Teori Kedaulatan Hukum Teori Kedaulatan Rakyat

harus ditaati, dan negaralah satu-satunya yang berwenang menentukan hukum. Dengan demikian timbul ajaran baru tentang kedaulatan.

1.2 Teori Kedaulatan Negara

Teori kedaulatan negara mengatakan bahwa negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara disini dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan hukum, jadi adanya hukum itu karena adanya negara, dan tiada satupun hukum yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara. Perlu diperhatikan bahwa hakekatnya teori kedaulatan negara itu atau Staat-Souvereiniteit, hanya mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu adapada negara, entah kekuasaan itu sifatnya absolut, entah sifatnya terbatas, danini harus dibedakan dengan pengertian ajaran Staats-Absolutisme. Karena dalam ajaran Staats-Souvereiniteit itu ada pada prinsipnya hanya dikatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, kekuasaan tertinggi inimungkin bersifat absolut, jadi berarti tidak mungkin bersifat terbatas, dalamarti bahwa negara itu kekuasaannya meliputi segala segi kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan para warga negara itu tidak lagimempunyai kepribadian. Menurut Georg Jellinek, hukum itu merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan negara. Jadi negaralah yang menciptakan hukum,maka negara dianggap satu-satunya sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. Di luar negara tidak ada satu orangpun yang berwenang menetapkan hukum. Dalam hal ini berarti bahwa adat kebiasaan, yaitu hukum yang tidak tertulis, yang bukan dikeluarkan atau dibuat oleh negara, tetapi yang nyata-nyata berlaku di dalam masyarakat, tidak merupakan hukum. Dan memang demikian juga kalau menurut Jean Bodin:sedangkan kalau menurut Jellinek adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum,apabila itu sudah ditetapkan oleh negara sebagai hukum. Menurut Krabbe diatas negara masih ada barang sesuatu souvereiniteit, yang berdaulat yaitu kesadaran hukum. Jadi yang berdaulat bukanlah negara, tetapi hukumlah yang berdaulat. Maka dengan demikian timbullah ajaran baru lagi tentang kedaulatan, yaitu teori kedaulatan hukum.

1.3 Teori Kedaulatan Hukum

Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-Soubereiniteit tersebut yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warga negara, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut aturan hukum. Jadi menurut Krabbe yang berdaulat itu adalah hukum. Menurut Krabbe yang menjadi sumber hukum itu adalah rasa hukum yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri. Rasa hukum ini dalam bentuknya yang masih sederhana, jadi yang masih bersifat primitif atau yang tingkatannya masih rendah disebut instink hukum. Sedang dalam bentuknya yang lebih luas atau dalam tingkatnya yang lebih tinggi disebut kesadaran hukum. Jadi menurut Krabbe hukum itu tidaklah timbul dari kehendak negara, dan dia memberikan kepada hukum suatu kepribadian tersendiri. Dan hukum itu berlaku terlepas daripada kehendak negara. Dengan demikian menurut Krabbe hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada salah satu bagian dari perasaan manusia. Terhadap banyak hal manusia itu mengeluarkan perasaannya, sehingga orang dapat membedakan adanya bermacam-macam norma, dan norma-norma itu sebetulnya terlepas dari kehendak kita, oleh karena itu kita lalu mau tidak mau tentu mengeluarkan reaksi, untuk menetapkan mana yang baik, mana yang adil, dan sebagainya.

