BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Peningkatan Kualitas Perempuan di Parlemen (Studi Kasus : Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu Periode 2014-2019)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

  Parlemen merupakan lembaga yang sangat strategis bagi suatu negara demokratis, karena disinilah ditentukan kebijakan yang menyangkut masyarakat, khususnya keadilan dan kesetaraan gender. Keadilan dan keseteraan gender adalah suatu bentuk upaya perjuangan bahwa tidak adanya perbedaan hak maupun kewajiban antara dualitas gender yang ada, yakni maskulin (laki-laki) dengan

  1 feminis (perempuan) di dalam bermasyarakat dan bernegara .

  Hadirnya perempuan di dalam parlemen merupakan indikator bahwa negara demokrasi tersebut memiliki demokratisasi yang esensial, dimana bukan hanya jargon semata. Ide tentang perlunya kehadiran perempuan di parlemen inilah yang pada akhirnya dapat menentukan bahwa perempuan dapat diperlakukan secara adil dan setara. Adil dan setara yang dimaksud bukan hanya dalam ranah publik saja, setidaknya dalam ranah domestik juga mereka tidak mendapat suatu perlakuan yang diskriminatif maupun eksploitatif melalui aturan hukum yang dibentuk nantinya dalam parlemen.

  Permasalahan perempuan dalam urusan politik pada masa kini sangat 1 berbeda dengan kondisi perempuan dimasa lalu. Perbedaan itu bisa karena kondisi

  

Wahidah Zein Siregar, 2005, Parliamentary Representation of Woman in Indonesia: Struggle for A Quota, Asian Journal of Woman’s Studies (AJWS) vol. 11, no. 3, hal. 37 sosio-kultur maupun perkembangan zaman. Berbagai permasalahan yang seringkali korbannya adalah para wanita seperti penyiksaan terhadap TKW di luar negeri, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), jam kerja yang tidak memihak terhadap pekerja perempuan, permasalahan reproduksi seperti tidak ada jaminan terhadap ibu hamil dan ibu yang hendak melahirkan menunjukkan lemahnya perlindungan hukum terhadap mereka. Semua permasalahan dan ketidakadilan yang menimpa kaum hawa inilah yang nampaknya membuat kaum pejuang perempuan menjadi geram. Mereka menginginkan adanya sebuah perlindungan secara legal yang terformulasikan berupa aturan dalam suatu

  2 undang-undang .

  Pada dasarnya ketidakadilan yang dipermasalahkan dari perempuan adalah minimnya aksesbilitas mereka untuk terlibat dalam ranah publik. Kekhasan ranah publik yang sangat patriarkhis atau maskulin memang mengkonstruksi kesadaran masyarakat bahwa ranah tersebut tidaklah relevan untuk perempuan. Padahal ranah publik adalah satu-satunya ruang yang dapat menciptakan suatu aturan yang adil dan setara terhadap perempuan di dalam bermasyarakat. Salah satu contoh ranah publik tersebut adalah parlemen yakni lembaga yang memiliki hak membentuk aturan dalam masyarakat.

  Kehadiran perempuan di parlemen harusnya menjadi angin segar atas kondisi objektif yang telah dirasakan perempuan saat ini. Semestinya perempuan 2 dapat menggantungkan asanya kepada perempuan di parlemen atas perlindungan

  Siti musdah mulia, 2008, menuju kemandirian politik perempuan, Yogyakarta: kibas press, hal. 83 secara hukum terkait kondisi dan permasalahan objektif perempuan, karena dapat dikatakan bahwa perempuan di parlemen menjadi tolak ukur bagaimana keadilan dan kesetaraan gender dapat diperjuangkan. Posisi strategis, wewenang yang dimiliki, dan ruang yang lebih luas menjadikan suatu motivasi bahwa perempuan di parlemen inilah yang menjadi pionir bagi perempuan-perempuan di luar parlemen (dalam masyarakat). Namun adanya fakta buruk akan perempuan di parlemen dapat membuat masyarakat menjadi acuh kembali akan representasi perempuan di parlemen tersebut. Fakta-fakta yang disebutkan disini adalah dimana adanya perempuan di parlemen yang melakukan tindakan korupsi, pecitraan semu dan kurangnya partisipasi aktif dalam mendukung kesejahteraan masyarakat.

  Korupsi yang terjadi di kalangan perempuan di parlemen menjadi suatu keresahan masyarakat di atas ekpektasi mereka yang meyakini bahwa perempuan dapat lebih baik dalam parlemen sebagaimana penelitian yang dilakukan Women

3 Research Institute (WRI) . Penelitian WRI melakukan data survei sekitar 71% masyarakat lebih percaya anggota parlemen perempuan dibandingkan laki-laki.

  Namun ketika dihadapkan dengan realitas seperti korupsi yang dilakukan oleh perempuan di parlemen salah satunya seperti Angelina Sondakh, maka inilah yang akan berdampak buruk, karena akan terjadi stereotyping oleh masyarakat terhadap 3 perempuan yang ingin mencalonkan diri menjadi perempuan parlemen.

  

Kharina Triandana, “Riset: Masyarakat Lebih Percaya Anggota DPR Perempuan ,” beritasatu.com, diakses

pada tanggal 28 April 2015, http://beritasatu.com/nasional/160982-riset-masyarakat-lebih -percaya-anggota- dpr-perempuan.html

  Korupsi yang di lakukan perempuan di parlemen merupakan suatu hambatan dalam perjuangan perempuan di dalam sektor publik khususnya politik.

