ontologi saintifik

Ontologi Saintifik
Oleh Marsigit, FMIPA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

Secara umum, objek ilmu meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Letak kedudukan
objek ilmu berada di dalam pikiran atau di luar pikiran. Jika kebenaran berdasarkan objek yang
ada di dalam pikiran maka lahirlah filsafat Idealis, Rasionalis, dan Skeptisism. Jika kebenaran
berdasarkan objek di luar pikiran maka lahirlah filsafat Realisme dan Empirisisme. Aliran
Saintisisme berusaha menggabungkan kedua aliran besar tersebut. Namun aliran Saintisme
mendasarkan pada gabungan asumsi-asumsi filsafat Positivisme dan Skeptisisme, yang dengan
tegas menolak pendekatan non-ilmiah termasuk religiusitas dan humaniora. Skeptisisme sendiri
sebagai aliran filsafat merentang sejarahnya sejak jaman Yunani Kuno. Kelompok Skeptis adalah
berpendapat, manusia tak dapat mengetahui dengan pasti mengenai segala sesuatu di dunia di
sekitar kita, atau bahkan mengenai diri kita sendiri. Oleh karena itu manusia tidak dapat benarbenar mengetahui apa yang benar dan salah (Pyrrhon, Timon, Epikurus, Socrates, dan Rene
Descartes). Sikap skeptis adalah sebuah sikap yang menyangsikan kenyataan yang diketahui baik
ciri-cirinya maupun eksistensinya. Sikap skeptis sebagai unsur dasar Skeptisisme Ilmiah akan
memposisikan seseorang untuk selalu mempertanyakan klaim yang kurang memiliki bukti
empiris yang kuat. Skeptisisme Ilmiah inilah yang kemudian dikenal sebagai pendekatan
Saintifik. Sebagai salah satu akar dan basis Saintifisme dan Saintifik, metode Positive yang
dipelopori
oleh
Auguste

Compte,
menolak
tesis-tesis
ilmu-ilmu
humaniora
(geistesweistensaften) dan juga menolak Filsafat termasuk metafisik yang ada di adalamnya;
sebaliknya kaum Positive berusaha membangun struktur dunia untuk membangun dunia dengan
meletakkan metode Positive di atas Filsafat dan Spiritual. Merunut objek dan pendekatan
normatifnya pada time-line sejarahnya, konsekuensi logis dari dunia kontemporer dalam
mempersepsi munculnya gagasan pendekatan Saintifik, haruslah berbesar hati untuk menerima
kenyataan akan munculnya ide sintetik yang bersifat radik. Secara khusus seberapa jauh kita
mampu memikirkan adanya konsep-konsep Saintifisme Ideal, Saintifisme Realis, Saintifisme
Rasional, Saintifisme Positif, Saintifisme Empiris, dan Saintifisme Kontemporer.
Dalam khasanah pembentukan pengetahuan, I Kant (1671) secara gamblang menguraikan
bahwa “pengetahuan” haruslah merupakan sintesis antara tesis-tesis dan anti-tesis anti-tesis;
secara garis besar tesis-tesis dan anti-tesis anti-tesis yang berasal dari Logika Pikir dan yang
berasal dari Logika Pengalaman. Yang berasal dari Logika Pikir direpresentasikan oleh
Idealisme, Rasionalisme, Skeptisisme, Logisisme, Formalisme, Simbolisme, Objektivisme dan
Absolutisme. Sedangkan yang berasal dari Logika Pengalaman direpresentasikan oleh Realisme,
Empirisisme, Intuisionisme, dan Subjektivisme. Logika Pikir mempunyai sifat-sifat konsisten,

logis, koheren, analitik, rigor, a priori, formal, murni, objektif, terukur, deduktif, abstrak, intuisi
murni dan terbebas oleh ruang dan waktu; sedangkan Logika Pengalaman mempunyai sifat
kecocokan, persepsi, intuisi empirik, sintetik, a posteriori, subjektif, relatif, induktif, konkrit, dan

