A. LEMBAGA JAMINAN 1. Pengertian Jaminan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Intervensi Negara dalam Ranah Hukum Privat: Studi Komparasi Antara Lembaga Jaminan Fidusia dan Gadai

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN Bab ini berisi tinjauan pustaka. Uraian pertama akan menyangkut hakikat kontrak, yang di

  dalamnya membahas mengenai lembaga jaminan, lembaga fidusia, lembaga gadai dan perjanjian, sebagai dasar untuk menganalisis dan juga tentang bezit dan levering.

A. LEMBAGA JAMINAN 1. Pengertian Jaminan

  Istilah Jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu Zekerheid atau

  cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhi

  tagihannya, di samping tanggung jawab umum debitur terhadap barang-barangnya. Istilah jaminan juga dikenal dengan agunan, yang dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 23 Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang

  Perbankan, defenisi agunan adalah: “Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”. Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accessoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank, yang diserahkan oleh debitur kepada bank.

  Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggerakan di Yogyakarta, disimpulkan pengertian jaminan adalah: “Menjamin dipenuhinya kewajiban yang

  1 dapa t dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum”. Defenisi di atas hampir sama dengan defenisi yang dikemukakan oleh M. Bahsan yang berpendapat bahwa jaminan adalah: “Segala sesuatu yang diterima kreditur dan

  2

  diserahkan debitur untuk men jamin suatu utang piutang dalam masyarakat”.

  2. Jenis Jaminan

  Jaminan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: 1. Jaminan perorangan (personal/coorporate guarantee) diatur dalam pasal 1820-1864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  2. Jaminan Kebendaan Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di

  Yogyakarta dihasilkan suatu rumusan bahwa jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Sedangkan jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan. Seperti ditegaskan dalam Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: “Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si debitur manakala orang itu sendiri tidak me menuhinya”.

  Sri Soedewi Masjhoen memberikan pengertian jaminan kebendaan yaitu:

  “Jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, dengan ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Sedangkan jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu,

  3 terhadap harta kekayaan debitur umumnya”.

  Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 4 macam, yaitu: 1. Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  2. Hak tanggungan, diatur di dalam UU Nomor 4 Tahun 1996.

  3. Jaminan Fidusia, diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 1999.

  4. Jaminan hipotik atas kapal laut dan pesawat udara.

  Menurut Soebekti jaminan perorangan (immateril) adalah: “Suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si

  4 berutang (debitur)”.

  Yang termasuk jaminan perorangan adalah: 1. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih.

  2. Tanggung menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng.

  3. Akibat hak dari tanggung renteng pasif, hubungan hak bersifat ekstren, hubungan hak antara para debitur dengan pihak lain (debitur). Hubungan hak bersifat intern, hubungan hak antara sesama debitur itu satu dengan yang lainnya.

3 Sri Soedewi Masjhoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum dan Jaminan Perorangan, op. cit., hal. 46-

  4. Perjanjian garansi Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu bertanggung jawab guna kepentingan pihak ketiga.

  Fungsi jaminan perorangan ini adalah sebagai jaminan/agunan tambahan seperti dimaksud dalam penjelasan Pasal 8 UU Perbankan No. 7 Tahun 1992. Pihak ketiga sebagai penjamin adalah:

  1. Pengurus yang sekaligus menjadi pemegang saham atau pengendali perusahaan debitur.

  2. Perusahaan yang menjadi pemegang saham atau pengendali perusahaan debitur. Cara pengikatan jaminannya dibuat dengan akta notariil.

  Dalam Jaminan perorangan ini pengurus yang menjadi penjamin disyaratkan, misalnya untuk menyerahkan agunan berupa tanah/rumah tinggal yang dimilikinya baik untuk pemberian kredit baru dan tambahan, atau untuk kredit yang berjalan. Dalam hal penjamin adalah perusahaan maka dimintakan Company Guarantee yang harus dilampiri dengan rincian harta kekayaan perusahaan sebagaimana tertuang dalam laporan keuangan perusahaan.

  Secara yuridis penjamin tidak dapat dipaksa untuk menyerahkan daftar harta kekayaannya. Meskipun penjamin menyerahkan daftar harta kekayaannya, hak bank atas harta kekayaan penjamin tetap hanya terbatas pada jumlah dan syarat tertentu. Sebaiknya kewajiban untuk menyerahkan daftar harta kekayaan penjamin dilakukan secara kasuistis.

