BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Determinan Kinerja Petugas Surveilans Demam Berdarah Dengue di Kota Pematang Siantar Tahun 2013

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

  

Organization (WHO) menyatakan bahwa DBD sebagai penyebab utama kesakitan

  dan kematian anak di Asia Tenggara. Diperkirakan bahwa setiap tahun terdapat sekitar 50 – 100 juta kasus DBD, dan sebanyak 500.000 diantaranya memerlukan perawatan di rumah sakit. Jumlah kasus DBD di Indonesia sebanyak 57% dari total kasus di Asia Tenggara, selanjutnya diikuti oleh Thailand 23%, kemudian Srilangka, Myanmar dan India masing-masing 6% (WHO,2009).

  Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus

  dengue , yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus,

  tetapi yang paling berperan adalah Aedes aegypti karena hidupnya di dalam rumah dan sekitar rumah. Virus dengue merupakan bagian dari flaviviridae dan dapat diklasifikasikan dalam empat serotipe yaitu serotipe Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3 dan Dengue-4, dan paling sering menyebabkan kasus-kasus berat dan menyebabkan kematian adalah sterotipe Dengue-3 (Depkes RI, 2007).

  Sejak pertama ditemukan penyakit DBD di Indonesia yaitu Kota Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, jumlah kasus cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas, sehingga pada tahun 1994 DBD telah tersebar ke seluruh Propinsi di Indonesia. Pada tahun 1968 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 58 kasus dengan jumlah kematian 24 orang (CFR sebesar 41,37%), sedangkan dalam lima tahun terakhir (2002-2006) jumlah rata-rata kasus dilaporkan sebanyak 40.854 kasus dengan rata-rata kematian 701 orang (CFR 1,72%) setiap tahunnya. Pada tahun yang sama, setiap 100.000 penduduk 20-21 orang diantaranya penderita DBD dan setiap 100 penderita, rata-rata yang meninggal sebanyak 1-2 orang (Depkes RI, 2006).

  Kejadian luar biasa (KLB) DBD masih sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Pada tahun 1998 terjadi KLB dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang dan merupakan wabah terbesar sejak kasus DBD pertama kali ditemukan di Indonesia dengan 1.411 kematian atau case fatality rate (CFR) 1,956%. Pada KLB tahun 2004, sejak Januari sampai dengan April 2004 jumlah penderita sebanyak 58.861 orang dan 669 orang diantaranya meninggal (CFR:1,14%). Kemudian tahun 2005 jumlah kasus 3.336 orang dengan 55 orang diantaranya meninggal (CFR:1,65%), dan tahun 2006 terjadi penurunan kasus selama periode Januari– September yaitu jumlah kasus 1.323 orang, 21 orang diantaranya meninggal atau CFR:1,59%, kemudian tahun 2010 jumlah penderita DBD seluruh Indonesia adalah sebanyak 5.059 kasus, dengan angka kematian 0,87, dan Pada tahun 2011 sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (CFR: 0,80 %) (Depkes RI,2012).

  Menurut Sungkar (2007), keberhasilan pemberantasan DBD di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain perilaku penduduk, tenaga kesehatan, sistem peringatan dini oleh pemerintah, resistensi nyamuk terhadap insektisida, serta alokasi dana. Dalam perilaku penduduk, Sebagian besar penduduk Indonesia belum menyadari pentingnya memelihara kebersihan lingkungan. Salah satu masalah yang umum ditemukan adalah rendahnya kesadaran penduduk untuk menjaga agar tidak terdapat wadah-wadah yang dapat menampung air di lingkungan tempat tinggalnya, sehingga bedampak terhadapa pertumbuhan telur Aedes aegypti. Target ABJ yang telah diharapkan oleh Depkes RI adalah nilai ABJ 95%, karena nilai tersebut

  ≥ menunjukkan bahwa wilayah atau lingkungan yang mencapai target (ABJ ≥ 95%) dapat dikategorikan sebagai wilayah yang aman DBD.

  Kegiatan pemantauan jentik yang dilakukan oleh juru pemantau jentik bertujuan memantau adanya jentik nyamuk yang dilakukan di rumah guna mengetahui keadaan populasi jentik nyamuk penular penyakit DBD. Keberhasilan pelaksanaan pemantauan jentik ditinjau dari nilai ABJ dan Container Index (CI).

  Nilai ABJ adalah prosentase rumah yang tidak ditemukan jentik, yaitu dengan membandingkan jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik dibagi jumlah rumah yang diperiksa (Depkes RI,, 2010). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hasyim dalam penelitian Kurniawan (2008), nilai ABJ yang relative rendah (<95%) memperbesar peluang terjadinya transmisi virus DBD.

  Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya DBD adalah musim hujan dan keadaan lingkungan berupa kebersihan halaman rumah dari tempat/wadah yang dapat menjadi tempat penampungan air serta sikap masyarakat terhadap kejadian DBD. Semakin bersih lingkungan dan semakin baik sikap masyarakat terhadap kejadian DBD maka semakin rendah terjadinya DBD (Kurniawan, 2008). Menurut Sukowati (2010), sejak pertengahan tahun 1970-an dibandingkan dengan 100 tahun yang lalu episode El Nino lebih sering, menetap dan intensif. Perubahan iklim dapat memperpanjang masa penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan mengubah luas geografinya, dengan kemungkinan menyebar ke daerah yang kekebalan populasinya rendah atau dengan infrastruktur kesehatan masyarakat yang kurang. Selain perubahan iklim faktor risiko yang mungkin mempengaruhi penularan DBD adalah faktor lingkungan, urbanisasi, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk dan transportasi.

  Salah satu kegiatan utama yang dilakukan untuk mendukung keberhasilan program penanggulangan DBD adalah melalui surveilans epidemiologi DBD yang dilaksanakan pada semua tingkat administratif. Surveilans epidemiologi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam mendukung pengendalian dan penanggulangan penyakit menular, tidak terkecuali pada kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit DBD. Surveilans adalah kegiatan yang bersifat terus menerus dan sistematik dalam pengumpulan data, pengolahan, analisis, interpretasi dan diseminasi kepada pihak terkait, untuk melakukan tindakan yang tepat dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada. Oleh karena itu hasil kegiatan surveilans sangat dibutuhkan dalam menunjang aspek manajerial program penyakit DBD, dimana berperan dalam proses perencanaan, monitoring dan evaluasi dari program kesehatan yang ada (Depkes RI, 2010).

  Hingga saat ini, surveilans epidemiologi DBD masih dihadapkan pada beberapa permasalahan antara lain kasus-kasus yang dilaporkan sebagai DBD, tidak semuanya didukung dengan hasil pemeriksaan laboratorium klinik, terutama adanya peningkatan hematorit dan penurunan trombosit sebagaimana kriteria yang ditetapkan WHO. Hal ini menyebabkan pengelompokan penderita dan pelaporan demam berdarah atau sindrom syok dengue (SSD) belum terlaksana seperti yang diharapkan.

  Selain itu kasus-kasus yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologis jumlahnya masih sangat sedikit. (Depkes, 2005).

  Fenomena insidens kasus DBD juga masih menjadi masalah kesehatan di Propinsi Sumatera Utara. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2012), menunjukkan propinsi Sumatera Utara masih merupakan daerah yang edemis DBD, selama kurun waktu 5 (lima) tahun trakhir 2006-2010, menunjukkan ada fluktuasi angka insidens rate (IR) DBD, tahun 2006 adalah sebesar 17,9 per 100.000 penduduk, dan CFR sebesar 1,6%, tahun 2007 IR meningkat menjadi 33,3 per 100.000 penduduk, dan CFR sebesar 0,9%, tahun 2008 IR kembali meningkat menjadi 36,2 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 1,2%, dan tahun 2010 IR meningkat tajam menjadi 72 per 100.000 penduduk, artinya dalam 100.000 penduduk terdapat 72 kasus DBD, dengan angka CFR 1,25%. Permasalahan insidensi dan prevalensi DBD juga masih menjadi masalah kesehatan di Kota Pematang Siantar. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2012), menunjukkan bahwa Kota Pematang Siantar adalah daerah kategori endemis DBD setelah Kota Medan, Deli Serdang, Kota Binjai, Langkat, Asahan, Tebing Tinggi dan Kabupaten Karo. Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Pematang Siantar (2012), menunjukkan bahwa selama 5 (lima) tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus dan kematian akibat DBD. Tahun 2007 IR sebesar 234 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 2,23%, Tahun 2008 menurun menjadi 195 per 100.000 pendudu dengan CFR sebesar 1,44%, tahun 2009 meningkat tajam menjadi 245,8 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 1,13%, Tahun 2010 meningkat kembali menjadi 254 per 100.000 penduduk dengan CFR 2,27%, dan Tahun 2011 menurun menjadi 254 per 100.000 penduduk dengan CFR 0,78%, namun tahun 2012 menurun menjadi 165,6 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 1,82%. Keadaan tersebut menunjukkan ada fluktuasi kasus DBD secara permanen di Kota Pematang Siantar, sehingga sangat perlu dilakukan berbagai upaya yang tepat sasaran dan tepat guna, agar dapat mereduksi angka kesakitan dan kematian akibat DBD.

  Upaya yang sekarang telah dilakukan sesuai dengan rekomendasi Kementerian Kesehatan RI melalui penguatan surveilans DBD, penguatan program pengendalian vektor, pemberantasan sarang nyamuk, pemeriksaan jentik secara berkala dan pemberdayaan masyarakat untuk berperan aktif dalam penanggulangan DBD, namun secara aktual kasus DBD tetap masih ada di Kota Pematang Siantar.