terikat oleh ruang dan waktu. Hermenitika ilmu menjamin adanya interaksi linear dalam
kesiklikan antara unsur-unsur keterwakilan logika pikir dan logika pengalaman; sehingga I Kant
menegaskan bahwa sebenar-benar Ilmu adalah bersifat Sintetik a priori. Logika pikir saja tanpa
adanya logika pengalaman dianggap baru mencapai setengah ilmu; demikian juga jika hanya
logika pengalaman tanpa adanya logika pikir. Dalam sejarahnya, hemenitika keilmuan tersebut
menghasilkan forma interaksi yaitu Positivisme dan Saintifisme beserta turunan-turunan dalam
bentuk sintak-sintak praksis kependidikan, misalnya pendekatan Saintifik, Projek Based
Learning, Problem Based-Learning, Cooperative Learning, Contextual Learning, dst.
Kemudian satu hal yang perlu direnungkan adalah mengapa manusia mampu berpikir?
Memikirkan pengalamannya? Dan mewujudkan pemikirannya? Logika Pikir tidak akan pernah
tuntas mampu menjelaskan mengapa dan sejak kapan dimulainya logika pikir, kecuali dengan
cara menentukan “titik awal”; sedangan Logika Pengalaman dengan cara “membangun
kesadaran”. Namun siapakah, kapankah dan dengan cara bagaimanakah seseorang mampu
menentukan “titik awal”? Dan dalam keadaan yang bagaimana dan kapan seseorang dikatakan
menyadari segala sesuatu? Pertanyaan tersebut tidak mungkin dapat dijawab, kecuali
menggunakan pendekatan Ontologi dan Epistemilogi Ilmu. Dengan cara ini I Kant menemukan

unsur dasar yang merupakan titik temuantara Logika Pikir dan Logika Pengalaman, yaitu Potensi
Pikir Pengalaman yang berupa Kategori: Singular, Bagian, Universal – Afirmatif, Negatif, Infinit
– Kategori, Hipotetik, Sintetik. Potensi Pikir Pengalaman inilah yang kemudian dikenal sebagai
Intuisi; potensi pikir berupa Intuisi Pikir dan potensi pengalaman berupa Intuisi Empirik.
Pertanyaan selanjutnya adalah, sejak kapan manusia mempunyai Intuisi Pikir dan Intuisi
Pengalaman? Untuk pertanyaan ini maka tiadalah orang termasuk pakar keilmuan, psikologi dst
yang mampu menjawabnya kecuali melalui pendekatan ontologis bahwa komponen Intuisi Pikir
dan Intuisi Pengalaman masing-masing terdiri dari 2 (dua) unsur Forma (wadah) dan Substansi
(isi). Pertanyaan dilanjutkan, sejak kapan dan dari manakah unsur Forma Intuisi dan Substansi
Intuisi, para Filsuf hanya mampu menyebutkan sebagai Fatal (takdir) dan Vital (ikhtiar manusia).
Namun untuk kepentingan pedagogik, tentunya kita tidak pusa hanya berhenti sampai di situ
saja. Secara psikologis, Intuisi Pikir dan Intuisi Empirik terbawa dan terbentuk sejak manusia
lahir, serta berkembang melalui interaksi dengan objek/benda terdekat di sekelilingnya termasuk
orang tua, keluarga, masyarakat dan sekolah. Inilah pondasi yang seharusnya digunakan oleh
setiap edukationis dan psikologis untuk mengembangkan teori-teori belajar dan mengajar.
Dari uraian di atas kiranya dapat dipahami mengapa secara filosofis dimungkinkan
munculnya berbagai macam teori pembentukan ilmu, pembenaran ilmu dan macam-macam ilmu.
Sifat dan kedudukan Objek Pikir dan Objek Pengalaman menentukan jenis dan sifat metode
keilmuannya. Jika objeknya berada di dalam pikir (tidak dapat diamati) maka lahirlah Idealisme,
Rasionalisme, Skeptisisme, Logisisme, Formalisme, Simbolisme, Objektivisme, Absolutisme,