  Di luar negeri lembaga jaminan dibagi menjadi 2 macam yaitu: 1. Lembaga jaminan dengan menguasai bendanya (possessorium security) 2. Lembaga jaminan tanpa menguasai bendanya

  Lembaga jaminan dengan menguasai bendanya adalah suatu lembaga jaminan, yang benda jaminannya berada pada penerima jaminan. Lembaga jaminan ini dibagi menjadi enam macam:

  1. Pledge or pawn, yaitu benda yang dijaminkan berada di tangan pemegang gadai

  2. Lien, yaitu hak untuk menguasi bendanya sampai utang yang berkaitan dengan benda tersebut dibayar lunas

3. Mortgage with possession, yaitu pembebanan jaminan (hipotek) atas benda bergerak.

  Lembaga ini belum dikenal di Indonesia 4. Hire Purchase, yaitu perjanjian antara penjual sewa dan pembeli sewa, dan hak milik atas barang tersebut baru beralih setelah pelunasan yang terakhir

  5. Conditional sale (pembelian bersyarat), yaitu perjanjian jual beli dengan syarat bahwa pemindahan hak atas barang baru terjadi setelah syarat dipenuhi, misalnya jika harga dibayar lunas 6. Credit sale, ialah jual beli di mana peralihan hak telah terjadi pada saat penyerahan meskipun harga belum dibayar lunas”.

5 Lembaga jaminan dengan tidak menguasai bendanya adalah suatu lembaga jaminan, dimana benda yang menjadi objek jaminan tidak berada atau tidak dikuasai oleh penerima jaminan.

  Yang termasuk lembaga jaminan ini adalah: 1.

  Mortage, yaitu pembebanan atas benda tak bergerak atau sama dengan hipotik.

  2. Chattel Moetgage, yaitu mortgage atas benda-benda bergerak. Umumnya ialah mortgage atas kapal laut dan kapal terbang dengan tanpa menguasai bendanya.

  3. Fiduciary transfer of ownership, yaitu perpindahan hak milik atas kepercayaan yang dipakai sebagai jaminan utang.

  4. Leasing, yaitu suatu perjanjian dimana si peminjam (leassee) menyewa barang modal untuk usaha tertentu dan jaminan angsuran tertentu”.

  6 Penggolongan ini bertujuan memudahkan debitur untuk membebani hak-hak yang digunakan dalam pemasangan jaminan, dengan opsi jenis jaminan yang berlaku untuk mendapatkan fasilitas kredit pada lembaga perbankan atau pegadaian.

3. Sifat Perjanjian Jaminan

  Pada dasarnya perjanjian kebendaan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian tambahan (accesoir). Perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keungan non bank (perjanjian utang piutang). J. Satrio dengan mengutip pendapat Rotten mengemukakan bahwa: “perjanjian pokok adalah perjanjian-perjanjian, yang untuk adanya mempunyai dasar yang

  7 mandiri”.

  Perjanjian pokok ini dijumpai dalam perjanjian kedit bank. Dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dijumpai pengertian kredit yaitu: “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

  Munir Fuady memberikan pengertian perjanjian accessoir adalah “perjanjian yang tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/membuntuti perjanjian lainnya yang

  8 merupakan perjanjian pokok”.

  Menurut Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani perjanjian assesoir adalah “suatu bentuk perjanjian atau/perikatan bersyarat, yang pelaksanaannya atau kebatalannya digantungkan pada pemenuhan atau ketiadaan pemenuhan dari suatu syarat, kondisi atau keadaan dalam

  9 perjanjian dasar yang menjadi dasar dari pembentukannya”.

  Perjanjian assesoir tidak dapat dan tidak mungkin berdiri sendiri. Meskipun tidak sepenuhnya benar, dalam berbagai hal, pengalihan hak atas prestasi dalam perjanjian dasar dari pihak kreditur kepada pihak ketiga membawa serta akibat hukum beralihnya perjanjian

  assesoir kepada pihak ketiga yang menerima pengalihan hak berdasarkan perjanjian dasar

  10 tersebut.

  Perjanjian accessoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Perjanjian accessoir ini dijumpai dalam perjanjian dengan pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, perjanjian hak tanggungan, perjanjian fidusia, perjanjian hipotik, perjanjian jaminan pribadi, dan perjanjian jaminan perusahaan.

B. LEMBAGA FIDUSIA 1.

  Pengertian Jaminan Fidusia Pengertian Jaminan Fidusia adalah menurut asal katanya berasa l dari “fides” yang

  11

  berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusi) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.

9 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2000, hal. 48.

  Pranata jaminan fidusia sudah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum Romawi. Ada dua bentuk jaminan fidusia, yaitu fiducia cum creditore dan fiducia cum amico.

  Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio. Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya fiducia cum creditore contracta, yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur, dikatakan bahwa kreditur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur sebagai jaminan atas hutangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali

  12 kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas.

  Jika dihubungkan dengan sifat yang ada pada setiap pemegang hak, maka dikatakan bahwa debitur mempercayakan kewenangan atas suatu barang kepada kreditur untuk kepentingan kreditur sendiri (sebagai jaminan pemenuhan perikatana oleh kreditur).

