PERANAN DALIHAN NATOLU DALAM HUKUM PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA

Vol 1 No. 1 ,2017
©2017 Hukum Perdata all right reserve

Pactum Law Journal

PERANAN DALIHAN NATOLU DALAM
HUKUM PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA
Eric Evonsus Simbolon1, Aprilianti2, Dianne Eka Rusmawati3.
ABSTRAK
Hukum perkawinan masyarakat adat Batak Toba mengatur tentang
peranan Dalihan Natolu. Peranan Dalihan Natolu ini merupakan suatu hal yang
tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bermasyarakat di dalam masyarakat adat
Batak Toba. Dalam suatu perkawinan yang sah, Dalihan Natolu telah
menggariskan dan menetapkan aturan dan ketentuan rinci mengenai berbagai
hubungan sosial baik antara suami dengan istri, antara orang tua dengan saudarasaudara kandung dari masing-masing pihak pengantin, maupun dengan boru serta
hula-hula dari masing-masing pihak. Permasalahan yang akan dibahas dalam
skripsi ini adalah mengenai penerapan prinsip Dalihan Natolu dalam hukum adat
Batak Toba, serta peranan Dalihan Natolu dalam proses penyelesaian
permasalahan perkawinan masyarakat adat Batak Toba.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian empiris, pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan secara historis (Historical Approach) dengan tipe penelitian deskriptif.
Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier serta pengumpulan data
menggunakan studi kepustakaan. Pengolahan data dilakukan dengan cara
pemeriksaan data, rekonstruksi data dan sistematisasi data.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam kehidupan masyarakat adat
Batak Toba, prinsip Dalihan Natolu sangat mementingkan kerjasama antar peran
dari unsur Dalihan Natolu sendiri yaitu dongan tubu, hula-hula, dan boru. Hal ini
juga tidak bisa dipisahkan dari makna pepatah Dalihan Natolu yang mengatakan
somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru karena
mengandung sebuah arti yang mendalam dan mutlak harus dilakukan bila ingin
sejahtera hidupnya. Pada masyarakat adat Batak Toba, ketua adat dalam
perkumpulan atau organisasi masyarakat Adat Batak Toba yang menganut prinsip
Dalihan Natolu dapat dikatakan sebagai mediator dalam penyelesaian suatu
masalah perkawinan, karena ketua adat tersebut menjadi pihak yang terlibat
diantara pihak-pihak yang sedang mengalami konflik untuk kemudian
menyelesaikan persoalan diantara dua pihak yang bermasalah tersebut, dimana
solusi damai sangat diutamakan agar tidak berlarut-larut dalam permasalahan
yang berakibat timbulnya suatu perceraian.
Kata Kunci : Dalihan Natolu, Masyarakat Adat Batak Toba, Hukum

Perkawinan Adat.

1

Mahasiswa Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung,
Dosen Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung,
3
Dosen Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung,
2

42

Vol 1 No. 1 ,2017
©2017 Hukum Perdata all right reserve

Pactum Law Journal

I. PENDAHULUAN
Hukum adalah segala aturan yang menjadi pedoman perilaku setiap orang
dalam hubungan hidup bermasyarakat atau bernegara disertai sanksi yang tegas

apabila dilanggar.4 Hukum bertujuan untuk mengatur tata kehidupan dari suatu
masyarakat dimana hukum itu berlaku. Demikian juga hukum adat Batak
bertujuan mengatur masyarakat adat Batak dalam bertingkah laku, serta mengatur
segenap segi kehidupannya. Dalam kehidupannya sehari-hari, selalu didasari oleh
kaidah-kaidah yang terdapat dalam Hukum Adat.5 Namun di era sekarang ini,
seringkali masyarakat melupakan pentingnya aturan dalam Hukum Adat, salah
satunya yaitu Hukum Adat Batak. Penyebabnya adalah era globalisasi yang
lambat laun semakin menggeser nilai-nilai kebudayaan yang telah melekat dalam
masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, dari sekian banyak segi-segi kehidupan
masyarakat Batak, penulis mencoba menelaah salah satu dari segi kehidupan yaitu
masalah hukum perkawinan.
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam hidup
masyarakat karena perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan
atau melanjutkan keturunan dalam suatu keluarga. Perkawinan adalah perilaku
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia
berkembang biak.6 Masalah hukum perkawinan dalam Adat Batak ini perlu
dipahami karena ini merupakan suatu peristiwa yang besar dan rumit terutama
pada pelaksanaan perkawinan dalam Adat Batak itu sendiri. Hal ini
mengakibatkan banyak orang yang bertanggung jawab dan terlibat di dalamnya.
Perkawinan harus dilakukan melalui proses-proses tertentu yang telah ditentukan