1.4 Teori Kedaulatan Rakyat

Ajaran dari kaum monarkomen tersebut di atas, khusunya ajaran dari Johannes Althusius, diteruskan oleh para sarjana dari hukum alam yang mencapai kesimpulan baru yaitu bahwa semula individu individu itu membentuk masyarakat, dan kepada masyarakat inilah para individu inilah menyerahkan kekuasaannya. Selanjutnya masyarakat inilah yang menyerahkan kekuasaannya kepada raja. Sehingga sesungguhnya raja mendapatkan kekuasaan dari individu tersebut. Akan tetapi timbul persoalan baru yang mempermasalahkan dari mana individu mendapatkan kekuasaannya itu. Lalu para sarjana pun memberikan jawaban bahwa individu individu tersebut mendapatkan kekuasaan dari hukum alam. Jadi apabila disimpulkan raja mendapatkan kekuasaan dari rakyat, maka rakyat mendapatkan kekuasaan tertinggi, sehingga yang berdaulat adalah rakyat. Dari kesimpulan ini timbul ide baru tentang paham kedaulatan yaitu kedaulatan rakyat yang dipelopori oleh J.J. Rousseau. Adapun hal yang perlu diingat dari ajaran ini bahwa yang dimaksud dengan rakyat bukanlah penjumlahan dari individu individu dalam negara itu, melainkan adalah kesatuan yang dibentuk individu individu itu yang mempunyai kehendak, dan kehendak itu diperoleh melalui perjanjian masyarakat. Rousseau menyebut kehendak tadi sebagai kehendak umum atau folonte generale. Selain itu yang perlu diingat bahwa yang dimaksud oleh Rousseau dengan kedaulatan rakyat itu adalah cara atau sistem Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com | Page 39 | yang bagaimana pemecahan suatu soal memenuhi kehendak umum. Teori kedaulatan rakyat ini sendiri juga diikuti oleh Emmanuel Kant yaitu yang mengatakan tujuan negara itu adalah untuk menegakan hukum dan menjamin kebebasan daripada warga negaranya. Dalam melaksanakan teori kedaulatan rakyat kita harus bisa membedakan organisasi itu sendiri dalam hal ini negara dengan alat alat yang menjalan organisasi itu. Hal ini penting sekali sebab jatuhnya orang menjalankan organisasi itu belum tentu mengakibatkan menjatuhkan organisasinya. Tetapi jatuhnya organisasi itu sendiri selalu membawa akibat jatuhnya badan badan yang menjalankan organiasasi itu. Jadi sebenarnya persoalan legitimasi kekuasaan sangat erat hubungannya dengan tujuan negara. Sebab kita dapat mengakui sah atau tidaknya kekuasaan tergantung oleh tujuan yang direncanakan oleh pemerintah. Adapun pemerintah disini meliputi seluruh badan kenegaraan yang ada dalam negara. Bentuk-bentuk Legitimasi Pendobrakan legitimasi kekuasaan religius melahirkan etika politik. Ada dua perkembangan dalam pengertian manusia yang secara terpisah. Yang pertama, kesadaran bahwa hanya ada satu Allah dan segala dimensi yang lain adalah ciptaan belaka. Yang kedua, lahir bersama dengan filsafat paham modern di Yunani. Kenegaraan merupakan sesuatu yang biasa bagi mereka dan kekuasaan nampak sebagaimana adanya. Dua perkembangan penduniawian bidang kekuasaan politik itu secara mendalam mempengaruhi dua lingkungan budaya dan agama besar di dunia ini. Pertama di dunia Kristen dan kedua didunia Islam. Paham Umum Legitimasi Menurut Max Weber ?kekuasaan adalah kemampuan untul, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawaanan, dan apa pun dasar kemampuan ini?. Setiap kekuasaan Negara memiliki otoritas dan wewenang. Otoritas adalah kekuasaan yang dilembagakan, yaitu kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah. Wewenang memiliki keabsahan apabila sesuai dengan norma-norma yang ada. Ada dua pertanyaan legitimasi - Legitimasi materi wewenang Mempertanyakan wewenang dari segi fungsi. Wewenang tertinggi dalam dimensi politis kehidupan manusia menjelma dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua dimensi hakiki kekuasaan politik. Dalam hukum sebagai lembaga penataan masyarakat yang normatif, dan dalam kekuasaan negara sebagai lembaga penataan efektif. - Legitimasi subyek kekuasaan Mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang. Ada 3 macam legitimasi subyek kekuasaan, yaitu legitimasi religius, legitimasi eliter, legitimasi demokratis. - Legitimasi religius Mendasarkan hak untuk memerintah pada faktor-faktor yang di duniawi. Ada dua paham legitimasi religius, yaitu penguasa dipandang sebagai manusia yang memiliki kekuatan-kekuatan di duniawi dan wewenang penguasa pada penetapan oleh Allah. Perbedaan antara dua paham tersebut ialah bahwa paham gaib tidak memungkinkan tuntutan legitimasi moral, sedangkan paham penetapan oleh Allah Yang Esa malah mempertajam tuntutan itu. Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com | Page 49 | - Legitimasi eliter Mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Untuk memerintah rakyat dibutuhkan kualifikasi khusus. Kita dapat membedakan antara sekurang-kurangnya empat macam legitimasi eliter. Yang tertua adalah legitimasi arsitokratis suatu golongan dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam kemampuan memimpin, legitimasi pragmatis golongan yang de facto menganggap diri paling cocok untuk memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut serta untuk menangani, legitimasi ideologis mengandaikan ada suatu ideology yang mengikat seluruh masyarakat, legitimasi teknokratis di zaman yang modern ini hanya mereka yang bertanggung jawabyang dapat menjalankan pemerintahan - Legitimasi demokratis Berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, yang akan merupakan salah satu pokok pembahasan dalam buku ini. Kriteria Legitimasi Pada prinsipnya ada 3 kemungkinan kriteria legitimasi, yaitu : Legitimasi Sosiologis Legitimasi sosiologis yaitu mempertanyakan mekanisme motivatif mana yang nyata-nyata membuat masyarakat mau menerima wewenang penguasa. Sejauh sosiologis membatasi diri pada penggambaran fungsi-fungsi yang terdapat dalam masyarakat, sosiologis mengajukan pertanyaan apakah, dan karena motivasi manakah, suatu tatanan kenegaraan diterima dan disetujui olehmasyarakat. Max Weber merumuskan tiga motivasi penerimaan kekuasaan klasik : - Legitimasi Tradisional Adalah keyakinan masyarakat tradisional, bahwa pihak yangmenurut tradisi lama memegang pemerintahan memang berhak untuk berkuasa ex : bangsawan atau keluarga raja - Legitimasi Karismatik Adalah rasa hormat, kagum atau cinta masyarakat kepada seorang pribadi sehingga dengan sendirinya bersedia untuk taat kepadanya ex : seseorang yang dianggap memiliki kesaktian - Legitimasi Rasional-Legal Adalah kepercayaan pada tatanan hokum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com | Page 59 | Legalitas Kata legal berarti sesuai dengan hukum. Legalitas adalah kesesuaian dengan hukum yang berlaku. Legalitas adalah salah satu kemungkinan bagi keabsahan wewenang dan menuntut agar wewenang dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku. Adalah cukup jelas bahwa legalitas tidak mungkin merupakan tolak ukur paling fundamental bagi keabsahan wewenang politis, karena legalitas hanya dapat memperbandingkan suatu tindakan dengan hukum yang berlaku, maka selalu sudah diandaikan keabsahan hukum. Pendasaran wewenang politik pada legalitas akhirnya merupakan regressus ad infinitum mundur tanpa akhir karena hukum positif yang mendasari legalitas selalu harus berdasarkan suatu hukum positif lagi. Dengan kata lain, legitimasi paling fundamental tidak dapat didasarkan pada penetapan hukum positif. Legitimasi Etis Mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Setiap tindakan negara eksekutif atau legislatifdapat harus dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Legitimasietis yang menjadi pokok bahasan etika politik tidak menyangkut masing-masing kebijaksanaan dari kekuasaan politik, melainkan dasar kekuatan politis itu sendiri. Kekhasan Legitimasi Etis - Legitimasi etis dan legalitas Legitimasi etis dimaksud pembenaran atau pengabsahan wewenang negara berdasarkan prinsip-prinsip moral, maka legalitas menyangkut fungsi-fungsi kekuasaan negara dan menuntut agar fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun legalitas semata-mata tidak dapat menjamin legitimasi etis. Dikarenakan, legalitas hanya memakai hukum yang berlaku sebagai kriteria keabsahan. Unsur Legitimasi Kekuasaan dalam Ragam Historiografi Tradisional Dikenalnya tulisan telah mengubah suatu peradaban manusia. Manusia menjadi tidak hanya mengenal tradisi lisan saja, tetapi juga mengenal adanya tradisi tulis. Dikenalnya tradisi tulis dalam masyarakat telah mempermudah proses komunikasi dari satu orang ke orang lain. Perkembangan tradisi tulis juga memunculkan adanya upaya untuk mendokumentasikan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat pada kurun waktu tetentu. Tradisi tulis juga berperan sebagai alat komunikasi antargenerasi dan media pelestarian kebudayaan masyarakat sebelumnya melalui penyampaian pesan kepada generasi berikutnya. Pada masa lampau, upaya untuk menuliskan dan mendokumentasikan aktivitas-aktivitas yang dituangkan dalam sebuah tulisan, baik dalam bentuk kronik, syair dan karangan sejenis lainnya telah memudahkan masyarakat pada masa kini untuk mengetahui aktivitas dan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Dengan diketahuinya peristiwa dan