PEMULIHAN JASA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN KEPUASAN DAN LOYALITAS PELANGGAN Oleh : Darsono darsono93rocketmail.com Abstrak - PEMULIHAN JASA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN KEPUASAN DAN LOYALITAS PELANGGAN

  

PEMULIHAN JASA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN

KEPUASAN DAN LOYALITAS PELANGGAN

Oleh : Darsono

darsono93@rocketmail.com

  

Abstrak

Penanganan kegagalan dalam proses penyampaian jasa dapat dilakukan dengan antisipasi dan penganganan serta proses pemulihan jasa. Kinerja pemulihan jasa dapat ditingkatkan dengan melalui empat strategi utama, yaitu pertama dimulai dari rekrutmen, seleksi, pelatihan dan pemberdayaan karyawan. Keberhasilan upaya pemulihan jasa banyak dipengaruhi oleh efektivitas karyawan lini depan yang berinteraksi langsung dengan pelanggan dan menerima complain dari mereka. Kedua, menyusun pedoman dan standar pemulihan jasa. Kinerja perusahaan jasa dapat ditingkatkan dengan cara menyusun pedoman pemulihan jasa yang berfokus pada penciptaan kepuasan pelanggan dan keadilan (fairness). Ketiga, menyediakan kemudahan akses dan respon yang efektif melalui call center, call centers juga berkontribusi atas ketiga dimensi keadilan melalui kemudahan dan kenyamanan akses (24 jam sehari, 7 hari seminggu) serta respon atau penanganan masalah yang tepat. Keempat, menyusun data base pelanggan dan produk. Data base menyangkut pelanggan (seperti preferensi pelanggan, pembelian, dan insiden jasa), dapat menjadi sumber utama bagi pemecahan masalah dan pemulihan jasa secara cepat dan efektif. Kata kunci : recruitmen, standart, call center dan data base.

  Sektor jasa relative rentan terhadap kemungkinan terjadinya kegagalan dalam proses penyampaiannya (service delivery). Antisipasi dan penanganan setiap kegagalan tersebut serta proses pemulihan jasa memainkan peranan penting dalam upaya mewujudkan kepuasan dan loyalitas pelanggan.

  Sekalipun perusahaan jasa telah melakukan yang terbaik, tetap saja kegagalan jasa (service sering tidak terelakan. Misalnya, pesawat terlambat, staf berlaku kasar atau tidak sopan,

  failure)

  dan persoalan-persoalan lainnya. Menurut Denham (1998), secara garis besar masalah-masalah yang dihadapi setiap perusahaan dapat ditelusuri dari tiga sumber utama: (1) 40% masalah disebabkan oleh perusahaan sendiri, misalnya janji yang berlebihan; (2) 20% masalah disebabkan karyawan, misalnya perlakukan kasar dan tidak sopan; dan (3) 40% sisanya disebabkan pelanggan, misalnya tidak teliti membaca instruksi atau petunjuk yang diberikan.

  Setiap perusahaan pasti membuat kesalahan. Namun bagaimana kesalahan itu ditangani merupakan faktor kunci yang menentukan keberhasilan atau kegagalan mempertahankan pelanggan. Bila perusahaan acuh tak acuh atau malah menerima kegagalan jasa sebagai bagian dari bisnisnya sehari-hari, maka perusahaan bersangkutan akan mendapat masalah besar, bahkan dapat kehilangan bisnisnya. Kunci sukses bagi setiap perusahaan adalah bersikap proaktif dalam menekan setiap kemungkinan terjadinya kegagalan jasa dan memperlengkapi karyawan dengan serangkaian alat pemulihan (recovery) yang efektif guna memperbaiki servive encounter manakala terjadi kegagalan dalam memuaskan harapan pelanggan.

