AFIKSASI VERBA BAHASA JAWA MOJOKERTO - Repository UNRAM

  

JURNAL

AFIKSASI VERBA BAHASA JAWA MOJOKERTO

OLEH

ROHMATIN

NIM. E1C009014

UNIVERSITAS MATARAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

  

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA

DAN DAERAH

  

AFIKSASI VERBA BAHASA JAWA MOJOKERTO

OLEH: ROHMATIN (E1C009014)

A. PENDAHULUAN

  Bahasa Jawa Mojokerto merupakan bahasa Jawa yang digunakan oleh penuturnya, yaitu masyarakat Jawa di wilayah Kabupaten Mojokerto. bahasa Jawa Mojokerto dapat diartikan menjadi bahasa Jawa dialek Jawa Timur subdialek Mojokerto. Dalam proses morfologis, khususnya dalam hal afiksasi verba, bahasa Jawa Mojokerto memiliki keunikan tersendiri. Keunikan tersebut diantaranya yaitu mengenai bentuk afiks dan peristiwa fonemis. Mengenai bentuk afiks misalnya yaitu dalam tingkat tutur ngoko dan madya, afiks {N-ake} pada bahasa Jawa standar merupakan {N-no} pada bahasa Jawa Mojokerto. Kemudian, mengenai peristiwa fonemis misalnya yaitu bentukan tuku [tuku] + {-en} bukan menjadi tukunen [tukunәn] ‘belilah’ seperti pada bahasa Jawa standar, tetapi menjadi tukuen [tukuәn] ‘belilah’. Kegiatan penelitian bahasa daerah sebagai salah satu upaya pelestarian dan pengembangan bahasa daerah sangat diperlukan. Penelitian tentang bahasa Jawa memang telah banyak dilakukan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Poedjosoedarmo (1979) dengan judul “Morfologi Bahasa Jawa”, Soedjito (1981) dengan judul “Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur”, Suwadji (1986) dengan judul “Morfosintaksis Bahasa Jawa”, Adipitoyo (1999) dengan judul “Morfofonemik Bahasa Jawa Dialek Surabaya”, dan Dewi (2007) dengan judul “Morfologi Bahasa Jawa di Kelurahan Lumpur Kecamatan Gresik Kabupaten Gresik”. Namun demikian, penelitian mengenai afiksasi bahasa Jawa, khususnya tentang afiksasi dalam pembentukan verba bahasa Jawa di Mojokerto ini, belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji “Afiksasi Verba Bahasa Jawa Mojokerto”.

  Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana afiksasi verba Bahasa Jawa Mojokerto. Secara rinci permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

  1. Afiks apa saja yang digunakan dalam pembentukan verba bahasa Jawa Mojokerto?

  2. Bagaimanakah proses afiksasi verba bahasa Jawa Mojokerto?

  3. Bagaimanakah makna afiks verba bahasa Jawa Mojokerto? Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan afiksasi verba Bahasa Jawa Mojokerto sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang afiksasi verba Bahasa Jawa Mojokerto. Kemudian, tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.

  1. Untuk mendeskripsikan afiks verba bahasa Jawa Mojokerto.

  2. Untuk memerikan proses afiksasi verba bahasa Jawa Mojokerto.

  3. Untuk menguraikan makna afiks verba bahasa Jawa Mojokerto.

  B. KAJIAN PUSTAKA

1. Morfologi

  Morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu baik fungsi gramatikal maupun fungsi semantik (Ramlan, 1987: 21). Sejalan dengan pendapat tersebut, Chaer (2008: 3) menjelaskan bahwa morfologi adalah ilmu mengenai bentuk-bentuk dan pembentukan kata.

  2. Proses Morfologis

  Proses morfologis ialah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya (Ramlan, 1987: 51). Kemudian, Yasin (1988: 48) mengatakan bahwa proses morfologis adalah peristiwa (cara) pembentukan kata- kata dengan menghubungkan morfem yang satu dan morfem lainnya. Proses morfologis dapat berupa afiksasi/pembubuhan afiks, reduplikasi/bentuk ulang, dan pemajemukan (Yasin, 1988: 50). Di antara proses-proses morfologis, yang terpenting adalah afiksasi, yaitu pengimbuhan afiks (Verhaar, 2008: 107). Karena dalam penelitian ini mengkaji Afiksasi Bahasa Jawa Mojokerto, maka perihal afiksasi akan dijelaskan pada pembahasan tersendiri.

  3. Afiksasi

  Pengertian afiksasi telah banyak dikemukakan oleh para ahli, diantaranya oleh Chaer (2003: 177), Mahsun (2007: 32), Putrayasa (2008: 5), Yasin (1988: 51), Verhaar (1993: 51), Sukri (2008: 54), Ramlan (2001: 54), dan Parera (2010: 18). Dari pendapat para ahli tersebut, dapat diambil simpulan bahwa afiksasi adalah proses pembentukan kata dengan pembubuhan afiks pada suatu bentuk dasar baik berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks sehingga menghasilkan kata bentukan baru. Menurut Chaer (2008: 27) afiksasi dapat dibedakan atas prefiksasi (proses pembubuhan prefiks), sufiksasi (proses pembubuhan sufiks), infiksasi (proses pembubuhan infiks), konfiksasi (proses pembubuhan konfik), dan klofiksasi (proses pembubuhan kelompok afiks yang dilakukan secara bertahap).

