Tinjauan Yuridis Atas Tanah Wakaf yang Dikuasai Nadzir (Studi Kasus di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh)”

1
TINJAUAN YURIDIS ATAS TANAH WAKAF YANG DIKUASAI NADZIR (STUDI KASUS DI KECAMATAN LUENG BATA KOTA BANDA ACEH) TESIS Oleh EVIROSITA 107011037/M.Kn
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2012
Universitas Sumatera Utara

2
TINJAUAN YURIDIS ATAS TANAH WAKAF YANG DIKUASAI NADZIR (STUDI KASUS DI KECAMATAN LUENG BATA KOTA BANDA ACEH) TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh EVIROSITA 107011037/M.Kn
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2012
Universitas Sumatera Utara

3

Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi

: TINJAUAN YURIDIS ATAS TANAH WAKAF YANG DIKUASAI NADZIR (STUDI KASUS DI KECAMATAN LUENG BATA KOTA BANDA ACEH)
: EVIROSITA : 107011037 : Kenotariatan


Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing

Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Abdullah Syah, MA)

Ketua Program Studi,

Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) Tanggal lulus : 14 Agustus 2012

Universitas Sumatera Utara

Telah diuji pada Tanggal : 14 Agustus 201208


4

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA, PhD

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN

2. Prof. Dr. Abdullah Syah, MA

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

4. Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum

Universitas Sumatera Utara

5


SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama

: EVIROSITA

Nim : 107011037

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis

: TINJAUAN YURIDIS ATAS TANAH WAKAF YANG DIKUASAI NADZIR (STUDI KASUS DI KECAMATAN LUENG BATA KOTA BANDA ACEH)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.


Medan, Yang membuat Pernyataan
Nama : EVIROSITA Nim : 107011037

Universitas Sumatera Utara

6
ABSTRAK
Tanah wakaf yang dikuasai nadzir adalah penguasaan sepihak oleh nadzir terhadap tanah wakaf yang dikelolanya. Hal ini tentu bertentangan dengan kedudukan nadzir sebagai pengelola tanah wakaf, sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Kompilasi Hukum Islam Buku ke III tentang Wakaf. Oleh karena itu perlu dikaji kedudukan nadzir dalam Hukum Islam dan UU No.41 Tahun 2004, kendala-kendala nadzir dalam pengelolaan tanah wakaf dan bagaimana efektifitas pengawasan pengelolaan tanah wakaf.
Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, dengan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data sekunder dikumpulkan meliputi undang-undang, putusan pengadilan, peraturan-peraturan dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian. Sedangkan data primer digunakan untuk mendukung data sekunder yang diperoleh dari wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Lueng Bata, Nadzir-nadzir wakaf dan Hakim Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa kedudukan nadzir wakaf menurut Hukum Islam sebagai pengelola tanah wakaf. Nadzir berhenti dari kedudukannya apabila meninggal dunia, atas permohonan sendiri, tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai nadzir, melakukan kejahatan sehingga dipidana. Nadzir menurut UU No 41 Tahun 2004 sebagai pengelola, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf dengan melakukan administrasi harta benda wakaf dan melaporkan pelaksanaan tugas kenadzirannya kepada Badan Wakaf Indonesia. Masa bakti nadzir lima tahun dan dapat diangkat kembali. Kendala-kendala nadzir dalam mengelola tanah wakaf adalah kurangnya pemahaman nadzir tentang manajemen wakaf dan tidak terdaftarnya tanah wakaf. Penyebab tidak efektifnya pengawasan pengelolaan tanah wakaf adalah kurangnya tenaga ahli dibidang perwakafan, disamping itu karena Baitul Mal yang diserahi tugas oleh Pemerintah Aceh untuk mengawasi pengelolaan tanah wakaf Aceh, lebih memperhatikan persoalan zakat. Ditambah lagi Badan Wakaf Indonesia belum ada diseluruh daerah.
Disarankan pengaturan tambahan di dalam undang-undang mengenai pencantuman batas waktu maksimum masa bakti nadzir. Kepada nadzir disarankan, untuk mempelajari dan menguasai ilmu manajemen wakaf dan mendaftarkan tanah wakaf yang dikelolanya ke PPAIW. Disarankan pula, perlu adanya peningkatan kerjasama antara KUA, Baitul Mal, BWI dan nadzir wakaf agar pengawasan pengelolaan tanah wakaf lebih efektif.
Kata Kunci: Nadzir wakaf dan tanah wakaf
Universitas Sumatera Utara

