BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Peran Kejaksaan Dalam Penentuan Hak Restitusi Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Putusan Nomor : 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dewasa ini kasus tindak pidana perdagangan orang terutama perempuan

  dan anak (Trafficking in Persons Especially Women and Children) merupakan

  1

  salah satu issu serius yang harus dihadapi dunia termasuk Indonesia. Masalah perdagangan orang sangat kompleks, dari waktu ke waktu semakin berkembang dan meningkat, sehingga sulit untuk menekan angka pertumbuhannya. Perdagangan orang merupakan perbuatan serupa dengan perbudakan modern yang melanggar harkat dan martabat manusia (Hak Asasi Manusia), yang bertentangan dengan tata hukum, merugikan masyarakat dan anti sosial.

  2 Indonesia merupakan negara terbesar dan berada di urut ke 3 , yaitu

  negara yang diasumsikan tidak serius menangani masalah trafficking, tidak memiliki perangkat perundang-undangan yang dapat mencegah, melindungi dan menolong korban, serta tidak memliki peraturan perundang-undangan untuk melakukan penghukuman pelaku perdagangan orang. Jumlah kasus tindak pidana perdagangan orang yang tinggi berkonsekuensi menimbulkan jumlah korban perdagangan orang yang banyak sehingga memerlukan penanganan kasus yang optimal. Tahun 2007 Indonesia berhasil membuat peraturan yang khusus mengatur tentang perdagangan orang yaitu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun

                                                               1 Sumijati Sahala, Masalah perdagangan anak dan wanita berdasarkan protokol konvensi TOC, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, 2006), Hal 1. 2 http://www.antara.co.id/arc/2007/6/14/as-akan-tetap-bantu-ri-perangi-human-trafficking,

  2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang ini memberikan perlindungan terhadap korban perdagangan orang salah satu hak korban adalah untuk mendapatkan restitusi. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 menyatakan bahwa restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Selanjutnya, dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor

  21 Tahun 2007 mengatur tentang mekanisme pengajuan restitusi. Dapat dilihat bahwa bentuk ganti kerugian yang disebut restitusi itu dalam bentuk uang. Tujuan ganti rugi yaitu pemenuhan atas tuntutan berupa imbalan sejumlah uang.

  Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena undang-undang ini belum optimal dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul. Selama ini penanganan perkara pidana terlalu berorientasi pada tersangka atau terdakwa sehingga kurangnya perhatian terhadap korban yang mengakibatkan haknya terabaikan. Banyaknya korban tidak di imbangi dengan perlindungan hak dan kewajibannya. Setiap korban perdagangan orang seharusnya berhak mendapat bantuan hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlunya perlindungan hukum bagi korban khususnya korban perdagangan orang harus diperhatikan. Bentuk perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang adalah pemberian restitusi dan kompensasi, layanan konseling, pelayanan medis atau pemulihan kesehatan fisik dan psikis (rehabilitasi), upaya pemberian bantuan hukum dan pendampingan, pemberian informasi dan reintegrasi (penyatuan kembali ke keluarganya atau ke lingkungan masyarakatnya).

  Menurut Gelaway yang merumuskan lima tujuan dari kewajiban

  3

  mengganti kerugian, yaitu : 1. meringankan penderitaan korban; 2. sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan; 3. sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana; 4. mempermudah proses pengadilan; 5. dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam.

  Restitusi lebih diarahkan kepada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan yang dilakukan si pelaku. Sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. Tolak ukur untuk menentukan jumlah atau besar kecilnya ganti kerugian tergantung pada status sosial pelaku dan korban, dimana Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak menentukan secara tegas dan hanya menjelaskan bahwa restitusi adalah hak korban atau ahli warisnya.

  Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan, tidak dijelaskan ukuran besar atau indikator jumlah restitusi dan layak tidaknya ganti rugi yang diberikan. Perdagangan orang kini dinyatakan sebagai masalah global yang serius dan bahkan telah menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku. Dari berbagai data dalam angka-angka yang

                                                               3 Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,

  bisa ditampilkan berkaitan dengan perdagangan orang dikeluarkan oleh

  4 International Labor Organization (ILO, 2005), memperkirakan bahwa : 1.

  12,3 juta manusia di seluruh dunia telah dipaksa menjadi buruh atau tenaga kerja paksa. ILO menganggap bahwa tenaga kerja paksa adalah masalah global yang sesungguhnya karena telah menimbulkan dampak yang serius pada sebagian besar umat manusia, baik di negara-negara berkembang maupun negara maju; 2. 40-50% korban dari tenaga kerja paksa ini adalah anak-anak; 3. Mayoritas korban (64%) yang menjadi tenaga kerja paksa masuk dalam eksploitasi ekonomi seperti misalnya dalam pertanian, pertambangan dan kegiatan ekonomi lainnya; 4. 11% korban adalah tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi seksual komersial;