  Pasal 1 Undang-undang tentang Fidusia memberikan batasan dan pengertian sebagai berikut: “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.”

  “Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunana bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.” Dari defenisi yang diberikan di atas, jelas bahwa fidusia dibedakan dari jaminan fidusia, dimana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti pranata jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 ini adalah pranata

  13 jaminan fidusia sebagaimana dimaksud fiducia cum creditore contracta di atas.

  2.

  Pasal 2 Undang-undang Jaminan Fidusia memberikan batas ruang lingkup berlakunya Undang-undang Jaminan Fidusia, yaitu berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia, yang dipertegas kembali oleh rumusan yang dimuat dalam Pasal 3 UUJF yang menyatakan bahwa UUJF ini tidak berlaku terhadap: 1.

  Jaminan fidusia yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian, bangunan di atas milik orang lain yang tidak dapat dibebani jaminan fidusia berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan objek jaminan fidusia.

  2. Hipotik atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) m3 atau lebih.

  3. Hipotik atas pesawat terbang, dan 4.

  Gadai.

  Adapun yang dimaksud dengan subjek dari Jaminan Fidusia adalah mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian Jaminan Fidusia, yang dalam hal ini terdiri atas pemberi dan penerima fidusia. Antara objek Jaminan Fidusia dan subjek Jaminan Fidusia mempunyai kaitan yang erat, oleh karena benda-benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia menurut Munir Fuady, yaitu: 1.

  Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum 2. Dapat atas benda berwujud.

  3. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang 4.

  Benda bergerak 5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan jaminan fidusia 6. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hiopotek 7. Baik atas benda yang sudah ada, maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian.

  Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.

  8. Dapat atas satuan jenis benda.

  9. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda.

  10. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia.

  11. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

  12. Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi objek jaminan

  14 fidusia.

  Sementara menurut H. Salim HS, berdasarkan Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tersebut, objek Jaminan Fidusia dibagi 2 (dua) macam yaitu :

  1. Benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan, 2.

  Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani Jaminan fidusia.

  Yang dimaksud dengan bangunan yang tidak di sini dalam kaitannya dengan bangunan rumah susun, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985

  15 tentang Rumah Susun.

  Sedangkan menurut J. Satrio, bahwa yang menjadi objek Jaminan Fidusia adalah: 1. Benda bergerak 2. Benda tidak bergerak 3.

  Khususnya yang berupa bangunan yang tidak dibebani dengan jaminan fidusia

  16 4.

  Dan harus bisa dimiliki dan dialihkan.

  Berdasarkan uraian tentang objek jaminan fidusia di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa objek jaminan fidusia dengan objek jaminan pada gadai ada perbedaannya. Untuk melihat perbedaan tersebut, perlu diuraikan tentang benda menurut KUH Perdata sebagai berikut :

  1. Menurut Pasal 503 KUH Perdata benda itu dapat dibagi dalam : o Benda yang berwujud, ialah segala sesuatu yang dapat diraba oleh panca indera, o seperti : rumah, mobil, buku.

  Benda yang tak berwujud, ialah segala macam hak, seperti : hak cipta, hak merek perdagangan.

  2. Menurut Pasal 504 KUH Perdata benda itu dapat juga dibagi atas : o Benda bergerak, dapat dibagi menjadi :

   Benda bergerak menurut sifatnya ialah benda yang dapat dipindahkan (Pasal 509 KUH Perdata), seperti : kursi, meja, buku.

   Benda bergerak menurut ketentuan undang-undang ialah hak-hak yang melekat atas benda bergerak (Pasal 511 KUH Perdata), seperti : hak memungut hasil atas benda bergerak, saham-saham perusahaan, piutang- o piutang.

  Benda tidak bergerak, dapat dibagi menjadi :

   Benda tidak bergerak menurut sifatnya ialah benda yang tidak dapat dipindah-pindahkan (Pasal 506 KUH Perdata), seperti : tanah dan segala yang melekat diatasnya, rumah, gedung, pepohonan. Benda tidak bergerak karena tujuannya ialah benda yang dilekatkan pada  benda tidak bergerak sebagai benda pokok untuk tujuan tertentu (Pasal 507 KUH Perdata), seperti : mesin-mesin yang dipasang di suatu pabrik. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang ialah hak-hak yang  melekat atas benda tidak bergerak (Pasal 508 KUH Perdata), seperti : hipotik, hak memungut hasil atas benda tidak bergerak.

  Untuk masing-masing kelompok benda tersebut KUH Perdata telah memberikan lembaga jaminannya sendiri-sendiri, yaitu untuk barang bergerak disebut dengan gadai, sedangkan untuk benda tetap disebut dengan hipotik.