  Factor utama yang menyebabkan kegagalan jasa bersifat inheren dalam service encounter adalah karakteristik unik yang jasa yang membedakannya dari barang. Dikarenakan sifat intangibilitas, perbandingan antara persepsi dengan harapan oleh pelanggan menjadi proses evaluasi yang sangat subyektif. Konsekuensinya, tidak semua pelanggan akan merasa puas. Berkaitan dengan sifat heterogenitas, dalam proses penyampaian jasa akan terdapat berbagai variasi dan akibatnya, tidak semua service encounter akan sama atau identik. Sifat perishability menyebabkan penawaran dan permintaan jasa sangat sulit diselaraskan. Konsekuensinya, pelanggan jasa akan mengalami penundaan dalam layanan dari waktu ke waktu, sementara adakalanya pekerja jasa kehilangan kesabaran dalam usahanya memenuhi begitu banyaknya tuntutan dari para pelanggan yang tidak sabar dan panik. Selain itu, karakteristik inseparabilitas menempatkan penyedia jasa dalam interaksi langsung (face to face) dengan pelanggan. Interaksi langsung dan partisipasi pelanggan dalam proses produksi jasa sangat potensial menimbulkan berbagai macam masalah, terutama menyangkut kualitas jasa. Kegagalan jasa terjadi pada berbagai critical incidents dalam serfvice encounter. Setiap service terbentuk dari sejumlah critical incident atau “moments of truth”, yaitu momen

  encounter

  interaksi spesifik dan actual antara pelanggan dengan karyawan penyedia jasa yang terjadi dalam

  

critical incident jasa penerbangan antara lain: kekeliruan dalam penanganan bagasi, layanan

  yang lambat, sikap petugas yang tidak simpatik, dan perubahan jadwal penerbangan tanpa pemberitahuan. Respon karyawan terhadap kegagalan jasa berhubungan langsung dengan kepuasan atau ketidak puasan pelanggan. Kegagalan jasa umumnya dikelompokkan dalam tiga kategori berikut (Binter, et al., 1990)

1. Respon karyawan terhadap kegagalan system penyampaian jasa

  Tipe ini merupakan kegagalan dalam penawaran jasa inti perusahaan. Dalam konteks perusahaan penerbangan, contoh kegagalan semacam ini antara lain menghidangkan makanan yang sudah basi atau kadaluwarsa; keliru menangani bagasi penumpang; tidak mengumumkan perubahan jadwal penerbangan; kondisi pesawat yang jorok; kekurangan stok (seperti makanan, minuman, selimut, bantal, headphone, dan lain-lain; dan jumlah pramugari/.pramugara yang tidak memadai untuk melayani kebutuhan para penumpang. Semua aktivitas ini berkaitan langsung dengan jasa inti perusahaan penerbangan. Secara garis besar, kegagalan system penyampaian jasa terdiri atas respon karyawan terhadap tiga tipe kegagalan jasa.

  a. Ketidaktersediaan jasa (unavailable service), berkenaan dengan tidak adanya layanan tertentu yang biasanya tersedia b. Layanan yang lambatnya keterlaluan (unreasonable slow service) yaitu layanan atau karyawan yang dipersepsikan pelanggan sangat lambat dalam menjalankan fungsi atau tugasnya.

  c. Kegagalan jasa inti lainnya (other core service failurures) yang mencerminkan berbagai jasa inti yang ditawarkan oleh industry yang berbeda-beda, misalnya makanan yang sudah dingin, pesawat yang kotor, dan bagasi yang keliru ditangani (industry jasa penerbangan) 2. Respon karyawan terhadap kebutuhan individual dan permintaan special pelanggan. Kebutuhan pelanggan dapat implisit maupun eksplisit. Kebutuhan implisit adalah kebutuhan pelanggan yang tidak diminta secara khusus, namun sepatutnya diketahui dengan jelas oleh penyedia jasa. Contohnya kalau ada perubahan jadwal penerbangan, kebutuhan implisit para penumpang adalah bahwa informasi tersebut seharusnya diumumkan sehingga mereka dapat mengatur jadwal penerbangan alternatif selanjutnya. Sebaliknya, kebutuhan eksplisit adalah kebutuhan pelanggan yang memang jelas-jelas diminta. Misalnya, penumpang pesawat yang meminta voucher penginapan sehubungan dengan tertundanya jadwal penerbangan oleh pihak perusahaan. Secara garis besar, kebutuhan dan permintaan pelanggan mencakup respon karyawan terhadap empat tipe keumngkinan kegagalan jasa:

  a. Kebutuhan special, yaitu permintaan yang didasarkan pada pertimbangan medis, diet, psikologi, bahasa, atau sosiologis khusus pelanggan. Misalnya, menyediakan makanan khusus untuk vegetarian merupakan upaya memenuhi permintaan special.