  Selain korupsi, pecitraan semu dan kurangnya signifikasi partisipasi aktif perempuan dalam parlemen juga menjadi faktor pendukung yang menghambat perempuan untuk menjadi figur yang dikatakan cocok dalam parlemen. Melalui ketiga hambatan yang terjadi demikian diyakini bahwa metode substantive

  representative perempuan dalam parlemen belumlah tercapai di Indonesia. Hanya

  dengan memperhatikan suatu jumlah kuota yang semata-mata dikatakan adil dan setara tidaklah cukup, harus ada upaya peningkatan kualitas yang signifikan. Jika ketiga hal tersebut terus terjadi dan tidak adanya upaya rekonstruksi kapabilitas perempuan, dapat diyakini bahwa keadilan dan kesetaraan pada perempuan tidak dapat tercapai.

  Memang penting adanya upaya kuota perempuan dalam parlemen sebagai bentuk hutang peradaban terhadap perempuan. Julie Ballington menjelaskan bahwa jumlah perempuan di parlemen berpengaruh, setidaknya semakin banyak perempuan di parlemen semakin cenderung mengangkat isu perempuan dan

  4

  mengubah dinamika gender di kamar parlemen . Dengan kata lain, semakin banyak jumlah perempuan di parlemen maka akan semakin banyak juga isu tentang perempuan diperdebatkan.

4 Julie Ballington, 2011, Pemberdayaan Perempuan Untuk Partai Politik yang Lebih Kuat (Panduan Praktek

  Terbaik Untuk Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan), Graphics service Bureau, Hal. 37

  Sampai sekarang pro dan kontra terhadap peranan perempuan dalam parlemen masih saja berlangsung. Pro dan kontra disini berangkat dari permasalahan apakah keterwakilan perempuan dapat menjadi figur yang mumpuni dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan keadilan dan kesetaraan gender pada khususnya. Oleh karena itu memang perlu adaya suatu politik pemberdayaan perempuan dengan tujuan meningkatkan kualitas perempuan, yang mau tak mau harus dilakukan sebagai upaya konkrit menjamin representasi perempuan di dalam parlemen.

  Pemberdayaan perempuan dengan tujuan meningkatkan kualitas perempuan di ruang politik bukanlah sesuatu yang dilakukan hanya dengan membuka jalan atau ruang publik begitu saja terhadap perempuan. Perlu adanya

  5 strategi yang komperensif mulai dari hulu hingga ke hilir kepada perempuan .

  Hulu yang patut dibentuk untuk memberdayakan perempuan pada dasarnya dimulai dari metode rekruitmen yang jelas kepada perempuan yang akan menjadi figur publik, bekerjasama dengan basis dukungannya sehingga dapat pola hubungan timbal balik yang membangun, hingga pembentukan lingkungan yang ramah gender sebagai bekal perpektif perempuan. Sedangkan hilir yang dimaksudkan adalah menciptakan suatu produk-produk legislasi dan implementasi kebijakan yang ramah gender sehingga tidak ada ketimpangan hukum antara 5 perempuan dengan laki-laki sebagai warga negara.

  

Nur Iman Subono, 2013, Partisipasi Perempuan, Politik Elektoral dan Kuota: Kuantitas, Kualitas,

Kesetaraan , Jurnal Perempuan vol. 18, no. 4, hal 56

  Salah satu indikator kualitas adalah pendidikan, baik itu jenjang pendidikan secara formal maupun nonformal. Pendidikan perempuan merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya perempuan agar mereka mampu

  6

  berpartisipasi secara aktif dalam setiap proses pembangunan . Selain pendidikan secara umum, pendidikan politik adalah sebuah keharusan untuk dikonsumsi oleh perempuan terutama politisi perempuam. Sehingga berbagai macam perangkat politik baik itu partai politik, LSM, maupun pemerintah harus memberikan pendidikan politik yang benar-benar berkualitas bagi perempuan yang terlibat di dalam partai politik dan pertarungan politik di dalam pemilu. Pendidikan politik memang telah menjadi bagian dari gerakan perempuan itu sendiri, terlebih pada saat ini ketika kesadaran bahwa gerakan perempuan mempunyai potensi gerakan yang semakin meluas maka gerakan untuk membangun kekuatan politik perempuan sudah tidak bisa ditunda lagi dan diharapkan ini akan menjadi salah satu alternatif dalam mencari penyelesaian untuk beragam permasalahan yang dihadapi oleh bangsa, terutama yang berdampak sangat besar terhadap perempuan seperti kenaikan harga yang membuat perempuan harus lebih bekerja keras, memutar otak untuk tetap melanjutkan hidupnya dan keluarganya.

  Keberadaan organisasi-organisasi perempuan juga mendukung atas peningkatan kualitas perempuan. Partai-partai politik seharusnya mendirikan dan mengembangkan organisasi-organisasi sayap yang fokus terhadap isu perempuan 6 guna menjadi wadah bagi perempuan atas kepentingan mereka di dunia politik.

  Kata sambutan Jendral Pendidikan Luar Sekola h dalam modul yang berjudul “Modul Pendidikan Perempuan Untuk Berpolitik” Organisasi-organisasi yang fokus terhadap perempuan yang didirikan partai politik sebaiknya tidak sekedar tempat perkumpulan kaum perempuan saja, melainkan juga harus memberikan edukasi atau pendidikan politik sehingga melahirkan perempuan-perempuan yang berkualitas.

  Melalui pemberdayaan hulu dan hilir perempuan di parlemen dan peranan partai politik yang meliputi rekrutmen dan pendidikan politik tersebut, bisa berimplikasi pada peningkatan kapabilitias perempuan dalam parlemen yang mampu setara dalam politik maskulin yang eksis saat ini. Hal itu juga berarti pada adanya peningkatan partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan negara. Sebagaimana pesan yang pernah disampaikan dalam Beijing Platform bahwa tanpa partisipasi aktif perempuan dan melibatkan perspektif perempuan dalam setiap tingkatan pengambilan kebijakan, tujuan dari kesetaraan, pembangunan dan

  7 perdamaian tidak akan bisa tercapai .

