Politik Identitas Etnis Bentuk Ikatan Pr
Paper Akhir Individu
POLITIK IDENTITAS ETNIS
SEBAGAI BENTUK DARI IKATAN PRIMORDIALISME
DALAM SISTEM POLITIK DI KALIMANTAN BARAT
Studi Kasus: Pemilihan Bupati Sintang Tahun 1994
Dosen Pengampu:
1. Prof. Dr. Yahya Muhaimin
2. Atin Prabandari, MA (IR)
Disusun guna memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah
Sistem Sosial Politik Indonesia
Disusun oleh:
Nama
: Yuli Yulianti
NIM
: 12/329927/SP/25204
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013
1
Abstraksi
Ikatan-ikatan yang bersifat primordialisme telah lama berkembang dalam budaya
politik Indonesia. Hingga kini, budaya politik yang satu ini sangat mengakar kuat dalam diri
masyarakat Indonesia. Indikator-indikatornya terlihat begitu jelas, mulai dari sentimen
kedaerahan, kesukuan, keagamaan, hingga perbedaan pendekatan terhadap keagamaan
tertentu. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hampir setiap pemilu yang diadakan di
Indonesia,
sebagian
besar
masyarakat
Indonesia
memilih
berdasarkan
sifat-sifat
primordialismenya, seperti asal daerah, ras, suku, dan agama yang dianut. Berdasarkan hal
inilah, dalam makalah ini penulis ingin menelusuri bagaimana sifat-sifat primordialisme yang
begitu mengakar kuat dan bertahan sebegitu lamanya dalam diri masyarakat Indonesia ini
memengaruhi sistem politik yang ada.
Alasan penulis mengangkat ikatan primordialisme dalam makalahnya dikarenakan
penulis memiliki keingintahuan apakah sifat-sifat primordialisme pada dasarnya merupakan
suatu sifat alamiah ataukah terbentuk dari situasi-situasi tertentu. Sebagai contoh, penulis
mengambil praktek politik identitas etnis dalam pemilihan Bupati Sintang, Kalimantan Barat,
yang terjadi pada tahun 1994 sebagai studi kasusnya. Dalam studi kasus ini penulis juga ingin
melihat sisi primordialisme yang terdapat dalam politik identitas etnis.
Penelitian yang akan dilakukan penulis yaitu dengan menggunakan sistem studi
literatur dimana penulis lebih banyak menggunakan buku-buku sebagai sumber referensi dan
dalam menganalisis permasalahan politik identitas etnis di Kalimantan Barat ini. Studi kasus
yang diangkat akan dianalisis dengan landasan konseptual, yakni definisi ikatan
primordialisme dan sistem politik, sehingga menghasilkan jawaban bagaimana politik
identitas etnis di Kalimantan Barat yang merupakan bentuk dari ikatan primordialisme
kemudian dapat memengaruhi sistem politik di daerah tersebut.
Keywords: Primordialisme, Sistem Politik Indonesia, Politik Identitas Etnis, Kalimantan
Barat
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1
Latar Belakang
Politik adalah sebuah kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan. Pada
dasarnya membicarakan politik memang tidak akan bisa lepas dari kekuasaan. Bahkan
dalam pendapat Lasswell, politik digambarkan sebagai urusan mengenai siapa mendapat
apa, kapan, dan bagaimana (politic is who gets what, when, and how).1 What yang
dimaksud Lasswell di sini banyak diartikan oleh pengamat politik dengan kekuasaan,
uang, ataupun seksualitas, yang kemudian kerap dikenal dengan istilah ‘tritunggal
politik’.
Politik yang terlalu didominasi oleh tiga hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh
berkembangnya budaya politik di Indonesia yang tidak sesuai dengan nilai maupun
norma sosial dan politik. Budaya politik itu sendiri, menurut Gabriel Almond dan Sydney
Verba, merupakan sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan
sikap terhadap peranannya sebagai warga negara di dalam sistem politik tersebut. 2
Dengan demikian budaya politik Indonesia merupakan cermin dari masyarakat Indonesia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan merupakan dasar dalam pelaksanaan
politik di Indonesia. Budaya yang tak lepas dari sistem politik di Indonesia salah satunya
yaitu ikatan primordialisme.
Budaya politik yang dipengaruhi sifat-sifat primordialisme adalah budaya politik
yang awalnya tidak begitu kentara dalam perpolitikan di Indonesia. Keberagaman suku,
bangsa, ras, dan agama bukanlah perkara yang mengancam kesatuan nasional pada awal
kemerdekaan. Semboyan bhineka tunggal ika (berbeda-beda namun satu tujuan) mampu
menyatukan keberagaman itu menjadi satu, yaitu bangsa Indonesia. Namun sejak
pertengahan tahun 1990-an pertentangan telah berkembang di antara dua kelompok etnis
paling besar di Kalimantan, yaitu suku Dayak dan suku Melayu untuk memperebutkan
kekuasaan melalui perebutan jabatan dalam pemerintahan.3
Pertentangan antar-etnis yang sarat akan sifat-sifat primordialisme kerap berujung
pada kekerasan komunal. Misalnya kekerasan komunal antara suku Dayak dengan suku
1 A. Heywood, Political Theory: an Introduction, 3rd edn., Palgrave Macmillan, New York, 2004, p. 60.
2 N. Sjamsuddin, ‘Aspek-Aspek Budaya Politik Indonesia’, dalam Alfian dan N. Sjamsuddin (eds.), Profil
Budaya Politik Indonesia, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991, p. 21.
3 T. Tanasaldy, ‘Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat’, dalam H. S. Nordholt (eds.), Politik Lokal di
Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, p. 461.
3
Madura yang pecah pada tahun 1997, 1999, dan 2001 dimana telah menimbulkan
terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang tidak manusiawi.4 Namun
pertentangan antara suku Dayak dan suku Melayu yang terjadi jauh sebelumnya ini
berbeda dengan pertentangan yang terjadi antara suku Dayak dan suku Madura. Dalam
pertentangan ini, kedua belah pihak tidak menggunakan kekerasan komunal, melainkan
menggunakan politik sebagai instrumen untuk menguasai satu sama lain. Itulah sebabnya
fenomena ini disebut dengan politik identitas etnis.
Oleh karenanya penulis ingin memahami bagaimana politik identitas etnis ini
berkembang dan memengaruhi sistem politik khususnya di Kalimantan Barat. Dengan
mengetahui bagaimana politik ini berkembang dan memengaruhi sistem politik, maka
akan dapat dilakukan langkah antisipasi agar kekerasan tidak terulang kembali di masa
depan.
1. 2
Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut di atas, rumusan masalah yang
hendak dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. 2. 1. mengapa politik identitas etnis dikatakan sebagai bentuk dari budaya politik
primordial?
1. 2. 2. bagaimana politik identitas etnis di Kalimantan Barat memengaruhi sistem politik
di Kalimantan Barat?
1. 3
Landasan Konseptual
Dalam memaparkan makalah ini, penulis menggunakan landasan konseptual
sebagai berikut:
1. 3. 1
Sistem Politik Menurut David Easton5
Menurut David Easton, sistem politik merupakan suatu sistem yang
terdiri dari input, proses, output, dan umpan balik atau feedback. Input bisa
berupa dukungan dan tuntutan. Input berfungsi sebagai pemberi bahan mentah
atau informasi yang harus diproses di dalam sistem politik. Selanjutnya input
akan diolah lebih lanjut dalam tahapan proses oleh pejabat pemerintahan yang
berwenang untuk menghasilkan suatu produk politik.
4 G. Van Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2007, p. 90 – 91.
5 David Easton, ‘Analisa Perbandingan Politik’, dalam M. Mas’eod dan C. MacAndrews, Perbandingan Sistem
Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, p. 4-16.
4
Produk politik inilah yang disebut dengan output dalam sistem politik.