aktivitas manusia yang dilakukan pada masa lampau tersebut, tradisi tulis ini telah berkembang menjadi salah satu sumber sejarah yang dapat digunakan sebagai sumber untuk penulisan sejarah modern. Perkembangan tradisi tulis pada masyarakat masa lampau di berbagai wilayah Indonesia ini dikategorikan sebagai satu bentuk historiografi penulisan sejarah tradisional. Apabila dibandingkan dengan historiografi modern, historiografi tradisional memiliki karakteristik yang khas. Beberapa bentuk historiografi tradisional yang terkenal antara lain Nagara kretagama, Pararaton, Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Hikayat Hasanuddin. Historiografi Tradisional Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com | Page 69 | Historiografi tradisional yang berkembang di Indonesia merupakan bentuk penulisan sejarah yang bersifat lokal tradisional. Hal ini dikarenakan tulisan tersebut menggambarkan lokalitas tertentu, baik penulisnya, lingkungan sosial yang terbatas pada komunitas etnik tertentu, serta pembahasannya yang hanya terbatas pada situasi di wilayah yang tertentu pula. Ragam historigrafi tradisional yang berkembang di Indonesia seperti babad, serat, hikayat, dan lain sebagainya merupakan tulisan dalam bentuk karya sastra. Hal inilah yang menjadi salah satu aspek pembeda antara historiografi tradisional dengan historiografi modern. Karena sifatnya sebagai karya sastra ---bahkan terkadang bersifat puja sastra seperti halnya Nagara kretagama--- penggunaannya sebagai sumber sejarah perlu dilakukan upaya kritik yang tajam serta interpretasi atas tanda-tanda yang terkandung, sehingga dapat ditemukan makna di dalamnya. Ditinjau dari segi penulisnya, sebagai sebuah karya sastra, maka penulis dari berbagai ragam historiografi tradisional ini bukan berasal dari masyarakat kebanyakan, melainkan dari lapisan masyarakat yang intelek dan terpelajar. Hal ini bisa dipahami karena pada masa itu akses pendidikan masih sangat terbatas untuk masyarakat luas, dan akses pendidikan itu hanya terbuka bagi kalangan tetentu. Pada masa Hindu Budha, golongan masyarakat yang bisa mengenyam pendidikan dan mengenal karya sastra adalah masyarakat dari lapisan atau kasta Brahmana dan Ksatrya. Dengan demikian, penulis dari ragam historiografi tradisional pada masa Hindu Budha adalah golongan masyarakat yang terdidik, yakni dari golongan Brahmana dan Ksatrya. Setelah masuk zaman Islam, penulis dari historiografi tradisional tidak jauh berbeda dengan penulis pada masa Hindu Budha. Mereka berasal dari lapisan tertentu, yakni mereka yang dianggap sebagai orang terpelajar yang biasanya dari lingkungan penguasa. Oleh karena penulis dari ragam historiografi tradisoinal ini adalah berasal dari masyarakat pada lapisan tertentu, maka tentu saja mereka berada pada satu komunitas tertentu dalam lingkup spatial tertentu. Ditinjau dari lingkungan penulisnya, ragam historiografi tradisional tersebut pada umumnya ditulis di lingkungan penguasakraton. Oleh karena itu, ragam historiografi tradisional ini bersifat istanasentris. Rasionalisasinya adalah bahwa penulisan ragam historiografi tradisonal ini tidak hanya tergantung dari intelektualitas penulisnya saja, tetapi juga perlu adanya dukungan dari penguasa. Bahkan, penulisan dari ragam historiografi tradisional tersebut pada umumnya adalah atas permintaan raja. Nagara kretagama misalnya, ia merupakan satu karya sastra yang mengagungkan raja puja sastra dan mengisahkan aktivitas yang dilakukan oleh raja Majapahit. Contoh lainnya adalah Babad Tabah Jawi yang ditulis atas perintah Paku Buwono III. Penulisan berbagai ragam historiografi tradisional biasanya dilakukan oleh para pujangga. Para pujangga dalam suatu keajaan memiliki posisi yang istimewa. Ia bertindak sebagai penasehat raja, baik dalam bidang sastra itu sendiri, sosial, ekonomi, politik, bahkan sampai pada masalah spiritual. Ditinjau dari segi isi, ada karakteristik tertentu yang termuat dalam historiografi tradisional. Menurut C.C. Berg karakteristik yang terkandung dalam historiografi tradisional adalah 1 adanya kepercayaan tentang ?sekti? sakti yang menjadi pangkal dari berbagai peristiwa alam, termasuk yang menyangkut kehidupan manusia. 2 Dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia, penulis karya sastra sejarah itu juga dipengaruhi oleh adanya kepercayaan akan klasifikasi magis yang mempengaruhi segala sesuatu yang ada di alam ini, baik itu makhluk hidup maupun benda-benda mati, baik bagi pengertian-pengertian yang dibentuk dalam akal manusia maupun bagi sifat-sifat yang terdapat dalam materi. Atas dasar klasifikasi semacam ini, maka dengan mudah terjadi penghubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain yang secara akal sehat sulit diterima. 