  Di saat perempuan di berbagai daerah dipusingkan dengan kecilnya jumlah mereka ke parlemen, perempuan di Kabupaten Labuhanbatu sudah mencoba untuk mendominasi akses ke parlemen daerah. Kabupaten yang parlemennya pernah dipimpin oleh sosok perempuan ini kembali menghadirkan fenomena yang menarik. Terdapat 14 perempuan dari 45 orang yang terpilih menduduki kursi di DPRD Kabupaten Labuhanbatu, dengan persentase melebihi 7 angka 30%. Hasil ini mengalami peningkatan yang signifikan dari hasil pemilu

  

United Nations Development Program (UNDP), Human Development Report 1993, New York: UNDP, hal

  12 sebelumnya yang hanya melibatkan 5 perempuan dari 50 jatah kursi di legislatif atau hanya mencapai angka 2,5 persen saja. Yang paling menarik adalah apa yang terjadi di Partai Golkar, 80% wakil mereka di DPRD Kabupaten Labuhanbatu adalah perempuan atau berdasarkan jumlah, 4 dari 5 wakil Partai Golkar di DPRD Kabupaten Labuhanbatu adalah perempuan. Nama-nama keempat perempuan tersebut adalah Hj. Ellya Rosa Siregar, S.Pd, Trully Simanjuntak, SMIP, Hj.

  Meika Rianti Siregar, SH, Hj. Nurmaya Shofa tanjung, dan Hj. Meika Rianti Siregar, SH.

  Representasi perempuan di DPRD TK II Kabupaten Labuhanbatu secara kuota ini dapat dikatakan sebagai langkah awal yang luar biasa terhadap perjuangan perempuan dalam haknya di dalam dunia politik. Harapan akan munculnya kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan pun meninggi, paling tidak akan semakin banyak perdebatan-perdebatan yang terjadi di DPRD Kabupaten Labuhanbatu terkait dengan isu kepentingan perempuan.

  Tetapi dari investigasi yang dilakukan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu, selama setahun berjalannya parlemen di Kabupaten Labuhanbatu belum ada kebijakan yang dikeluarkan terkait isu kepentingan perempuan. Bahkan hingga saat ini kebijakan tentang isu perempuan baru satu kali di perdebatkan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu dan perdebatan itu pun tidak bisa diformulasikan menjadi sebuah kebijakan.

  Fenomena belum adanya kebijakan yang dikeluarkan terkait isu kepentingan perempuan bahkan hingga saat ini kebijakan tentang isu perempuan baru satu kali di perdebatkan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu padahal jumlah perempuan di DPRD Labuhanbatu sudah cukup banyak semakin menggambarkan bahwa kuantitas perempuan yang ada belum bisa menjamin kualitasnya di dalam parlemen, khususnya sebagai wakil/representasi perempuan di luar parlemen.

  Untuk itu perlu adanya strategi untuk meningkatkan kualitas perempuan di parlemen, sehingga mereka mampu mengemban fungsi sebagai penyuara dan pejuang kepentingan perempuan.

  Berangkat dari permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana peningkatan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu.

  Dalam penelitian ini, peniliti akan memfokuskan objek penelitian terhadap Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu karena Fraksi Golkar DPRD Labuhanbatu merupakan fraksi yang paling banyak diisi oleh perempuan. Dalam mengkaji fenomena ini, sajian akan diawali dengan eksplorasi gambaran umum perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu yang meliputi jenjang pendidikan, pengalaman kerja politik, dan analisis terhadap akses fungsional struktural perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu. Kemudian penyajian akan diakhiri dengan strategi meningkatkan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu.

2. Perumusan Masalah

  Dalam pembuatan sebuah penelitian, permasalahan yang diangkat seorang peneliti merupakan unsur yang sangat penting. Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting, dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah yang menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu

  

8

  dijawab atau dicari jalan pemecahannya. Masalah penelitian harus tampak dan dirasakan sebagai suatu tantangan bagi peneliti untuk dipecahkan dengan mempergunakan keahlian atau kemapuan profesonalnya, yang tidak mungkin diselesaikan oleh semua orang, khususnya orang-orang diluar disiplin ilmu yang

  9 berkenaan dengan masalah tersebut.

  Oleh sebab itu, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana peningkatan kualitas perempuan di Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu?

  ”

3. Pembatasan Masalah

  Pembatasan masalah merupakan usaha-usaha bagaimana untuk menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang hendak diteliti. Dimana batasan masalah berfungsi untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang masuk dalam ruang penelitian dan faktor yang mana yang tidak masuk dalam ruang penelitian, dan yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini adalah objek

  8 9 Husni Usman dan Pramono, 2000. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Bumi Aksara. Hal.26

Hadari Nawawi dan Martini Hadari. 2006. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal.24. penelitian fokus kepada peningkatan kualitas perempuan di Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu.

  4. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan yang ingin dicapai atau didapatkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peningkatkan kualitas perempuan di Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu.

  5. Manfaat Penelitian

  Dalam penelitian ini, manfaat yang akan diperoleh adalah sebagai berikut:

  1. Secara akademis penelitian ini bermanfaat sebagai penambah referensi bagi para mahasiswa, khususnya Departemen Ilmu Politik

  • – FISIP USU 2.

  Bagi penulis penelitian ini sangat bermanfaat dalam mengembangkan kemampuan berfikir dan menulis karya ilmiah di bidang politik dengan melihat fenomena politik yang terjadi.