  Dalam Pasal 1150 jo. Pasal 1152 KUH Perdata menyatakan, yang dapat dijadikan objek dari hak gadai ialah semua benda bergerak. Selanjutnya Pasal 1167 KUH Perdata mempertegas lagi dengan menyatakan, bahwa barang-barang bergerak tidak dapat dihipotikkan.

  Konsekwensi pembagian benda seperti tersebut di atas dikemudian hari tidak diikuti secara konsekwen, karena kita pernah mengenal lembaga jaminan benda bergerak yang disebut oogstverband dan untuk benda tetap yang disebut credietverband. Bahkan, sekarang kita mengenal

  17 lembaga jaminan untuk persil berupa jaminan fidusia dan fidusia untuk benda bergerak.

  Dengan adanya penyebutan secara khusus dan berturut-turut dalam Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata tentang hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutangpiutang atas bawa/tunjuk, dapat dikatakan bahwa gadai dapat diletakkan, baik atas barang-barang bergerak bertubuh (berwujud) maupun yang tidak bertubuh. Juga di dalam Pasal 1158, Pasal 1152 bis, dan Pasal 1153 KUH Perdata dibicarakan tentang menggadaikan suatu tagihan.

  Selanjutnya tentang objek jaminan kredit dalam kredit angsuran sistem fidusia merupakan jaminan tambahan dari perjanjian pokok berupa perjanjian hutang piutang antara Perum Pegadaian selaku Kreditur dengan pengusaha mikro dan pengusaha kecil selaku Debitur. Yang bisa dijadikan objek jaminan kredit adalah semua benda bergerak dan tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud.

  Selanjutnya tentang objek jaminan kredit dalam kredit angsuran sistem fidusia merupakan jaminan tambahan dari perjanjian pokok berupa perjanjian hutang piutang antara Perum Pegadaian selaku Kreditur dengan pengusaha mikro dan pengusaha kecil selaku Debitur. Yang bisa dijadikan objek jaminan kredit adalah semua benda bergerak dan tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud.

3. Sifat Jaminan Fidusia

  Ketentuan Pasal 1 angka 2 UUJF menyatakan bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Ini berarti UUJF secara tegas menyatakan jaminan fidusia adalah agunan atas kebendaan atas jaminan kebendaan (Zakelijke zekerheid, security right in rem) yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia, yaitu hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya. Hak ini tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia.(Pasal 27 ayat (3) UUJF.) Dengan demikian, tidak alasan untuk menyatakan bahwa jaminan fidusia hanya merupakan perbankan obligatoir yang melahirkan hak yang bersifat “persoonlijk” (perorangan) bagi kreditur.

  Dalam Pasal 4 UUJF juga secara tegas menyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian assesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Sebagai suatu perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut: 1.

  Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok Keabsahannya, semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok 2. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.

4. Pembebanan Fidusia dan Fidusia Ulang

  Pembebanan fidusia diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 10 Undang-Undang jaminan Fidusia No. 42 tahun 1999, yang dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen yang disebut dengan “Akta Jaminan Fidusia”. Akta jaminan fidusia ini dibuat dalam bentuk akta otentik, yang dibuat dihadapan notaris dengan menggunakan bahasa Indonesia. Menurut pasal

  6 Undang-Undang Jaminan Fidusia, akta ini antara lain harus berisikan hal-hal: a.

  Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia b.

  Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia c. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia d.

  Nilai penjaminan dan e. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia

  Utang yang pelunasannya dijaminkan dengan jaminan fidusia adalah: 1.

  Utang yang telah ada 2. Utang yang akan ada dikemudian hari (kontinjen), tetapi telah diperjanjikan dan jumlahnya sudah tertentu. Misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank.

  3. Utang yang dapat ditentukan jumlahnya pada saat eksekusi berdasarkan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban untuk dipenuhi, misalnya utang bunga atas perjanjian pokok yang jumlahnya akan ditentukan kemudian. Yang dimaksud dengan fidusia ulang adalah atas benda yang sama yang telah dibebankan fidusia, dibebankan fidusia sekali lagi. Walaupun dalam Undang-Undang

  Jaminan Fidusia ini terlihat, ada beberapa pasal yang seolah-olah saling bertentangan namun mengenai fidusia ulang ini dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang isinya adalah “Pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah didaftar”. Karena Undang-Undang Jaminan Fidusia masih menganut prinsip fidusia sebagai peralihan hak milik (secara kepercayaan) bukan hanya sebagai jaminan utang.

  Fidusia ulang oleh pemberi fidusia, baik debitur maupun penjamin pihak ketiga, tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia karena hak kepemilikan atas benda tersebut telah beralih kepada penerima fidusia.