  5. Mayoritas (65%) korban tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi ekonomi adalah perempuan dan anak-anak perempuan, dan 98% korban tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi seksual komersial adalah perempuan dan anak-anak perempuan;

  6. 20% (2,45 juta orang) tenaga kerja paksa tersebut adalah korban perdagangan orang dan 43% dari mereka masuk dalam eksploitasi seksual komersial.

  Kenyataan bahwa yang lebih dominan korban adalah perempuan dan anak karena merekalah kelompok yang sering menjadi sasaran dan dianggap paling rentan. Korban perdagangan orang biasanya ditipu, diberlakukan tidak manusiawi, dan dieksploitasi. Bentuk-bentuk eksploitasi itu sendiri diantaranya dengan cara memperlakukan korban untuk bekerja yang mengarah pada praktik-praktik eksploitasi seksual, perbudakan atau bentuk-bentuk perbudakan modern, perbuatan transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersial, sampai penjualan bayi yang dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan mendapatkan keuntungan besar bagi pelaku perdagangan orang. Kasus perdagangan orang terutama terjadi di kota–kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Medan, Padang,

                                                               4 http://www.jurnalhet.com/dokumen/upaya-pemberantasan-perdagangan-orang-maslihati,

5 Pontianak, Makasar, dan Manado. Kaum perempuan yang terjebak bisnis

  narkotika sebenarnya dapat dikategorisasikan sebagai korban perdagangan perempuan yang dapat terjadi karena : diawali dengan rekrutmen perempuan mengggunakan penipuan dalam berbagai bentuk, terutama melalui hubungan personal seperti : pacaran, perkawinan, hidup bersama, dan hubungan personal lain antara perempuan dan pengedar atau pemilik narkotika yang sesungguhnya (laki-laki asing); orang-orang yang mendapat keuntungan dari bisnis ini; adanya

  6 unsur migrasi; dan adanya unsur kekerasan.

  Berdasarkan data tersebut terdapat banyak kasus mengenai tindak pidana perdagangan orang dan faktanya tidak banyak vonis yang mencantumkan ganti rugi kepada korban disebabkan berbagai faktor penghambat seperti : kurangnya pemahaman penegak hukum terkait restitusi, kurangnya pemahaman masyarakat terkait kepentingan korban, kurangnya pemahaman korban tindak pidana perdagangan orang terkait dengan hak-haknya, kurangnya sarana dan prasarana, tidak adanya peraturan pelaksana dan terlalu ringannya kurungan pengganti. Untuk itu diperlukan adanya regulasi tehadap peraturan perdagangan orang, khususnya dalam tataran legislasi, yaitu dengan membuat peraturan-peraturan yang merupakan peraturan yang menunjang atau pelaksana dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

  Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mengatur secara umum mengenai perdagangan orang adalah KUHP dan hanya memiliki satu pasal saja

                                                               5 6 Farhana.Op.Cit., Hal 6.

  Sulistyowati Irianto, Lim Sing Meij, Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan yaitu, Pasal 297 tetapi tidak jelas karena yang dijadikan korban perdagangan orang hanya perempuan dan anak laki-laki belum dewasa, padahal korban perdagangan orang tidak terbatas usia dan jenis kelamin. Sanksi hukum dalam

  Pasal 297 KUHP sangat ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita oleh korban. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak belum mampu untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Dalam ketentuan lain sudah terdapat peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah dalam penghapusan perdagangan orang, seperti : Peraturan Daerah khusus untuk Sumatera Utara, Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan

  

(Trafficking) Perempuan Dan Anak, Rencana Aksi Provinsi Sumatera Utara

Nomor 24 Tahun 2005.

  Konsekuensi dari upaya pencegahan tersebut, pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan yang dimaksudkan untuk melindungi dan menghormati HAM, diantarnya adalah Keputusn Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Komersial Anak (RAN RESKA), dan Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A). Sejalan dengan semangat untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, maka sejak tahun 2002 telah banyak hasil yang dicapai dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang, antara lain ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Untuk mendukung pelaksanaan undang-undang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 tentang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAN TPPO) dan

  7 Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009-2014.

