Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Karet Rakyat Menjadi Lahan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Stm Hulu Kabupaten Deli Serdang

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Karet
Tanaman karet secara umum memiliki masa produksi selama 25-30 tahun. Untuk
menghasilkan lateks pada tanaman karet, pohon karet akan dilukai kulitnya
dengan maksud untuk membuka pembuluh lateks sehingga lateks dapat mengalir
keluar. Penyadapan pohon karet untuk pertama kalinya akan dilakukan jika
tanaman karet yang berada dalam suatu hamparan lahan sudah matang sadap
pohon dan matang sadap kebun. Matang sadap pohon adalah suatu kondisi di
mana tanaman karet akan memberikan hasil lateks maksimal ketika disadap tanpa
menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan kesehatan pohon karet tersebut.
Dengan perawatan yang baik, matang sadap pohon umumnya bisa dicapai pada
saat tanaman karet berusia 4-5 tahun (Nazaruddin dan Paimin, 1998)
Analisis pendapatan usahatani untuk tanaman musiman (annual crop) berbeda
dengan tanaman tahunan (parenial crop). Usaha tanaman tahunan memiliki resiko
yang lebih tinggi maka pendapatan yang diperoleh haruslah lebih tinggi pula

dibandingkan dengan pendapatan tanaman musiman. Hernanto (1996), analisis
pendapatan terhadap usahatani penting dalam kaitannya dengan tujuan yang
hendak akan dicapai oleh setiap usahatani dengan berbagai pertimbangan dan
motivasinya. Analisis pendapatan pada dasarnya memerlukan 2 (dua) keterangan
pokok yaitu: (a) keadaan penerimaan dan (b) keadaan pengeluaran (biaya
produksi) selama jangka waktu tertentu.

4

5

Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah
memiliki beraneka ragam perkebunan yang bernilai ekonomis. Salah satu
komoditas perkebunan yang menjadi andalan Negara Indonesia di pasar dunia
adalah karet. Karet merupakan komoditas perkebunan yang memberikan devisa
terbesar kedua kepada Negara Indonesia setelah sawit.
Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber
pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi
sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian
lingkungan dan sumberdaya hayati. Namun sebagai negara dengan luas areal

terbesar dan produksi kedua terbesar dunia, Indonesia masih menghadapi
beberapa kendala, yaitu rendahnya produktivitas, terutama karet rakyat yang
merupakan mayoritas (91%) areal karet nasional dan ragam produk olahan yang
masih terbatas, yang didominasi oleh karet remah (crumb rubber). Rendahnya
produktivitas kebun karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal tua, rusak dan
tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta kondisi kebun yang
menyerupai hutan. Oleh karena itu perlu upaya percepatan peremajaan karet
rakyat dan pengembanan industri hilir (Anonim, 2015).
Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh rakyat,
perkebunan negara dan perkebunan swasta. Pertumbuhan karet rakyat masih
positif walaupun lambat yaitu 1,58%/tahun, sedangkan areal perkebunan negara
dan swasta sama-sama menurun 0,15%/th. Oleh karena itu, tumpuan
pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat. Namun luas
areal kebun rakyat yang tua, rusak dan tidak produktif mencapai sekitar 400 ribu

6

hektar yang memerlukan peremajaan. Persoalannya adalah bahwa belum ada
sumber dana yang tersedia untuk peremajaan. Pada tingkat hilir, jumlah pabrik
pengolahan karet sudah cukup, namun selama lima tahun mendatang diperkirakan

akan diperlukan investasi baru dalam industri pengolahan, baik untuk
menghasilkan crumb rubber maupun produk-produk karet lainnya karena
produksi bahan baku karet akan meningkat (Anonim, 2015).
Salah satu permasalahan pokok perkaretan Indonesia adalah harga jual yang tidak
stabil dan cenderung menurun, serta persaingan pasar yang semangkin berat.
Persaingan bukan hanya terbatas pada satu negara saja, melainkan sudah meluas
hingga ke negara-negara karet sintesis. Untuk memperkuat daya saing karet alam
Indonesia, perlu dilakukan langkah-langkah peningkatan efektivitas dan efisiensi
disemua bidang. Peningkatan yang dimaksud terutama dilakukan pada
produktivitas, mutu, pemanfaatan sumber daya, serta peningkatan aktivitas dan
efektivitas pemasaran (Tim Penulis PS, 2008).
Selain itu keparahan penyakit banyak dialami oleh perkebunan karet rakyat dan
perkebunan besar. Perkebunan karet rakyat sering mengalami kerusakan yang
lebih berat dibandingkan dengan perkebunan besar karena kurangnya upaya
pengendalian (Fox, 1977 dan Wijewantha, 1964). Dibandingkan dengan tanaman
karet, tanaman kelapa sawit lebih tahan dan lebih sedikit terserang oleh penyakit,
sebagai contoh penyakit yang sering menyerang tanaman karet adalah penyakit
akar putih yang banyak menimbulkan kematian pada tanaman karet. Dengan
banyaknya penyakit yang menyerang tanaman karet tersebut maka biaya yang
dikeluarkan petanipun semakin tinggi untuk usahataninya, petani mengalami