  4. Afiksasi Verba Afiksasi verba adalah proses afiksasi yang menghasilkan kata kerja.

  Menurut Alwi (2003: 102) ada empat afiksasi verba, yaitu prefiksasi, sufiksasi, konfiksasi, dan infiksasi. Sementara itu, pendapat lain mengatakan afiksasi verba terdiri atas prefiksasi, sufiksasi, dan konfiksasi (Chaer, 2008: 106 dan Finoza, 2009: 85).

  5. Afiks

  Chaer (2003: 177) mendefinisikan afiks sebagai sebuah bentuk, biasanya berupa morfem terikat yang diimbuhkan pada sebuah dasar dalam proses pembentukan kata. Hal senada diungkapkan oleh Yasin (1988: 50) yang mengatakan bahwa afiks adalah suatu bentuk linguistik yang keberadaannya hanya untuk melekatkan diri pada bentuk-bentuk lain sehingga mampu menimbulkan makna (baru) terhadap bentuk-bentuk yang dilekatinya itu. Dalam bahasa Indonesia, morfem afiks terdiri atas prefiks, infiks, sufiks, konfiks, dan

  6. Afiks Pembentuk Verba dalam Bahasa Jawa dialek Jawa Timur

  Afiks pembentuk kata kerja dalam bahasa Jawa dialek Jawa Timur (Soedjito, 1981: 121) terdiri dari:

  1. prefiks {N-}, {tak-}, {kon-}, {di-}, dan {ke-}; 2. infiks {-um-} dan {-in-}; 3. konfiks {ke-an}; 4. sufiks {-an}, {-en}, {-e}, {-ane}; 5. sufiks {-a}, {-i}, {-na}, dan {-ana} dapat bergabung dengan prefiks {N-}, dapat juga bergabung dengan prefiks {tak-}, {kon-}, dan {di-}.

  7. Kata Dasar atau Bentuk Dasar

  Kata dasar atau bentuk dasar adalah bentuk linguistik berupa bentuk asal maupun bentuk kompleks (bentuk jadian) yang menjadi dasar bentukan bagi suatu bentuk kompleks (Yasin, 1988: 32 dan Rohmadi, 2010: 31). Sejalan dengan pendapat tersebut, Ramlan (1987: 49) mengatakan bahwa bentuk dasar adalah satuan, baik tunggal maupun kompleks, yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar, misalnya kata berpakaian yang terbentuk dari bentuk dasar

  pakaian dengan afiks ber-; selanjutnya kata pakaian terbentuk dari dari bentuk dasar pakai dan afiks -an.

  8. Nosi atau Makna

  Nosi adalah arti yang timbul sebagai akibat proses morfologis. Proses morfologis itu misalnya pada afiksasi, reduplikasi, atau pemajemukan (Rohmadi, 2010: 38 – 39 dan Yasin, 1988: 40). Sejalan dengan pendapat tersebut, dalam Ramlan (1987: 106 – 107) juga dijelaskan bahwa proses morfologis mempunyai fungsi semantik (makna). Contohnya kata sepeda. Kata ini telah memiliki arti leksikal seperti dijelaskan dalam kamus. Akibat melekatnya afiks ber- pada kata tersebut, berubahlah arti leksikalnya menjadi ‘mempunyai atau menggunakan sepeda’. Maka dapatlah dikatakan di sini bahwa afiks ber- mempunyai fungsi semantik menyatakan makna ‘mempunyai atau menggunakan’.

  9. Verba dan Verbalisasi

  Istilah lain dari verba adalah kata kerja. Verba merupakan kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan (Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 1546). Chaer (1989: 13) mendefinisikan kata kerja dari berbagai segi yakni dari segi semantik kata kerja adalah kata-kata yang menyatakan kerja atau perbuatan. Sedangkan secara morfologis kata kerja adalah kata-kata yang antara lain berawalan me-, berawalan ber-, berakhiran -kan, atau berakhiran –i. Kemudian dari segi sintaksis kata kerja adalah kata-kata yang dapat diawali kata ingkar tidak dan tidak dapat diawali kata tingkat paling.

  Proses pembentukan verba disebut juga dengan verbalisasi. Verbalisasi juga dapat diartikan sebagai pengubahan kata atau frasa menjadi verba dengan derivasi yang sesuai, misalnya dengan menambahkan prefiks me- dalam mengajak,

  mengekor, mendarat, dsb (Kridalaksana, 1983: 177 dan Tim Redaksi Kamus

  Besar Bahasa Indonesia, 2008: 1546). Hasil dari verbalisasi adalah verba bentukan atau turunan. Alwi (2003: 101 – 102) mengungkapkan bahwa verba turunan dibentuk melalui transposisi, afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan.