  Ada satu kemungkinan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu pihak adalah kemungkinan yang diberikan berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang isinya adalah: “Jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidus ia tersebut”. Dari penjelasan Pasal 8

  Undang-Undang Jaminan Fidusia tersirat bahwa yang dimaksud adalah pemberian fidusia kepada lebih dari satu kreditur dalam bentuk pemberian kredit konsorsium atau sindikasi.

  Maksudnya fidusia diberikan secara bersama-sama pada waktu yang bersamaan dan semua kreditur saling mengetahui adanya dua atau lebih kreditur tersebut.

5. Pendaftaran Fidusia

  Pendaftaran jaminan fidusia diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 Undang- Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftarana Jmaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Peraturan Pemerintah ini terdiri dari atas 4 bab dan 14 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi pendaftaran fidusia, tata cara perbaikan sertifikat, perubahan sertifikat, pencoretan pendaftaran, dan penggantian sertifikat.

  Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia ditentukan bahwa benda, baik yang berada di dalam wilayah negara Republik Indonesia maupun benda yang berada di luar wilayah negara Republik Indonesia yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan. Untuk pertama kalinya kantor pendaftaran fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia. Kantor Pendaftaran Fidusia berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Azasi manusia.

  Tujuan pendaftaran fidusia adalah: 1. Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan.

  2. Memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada penerima fidusia terhadap kreditur lain. Ini disebabkan jaminan fidusia memberikan hak kepada pemberi fidusia untuk tetap

  18 menguasai objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan.

  Pendaftaran fidusia dilakukan terhadap hal-hal: 1. Benda objek jaminan fidusia yang berada di dalam negeri (pasal 11 ayat 1 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999).

2. Benda objek jaminan fidusia yang berada di luar negeri (pasal 11 ayat 2 Undang-Undang

  No. 42 tahun 1999). Terhadap perubahan isi Sertifikat Jaminan Fidusia (pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No. 42 tahun 1999).

  Pada pokoknya pendaftaran jaminan fidusia adalah sebagai berikut: a.

  Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan berada di lingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; b. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan secara tertulis dan dalam Bahasa

  Indonesia oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia: c.

  Pernyataan pendaftaran jaminan fidusia memuat: 1)

  Identitas pemberi dan penerima fidusia 2)

  Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia; 3)

  Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; 4)

  Uraian mengenai benda yang menjadi objek jamnan fidusia; 5)

  Nilai jaminan;

6) Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

  Pasal 2 ayat 4 PP No. 86 Tahun 2000, permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilengkapi dengan: a.

  Salinan akta notaris tentang pembebanan jaminan fidusia; b.

  Surat kuasa atau surat pendelegasian wewenang untuk melakukan pendaftaran jaminan fidusia; c.

  Bukti pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia.

  Kantor pendaftaran fidusia akan mencatat jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran dan kemudian menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia, sertifikat jaminan fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Ketika mencatat dalam buku daftar fidusia, petugas pendaftaran hanya berwenang melakukan pengecekan data dan tidak berwenang melakukan penilaian terhadap kebenaran data yang dicantumkan dalam pernyatan pendaftaran jaminan fidusia.

  Dengan dikelurkannya Keputusan Presiden nomor 139 Tahun 2000 tanggal 30 September 2000, di setiap wilayah ibukota propinsi dibentuk Kantor Pendaftaran Fidusia, yang terletak dalam lingkup Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

  Judul Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata- kata “DEMI KEADILAN BERDASARKA

  N KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Makna dari pencantuman kata-kata tersebut adalah bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sehingga apabila debitur wanprestasi, maka penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri (pasal 15 ayat 2 dan 3 UU Jaminan Fidusia). Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia.

  Jika terjadi kekeliruan penulisan dalam sertfikat jaminan fidusia yang telah diterima pemohon, dalam waktu 60 hari setelah menerima sertifikat itu, pemohon memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk diterbitkan sertifikat perbaikan. Sertifikat perbaikan memuat

  19

  tanggal yang sama dengan tanggal sertifikat semula. Sertifikat jaminan fidusia dapat saja mengalami perubahan terhadap substansi, antara lain perubahan objek jaminan fidusia, perubahan penerima fidusia, perubahan perjanjian pokok dan perubahan nilai jaminan.

  Adanya kewajiban melakukan pendaftaran jaminan fidusia merupakan suatu perwujutan dari asas publisitas. Dengan adanya publikasi terhadap jaminan utang, kreditur maupun khalayak ramai mempunyai akses untuk mengetahui berbagai informasi yang berhubungan dengan jaminan utang tersebut. Dengan adanya pendaftaran fidusia, diharapkan agar pihak debitur terutama debitur yang tidak beritikat baik, tidak dapat lagi membohongi/menipu kreditur atau calon debitur dengan memfidusiakan sekali lagi atau bahkan menjual benda objek jaminan tanpa sepengetahuan kreditur. Asas publisitas secara tersirat tercantum pada pasal 18 UU Jaminan Fidusia, yaitu: Segala keterangan mengenai benda fidusia yang menjadi objek jaminan fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum.