7

kerugian yang tidak sedikit apalagi tanaman perkebunan merupakan tanaman yang
memerlukan waktu yang cukup lama dalam pembudidayaannya.
Dewasa ini, karet merupakan bahan baku lebih dari 50.000 jenis barang. Dari
produksi karet, 46% digunakan untuk pembuatan ban dan selebihnya untuk karet
busa, sepatu, dan beribu jenis barang lainnya. Karet dihasilkan oleh tidak kurang
dari 20 negara di dunia. Negara-negara penghasil karet terbesar terletak di Asia
Tenggara, yaitu Malaysia, Indonesia dan Thailand (Setyamidjaya, 1993).
Selain getah karet, bagian lain yang dapat dimanfaatkan adalah kayu karet. Kayu
atau pohon karet mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan
pembuatan furniture tetapi belum optimal, sehingga diperlukan upaya
pemanfaatan lebih lanjut. Agribisnis karet alam di masa datang akan mempunyai
prospek yang makin cerah karena adanya kesadaran akan kelestarian lingkungan
dan sumberdaya alam, kecenderungan penggunaan green tyres, meningkatnya
industri polimer pengguna karet serta makin langka sumber-sumber minyak bumi
dan makin mahalnya harga minyak bumi sebagai bahan pembuatan karet sintetis.
Pada tahun 2002, jumlah konsumsi karet dunia lebih tinggi dari produksi.
Indonesia akan mempunyai peluang untuk menjadi produsen terbesar dunia

karena negara pesaing utama seperti Thailand dan Malaysia makin kekurangan
lahan dan makin sulit mendapatkan tenaga kerja yang murah sehingga keunggulan
komparatif dan kompetitif Indonesia akan makin baik. Kayu karet juga akan
mempunyai prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu
asal hutan. Pengembangan karet ke depan lebih diwarnai oleh kemajuan IPTEK
dan kapital yang makin tinggi agar lebih kompetitif. Tujuan pengembangan karet

8

ke depan adalah mempercepat peremajaan karet rakyat dengan menggunakan klon
unggul, mengembangkan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah, dan
meningkatkan pendapatan petani (Anonim, 2015).
2.1.2 Kelapa Sawit
Pada umumnya tanaman kelapa sawit yang tumbuh baik dan subur sudah dapat
menghasilkan buah serta siap dipanen pertama pada umur sekitar 3,5 tahun jika
dihitung mulai dari pertanaman biji kecambah di pembibitan. Namun, jika
dihitung mulai penanaman di lapangan maka tanaman berbuah dan siap panen
pada umur 2,5 tahun. Keberhasilan suatu usaha perkebunan kelapa sawit antara
lain ditentukan oleh faktor bahan tanaman atau bibit yang memiliki sifat-sifat
unggul. Bibit yang unggul akan menjamin suatu pertumbuhan yang baik dan

tingkat produksi yang tinggi apabila perlakuan dilaksanakan secara optimal.
Dilihat dari pengusahaannya, perkebunan kelapa sawit Indonesia dibagi menjadi
tiga, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar
swasta. Perkebunan rakyat adalah perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh
rakyat memilki luas lahan yang terbatas, yaitu 1-10 ha. Dengan luas lahan
tersebut, tentunya menghasilkan produksi tandan buah segar (TBS) yang terbatas
pula sehingga penjualannya sulit dilakukan apabila ingin menjualnya langsung ke
prosesor / industri pengolah (Fauzi, 2012).
Peluang usaha pembudidayaan kelapa sawit di Indonesia sangatlah besar.
Budidaya kelapa sawit bukanlah budidaya yang musiman, melainkan tahunan.
Kelapa sawit mampu berproduksi lebih dari 20 tahun. Tentu hal ini sangat
menguntungkan bagi para pelaku usaha budidaya kelapa sawit dalam jangka