  3. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi perempuan di parlemen yang merekomendasikan langkah-langkah dalam meningkatkan kualitas perempuan di parlemen.

6. Kerangka Teori

  Sebagai penelitian yang baik dan benar, landasan teori merupakan suatu yang sangat penting dalam penulisan karya ilmiah. Fungsi dari teori ini sendiri digunakan sebagai suatu landasan berpikir dalam menganalisis sebuah fenomena yang sedang diteliti. Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah sebagai berikut:

6.1 Konsep Pemberdayaan Perempuan

  10

  6.1.1 Gambaran Umum Pemberdayaan Perempuan Pemberdayaan perempuan adalah upaya pemampuan perempuan untuk

memperoleh akses dan kontrol terhadap sumber daya, ekonomi, politik, sosial,

budaya, agar perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri

untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah,

sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep diri. Pemberdayaan

perempuan merupakan sebuah proses sekaligus tujuan. Sebagai proses,

pemberdayaan adalah kegiatan memperkuat kekuasaan dan keberdayaan

kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan merujuk

pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh perubahan sosial, yaitu

masyarakat menjadi berdaya.

  10

http://masriyanikhram.blogspot.com/2014/03/pemberdayaan-perempuan-sebagai-upaya.html, diakses pada

tanggal 10 april 2015

  Pemberdayaan perempuan merupakan upaya untuk mengatasi hambatan

guna mencapai pemerataan atau persamaan bagi laki-laki dan perempuan pada

setiap tingkat proses pembangunan. Teknik analisis pemberdayaan atau teknik

analisis longwe sering dipakai untuk peningkatan pemberdayaan perempuan

khususnya dalam pembangunan. Sara H. Longwee mengembangkan teknik

analisis gender yang dikenal dengan kerangka pemampuan perempuan. Metode

Sara H. Longwee mendasarkan pada pentingnya pembangunan bagi perempuan,

bagaimana menangani isu gender sebagai kendala pemberdayaan perempuan

dalam upaya memenuhi kebutuhan spesifik perempuan dan upaya mencapai

kesetaraan gender. Kriteria analisis yang digunakan dalam metode ini adalah (1)

tingkat kesejahteraan, (2) tingkat akses (terhadap sumberdaya dan manfaat), (3)

tingkat penyadaran, (4) tingkat partisipasi aktif (dalam pengambilan keputusan),

dan (5) tingkat penguasaan (kontrol). Pemahaman akses (peluang) dan kontrol

(penguasaan) disini perlu tegas dibedakan. Akses (peluang) yang dimaksud di sini

adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya ataupun hasilnya tanpa

memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan

hasil sumberdaya tersebut, sedangkan kontrol (penguasaan) diartikan sebagai

kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil

sumberdaya. Dengan demikian, seseorang yang mempunyai akses terhadap

sumberdaya tertentu, belum tentu selalu mempunyai kontrol atas sumberdaya

tersebut, dan sebaliknya.

  Pendekatan pemberdayaan (empowerment) menginginkan perempuan

mempunyai kontrol terhadap beberapa sumber daya materi dan nonmateri yang

penting dan pembagian kembali kekuasaan di dalam maupun diantara masyarakat.

Di Indonesia keberadaan perempuan yang jumlahnya lebih besar dari laki-laki

membuat pendekatan pemberdayaan dianggap suatu strategi yang melihat

perempuan bukan sebagai beban pembangunan melaikan potensi yang harus

dimanfaatkan untuk menunjang proses pembangunan.

  Strategi pemberdayaan bukan bermaksud menciptakan perempuan lebih

unggul dari laki-laki kendati menyadari pentingnya peningkatan kekuasaan,

namun pendekatan ini mengidentifikasikan kekuasaan bukan sebagai dominasi

yang satu terhadap yang lain, melainkan lebih condong dalam kapasitas

perempuan meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal. Yang

diperjuangkan dalam pemberdayaan perempuan adalah pemenuhan hak mereka

untuk menentukan pilihan dalam kehidupan dan mempengaruhi arah perubahan

melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol atas sumber daya material dan

nonmaterial yang penting.

  Mengukur keberhasilan program pembangunan menurut perspektif gender,

tidak hanya dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat atau penurunan

tingkat kemiskinan. Tetapi lebih kepada sejauhmana program mampu

memberdayakan perempuan. Dalam mengukur pengaruh sebuah kebijakan, dan

atau program pembangunan terhadap masyarakat menurut perspektif gender,

  

Moser mengemukakan dua konsep penting, yakni pemenuhan kebutuhan praktis

dan kebutuhan strategis gender. Pemberdayaan perempuan berdasarkan analisis

gender adalah membuat perempuan berdaya dalam memenuhi kebutuhan praktis

gender dan kebutuhan strategis gender. Analisis kebutuhan praktis dan strategis

berguna untuk menyusun suatu perencanaan ataupun mengevaluasi apakah suatu

kegiatan pembangunan telah mempertimbangkan ataupun ditujukan untuk

memenuhi kebutuhan yang dirasakan baik oleh laki-laki maupun perempuan.

  Pemenuhan kebutuhan praktis melalui kegiatan pembangunan

kemungkinan hanya memerlukan jangka waktu yang relatif pendek. Proses

tersebut melibatkan input, antara lain seperti peralatan, tenaga ahli, pelatihan,

klinik atau program pemberian kredit. Umumnya kegiatan yang bertujuan

memenuhi kebutuhan praktis dan memperbaiki kondisi hidup akan memelihara

atau bahkan menguatkan hubungan tradisional antara laki-laki dan perempuan

yang ada. Kebutuhan strategis biasanya berkaitan dengan perbaikan posisi

perempuan (misalnya memberdayakan perempuan agar memperoleh kesempatan

lebih besar terhadap akses sumberdaya, partisipasi yang seimbang dengan laki-

laki dalam pengambilan keputusan) memerlukan jangka waktu relatif lebih

panjang.