  b. Respon karyawan terhadap preferensi pelanggan, menyangkut kemampuan karyawan memodifikasi system penyampaian jasa sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi preferensi khusus pelanggan yang bukan disebabkan masalah medis, diet, psikologis, bahasa, maupun sosiologis mereka. Contoh tipikal preferensi pelanggan restoran adalah permintaan mereka agar hidangannya ditukar atau diganti.

  c. Respon karyawan terhadap kesalahan pelanggan (customer error), meliputi skenario di mana kegagalan jasa disebabkan kesalahan pelanggan yang diakui atau diterima, seperti tiket dan kunci kamar hotel hilang.

  d. Respon karyawan terhadap disruptive others (pelanggan atau pihak-pihak tertentu yang mengganggu pengalaman jasa pelanggan lainnya), berkenaan dengan kemampuan karyawan dalam menenangkan situasi atau menyelesaikan perselisihan antar pelanggan. Misalnya meminta penonton bioskop agar tenang atau diam selama pertunjukan, atau meminta perokok agat tidak merokok di ruangan-ruangan restoran yang tidak boleh ada asap rokok.

  3. Tindakan karyawan yang tidak cepat dan tidak diminta (unprompted and unsolicited employee actions)

  Tipe ini menyangkut kejadian dan perilaku karyawan (yang baik maupun yang jelek) yang sama sekali tidak diharapkan pelanggan. Tindakan-tindakan ini tidak diminta pelanggan dan juga tidak menjadi bagian dari system penyampaian jasa inti. Kategori ini terdiri atas lima macam : a. Tingkat perhatian (level of attention), menyangkut sejauh mana tingkat respek karyawan kepada pelanggan. Salah satu cara mewujudkan tingkat perhatian positif adalah upaya karyawan “memanjakan” pelanggan dan mengantisipasi kebutuhan mereka. Di lain pihak, tingkat perhatian negative berkenaan dengan sikap karyawan yang acuh tak acuh atau mengabaikan pelanggan.

  b. Tindakan luar biasa (unusual actions) yang mencerminkan kejadian positif dan negative, di mana karyawan merespon dengan tindakan yang di luar kebiasaan.

  Contoh kejadian positif dia antaranya: perhatian khusus pada hari ulang tahun pelanggan dan sikap empati atas masalah atau musibah yang dialami pelanggan. Sedangkan contoh kejadian negative antara lain ketidak sopanan atau tutur kata yang kasar.

  c. Norma cultural, mengacu pada tindakan-tindakan karyawan jasa yang secara positif memperkuat norma cultural (seperti kesamaan hak, keadilan, dan kejujuran), serta yang melanggar norma social masyarakat. Pelanggaran norma social meliputi perilaku diskriminatif; tindakan tidak jujur seperti berdusta dan mencuri; serta aktivitas-aktivitas lainnya yang dianggap tidak fair oleh pelanggan.

  d. Gestalt, yaitu evaluasi pelanggan yang dibuat secara holistic dan tidak merinci atau menspesifikasi individual yang dianggap gagal dan bermasalah. Dalam hal ini, pelanggan hanya menggunakan ungkapan penilaian menyeluruh (overall terms). Contoh kompalin yang dapat dikategorikan evaluasi gestalt adalah komentar pelanggan seperti ” Tidak dibayangkan betapa buruknya kami diperlakukan oleh para karyawan perusahaan penerbangan Anda” tanpa menyebutkan aspek kegagalannya.

  e. Adverse conditions, meliputi tindakan positif maupun negative karyawan dalam kondisi penuh tekanan (stressfull). Pelanggan akan sangat terkesan bila ada karyawan perusahaan jasa yang dapat mengendalikan secara efektif situasi di mana hampir semua orang disekitarnya sudah kehilangan akal. Sebaliknya, tindakan anak buah kapal dan kapten kapal yang akan tenggelam yang naik sekoci sebelum penumpang, dikategorikan sebagai tindakan negatif dan tidak bertangung jawab dalam situasi penuh tekanan.