9

waktu yang panjang. Telah diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu
penghasil komoditas kelapa sawit terbesar di dunia (Adi, 2010).
Pada perkebunan sawit rakyat, permasalahan umum yang sering dihadapi antara
lain rendahnya produktivitas dan mutu produksinya. Kebun sawit rakyat rata-rata
hanya memproduksi 16 ton tandan buah segar (TBS) per hektar, sementara

potensi produksi bila menggunakan bibit unggul bisa mencapai 30 ton
TBS/ha/tahun.

Investasi

di

bidang

perkebunan

kelapa

sawit

sangatlah

menguntungkan. Memang, modal yang diperlukan sangat besar. Namun prospek
bisnis investasi perkebunan kelapa sawit benar-benar menjanjikan, banyak yang
menganggap bahwa investasi di komoditi ini adalah sebagai bentuk deposito unik

yang menghasilkan uang secara mudah tiap bulannya (Adi, 2010).
Prospek pengembangan kelapa sawit di Indonesia sangatlah bagus. Diperkirakan
permintaan terhadap produk kelapa sawit Indonesia akan tetap tinggi di masamasa mendatang. Dibandingkan dengan produk minyak substitusinya seperti
minyak kedelai, minyak jagung, minyak bunga matahari, permintaan terhadap
minyak kelapa sawit diperkirakan masih tetap tinggi. Tingginya permintaan
terhadap minyak kelapa sawit disebabkan minyak sawit memiliki banyak
keunggulan dibandingkan dengan produk substitusinya. Keunggulan tersebut
antara lain adalah relatif lebih tahan lama disimpan, tahan terhadap tekanan dan
suhu tinggi, tidak cepat bau, memiliki kandungan gizi relatif tinggi, serta
bermanfaat sebagai bahan baku berbagai jenis industri. Keunggulan lain adalah
dari sisi produktivitas dan biaya produksi yang relatif lebih rendah dibandingkan
minyak nabati lainnya (Adi, 2010).

10

2.1.3 Konversi Lahan
Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut konversi lahan adalah perubahan fungsi
sebagian atau seluruh lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan)
menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan
dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai

perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis
besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin
bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang
lebih baik (Lestari, 2009).
Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari, beberapa kasus menunjukkan jika
disuatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan
disekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Hal tersebut disebabkan oleh dua
faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di
suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi
semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya
mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor atau spekulan tanah
sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan
selanjutnya dapat merangsang petani lain disekitarnya untuk menjual lahan
(Irawan, 2008). Pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat,
sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum
rentan terhadap proses alih fungsi lahan (Wibowo, 1996).
Biasanya petani merubah fungsi lahannya dari komoditi lama menjadi komoditi
yang baru karena dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang bersifat ekonomi

11


maupun yang bersifat sosial. Faktor ekonomi terdiri dari jumlah tanggungan, luas
lahan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor sosial terdiri dari umur, pendidikan dan
pengalaman kerja. Salah satu komoditi yang diganti dengan tanaman baru adalah
tanaman karet yang dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit (Daulay, 2003).
Alih fungsi lahan di Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau terjadi pada lahan
pertanian. Petani lebih memilih menanam kelapa sawit karena tanaman ini lebih
menguntungkan. Namun, tanah yang telah ditanami kelapa sawit tidak bisa lagi
dijadikan persawahan dan ditanami padi karena komposisi tanahnya telah
berubah. Sama halnya dengan petani di Indragiri Hilir, para penanam karet di
Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara mengganti tanamannya ke kelapa sawit
karena tanaman ini lebih menguntungkan daripada karet. Di Propinsi Jambi, alih
fungsi lahan pertanian ke perkebunan kelapa sawit terjadi di daerah pasang surut
di Kecamatan Sabak Timur, Rantau Rasau, dan Nipah Panjang Kabupaten Jabung
Timur (Kompas, 2008).
Lahan karet yang luas sangat penting untuk memperoleh hasil produksi yang
maksimal. Namun seiring dengan alih fungsi lahan karet menjadi lahan kelapa
sawit, yang terjadi lahan karet semakin menurun yang mengakibatkan penurunan
produksi. Dibandingkan dengan budidaya tanaman karet, budidaya tanaman
kelapa sawit akhir-akhir ini lebih disenangi oleh para petani, dimana tanaman ini

dapat memberi keuntungan dan meningkatkan pendapatan petani (Goenawan,
2013). Apabila tanaman utama petani tidak ekonomis lagi karena harga rendah
dan biaya tenaga kerja tinggi yang mengakibatkan pendapatan petani menurun,