Output dapat berwujud suatu keputusan atau kebijaksanaan politik yang
nantinya akan diterapkan dan diimplementasikan oleh masyarakat. Keputusan
atau kebijaksanaan politik dan penerapannya kelak akan mendapat reaksi
maupun tanggapan dari masyarakat. Reaksi dan tanggapan ini merupakan
bentuk dari umpan balik atau feedback yang dapat dimaknai sebagai sebuah
evaluasi. Kemudian feedback yang muncul akan ditampung dan berikutnya
akan dijadikan bagian dari input dalam tahapan sistem politik berikutnya dan
begitu seterusnya. Secara sederhana, bagan sistem politik dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar: Bagan Sistem Politik David Easton
1. 3. 2
Sifat Primordialisme dan Politik Identitas Etnis
Sikap primordialisme, menurut Clifford Geertz, adalah paham atau
ikatan yang lebih kecil dari negara yang mengacu kepada sentimen kedaerahan
dan biasanya didasari oleh adanya ikatan darah, kesatuan adat, logat, agama,
bahkan common interest yang mengalir begitu saja dalam masyarakat secara
natural dan menjadikannya daya tarik dari interaksi sosial. 6 Geertz juga
berpendapat bahwa sikap-sikap primordial kedaerahan juga bisa lahir dari
ketidakpuasan sekelompok orang terhadap negara dan dominasi kelompok lain
(etnis, ras, suku, maupun komunitas bahasa) tertentu terhadap kelompok lain.
6
C. Geertz, Interpretation of Culture, Basic Books Inc. Publisehers, New York, 1973, p. 259-260.
5
Politik identitas etnis mengacu pada perpolitikan yang dilakukan oleh suatu
kelompok etnis atau minoritas etnis.7 Politik ini juga merefleksikan kegagalan
pemerintah pusat dalam memenuhi kewajibannya terhadap semua kalangan
termasuk kelompok minoritas.
Kedua teori ini akan digunakan oleh penulis untuk melihat sisi primordialisme
pada praktek politik identitas etnis dan menganalisis bagaimana ikatan primordialisme
memengaruhi sistem politik.
1. 4
Argumen Utama
Dalam makalah ini, penulis mengajukan argumen utama bahwa ikatan
primordialisme memengaruhi proses pengambilan kebijakan dalam sistem politik di
Kalimantan Barat. Ikatan primordialisme yang kerap menimbulkan kerusuhan dan
konflik lebih terlembaga di Kalimantan Barat dengan adanya praktek politik identitas
etnis yang dilakukan oleh para elit dari suku Dayak maupun suku Melayu. Politik ini
merupakan bentuk budaya ikatan primordialisme yang lebih terbuka dan mendapat
tempat dalam sistem politik setempat karena tidak dapat dihindari. Namun demikian
politik identitas etnis terus dijaga dalam politik lokal kalimantan Barat dengan adanya
power sharing melalui pembentukan kabupaten etnis.
BAB II
PEMBAHASAN
7
U. Abdillah, Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Indonesiatera, Magelang, 2002, p.
97.
6
2. 1
Awal Mula Kebangkitan Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat8
Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat dimulai sejak pertengahan tahun 1990an bertepatan dengan terjadinya pertentangan dua kelompok etnis terbesar di Kalimantan
Barat, yaitu etnis Dayak dan etnis Melayu, dalam pengangkatan pejabat. Pejabat dengan
posisi strategis oleh kedua suku ini diperebutkan dan ketegangannya meningkat seiring
dengan berakhirnya masa Orde Baru dimana sering melibatkan gerakan masa yang
terkadang disertai dengan kekerasan. Pada mulanya istilah suku Dayak digunakan untuk
menyebut penduduk asli Kalimantan yang seiring perkembangannya sering mengalami
marginalisasi dan diskriminasi selama kekuasaan Kesultanan Melayu dan penjajah
Belanda.
Dalam Kesultanan Melayu misalnya, suku Dayak tidak dianggap sebagai bagian
dari negeri sehingga tidak memiliki hak yang sama seperti penduduk pada umumnya.
Suku Dayak tidak diperbolehkan berada dalam administrasi kesultanan dan dilecehkan
secara sosial sehingga menyebabkan suku Dayak kesulitan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan sosial di luar kelompok mereka, termasuk dalam hal menerima pendidikan. Hal
inilah yang menyebabkan suku Dayak tidak turut serta dalam kegiatan politik sebelum
zaman kemerdekaan karena saat penjajah Belanda berkuasa pun, suku Dayak masih
diperlakukan secara marginal dan diskriminatif.
Namun kemudian keadaan berubah ketika Perang Dunia berakhir. Pemerintah
NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di Kalimantan Barat dengan segera
mendirikan Kantor Urusan Dayak pada awal tahun 1946. Kantor ini kemudian bergerak
dalam emansipasi orang-orang dari suku Dayak dan menghapuskan segala praktik
diskriminasi terhadap orang-orang suku Dayak. Tidak hanya itu, lembaga ini juga
berperan dalam mendorong orang suku Dayak untuk mendapatkan pendidikan dan
memfasilitasi mereka sehingga mereka dapat memperoleh kedudukan dalam birokrasi
dan badan legislatif lokal. Dalam hal ini kebijakan-kebijakan yang merupakan bentuk
upaya pemerintah Belanda dalam menarik dukungan dari suku Dayak tersebut berimbas
secara psikologi terhadap orang-orang suku Dayak dimana untuk pertama kalinya
mereka duduk sejajar dengan wakil-wakil dari suku Melayu dalam pemerintahan.
8 Sejarah awal bangkitnya politik identitas etnis di Kalimantan Barat diambil dari: T. Tanasaldy, ‘Politik
Identitas Etnis di Kalimantan Barat’, dalam H. S. Nordholt (eds.), Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2007, p.461 – 467.
7
Selain Kantor Urusan Dayak tersebut, aktor yang juga berperan penting dalam
kemunculan dan kebangkitan politik identitas etnis di kalangan orang-orang suku Dayak
yaitu Persatuan Dayak (PD). PD dapat dikatakan sebagai partai politik lokal yang
didirikan tahun 1945 dan mengikuti pemilu tahun 1955 dan 1958. Keikutsertaan PD
dalam pemilu tersebut berhasil memperoleh jumlah kursi yang cukup banyak di tingkat
kabupaten dan provinsi. Selain itu juga salah satu dari mereka terpilih sebagai gubernur,
empat orang lainnya terpilih sebagai bupati, dan beberapa berhasil duduk dalam DPD.
Namun kemudian PD tidak lama kemudian mengalami kemunduran yang cukup
signifikan yang disebabkan oleh perpecahan dalam tubuh partai politik serta adanya
marginalisasi politik lokal di era Orde Baru.
Perpolitikan Melayu berbeda dengan perpolitikan orang Dayak. Perpolitikan
Melayu tidak mengalami fase dramatis seperti yang dialami perpolitikan Dayak. Sejak
awal orang Melayu memiliki pandangan politik yang terlebih dulu terintegrasi dalam
politik nasional dan berorientasi ke Jakarta. Berbeda dengan perpolitikan Dayak yang
membentuk partai lokal dan cenderung mendukung kebijakan federalis pemerintah
Belanda kala itu. Sikap orang Dayak ini dikarenakan oleh asumsi mereka bahwa
federalis pemerintah Belanda lebih memberikan perhatian kepada kemajuan suku Dayak
daripada pemerintah pusat.
Pada awalnya orang Melayu tidak menganggap kemunculan orang Dayak setelah
tahun 1945 sebagai ancaman meski setelah dibubarkannya federalis pemerintah Belanda
di Kalimantan Barat, baik para elit Melayu maupun Dayak, sering berseberangan dalam
hal pandangan politik mereka yang berbeda. Kemudian ketegangan mulai memuncak
setelah pemilu 1955 membawa kesuksesan bagi PD. Pada tahun 1962 misalnya, Oevaang
Oeray (Gubernur Kalimantan Barat dari suku Dayak yang menjabat kala itu) dituduh
telah melakukan praktik pilih kasih dalam perekrutan pegawai dan menyebabkan ia
dituntut untuk turun dari jabatan gubernur karena dianggap telah menciptakan
perpecahan etnis. Kemudian bangkitnya politik identitas etnis bagi suku Melayu kurang
lebih merupakan sebuah tanggapan dari kebangkitan politik identitas enis Dayak.
8
2. 2
Studi Kasus: Suku Dayak versus Suku Melayu dalam Pemilihan Bupati Sintang
19949
Keikutsertaan suku Dayak dimulai sejak pemilu tahun 1955. Namun kala itu suku
melayu masih menanggapi dengan santai dan tidak mengganggap bergabungnya suku
Dayak dalam politik lokal sebagai sebuah ancaman. Namun kemudian pertarungan
politik antara keduanya mulai memuncak pada pemilihan Bupati Sintang tahun 1994.
Pada pemilihan Bupati Sintang, LH Kadir yang merupakan seorang birokrat
Katolik Dayak menjadi kandidat terkuat karena mendapat dukungan dari pemerintah.