PERILAKU KOMPLAIN

  Dalam hal terjadi ketidakpuasan, paling tidak terdapat empat kemungkinan respon pelanggan. (lihat Gambar )

  Terjadi Ketidakpuasan Mengambil Tindakan Tidak Mengambil Tindakan Melakukan Melakukan Melakukan Private Action Direct Action Public Action

  Berhenti Memperingatk Komplain ke Menempuh

  Membeli an rekan instansi jalur hukum produk di mengenai pemerintah utk ganti rugi persh tsb produk persh

  Komplain ke Menuntut ganti Produsen/Penngecr/ rugi dari produsen produsen Ganbar: Alternatif Reaksi Pelanggan Bila Terjadi Ketidakpuasan.

  Sumber : Singh, J. (1998)

  

Pertama : tidak melakukan apa-apa. Maksudnya mereka tidak menyampaikan komplainnya

kepada siapapun. Namun, mereka praktis sudah beralih ke pemasok atau penyedia jasa lain.

  Kemungkinan kedua, berhenti membeli produk/jasa perusahaan bersangkutan dan atau menyampaikan negative/bad word–of-word kepada keluarga, rekan sejawat, maupun orang dekat lainnya (private actions). Informasi negative semacam ini biasanya mengalir cepat dan berdampak negative terhadap citra perusahaan maupun sikap pelanggan terhadap penyedia jasa dan produknya. Akibatnya, perusahaan dapat kehilangan banyak pelanggan potensial maupun pelanggan saat ini yang beralih ke pesaing.

  Kemungkinan ketiga, menyampaikan keluhan secara langsung dan atau meminta kompensasi kepada perusahaan maupun penyalurnya. Bila ini yang terjadi, sesungguhnya perusahaan komplain yang masuk dan ada peluang untuk mengatasi masalah-masalah sebelum menyebar luas (apalagi sampai merusak citra dan reputasi perusahaan). Bila komplain berhasil ditangani dengan efektif dan memuaskan, konsumen yang semula tidak puas dapat berubah menjadi puas dan tetap akan membeli produk/jasa perusahaan. Ini sangat kontras dengan konsumen yang langsung berhenti memakai jasa perusahaan tanpa menyampaikan komplain. Perusahaan tidak akan dapat mengetahui penyebab kekecewaan mereka dan melakukan perbaikan.

  Kemungkinan keempat, mengadu lewat media massa (misal menulis di surat pembaca surat kabar), mengadu ke lembaga konsumen atau instansi pemerintah terkait, dan atau menuntut produsen atau penyedia jasa secara hukum. Ini merupakan bentuk komplain yang paling di takuti setiap perusahaan. Komunikasi pemasaran dan public relation memegang peranan vital dalam mengantisipasi dan menangani kemungkinan terjadinya bentuk komplain ini. Berbagai riset psikologi konsumen menunjukkan bahwa kompalin dapat dibedakan menjadi dua tipe: instrumental complaints dan non-instrumental complaints. Instrumental complaints merupakan komplain yang diungkapkan dengan tujuan mengubah situasi atau keadaan yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, komplain kepada pramusaji mengenai steak yang kurang matang merupakan instrumental complaints. Dalam kasus ini pengkomplain sangat berharap bahwa si pramusaji memperbaiki situasi tersebut (dengan jalan memasak kembali steak itu atau menggantinya dengan yang lain). Sebaliknya non-instrumetal complaints dilontarkan tanpa harapan khusus bahwa situasi yang tidak diinginkan tersebut akan berubah. Contohnya komplain mengenai cuaca yang terlalu panas atau kualitas vocal diri sendiri yang jelek. Tipe non

  

instrumental ini mencakup pula instrumental complaints yang disampaikan kepada pihak ketiga

  dan bukannya kepada pihak yang menimbulkan masalah.misalnya komplain tentang masakan yang tidak enak di restoran tertentu disampaikan ke teman dan tidak kepada restoran bersangkutan. Menarik diamati, ternyata tipe non-instrumentals justru yang lebih banyak disuarakan oleh para pelanggan dari pada instrumental complaints.

  Dalam kaitannya dengan complain, Denham (1998) mengidentifikasi tiga tipe pelanggan ; active complainers, nactive complainers dan hyperactive comppaliners.

