraturan, adanya perbuatan-perbuatan seperti itu, dan adanya tindakan dari masyarakat terhadap pelaku dari perbuatan-perbuatan sedemikian, merupakan awal lahirnya hukum pidana dalam masyarakat yang bersangkutan.

  Hukum pidana yang berlaku sekarang ini ialah hukum tertulis yang telah dikodifikasikan. Peraturan-peraturan hukum pidana ini tersebar dimana-mana sebab tiap-tiap badan legislatif dan tiap-tiap orang yang diserahi tugas untuk menjalankan undang-undang, berhak membuat peraturan pidana, yaitu peraturan- peraturan yang mengandung ancaman-ancaman hukuman berupa penderitaan terhadap oknum yang melanggar.

  Sementara itu selain pidana penjara ada juga pidana denda yang didalam KUHP pidana denda juga merupakan pidana pokok. Akan tetapi, pidana denda sepertinya kurang diminati para hakim di Indonesia. Kenyataannya pidana denda dalam putusan pidana sudah jarang sekali diterapkan di Pengadilan Kisaran dan mungkin di pengadilan-pengadilan lain di Indonesia. Apalagi pidana penjara, masih menjadi primadona bagi penegak hukum yang bertujuan untuk menimbulkan efek jera pada pelaku. Paradigma menghukum itu juga berlaku bagi pembentuk undang-undang.

  Dalam Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri diatur tindak pidana yang diperiksa dengan pemeriksaan pidana ringan adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling

  1

  lama tiga bulan dan atau denda Rp 7.500. Penurunan nilai mata uang itu mengakibatkan penegak hukum enggan menuntut dan menjatuhkan pidana denda.

  Pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Rigan dan Jumlah Denda dalam

  1M.Karjadi & R. Soesilo.1997Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), KUHP, pada dasarnya harus dilihat dalam lingkungan Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini haruslah dilihat, PERMA Nomor 2 Tahun 2012 haruslah memberikan rasa keadilan pada masyarakat dan tentunya untuk menjawab hal ini, maka waktulah yang akan membuktikan Penerapan berlakunya PERMA Nomor 2 Tahun 2012 ini. Hal ini dikarenakan selain adanya sikap yang pro terhadap kelahiran Perma ini, juga muncul kelompok yang kontra akan kehadiran Perma ini dalam lingkungan penegakan hukum di negeri ini. Pandangan yang kontra akan kelahiran Perma ini dasarnya berasal dari pemahaman akan menjamurnya tindak pidana yang nilai kerugiannya di bawah Rp.2.500.000.

  Begitu pula dengan pengkategorian suatu tindak pidana, para ahli hukum pidana mungkin hanya berbicara sekitar pembagiannya, penerapan sanksinya, dan pelaksanaanya. Hal ini sangatlah berbeda dengan materi yang selalu dibicarakan para ahli hukum dalam filsafat pemidanaan yang selalu mengkaji tentang ide ide dasar pemidanaan yang menjernihkan pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai tanggungjawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada negara berdasarkan atas hukum untuk melakukan pemidanaan.

1.2. Metode Penelitian

  Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka tipe penelitian adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis permasalahan yang dikemukakan. Penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan. Materi Penelitian diperoleh melalui pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik hukum primer maupun hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang- undangan yang berlaku,literature,karya ilmiah dan pendapat para ahli dan lain sebagainya. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal,

  

2

perbandingan hukum dan sejarah hukum.

HASIL DAN PEMBAHASAN

  

2.1. Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri

Kisaran) Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS

  Melihat tahapan-tahapan dalam memutuskan seseorang telah melakukan tindak pidana sudah sangat jelas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan adanya penggolongan/jenis acara pemeriksaan yang berbeda-beda disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang disangkakan oleh para pelaku tindak pidana. Tahapan yang dimulai dari dari Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, Hakim Pengadilan Negeri, dan yang terakhir adalah Mahkamah Agung.

  Dalam sebuah perkara pidana ada yang dinamakan pemeriksaan cepat dan pemeriksaan biasa. Seperti tindak pidana pengerusakan sangat jelas pasal 406 KUHP bukan tindak pidana ringan dengan demikian acara yang digunakan oleh para penegak hukum adalah acara pemeriksaan biasa, sedangkan pasal 407 merupakan tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya adalah 3 bulan penjara dengan demikian harus diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat.