dalam hukum adatnya. Dalam masyarakat adat Batak sendiri, proses-proses ini
harus dilalui apabila seseorang yang bersuku Batak ingin melakukan perkawinan.
Jadi, Hukum Adat Batak yang ditaati oleh semua orang Batak telah menetapkan
bagaimana proses yang harus dilakukan serta tindakan-tindakan apa yang harus
dilaksanakan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi apabila masyarakat adat
Batak ingin melaksanakan perkawinan.7
Perkawinan merupakan suatu kegiatan yang erat kaitannya dengan hukum
adat sesuai dengan suku yang dianut masing-masing. Masyarakat adat Batak yang
dibagi menjadi lima sub suku mempunyai masing-masing hukum dan aturan
perkawinan yang berbeda. Salah satu hukum dan aturan perkawinan yang akan
dibahas di sini yaitu perkawinan dalam Adat Batak Toba. Suatu kegiatan adat
yang berlangsung akan melibatkan beberapa kelompok sosial masyarakat dalam
menjalankannya. Oleh karena itu, masyarakat akan membentuk suatu
perkumpulan atau kelompok untuk saling bekerjasama. Yang dimaksud dengan
perkumpulan itu sendiri adalah suatu kelompok sosial yang sering ditemui pada
lapisan masyarakat guna membina hubungan sosial. Masyarakat adat Batak Toba
juga memiliki suatu perkumpulan yang mengatur segala urusan dan kegiatan Adat
Batak. Perkumpulan tersebut berguna untuk melaksanakan urusan dan kegiatan
4


Muhammad, Abdulkadir. 2014. Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
hlm. 1.
5
Hutauruk, Edwar B. 2001. Adat Batak, Tarutung: Kotapos, hlm 23.
6
Hilman, Hadikusuma, 2007. Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, hlm 1.
7
Saragih Djaren, 1980. Hukum Perkawinan Adat Batak, Bandung: Tarsito, hlm 26.

43

Vol 1 No. 1 ,2017
©2017 Hukum Perdata all right reserve

Pactum Law Journal

adat yang tidak lepas dari suatu aturan dan prinsip. Aturan atau prinsip tersebut
dinamakan dengan Dalihan Natolu.
Dalihan Natolu adalah tungku masak berkaki tiga. Dimana tungku masak

berkaki tiga tersebut diibaratkan sebagai simbol dari tatanan sosial
kemasyarakatan orang batak. Ketiga kaki itu sama tinggi dan sama besar supaya
ada keseimbangan dan menunjukkan bahwa adanya ketiga unsur Dalihan Natolu
yaitu Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru.8 Dalihan Natolu ini juga sekaligus
dianggap sebagai simbol di dalam Adat Batak Toba. Semua masyarakat adat
Batak Toba yang ingin melakukan perkawinan,wajib mengikuti semua aturan
yang ada dalam prinsip Dalihan Natolu. Selain itu, Dalihan Natolu juga dapat
berperan sebagai wadah untuk masyarakat adat Batak Toba menyelesaikan
permasalahan dalam kehidupan perkawinan melalui unsur-unsur di dalamnya.
Hal ini dikarenakan dalam kehidupan perkawinan masyarakat Batak Toba
tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai masalah yang kerap
mengakibatkan kehidupan perkawinan tersebut berjalan tidak harmonis bahkan
sampai berujung pada perceraian. Dalam hal ini, terdapat satu pihak dalam unsur
Dalihan Natolu yang berperan membantu menyelesaikan permasalahan dalam
kehidupan perkawinan, yaitu ketua adat dalam suatu perkumpulan masyarakat
adat Batak Toba tersebut. Peran ketua adat ini bisa dikatakan seperti mediator
karena berperan sebagai unsur dan motor penggerak dari proses penyelesaian
permasalahan itu sendiri bila terjadi konflik dalam kehidupan anggota
masyarakatnya. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti dengan
menjabarkan dalam beberapa rumusan permasalahan yang ada terkait Dalihan