  1. Active complainers, yakni mereka yang memahami haknya, asertif, percaya diri, dan tahu persis cara menyampaikan komplain. Bila harapan mereka akan pelayanan dan nilai tidak terpenuhi, mereka akan menyampaikan komplainnya ke perusahaan yang

  (value)

  bersangkutan. Tipe pelanggan semacam ini sangat berharga bagi perusahaan, karena mereka cenderung langsung menginformasikn dan mencari solusi atas setiap komplain yang mereka rasakan. Dengan demikian perusahaan masih berpeluang untuk melakukan perbaikan dan memuaskan mereka.

  2. Inactive complainers, yakni mereka yang lebih suka menyampaikan keluhan kepada orang lain (teman, keluarga, rekan kerja) dari pada langsung kepada perusahaan bersangkutan. Mereka cenderung langsung berganti pemasok dan tidak pernah kembali lagi ke perusahaan yang mengecewakan mereka. Dengan demikian peluang perbaikan bagi perusahaan praktis tidak ada.

  3. Hyperactive complainters, yaitu mereka yang selalu komplain terhadap siapapun. Tipe ini dapat disebut pula chronic complainers yang kadangkala berlaku kasar dan agresif.

  Mereka ini hampir tidak mungkin dipuaskan karena tujuan komplainnya lebih dilatar belakangi keinginan untuk mencari untung. Studi yang dilakukan Singh (1990) juga mengidentifikasikan bahwa respon pelanggan terhadap ketidakpuasan dipengaruhi pula oleh karakteristik individu. Meskipun studi ini dilakukan di Amerika Serikat kesimpulannya dapat bermanfaat sebagai peringatan bagi setiap pemasar di mana pun. Reputasi dan kelangsungan hidup jangka panjang perusahaan dapat terancam oleh para pelanggan ‘diam’ yang tidak melakukan komplain secara langsung, namun menceriterakan ketidakpuasannya kepada teman dan keluarga mereka. Oleh karena itu, setiap perusahaan harus selalu berusaha memuaskan setiap pelanggannya, menyempurnakan kualitas produknya, dan menangani setiap komplain sebaik mungkin. Selain pengaruh karakteristik indvidu, faktor produk juga memainkan peranan penting dalam menjelaskan respon pelanggan terhadap ketidakpuasan. Sebagai contoh, pelanggan yang tidak puas pada jasa yang mahal atau penting (seperti penumpang kelas eksekutif penerbangan luar negeri) akan lebih mungkin melakukan direct action dibandingkan pelanggan jasa-jasa yang relative murah atau kurang penting (seperti penonton film di bioskop). Demikian pula halnya dalam situasi pelanggan memiliki banyak waktu dan saluran komplain mudah diakses direct

  action akan lebih mungkin terjadi.

  Ada sejumlah factor sebagai determinan apakah seorang konsumen yang tidak puas akan melakukan komplain atau tidak (Day dalam Engel, et al., 1990)

  1. Penting tidaknya konsumsi yang dilakukan, yaitu menyangkut tingkat kepentingan produk bagi pelanggan, harga, waktu yang dibutuhkan untuk mengkonsumsi produk, dan

  social visibility .

  2. Pengetahuan dan pengalaman, yakni jumlah pembelian sebelumnya, pemahaman mengenai produk, persepsi terhadap kapabilitas sebagai konsumen, dan pengalaman komplain sebelumnya.

  3. Tingkat kesulitan dalam mendapatkan ganti rugi, meliputi jangka waktu penyelesaian masalah, gangguan terhadap aktivitas rutin, dan biaya.

  4. Peluang keberhasilan dalam melakukan komplain.

PROSES PEMULIHAN JASA

  Proses pemulihan jasa yang efektif terdiri atas empat tahap utama: (1) mengidentifikasi dan mengklasifikasi kegagalan jasa, dan (4) mengintegrasikan data dan menyempurnakan jasa keseluruhan (Tax and Brown, 1998).