Kadir didampingi oleh dua orang kandidat lain yang merupakan birokrat Melayu, yaitu
Abdillah Kamarullah dan Abdul Hadi Karsoem. Kadir juga mendapat dukungan dari
Golkar yang hampir 80% menguasai kursi anggota DPRD dan mendapat dukungan dari
PDIP yang memiliki empat anggota dari suku Dayak. Namun ternyata pemilihan bupati
pada bulan Februari 1994 itu mengeluarkan hasil yang berbeda dengan rencana biasanya.
Kadir kalah 16 suara dari Kamarullah yang memperoleh 21 suara. Kemenangan
Kamarullah ini disambut baik oleh warga suku Melayu, namun tidak terhadap suku
Dayak.
Kejadian ini memperkuat keyakinan mereka bahwa mereka sengaja dipinggirkan
dari jabatan penting dalam birokrasi. Persetujuan rezim yang diberikan kepada
terpilihnya Kamarullah kemudian membangkitkan kemarahan orang-orang suku Dayak.
Selain itu, menurut mereka tidak lazim bagi rezim untuk merayakan kekalahan
kandidatnya sendiri.
Demonstrasi kemudian pecah di Sintang dan Pontianak, disusul dengan politikus
suku Dayak yang mengancam akan keluar dari Golkar apabila Kamarullah tetap dilantik.
Namun pelantikan tetap berlangsung meski diwarnai dengan berbagi interupsi. Ratusan
orang Dayak melampiaskan amarah mereka dengan memblokir jalan utama antara
Sanggau dan Ngabang, kemudian merusak mobil-mobil yang melintas. Kejadian ini
merupakan kali pertama oposisi politik terbuka suku Dayak terhadap pemerintah Orde
Baru, rezim yang berkuasa kala itu. Kejadian ini kemudian turut berkontribusi pada
konflik dalam pemilihan kepala daerah-daerah sekitar berikutnya dan yang konflik lebih
masif pada tahun 1996-1997.
2. 3
Analisis: Pengaruh Politik Identitas Etnis terhadap Sistem Politik di Indonesia
Politik identitas etnis yang terjadi di Kalimantan Barat menunjukan sifat-sifat
ikatan primordialisme. Sifat ini ditunjukan karena politik ini mengacu pada perpolitikan
9
H. S. Nordholt (eds.), p.473-476.
9
yang dilakukan oleh para elit etnis dalam memperebutkan kekuasaan, 10 dalam kasus ini
posisi kepala daerah. Perebutan ini jelas mengutamakan ikatan (attachment) etnis. Ikatan
etnis itu sendiri terwujud dalam sekumpulan orang dengan kelengkapan-kelengkapan
primordialnya, seperti derajat, martabat, bahasa, adat istiadat, atau kepercayaan yang
dibebankan atas setiap individu yang dilahirkan dalam kelompok tersebut. 11 Ikatan
primordialisme ini ditunjukan dengan adanya praktek perekrutan dan pengangkatan
pegawai berdasarkan etnis yang dilakukan oleh Oevaang Oeray. 12 Selain itu kasus
perebutan kursi bupati di Sintang (terjadi juga di Kapuas Hulu dan Sanggau) yang
didasarkan pada etnis juga mencerminkan ikatan primordialisme yang kental dalam
praktek politik identitas etnis ini.
Berdasarkan data yang didapat penulis mengenai sejarah kebangkitan perpolitikan
suku Dayak dari essay Taufiq Tanasaldy yang berjudul “Politik Identitas Etnis di
Kalimantan Barat”,13 penulis berpendapat bahwa sifat-sifat primordialisme yang
terkandung dalam politik identitas etnis merupakan sifat yang terbentuk dari adanya
situasi tertentu. Menurut Geertz, sifat primordialisme bisa lahir dari dominasi suatu
lawan etnis, ras, komunitas bahasa tertentu.14 Begitu juga menurut Dahrendrof seperti
yang dikutip oleh Muhamad Sulhan, identitas itu muncul ketika kelompok superordinat
berhadapan dengan kelompok subordinat dimana kekecewaan kelompok subordinat
mulai tumbuh seiring dengan termarginalisasinya kelompok subordinat terhadap aksesakses strategis di dalam suatu sistem.15 Dalam hal ini suku Dayak pada mulanya
mengalami marginalisasi di bidang sosial dan politik sejak zaman penjajahan Belanda
dimana suku Melayu mendapat tempat yang lebih superordinat. Dari sinilah muncul
kesadaran di antara suku Dayak selaku kelompok subordinat untuk membangun dan
menyepakati simbol-simbol bersama dan mengkristalkan sense of belonging atas ingroup. Kemudian muncullah identitas bersama yang terus dipelihara bahkan diarahkan
untuk menciptakan stereotipe akan kehebatan kelompok. Ketika suatu kelompok yang
didasarkan pada ikatan (attachment) darah, etnis, ras, kesukuan, adat, bahasa, maupun
agama ini mulai merasa bahwa kelompoknya lebih hebat dan superior, maka ikatan10
11
12
13
14
15
M. Haboddin, ‘Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal’, Jurnal Studi Pemerintahan, vol. 3, no. 1,
Februari 2012, p. 112.
U. Abdillah, p. 75-76.
H. S. Nordholt (eds.), p.467.
Merupakan salah satu dari kumpulan essay yang terdapat dalam H. S. Nordholt (eds.), Politik Lokal di
Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, p. 461-490.
C. Geertz, p. 258-259.
M. Sulhan, Dayak yang Menang Indonesia yang Malang: Representasi Identitas Etnik Dayak di Media
Masa, FISIPOL UGM, Yogyakarta, 2006, p.11-12.
10
ikatan primordialisme mulai mengakar dalam kelompok tersebut sehingga menuntun
mereka (suku Dayak) membentuk politik identitas etnis sebagai perwujudannya untuk
melindungi identitas mereka.
Praktek politik identitas etnis terus berjalan hingga masa Orde Baru, meskipun
tidak secara terangan-terangan. Semasa Orde Baru pemerintah berusaha mencegah
terbentuknya kepemimpinan lokal. Hal ini disebabkan karena ketakutan rezim mengenai
timbulnya gerakan separatisme yang mengancam kepemimpinan pusat. Cara yang
dilakukan di antaranya dengan menempatkan orang-orang militer non-lokal untuk
menjabat sebagai posisi kunci.16 Pemerintah juga melakukan intervensi kepada urusan
daerah. Keputusan-keputusan yang dirasa penting selalu diputuskan oleh pusat. Sistem
pemilihan bupati misalnya, biasanya pemerintah pusat sudah terlebih dahulu menentukan
bupati yang dikehendaki sebelum proses pemilihan dengan tujuan menjamin kepentingan
pusat didahulukan dari kepentingan daerah. Ketidakpuasan warga suku Dayak terhadap
negara yang menurut mereka tidak memberikan perhatian kepada suku Dayak dan malah
memperburuk standar kehidupan mereka dengan mengubah hutan-hutan dan tanah adat
menjadi daerah transmigrasi, perkebunan dan penebangan kayu, juga telah turut
memperkuat sifat-sifat primordialisme dalam politik identitas etnis ini.
Dari kasus pemilihan Bupati Sintang 1994 di Kalimantan Barat, penulis
menganalisis bahwa politik identitas etnis yang sarat akan ikatan primordialisme ini
memengaruhi sistem politik yang ada di Kalimantan Barat. Hal ini dilihat dari tahapan
dalam sistem politik menurut David Easton. Pertama, dilihat dari inputnya. Suku Dayak
menuntut agar kandidat yang diangkat menjadi Bupati Sintang haruslah orang Dayak. Di
dalam tuntutan ini sarat akan primordialisme karena mereka menganggap yang pantas
menjadi pemimpin haruslah putra daerah. Mereka menentang keras bupati yang berasal
dari suku lain, dalam hal ini kandidat lainnya berasal dari suku Melayu. Di sisi lain, pada
saat itu berdasarkan prosedur yang berlaku dimana bupati terlebih dahulu ditentukan dan
dimonitor oleh pusat, setuju untuk mendukung dan menjadikan LH Kadir, seorang
birokrat Dayak, untuk menjadi bupati Sintang.
Kedua, dilihat dari proses yang berjalan. Dalam decision making process yang
dilakukan oleh anggota DPRD Kabupaten Sintang, pemilihan yang dilaksanakan juga
didasarkan pada ikatan primordialisme. Hal ini ditunjukan dengan perolehan suara
Kamarrulah yang merupakan birokrat Melayu lebih tinggi daripada LH Kadir, yaitu 21
suara dimana LH Kadir hanya mendapatkan 16 suara. Hal ini tidak biasanya terjadi.