6. Asas-Asas Hukum Jaminan Fidusia

  Salah satu unsur yuridis dalam sistem hukum jaminan adalah asas hukum. Ini menunjukkan pentingnya asas hukum dalam suatu perundang-undangan. Istilah asas merupakan ter jemahan dari bahasa Latin “principium”, bahasa Inggris “principle” dan bahasa Belanda “beginsel”, yang artinya dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Asas hukum bukan suatu perintah hukum yang konkrit yang dapat dipergunakan terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan tidak memiliki sanksi yang tegas. Dalam peraturan-peraturan (pasal-pasal) dapat ditemukan aturan yang mendasar berupa asas hukum yang merupakan cita-cita dari pembentuknya.

  Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak mencantumkan dengan tegas asas-asas jaminan fidusia yang menjadi asas fundamen dari pembentukan norma hukumnya. Tan Kamelo melalui proses analitis mengemukakan asas-asas hukum jaminan fidusia yang terdapat dalam UndangUndang Jaminan fidusia adalah:

  Pertama, asas bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur

  preferens . Kedua, Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek

  jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada (droit de suite atau

  zaakgevolg ).Ketiga, asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim

  disebut asas asesoritas, keberadaan jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian utama atau

  principal. Keempat, asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas utang yang baru akan ada (kontinjen).

  Kelima, asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. Keenam, asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan/rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain (asas pemisahan horizontal).Ketujuh, asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Kedelapan, asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memilki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia.

  Kesembilan, asas bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran fidusia (asas publikasi). Kesepuluh, asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan (asas pendakuan).Kesebelas, asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur penerima jaminan fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia dari kreditur yang mendaftar kemudian. Keduabelas, asas bahwa yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai itikad baik. Ketigabelas, asas bahwa jaminan fidusia mudah

  20 dieksekusi.

  1. Asas preferens ini dapat dilihat dari pasal 1 angka 2 dan Pasal 27 UU Jaminan Fidusia.

  Dalam Pasal 27 ini dijelaskan bahwa hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Berbeda halnya dengan gadai yang tidak tegas menyatakan kreditur yang diutamakan dari kreditur lainnya. Akan tetapi hak untuk diutamakan yang dimiliki oleh penerima fidusia tidak mengurangi kedudukan untuk didahulukan terhadap piutang- piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sama halnya dengan ketentuan yang berlaku kepada hak tanggungan.

  2. Asas droit de suite atau zaakgevolg, pengakuan asas ini menunjukkan bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan dan bukan hak perorangan, dengan begitu hak jaminan fidusia dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan barhak untuk menuntut siapa saja yang mengganggu hak tersebut. Dalam asas droit de suite terdapat prinsip yang tua didahulukan dari yang muda berdasarkan urutan waktunya. Hal ini perlu dalam memberikan kepastian hukum bagi kreditur pemegang fidusia untuk memperoleh pelunasan utang dari hasil penjualan objek jaminan fidusia apabila debitur pemberi fidusia melakukan wanprestasi. Bahkan ketika benda jaminan fidusia berada pada pihak ketiga.

  Hak kebendaan jaminan fidusia baru lahir pada tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar jaminan fidusia. Karena itu, konsekwensi yuridis adalah pemberlakuan asas

  

droit de suite baru diakui sejak tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia.

  Maksud penegasan ini adalah kalau jaminan fidusia ini tidak dicatatkan dalam buku daftar fidusia berarti hak jaminan fidusia bukan merupakan hak kebendaan melainkan memilki karakter hak perorangan. Akibatnya, bagi pihak ketiga adalah tidak dihormatinya hak jaminan fidusia dari kreditur pemegang jaminan fidusia.

  Apabila terjadi peralihan benda jaminan fidusia, kreditur pemegang jaminan fidusia hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren tidak dapat dilindungi berdasarkan asas droit de suite (tidak didahulukan dari kreditur lain)

  Asas droit de suite ini tidak berlaku pada semua objek jaminan fidusia, ada pengecualian yaitu terhadap objek jaminan fidusia berupa benda persediaan. Tetapi Undang- Undang Jaminan Fidusia tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan benda persediaan tetapi hanya dijelaskan apa yang tidak termasuk benda persediaan yaitu: mesin produksi,

  21

  mobil pribadi, atau rumah pribadi yang menjadi objek jaminan fidusia. Dalam Undang- Undang Jaminan Fidusia dijelaskan bahwa sebelum Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 dibentuk benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin,

  22

  dan kendraan bermotor. Jadi belum ada kejelasan tentang benda persediaan yang dimaksud oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia. Menurut Tan kamelo benda persediaan adalah benda yang diuraikan dalam suatu daftar secara detail, spesifik baik mengenai jumlah maupun

  23 jenisnya.