  1. Identifikasi kegagalan puas

  Hambatan terbesar dalam upaya pemulihan jasa dan organization learning adalah fakta bahwa hanya sekitar 5 sampai 10% dari pelanggan yang tidak puas yang melakukan komplain atas kegagalan jasa. Sebagian besar dari mereka justru memilih beralih pemasok atau berusaha membalas dendam dengan jalan menyampaikan komentar negative kepada pihak-pihak lain. Riset yang dilakukan Tax and Bown mengidentifikasikan empat penyebab utama mengapa pelanggan enggan menyampaikan komplain :

  1. Pelanggan yakin bahwa organisasi bersangkutan tidak akan responsive

  2. Mereka enggan mengkonfrontasikan tanggung jawab individual atas kegagalan yang terjadi

  3. Mereka kurang memahami hak-hak mereka dan tanggung jawab perusahaan, dan

  4. Mereka mengkawatirkan biaya tinggi berkenaan dengan waktu dan usaha untuk menyampaikan komplain. Untuk mengatasi hambatan tersebut, dibutuhkan beberapa pendekatan yang terbukti efektif pada berbagai perusahaan, diantaranya :

  • Menetapkan standar kinerja
  • Mengkomunikasikan pentingnya pemulihan jasa
  • Melatih pelanggan mengenai cara menyampaikan komplain
  • Memanfaatkan dukungan teknologi seperti custumer all centers dan internet.

  2. Pemecahan masalah pelanggan

  Berbagai riset menunjukkan bahwa sebagian besar dari komplain yang dikemukaan menyangkut pengalaman pelanggan yang mereka persepsikan sebagai masalah serius (Shets, et all, 1999). Oleh sebab itu, bila pelanggan sampai melakukan komplain, mereka sangat mengharapkan tindakan dan perlakuan yang adil. Persepsi mereka terhadap keadilan dibentuk atas dasar penilaian mereka terhadap tiga aspek pemulihan jasa :

  outcome, procedural fairness, dan interactional (Tax and Brown, 1998). Outcome fairness berkenaan dengan hasil yang diterima pelanggan dari komplain. Procedural fairness berkenaan dengan kebijakan, peraturan dan ketepatan waktu proses komplain.

  Sedangkan interactional fairness meyangkut perlakuan interpersonal yang didapatkan selama proses komplain. Pada umumnya ada beberapa cara untuk mewujudkan ketiga aspek pemulihan jasa ini:

  • Memberikan hasil yang adil. Bila terjadi kegagalan jasa, pelanggan berharap ada kompensasinya. Bentuk kompensasi dapat berujud permohonan maaf, refund, reparasi, penggantian, korekasi harga maupun kombinasi di antaranya.
  • Meyediakan proses yang adil. Prosedur yang adil mencakup tiga elemen penting yakni: 1) perusahaan mengeban tanggungjawab atas kegagalan jasa;2)setiap complain ditangani dengan cepat, dimulai oleh karyawan yang pertama kali kontak pelanggan;3) adanya system fleksibel dan mempertimbangkan pula situasi individual serta masukan dari pelanggan mengenai hasil akhir yang diharapkannya.

  • Merealisasikan interaksi yang adil. Perilaku relasi antar-pribadi yang adil meliputi kesopanan, perhatian dan kejujuran, penjelasan atas kegagalan jasa yang terjadi, dan usaha yang tulus dalam memecahkan masalah yang dihadapi pelanggan.

  Kinerja pemulihan jasa dapat ditingkatkan melalui empat stategi utama . Pertama, rekrutmen, seleksi, pelatihan dan pemberdayaan. Keberhasilan upaya pemulihan jasa banyak dipengaruhi oleh efektivitas karyawan lini depan yang berinetraksi langsung dengan pelanggan dan menerima kompalin dari mereka. Oleh karena itu desain system pemulihan jasa harus berfokus pada kontak pertama dengan pelanggandan penyusunan kebijakan yang memungkinkan kayawan menangani kompalin secara efisien. Kedua, menyusun pedoman dan standar pemulihan jasa. Kinerja perusahaan jasa dapat ditingkatkan dengan cara menyusun pedoman pemulihan jasa yang berfokus pada penciptaan kepuasan pelanggan dan keadilan (fairness).Standar itu disebut “AAAA” Action Plan for Recovery, yang meliputi Anticipate (mengantisipasi dan mengoreksi masalah sebelum timbul), Acknowledge (mengakui adnya kesalahan manakala itu terjadi, tanpa mencari kambing hitam atau mencari-cari alas an),