  Fenomena ini menunjukkan bahwa surveilans epidemiologi DBD di Kota Pematang Siantar masih sangat lemah. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain dari faktor instrinsik, umumnya petugas surveilans DBD belum mendapatkan pelatihan yang baik tentang surveilans DBD, dan belum ada pelatihan surveilans DBD berbasis web, atau perkembangan surveilans lainnya, kemudian dilihat dari aspek pengetahuan, umumnya juga masih belum mahir dalam menyusun laporan surveilans DBD, dan dilihat dari aspek ekstrinsik, diketahui masih banyak petugas kesehatan yang belum paham terhadap langkah-langkah pelaksanaan surveilans DBD, tidak tersusunnya jadwal pelaksanaan surveilans DBD.

  Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kinerja petugas DBD. Penelitian Lestari (2010), di Puskesmas Kota Semarang menjelaskan bahwa 51,4% petugas DBD mempunyai kinerja yang rendah, secara statistik dipengaruhi oleh motivasi petugas DBD, kepemimpinan kepala puskesmas, dan persepsi beban kerja yang berat, demikian juga dengan penelitian Zubaedah (2007) di Kota Semarang yang menjelaskan bahwa kinerja petugas Pokjanal DBD juga dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, sikap dan keterampilan petugas pokjalan DBD, dan dari faktor ekternal kinerja petugas DBD juga dipengaruhi oleh faktor imbalan, dan beban kerja.

  Keseluruhan kinerja petugas Surveilans Puskesmas dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Menurut Ilyas (2006) yang mengutip pendapat Gibson beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja petugas adalah kemampuan, ketrampilan, latar belakang pendidikan, motivasi kerja, sikap dan kepribadian, dukungan organisasi berupa kompensasi, kebijakan, insentif, gaya kepemimpinan dan desain pekerjaan.

  Menurut Ridwan (2004) yang mengutip pendapat Keith dan Davis bahwa kinerja pegawai atau petugas diberbagai instansi sangat dipengaruhi oleh kompetensi (kemampuan dan ketrampilan) dan motivasi. Selanjutnya ada 3 (tiga) komponen variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja yaitu variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Ketiga variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas.

  Berdasarkan hasil Survei awal yang dilakukan peneliti pada 21 Februari 2013, menunjukkan bahwa dari 4 (empat) petugas puskesmas yang terlibat langsung dengan program DBD menjelaskan bahwa pelaksanaan surveilans epidemiologi hanya dilakukan pada saat ada kasus-kasu DBD saja, dan itupun tidak didasarkan pada perencanaan yang baik, selain itu sistim pelaporan masih manual, sehingga kualitas data rendah. Permasalahan lain minimnya perhatian kepala puskesmas terhadap upaya surveilans epidemiologi, khususnya surveilans DBD, padahal kegiatan surveilans adalah bentuk kegiatan yang terus-menerus, dan masih tinggi kecenderungan arah kebijakan kepala puskesmas terhadap upaya pengobatan saja, kemudian dari aspek imbalan, tidak ada insentif khusus bagi petugas surveilans DBD, sehingga ada kecenderungan rendahnya motivasi petugas DBD dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya di Puskesmas.

  Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang determinan kinerja petugas Surveilans DBD Puskesmas di Kota Pematang Siantar, sehingga dapat ditemukan data dan informasi yang aktual dan faktual guna menjadi masukan dalam peningkatan kapasitas petugas surveilans dan peningkatan capaian keberhasilan program penanggulangan DBD.

  1.2. Permasalahan

  Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh faktor intrinsic (pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap dan motivasi) dan ekstrinsik (beban kerja, dukungan pimpinan dan imbalan) terhadap kinerja petugas Surveilans Demam Berdarah Dengue di Kota Pematang Siantar.

  1.3. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi (intrinsik dan ekstrinsik) kinerja petugas Surveilans Demam Berdarah Dengue di Kota Pematang Siantar.

  1.4. Hipotesis Penelitian

  Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Ada pengaruh faktor intrinsik (pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap, dan motivasi) terhadap kinerja petugas surveilans DBD di Kota Pematang Siantar.

2. Ada pengaruh faktor ekstrinsik (beban kerja, dukungan pimpinan, dan imbalan) terhadap kinerja petugas surveilans DBD di Kota Pematang Siantar.

1.5. Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian ini adalah: 1. Menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Pematang Siantar dalam merumuskan rencana kegiatan yang berbasis surveilans epidemiologi DBD melalui peningkatan kualitas petugas DBD khususnya petugas Surveilans Epidemiologi Puskesmas se kota Pematang Siantar 2. Menjadi masukan bagi Kepala Puskesmas se-Kota Pematang Siantar dalam melakukan pembinaan dan evaluasi pelaksanaan program DBD dan kinerja petugas Surveilans DBD di wilayah kerja puskesmasnya.

  3. Menjadi masukan bagi penelitian selanjutnya, dan keilmuan dalam kebijakan kesehatan dan analisis kinerja sumber daya organisasi khususnya instansi pelayanan publik.