10. Morfofonemik

  Morfofonemik adalah kajian mengenai perubahan-perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain (Ramlan, 1987: 83). Dalam bahasa Indonesia sedikit-dikitnya terdapat tiga proses morfofonemik.

  1. Proses perubahan fonem.

  2. Proses penambahan fonem.

  3. Proses hilangnya fonem.

  C. METODE PENELITIAN

  Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing yang diikuti teknik lanjutan berupa teknik cakap semuka dan teknik lanjutan catat dan metode introspeksi. Kemudian, Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode padan intralingual dengan teknik hubung menyamakan dan hubung banding membedakan dan metode agih dengan teknik ganti. Hasil analisis data tersebut kemudian disajikan dengan menggunakan metode formal dan informal.

  D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  1. Afiks Pembentuk Verba Bahasa Jawa Mojokerto

  Dari data yang telah dikumpulkan, ditemukan lima jenis afiks pembentuk verba dalam bahasa Jawa Mojokerto, yakni prefiks, infiks, sufiks, konfiks, dan klofiks. Afiks pembentuk verba tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. prefiks, terdiri dari prefiks {N-} dengan alomorf {n-}, {m-}, {ng-}, {ny-}, dan {nge-}, prefiks {di-}, dan prefiks {ke-}, 2. infiks, yaitu infiks {-em-}, 3. sufiks, terdiri dari sufiks {-an}, sufiks {-i}, sufiks {-ono}, sufiks {-o}, sufiks

  {-no}, dan sufiks {-en}, 4. konfiks, yaitu konfiks {ke-an}, dan 5. klofiks, terdiri dari klofiks {N-i}, klofiks {N-ono}, klofiks {N-o}, klofiks {N- no}, klofiks {di-i}, klofiks {di-ono}, klofiks {di-o}, dan klofiks {di-no}.

  Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, sebenarnya terdapat prefiks {tak-} atau {dak-} dan prefiks {kon-} atau {kok-}. Morfem {tak-} dan {kon-} memang terdapat dalam bahasa Jawa dialek Jawa Timur sub dialek Mojokerto. Namun, dalam penelitian ini, peneliti tidak memasukkannya sebagai prefiks, melainkan sebagai klitik. Hal ini dikarenakan morfem {tak-} dan {kon-} memiliki makna leksis dan berprilaku seperti klitik.

  2. Proses Afiksasi Verba Bahasa Jawa Mojokerto

  Dalam bahasa Jawa Mojokerto, pembentukan verba dengan pembubuhan afiks dapat dilakukan dengan lima proses, yaitu sebagai berikut.

  1. Prefiksasi, prefiksasi verba dalam bahasa Jawa Mojokerto dapat dilakukan dengan pembubuhan prefiks {N-}, prefiks {di-}, dan prefiks {ke-}, misalnya

  

thothok [thɔthɔk] ‘ketuk’ → nothok [nɔthɔk] ‘mengetuk’, belok [bәlɔk]

  ‘pasung’ → dibelok [dibәlɔk] ‘dipasung’, lempet [lәmpet] ‘lipat’ → klempet [klәmpet] ‘terlipat’.

  2. Infiksasi, infiksasi verba dalam bahasa Jawa Mojokerto dapat dilakukan dengan pembubuhan infiks {-em-}, misalnya glethak [glEthak] ‘geletak’ →

  gemlethak [gәmlEthak] ‘bergeletakan’.

  3. Sufiksasi, sufiksasi verba dalam bahasa Jawa Mojokerto dapat dilakukan dengan pembubuhan sufiks {-an}, {-i}, {-ono}, {-o}, {-no}, dan {-en}, misalnya suri [suri] ‘sisir’ → suriyan [suriyan] ‘bersisir’, uyah [uyah] ‘garam’ → uyahi [uyahi] ‘garami’, warek [warәk] ‘kenyang’ → warekono

  

[warәkɔnɔ] ‘kenyangilah’, buwak [buwak] ‘buang’ → buwako [buwakɔ]

  ‘buanglah’, dheplok [dhәplɔk] ‘tumbuk’ → dheplokno [dhәplɔknɔ] ‘tumbukkan’, tumo [tumɔ] ‘kutu’ → tumoen [tumɔәn] ‘berkutu’.

  4. Konfiksasi, konfiksasi verba dalam bahasa Jawa Mojokerto dapat dilakukan dengan pembubuhan konfiks {ke-an}, misalnya udan [udan] ‘hujan’ →

  kudanan [kudanan] ‘kehujanan’.