  ( meminta maaf atas kesalahan yang terjadi, bahkan sekalipun bukan

  Apologize

  perusahaan atau karyawan yang salah, dan Amends (memberikan kompensasi atas kesalahan yang terjadi dngan jalan mengambil tindkan dan menindaklanjutinya guna memastikan bahwa masalah itu telah terpecahkan. Ketiga, menyediakan kmudahan akses dan respon yang efektif melalui call centers.Selain bermanfaat untuk mengurangi hambatan bagi keputusan pelanggan untuk menyampaikan complain, call centers juga berkontribusi atas ketiga dimens keadilan melalaui kemudahan dan kenyamanan akses 24 jam sehari, 7 hari seminggu serta respon atau penganganan masalah yang tepat. Keempat, menyusun database pelanggan dan poduk. Database menyangkut pelanggan (seperti preferensi pelanggan pembelian, dan insiden jasa), dapat menjadi sumber utama bagi pemecahan masalah dan pemulihan jasa secara cepat dan efektif. Sebagai contoh, Disney Orientasi Program yang wajib diikuti semua karyawan, apapun posisinya, memberikan perhatian khusus pada penanganan komplain dan pertanyaan dari pelanggan salah satu aspek penting dalam orientasi Disney mengenai pemulihan jasa adalah penekanan pada pentingnya melaporkan setiap kegagalan jasa kepada penyedia. Disney berusaha melacak kegagalan ‘moment dalam rangka mengeliminasi sumber masalah pelanggan.

  of truth’ Banyak perusahaan yang tidak mendokumentasikan dan mengkategorisasikan komplain secara memadai, akibatnya proses belajar dari pengalaman menjadi terlambat. Situasi semacam ini biasanya disebabkan oleh empat factor; Pertama, dalam banyak kasus karyawan kurang perhatian dalam mendengarkan uraian atau penjelasan rinci pelanggan mengenai masalah yang terjadi. Kedua, banyak karyawan dan manajer yang lebih suka menghindari tanggung jawab atas masalah yang terjadi, sebaliknya mereka malah cenderung menyalahkan pelanggan. Ketiga, banyak komplain yang tidak pernah ditangani atau diselesaikan. Pelanggan telah menyampaikan komplain via telepon, langsung ke karyawan serta mengirim surat komplain, namun tetap saja tidak ada tindak lanjut. Keempat, banyak pula perusahaan yang tidak memiliki pendekatan sistematis dalam mengumpulkan dan mendistribusikan informasi komplain kepada setiap individu yang bertanggung jawab atas proses yang bermasalah. Organisasi jasa dapat memfasilitasi klasifikasi data kegagalan jasa secara efektif melalui tiga cara:

  • Membuat formulir complain internet
  • Mengakses komplain yang ditujukan pada karyawan lini pertama
  • Mengkategorikan pelanggan yang komplain

4. Integrasi data dan penyempurnaan jasa keseluruhan

  Pada umumnya pelanggan hanya ingin menyampaikan complain mengenai masalah- masalah yang mereka persepsikan penting. Oleh karena itu, komplain mencerminkan bentuk informasi pasar yang sangat berharga. Akan tetapi pelanggan jarang sekali melakukan komplain manakala terjadi kegagalan jasa. Implikasinya perusahaan yang ingin menyempurnakan kualitas jasanya harus mengupayakan sumber iformasi tambahan lewat manajemen data. Tujuan manajemen data ini adalah memastikan bahwa organiasi jasa mendapatkan informasi yang relevan, kredibel, dan tepat waktu, serta menyebar luaskannya kepada setiap angota organisasi yang terlihat dalam keputusan investasi kualitas jasa. Secara lebih spesifik upaya tersebut meliputi:

  • Mengumpulkan data kualitas jasa
  • Mendistribusikan data
  • Investasi dalam penyempurnaan kualitas