6.1.2 Pemberdayaan Perempuan di Bidang Politik

  Harus diakui meskipun saat ini emasipasi perempuan telah dibuka lebar, tetapi masih ada ketidakberdayaan (empowering) perempuan khususnya dalam bidang politik. Hal ini terkait erat dengan kedudukan perempuan dalam masyarakat tradisional, dimana perempuan ditempatkan untuk mengelola urusan- urusan keluarga, atau sebagai pekerja untuk menghasilkan sesuatu yang produktif. Dengan demikian perempuan bukan penentu keputusan untuk menghasilkan sesuatu, dengan kata lain perempuan bukan sebagai subyek tetapi hanya sekedar sebagai obyek atau pelaksana.

  Dalam konteks yang lain perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, maka apabila ingin meluruskan jangan menggunakan kekerasan (paksa) karena akan patah tetapi kalau dibiarkan akan tetap bengkok. Oleh karena itu untuk meluruskan perempuan harus dengan wasiat (petuah-petuah) yang baik (disarikan dari Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah R.A.).

  Dengan demikian perempuan merupakan makhluk yang perlu dijaga dan dilindungi, hal ini dikarenakan perempuan merniliki berbagai sifat yang menjadi kelemahannya, yaitu; hidup dengan perasaan, tidak senang blak-blakan, lebih menyukai harta, suka bertipu daya, dan senang dirayu. Sisi kelemahan lainnya dan

  11

  perempuan menunut S.C., Utami Munandar adalah : 1.

  Memiliki sifat inferior, dan tidak berani mengambil inisiatif apalagi mengambil keputusan yang menentukan.

  2. Lebih emosional dan kurang berfikir secara rasional.

  11 Utami Munandar, 1985, Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia, Suatu Tinjauan Psikologis, Jakarta: UI Pres, hal. 35

3. Menghendaki cinta orang lain hanya untuk dirinya, tanpa memperhatikan kepentingan orang lain.

  4. Menginginkan atensi, afeksi dan kasih sayang dan orang lain.

  Melihat kenyataan yang didasarkan teori dan pendapat dan para pakar tersebut, maka sangat penting adanya upaya-upaya untuk memberdayakan perempuan dalam bidang politik agar kaum perempuan dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan politik. Dalam dimensi politik pemberdayaan menyangkut proses peningkatan kesadaran perempuan akan kemampuan mereka, akan hak dan kewajibannya, dan mampu menggunakan kemampuan dan pengetahuannya untuk mengorganisasikan diri mereka sendiri. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memberdayakan perempuan dalam bidang politik, adalah

  12

  sebagai berikut :

  1. Melibatkan kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat lokal Banyak yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini bisa dilihat dari pengikutsertaan masyarakat dalam program-program pembangunan pada tingkat nasioanal, daaerah, kabupaten/kota sampai tingkat desa/kelurahan. Namun pengikutsertaan perempuan dalam proses 12 pengambilan keputusan tersebut masih bersifat semu, peran perempuan dalam

  

Sabar Marniyati, 2011, Pemberdayaan Perempuan (Transformasi Menuju Partisipasi Politik), Surakarta: Responbilitas volume 3, hal 21-25 proses pengambilan keputusan hanya sebuah pelengkap, sehingga keikutsertaan perempuan dalam proses pengambilan keputusan belum mampu memasukkan agenda yang menjadi kepentingannya. Hal ini dikarenakan segala yang berkaitan dengan perenca-naan dan pelaksanaan program sudah disusun sedemikian rupa sehingga tinggal mengambil keputusan saja. Peran perempuan dalam hal ini hanya sebagai alat legitimasi terhadap program dan proyek yang telah disusun. Oleh Karena itu kiranya masih perlu pelibatan perempuan secara nyata dalam proses pengambilan keputusan dengan mem-berikan kesempatan kepada perempuan untuk berperan aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program dan proyek sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat.

  2. Menggugah kaum perempuan dalam memilih kepemimpinan yang mempresentasikan kepentingannya pada tingkat lokal, regional maupun nasional

  Secara filosofi dilaksanakannya pilihan presiden, gubernur dan bupati serta kepala desa secara langsung membuka peluang bagi perempuan untuk menggunakan hak yang sama dengan kaum laki-laki. Namun tidak banyak perempuan yang menggunakan kesempatan untuk bisa duduk dalam jabatan politik karena arena politik yang keras, penuh intrik, adu strategi, bahkan intimidasi dan violence (kekerasan), sehingga perempuan rnenganggap arena politik bukan tempat yang “aman” baginya . OIeh karena itu perlu dilakukan pendidikan politik kepada perempuan dalam rangka menggugah kesa-daran hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Masih adanya sisa-sisa konsep politik yang bersifat paternalism akan sedikit berat, tetapi hal ini harus dilakukan untuk rnewujudkan peran serta penempuan dalam bidang politik.

  3. Melibatkan kaum perempuan dalam membagi kekuasaan secara demokratis.

  Membagi kekuasaan secara demokratis mengandung pengertian bahwa penyelesaian masalah yang ada diletakkan pada tingkatan kekuasaan yang terdekat. Organisasi-organisasi yang ada diberi kebebasan untuk me-nyelesaikan masalahnya sendini, termasuk organisasi kaum perempuan. Pemerintah tidak perlu mencampuri masalah intern organisasi selama organisasi yang bersangkutan mam-pu menyelesaikan masalahnya sendiri. Pemerintah hanya perlu memberi

  support kepada organisasi perempuan untuk bisa eksis dalam berbagai bidang

  kehidupan masyarakat termasuk dalam pengambilan keputusan, karena pengam- bilan keputusan merupakan kegiatan yang bersifat politis.