  Debitur pemberi jaminan fidusia dapat mengalihkan benda persediaan sesuai dengan cara dan prosedur yang lazim dalam dunia perdagangan. Misalnya, dengan cara menjual kepada pihak ketiga, peralihan ini adalah sah dan pembeli adalah pemilik yang sempurna. Pada prinsipnya, pemberi jaminan fidusia dilarang untuk mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain objek jaminan fidusia, kecuali terhadap objek jaminan fidusia yang berupa benda persediaan.

  21 Penjelasan Pasal 23 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999.

  Asas assesoir, asas ini mempunyai arti bahwa keberadaan jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang yang melahirkan utang yang dijamin dengan jaminan fidusia. Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia , asas assesoir ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 yang isinya adalah: “Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”. Sesuai dengan asas

  assesoir ini hapusnya jaminan fidusia ini juga ditentukan oleh hapusnya utang atau karena

  pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima jaminan fidusia dan musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

24 Jadi Jaminan Fidusia ini merupakan perjanjian yang lahir

  dari perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang. Asas ini juga dianut dalam perjanjian hak tanggungan.

  Pencantuman asas ini adalah untuk menghilangkan keragu-raguan mengenai karakter jaminan fidusia yang bersifat assesoir dan bukan perjanjian yang berdiri sendiri. Sebelum lahirnya Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 hal ini sempat meragukan bagi dunia bisnis.

  Asas ini membawa konsekuensi hukum terhadap pengalihan hak atas piutang dari pemegang jaminan fidusia lama kepada pemegang jaminan fidusia yang baru. Hal ini berarti terjadi pemindahan hak dan kewajiban dari pemegang fidusia yang lama kepada pemegang fidusia yang baru, dengan syarat bahwa pemegang fidusia yang baru mendaftarkan perbuatan hukum (cessie) tersebut ke kantor pendaftaran fidusia.

25 Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas utang yang baru akan ada (kontinjen).

  Artinya pada saat dibuatnya akta jaminan fidusia, utang tersebut belum ada, tetapi sudah diperjanjikan sebelumnya dalam jumlah tertentu. Asas ini adalah untuk menampung aspirasi hukum dalam dunia bisnis perbankan, misalnya hutang yang timbul dari pembayaran yang

  26 dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank.

  Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. Asas ini telah diakui setelah keluarnya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang

  27 intinya adalah jaminan fidusia dapat dibebankan atas benda yang akan ada. Undang-Undang No.

  42 Tahun 1999 tidak hanya menetapkan objek jaminan terhadap benda yang akan ada, bahkan memberikan aturan terhadap piutang yang akan ada juga dapat dibebani dengan jaminan fidusia yang sebenarnya mengandung pengertian yang sama sebab piutang yang akan ada juga benda yaitu benda tidak berwujud untuk itu sebenarnya pengaturan piutang yang ada ini tidak perlu lagi.

  Perbedaan yang perlu ditegaskan adalah mengenai objek jaminan pada barang perniagaan dengan barang yang akan ada. Barang perniagaan objek jaminan fidusia sering terjadi sedangkan barang yang akan ada pergantian itu tidak terjadi dengan cepat seperti: taksi-taksi sebagai objek jaminan fidusia.

  Pengaturan asas ini adalah untuk mengantisipasi perkembangan dunia bisnis dan sekaligus dapat menjamin kelenturan objek jaminan fidusia yang tidak hanya terpaku pada benda yang sudah ada. Perwujutan asas ini merupakan penuangan cita-cita masyarakat dalam bidang hukum jaminan.

  Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan/rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain. Dalam ilmu hukum asas ini disebut dengan asas pemisahan horizontal.

  Dalam pemberian kredit bank, dapat menampung pihak pencari kredit khususnya pelaku usaha yang tidak memiliki tanah tetapi memiliki hak atas bangunan/rumah. Biasanya hubungan hukum antara pemilik tanah dan pemilik bangunan adalah perjanjian sewa.

  Asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Subjek fidusia yang dimaksudkan adalah identitas para pihak yakni pemberi dan penerima jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan yang dimaksud adalah data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia, uraian mengenai benda jaminan fidusia, nilai penjaminan dan nilai

  28 benda yang menjadi objek jaminan. Dalam hukum disebut asas spesialitas atau pertelaan.

  Asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia. Kewenangan hukum tersebut harus sudah ada pada saat jaminan fidusia didaftarkan ke kantor fidusia. Asas ini sekaligus menegaskan bahwa pemberi jaminan fidusia bukanlah orang berwenang berbuat. Dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 asas ini tidak secara tegas diatur, berbeda dengan pengaturan dalam hak tanggungan yang mengatur secara tegas dalam Pasal 8 Undang-Undang Hak tanggungan.

  Asas bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran fidusia. Dalam ilmu

  29

  hukum disebut dengan asas publikasi. Dengan dilakukannya pendaftaran akta jaminan fidusia, berarti perjanjian fidusia lahir dan momentum tersebut menunjukkan perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian kebendaan. Asas publikasi ini melahirkan kepastian hukum bagi kreditur.

  Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur

  30 penerima jaminan fidusia meskipun hal itu diperjanjikan. Asas ini disebut asas pendakuan.

  Asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia daripada kreditur yang mendaftarkan kemudian.

  28 Lihat Pasal 6 UU No. 42 tahun 1999.

  Asas bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai itikat baik. Dengan asas ini diharapkan bahwa pemberi jaminan fidusia wajib memelihara benda jaminan, tidak mengalihkan, menyewakan dan menggadaikannya kepada pihak lain.

  31 Asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi. Kemudahan pelaksanaan eksekusi

  dilakukan dengan mencantumkan irah- irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sertifikat jaminan fidusia. Dengan titel eksekutorial ini menimbulkan konsekuensi

  

yuridis bahwa jaminan fidusia mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang

  telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam penjualan benda jaminan fidusia, selain melalui titel eksekutorial, dapat juga dilakukan dengan cara melelang secara umum dan dibawah tangan.

C. LEMBAGA GADAI 1. Definisi dan Dasar Gadai

  Pemberian jaminan barang bergerak menurut hukum di Indonesia dapat dilakukan dalam bentuk

  “pand” menurut BW, “boreg” atau “gadai” menurut hukum adat. “Boreg”menurut

  hukum adat ditujukan kepada pemberian jaminan yang barangnya diserahkan dalam kekuasaan si

  32 pemberi kredit.

  33 Hak gadai menurut KUHPerdata diatur dalam Buku II Bab XX Pasal 1150 - 1161. Pihak

  yang menggadaikan dinamakan “pemberi gadai” dan yang menerima gadai, dinamakan “penerima

  31 32 Lihat Pasal 15 UU No. 42 Tahun 1999.

  Johannes Gunawan, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut Hukum Indonesia, Cet. 6, PT Citra Aditya Bakti, bandung, 1996, hlm. 61.

  

atau pemegang gadai ”. Kadang-kadang dalam gadai terlibat tiga pihak, yaitu debitur (pihak yang

  berhutang), pemberi gadai, yaitu pihak yang menyerahkan benda gadai dan pemegang gadai yaitu

  34 kreditur yang menguasai benda gadai sebagai jaminan piutangnya.

  KUHPerdata merumuskan gadai sebagai berikut: Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana

  35 harus didahulukan.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Pemerintah Daerah Sumba Barat dalam Pengendalian Penduduk di Era Otonomi Daerah

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Pemerintah Daerah Sumba Barat dalam Pengendalian Penduduk di Era Otonomi Daerah

0 0 12

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perubahan Sosial - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Desa Malinjak Bergerak: Studi Sosiologis tentang Persepsi dan Perubahan Perilaku Masyarakat Desa Malinjak dalam Praksis Tiga Gerakan Moral di Kabup

0 0 9

BAB IV GAMBARAN TIGA GERAKAN MORAL DALAM DESA MALINJAK 4.1 Munculnya Tiga Gerakan Moral di Kabupaten Sumba Tengah Kabupaten Sumba Tengah terletak di Pulau Sumba. Dalam era otonomi daerah, - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Des

0 3 15

BAB V PERSEPSI DAN PERUBAHAN PERILAKU MASYARAKAT DESA MALINJAK DALAM PRAKSIS TIGA GERAKAN MORAL 5.1. Realitas kehidupan kolektif yang malas, boros, dan tidak aman 5.1.1. Dari Rajin Berkebun ke Sifat Jenuh dan Malas - Institutional Repository | Satya Wacan

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Desa Malinjak Bergerak: Studi Sosiologis tentang Persepsi dan Perubahan Perilaku Masyarakat Desa Malinjak dalam Praksis Tiga Gerakan Moral di Kabupaten Sumba Tengah

0 0 13

BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Wisata Karaoke - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 1 9

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 1 10

BAB V PERAN AKTOR DALAM PEMANFAATAN RUANG SARIREJO KOTA SALATIGA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Intervensi Negara dalam Ranah Hukum Privat: Studi Komparasi Antara Lembaga Jaminan Fidusia dan Gadai

0 0 27