  Faktor utama penyebab terjadinya perdagangan orang diantaranya yang dominan adalah persoalan ekonomi dan kemiskinan. Selain itu berdasarkan

  8

  analisisnya juga terdapat beberapa faktor lain, seperti : kurangnya pengetahuan akibat dari terjadinya trafficking, keinginan untuk secara cepat mendapatkan uang atau kerja yang mudah dan tidak terlalu berat, orang tua yang kurang kontrol dan adanya faktor izin dari orang tua, mudahnya memperoleh izin dari birokrat (kelurahan, kecamatan dan lain-lain institusi), keinginan mengikuti perkembangan modern serta gaya hidup yang konsumtif, kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis.

  Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang merupakan salah satu tujuan dari kebijakan hukum pidana (social defence), yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat (socialwelfare) harus sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yaitu bahwa negara dan pemerintah harus melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan kesejahteraan umum sesuai dengan yang tertuang dalam Undang- Undang Dasar 1945. Penting bagi negara untuk menghukum atas terjadinya pelanggaran HAM dalam tindak pidana perdagangan orang serta memberikan

                                                               7 Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana Dan (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Hal 162.

  Pencegahannya, 8 Moh. Hatta, Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Teori Dan Praktek, perlindungan kepada korban atau orang-orang yang diperdagangkan. Sebab tindak pidana perdagangan orang dirasakan sebagai ancaman bagi masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sehingga dalam penegakan hukum memerlukan upaya yang menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan, serta terkordinasi dengan baik. Perlindungan terhadap perempuan dan anak telah menjadi tugas bersama segenap bangsa Indonesia untuk dapat menanggulangi kejahatan kemanusiaan.

  Diperlukan upaya pencegahan dan penanganan perdagangan orang dengan lebih meningkatkan peran serta fungsi sektor, baik di tingkat pusat sampai ke daerah maka perlu dibentuk gugus tugas sebagai institusi yang akan membantu pemerintah. Gugus tugas adalah lembaga koordinatif yang beranggotakan wakil- wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi. Pengaturan gugus tugas terdapat dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

  Tujuan sistem peradilan dapat terwujud apabila penegakan hukum pidana bekerja dengan baik, selaras dan berwibawa, terutama apabila aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan petugas lapas), dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diamanatkan oleh undang-undang (integrated

  

criminal justice administration). Keempat badan/institusi tersebut harus dapat

  bekerja sesuai dengan sistem yang berlaku dan mengacu pada managemen sistem

  9 peradilan pidana yang berlaku.

                                                               9 Henny Nuraeny, Op.Cit., Hal 85.

  Maka di sadari pentingnya peran dari seluruh pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan. Perlunya Jaksa yang profesional dan harus mempunyai peran yang aktif dalam menangani kasus tindak pidana perdagangan orang. Jaksa harus dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dengan baik, diharapkan agar tidak lalai untuk memberitahukan kepada korban tentang haknya mengajukan restitusi. Pengajuannya dapat dilaksanakan sejak korban melaporkan kasusnya ke Kepolisian Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan tindak pidana yang dilakukan. Jaksa menyampaikan jumlah kerugian yang di derita korban bersamaan dengan tuntutan yang tidak akan menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya. Berdasarkan uraian di atas, penting untuk dilakukan penelitian tentang Peran Kejaksaan Dalam Penentuan Hak Restitusi Tindak Pidana Perdagangan Orang.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka permasalahan pokok dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana peraturan hukum dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang ?

  2. Bagaimana peran kejaksaan dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang ?

  3. Apa yang menjadi hambatan-hambatan dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Berdasarkan perumusan masalah diatas, adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini dirumuskan sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui peraturan hukum dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang.

  2. Untuk mengetahui peran kejaksaan dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang.

  3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi jaksa dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang.

  Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis

a. Untuk menambah pengetahuan tentang penyelesaian tindak pidana

  perdagangan orang.

  b. Agar dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya dalam bidang hukum pidana dan hukum acara pidana.

  2. Manfaat Praktis

  a. Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran kepada semua pihak terkait dalam menangani masalah tindak pidana perdagangan orang.

  b. Memberikan informasi agar dapat dilakukan penanganan apabila muncul persoalan yang sama nantinya.