  4. Melibatkan kaum perempuan dalam mengalokasikan sumber-sumber komunal secara adil.

  Sumber-sumber komunal yang ada harus dialokasikan secara adil, sehingga tidak ada yang memiliki hak istimewa dan yang dimarjinalkan untuk menikmati sumber-sumber komunal yang ada. Oleh karena itu tidak boleh ada diskriminasi antara kaum perempuan dengan laki-laki dalam pengalokasian sumber-sumber komunal. Disinilah satu makna yang mencerminkan terwujudnya emansipasi perempuan.

6.1.3 Pemberdayaan Perempuan di Parlemen

  Salah satu ruang lingkup politik adalah parlemen. Memajukan parlemen

  yang demokratis memerlukan lingkungan yang inklusif dan proses politik yang responsif dalam pemberdayaan perempuan. Diterimanya perspektif perempuan dan partisipasi mereka dalam politik adalah prasyarat pembangunan demokrasi dan berkontribusi pada tata kelola yang baik. Meski demikian, secara global perempuan kurang terwakili dalam badan pembuatan keputusan. Penelitian menunjukkan bahwa jumlah perempuan di parlemen berpengaruh, setidaknya

semakin banyak perempuan di parlemen semakin cenderung mengangkat isu

perempuan dan mengubah dinamika gender di kamar parlemen. Proporsi anggota parlemen perempuan memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk perdebatan politik.

  Dengan kehadiran perempuan di parlemen, partai memiliki tanggung jawab dalam memastikan bahwa kesetaraan gender diwakili dalam keterwakilan perempuan di Parlemen. Partai cukup berpengaruh dalam menentukan isu yang dibahas. Mereka membentuk kebijakan dan prioritas tata kelola pemerintahan oleh

karena itu partai politik seharusnya memiliki letak strategis untuk mengatasi

kekhawatiran perempuan. Pada prakteknya, partai politik memiliki sejarah yang beragam dari sisi kepengurusan. Contoh dalam bagian ini memberikan gambaran

langkah yang diambil untuk mengangkat isu kesetaraan gender pasca pemilihan

dalam pemberdayaan dan peningkatan kualitas perempuan di parlemen.

  Berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat diambil dalam

  13

  pemberdayaan politik perempuan di Parlemen : (a) memberikan pelatihan kepada anggota legislatif yang baru terpilih

  Untuk sebagian besar anggota legislatif yang baru terpilih, kerja parlemen adalah pengalaman baru. Sementara sekretariat parlemen sering memberikan pelatihan pengenalan kepada anggota baru, partai politik sering memberikan pelatihan mereka sendiri untuk anggota dewan baru tentang fungsi partai dalam menjalankan fungsi mereka di parlemen. Pelatihan ini dapat memberikan pengembangan keterampilan umum dan dapat ditargetkan pada anggota perempuan untuk menavigasikan aturan dan prosedur yang ada. (b) mendorong reformasi peka gender ke parlemen

  Sebagai kelompok di parlemen, anggota legislatif perempuan harus dapat mengubah budaya di parlemen. Saat perempuan memasuki parlemen, mereka cenderung memasuki ranah yang sejalan dengan masalah gender, misalnya lingkungan politik di mana budaya lembaga dan prosedur operasional mungkin bias terhadap mereka. Melaksanakan kajian iklim politik diperlukan untuk memastikan kondisi di mana perempuan bekerja cukup kondusif bagi partisipasi mereka. Dengan mempertimbangkan isu seperti waktu sidang di parlemen, lokasi fasilitas untuk anggota dewan perempuan, dan ketentuan cuti untuk orang tua 13 dapat membawa reformasi positif untuk meningkatkan partisipasi perempuan.

  

Julie Ballington, 2011, Pemberdayaan Perempuan Untuk Partai Politik yang Lebih Kuat (Panduan Praktek Terbaik Untuk Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan), Graphics service Bureau, Hal.38 Menghilangkan hambatan terhadap partisipasi perempuan cukup krusial untuk membentuk parlemen yang ramah gender dalam menyuarakan kepentingan laki- laki dan perempuan.

  Di Afrika Selatan, anggota kaukus partai perempuan African National Congress menyuarakan perlunya reformasi kelembagaan parlemen saat mereka dilantik tahun 1994. Mereka meminta jadwal sidang dicocokkan dengan jadwal sekolah supaya anggota dewan dapat meluangkan reses atau menggunakan waktu untuk konstituen saat libur sekolah. Mereka juga mendorong supaya pembahasan selesai lebih awal pada malam hari untuk mengakomodasi anggota dewan yang sudah berkeluarga, atau ada fasilitas penitipan anak.

  (c) memastikan pemberdayaan dan peningkatan kualitas perempuan dalam kebijakan Survey terhadap 300 anggota parlemen oleh IPU menunjukkan bahwa kebijakan partai politik adalah penentu prioritas dan agenda legislatif. Badan pembuatan keputusan partai politik, seperti komite eksekutif sangat berpengaruh. Meski demikian perempuan masih kurang terwakili dalam kelompok ini. Kenyataannya, tidak semua partai politik mendorong kesetaraan gender atau menegakkan pernyataan mereka dan melaksanakannya dengan menempatkan perempuan dalam jabatan pembuatan keputusan tertinggi. Dukungan dari partai yang berkuasa merupakan faktor penting dalam penerapan dan pelaksanaan undang undang terkait gender.