Natolu dalam Hukum Perkawinan Adat Batak Toba.
Permasalahan yang akan dijabarkan dalam penelitian ini yaitu penerapan
prinsip Dalihan Natolu dalam hukum adat Batak Toba, karena dalam hukum adat
Batak Toba sendiri prinsip Dalihan Natolu terdapat sebuah aturan yang perlu
diketahui tentang cara penerapannya dalam kehidupan khususnya untuk
penyelesaian suatu masalah. Selain itu, dikarenakan dalam pengkajian membahas
aturan serta peranan dari unsur Dalihan Natolu yaitu dongan tubu, boru dan hulahula, maka perlu dicermati lagi tentang peranan Dalihan Natolu dalam
penyelesaian permasalahan perkawinan masyarakat adat Batak Toba agar dapat
diketahui secara jelas tentang implementasinya ke dalam kehidupan nyata.
II. PEMBAHASAN
1. Penerapan Prinsip Dalihan Natolu dalam Hukum Adat Batak Toba
a. Sikap dan Perilaku terhadap Dongan Sabutuha atau Kawan Semarga
Sikap manat atau hati-hati terhadap dongan sabutuha dapat disejajarkan
dengan ungkapan yang berbunyi “benang jangan terputus, tepung jangan
terserak”. Dongan sabutuha adalah orang-orang yang satu marga, diikat kesatuan
hubungan darah dan merupakan kesatuan keturunan dari satu luhur yang
mewariskan marga kepada mereka. Karena mereka menganggap diri satu darah,
satu keturunan dan satu marga. Orang Batak mengatakan perdebatan tersebut
sebagai perbantahan yang sifatnya marsisoitan atau berargumentasi. Dengan kata
8


Gultom, Rajamarpodang. 1995. Dalihan Natolu dan Prinsip Dasar Nilai Budaya Batak, Medan:
Phorus Media, hlm. 32.

44

Vol 1 No. 1 ,2017
©2017 Hukum Perdata all right reserve

Pactum Law Journal

lain yaitu dasar, alasan dan acuan melakukan perbuatan dan bentuk perbuatan
yang dimaksud adalah benar. Prinsip kesatuan dan kebersamaan orang semarga
harus dijaga ke dalam dan keluar terhadap marga lain atau yang bukan orang
Batak dalam berbagai pertemuan atau perhelatan.
b. Sikap dan Perilaku terhadap Hula-Hula atau Marga Istri
Sikap somba atau hormat yang ditetapkan terhadap hula-hula didasarkan
kepada pemikiran bahwa putri hula-hula adalah ibu yang melahirkan keturunan
dan disebut hagabeon dalam bahasa Batak. Hagabeon merupakan cita-cita utama
dan paling didambakan orang Batak. Oleh sebab itu, salah besar apabila ada orang

mensejajarkan keturunan (hagabeon) dengan kekayaan (hamoraon) dan
kedudukan (hasangapon) sebagai cita-cita utama orang Batak. Hagabeon sudah
dianggap tercapai apabila si Ibu sudah melahirkan keturunan bagi suaminya.
Namun, hagabeon tersebut baru dianggap lengkap apabila si ibu melahirkan putra
dan putri. Kelahiran putri saja masih dianggap belum sempurna karena mereka
tidak memiliki hak melanjutkan garis keturunan ayahnya.
Adanya pewaris garis keturunan, juga akan memberi jaminan
berlangsungnya garis kekerabatan dengan hula-hula. Hal ini dikarenakan hulahula telah dianggap sebagai pangkal atau sumber hagabeon yang akan
meneruskan garis keturunan. Maka sikap bersembah atau berhormat terhadap
mereka merupakan sikap yang mutlak dilakukan.9
Tua-tua pendahulu telah mendudukkan kelompok Hula-hula ditempat
teratas dan terhormat dalam struktur sosial masyarakat Batak. Dengan demikian,
ikatan sosial garis kekerabatan dengan kelompok hula-hula harus dicatat dengan
sempurna. Lazimnya dibatasi hingga tingkat bona ni ari atau marga ibu yang
melahirkan kakek. Pembatasan ini konsisten dengan prinsip batasan hasuhuton
atau yang hanya dibatasi dalam lingkaran keturunan kakek kandung bersaudara.
c. Sikap dan Perilaku terhadap Boru atau Marga asal Suami
Tua-tua pendahulu telah menetapkan sikap elek atau lemah lembut dan
bujuk rayu sebagai kepatutan menghadapi boru. Selain sikap, tutur kata terhadap
mereka hendaknya dijaga agar selalu menyenangkan hati, apalagi terhadap