  Dalam setiap perkara pidana pengerusakan ini barang bukti yang menjadi dasar Jaksa mendakwa dan menuntut Terdakwa adalah 1 (satu) buah palang yang dinyatakan telah rusak dalam artian tidak dapat dipergunakan lagi, hal mana barang bukti tersebut telah diperiksa terlebih dahulu oleh aparat kepolisian selaku penyelidik dan penyidik , oleh Jaksa maka dinyatakan oleh surat dakwaan berdasarkan pasal dari apa yang diterima dari penyidik. Setelah itu barulah berkas tersebut dilimpahkan ke Pengadilan dan oleh Pengadilan menentukan perkara tersebut untuk disidangkan sesuai dengan acara pemeriksaan sesuai dengan pasal yang didakwakan Jaksa.

  Namun dalam perkara pengerusakan ini alat bukti yang palang yang telah 2 dinyatakan dalam surat dakwaan Jaksa ternyata terbukti belum dapat dinyatakan

  Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, ( Jakarta : Rajawali rusak/tidak dapat dipergunakan lagi dengan demikian maka nilai kerugian yang dinyatakan Jaksa didalam surat dakwaanya yaitu Rp. 3.000.000,-(tiga juta rupiah) secara otomatis dinyatakan kabur, sementara Jaksa hanya mendakwa terdakwa dengan pasal tunggal yaitu 406 dengan demikian menjadikan hakim yang memeriksa perkara ini menjadi sulit dalam hal manjatuhkan putusan.

  Dalam peritimbangan hakim jelas disebutkan bahwa palang tersebut terbukti masih dapat dipergunakan lagi, disebabkan bahwa dalam perkara ini terdakwa dinyatakan melakukan pengerusakan tersebut dengan cara menabrak palang besi tersebut dengan mempergunakan 1 (satu) unit mobil dengan cara mundur sehingga pipa besi tersebut patah. Hal tersebut membuat penasihat hukum terdakwa menjadi sedikit curiga dengan isi dakwaan tersebut sehingga mencoba untuk memastikan kebenaran barang bukti tersebut dengan sebuah foto dan terbuktilah bahwa palang yang dikatakan patah tersebut tidak terbukti akan tetapi palang tersebut hanya bengkok saja dan masih dapat diperbaiki lagi hal tersebut disampaikan dalam eksepsinya. Namum Hakim tidak menanggapi eksepsi tersebut dimana Penasehat Hukum Terdakwa meminta Hakim untuk melakukan putusan sela atas perkara ini untuk menolak/tidak menerima dakwaan Jaksa .

  Setelah Hakim melanjutkan agenda persidangan ketahapan berikutnya walaupun terkesan dipaksakan namun sungguh hal yang harus sangat dimengerti melihat tindakan hakim dalam hal ini, walaupun sebenarnya sudah terjadi kesalahan dalam proses acara pemeriksaan yang sebaiknya putusan sela merupakan langkah yang tepat, namun kalau kita perhatikan tidak mungkin dalam memeriksa dan memutus suatu perkara itu hanya dibebankan kepada lembaga peradilan semata, karena tidak mungkin Hakim berdasarkan perintah dari ketua Pengadilan yang awalnya memeriksa perkara ini dengan acara pemeriksaan biasa berubah menjadi acara pemeriksaan cepat sungguh sangat mencoreng sistem peradilan pidana di Indonesia.

  Kemudian menyangkut dengan putusan dalam pertimbangannya Hakim menyadari bahwa PERMA Nomor 2 Tahun 2012 yang pada pledoi dan juga sebelumnya dalam eksepsi sudah dinyatakan oleh Penasehat Hukum Terdakwa bahwa pemeriksaan dalam perkara ini haruslah menggunakan acara pemeriksaan cepat yang diatur dalam pasal 205-210 KUHAP.

  Bewijskracht dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing-masing

  alat bukti dalam rangkain penilaian terbuktinya suatu dakawaan.Penilaian tersebut merupakan otoritas hakim. Hakimlah yang menilai dan menentukan kesesuaian alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian juga terletak pada bukti yang diajukan, apakah bukti tersebut relevan atau tidak dengan perkara yang sedang disidangkan.Jika bukti tersebut relevan, kekuatan pembuktian selanjutnya mengarah pada apakah bukti tersebut dapat diterima atau

  3 tidak.