12

maka petani lebih memilih mengkonversi lahan ke komoditi yang lebih
menguntungkan.
Proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non- pertanian yang terjadi
disebabkan oleh beberapa faktor. Tiga faktor penting yang menyebabkan
terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu sebagai berikut.
1. Faktor eksternal merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika
pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.
2. Faktor internal dimana faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh
kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor kebijakan merupakan aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.
Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait
dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan
yang dilarang dikonversi (Lestari, 2009).
Masalah ketidak stabilan harga dialami oleh petani karet, yang secara langsung
mempengaruhi harga jual getah yang dijual petani kepada agen. Dalam dua tahun
terakhir, sesuai catatan Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatra
Selatan, harga jual karet memperlihatkan tren kemerosotan. Bahkan, harga karet
tahun 2014 merupakan terendah di tingkat petani, atau harga karet hanya berada di
kisaran Rp 5.000 – 5.500/kg. Akibat turunnya harga karet ini, para petani menjerit
karena sulit dan risau untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau harga
karet terus mengalami penurunan akan berdampak besar pada perekonomian
masyarakat, apalagi karet merupakan komoditas unggulan (Koran Jakarta, 2014).
Sedangkan untuk harga kelapa sawit relatif lebih stabil yaitu berkisar Rp 1.100 –

13

1.300/kg. Hal inilah yang membuat petani lebih memilih untuk menanam kelapa
sawit dibandingkan dengan usahatani karet yang harganya selalu menunjukkan
penerunan.
Rata-rata biaya produksi usaha perkebunan kelapa sawit setahun per hektar
mencapai Rp 4,4 juta, dan biaya pengeluaran usaha perkebunan kelapa sawit yang
paling besar yaitu untuk tenaga kerja sebesar 39,89 persen, dengan jenis kegiatan
terbesar berada pada proses pemanenan yang mencapai 25,85 persen dari seluruh
total biaya. Sedangkan rata-rata biaya produksi usaha perkebunan karet setahun
per hektar mencapai Rp 8,4 juta, dan biaya pengeluaran usaha perkebunan karet
yang paling besar yaitu biaya untuk tenaga kerja sebesar 56,19 persen, dengan
jenis kegiatan terbesar berada pada proses pemanenan yang mencapai 45,25
persen dari seluruh total biaya (BPS Banten, 2014).
Dalam (BPS Banten, 2014) hasil ST2013 sub sektor juga memberikan informasi
tentang struktur ongkos rumah tangga usaha perkebunan. Rata-rata jumlah total
biaya usaha tanaman karet selama setahun mencapai 70,30 % dari total nilai
produksi. Sementara untuk komoditas kelapa sawit rata-rata jumlah biaya yang
dikeluarkan selama setahun jika dibandingkan dengan nilai produksi mencapai
51,56 %. Dari hasil ini secara relatif kegiatan usaha tanaman kelapa sawit
memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan komoditas karet, sehingga banyak
masyarakat yang beralih komoditi yang semulanya karet menjadi kelapa sawit.
Pada komoditas kelapa sawit sebagian besar biaya digunakan untuk membayar
upah tenaga kerja sebesar 39,89 % dengan jenis kegiatan terbesar berada pada
proses pemanenan yang mencapai 25,85 % dari seluruh total biaya. Jenis biaya