16 J. S. Davidson, ‘Menyelundupnya Reformasi Keluar dari Pelabuhan Pontianak’, dalam J. Schiller (ed.),
Jalan Terjal Reformasi Lokal, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999, p.338.
11
Biasanya keputusan yang dihasilkan dalam decision making process sama dengan
ketentuan yang telah ditetap pusat. Terjadinya ketidaksesuaian hasil dengan rencana awal
ini dikarenakan oleh orang-orang Melayu di DPRD yang membelot dan menolak untuk
menjadikan birokrat Dayak menjadi bupati. Mereka juga menginginkan bupati yang
berasal dari suku mereka sendiri yaitu suku Melayu. Tindakan elit Melayu dalam DPRD
ini juga mengindikasikan sifat-sifat primordialisme.
Ketiga, dilihat dari output dan feedback yang diberikan masyarakat. Jika proses
telah dipengaruhi oleh ikatan-ikatan primordialisme, maka dipastikan kebijakan yang
akan dihasilkan akan sarat dengan ikatan primordialisme. Pengangkatan Kamarullah
menjadi Bupati Sintang kemudian memunculkan feedback berupa demonstrasi besarbesaran yang dilakukan oleh warga suku Dayak dengan memblokir jalan utama dan
merusak mobil-mobil warga yang melintas. Demonstrasi ini merupakan bentuk feedback
yang sarat akan nilai-nilai primordialisme yang lebih keras.
Ikatan primordialisme pada dasarnya berdampak buruk pada demokratisasi yang
dijalankan di Indonesia. Hal ini dikarenakan apabila pemilihan kepala daerah didasarkan
pada sifat-sifat primordialisme maka tidak diragukan lagi, para pemilih akan menutup
mata pada kredibilitas sang kandidat dan hanya melihat dari faktor etnis dan kesukuan
sang kandidat semata. Hal lain yang lebih dikhawatirkan lagi yaitu apabila sifat
primordialisme ini mulai menggunakan kekerasan sebagai alat untuk memengaruhi
kebijakan pemerintah, seperti yang telah dilakukan oleh warga suku Dayak. Jika hal yang
demikian terus terjadi maka akan mengancam kestabilan keamanan dan menimbulkan
kerusuhan yang berdampak lebih luas pada sub-sistem lain maupun lingkungannya.
Kekhawatiran ini didasari pada teori Gabriel A. Almond yang menyatakan bahwa sistem
politik yang dikelilingi oleh lingkungan, baik lingkungann domestik maupun lingkungan
internasional, dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh kedua lingkungan
tersebut.17 Sehingga bukan tidak mungkin politik identitas etnis ini bisa membahayakan
kestabilan nasional dengan meluasnya konflik menjadi gerakan separatisme. Oleh karena
itu langkah antisipasi diperlukan untuk mencegah pecahnya konflik yang disebabkan
oleh ikatan primordialisme.
Pemerintah pasca-Orde Baru telah melakukan beberapa kebijakan untuk
menciptakan politik identitas etnis yang damai. Oleh karena politik identitas etnis yang
sulit untuk dihilangkan, maka pemerintah hanya bisa melakukan konsolidasi berupa
kompromi etnis untuk mengurangi konflik kekerasan maupun kerusuhan yang
17 G. A. Almond, ‘Studi Perbandingan Sistem Politik’, dalam M. Mas’eod dan C. MacAndrews,
Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, p.
12
ditimbulkan dari politik tersebut. Konsolidasi yang dilakukan pemerintah yaitu dengan
menciptakan kabupaten etnis. Pemekaran kabupaten ini dilakukan setahun setelah
berakhirnya Orde Baru dengan menghasilkan dua kabupaten baru yaitu Bengkayang dan
Landak. Kedua kabupaten ini memiliki populasi mayoritas suku Dayak dan dulunya
merupakan bagian dari Kabupaten Sambas dan Pontianak. Selain itu, kecamatankecamatan yang memiliki populasi mayoritas suku Dayak juga dialihkan ke Kabupaten
Landak, misalnya kecamatan-kecamatan seperti Mandor, Menjali, dan Mempawah Hulu
yang awalnya berada dalam Kabupaten Pontianak.
Dengan terciptanya kabupaten etnis baru dimana Kabupaten Sambas dan
Kabupaten Pontianak sebagai kabupaten suku Melayu, sedangkan Kabupaten
Bengkayang dan Kabupaten Landak sebagai kabupaten suku Dayak, maka dalam hal ini
telah terjadi power sharing di antara kedua etnis mayoritas di Kalimantan Barat.18
Kebijakan ini merupakan bentuk dari consociational democracy, kerangka konseptual
Arend Lijpart dalam mengatasi rivalitas dan konflik di tengah menguatnya politik
identitas etnis.19 Power sharing di sini dilakukan dengan membagi kekuasaan khususnya
jabatan bupati untuk masing-masing etnis sehingga menghindarkan kedua suku untuk
berkonflik. Sejauh ini kebijakan power sharing telah berhasil meredam konflik. Landak
dan Bengkayang yang dulunya menjadi daerah rawan konflik pun kini sudah menjadi
tenang.
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan yang telah disampaikan dalam makalah ini, penulis mengambil
beberapa simpulan. Pertama, praktek politik identitas etnis yang terjadi di Kalimantan Barat
18 T. Tanasaldy, ‘Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat’, dalam H. S. Nordholt (eds.), Politik Lokal di
Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, p.478.
19 M. Haboddin, p. 111.
13
antara suku Dayak dan suku Melayu merupakan bentuk dari budaya politik primordialisme
karena mengacu pada perpolitikan yang dilakukan para elit etnis dalam memperebutkan
kekuasaan berdasarkan ikatan etnis. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa ikatan
primordialisme yang terjadi di Kalimantan Barat kurang lebih telah terlembaga dalam bentuk
politik identitas etnis yang lebih nyata karena mereka memiliki peranan dan memengaruhi
lembaga legislatif setempat.
Kedua, ikatan primordialisme yang terkandung dalam politik identitas etnis ini telah
memengaruhi sistem politik dimana pengambilan keputusan atau decision making process
yang terjadi dalam lembaga legislatif di Kalimantan Barat dipengaruhi oleh ikatan
primordialisme, khususnya masalah etnis dan agama. Secara tidak langsung, hal ini akan
memengaruhi kebijakan yang diambil pemerintahan serta implementasi kebijakannya.
Masyarakat yang mengimplementasikan kebijakan ini pun akan turut menerapkan budaya
politik primordial ini, sehingga budaya politik ini mengakar dalam masyarakatnya sendiri dan
sulit dihilangkan.
Dan ketiga, dibutuhkan power sharing di antara kedua etnis mayoritas ini untuk
mengurangi kerusuhan maupun konflik kekerasan yang akan merugikan banyak pihak.
Power sharing yang dilaksanakan dengan menciptakan kabupaten etnis oleh pemerintah
pasca-Orde Baru ini telah berhasil meredam pecahnya konflik dan telah mengubah daerah
Landak dan Bengkayang yang dulunya rawan konflik menjadi daerah yang tenang. Dengan
demikian, ikatan primordialisme dalam politik identitas etnis ini akan terus memengaruhi
sistem politik yang berjalan di Kalimantan Barat. Namun dengan upaya konsolidasi yang
dilakukan, setidaknya budaya politik primordialisme di Kalimantan Barat telah dicegah agar
tidak menimbulkan kerusuhan dan konflik kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Artikel Jurnal
14
Haboddin, M. ‘Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal’, Jurnal Studi Pemerintahan,
vol. 3, no. 1, Februari 2012, p. 109-126.
Buku
Abdillah, U., Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Indonesiatera,
Magelang, 2002.
Alfian dan Sjamsuddin, N. (eds.), Profil Budaya Politik Indonesia, PT Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta, 1991.
Geertz, G., Interpretation of Culture, Basic Books Inc. Publisehers, New York, 1973.
Heywood, A., Political Theory: an Introduction, 3rd edn, Palgrave Macmillan, New York,
2004.
Mas’eod, M. dan MacAndrews, C. (eds.), Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2006.
Nordholt, H. S. (eds.),. Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007.
Schiller, J., Jalan Terjal Reformasi Lokal, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999.
Sulhan, M., Dayak yang Menang Indonesia yang Malang: Representasi Identitas Etnik
Dayak di Media Masa, FISIPOL UGM, Yogayakarta, 2006.