suaminya. Sebagai pajangan di tengah marga lain, boru bertanggung jawab
menjaga nama baik hula-hula nya. Apabila boru mendapat pujian dan sanjungan
dari warga marga suaminya karena mengutamakan dan memperdulikan warga
semarganya, maka orang tuanya (hula-hula) akan mendapat kehormatan dan
pujian.10 Demikianlah boru itu dipuji dan disayang karena banyak diantara boru
yang berperilaku demikian. Seandainya boru meminta sesuatu dan dapat dipenuhi,
lebih baik dikabulkan dan kalau sekiranya tidak dapat dipenuhi, ibunya dapat
merayu boru nya supaya mempertimbangkan ulang permintaannya karena ibulah
yang paling dekat dengan putrinya. Ketentuan umum tentang sikap dan perilaku
antar unsur Dalihan Natolu sangat vital untuk menjaga kehormatan dari masingmasing peran dalam kehidupan masyarakat adat Batak Toba, karena hal ini dapat
mempengaruhi berlangsungnya pola kehidupan di masa depan dalam

9

Ibid,. hlm. 124.
Wawancara dengan Bapak Eka Ginting dan Op. Rafael Siallagan, ketua punguan Parna beserta
wakilnya tanggal 10 Mei 2017 di kediaman.

10


45

Vol 1 No. 1 ,2017
©2017 Hukum Perdata all right reserve

Pactum Law Journal

menyelesaikan permasalahan perkawinan yang terjadi dalam masyarakat adat
Batak Toba.
Ketiga unsur tersebut yakni dongan tubu, parboru, dan hula-hula akan
duduk bersama membicarakan sengketa yang dialami pasangan rumah tangga
tersebut. Apabila ternyata juga tak membuahkan hasil, maka disinilah pihak
mediator sebagai penengahnya berperan untuk mendamaikan konflik atau
sengketa tersebut. Mediator tersebut dapat dipilih dari Ketua Adat, Raja Hata atau
orang yang dituakan dan cukup disegani karena wibawanya di masyarakat.
Dongan tubu, parboru, dan hula-hula kemudian duduk bersama dengan mediator
yang telah dipercayai oleh para pihak. Kemudian mereka bermusyawarah dan
bermufakat, lalu mencari jalan keluar terbaik untuk seluruh pihak dan sebisa
mungkin jalan perceraian harus dihindari. Hal ini dikarenakan dalam adat Batak
tidak dikenal adanya perceraian. Jika sampai terjadinya perceraian, maka seluruh
hak sebagai istri baik terhadap anak dan harta selama mereka berumah tangga
akan menjadi hapus dan hak tersebut jatuh pada suami.
Bila ternyata perceraian tidak dapat dihindari, maka keputusan yang
diambil harus keputusan yang terbaik bagi seluruh pihak untuk dilakukan
perpisahan atau perceraian (parsirangan) melalui proses hukum, dan diselesaikan
di pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang isinya sebagai berikut : “Perceraian hanya dapat dilakukan
didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Adapun tentang tata cara
perceraian yang diatur PP No.9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut :
a. Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
yang akan menceraikan isrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat
tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan
isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan
agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
b. Pasal 15 PP Nomor 9 Tahun 1975
Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam
Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil
pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.
c. Pasal 16 PP Nomor 9 Tahun 1975
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk
menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila memang
terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang
bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Melalui proses hukum, dibicarakan mengenai beberapa masalah antara lain :
1. Pengasuhan anak-anak (jika dalam pernikahan tersebut telah dikaruniai anak
atau keturunan)
2. Biaya hidup anak-anak apabila pengasuhan berada di tangan ibunya