  Partai politik dapat mendorong pemberdayaan perempuan melalui pengembangan kebijakan dalam dua cara: (a) mendorong kebijakan reformasi gender secara spesifik, Seperti pemberantasan kekerasan berbasis gender, cuti orang tua atau isu berbasis hak reproduksi; (b) memastikan bahwa perspektif gender harus diutamakan ke semua debat kebijakan dan prioritas partai, termasuk peningkatan kesetaraan gender di bidang seperti akses ke keadilan, kesehatan, kewarganegaraan, hak atas tanah, keamanan dan waris.

  Parlemen dapat juga memastikan bahwa komitmen internasional, seperti

  Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) diterjemahkan menjadi hukum positif nasional dan menjadi dasar

  langkah pemerintah. Kapasitas anggota partai perempuan, baik laki-laki maupun perempuan, sebaiknya dikembangkan untuk melakukan analisa dari perspektif gender. Pengembangan kebijakan, kajian legislasi dan alokasi sumber daya harus dilihat dari dampak terhadap laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat mencakup upaya mendukung kapasitas komisi khusus yang menangani kesetaraan gender untuk melakukan analisa anggaran berdasar gender dan memiliki akses terhadap data. Langkah organisasi yang terkait adalah memastikan resolusi dan rekomendasi dari divisi perempuan, komisi kebijakan internal, atau kaukus parlemen perempuan menginformasikan pengembangan kebijakan dalam partai politik.

  Terkadang anggota dewan memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengkaji isu kesetaraan gender karena disiplin partai. Biasanya, kebijakan partai menentukan kelompok partai di parlemen dan suaranya pada isu tertentu. Oleh karena itu tuntutan kepada anggota dewan sebaiknya realistis, di mana identitas partai sangat kuat, ruang untuk anggota parlemen dalam bertindak di luar garis kebijakan partai mungkin terbatas. Hal ini memperkuat pentingnya memastikan pengurus utamakan gender dalam kebijakan partai. (d) dukungan jaringan lintas partai yang terdiri dari perempuan dan kaukus perempuan di parlemen

  Perempuan di seluruh dunia menyadari bahwa sebagai minoritas di parlemen, ada keuntungan strategis dari koalisi dan aliansi untuk membentuk perubahan kebijakan. Kaukus perempuan menjadi forum efektif yang menyatukan perempuan dari berbagai partai untuk menyalurkan kepentingan dan kekhawatiran, dan harus mengutamakan gender dalam penyusunan kebijakan dan pengawasan pemerintah. Secara konkret, kegiatan kaukus dapat memberikan dukungan kapasitas kepada anggota dewan perempuan, dengan analisa RUU, dengan pendapat dengan OMS, menyelenggarakan lokakarya untuk isu tertentu, menentukan posisi bersama tentang isu yang didorong oleh anggota perempuan kepada pimpinan partai mereka, dan mengawasi tindakan pemerintah terkait pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan. Dukungan partai untuk kaukus perempuan dapat membawa hasil positif.

  (e) Bangun kemitraan strategis dengan organisasi masyarakat sipil Pembentukan koalisi antara politisi perempuan dan masyarakat sipil bisa menjadi efektif dalam mendorong kebijakan. Pada banyak contoh, terutama jika partai berusaha mendorong amandemen konstitusi atau legislasi yang meningkatkan pemberdayaan perempuan, aktivis dalam partai politik telah bekerja erat dengan organisasi masyarakat sipil untuk mencapai tujuan mereka di contoh lain, organisasi masyarakat sipil dan yang secara strategis menargetkan aktivis partai perempuan untuk memperjuangkan perubahan kebijakan yang diinginkan dalam kedua skenario, Organisasi masyarakat sipil dapat memberikan tekanan kepada pemerintah dan menyuarakan tuntutan masyarakat. (f) melakukan kerjasama dengan partai politik

  Periode pasca pemilihan sangat penting bagi partai untuk melakukan assessment kesetaraan gender. Biasanya partai politik bergantung pada contoh anekdot saat menyusun strategi pemberdayaan perempuan padahal dapat melakukan kajian internal. Partai dapat diuntungkan dari analisa sistematis terhadap kebutuhan dan peluang anggota perempuan. Selain itu, pembahasan kesetaraan gender dalam partai politik dapat mencakup aturan terkait fungsi partai, kebijakan dan komitmen, serta posisi yang diduduki oleh perempuan di dalam partai dan di dalam lembaga legislatif. Hal ini dapat difasilitasi melalui pembaharuan arsip di mana data dibagi berdasarkan jenis kelamin.

  Setelah pemilihan, partai dapat menuai manfaat dari assessment atas kinerja mereka sendiri dan perhatian yang sudah diluangkan untuk isu gender semasa kampanye. Partai sendiri dapat menilai apakah praktek atau aturan tertentu merugikan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung selama pemilihan, seperti pendanaan untuk calon atau aturan rekrutmen. Sebaliknya, tindakan atau rencana strategis dapat dikembangkan dan disesuaikan pada temuan assessment tersebut. Kebijakan partai baru dapat diadopsi atau reformasi dilakukan kapan saja, tapi terdapat keuntungan strategis dari upaya yang dilakukan pada periode pasca pemilihan.