  5. Klofiksasi, Klofiksasi verba dalam bahasa Jawa Mojokerto dapat dilakukan dengan pembubuhan klofiks {N-i}, {N-ono}, {N-o}, {N-no}, {di-i}, {di- ono}, {di-o}, dan {di-no}, misalnya buntel [buntәl] ‘bungkus’ → mbunteli

  [mbuntәli] ‘membungkusi’, isi [isi] ‘isi’ → ngisEnono [ŋisEnɔnɔ]

  ‘mengisiilah’, dingkluk [diŋkluk] ‘tunduk’ → ndingkluo [ndiŋkluɔ] ‘menunduklah’, lindhik [lindhik] ‘pelan’ → nglindhikno [ŋlindhiknɔ] ‘memelankan’, elok [Elɔk] ‘ikut’ → dieloki [diElɔki] ‘diikuti’, gowo [gɔwɔ] ‘bawa’ → digawanono [digawanɔnɔ] ‘dibawailah’, girah [girah] ‘bilas’ →

  

digiraho [digirahɔ] ‘dibilaslah’, jonjong [jonjoŋ] ‘angkat’ → dijonjongno

[dijonjoŋnɔ] ‘diangkatkan’.

  3. Makna Afiks Verba Bahasa Jawa Mojokerto

  1. Makna prefiks {N-}

  1) Apabila bentuk dasarnya berupa nomina, prefiks {N-} menyatakan berbagai makna membuat atau menghasilkan apa yang tersebut pada bentuk dasar, berlaku atau menjadi seperti yang tersebut pada bentuk dasar, dan memakai apa yang tersebut pada bentuk dasar, Dari berbagai makna tersebut, makna prefiks {N-} dengan bentuk dasar berupa nomina dapat dirangkum dalam satu makna, yaitu ‘melakukan tindakan berhubung dengan apa yang tersebut pada bentuk dasar’. 2) Apabila bentuk dasarnya berupa verba dan pronomina, prefiks {N-} menyatakan suatu perbuatan yang aktif, yakni ‘melakukan tindakan berhubung dengan apa yang tersebut pada bentuk dasar’. 3) Apabila bentuk dasarnya berupa adjektiva, prefiks {N-} menyatakan makna ‘menjadi seperti keadaan yang tersebut pada bentuk dasarnya’ atau dengan singkat dapat dikatakan menyatakan makna ‘proses’.

  2. Makna Prefiks {di-}

  Pertemuan prefiks {di-} dengan bentuk dasarnya dapat menimbulkan sebuah makna. Adapun makna yang dimaksud adalah menyatakan makna ‘suatu perbuatan yang pasif’.

  1. Menyatakan makna ‘aspek perfektif (aspek verba yang menggambarkan perbuatan selesai)’.

  2. Menyatakan makna ‘ketidaksengajaan’.

  4. Makna Infiks {-em-}

  1. Menyatakan makna ‘apa yang tersebut pada bentuk dasar dilakukan oleh banyak pelaku’.

  2. Menyatakan makna ‘perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar dilakukan berulang-ulang’.

  5. Makna Sufiks {-an}

  1. Apabila bentuk dasarnya berupa nomina, sufiks {-an} menyatakan berbagai makna, yaitu memakai apa yang tersebut pada bentuk dasar, mengendarai apa yang tersebut pada bentuk dasar, mengeluarkan apa yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba guneman [gunәman] ‘berbicara’. Dari berbagai makna tersebut, makna sufiks {-an} dengan bentuk dasar berupa nomina dapat dirangkum dalam satu makna, yaitu ‘melakukan perbuatan berhubung dengan apa yang tersebut pada bentuk dasar’.

  2. Selain menyatakan makna yang tersebut di atas, apabila bentuk dasarnya berupa nomina, sufiks {-an} terkadang juga menyatakan makna ‘mempunyai apa yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba koncowan [kɔncɔwan] ‘berteman’.

  3. Apabila bentuk dasarnya berupa verba, sufiks {-an} menyatakan makna ‘suatu perbuatan yang aktif’, ialah perbuatan yang dilakukan oleh pelaku yang menduduki fungsi subyek, misalnya pada verba gecekan [gEcE?an]

  berpegang’.

  4. Selain menyatakan makna yang tersebut di atas, apabila bentuk dasarnya berupa verba, sufiks {-an} terkadang juga menyatakan makna ‘saling’, misalnya pada verba kenalan [kәnalan] ‘berkenalan’.

  6. Makna Sufiks {-i}

  1. Apabila bentuk dasarnya berupa verba dan nomina, sufiks {-i} menyatakan makna ‘apa yang tersebut pada bentuk dasar itu dilakukan berulang-ulang’, misalnya pada verba jojohi [jɔjɔhi] ‘tusuki’.

  2. Selain menyatakan makna yang tersebut di atas, apabila bentuk dasarnya berupa nomina dan verba, sufiks {-i} terkadang juga menyatakan makna ‘memberi apa yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba

  

jenengi [jәnәŋi] ‘namai’. Kemudian, makna tersebut juga berlaku untuk

  sufiks {-i} yang berbentuk dasar pronomina, misalnya pada verba akoni [akɔni] ‘akui’.

  3. Objeknya menyatakan ‘tempat’, misalnya pada verba nggoni [ŋgɔni] ‘tempati’.

  4. Apabila bentuk dasarnya berupa adjektiva, sufiks {-i} menyatakan makna ‘kausatif’, misalnya pada verba bolongi [bɔlɔŋi] ‘lubangi’.