Van Klinken, G., Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007.
15
POLITIK IDENTITAS ETNIS
SEBAGAI BENTUK DARI IKATAN PRIMORDIALISME
DALAM SISTEM POLITIK DI KALIMANTAN BARAT
Studi Kasus: Pemilihan Bupati Sintang Tahun 1994
Dosen Pengampu:
1. Prof. Dr. Yahya Muhaimin
2. Atin Prabandari, MA (IR)
Disusun guna memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah
Sistem Sosial Politik Indonesia
Disusun oleh:
Nama
: Yuli Yulianti
NIM
: 12/329927/SP/25204
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013
1
Abstraksi
Ikatan-ikatan yang bersifat primordialisme telah lama berkembang dalam budaya
politik Indonesia. Hingga kini, budaya politik yang satu ini sangat mengakar kuat dalam diri
masyarakat Indonesia. Indikator-indikatornya terlihat begitu jelas, mulai dari sentimen
kedaerahan, kesukuan, keagamaan, hingga perbedaan pendekatan terhadap keagamaan
tertentu. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hampir setiap pemilu yang diadakan di
Indonesia,
sebagian
besar
masyarakat
Indonesia
memilih
berdasarkan
sifat-sifat
primordialismenya, seperti asal daerah, ras, suku, dan agama yang dianut. Berdasarkan hal
inilah, dalam makalah ini penulis ingin menelusuri bagaimana sifat-sifat primordialisme yang
begitu mengakar kuat dan bertahan sebegitu lamanya dalam diri masyarakat Indonesia ini
memengaruhi sistem politik yang ada.
Alasan penulis mengangkat ikatan primordialisme dalam makalahnya dikarenakan
penulis memiliki keingintahuan apakah sifat-sifat primordialisme pada dasarnya merupakan
suatu sifat alamiah ataukah terbentuk dari situasi-situasi tertentu. Sebagai contoh, penulis
mengambil praktek politik identitas etnis dalam pemilihan Bupati Sintang, Kalimantan Barat,
yang terjadi pada tahun 1994 sebagai studi kasusnya. Dalam studi kasus ini penulis juga ingin
melihat sisi primordialisme yang terdapat dalam politik identitas etnis.
Penelitian yang akan dilakukan penulis yaitu dengan menggunakan sistem studi
literatur dimana penulis lebih banyak menggunakan buku-buku sebagai sumber referensi dan
dalam menganalisis permasalahan politik identitas etnis di Kalimantan Barat ini. Studi kasus
yang diangkat akan dianalisis dengan landasan konseptual, yakni definisi ikatan
primordialisme dan sistem politik, sehingga menghasilkan jawaban bagaimana politik
identitas etnis di Kalimantan Barat yang merupakan bentuk dari ikatan primordialisme
kemudian dapat memengaruhi sistem politik di daerah tersebut.
Keywords: Primordialisme, Sistem Politik Indonesia, Politik Identitas Etnis, Kalimantan
Barat
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1
Latar Belakang
Politik adalah sebuah kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan. Pada
dasarnya membicarakan politik memang tidak akan bisa lepas dari kekuasaan. Bahkan
dalam pendapat Lasswell, politik digambarkan sebagai urusan mengenai siapa mendapat
apa, kapan, dan bagaimana (politic is who gets what, when, and how).1 What yang
dimaksud Lasswell di sini banyak diartikan oleh pengamat politik dengan kekuasaan,
uang, ataupun seksualitas, yang kemudian kerap dikenal dengan istilah ‘tritunggal
politik’.
Politik yang terlalu didominasi oleh tiga hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh
berkembangnya budaya politik di Indonesia yang tidak sesuai dengan nilai maupun
norma sosial dan politik. Budaya politik itu sendiri, menurut Gabriel Almond dan Sydney
Verba, merupakan sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan
sikap terhadap peranannya sebagai warga negara di dalam sistem politik tersebut. 2
Dengan demikian budaya politik Indonesia merupakan cermin dari masyarakat Indonesia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan merupakan dasar dalam pelaksanaan
politik di Indonesia. Budaya yang tak lepas dari sistem politik di Indonesia salah satunya
yaitu ikatan primordialisme.
Budaya politik yang dipengaruhi sifat-sifat primordialisme adalah budaya politik
yang awalnya tidak begitu kentara dalam perpolitikan di Indonesia. Keberagaman suku,
bangsa, ras, dan agama bukanlah perkara yang mengancam kesatuan nasional pada awal
kemerdekaan. Semboyan bhineka tunggal ika (berbeda-beda namun satu tujuan) mampu
menyatukan keberagaman itu menjadi satu, yaitu bangsa Indonesia. Namun sejak
pertengahan tahun 1990-an pertentangan telah berkembang di antara dua kelompok etnis
paling besar di Kalimantan, yaitu suku Dayak dan suku Melayu untuk memperebutkan
kekuasaan melalui perebutan jabatan dalam pemerintahan.3
Pertentangan antar-etnis yang sarat akan sifat-sifat primordialisme kerap berujung
pada kekerasan komunal. Misalnya kekerasan komunal antara suku Dayak dengan suku
1 A. Heywood, Political Theory: an Introduction, 3rd edn., Palgrave Macmillan, New York, 2004, p. 60.
2 N. Sjamsuddin, ‘Aspek-Aspek Budaya Politik Indonesia’, dalam Alfian dan N. Sjamsuddin (eds.), Profil
Budaya Politik Indonesia, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991, p. 21.
3 T. Tanasaldy, ‘Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat’, dalam H. S. Nordholt (eds.), Politik Lokal di
Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, p. 461.
3
Madura yang pecah pada tahun 1997, 1999, dan 2001 dimana telah menimbulkan
terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang tidak manusiawi.4 Namun
pertentangan antara suku Dayak dan suku Melayu yang terjadi jauh sebelumnya ini
berbeda dengan pertentangan yang terjadi antara suku Dayak dan suku Madura. Dalam
pertentangan ini, kedua belah pihak tidak menggunakan kekerasan komunal, melainkan
menggunakan politik sebagai instrumen untuk menguasai satu sama lain. Itulah sebabnya
fenomena ini disebut dengan politik identitas etnis.
Oleh karenanya penulis ingin memahami bagaimana politik identitas etnis ini
berkembang dan memengaruhi sistem politik khususnya di Kalimantan Barat. Dengan
mengetahui bagaimana politik ini berkembang dan memengaruhi sistem politik, maka
akan dapat dilakukan langkah antisipasi agar kekerasan tidak terulang kembali di masa
depan.
1. 2
Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut di atas, rumusan masalah yang
hendak dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. 2. 1. mengapa politik identitas etnis dikatakan sebagai bentuk dari budaya politik
primordial?
1. 2. 2. bagaimana politik identitas etnis di Kalimantan Barat memengaruhi sistem politik
di Kalimantan Barat?
1. 3
Landasan Konseptual
Dalam memaparkan makalah ini, penulis menggunakan landasan konseptual
sebagai berikut:
1. 3. 1
Sistem Politik Menurut David Easton5
Menurut David Easton, sistem politik merupakan suatu sistem yang
terdiri dari input, proses, output, dan umpan balik atau feedback. Input bisa
berupa dukungan dan tuntutan. Input berfungsi sebagai pemberi bahan mentah
atau informasi yang harus diproses di dalam sistem politik. Selanjutnya input
akan diolah lebih lanjut dalam tahapan proses oleh pejabat pemerintahan yang
berwenang untuk menghasilkan suatu produk politik.
4 G. Van Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2007, p. 90 – 91.
5 David Easton, ‘Analisa Perbandingan Politik’, dalam M. Mas’eod dan C. MacAndrews, Perbandingan Sistem
Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, p. 4-16.
4
Produk politik inilah yang disebut dengan output dalam sistem politik.