14

lain yang juga cukup besar di struktur biaya komoditas kelapa sawit adalah biaya
perkiraan sewa lahan yang mencapai 29,31 %. Sementara itu rata-rata jumlah
biaya pupuk, pestisida dan stimulan masing-masing mencapai 6,90 %, 0,26 % dan
0,01 %. Struktur biaya komoditas tanaman karet secara relatif memiliki kesamaan
dengan kegiatan tanaman kelapa sawit, namun dari sisi biaya tenaga kerja untuk
pemanenan menghabiskan porsi paling besar diantara semua biaya yang
dibayarkan mencapai 45,25 % dari total biaya, hal ini dikarenakan proses
pemanenan pada tanaman kelapa sawit meliputi pekerjaan memotong tandan buah
masak, memungut brondolan, dan mengangkutnya dari pohon ke tempat
pengumpulan hasil (TPH) serta ke pabrik (BPS Banten, 2014).
Konversi lahan berawal dari permintaan komoditas pertanian yang kurang elastis
terhadap pendapatan dibanding dengan komoditas non pertanian. Oleh karena itu
pembangunan ekonomi yang berdampak pada peningkatan pendapatan penduduk
cenderung menyebabkan naiknya permintaan komoditas non pertanian dengan
laju lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan komoditas pertanian.
Konsekuensi lebih lanjut adalah karena kebutuhan lahan untuk memproduksi
setiap komoditas merupakan turunan dari permintaan komoditas

yang

bersangkutan, maka pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan
pendapatan akan menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar
pertanian dengan laju lebih cepat dibanding kenaikan permintaan lahan untuk
kegiatan pertanian (Irawan, 2005).
Berdasarkan kenyataan yang berkembang di masyarakat, pola konversi lahan
sawah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tipe yaitu secara bertahap (gradual)

15

adalah terjadi secara sporadis/terpencar yang dilakukan oleh perorangan dan
secara seketika (instant) bersifat massive, yaitu terjadi dalam satu hamparan luas
dan terkonsentrasi yang dilakukan oleh proyek pembangunan baik oleh pihak
swasta maupun pemerintah (Widjonarko, et all., 2006).
Konversi lahan pertanian menjadi bentuk penggunaan lainnya tidak terlepas dari
situasi ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
menyebabkan

beberapa

sektor

ekonomi

tumbuh

dengan

begitu

cepat.

Pertumbuhan sektor tersebut akan membutuhkan lahan yang lebih luas. Apabila
lahan tersebut letaknya dekat dengan sumber pertumbuhan ekonomi maka akan
bergeser penggunaannya ke bentuk lain. Hal ini terjadi karena land rent persatuan
luas yang diperoleh dari aktifitas baru lebih tinggi dari pada yang dihasilkan
pertanian (Anwar, 1993).
Ada tiga faktor baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan
determinan alih fungsi lahan sawah, yaitu: kelangkaan sumberdaya lahan dan air ,
dinamika pembangunan, peningkatan jumlah penduduk (Pasandaran, 2006)
Ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu: perubahan
perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan
keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor
terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah
sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai
pengendali terjadinya alih fungsi lahan (Witjaksono, 1996).
Penyakit karet sering menimbulkan kerugian ekonomis di perkebunan karet.
Kerugian yang ditimbulkannya tidak hanya berupa kehilangan hasil akibat

16

kerusakan tanaman, tetapi juga biaya yang dikeluarkan dalam upaya
pengendaliannya. Lebih 25 jenis penyakit menimbulkan kerusakan di perkebunan
karet. Pada perkebunan karet terdapat banyak jenis penyakit yang sering
menimbulkan kerusakan seperti penyakit akar, batang/cabang, daun tanaman dan
lain-lain. Penyakit akar merupakan penyakit yang penting karena berakibat
kepada kematian tanaman karet yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang
cukup berarti (Basuki, 1981; Situmorang dan Budiman, 2003).
Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman keras yang banyak menjadi
fokus pengalihan lahan pertanian lainnya.

Hal ini dikarenakan kelapa sawit

memiliki prospek dan nilai ekonomi yang tinggi. Akan tetapi, laju pertumbuhan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah sampai pada taraf yang
mengkhawatirkan dan mengancam kelestarian lingkungan (Kompas, 2008).
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Keputusan Konversi
Teori keputusan adalah teori mengenai cara manusia memilih pilihan yang
diantara pilihan-pilihan yang tersedia secara acak guna mencapai tujuan yang
hendak diraih (Hansson, 2005). Teori keputusan dibagi menjadi dua, yaitu : (1)
teori keputusan normatif yaitu teori tentang bagaimana keputusan seharusnya
dibuat berdasarkan prinsip rasionalitas, dan (2) teori keputusan deskriptif yaitu
teori tentang bagaimana keputusan secara faktual dibuat.