  5. Apabila bentuk dasarnya berupa numeralia, sufiks {-i} menyatakan makna ‘memperingati’, misalnya pada verba pitoni [pitɔni] ‘tujuh bulani (mengenai selamatan untuk wanita yang hamil 7 bulan)’.

  7. Makna Sufiks {-ono}

  1. Apabila bentuk dasarnya berupa nomina dan verba, sufiks {-ono} menyatakan makna ‘menyuruh apa yang tersebut pada bentuk dasar itu dilakukan berulang-ulang’, misalnya pada verba tatahono [tatahɔnɔ] ‘pahatilah’.

  2. Selain menyatakan makna yang tersebut di atas, apabila bentuk dasarnya berupa nomina dan verba, sufiks {-ono} terkadang juga menyatakan makna ‘menyuruh memberi apa yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba lawangono [lawaŋɔnɔ] ‘pintuilah’. Kemudian, makna tersebut juga berlaku untuk sufiks {-ono} yang berbentuk dasar pronomina, misalnya pada verba akonono [akɔnɔnɔ] ‘akuilah’.

  3. Apabila bentuk dasarnya berupa adjektiva dan adverbia, sufiks {-ono} menyatakan makna ‘menyuruh melakukan pekerjaan untuk membuat menjadi seperti yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba ilangono [ilaŋɔnɔ] ‘hilangilah’.

  4. Apabila bentuk dasarnya berupa numeralia, sufiks {-ono} menyatakan makna ‘menyuruh memperingati’, misalnya pada verba pitonono [pitɔnɔnɔ] ‘tujuh bulanilah (menyuruh mengadakan selamatan untuk wanita yang sudah hamil tujuh bulan)’.

  8. Makna Sufiks {-o}

  1. Apabila bentuk dasarnya berupa nomina, sufiks {-o} menyatakan berbagai makna perintah, andaian, permintaan, atau harapan melakukan perbuatan memakai apa yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba sekropo

  [sәkrɔpɔ] ‘sekoplah’, Perintah, andaian, permintaan, atau harapan membuat

  atau menghasilkan apa yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba rujako [rujakɔ] ‘rujaklah’, Perintah, andaian, permintaan, atau harapan memberi apa yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba

  

sepuroo [sәpurɔɔ] ‘maafkanlah’. Dari berbagai makna tersebut, makna

  sufiks {-o} dengan bentuk dasar berupa nomina dapat dirangkum dalam satu makna, yaitu ‘perintah, andaian, permintaan, atau harapan melakukan perbuatan berhubung dengan apa yang tersebut pada bentuk dasar’.

  2. Apabila bentuk dasarnya berupa verba dan demonstrativa, maka sufiks {-o} bermakna ‘perintah, andaian, permintaan, atau harapan melakukan apa yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba jawabo [jawabɔ] ‘jawablah’.

  3. Apabila bentuk dasarnya berupa adjektiva dan adverbia, maka sufiks {-o} bermakna ‘perintah, andaian, permintaan, atau harapan untuk menjadi seperti yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba saknoo [saknɔɔ] ‘kasihanlah’.

  9. Makna Sufiks {-no}

  1. Menyatakan makna ‘benefaktif’, maksudnya perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar dilakukan untuk orang lain, misalnya pada verba udekno

  [udәknɔ] ‘adukkan’.

  2. Menyatakan makna ‘kausatif’. Makna ini dapat digolongkan sebagai berikut.

  1) Menyebabkan melakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar,

  2) Menyebabkan menjadi seperti yang tersebut pada bentuk dasar. Makna ini timbul sebagai akibat pertemuan sufiks {-no} dengan bentuk dasar yang berupa adjektiva dan adverbia, misalnya pada verba entekno [әntEknɔ] ‘habiskan’. 3) Membawa ke tempat yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba sesehno [sesehnɔ] ‘sebelahkan’.

  10. Makna Sufiks {-en}

  1. Apabila bentuk dasarnya berupa nomina dan pronomina, sufiks {-en} menyatakan berbagai makna Perintah, andaian, permintaan, atau harapan melakukan perbuatan memakai apa yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba tangen [taŋәn] ‘tanglah’, Perintah, andaian, permintaan, atau harapan membuat apa yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba janganen [jaŋanәn] ‘sayurlah’, Perintah, andaian, permintaan, atau harapan memberi apa yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba ganjelen [ganjәlәn] ‘ganjallah’. Dari berbagai makna tersebut, makna sufiks {-en} dengan bentuk dasar berupa nomina dan pronomina dapat dirangkum dalam satu makna, yaitu ‘perintah, andaian, permintaan, atau harapan melakukan perbuatan berhubung dengan apa yang tersebut pada bentuk dasar’.

  2. Selain menyatakan makna yang tersebut di atas, apabila bentuk dasarnya berupa nomina, sufiks {-en} terkadang menyatakan makna ‘tindakan statif terkena oleh’, misalnya pada verba kadasen [kadasәn] ‘terkena penyakit kadas’, panuwen [panuwәn] ‘terkena penyakit panu’, dan sebagainya.

  3. Kemudian, terkadang juga menyatakan makna ‘mempunyai apa yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba tumoen [tumɔәn] ‘berkutu’.