  Yang menarik adalah mungkin menjadi hal pembenaran atau bahkan pembelaan dari Majelis Hakim buat lembaga pengadilan yang dalam peritimbangannya menyatakan kebenaran PERMA Nomor 2 Tahun 2012 ayat 1 yang menyebutkan pasal-pasal yang harus dilihat nilai kerugian/barang yang menjadi objek perkara dimana Ketua Pengadilan wajib memperhatikannya. Namun dalam pasal 2 ayat 1 hal itu haruslah terlebih dahulu diperhatikan oleh Penuntut Umum (Kejaksaan) karena suatu perkara itu adalah hasil dari pelimpahan dari Penuntut Umum. Jadi dalam hal ini Majelis Hakim semata-mata menolak letak kesalahan dalam menetapkan proses acara pemeriksaan sepenuhnya diemban oleh Pengadilan dalam hal ini adalah tugas dari Ketua Pengadilan. Penulis dapat memaklumi hal tersebut mengingat tugas-tugas dari para Hakim yang begitu banyak dan melihat tahapan-tahapan pelimpahan suatu perkara itu sendiri diamana seharusnya mulai dari Kepolisian dan Kejaksaan haruslah bekerja sama guna menyaring pidana sehingga memudahkan Hakim untuk memutuskan suatu perkara pidana maupun perkara lainnya.

  Dalam perkara pidana, pembuktian selalu penting dan krusial.Terkadang dalam menangani suatu kasus, saksi-saksi, para korban dan pelaku diam dalam pengertian tidak mau memberikan keterangan sehingga membuat pembuktian menjadi hal yang penting.Pembuktian memberikan landasan dan argument yang kuat kepada Penuntut Umum untuk mengajukan tuntutan.Pembuktian dipandang sebagai suatu yang tidak memihak, objektif, dan memberikan informasi kepada hakim untuk mengambil kesimpulan suatu kasus yang sedang disidangkan.Terlebih dalam perkara pidana, pembuktian sangatlah sesnsial karena

  4 yang dicari dalam perkara pidana adalah kebenaran materiil.

  Banyaknya perkara-perkara tersebut yang masuk ke Pengadilan juga telah membebani Pengadilan, baik dari segi anggaran maupun dari segi persepsi publik terhadap pengadilan. Umumnya masyarakat tidak memahami bagaimana proses jalannya perkara pidana samapi bisa masuk ke Pengadilan, pihak-pihak mana saja yang memiliki kewenangan dalam setiap tahapan, dan mayarakat pun umumnya hanya mengetahui ada tidaknya suatu perkara pidana hanya pada saat perkara tersebut disidangkan di Pengadilan. Dan oleh karena sudah sampai tahap persidangan di Pengadilan sorotan masyarakat kemudian hanya tertuju ke Pengadilan dan menuntut agar pengadilan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.Hal ini sungguh harus menjadi perhatian bagi pemerintah guna menciptakan Efisiensi dan pemerataan fungsi dari setiap lembaga penegakan hukum.

  Peranan Hakim tidak kalah dibanding dengan Jaksa Penuntut Umum, bahkan dapat dikatakan bahwa peranan Hakim justru lebih penting dan sangat berat sebab Hakimlah yang senantiasa mengatur tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam proses persidangan, termasuk didalamnya mangatur kelancaran dan ketertiban sidang. Dengan kata lain keseluruhan dari tahapan proses adalah di bawah tanggungjawab dan kepemimpinan Hakim, termasuk diantaranya melahirkan apa yang disebut dengan putusan yang kemudian kita sebut sebagai

  5

out put Pengadilan. Dari semua pertimbangan Hakim tersebut maka Majelis

  Hakim memutuskan perkara tersebut dengan mempidana Terdakwa dengan 2 bulan kurungan yang mana dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum memohon kepada Hakim untuk mempidana 4 bulan kurungan. Akan tetapi Penulis dalam hal ini kurang sepakat dengan isi putusan dalam perkara ini, walaupun pada pasal 6 dalam Nota Kesepakatan Bersama Tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian 4 Ibid, h, 96.

5 Rusli Muhammad. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta 2011, h,

  Batasan Tindak Pidana Ringang Dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif dise butkan tentang pemidanaan “bagi pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi pidana penjara atau denda” dan “ pidana denda

  6

  dengan kata lain yang dimaksud dapat diganti dengan pidana kurungan” walaupun dengan adanya nota kesepakatan ini yang masih memberikan pilihan kepada para hakim untuk memutus suatu perkara dalam tindak pidana ringan.