  D. Keaslian Penulisan

  Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan studi literature sepanjang yang diketahui belum dilakukan penulisan yang membahas judul tentang “Peran Kejaksaan Dalam Penentuan Hak Restitusi Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Putusan Nomor : 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn). Penelitian ini asli karena belum ada peneliti yang melakukan penelitian tersebut di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Jaksa

  Ditinjau dari segi etimologi bahasa, khususnya mengenai asal-usul perkataan atau sebutan Jaksa yang bersumber dari bahasa Sansekerta atau bahasa Jawa Kuno (Jawa Kawi). Pengertian Jaksa dalam bahasa Inggris ialah Public

  Prosecutor (Jaksa Umum atau Jaksa Biasa), Jaksa Agung (Attorney General),

  Kantor Kejaksaan (Office of a Public Prosecutor, Office of Council for the

  

Prosecution). Sebutan Jaksa di Indonesia sudah berabad-abad lamanya digunakan

  dan berasal dari bahasa Sansekerta Adhyaksa. Sebutan ini juga dipakai untuk gelar pendeta paling tinggi di Kerajaan-kerajaan Hindu di Pulau Jawa, dan terutama dipakai untuk gelar hakim kerajaan yang tertinggi. Pada zaman pemerintahan

  VOC (di abad keenam belas) ditulis sebagai “j-a-x-a”. Sejak zaman itu sampai dengan pemerintahan kolonial belanda di tahun 1942, “jaxa” kemudian diubah menjadi “djaksa” dipakai sebagai sebutan untuk para Pejabat Hukum Bumi Putera yang hampir sama dengan seorang magistrate. Sejak zaman pendudukan militer jepang (1942-1945), “jaksa” – pada masa itu ditulis “djaksa” adalah gelar bagi

  10 para pejabat hukum yang berwenang menuntut perkara-perkara pidana.

  Menurut konsep R. Tresna antara lain menyatakan : “bahwa nama jaksa atau yaksa berasal dari India dan gelar itu di Indonesia diberikan kepada pejabat yang sebelum pengaruh hukum Hindu masuk di Indonesia, sudah biasa

  11 melakukan pekerjaan yang sama”.

  Menurut pandangan SAHERODJI, menjelaskan bahwa : “Kata Jaksa berasal dari bahasa sansekerta yang berarti Pengawas (Superintedant) atau

  12 pengontrol yaitu pengawas soal-soal kemasyarakatan”.

  Pengertian Jaksa sesuai lampiran Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia tahun 1978, ialah : “Jaksa asal kata dari Seloka Satya Adhy Wicaksana yang merupakan Trapsila Adhyaksa yang menjadi landasan jiwa dan raihan cita- cita setiap warga negara Adhyaksa dan mempunyai arti serta makna sebagai berikut :

  SATYA, kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap TYME, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun sesama manusia.

  ADHI, kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab baik terhadap TYME terhadap keluarga dan sesama manusia.

  WICAKSANA, bijaksana dalam bertutur kata dan tingkah laku khususnya

  13 dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.

                                                               10 Surachman Dan Andi Hamzah, Jaksa Di Berbagai Negara Peranan Dan Kedudukannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), Hal 3 – 4. 11 Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum Dan Stabilitas Politik, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), Hal 41 - 42. 12 13 Ibid.

  Ketentuan Pasal 1 menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan bahwa :

  1. Jaksa adalah Pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.

  2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

  3. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

  4. Jabatan Fungsional Jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan.

  Menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 a dan b KUHAP, menyebutkan bahwa:

  a. Jaksa adalah Pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

  b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.

2. Pengertian Hak Restitusi

  Hak adalah segala sesuatu yang harus di dapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir. Salah satu bentuk upaya perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada korban perdagangan orang adalah melalui pemberian restitusi. Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi dari pelaku.

  Ada beberapa komponen terkait hak restitusi korban yang harus diberikan pelaku berupa ganti kerugian atas :

  1. Kehilangan kekayaan atau penghasilan;

  2. Penderitaan;

  3. Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau; 4. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.

  Restitusi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat dalam Pasal 1 butir 5 adalah :

  Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

  Restitusi menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pasal 1 angka 13 yaitu : “Pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.”

  Restitusi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban dalam Pasal 1 angka 5 adalah :

  “Ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu”.

  Inti tujuan dari kewajiban pemberian ganti kerugian tidak lain untuk mengembangkan keadilan dan kesejahteraan korban sebagai anggota masyarakat dan tolak ukur pelaksanaannya adalah dengan diberikannya kesempatan kepada korban untuk mengembangkan hak dan kewajiban sebagai manusia. Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang dan dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Pemberian restitusi dilakukan dalam empat belas hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan (Pasal 48 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang). Jika pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu empat belas hari, korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut ke pengadilan (Pasal 50 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang). Selain restitusi, korban berhak mendapat rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis. Hak tersebut dapat juga diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial dengan melaporkan kasus yang dialami kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 51 Undang-Undang Nomor

  21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang).