  Sebagai contoh, United Airlines mengidentifikasikan dua kelompok pelanggan utama, yakni (1) business travelers yang jumlahnya hanya 40 % dari total penumpang, namun memberikan kontribusi 72% bagi total pendapatan, dan (2) mile- yang proporsinya 60% dari total penumpang namun hanya

  collecting vacationer

  menyumbang 28% dari total pendapatan perusahaan. Sementara itu, business

  travelers yang paling sering bepergian dengan pesawat (biasa disebut road warriors)

  memberikan kontribusi 37% pendapatan sekalipun jumlah mereka hanya 6% dari total penumpang. United Airlines belajar dari komplain dan hasil riset bahwa road

  warriors merupakan tipe pelanggan yang paling rendah tingkat kepuasannya dan paling sering frustasi terhadap jasa penerbangan. Berdasarkan data ini, perusahaan tersebut menginvestasikan US$ 400 juta untuk menyediakan berbagai fasiltas khusus kepada para business travelers, diantaranya tempat duduk, makanan, dan ruang tunggu yang lebih nyaman dan bagus, layanan special sebelum keberangkatan agar mereka terhindar dari antrian panjang, manfaat frequency-flier yang lebih banyak, serta fasilitas lainnya seperti kamar mandi di terminal bandara.

  Gambar : Proses Pemulihan Jasa

  

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4

Identifikasi Pemecahan Komunikasi dan Integrasi data kegagalan jasa masalah dan Perbaikan Kegagalan Jasa pelanggan

  Jasa keseluruhan Kepuasan Pelanggan

  Perbaikan system jasa Individual dan karyawan

  Kepuasan Pelanggan dan Mempertahankan karyawan loyalitas Pelanggan dan karyawan

  Mewujudkan Loyalitas Pelanggan & karyawan Profit

  Sumber: Tax and Brown(1998)

  KESIMPULAN

  Kinerja pemulihan jasa merupakan proses belajar (learning) yang berlangsung terus menerusdan dapat ditingkatkan dengan melalui empat strategi , yaitu:

  • Pertama, rekrutmen, seleksi, pelatihan dan pemberdayaan. Keberhasilan upaya pemulihan jasa banyak dipengaruhi oleh efektivitas karyawan lini depan yang berinteraksi langsung dengan pelanggan dan menerima komplain dari mereka. Oleh sebab itu, desain system pemulihan jasa harus berfokus pada kontak pertama dengan pelanggan dan penyusunan kebijakan yang
  • Kedua, menyusun pedoman dan standar pemulihan jasa. Kinerja perusahaan jasa dapat ditingkatkan dengan cara menyusun pedoman pemulihan jasa yang berfokus pada penciptaan kepuasan pelanggan dan keadilan (fairness).

  • Ketiga, menyediakan kemudahan akses dan respon yang efektif melalui call

  . selain bermanfaat untuk mengurangi hambatan bagi keputusan

  center

  pelanggan untuk menyampaikan kompalin, call centers juga berkontribusi atas ketiga dimensi keadilan melalui kemudahan dan kenyamanan akses (24 jam sehari, 7 hari seminggu) serta respon atau penanganan masalah yang tepat.

  • Keempat, menyusun database pelanggan dan produk. Database menyangkut pelanggan (seperti preferensi pelanggan, pembelian, dan insiden jasa), dapat menjadi sumber utama bagi pemecahan masalah dan pemulihan jasa secara cepat dan efektif.

DAFTAR BACAAN

  Bitner, M.J Booms, B.H. & Tetreault, M.S (1990), Dalam Fandi Tjiptono (1996), Strategi Bisnis dan manajemen, Yogjakarta, penerbit Andi Denham, J. (1998), Handling Customer Complain Turning Challengers into Opportunity. Sydney; Prencise Hall Edwardson, M. (1998), “Measuring Costumer Emotion in Service Encounter: An Explanatory Analysis”, Australian Journal of Market Research, Vol 6 (2), Jully. Tjiptono Fandi (1998), Strategi Pemasaran Edisi 2 .Yogyakarta. Penerbit Andi Tjiptono Fandi, 2002, Perspektif Manajemen Dan Pemasaran Kontemporer, penerbit Andi Yogyakarta Adrian Payne, 2000, The Essence of Management , Services Marketing, Pemasaran Jasa, Penerbit ANDI Yogyakarta Philip Kotler, 2003, Manajemen Pemasaran, edisi kesebelas, dicetak di Indonesia oleh PT. Tema Baru ( alih bahasa: Drs. Benyamin Molan) Tax,S.S & Brown, S.W (1998), “Recovering and Learning from Service Failure” , Sloan Management Review, Fall, h. 75-88