Output dapat berwujud suatu keputusan atau kebijaksanaan politik yang
nantinya akan diterapkan dan diimplementasikan oleh masyarakat. Keputusan
atau kebijaksanaan politik dan penerapannya kelak akan mendapat reaksi
maupun tanggapan dari masyarakat. Reaksi dan tanggapan ini merupakan
bentuk dari umpan balik atau feedback yang dapat dimaknai sebagai sebuah
evaluasi. Kemudian feedback yang muncul akan ditampung dan berikutnya
akan dijadikan bagian dari input dalam tahapan sistem politik berikutnya dan
begitu seterusnya. Secara sederhana, bagan sistem politik dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar: Bagan Sistem Politik David Easton
1. 3. 2
Sifat Primordialisme dan Politik Identitas Etnis
Sikap primordialisme, menurut Clifford Geertz, adalah paham atau
ikatan yang lebih kecil dari negara yang mengacu kepada sentimen kedaerahan
dan biasanya didasari oleh adanya ikatan darah, kesatuan adat, logat, agama,
bahkan common interest yang mengalir begitu saja dalam masyarakat secara
natural dan menjadikannya daya tarik dari interaksi sosial. 6 Geertz juga
berpendapat bahwa sikap-sikap primordial kedaerahan juga bisa lahir dari
ketidakpuasan sekelompok orang terhadap negara dan dominasi kelompok lain
(etnis, ras, suku, maupun komunitas bahasa) tertentu terhadap kelompok lain.
6
C. Geertz, Interpretation of Culture, Basic Books Inc. Publisehers, New York, 1973, p. 259-260.
5
Politik identitas etnis mengacu pada perpolitikan yang dilakukan oleh suatu
kelompok etnis atau minoritas etnis.7 Politik ini juga merefleksikan kegagalan
pemerintah pusat dalam memenuhi kewajibannya terhadap semua kalangan
termasuk kelompok minoritas.
Kedua teori ini akan digunakan oleh penulis untuk melihat sisi primordialisme
pada praktek politik identitas etnis dan menganalisis bagaimana ikatan primordialisme
memengaruhi sistem politik.
1. 4
Argumen Utama
Dalam makalah ini, penulis mengajukan argumen utama bahwa ikatan
primordialisme memengaruhi proses pengambilan kebijakan dalam sistem politik di
Kalimantan Barat. Ikatan primordialisme yang kerap menimbulkan kerusuhan dan
konflik lebih terlembaga di Kalimantan Barat dengan adanya praktek politik identitas
etnis yang dilakukan oleh para elit dari suku Dayak maupun suku Melayu. Politik ini
merupakan bentuk budaya ikatan primordialisme yang lebih terbuka dan mendapat
tempat dalam sistem politik setempat karena tidak dapat dihindari. Namun demikian
politik identitas etnis terus dijaga dalam politik lokal kalimantan Barat dengan adanya
power sharing melalui pembentukan kabupaten etnis.
BAB II
PEMBAHASAN
7
U. Abdillah, Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Indonesiatera, Magelang, 2002, p.
97.
6
2. 1
Awal Mula Kebangkitan Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat8
Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat dimulai sejak pertengahan tahun 1990an bertepatan dengan terjadinya pertentangan dua kelompok etnis terbesar di Kalimantan
Barat, yaitu etnis Dayak dan etnis Melayu, dalam pengangkatan pejabat. Pejabat dengan
posisi strategis oleh kedua suku ini diperebutkan dan ketegangannya meningkat seiring
dengan berakhirnya masa Orde Baru dimana sering melibatkan gerakan masa yang
terkadang disertai dengan kekerasan. Pada mulanya istilah suku Dayak digunakan untuk
menyebut penduduk asli Kalimantan yang seiring perkembangannya sering mengalami
marginalisasi dan diskriminasi selama kekuasaan Kesultanan Melayu dan penjajah
Belanda.
Dalam Kesultanan Melayu misalnya, suku Dayak tidak dianggap sebagai bagian
dari negeri sehingga tidak memiliki hak yang sama seperti penduduk pada umumnya.
Suku Dayak tidak diperbolehkan berada dalam administrasi kesultanan dan dilecehkan
secara sosial sehingga menyebabkan suku Dayak kesulitan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan sosial di luar kelompok mereka, termasuk dalam hal menerima pendidikan. Hal
inilah yang menyebabkan suku Dayak tidak turut serta dalam kegiatan politik sebelum
zaman kemerdekaan karena saat penjajah Belanda berkuasa pun, suku Dayak masih
diperlakukan secara marginal dan diskriminatif.
Namun kemudian keadaan berubah ketika Perang Dunia berakhir. Pemerintah
NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di Kalimantan Barat dengan segera
mendirikan Kantor Urusan Dayak pada awal tahun 1946. Kantor ini kemudian bergerak
dalam emansipasi orang-orang dari suku Dayak dan menghapuskan segala praktik
diskriminasi terhadap orang-orang suku Dayak. Tidak hanya itu, lembaga ini juga
berperan dalam mendorong orang suku Dayak untuk mendapatkan pendidikan dan
memfasilitasi mereka sehingga mereka dapat memperoleh kedudukan dalam birokrasi
dan badan legislatif lokal. Dalam hal ini kebijakan-kebijakan yang merupakan bentuk
upaya pemerintah Belanda dalam menarik dukungan dari suku Dayak tersebut berimbas
secara psikologi terhadap orang-orang suku Dayak dimana untuk pertama kalinya
mereka duduk sejajar dengan wakil-wakil dari suku Melayu dalam pemerintahan.
8 Sejarah awal bangkitnya politik identitas etnis di Kalimantan Barat diambil dari: T. Tanasaldy, ‘Politik
Identitas Etnis di Kalimantan Barat’, dalam H. S. Nordholt (eds.), Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2007, p.461 – 467.
7
Selain Kantor Urusan Dayak tersebut, aktor yang juga berperan penting dalam
kemunculan dan kebangkitan politik identitas etnis di kalangan orang-orang suku Dayak
yaitu Persatuan Dayak (PD). PD dapat dikatakan sebagai partai politik lokal yang
didirikan tahun 1945 dan mengikuti pemilu tahun 1955 dan 1958. Keikutsertaan PD
dalam pemilu tersebut berhasil memperoleh jumlah kursi yang cukup banyak di tingkat
kabupaten dan provinsi. Selain itu juga salah satu dari mereka terpilih sebagai gubernur,
empat orang lainnya terpilih sebagai bupati, dan beberapa berhasil duduk dalam DPD.
Namun kemudian PD tidak lama kemudian mengalami kemunduran yang cukup
signifikan yang disebabkan oleh perpecahan dalam tubuh partai politik serta adanya
marginalisasi politik lokal di era Orde Baru.
Perpolitikan Melayu berbeda dengan perpolitikan orang Dayak. Perpolitikan
Melayu tidak mengalami fase dramatis seperti yang dialami perpolitikan Dayak. Sejak
awal orang Melayu memiliki pandangan politik yang terlebih dulu terintegrasi dalam
politik nasional dan berorientasi ke Jakarta. Berbeda dengan perpolitikan Dayak yang
membentuk partai lokal dan cenderung mendukung kebijakan federalis pemerintah
Belanda kala itu. Sikap orang Dayak ini dikarenakan oleh asumsi mereka bahwa
federalis pemerintah Belanda lebih memberikan perhatian kepada kemajuan suku Dayak
daripada pemerintah pusat.
Pada awalnya orang Melayu tidak menganggap kemunculan orang Dayak setelah
tahun 1945 sebagai ancaman meski setelah dibubarkannya federalis pemerintah Belanda
di Kalimantan Barat, baik para elit Melayu maupun Dayak, sering berseberangan dalam
hal pandangan politik mereka yang berbeda. Kemudian ketegangan mulai memuncak
setelah pemilu 1955 membawa kesuksesan bagi PD. Pada tahun 1962 misalnya, Oevaang
Oeray (Gubernur Kalimantan Barat dari suku Dayak yang menjabat kala itu) dituduh
telah melakukan praktik pilih kasih dalam perekrutan pegawai dan menyebabkan ia
dituntut untuk turun dari jabatan gubernur karena dianggap telah menciptakan
perpecahan etnis. Kemudian bangkitnya politik identitas etnis bagi suku Melayu kurang
lebih merupakan sebuah tanggapan dari kebangkitan politik identitas enis Dayak.
8
2. 2
Studi Kasus: Suku Dayak versus Suku Melayu dalam Pemilihan Bupati Sintang
19949
Keikutsertaan suku Dayak dimulai sejak pemilu tahun 1955. Namun kala itu suku
melayu masih menanggapi dengan santai dan tidak mengganggap bergabungnya suku
Dayak dalam politik lokal sebagai sebuah ancaman. Namun kemudian pertarungan
politik antara keduanya mulai memuncak pada pemilihan Bupati Sintang tahun 1994.
Pada pemilihan Bupati Sintang, LH Kadir yang merupakan seorang birokrat
Katolik Dayak menjadi kandidat terkuat karena mendapat dukungan dari pemerintah.