  Akan tetapi seharusnya Hakim harus mengingat bahwa dalam hukuman/pidana pokok yang tertulis dalam KUHP pasal 10, selain hukuman kurungan masih ada lagi hukuman-hukuman yang mungkin sangat layak dan pantas diterima Terdakwa yaitu hukuman denda dan dengan berdasarkan pasal 41 KUHP yang sangat bisa menambah keyakinan Hakim untuk memutus perkara ini dengan hukuman denda berdasarkan fakta persidangan bahwa barang bukti yang menjadi objek perkara ini adalah palang yang awalnya didalam dakwaan Jaksa menyatakan bahwa palang tersebut telah rusak dalam arti (tidak bisa dipergunakan lagi) namun kenyataannya setelah memasuki proses pembuktian di persidangan palang tersebut hanya bengkok dan masih dapat diperbaiki lagi, dan setelah itu barang tersebut dikembalikan lagi kepada PTPN III Huta Padang. Sehingga dari kenyataan di persidangan tersebut nyatalah bahwa kerugian yang diakibatkan karena perbuatan terdakwa tidak sebegitu besar dan fatal sehingga lebih tepat apabila terdakwa dari awal sudah harus diperiksa dengan proses acara pemeriksaan cepat mulai Kepolisian (penyidik), Kejaksaan (penuntut) sudah harus terlebih dahulu menyadari akan hal itu berdasarkan PERMA Nomor 2 Tahun 2012. Apabila Majelis Hakim memutuskan perkara ini dengan hukuman denda mungkin akan lebih baik bila dihubungkan dengan pertimbangan Hakim itu sendiri dan mengingat tujuan dari PERMA Nomor 2 Tahun 2012 yaitu untuk mengefektifkan pidana denda .

   PENUTUP

3.1 Kesimpulan

6 Nota Kesepatakan bersama, Tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan

  

Tindak Pidana Ringan dan Jumblah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan

  1. Gambaran umum tindak pidana ringan yang telah diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 atau disebut dengan Peraturan Hukum Pidana. Serta terkodifikasi menjadi Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diberlakukan bagi seluruh Warga Negara Indonesia sebagai aturan hukum positif. Tindak pidana ringan diatur didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 205 Ayat 1 KUHP dikatakan bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500.

2. Penerapan Tindak Pidana Ringan Kasus Perusakan Barang (Studi Putusan

  Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS) yang dilakukan proses hukumnya pada Pengadilan Negeri Kisaran Atas Nama Dani Hendrawan Panjaitan dalam kasus perusakan barang. Dani Hendrawan Panjaitan terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perusakan berdasarkan amar putusan hakim. Dani Hendrawan Panjaitan divonis hukum 3 bulan penjara dan tidak perlu ditahan. Serta hakim dalam memberikan pertimbangannya tidak memakai alternative PERMA No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan terhadap Dani Hendrawan Panjaitan sebagai ganti kerugian atas perusakan barang yang dilakukan oleh Dani Hendrawan Panjaitan. Hakim berpatokan kepada pasal 406 KUHP Perusakan barang. Sehingga dalam halini pihak Pengadu merasa keberatan dengan putusan hakim kepada Dani Hendrawan Panjaitan yang tidak memberikan keadilan bagi pihak pengadu. Sehingga pihak pengadu mengajukan Banding serta kasasi namun tetap memakai dan memperkuat Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/PID.B/2013/PN.KIS.

3.2 Saran 1.

  Bahwa gambaran umum ketentuan Tindak Pidana Ringan yang diatur dalam KUHP hingga saat ini tidaklah sesuai lagi dengan Hukum Positif di Indonesia. Perlu adanya pengaturan lebih jelas lagi tentang Tindak Pidana

  Pidana Ringan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung sebagai tindak lanjut untuk mengatasi Proses Peradilan cepat dalam lingkungan peradilan umum tidaklah dijalankan sebagai mana mestinya. Perlu adanya Undang- Undang Khusus yang dibuat oleh Pemerintah untuk mengatur tentang Tindak Pidana Ringan.

2. Bahwa Penerapan Tindak Pidana Ringan Kasus Perusakan Barang (Studi

  Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.KIS belum memberikan rasa keadilan bagi Pihak yang dirugikan dengan memberikan keuntungan kepada pihak lain. Hal ini tidak sesuai dengan rasa keadilan yang terjadi pada Kasus Perusakan barangyang di Putus di Pengadilan Negeri Kisaran. Hakim sebagai memutus suatu perkara harus dapat memandang, mengingat dan menimbang secara matang dan adil dalam memutuskan suatu perkara.