  4. Apabila bentuk dasarnya berupa verba, maka sufiks {-en} bermakna ‘perintah, andaian, permintaan, atau harapan melakukan apa yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba wulangen [wulaŋәn] ‘ajarlah’.

  5. Apabila bentuk dasarnya berupa adjektiva dan adverbia, maka sufiks {-en} bermakna ‘perintah, andaian, permintaan, atau harapan untuk menjadi seperti yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba rusaken [rusakәn] ‘rusaklah’.

  11. Makna Konfiks {ke-an}

  Pertemuan konfiks {ke-an} dengan bentuk dasarnya dapat menimbulkan sebuah makna. Adapun makna yang dimaksud adalah menyatakan makna ‘dikenai sesuatu atau pekerjaan yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba kepanasan [kәpanasan] ‘kepanasan’.

  12. Makna Klofiks {N-i}

  1. Apabila bentuk dasarnya berupa verba dan nomina, klofiks {N-i} menyatakan makna ‘melakukan secara berulang-ulang apa yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba ndhupaki [ndhupaki] ‘menendangi’.

  2. Selain menyatakan makna yang tersebut di atas, apabila bentuk dasarnya berupa nomina, klofiks {N-i} terkadang juga menyatakan makna ‘memberi

  [mbuntәli] ‘membungkusi’. Kemudian, makna tersebut juga berlaku untuk

  klofiks {N-i} yang berbentuk dasar pronomina, misalnya pada verba ngakoni [ŋakɔni] ‘mengakui’.

  3. Apabila bentuk dasarnya berupa adjektiva dan adverbia, klofiks {N-i} menyatakan makna ‘melakukan perbuatan sehingga menjadi seperti keadaan yang tersebut pada bentuk dasarnya’, misalnya pada verba ngebeki [ŋәbәki] ‘memenuhi’.

  4. Apabila bentuk dasarnya berupa numeralia, klofiks {N-i} menyatakan makna ‘memperingati’, misalnya pada verba neloni [nәlɔni] ‘meniga bulani (mengadakan selamatan untuk wanita yang sudah hamil 3 bulan)’, nyewoni

  [ñEwɔni] ‘menyeribui (mengadakan selamatan untuk memperingati seribu hari meninggalnya seseorang)’, dan sebagainya.

  13. Makna Klofiks {N-ono}

  1. Apabila bentuk dasarnya berupa nomina dan verba, klofiks {N-ono} menyatakan makna ‘mengandai melakukan secara berulang-ulang apa yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba ngisEnono [ŋisEnɔnɔ] ‘mengisiilah’.

  2. Selain menyatakan makna yang tersebut di atas, apabila bentuk dasarnya berupa nomina dan verba, klofiks {N-ono} terkadang juga menyatakan makna ‘mengandai memberi apa yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba nyumpelono [ñumpәlɔnɔ] ‘menyumbatilah’.

  3. Apabila bentuk dasarnya berupa adjektiva dan adverbia, menyatakan makna ‘mengandai melakukan pekerjaan untuk membuat menjadi seperti yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba ngentelono [ŋәntәlɔnɔ] ‘mengentalilah’.

  4. Apabila bentuk dasarnya berupa numeralia, sufiks {-ono} menyatakan makna ‘mengandai memperingati’, misalnya pada verba mitonono

  [mitɔnɔnɔ] ‘menujuh bulanilah (mengandai mengadakan selamatan untuk wanita yang sudah hamil tujuh bulan)’.

  14. Makna Klofiks {N-o}

  1. Apabila bentuk dasarnya berupa nomina, klofiks {N-o} menyatakan berbagai makna memerintah, mengandai, meminta, atau mengharap melakukan perbuatan memakai apa yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba ngocoo [ŋɔcɔɔ] ‘mengacalah’, memerintah, mengandai, meminta, atau mengharap membuat atau menghasilkan apa yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba nyambelo [ñambәlɔ] ‘menyamballah’. Dari berberapa makna tersebut, makna klofiks {N-o} dengan bentuk dasar berupa nomina dapat dirangkum dalam satu makna, yaitu ‘memerintah, mengandai, meminta, atau mengharap melakukan perbuatan berhubung dengan apa yang tersebut pada bentuk dasar’.

  2. Apabila bentuk dasarnya berupa verba, demonstrativa, serta nomina, maka klofiks {N-o} bermakna ‘memerintah, mengandai, meminta, atau mengharap melakukan apa yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba ngomongo [ŋɔmɔŋɔ] ‘berbicaralah’, ndingkluo [ndiŋkluɔ] ‘menunduklah’, mronoo [mrɔnɔɔ] ‘ke sanalah’, ngakuo [ŋakuɔ]

  3. Apabila bentuk dasarnya berupa adjektiva, maka klofiks {N-o} bermakna ‘memerintah, mengandai, meminta, atau mengharap untuk menjadi seperti yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba nyedheko [ñәdhәkɔ] ‘mendekatlah’.