Kadir didampingi oleh dua orang kandidat lain yang merupakan birokrat Melayu, yaitu
Abdillah Kamarullah dan Abdul Hadi Karsoem. Kadir juga mendapat dukungan dari
Golkar yang hampir 80% menguasai kursi anggota DPRD dan mendapat dukungan dari
PDIP yang memiliki empat anggota dari suku Dayak. Namun ternyata pemilihan bupati
pada bulan Februari 1994 itu mengeluarkan hasil yang berbeda dengan rencana biasanya.
Kadir kalah 16 suara dari Kamarullah yang memperoleh 21 suara. Kemenangan
Kamarullah ini disambut baik oleh warga suku Melayu, namun tidak terhadap suku
Dayak.
Kejadian ini memperkuat keyakinan mereka bahwa mereka sengaja dipinggirkan
dari jabatan penting dalam birokrasi. Persetujuan rezim yang diberikan kepada
terpilihnya Kamarullah kemudian membangkitkan kemarahan orang-orang suku Dayak.
Selain itu, menurut mereka tidak lazim bagi rezim untuk merayakan kekalahan
kandidatnya sendiri.
Demonstrasi kemudian pecah di Sintang dan Pontianak, disusul dengan politikus
suku Dayak yang mengancam akan keluar dari Golkar apabila Kamarullah tetap dilantik.
Namun pelantikan tetap berlangsung meski diwarnai dengan berbagi interupsi. Ratusan
orang Dayak melampiaskan amarah mereka dengan memblokir jalan utama antara
Sanggau dan Ngabang, kemudian merusak mobil-mobil yang melintas. Kejadian ini
merupakan kali pertama oposisi politik terbuka suku Dayak terhadap pemerintah Orde
Baru, rezim yang berkuasa kala itu. Kejadian ini kemudian turut berkontribusi pada
konflik dalam pemilihan kepala daerah-daerah sekitar berikutnya dan yang konflik lebih
masif pada tahun 1996-1997.
2. 3
Analisis: Pengaruh Politik Identitas Etnis terhadap Sistem Politik di Indonesia
Politik identitas etnis yang terjadi di Kalimantan Barat menunjukan sifat-sifat
ikatan primordialisme. Sifat ini ditunjukan karena politik ini mengacu pada perpolitikan
9
H. S. Nordholt (eds.), p.473-476.
9
yang dilakukan oleh para elit etnis dalam memperebutkan kekuasaan, 10 dalam kasus ini
posisi kepala daerah. Perebutan ini jelas mengutamakan ikatan (attachment) etnis. Ikatan
etnis itu sendiri terwujud dalam sekumpulan orang dengan kelengkapan-kelengkapan
primordialnya, seperti derajat, martabat, bahasa, adat istiadat, atau kepercayaan yang
dibebankan atas setiap individu yang dilahirkan dalam kelompok tersebut. 11 Ikatan
primordialisme ini ditunjukan dengan adanya praktek perekrutan dan pengangkatan
pegawai berdasarkan etnis yang dilakukan oleh Oevaang Oeray. 12 Selain itu kasus
perebutan kursi bupati di Sintang (terjadi juga di Kapuas Hulu dan Sanggau) yang
didasarkan pada etnis juga mencerminkan ikatan primordialisme yang kental dalam
praktek politik identitas etnis ini.
Berdasarkan data yang didapat penulis mengenai sejarah kebangkitan perpolitikan
suku Dayak dari essay Taufiq Tanasaldy yang berjudul “Politik Identitas Etnis di
Kalimantan Barat”,13 penulis berpendapat bahwa sifat-sifat primordialisme yang
terkandung dalam politik identitas etnis merupakan sifat yang terbentuk dari adanya
situasi tertentu. Menurut Geertz, sifat primordialisme bisa lahir dari dominasi suatu
lawan etnis, ras, komunitas bahasa tertentu.14 Begitu juga menurut Dahrendrof seperti
yang dikutip oleh Muhamad Sulhan, identitas itu muncul ketika kelompok superordinat
berhadapan dengan kelompok subordinat dimana kekecewaan kelompok subordinat
mulai tumbuh seiring dengan termarginalisasinya kelompok subordinat terhadap aksesakses strategis di dalam suatu sistem.15 Dalam hal ini suku Dayak pada mulanya
mengalami marginalisasi di bidang sosial dan politik sejak zaman penjajahan Belanda
dimana suku Melayu mendapat tempat yang lebih superordinat. Dari sinilah muncul
kesadaran di antara suku Dayak selaku kelompok subordinat untuk membangun dan
menyepakati simbol-simbol bersama dan mengkristalkan sense of belonging atas ingroup. Kemudian muncullah identitas bersama yang terus dipelihara bahkan diarahkan
untuk menciptakan stereotipe akan kehebatan kelompok. Ketika suatu kelompok yang
didasarkan pada ikatan (attachment) darah, etnis, ras, kesukuan, adat, bahasa, maupun
agama ini mulai merasa bahwa kelompoknya lebih hebat dan superior, maka ikatan10
11
12
13
14
15
M. Haboddin, ‘Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal’, Jurnal Studi Pemerintahan, vol. 3, no. 1,
Februari 2012, p. 112.
U. Abdillah, p. 75-76.
H. S. Nordholt (eds.), p.467.
Merupakan salah satu dari kumpulan essay yang terdapat dalam H. S. Nordholt (eds.), Politik Lokal di
Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, p. 461-490.
C. Geertz, p. 258-259.
M. Sulhan, Dayak yang Menang Indonesia yang Malang: Representasi Identitas Etnik Dayak di Media
Masa, FISIPOL UGM, Yogyakarta, 2006, p.11-12.
10
ikatan primordialisme mulai mengakar dalam kelompok tersebut sehingga menuntun
mereka (suku Dayak) membentuk politik identitas etnis sebagai perwujudannya untuk
melindungi identitas mereka.
Praktek politik identitas etnis terus berjalan hingga masa Orde Baru, meskipun
tidak secara terangan-terangan. Semasa Orde Baru pemerintah berusaha mencegah
terbentuknya kepemimpinan lokal. Hal ini disebabkan karena ketakutan rezim mengenai
timbulnya gerakan separatisme yang mengancam kepemimpinan pusat. Cara yang
dilakukan di antaranya dengan menempatkan orang-orang militer non-lokal untuk
menjabat sebagai posisi kunci.16 Pemerintah juga melakukan intervensi kepada urusan
daerah. Keputusan-keputusan yang dirasa penting selalu diputuskan oleh pusat. Sistem
pemilihan bupati misalnya, biasanya pemerintah pusat sudah terlebih dahulu menentukan
bupati yang dikehendaki sebelum proses pemilihan dengan tujuan menjamin kepentingan
pusat didahulukan dari kepentingan daerah. Ketidakpuasan warga suku Dayak terhadap
negara yang menurut mereka tidak memberikan perhatian kepada suku Dayak dan malah
memperburuk standar kehidupan mereka dengan mengubah hutan-hutan dan tanah adat
menjadi daerah transmigrasi, perkebunan dan penebangan kayu, juga telah turut
memperkuat sifat-sifat primordialisme dalam politik identitas etnis ini.
Dari kasus pemilihan Bupati Sintang 1994 di Kalimantan Barat, penulis
menganalisis bahwa politik identitas etnis yang sarat akan ikatan primordialisme ini
memengaruhi sistem politik yang ada di Kalimantan Barat. Hal ini dilihat dari tahapan
dalam sistem politik menurut David Easton. Pertama, dilihat dari inputnya. Suku Dayak
menuntut agar kandidat yang diangkat menjadi Bupati Sintang haruslah orang Dayak. Di
dalam tuntutan ini sarat akan primordialisme karena mereka menganggap yang pantas
menjadi pemimpin haruslah putra daerah. Mereka menentang keras bupati yang berasal
dari suku lain, dalam hal ini kandidat lainnya berasal dari suku Melayu. Di sisi lain, pada
saat itu berdasarkan prosedur yang berlaku dimana bupati terlebih dahulu ditentukan dan
dimonitor oleh pusat, setuju untuk mendukung dan menjadikan LH Kadir, seorang
birokrat Dayak, untuk menjadi bupati Sintang.
Kedua, dilihat dari proses yang berjalan. Dalam decision making process yang
dilakukan oleh anggota DPRD Kabupaten Sintang, pemilihan yang dilaksanakan juga
didasarkan pada ikatan primordialisme. Hal ini ditunjukan dengan perolehan suara
Kamarrulah yang merupakan birokrat Melayu lebih tinggi daripada LH Kadir, yaitu 21
suara dimana LH Kadir hanya mendapatkan 16 suara. Hal ini tidak biasanya terjadi.