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU

  Karjadi M & Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan Resmi Dan Komentar Serta Peraturan Pemerintah R.I No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaannya, (Bogor: POLITEIA)

  1 M.Karjadi & R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) , Bogor, Politea, 1997, Pasal. 205.

  Soekanto Soerjono & Purbacaraka Purnadi, Sendi-Sendi Ilmu Hukum Tata Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993)

  2 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, ( Jakarta : Rajawali Press, 1995), hlm. 13.

  3 Ibid, h, 25.

  4 Ibid , h, 96.

  5 Rusli Muhammad. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta 2011, h, 57.

  6 Nota Kesepatakan bersama, Tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumblah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif,

Pasal 6 Ayat 1 dan 2. B. Peraturan Perundang-undangan Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang No.16 Tahun 1960 Tentang Beberapa Perubahan atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. RUU KUHP 2010 (Revisi Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) Tahun 1945 Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II (Tahun 1946) No.7. Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II (Tahun 1946) No.9.

  Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang- Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan L. N. No. 82 Tahun 2011.

  Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Indonesia, L. N. No. 76 Tahun 1981

Dokumen yang terkait

SISTEM PEMBAGIAN HASIL PADA USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KABUPATEN KUPANG (STUDI KASUS DESA RETRAEN KECAMATAN AMARASI) SYSTEMS DIVISION RESULTS BUSINESS FATTENING IN THE DISTRICT KUPANG (CASE STUDY VILLAGE RETRAEN DISTRICT OF AMARASI) Nelson Hasdy Kario

0 0 8

POLA KONSUMSI DAN ESTIMASI PERMINTAAN DAGING AYAM RAS (BROILER) PADA TINGKAT RUMAH TANGGA DI JAWA TIMUR: PENERAPAN MODEL QUADRATIC ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (QUAIDS) CONSUMPTION AND DEMAND ESTIMATION OF BROILER CHICKEN AT HOUSEHOLD LEVEL IN EAST JAVA: IM

1 2 10

PENGARUH ATMOPHERICS STIMULI TERHADAP MINAT BELI KONSUMEN BUAH-BUAHAN (STUDI KASUS DI ISTANA BUAH BLIMBING, MALANG) THE INFLUENCE OF ATMOSPHERICS STIMULI TOWARDS THE FRUIT CONSUMER PURCHASE INTENTION (CASE STUDY IN ISTANA BUAH BLIMBING, MALANG) Elizabeth

0 0 9

PENERAPAN BERBAGAI SUMBER BAHAN BAKAR DAN KONSENTRASI GARAM PADA PENGASAPAN IKAN LAYANG

0 0 10

PEMAHAMAN METODE NUMERIK MENGGUNAKAN PEMPROGRMAN MATLAB (Studi Kasus : Metode Secant) Melda panjaitan STMIK Budi Darma, Jln.SM.Raja No.338 Sp.Limun, Medan Sumatera Utara Jurusan Teknik Informatika e-mail : meldapjt.78gmail.com Abstrak - PEMAHAMAN METODE N

2 3 6

PEMAHAMAN METODE NUMERIK (STUDI KASUS METODE NEW-RHAPSON) MENGGUNAKAN PEMPROGRMAN MATLAB Siti Nurhabibah Hutagalung STMIK Budi Darma, Jln.SM.Raja No.338 Sp.Limun, Medan Sumatera Utara Jurusan Teknik Informatika e-mail : siti_nurhabibah69yahoo.com Abstrak

0 0 7

IMPLEMENTASI KRIPTOGRAFI VIGENERE CIPHER DENGAN PHP Muhammad Dedi Irawan Program Studi Teknik Informatika, Universitas Asahan, Jl. Jend. Ahmad Yani Kisaran 21244, Sumatera Utara, Telp : (0623) 347222 Abstrak - IMPLEMENTASI KRIPTOGRAFI VIGENERE CIPHER DENG

0 2 12

IMPLEMENTASI KRIPTOGRAFI RSA DENGAN PHP Muhammad Yasin Simargolang Program Studi Teknik Informatika, Universitas Asahan, Jl. Jend. Ahmad Yani Kisaran 21244, Sumatera Utara, Telp : (0623) 347222 Abstrak - IMPLEMENTASI KRIPTOGRAFI RSA DENGAN PHP

0 1 11

TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 SERTA PUTUSAN HAKIM DI PENGADILAN NEGERI KISARAN

0 0 9

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDIDIK ATAS KEKERASAN YANG DILAKUKAN TERHADAP PESERTA DIDIK

0 0 20