  Melembagakan kesetaraan gender berarti peraturan dan prosedur yang ditetapkan partai dilaksanakan oleh anggota partai, terutama anggota kaukus dalam parlemen. Ambisi partai, seperti penentuan target khusus dan komitmen kebijakan yang diartikulasikan tidak berarti banyak jika tidak diiringi dengan dukungan dan persetujuan dari anggota partai, laki-laki dan perempuan. Karena laki-laki adalah mayoritas di parlemen dan mendominasi struktur kepengurusan partai, mereka adalah mitra penting untuk mewujudkan perubahan. Hal ini membutuhkan proses pelatihan internal untuk memberikan pemahaman kepada anggota terutama lelaki tentang kesetaraan gender. Pelatihan orientasi, biasanya diberikan kepada anggota parlemen baru, sebaiknya mencakup ketentuan tentang kesetaraan gender. Dukungan dan visi pimpinan partai sangat penting dalam hal ini. Di Spanyol, pimpinan PSOE Zapatero menyatakan diri sebagai feminis dan dengan demikian terdapat perubahan citra feminisme dalam politik Spanyol. Hal ini telah berdampak meluas sehingga perempuan diperlakukan sama dengan laki- laki di dalam partai, dan pendapat mereka dipertimbangkan setara dengan mitra mereka yang laki-laki.

6.2 Teori Partisipasi Politik

  14

  6.2.1. Gambaran Umum terhadap Partisipasi Politik

  Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, mengadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contatcting) dengan

  15 pejabat pemerintah atau anggota perlemen, dan sebagainya .

  Keith Fauls memberikan batasan partisipasi politik sebagai keterlibatan secara aktif (the active engage ment) dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah. Herbert McClosky memberikan batasan partisipasi politik sebagai “kegiatan kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses 14 pembentukan kebijakan umum”. Huntington dan Nelson membuat batasan 15 Damsar, 2010, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal 180-183-186 Miriam Budiharjo, 2008, dasar-dasar ilmu politik, Jakarta: PT. Gramedia pustaka utama, hal 1-2 partisipasi politik sebagai“kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi- pribadi, yang dimaksut sebagai pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau sepontan, mantap atau

  sporaecara damai atau kekerasan, legal atau illegal, e

  fektif atau tidak efektif.” Rush dan Althoff memberikan batasan partisipasi politik sebagai “keterlibatan dalam aktivitas politik pada suatu sistem politik. Beberapa pandangan ahli tentang tipologi partisipasi politik. Roth dan Wilson membuat tripologi partisipasi politik atas dasar piramida partisipasi. Pandangan Roth dan Wilson tentang piramida politik menujukan bahwa semakin tinggi intensitas dan derajat aktivitas politik seseorang, maka semakin kecil kuantitas orang yang terlibat di dalamnya.

  Rush dan Althoff mengajukan hierarki partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hirarki tertinggi dari partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau administratif. Sedangkan hierarki yang terendah dari suatu partisipasi politik adalah orang yang apatis secara total yaitu orang yang tidak melakukan aktivitas politik apapun secara total. Semakin tinggi Hierarki partisipasi politik maka semakin kecil kuantitas dari keterlibatan orang- orang, seperti yang diperhatikan oleh bagan hirarki partisipasi politik dimana garis vertikal segitiga menujukan hierarki, sedangkan garis orizontalnya menujukan kuantitas dari keterlibatan orang-orang.

  Almond membedakan partisipasi politik atas dua bentuk, yaitu :

  1. Partisipasi politik konvensional, yaitu suatu bentuk partisipsi politik yang normal dalam demokrasi modern.

  2. Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partosipasi politik yang tidak lezim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner.

6.2.2. Partisipasi Politik Perempuan

  Kaum perempuan, sebagai warga negara memiliki hak-hak politik yang memungkinkannya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, tempat dimana mereka dapat mempertahankan dan mengembangkan kepentingan - kepentingannya. Namun ideologi yang mapan yang berkembang menyebabkan perempuan dieksklufsikan dari dunia politik. Pamela Paxton dan Sheri Kunovich dalam sebuah penelitiannya menyebutkan bahwa ideologi patriarkis ini bahkan lebih kuat pengaruhnya terhadap keterwakilan politik ketimbang sistem politiknya

  16 sendiri .

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Pengaruh Lingkungan Kerja, Disiplin Dan Tunjangan Profesi Guru Terhadap Kinerja Guru Di Dinas Pendidikan Kabupaten Toba Samosir

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Proses Transesterifikasi Minyak Sawit Menggunakan Novozyme® 435 Untuk Menghasilkan Biodiesel Sawit

0 7 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kinerja 2.1.1. Pengertian Kinerja - Hubungan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas KIA di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2015

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas KIA di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2015

0 4 8

I. KETERANGAN WAWANCARA - Pemilihan Anti Nyamuk Ditinjau dari Tingkat Pendidikan, Pendapatan dan Perilaku serta Keluhan Kesehatan pada Keluarga di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2015

0 0 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Pemilihan Anti Nyamuk Ditinjau dari Tingkat Pendidikan, Pendapatan dan Perilaku serta Keluhan Kesehatan pada Keluarga di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2015

0 0 28

BAB II KEBIJAKAN POLITIK PANGAN SBY-BOEDIONO 2009-2014 A.Sejarah Perkembangan Kebijakan Politik Pangan di Indonesia - Analisis Kebijakan Politik Pangan SBY-Boediono Tahun 2009-2014

0 0 46

BAB I Pendahuluan A. Latar belakang - Analisis Kebijakan Politik Pangan SBY-Boediono Tahun 2009-2014

0 0 23

ANALISIS KEBIJAKAN POLITIK PANGAN PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO TAHUN 2009-2014 Samuel Nicholas 100906091 Dosen pembibing : Faisal Andri Marawa S.IP, M.si

0 0 13

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 1. Sejarah Singkat Labuhan Batu - Peningkatan Kualitas Perempuan di Parlemen (Studi Kasus : Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu Periode 2014-2019)

0 0 27