17

2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan
a. Harga
Pada dasarnya perubahan harga jual akan memberi pengaruh yang sangat besar
terhadap petani. Salah satu pengaruhnya yaitu tingkat pendapatan para petani,
yang selanjutnya sangat berpengaruh untuk memotivasi atau meningkatkan
produktivitas kerja para petani. Darwis (2006), menyatakan bahwa “harga jual
merupakan salah satu perangsang (motivator) bagi petani untuk melakukan
pekerjaannya”.
Faktor yang berperan penting yang menyebabkan proses konversi lahan pertanian
ke non pertanian yaitu sebagai berikut :
1) Perkembangan standar tuntutan hidup. Berhubungan dengan nilai land rent
yang mampu memberikan perkembangan standar tuntutan hidup petani.
2) Fluktuasi harga pertanian. Menyangkut aspek fluktuasi harga-harga komoditas
yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah.
3) Struktur biaya produksi pertanian. Biaya produksi dan aktivitas budidaya lahan
sawah yang semakin mahal dan cenderung memperkuat proses konversi lahan.
4) Teknologi. Terhambatnya perkembangan teknologi intensifikasi pada
penggunaan lahan yang memiliki tingkat pertanian yang terus meningkat akan
mengakibatkan proses ekstensifikasi yang lebih dominan. Proses ekstensifikasi
dari penggunaan lahan akan terus mendorong proses konversi lahan.
5) Aksesibilitas. Perubahan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi
terhadap

meningkatnya

aksesibilitas

lokal

akan

lebih

perkembangan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian.

mendorong

18

6) Resiko dan ketidak pastian. Aktivitas pertanian dengan tingkat resiko ketidak
pastian yang tinggi akan menurunkan nilai harapan dari tingkat produksi, harga
dan keuntungan. Dengan demikian penggunaan lahan yang mempunyai resiko
dan ketidak pastian yang lebih tinggi akan cenderung dikonversi ke
penggunaan lain yang resikonya lebih rendah (Nasution, et al., 2000).
b. Pendapatan usahatani
Faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan adalah nilai kompetitif
komoditi yang dihasilkan terhadap komoditi lain yang menurun dan adanya
peningkatan respon petani atau pengusaha perkebunan terhadap dinamika pasar,
lingkungan dan daya saing usahatani yang pada akhirnya akan merujuk pada
tingkat biaya dan pendapatan yang dihasilkan baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang akan meningkat (Ilham et al, 2009).
c. Biaya usahatani
Secara mikro, faktor penyebab konversi lahan yang lazim terjadi adalah faktor
ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan. Masyarakat pedesaan yang
tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil penjualan kegiatan
pertanian yang umumnya rendah, disisi lain pengerjaan lahan pertanian
memerlukan biaya yang tinggi. Faktor penting yang menyebabkan proses konversi
lahan adalah perkembangan standar hidup, fluktuasi harga pertanian, struktur
biaya produksi pertanian,

teknologi, aksesibilitas, resiko dan ketidak pastian

dalam pertanian (Nasoetion, et all., 2000).
d. Pengeluaran keluarga
Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan,
disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk

19

memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan
meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Lestari, 2009).
Konversi lahan sawah yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari interaksi
permintaan dan penawaran sumberdaya lahan. Menurut Barlowe (1978), faktorfaktor yang mempengaruhi penawaran lahan diantaranya adalah karakteristik fisik
alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Sedangkan
dari segi permintan faktor-faktor yang mempengaruhi adalah populasi penduduk,
perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan,
pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan serta perubahan sikap dan nilainilai yang disebabkan oleh perkembangan usia.
2.3. Penelitian Sebelumnya
Penelitian Kursianto (2011), Faktor yang mendorong petani melakukan konversi
lahan pertanian dan beralih ke lahan perkebunan disebabkan oleh pendapatan
usaha tani kelapa sawit lebih tinggi dengan tingkat resiko yang lebih rendah, nilai
jual/ agunan kebun lebih tinggi, biaya produksi usaha tani lebih rendah, dan
terbatasnya ketersediaan air.
Penelitian Syafa’at (1995), pada sentra produksi padi utama di Jawa dan luar
Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi
yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah :
(1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani
terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat.
Penelitian Agus et al. (2001), ada beberapa penyebab tingginya alih fungsi lahan
diantaranya adalah rendahnya tingkat pendapatan bertani padi sawah, tidak