14 Menurut Stephen Schafer, perbedaan antara restitusi dan kompensasi

  adalah restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana

                                                               14 Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan

  

(the responsibility of the offender). Sedangkan kompensasi lebih bersifat perdata,

  timbul dari permintaan korban, di bayar oleh masyarakat atau negara (the responsible of the society).

3. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang

  Pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) menurut W.J.P. Pompe adalah : “Tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-

  15 Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.

  Menurut Simons pengertian tindak pidana adalah : “Sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atau pun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu

  16 tindakan yang dapat dihukum”.

  Sebelum Undang-Undang Tindak Pidana disahkan, pengertian tindak pidana perdagangan orang yang umum paling banyak digunakan adalah pengertian dari Protokol PBB untuk mencegah, menekan, dan menghukum pelaku perdagangan orang.

  17 Pengertian perdagangan orang menurut Protokol PBB adalah : a.

  Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain

                                                               15 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan : USU Press, 2010), Hal 81. 16 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), Hal 185. 17 dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayan paksa, perbudakan atau praktik- praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.

  b.

  Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud yang dikemukakan dalam subalinea (a) ini tidak relevan jika salah satu dari cara-cara yang dimuat dalam subalinea (a) digunakan.

  c.

  Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam subalinea (a) pasal ini.

  d.

  Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun.

  Dari pengertian tersebut tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan

  18

  satu sama lainnya, yaitu :

  a. tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang; b. cara, menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang; c. tujuan atau maksud, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup setidak- tidaknya eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan dan pengambilan organ tubuh.

  Pasal 297 KUHP menyatakan bahwa : “perdagangan wanita dan perdagangan anak-anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.

  Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, dalam Pasal 1 angka 1 Perdagangan Orang adalah sebagai berikut : “Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.

  19 Jennifer E. Enck memberi pengertian perdagangan orang yaitu :

“Recruitment, transport, harboring, transfer, sale or receipt of persons through

                                                             18

  

coercion, force, fraud, or deception in order to get people in situations such as

forced prostitution, domestic servitude, sweatshop labor or other kinds of work to pay debts.”

  Michelle O. P. Dunbar memberi pengertian perdagangan orang dalam konteks yang lebih sempit yaitu, dalam hubungannya dengan perdagangan perempuan. Menurutnya, konsep perdagangan perempuan tidak hanya dibatasi

  20 pada pelacuran paksa.

  Pengertian perdagangan orang dikemukakan oleh Aliansi Global Anti Perdagangan Perempuan (Global Alliance Against the Trafficking of

21 Women/GAATW) , yaitu : “All acts involved in recruitment and/or transportation

  

of a person within and across national borders for work or services by means of

violence or threat of violence, abuse of authority or dominant position, debt

bondage, deception or other forms of coercion”. (Semua usaha atau tindakan

  yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan mengggunakan penipuan atau tekanan, termasuk penggunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali).

  Tahun 1996 Europion Parliament Report mengartikan perdagangan orang

  22

  sebagai berikut :

  “The illegal action of someone who, directly or indirectly, encourages a

citizen from a country to enter or stay in another country in order to exploit that

person by using deceit or any other from og coercion or by abusing that person’s vulnerable situation or administrative status.”                                                                                                                                                                     19 Mahraus Ali dan Bayu Aji Pramono, Perdagangan Orang Dimensi, Instrumen (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2011), Hal 16 - 18.

  Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, 20 Ibid. 21   Ibid. 22  

  Pengertian perdagangan manusia menurut Rebecca Surtees dan Martha Wijaya adalah “sindikat kriminal”, yaitu merupakan perkumpulan dari sejumlah orang yang terbentuk untuk melakukan aktivitas kriminal. Dari pengertian diatas, sindikat kriminal itu perbuatannya harus dilakukan lebih dari satu orang dan telah melakukan perbuatan tindak pidana dalam pelaksanaannya. Aktivitas sindikat perdagangan perempuan dan anak ini kegiatannya dilakukan secara terorganisir.

  23 Pengertian secara terorganisir menurut sarjana adalah sebagai berikut : a.

  Donald Cressey : kejahatan terorganisir adalah suatu kejahatan yang mempercayakan penyelenggaraannya pada seseorang yang mana dalam mendirikan pembagian kerjanya yang sedikit, di dalamnya terdapat seorang penaksir, pengumpul, dan pemaksa.

  b.