Positivisme Ideal, dan Saintifisme Ideal; jika objeknya berada di luar pikir (dapat di
amati/dipersepsi) maka lahirlah Realisme, Empirisisme, Intuisionisme, Subjektivism,
Positivisme Realis dan Saintifisme Realis. Dengan gamblang, di sini kita telah memperoleh 2
(dua) macam Saintifisme yaitu Saintifisme Ideal dan Saintifisme Realis. Dikarenakan

ketidakjelasan pada fase ini, maka pada tataran yang lebih rendah telah terjadi
kevakuman/distorsi/reduksi dengan hanya dikenalkan saja pendekatan Saintifik; namun menurut
hemat penulis, pendekatan Saintifik yang diimplementasikan pada Kurikulum 2013 adalah
pendekatan yang diturunkan dari Saintifisme Realis,yaitu untuk objek-objek yang teramati (di
luar pikiran).
Menurut I Kant (1671), Objek Pikir bersifat Identitas, yaitu memenuhi formula A=A. Hal
ini dapat tercapai karena Objek Pikir terbebas oleh Ruang dan Waktu. Maka ditemukan X=X,
1+3 = 3+1, Y=2x-1, ..dst. Itulah sifat dari Matematika Murni, yang kemudian disebut sebagai
Matematika Formal atau Matematika Aksiomatik. Matematika Murni bersifat tautologis dengan
indikator kebenarannya adalah Konsistensi. Jika tidak konsisten dikatakan bersifat kontradiksi
tautologis. Semua Ilmu Formal termasuk dalam kategori ini yaitu Sain Murni, Fisika Murni,
Biologi Murni, dst. (Penulis: itulah ilmunya untuk orang dewasa). Singkat kata, ilmu-ilmu
dengan Objek Pikir bersifat analitik a priori. Mereka mampu memikirkannya walaupun belum
memersepsi objeknya. Objek Pengalaman bersifat Kontradiksi Ontologis yang memenuhi 3
(tiga) sifat: mereka berada dalam Ruang dan Waktu, mereka saling berhubungan, dalam mereka

berlaku hukum sebab-akibat. Kontradiksi ontologis berbeda makna dengan kontradiksi
tautologis. Kontradiksi ontologis diformulasikan dengan “Subjek
tidak sama dengan
Predikatnya, atau S tidak sama dengan P”, maksudnya adalah bahwa setiap sifat/predikat
tidaklah mungkin menyamai subjeknya. Misal Rambut Hitam, Hitam adalah sifat Rambut, maka
tidaklah pernah Hitam sama dengan Rambut, karena Rambut mempunyai sifat tidak hanya
Hitam. Semua benda/sifat adalah Subjek dari suatu Predikat sekaligus Predikat dari suatu Subjek
yang lain. Jika Saintifism Realis mendasarkan kepada Objek Pengalaman titik pangkal, maka
adalah relevan bahwa Saintifik Realis atau yang kemudian disebut sebagai pendekatan Saintifik,
menggunakan objek-objek pengalaman atau benda-benda kongkrit sebagai bahan observasinya.
Guru Matematika di sekolah, ketika menggunakan pendekatan Saintitik, merasa gamang ketika
menyuruh siswa mengamati fenomena matematika yang cukup tertulis di dalam buku teks. Hal
tersebut karena belum dibedakannya antara Saintifik Ideal dan Saintifik Realis. Sedangkan untuk
kelas rendah seperti di SD atau awal SMP, guru tidak merasa ragu karena objek observasinya
adalah benda-banda kongkrit (Objek Pengalaman).
Apapapun objeknya, dalam pendekatan Saintifik yang sintaknya sesuai dengan yang
tercantum pada Kurikulum 2013, persoalan selanjutnya adalah menjawab apa yang diamati?
Bagaimana mengamatinya? Dan apa hasil pengamatannya? Ontologi pengamatan/observasi
termasuk dalam ranah Fenomenologi Husserl, yang terdiri dari 2(dua) komponen utama yaitu:
Abstraksi dan Idealisasi. Abstraksi mengandung arti mengambil/mengobservasi/memandang

sebagian saja sifat yang ada dari Objek pengamatannya. Setiap Objek pengamatan mempunyai
beribu-ribu sifat namun, untuk Matematika misalnya, sifat Kubus yang diamati adalah perihal
bentuk, ukuran dan banyaknya sisi, rusuk dan sudut. Sifat-sifat bahan terbuat dari materi tertentu,
keindahan, kualitas, harga dst tidaklah termasuk ranah yang diobservasi. Sifat yang diabaikan
(tidak perlu diperhatikan) kemudian disimpan ditempat yang disebut sebagai Epoche. Sedangkan