16 J. S. Davidson, ‘Menyelundupnya Reformasi Keluar dari Pelabuhan Pontianak’, dalam J. Schiller (ed.),
Jalan Terjal Reformasi Lokal, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999, p.338.
11
Biasanya keputusan yang dihasilkan dalam decision making process sama dengan
ketentuan yang telah ditetap pusat. Terjadinya ketidaksesuaian hasil dengan rencana awal
ini dikarenakan oleh orang-orang Melayu di DPRD yang membelot dan menolak untuk
menjadikan birokrat Dayak menjadi bupati. Mereka juga menginginkan bupati yang
berasal dari suku mereka sendiri yaitu suku Melayu. Tindakan elit Melayu dalam DPRD
ini juga mengindikasikan sifat-sifat primordialisme.
Ketiga, dilihat dari output dan feedback yang diberikan masyarakat. Jika proses
telah dipengaruhi oleh ikatan-ikatan primordialisme, maka dipastikan kebijakan yang
akan dihasilkan akan sarat dengan ikatan primordialisme. Pengangkatan Kamarullah
menjadi Bupati Sintang kemudian memunculkan feedback berupa demonstrasi besarbesaran yang dilakukan oleh warga suku Dayak dengan memblokir jalan utama dan
merusak mobil-mobil warga yang melintas. Demonstrasi ini merupakan bentuk feedback
yang sarat akan nilai-nilai primordialisme yang lebih keras.
Ikatan primordialisme pada dasarnya berdampak buruk pada demokratisasi yang
dijalankan di Indonesia. Hal ini dikarenakan apabila pemilihan kepala daerah didasarkan
pada sifat-sifat primordialisme maka tidak diragukan lagi, para pemilih akan menutup
mata pada kredibilitas sang kandidat dan hanya melihat dari faktor etnis dan kesukuan
sang kandidat semata. Hal lain yang lebih dikhawatirkan lagi yaitu apabila sifat
primordialisme ini mulai menggunakan kekerasan sebagai alat untuk memengaruhi
kebijakan pemerintah, seperti yang telah dilakukan oleh warga suku Dayak. Jika hal yang
demikian terus terjadi maka akan mengancam kestabilan keamanan dan menimbulkan
kerusuhan yang berdampak lebih luas pada sub-sistem lain maupun lingkungannya.
Kekhawatiran ini didasari pada teori Gabriel A. Almond yang menyatakan bahwa sistem
politik yang dikelilingi oleh lingkungan, baik lingkungann domestik maupun lingkungan
internasional, dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh kedua lingkungan
tersebut.17 Sehingga bukan tidak mungkin politik identitas etnis ini bisa membahayakan
kestabilan nasional dengan meluasnya konflik menjadi gerakan separatisme. Oleh karena
itu langkah antisipasi diperlukan untuk mencegah pecahnya konflik yang disebabkan
oleh ikatan primordialisme.
Pemerintah pasca-Orde Baru telah melakukan beberapa kebijakan untuk
menciptakan politik identitas etnis yang damai. Oleh karena politik identitas etnis yang
sulit untuk dihilangkan, maka pemerintah hanya bisa melakukan konsolidasi berupa
kompromi etnis untuk mengurangi konflik kekerasan maupun kerusuhan yang
17 G. A. Almond, ‘Studi Perbandingan Sistem Politik’, dalam M. Mas’eod dan C. MacAndrews,
Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, p.
12
ditimbulkan dari politik tersebut. Konsolidasi yang dilakukan pemerintah yaitu dengan
menciptakan kabupaten etnis. Pemekaran kabupaten ini dilakukan setahun setelah
berakhirnya Orde Baru dengan menghasilkan dua kabupaten baru yaitu Bengkayang dan
Landak. Kedua kabupaten ini memiliki populasi mayoritas suku Dayak dan dulunya
merupakan bagian dari Kabupaten Sambas dan Pontianak. Selain itu, kecamatankecamatan yang memiliki populasi mayoritas suku Dayak juga dialihkan ke Kabupaten
Landak, misalnya kecamatan-kecamatan seperti Mandor, Menjali, dan Mempawah Hulu
yang awalnya berada dalam Kabupaten Pontianak.
Dengan terciptanya kabupaten etnis baru dimana Kabupaten Sambas dan
Kabupaten Pontianak sebagai kabupaten suku Melayu, sedangkan Kabupaten
Bengkayang dan Kabupaten Landak sebagai kabupaten suku Dayak, maka dalam hal ini
telah terjadi power sharing di antara kedua etnis mayoritas di Kalimantan Barat.18
Kebijakan ini merupakan bentuk dari consociational democracy, kerangka konseptual
Arend Lijpart dalam mengatasi rivalitas dan konflik di tengah menguatnya politik
identitas etnis.19 Power sharing di sini dilakukan dengan membagi kekuasaan khususnya
jabatan bupati untuk masing-masing etnis sehingga menghindarkan kedua suku untuk
berkonflik. Sejauh ini kebijakan power sharing telah berhasil meredam konflik. Landak
dan Bengkayang yang dulunya menjadi daerah rawan konflik pun kini sudah menjadi
tenang.
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan yang telah disampaikan dalam makalah ini, penulis mengambil
beberapa simpulan. Pertama, praktek politik identitas etnis yang terjadi di Kalimantan Barat
18 T. Tanasaldy, ‘Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat’, dalam H. S. Nordholt (eds.), Politik Lokal di
Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, p.478.
19 M. Haboddin, p. 111.
13
antara suku Dayak dan suku Melayu merupakan bentuk dari budaya politik primordialisme
karena mengacu pada perpolitikan yang dilakukan para elit etnis dalam memperebutkan
kekuasaan berdasarkan ikatan etnis. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa ikatan
primordialisme yang terjadi di Kalimantan Barat kurang lebih telah terlembaga dalam bentuk
politik identitas etnis yang lebih nyata karena mereka memiliki peranan dan memengaruhi
lembaga legislatif setempat.
Kedua, ikatan primordialisme yang terkandung dalam politik identitas etnis ini telah
memengaruhi sistem politik dimana pengambilan keputusan atau decision making process
yang terjadi dalam lembaga legislatif di Kalimantan Barat dipengaruhi oleh ikatan
primordialisme, khususnya masalah etnis dan agama. Secara tidak langsung, hal ini akan
memengaruhi kebijakan yang diambil pemerintahan serta implementasi kebijakannya.
Masyarakat yang mengimplementasikan kebijakan ini pun akan turut menerapkan budaya
politik primordial ini, sehingga budaya politik ini mengakar dalam masyarakatnya sendiri dan
sulit dihilangkan.
Dan ketiga, dibutuhkan power sharing di antara kedua etnis mayoritas ini untuk
mengurangi kerusuhan maupun konflik kekerasan yang akan merugikan banyak pihak.
Power sharing yang dilaksanakan dengan menciptakan kabupaten etnis oleh pemerintah
pasca-Orde Baru ini telah berhasil meredam pecahnya konflik dan telah mengubah daerah
Landak dan Bengkayang yang dulunya rawan konflik menjadi daerah yang tenang. Dengan
demikian, ikatan primordialisme dalam politik identitas etnis ini akan terus memengaruhi
sistem politik yang berjalan di Kalimantan Barat. Namun dengan upaya konsolidasi yang
dilakukan, setidaknya budaya politik primordialisme di Kalimantan Barat telah dicegah agar
tidak menimbulkan kerusuhan dan konflik kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Artikel Jurnal
14
Haboddin, M. ‘Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal’, Jurnal Studi Pemerintahan,
vol. 3, no. 1, Februari 2012, p. 109-126.
Buku
Abdillah, U., Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Indonesiatera,
Magelang, 2002.
Alfian dan Sjamsuddin, N. (eds.), Profil Budaya Politik Indonesia, PT Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta, 1991.
Geertz, G., Interpretation of Culture, Basic Books Inc. Publisehers, New York, 1973.
Heywood, A., Political Theory: an Introduction, 3rd edn, Palgrave Macmillan, New York,
2004.
Mas’eod, M. dan MacAndrews, C. (eds.), Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2006.
Nordholt, H. S. (eds.),. Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007.
Schiller, J., Jalan Terjal Reformasi Lokal, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999.
Sulhan, M., Dayak yang Menang Indonesia yang Malang: Representasi Identitas Etnik
Dayak di Media Masa, FISIPOL UGM, Yogayakarta, 2006.
Van Klinken, G., Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007.
15