  Michael Maltz : kejahatan terorganisir sebagai suatu kejahatan yang dilakukan lebih dari satu orang yang memiliki kesetiaan terhadap perkumpulannya untuk menyelenggarakan kejahatan. Ruang lingkup dari kejahatan ini meliputi kekejaman, pencurian, korupsi monopoli, ekonomi, penipuan, dan menimbulkan korban.

  c.

  Frank Hagan : kejahatan terorganisir adalah sekumpulan orang yang memulai aktivitas kejahatannya dengan melibatkan diri pada pelanggaran hukum untuk mencari keuntungan secara ilegal dengan kekuatan ilegal serta mengakibatkan aktivitasnya pada kegiatan pemerasan dan penyelewengan keuangan.

  Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 adalah sebagai berikut : “Setiap tindakan

                                                               23 Chairul Bariah Mosaza, Aturan-Aturan Hukum Trafiking (Perdagangan Perempuan dan

  atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini”.

F. Metode Penelitian

  Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam perumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut :

  1. Jenis Penelitian

  Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian empiris. Penelitian tipe ini lazim disebut Studi

  24

dogmatic atau penelitian doktrinal (doktrinal research). Dalam penelitian ini

  bertujuan untuk menemukan asas hukum atau doktrin hukum positif yang berlaku berupa norma-norma hukum positif dalam masyarakat. Sedangkan penelitian empiris, peneliti harus berhadapan langsung dengan warga masyarakat yang menjadi objek penelitian.

  2. Sumber Data

  Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yaitu, data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : a.

  Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan

                                                               24 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), Hal 25.

  perundang-undangan yang berlaku dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang berupa peraturan perundang-undangan, keputusan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah, peraturan daerah.

  b.

  Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian dan putusan pengadilan.

  c.

  Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya seperti ensiklopedia dan lain-lain.

  3. Metode pengumpulan data

  a. Studi Kepustakaan (Library Research), yakni studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan- tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, dan dokumen yang diteliti adalah putusan pengadilan.

  b. Studi Lapangan (Field Research), yakni studi lapangan dengan melakukan wawancara dengan para informan yaitu, Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.

  4. Analisis Data Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif.

  Maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil pada penulisan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

  Penulisan skripsi haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan pembahasan yang jelas. Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai isi tulisan skripsi ini. Maka penulis membuat sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

  BAB I PENDAHULUAN Di dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang, perumusan

  masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, alat pengumpul data, analisis hasil penelitian, kemudian dijelaskan yang merupakan sistematika dari penulisan itu sendiri.

  BAB II PERATURAN HUKUM HAK RESTITUSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Di dalam bab ini dijelaskan tentang peraturan hukum hak restitusi

  korban tindak pidana perdagangan orang, dalam bentuk Undang- Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Daerah, baik sebelum dan setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

BAB III PERAN KEJAKSAAN DALAM PENENTUAN HAK RESTITUSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Di dalam bab ini dijelaskan mengenai peran Jaksa sebagai penuntut

  umum dalam penentuan hak restitusi ketika menangani kasus tindak pidana perdagangan orang diwilayah hukum kota Medan.

  Juga tentang kedudukan Kejaksaan RI, serta tugas, wewenang dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia, serta analisa kasus.

  BAB

IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENENTUAN HAK RESTITUSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

  Di dalam bab ini dijelaskan tentang faktor penghambat yang dihadapi Jaksa dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang, baik hambatan secara internal dan eksternal.

BAB V PENUTUP Di dalam bab ini dijelaskan tentang kesimpulan yang diperoleh

  dari hasil penulisan skripsi dan studi lapangan. Kesimpulan ini diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang ada.

  Selain itu dalam bab ini juga diberikan saran-saran yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan atau paling tidak diharapkan mengurangi masalah yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.

Dokumen yang terkait

Peran Kejaksaan Dalam Penentuan Hak Restitusi Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Putusan Nomor : 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn)

3 64 101

Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungang Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Nomor 1554/Pid.B/2012/PN.MDN)

1 65 92

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam Hal Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta Authentik (Studi Putusan Nomor: 40/Pid.B/2013/Pn.Lsm)

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/2012/PN.Mdn)

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kajian Hukum Mengenai Peran Kepolisian dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 1 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia (Trafficking) (Analisis Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Nomor 03/Pid.B/2012/Pn.Sbg Dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/Pn.Sbg)

0 1 27