20

dipatuhinya peraturan tata ruang (lemahnya penegakkan hukum tentang tata
ruang), keinginan mendapatkan keuntungan jangka pendek dari pengalih fungsian
lahan sawah, dan rendahnya koordinasi antara lembaga dan departemen terkait
dengan perencanaan penggunaan lahan.
Penelitian Pewista (2011), di Kabupaten Bantul, pada luas lahan < 1.000 m2,
dimana sebelum terjadi konversi lahan berjumlah 10 orang atau 14,29%, tetapi
kini meningkat menjadi 42 orang atau 60%. Untuk kepemilikan lahan 1.000–
2.000 m2 sebelum konversi lahan ada 45 orang atau 64,29% tetapi setelah
konversi lahan mengalami penurunan menjadi 22 orang atau 31,43%. Sedangkan
pemilik lahan > 2.000 m2 juga mengalami penurunan kepemilikan lahan dari 15
orang atau 21,42% menjadi 6 orang atau 8,57%.
Karakteristik penduduk dengan jumlah tanggungan keluarga 4-6 orang
mendominasi keluarga pemilik lahan. Hal ini mengidentifikasikan bahwa
penduduk dengan jumlah tanggungan keluarga 4-6 orang yang paling banyak
melakukan konversi lahan pertaniannya. Telah diketahui bahwa semakin
banyaknya tanggungan keluarga tentunya pengeluaran keluarga juga semakin
besar. Untuk mendapatkan penghasilan rumah tangga yang besar tentunya akan
dilakukan berbagai upaya, dan tidak sedikit petani yang memiliki lahan pertanian
akan mengkonversi lahan pertaniaanya untuk menghasilkan tambahan biaya agar
dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya (Pewista, 2011).
Menurut Daulay (2003), tidak sedikit juga petani yang mengkonversi lahan
mereka ke tanaman kelapa sawit dikarenakan mengikuti orang lain. Hal ini dapat
dilihat di Desa Batu Tunggal Kecamatan Na IX-X Kabupaten Labuhan Batu yang

21

70% petani karet mengkonversikan lahannya menjadi kelapa sawit dikarenakan
ikut-ikutan dengan orang lain, banyak petani di Desa Batu Tunggal melihat
kesuksesan pada petani yang mengusahan tanaman kelapa sawit, sehingga
menarik minat petani lain untuk ikut mengusahakan tanaman kelapa sawit dengan
mengganti tanaman karet yang selama ini petani usahakan.
Penelitian yang dilakukan oleh Asrul Wahid (2006), yang dilakukan di Kabupaten
Asahan, menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat
mengkonversi lahan karet menjadi lahan kelapa sawit secara parsial berpengaruh
signifikan adalah faktor ekonomi (pendapatan dan kemampuan menabung) dan
sosial (pendidikan dan minat).
Dalam penelitian Ginting (2005), di Desa Munte, Kabupaten Karo, alih fungsi
lahan di daerah tersebut mulai terjadi tahun 1997, hal ini terkait dengan keadaan
kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan secara keseluruhan di wilayah
Indonesia. Persentase luas lahan yang mengalami alih fungsi dari padi sawah ke
non padi sawah sekitar 38,65% dari seluruh luas lahan yang dimiliki petani.
Alasan petani melakukan alih fungsi lahan terutama akibat penurunan debit air,
disamping faktor lain seperti penurunan atau tidak sesuainya harga jual komoditi
padi sawah maupun komoditi non padi sawah.
Penelitian oleh Dewa Putu Arwan Suputra et al., (2012) menyatakan bahwa ada
empat faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di Subak Daksina, yaitu
faktor kondisi lahan, faktor ketergusuran (keterkaitan dengan kondisi penduduk),
faktor pemanfaatan lahan (untuk kepentingan sendiri) dan faktor ketidak efektifan
lahan. Variabel yang mewakili setiap faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan

22

di Subak Daksina ada 14 variabel yaitu variabel penghasilan lahan, fungsi lahan,
keadaan lahan kering, lokasi lahan, perbatasan pusat kota, keadaan lahan basah
mewakili faktor kondisi lahan; variabel terhimpit pemukiman, pertumbuhan
penduduk mewakili faktor ketergusuran (keterkaitan dengan kondisi penduduk);
variabel nilai jual lahan, biaya produksi, kebutuhan tempat tinggal keluarga
mewakili faktor pemanfaatan lahan (untuk kepentingan sendiri) dan variabel
digunakan sebagai sarana jalan, saluran irigasi, peluang kerja di sektor lain
menjanjikan mewakili faktor ketidak efektifan lahan. Persamaan dengan
penelitian ini adalah sama-sama mengukur faktor-faktor yang mempengaruhi
konversi lahan.
Penelitian yang dilakukan Ahmad Muzzani (2015), mengenai analisis faktor
pertimbangan petani yang berhungan dengan keputusan mengkonversi lahan
sawah irigasi menjadi lahan kelapa sawit yang dilakukan di Kecamatan
Hatonduan Kabupaten Simalungun. Variabel yang berhubungan nyata dengan
keputusan petani mengkonversi lahannya adalah faktor ekonomi yang mencakup
(ketersediaan lahan, keuntungan usahatani dan biaya pemeliharaan usahatani),
faktor lingkungan mencakup (ancaman hama penyakit, kondisi irigasi dan luas
lahan), serta faktor teknis mencakup (teknik budidaya, frekuensi panen dan
jumlah tenaga kerja dipakai.
Penelitian yang dilakukan oleh Rusydi Irawan (2015), yang dilakukan di
Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai, mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan persawahan menjadi perkebunan kelapa sawit
rakyat menunjukkan bahwa faktor pengeluaran keluarga petani, produktivitas padi

23

sawah, dan luas kepemilikan lahan berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi
lahan persawahan menjadi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan
Pegajahan tersebut.
2.4. Kerangka Pemikiran
Luas lahan karet rakyat yang pada awalnya cukup luas akhir-akhir ini makin
menyusut. Lahan karet yang luas sangat penting untuk memperoleh hasil produksi
yang maksimal. Namun seiring dengan konversi yang terjadi, luas lahan karet
semakin menurun. Perubahan dari penggunaan lahan yang awalnya digunakan
untuk perkebunan karet berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit
disebabkan oleh banyak faktor yang dipertimbangkan oleh petani. Dari banyak
faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengkonversi lahannya maka dipilihlah
beberapa faktor konversi lahan yang sesuai dengan karakteristik daerah penelitian
yaitu : biaya usahatani sebelum konversi lahan, harga karet ditingkat petani
sebelum konversi lahan, pendapatan usahatani sebelum konversi lahan,
pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan, luas kepemilikan lahan, minat
petani dan penyakit tanaman karet. Secara sistematis dibuat dalam skema berikut.

24

Biaya usahatani sebelum
konversi lahan
Harga karet ditingkat
petani sebelum konversi
lahan
Pendapatan usahatani
sebelum konversi lahan
Luas Lahan Yang
dikonversi

Pengeluaran keluarga
sebelum konversi lahan
Luas Kepemilikan
Lahan
Minat petani
Penyakit tanaman karet

Keterangan :

: Pengaruh
Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran

2.5 Hipotesis Penelitian
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan karet rakyat menjadi
kelapa sawit rakyat di daerah penelitian yaitu : biaya usahatani sebelum konversi
lahan, harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan, pendapatan usahatani
sebelum konversi lahan, pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan, luas
kepemilikan lahan, minat petani, dan penyakit tanaman karet.

Dokumen yang terkait

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Persawahan Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai

16 225 69

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Mengkonversi Lahan Karet Menjadi Lahan Kelapa Sawit Di...

2 28 3

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Karet Rakyat Menjadi Lahan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Stm Hulu Kabupaten Deli Serdang

2 22 79

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Persawahan Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 7

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Persawahan Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 1

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Karet Rakyat Menjadi Lahan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Stm Hulu Kabupaten Deli Serdang

0 0 11

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Karet Rakyat Menjadi Lahan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Stm Hulu Kabupaten Deli Serdang

0 0 1

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Karet Rakyat Menjadi Lahan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Stm Hulu Kabupaten Deli Serdang

0 0 3

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Karet Rakyat Menjadi Lahan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Stm Hulu Kabupaten Deli Serdang Chapter III VI

0 0 39

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Karet Rakyat Menjadi Lahan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Stm Hulu Kabupaten Deli Serdang

0 0 4