46

Vol 1 No. 1 ,2017
©2017 Hukum Perdata all right reserve

Pactum Law Journal

3. Hubungan antara anak-anak dan orang tuanya setelah kedua orang tuanya
berpisah (baik berpisah atau bercerai melalui pengadilan maupun tidak melalui
pengadilan, masalah ini harus tetap turut dibicarakan)
4. Kepemilikan harta bersama selama pernikahan berlangsung dan lain
sebagainya.
Hal kepemilikan harta bersama selama pernikahan berlangsung harus
dibicarakan lewat pengadilan apabila tidak berhasil menggunakan penerapan
prinsip Dalihan Natolu. Hasil tersebut didasarkan pada dasar Hukum Undangundang Perkawinan dan Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung,
yaitu Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35 ayat 1 jo.
Jurisprudensi Mahkamah Agung No.100 K/Sip/1967, yang isinya sebagai
berikut :
a. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 35 ayat 1 : “Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”
b. Keputusan Mahkamah Agung No.100 K/Sip/1967: “tidak dipersoalkan
siapapun yang menghasilkan harta tersebut, maka harta tersebut adalah harta
bersama, kecuali diperjanjikan sebelumnya”
Sehingga dalam hal perceraian, yang menjadi tujuan utama pembicaraan
dalam musyawarah lewat mediator adalah kepentingan anak-anak di atas
segalanya (bila dalam perkawinan telah dikaruniai anak) dan perihal kepemilikan
harta bersama yang dibagi secara adil.
Hal tersebut diutamakan demi
perkembangan psikologis atau kejiwaan anak-anak dan psikis si istri karena dalam
hal ini si perempuan yang umumnya menjadi pihak yang paling dirugikan bila
terjadi perceraian dalam masyarakat Batak Toba. Apabila hal ini diabaikan, bukan
tidak mungkin akan mengakibatkan trauma psikologis dan terbeban mental pada
anak-anak nya akibat perceraian kedua orang tuanya, dan juga si istri akan
terganggu jiwanya akibat perceraian yang dialaminya.
Oleh karena itu pula dalam perceraian harus diupayakan proses perceraian
secara damai, maksudnya bahwa dalam proses perceraian tersebut tidak ada
perebutan hak asuh anak serta dilakukan pembagian harta bersama secara adil dan
kedua orang tua juga harus rukun dan damai walau telah hidup berpisah serta tetap
melakukan pengasuhan anak-anak dengan bersama-sama, walaupun mereka telah
hidup berpisah setelah proses perceraian selesai. Masyarakat adat Batak Toba
sangat mementingkan kerjasama antar peran dari unsur Dalihan Natolu sendiri
yaitu dongan tubu, hula-hula, dan boru. Hal ini juga berhubungan dengan makna
dari pepatah somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru
karena mengandung sebuah arti yang mendalam dan mutlak harus dilakukan bila
ingin sejahtera hidupnya.
2.

Peranan Dalihan Natolu dalam Penyelesaian Permasalahan Perkawinan
Masyarakat Adat Batak Toba
Prinsip Dalihan Natolu yang memiliki unsur-unsur diantaranya Dongan
Tubu, Boru, dan Hula-hula dapat dikatakan sebagai pihak yang memiliki peran
penting dalam proses penyelesaiannya. Dongan tubu, boru, dan hula-hula ini pada
dasarnya memiliki peran yang sangat penting dalam proses penyelesaiannya.
Unsur yang terkandung di dalam Dalihan Natolu ini pada dasarnya memiliki