  15. Makna Klofiks {N-no}

  1. Menyatakan makna ‘benefaktif’, maksudnya melakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar untuk orang lain, misalnya pada verba

  ngumpakno [ŋumpaknɔ] ‘memompakan’.

  2. Menyatakan makna ‘kausatif’. Makna ini dapat digolongkan sebagai berikut.

  1) Menyebabkan melakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba nangekno [naŋEknɔ] ‘membangunkan’. 2) Menyebabkan menjadi seperti yang tersebut pada bentuk dasar. Makna ini timbul sebagai akibat pertemuan {N-no} dengan bentuk dasar yang berupa adjektiva dan adverbia, misalnya pada verba nglindhikno

  [ŋlindhiknɔ] ‘memelankan’, nambahno [nambahnɔ] ‘menambahkan’, dan sebagainya.

  3) Membawa ke tempat yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba nyesehno [ñesehnɔ] ‘menyebelahkan’

  16. Makna Klofiks {di-i}

  1. Apabila bentuk dasarnya berupa verba dan nomina, klofiks {di-i} menyatakan makna ‘dikenai apa yang tersebut pada bentuk dasar berulang- ulang’, misalnya pada verba disuroni [disurɔni] ‘disudui’.

  2. Selain menyatakan makna yang tersebut di atas, apabila bentuk dasarnya berupa nomina dan verba, klofiks {di-i} terkadang juga menyatakan makna ‘diberi apa yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba diutangi

  [diutaŋi] ‘dihutangi’. Kemudian, makna tersebut juga berlaku untuk klofiks

  {di-i} yang berbentuk dasar pronomina, misalnya pada verba diakoni [diakɔni] ‘diakui’.

  3. Apabila bentuk dasarnya berupa adjektiva dan adverbia, klofiks {di-i} menyatakan makna ‘dijadikan seperti yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba disenengi [disәnәŋi] ‘disukai’.

  4. Apabila bentuk dasarnya berupa numeralia, klofiks {di-i} menyatakan makna ‘diperingati’, misalnya pada verba dipitoni [dipitɔni] ‘ditujuh bulani (diadakan selamatan untuk wanita yang sudah hamil tujuh bulan)’.

  17. Makna Klofiks {di-ono}

  1. Apabila bentuk dasarnya berupa nomina dan verba, klofiks {di-ono} menyatakan makna ‘diandai dilakukan secara berulang-ulang apa yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba disuronono [disurɔnɔnɔ] ‘diandai disudui’.

  2. Selain menyatakan makna yang tersebut di atas, apabila bentuk dasarnya berupa nomina dan verba, klofiks {di-ono} terkadang juga menyatakan makna ‘diandai diberi apa yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba dilemekono [dilEmE?ɔnɔ] ‘diandai dialasi’.

  3. Apabila bentuk dasarnya berupa adjektiva dan adverbia, menyatakan makna ‘diandai dijadikan seperti yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba dirusuhono [dirusuhɔnɔ] ‘diandai dikotori’.

  18. Makna Klofiks {di-o}

  1. Apabila bentuk dasarnya berupa nomina, klofiks {di-o} menyatakan berbagai makna diandai dilakukan perbuatan memakai apa yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba disikato [disikatɔ] ‘diandai disikat’, diandai dibuat apa yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba

  disambelo [disambәlɔ] ‘diandai disambal’. Dari berbagai makna tersebut,

  makna klofiks {di-o} dengan bentuk dasar berupa nomina dapat dirangkum dalam satu makna, yaitu ‘diandai dilakukan perbuatan berhubung dengan apa yang tersebut pada bentuk dasar’.

  2. Apabila bentuk dasarnya berupa verba, maka klofiks {di-o} bermakna ‘diandai dilakukan apa yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba digiraho [digirahɔ] ‘diandai dibilas’.

  3. Apabila bentuk dasarnya berupa adjektiva dan adverbia, maka klofiks {di- o} bermakna ‘diandai dijadikan seperti yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya pada verba ditambaho [ditambahɔ] ‘diandai ditambah’.

  19. Makna Klofiks {di-no}

  1. Menyatakan makna ‘benefaktif’, maksudnya dilakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar untuk orang lain, misalnya pada verba

  dipancengno [dipanceŋnɔ] ‘dipancingkan’.

  2. Menyatakan makna ‘kausatif’. Makna ini dapat digolongkan sebagai berikut.

  1) Disebabkan melakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba ditangekno [ditaŋEknɔ] ‘dibangunkan’. 2) Disebabkan menjadi seperti yang tersebut pada bentuk dasar. Makna ini timbul sebagai akibat pertemuan {di-no} dengan bentuk dasar yang berupa adjektiva dan adverbia, misalnya pada verba ditipisno [ditipisnɔ] ‘ditipiskan’, dikurangno [dikuraŋnɔ] ‘dikurangkan’, dan sebagainya.. 3) Dibawakan ke tempat yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya pada verba disesehno [disesehnɔ] ‘disebelahkan’.

E. KESIMPULAN

  Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu sebagai berikut.