Idealisasi adalah menganggap sempurna sifat yang ada, misal bahwa terdapat sudut lancip, maka
yang dimaksud adalah lancip sempurna; tidak dalam kondisi agak lancip, kurang lancip, dst.
Kegiatan observasi diawali dengan (tingkat) Kesadaran akan objek yang akan diobservasi
sehingga observer mempunyai daya sensibilitas observasi. Daya sensibilitas observasi ini penting
untuk menghasilkan Representasi dari objek teramati yang berupa Persepsi objek teramati. Pada
tahap ini, pengalaman mengobservasi yang diperoleh (Logika Pengalaman) tidak dapat
bekerja/berdiri sendiri tanpa bantuan Logika Pikir, yaitu dengan hadirnya kemampuan Imajinasi
dengan cara sintesis, sehingga gabungan antara pengalaman mengobservasi dan imajinasi
menghasilkan Pengetahuan Pikir dan Sensasi Pengalaman. Mengapa? Dia dikatakan
Pengetahuan Pikir jika sesuai dengan Aksioma atau Postulat Pikir. Dan dikatakan Sensasi
Pengalaman jika sesuai dengan Hukum Sebab-Akibat dan Hubungan antar Satuan Pengalaman.
Aksioma/Postulat Pikir dan Satuan Pengalaman tersebut berdomisili di dalam Kategori Berpikir
(I Kant) yang terbawa sejak lahir sebagai Fatal dan Vital, dan terdiri dari Forma dan Substansi;
dan bersifat intuitif (hasil berpikir dan pengalaman). Interaksi antara Pengetahuan Pikir dan

Sensasi Pengalaman tersebut itulah yang kemudian disebut sebagai Ilmu (Pengetahuan), yang
bersifat sintetik a priori. Sintetik sensasinya, dan a priori pikirannya.
Secara ontologis, yang dimaksud kegiatan “mengasosiasi” pada pendekatan Saintifik
adalah mencari Postulat-postulat Pikir mana yang bersesuaian dengan Sensasi Pengalamannya.
Itulah kesulitan yang dialami oleh para observer, termasuk observer dewasa apalagi observer
anak-anak. Kesesuaian antara postulat-postulat pikir dan sensasi-sensasi pengalaman,
menghasilkan apa yang disebut sebagai Konsep (orang awam mengatakan sebagai Pengertian).
Apapun dari setiap Konsep, maka terdiri dari Forma (wadah) dan Sibstansi (Isi). Formanya
berupa Kategori Berpikir dan Substansinya berupa Sensasi Pengalaman. Kategori Berpikir
merupakan genus (unsur dasar) yang dengan kegiatan berpikir dan sensasinya akan menemukan
postulat-postulat berpikir selanjutnya secara berkhirarkhi dan kompleks. Maka secara ontologis,
dengan sintak-sintak pendekatan Saintifik diharapkan Subjek Belajar akan mampu menemukan,
memperkokoh dan mengembangkan Kategori Berpikir sebagai unsur dasar setiap Ilmu
(Pengetahuannya), yang dituntun secara konsisten, rigor, analitik, logik, formal, abstrak,
identitas, a priori, dan tautologi oleh Postulat-postulat Umumnya, yang telah diakui
kebenarannya secara koheren oleh komunitas keilmuannya; serta dilandasi secara kokoh oleh
Sensasi Pengalamannya, dengan kesadaran bahwa Sensasi Pengalamannya tersebut bersifat
sintetik a posteriori. Dengan berkembangnya secara intensif dan ekstensif Kategori Berpikir akan
diperoleh Struktur Pengetahuan yang kemudian disebut sebagai Ilmu Pengetahuan. Dengan Ilmu
Pengetahuan yang telah berhasil dibangunnya itu maka seseorang akan memperoleh nilai-nilai

kebijakannya, antara lain adalah mengambil Keputusan/Judgment (sekarang disebut Evaluasitahap akhir taksonomi Bloom) secara tepat dan bijaksana. Secara ontologis, kegiatan belajar
seseorang dapat dikatakan sebagai menembus Ruang dan Waktu. Sebenar-benar orang cerdas
adalah jika mampu menembus dan berada dalam Ruang dan Waktu yang benar (Jawa: sopan
santun).