47

Vol 1 No. 1 ,2017
©2017 Hukum Perdata all right reserve

Pactum Law Journal

peran di dalam tatanan sosial kemasyarakatan dari masyarakat Batak Toba,
sehingga di dalam penyelesaian permasalahan semua bagian dari Dalihan Natolu
ini yaitu Dongan Tubu, Boru, dan Hula-hula berperan sebagai unsur dan motor
penggerak dari proses penyelesaian permasalahan itu sendiri bila terjadi konflik
dalam kehidupan anggota masyarakatnya.
a. Perselisihan Suami - Istri
Perselisihan dalam hal ini dapat timbul dalam kehidupan masyarakat adat
Batak Toba karena hal-hal yang dapat memicu terjadinya perselisihan, contohnya
yaitu terjadinya kesalahpahaman antara suami dan istri yang dapat menimbulkan
perbedaan pendapat diantara mereka. Sering juga perselisihan dalam rumah
tangga timbul karena salah satu pihak melalaikan tugas dan tanggung jawabnya di
dalam rumah tangga.
Langkah pertama yang diambil dalam proses penyelesaian sengketa adalah
salah satu pihak beserta dongan tubunya (biasanya pihak yang dirugikan)
mendatangi pihak yang lainnya, duduk bersama dan bermusyawarah. Langkah
berikutnya bila proses di atas tidak berhasil, maka dapat diikutsertakan mediator
yang dipilih dari Ketua/Penatua Adat, Raja Hata atau Ketua Kelompok
masyarakat yang disegani karena wibawa dalam perilaku keseharian hingga
dinilai cakap dan mampu menyelesaikan sengketa. Jalan keluar terbaik yang
dilakukan mediator adalah menasehati pihak yang bersalah dahulu (baik
suami/istri) secara intern atau pribadi dan tertutup antara mediator dan pihak
bersangkutan, lalu kemudian kedua belah pihak tadi kembali dan bermufakat dan
menasehati agar berdamai dan menghindar dari perceraian.
b. Masalah yang Mengakibatkan Perceraian (Parsirangan – padao-dao)
Hal ini dapat timbul karena beberapa hal, antara lain:
1) Dalam pernikahan tersebut tidak dikaruniai anak-anak atau keturunan (anak
laki-laki atau perempuan). Yang banyak terjadi pada masyarakat Batak
adalah ketiadaan anak laki-laki (putera) sebagai generasi penerus/keturunan
marga, sehingga si suami ingin menikah lagi dengan perempuan lain tanpa
menceraikan isteri sebelumnya, sementara si istri tersebut tidak bersedia
diperlakukan demikian karena ia tidak bersedia untuk dimadu oleh suaminya
dengan alasan apapun.
2) Dalam pernikahan tersebut sudah tidak ditemukan lagi kesamaan visi dan
misi, serta kesamaan persepsi dan tujuan berumah tangga. Hal ini
menimbulkan perbedaan prinsip yang amat radikal diantara keduanya
sehingga mempengaruhi kestabilan rumah tangga mereka tersebut.
3) Terdapatnya campur tangan dari pihak ketiga (keluarga besar pasangan
suami istri tersebut, baik dari pihak si suami tersebut maupun si istri) yang
membuat hubungan suami istri tersebut menjadi renggang dan rusak,
sehingga mempengaruhi kestabilan rumah tangga tersebut.
4) Salah satu pihak atau bahkan keduanya selingkuh baik berakhir dengan
perzinahan atau tidak dan pasangannya tidak mampu untuk memaafkan
perilaku pasangannya yang berselingkuh tersebut.
5) Salah satu pihak melanggar janji atau komitmen yang pernah diucapkan

48

Vol 1 No. 1 ,2017
©2017 Hukum Perdata all right reserve

Pactum Law Journal

6) Suami tidak menafkahi keluarga dan tidak mau berusaha bekerja karena
dalam hal ini, memenuhi kebutuhan rumah tangga memang telah menjadi
tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga.
7) Suami melalaikan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga.
8) Suami melakukan tindak kejahatan dalam rumah tangga (kekerasan dalam
rumah tangga/KDRT).
9) Suami suka mabuk, berjudi, berzinah dengan perempuan lain.
10) Istri melalaikan kewajibannya dalam rumah tangga.
11) Salah satu pihak mengalami penyakit menular yang mematikan atau
membahayakan sekelilingnya.
12) Terjadi pertengkaran terus menerus antara mereka yang tak kunjung
selesai, yang akhirnya merusak atau mengganggu keharmonisan hubungan
dan menggoyahkan hubungan rumah tangga mereka dan lain sebagainya.
Unsur Dalihan Natolu pada dasarnya memiliki peran di dalam tatanan
sosial kemasyarakatan dari masyarakat Batak Toba. Sehingga di dalam
penyelesaian sengketa ketiga peran dari hula-hula, dongan tubu, dan boru ini
berfungsi sebagai unsur dan motor penggerak dari proses penyelesaian sengketa
alternatif itu sendiri bila terjadi konflik dalam anggota masyarakatnya. Hal ini
dikarenakan unsur dalam prinsip Dalihan Natolu yaitu hula-hula, dongan tubu,
dan boru inilah yang bergerak melalui proses penyelesaian sengketa alternatif,
dimana unsur tersebut baik hula-hula, dongan tubu, dan boru dari pihak yang
bersengketa tersebutlah yang beraktifitas dan secara langsung bekerja dalam hal
melakukan pertemuan demi pertemuan untuk bermusyawarah untuk
membicarakan permasalahan atau sengketa yang dialami.
Hubungan antara prinsip Dalihan Natolu terhadap penyelesaian
permasalahan kehidupan pada masyarakat adat Batak Toba ini sangat erat. Hal ini
dikarenakan unsur dari prinsip Dalihan Natolu yang terdiri dari hula-hula, dongan
tubu dan boru tersebut memiliki peran sebagai unsur penggerak utama dari
terwujudnya praktek proses penyelesaian sengketa alternatif tersebut.
Untuk itu, prinsip Dalihan Natolu yang telah melekat dan
diterapkan/diimplementasikan oleh perkumpulan/organisasi dalam masyarakat
adat Batak Toba bisa digunakan sebagai suatu wadah alternatif untuk melakukan
suatu mediasi dalam penyelesaian terhadap sengketa yang terjadi pada masyarakat
Batak Toba yang berkonflik. Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan
melibatkan pihak ketiga yang netral (sebagai Mediator atau penengah) yang tidak
memiliki kewenangan mengambil keputusan, membantu pihak yang bersengketa
mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak kerugian
pun ditanggung bersama.
III. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan di atas, maka
penulis dalam penelitian ini menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat adat Batak Toba, prinsip Dalihan Natolu sangat
mementingkan kerjasama antar peran dari unsur Dalihan Natolu sendiri yaitu
dongan tubu, hula-hula, dan boru. Hal ini juga tidak bisa dipisahkan dari