  1. Bahasa Jawa Mojokerto memiliki lima jenis afiks pembentuk verba, yaitu sebagai berikut.

  

1) Prefiks, terdiri dari prefiks {N-} dengan alomorf {n-}, {m-}, {ng-}, {ny-},

dan {nge-}, prefiks {di-}, dan prefiks {ke-}. 2) Infiks, terdiri dari infiks {-em-}. 3) Sufiks, terdiri dari sufiks {-an}, sufiks {-i}, sufiks {-ono}, sufiks {-o}, sufiks {-no}, dan sufiks {-en}. 4) Konfiks, terdiri dari konfiks {ke-an}.

5) Klofiks, terdiri dari klofiks {N-i}, klofiks {N-ono}, klofiks {N-o}, klofiks

  Bentuk-bentuk afiks verba tersebut dapat melekat pada bentuk dasar berkategori nomina, verba, adjektiva, numeralia, adverbia, demonstrativa, dan pronomina. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, sebenarnya dalam bahasa Jawa terdapat prefiks {tak-} atau {dak-} dan prefiks {kon-} atau {kok-}. Morfem {tak-} dan {kon-} memang terdapat dalam bahasa Jawa Mojokerto. Namun, dalam penelitian ini, peneliti tidak memasukkannya sebagai prefiks, melainkan sebagai klitik. Hal ini dikarenakan morfem {tak-} dan {kon-} memiliki makna leksis dan berprilaku seperti klitik.

  

2. Pembentukan verba dengan pembubuhan afiks dalam bahasa Jawa Mojokerto

  dapat dilakukan dengan lima proses, yakni dengan prefiksasi, infiksasi, sufiksasi, konfiksasi, serta klofiksasi. Proses pembubuhan afiks tersebut melibatkan proses morfofonemik berupa perubahan fonem, penambahan fonem, dan hilangnya fonem.

  

3. Makna yang ditimbulkan oleh afiks pembentuk verba bahasa Jawa Mojokerto

  sangat bervariasi, antara lain adalah melakukan perbuatan berhubung dengan apa yang tersebut pada bentuk dasar, menjadi seperti keadaan yang tersebut pada bentuk dasarnya, suatu perbuatan yang pasif, aspek perfektif, ketidaksengajaan, apa yang tersebut pada bentuk dasar dilakukan oleh banyak pelaku, perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar dilakukan berulang-ulang, dan lain sebagainya.

F. DAFTAR PUSTAKA Adipitoyo, Sugeng dkk. 1999. Morfofonemik Bahasa Jawa Dialek Surabaya.

  Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.

  Jakarta: PT Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 1989. Penggunaan Imbuhan Bahasa Indonesia. Ende: Nusa Indah.

  . 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta. . 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: PT Rineka Cipta.

  Dewi, Diah Retno. 2007. “Morfologi Bahasa Jawa di Kelurahan Lumpur Kecamatan Gresik Kabupaten Gresik”. Skripsi. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

  Finoza, Lamuddin. 2009. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia. Halim, Amran (ed). 1981. Politik Bahasa Nasional 2. Jakarta: Balai Pustaka. Husnaini, Baiq Erna. 2004. “Pembentukan Nomina Bahasa Sasak Dialek Meno- Mene”. Skripsi. Mataram: Universitas Mataram. Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

  . 2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Laksono, Kisyani. 2004. Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan (Kajian Dialektologis). Jakarta: Pusat Bahasa.

  . 2009. Multi (Sub) Dialek Jawa di Jawa Timur dan

  

Pengaruhnya Terhadap Mata Pelajaran Bahasa Jawa di Sekolah dalam

http://kisyani.wordpress.com/2009/01/03/8/#more-8. Surabaya: FBS Unesa.

  Mahsun. 2007. Morfologi. Yogyakarta: Gama Media . 2011. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali Pers.

  Muhammad. 2011. Metode Penelitian Bahasa. Jogjakarta: Ar-Ruz Media. Parera, Jos Daniel. 2010. Morfologi Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

  Poedjosoedarmo, Soepomo dkk. 1979. Morfologi Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

  Putrayasa, Ida Bagus. 2008. Kajian Morfologi (Bentuk Derivasional dan Infleksional). Bandung: PT Refika Aditama. Ramlan. 1987. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: C.V. Karyono. Rohmadi, Muhammad dkk. 2010. Morfologi: Telaah Morfem dan Kata.

  Surakarta: Yuma Pustaka. Soedjito dkk. 1981. Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Jawa Dialek Jawa

  Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

  Subroto, D. Edi. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural.

  Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press). Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sukri, Muhammad. 2008. Morfologi: Kajian Antara Bentuk dan Makna.

  Mataram: Lembaga Cerdas Press. Suwadji dkk. 1986. Morfosintaksis Bahasa Jawa. Jakarta: Jakarta: Pusat

  Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Verhaar, J.W.M. 1993. Pengantar Linguistik. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

  . 2008. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Wedhawati dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Kanisius. Yasin, Sulchan. 1988. Tinjauan Deskriptif Seputar Morfologi. Surabaya: Usaha Nasional.