3 Dalam ragam historiografi tradisional, ciri khusus yang terkandung di dalamnya adalah kepercayaan tentang perbuatan magis atau sihir yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tertentu Widja, 1989:68-69. Karakteristik lain dari historiografi tradisional adalah bahwa di dalamnya terdapa genealogis seorang penguasaraja atau suatu komunitas. Di dalamnya terdapat pula adanya proses naiknya rajapenguasa secara legendaris, dan peristiwa-peristiwa besar lainnya yang melegenda. Berbagai ragam historiografi tradisional yang telah ditulis di seluruh Indonesia memiliki tujuan yang sama yang sengaja ditulis untuk keperluan-keperluan tertentu. Salah satu ragam historiografi tradisional yang banyak dikenal adalah babad. Sebagai satu ragam historiografi tradisional, dalam babad diuraikan tentang peristiwa-peristiwa magis, adanya genealogi raja, serta ditulis dengan tujuan tertentu. Dalam babad dikisahkan berbagai peristiwa, kronik, dan silsilah raja-raja beserta latar belakang sosial masyarakat. Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com | Page 79 | Legitimasi Kekuasaan Dalam rangka mempertahankan kekuasaannya, seorang penguasa atau raja menggunakan berbagai upaya dan cara agar ia dapat terus berkuasa. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan komunikasi politik yang ditujukan kepada siapa saja. Kaitannya dengan ragam historiografi tradisional dan upaya mewujudkan dan mempertahakan legitimasi adalah bahwa ragam historioigrafi tradisional berperan sebagai media dalam komunikasi politik raja. Sebagai media komunikasi politik, dalam babad, hikayat, dan ragam historiografi tradisional lainnya, di dalamnya terkandung pesan-pesan yang hendak disampaikan oleh raja dalam rangka pembentukan image masyarakat luas tentang rajanya yang dituliskan itu. Melalui babad, dan karya sastra sejenisnya, raja mencoba untuk menonjolkan keunggulan-keunngulan dirinya, keluarganya, dan leluhurnya. Raja bahkan mencoba untuk menciptakan keunggulan-keunggulan, baik berasal dari leluhurnya atau kesaktiannya yang dituliskan dalam ragam historiografi tradisional. Hal ini tidak lain sebagai suatu sarana agar raja mendapat pengakuan, dan dengan pengakuan itu, ia bisa terus berkuasa. Sebagai contoh adanya unsur untuk melegitimasi kekuasaannya adalah dalam Babad Tanah Jawi. Babad Tanah Jawi ditulis oleh Carik Braja atas perintah dari Sunan Paku Buwono III memerintah tahun 1749-1788. Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram yang secara genelaogis berasal dari Nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang dari raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam. Penulisan silsilah raja-raja Jawa Islam sebagai keturunan dari Nabi Adam, nabi-nabi lainnya, dan raja-raja Hindu Budha merupakan suatu perpaduan yang sangat efektif dalam mencari dan mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Di satu sisi, Islam pada masa itu berkembang sebagai agama mayoritas, sehingga untuk menarik dan mendapatkan pengakuan, raja dituliskan sebagai keturunan langsung dari nabi. Di sisi lain, untuk membangkitkan semangat dan memori tentang kejayaan masa lampau, dituliskan bahwa Raja Jawa Islam merupakan keturunan dari raja-raja terdahulu. Adanya hal tersebut menunjukkan bahwa raja adalah orang yang hebat karena ia berasal dari leluhur yang hebat pula. Contoh lain tentang pembentukan image raja dan upaya mendapatkan dan mempertahankan legitimasi adalah dalam Babad Sultan Agung. Dalam Babad Sultan Agung ini, pada bagian awal dikisahkan tentang kehebatan dalam penaklukanPalembang. Kemudian dikisahkan pula kesaktian-kesaktian dari Sultan Agung, yang salah satunya dalam sekejap bisa pergi ke mana saja. Dalam Babad Sultan Agung ini, dikisahkan pula adanya pertemuan dengan tokoh-tokoh pewayangan seperti Semar dan Arjuna. Terlepas dari kebenaran atas kisah yang dituliskan, dalam ragam historiografi tradisional ada kecenderungan lain terkait dengan fungsinya sebagai media untuk mendapatkan pengakuan dari raja. Dalam ragam historiografi tradisional terdapat proses mitologisasi proses pembentukan mitos. Mitos merupakan hal yang tidak ada, tetapi dicoba untuk diadakan, sehingga oleh masyarakat dianggap seolah-olah ada. Dengan inilah, historiografi tradisional berperan sebagai media komunikasi politik yang efektif untuk menumbuhkan dan mempertahankan pengakuan dari masyarakat luas.

BAB III PENUTUP