49

Vol 1 No. 1 ,2017
©2017 Hukum Perdata all right reserve

Pactum Law Journal

makna pepatah Dalihan Natolu yang mengatakan somba marhula-hula, manat
mardongan tubu, dan elek marboru. Hal ini dikarenakan jika kita
menghormati hula-hula, menjaga perasaan dongan tubu, dan bersikap lemah
lembut terhadap boru, maka akan terciptanya suatu kehidupan yang sejahtera
dalam masyarakat adat Batak Toba.
2. Peranan Dalihan Natolu yaitu dongan tubu, boru dan hula-hula dalam
penyelesaian permasalahan perkawinan masyarakat adat Batak Toba sangat
penting pada setiap prosesnya agar masalah tersebut dapat terselesaikan
dengan baik. Seorang suami atau istri yang mempunyai masalah akan
mengadukan permasalahan tersebut kepada organisasi atau perkumpulan
marga (ketua adat) dari pihak suami atau istri yang sedang bermasalah. Ketua
adat itu mempunyai wewenang untuk menyelesaikan permasalahan sebagai
mediator. Ketua adat akan memanggil Dalihan Natolu dari pihak suami atau
istri yang sedang bermasalah untuk kemudian diadakan musyawarah bersama
atau mediasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-buku
Gultom, Rajamarpodang. 1995. Dalihan Natolu dan Prinsip Dasar Nilai Budaya
Batak. Medan: Phorus Media
Hadikusuma, Hilman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar
Maju.
Hutauruk, Edwar B. 2001. Adat Batak. Tarutung: Kotapos.
JC.Vergouwen. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta:
LKiS Yogyakarta.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
---------. 2014. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
P.L. Situmean, Doangsa. 2007. Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan
Batak Toba. Jakarta: Kerabat.
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rato, Dominikus. 2011. Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem
Kekerabatan, Bentuk Perkawinan dan Pola Pewarisan Adat di Indonesia).
Surabaya: Laksbang Justitia.
Saragih Djaren,dkk. 1980. Hukum Perkawinan Adat Batak, khususnya
Simalungusn, Toba, Karo, dan UU Tentang Perkawianan (UU. No
1/1974). Bandung: Tarsito.
Siahaan Nalom. 1982. Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta:
Tulus Jaya.
Sihombing. T.M. 1989. Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat. Medan: Tulus Jaya.
Sinaga, Drs. Richard. 2008. Kamus Batak Toba – Indonesia. Jakarta: Dian Utama.
---------. 2012. Perkawinan Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama.
Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.
Soerojo Wignjodipoero. 1984. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta:
Gunung Agung, cet. VII.

50

Vol 1 No. 1 ,2017
©2017 Hukum Perdata all right reserve

Pactum Law Journal

Sudarsono. 1994. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Jakarta.
Zainuddin, Ali. 2011. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
2. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

51