7
ABSTRACT
A wakaf land (land donated for religious/community purposes) controlled by a nadzir (inspector of wakaf) is a unilateral action by the nadzir on the wakaf land he is taking care of. This is contrary to Law No. 41/2004 on Wakaf and to the Compilation of the Islamic Law, Book III on Wakaf. Therefore, it is necessary to analyze nadzir’s position in the Islamic Law and Law No. 41/2004, the obstacles faced by a nadzir in managing wakaf land, and how effective the control of the wakaf land management.
The research used descriptive analytic study with judicial normative and judicial empirical approaches. The secondary data comprised legal provisions, Court’s verdicts, regulations, and some books which were related to the subject matter of the study. The primary data as the supporting data for the secondary data were gathered by performing interviews with the Head of the Religious Affairs Office, Lueng Bata Subdistrict, wakaf nadzirs, and the Judge of Sharia Court in Banda Aceh.
The result of the research shows that the job of a wakaf nadzir, according to the Islamic Law, is to manage wakaf land. A nadzir will quit his job when he dies, by his own will, when he cannot do his job as a nadzir, and when he commits a criminal act. A nadzir’s jobs, according to Law No. 41/2004, are to manage, control, and protect the wakaf properties by performing the administration of the wakaf properties and reporting his performance to BWI (Indonesian Wakaf Board). A nadzir’s term of office is five years, and he can be reappointed. The obstacles faced by a nadzir in managing a wakaf land are, among others, his lack of understanding in the management of wakaf and the wakaf land is not registered. The reasons why the management of wakaf land is not effective are the lack of professionals in wakaf, the Baitul Mal (Treasury) that has been entrusted by Aceh Administration to control wakaf only takes care of zakat, and there is only a small number of BWIs in Aceh.

It is recommended that the legal provisions on the length of a nadzir’s term of office should be added. A nadzir should study and master the science of wakaf management and register wakaf land to PWAIW. It is also recommended that cooperation among KUA, Baitul Mal, BWI, and wakaf nadzir should be increased so that the control of wakaf land management will be more effective.
Keywords: Wakaf Nadzir, Wakaf Land
Universitas Sumatera Utara

8
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Alhamdulillah kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dengan judul “Tinjauan Yuridis Atas Tanah Wakaf yang Dikuasai Nadzir (Studi Kasus di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D., Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Bapak Prof. Dr. Abdullah Syah, M.A. selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil sampai ujian tertutup sehingga penulisan menjadi lebih sempurna dan terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang
Universitas Sumatera Utara

9
diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini. 3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku ketua program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini. 4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah. 6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan. 7. Ketua Mahkamah Syariyah Banda Aceh beserta staf, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh, Nadzir-nadzir Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh yang telah banyak membantu dalam hal
Universitas Sumatera Utara

10
pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya yang berkaitanenaan dengan penulisan tesis ini. 8. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2010 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 9. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ibunda Kamariah dan ayahanda Zuhrawardi M.kes., serta Saudara-saudariku Ekaniar dan Guntara yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis. Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua. Amien Ya Rabbal ‘Alamin
Medan, Agustus 2012 Penulis,

(Evirosita)
Universitas Sumatera Utara

11

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI 1. Nama 2. Tempat/Tanggal lahir 3. Jenis Kelamin 4. Status 5. Agama 6. Alamat
II. KELUARGA 1. Nama Ayah 2. Nama Ibu

: Evirosita : Banda Aceh, 02 Januari 1985 : Perempuan : Belum Menikah : Islam : Jl. Lampoh Paleng 2 No. 11, Desa Ilie Ulee
Kareng, Kota Banda Aceh
: Zuhrawardi : Kamariah

III. PENDIDIKAN 1. SD Negeri No. 2 Sabang pada Tahun 1992 s/d 1997
2. SLTP Negeri No. 10 Banda Aceh pada Tahun 1997 s/d 2000
3. SMU Negeri 4 Banda Aceh pada Tahun 2000 s/d 2003
4. Perguruan Tinggi (S1) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Provinsi Aceh pada Tahun 2004 s/d 2009
5. Perguruan Tinggi (S2) Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada Tahun 2010 s/d 2012


Universitas Sumatera Utara

12

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .....................................................................................................

ABSTRACT ....................................................................................................

KATA PENGANTAR .................................................................................

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ....................................................................

DAFTAR ISI ................................................................................................

BAB I


PENDAHULUAN ................................................................

A. Latar Belakang Masalah ................................................

B. Perumusan Masalah .....................................................

C. Tujuan Penelitian.............................................................

D. Manfaat Penelitian .........................................................

E. Keaslian Penelitian .........................................................

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi ......................

G. Metode Penelitian ...........................................................

BAB II

KEDUDUKAN NADZIR SEBAGAI PENGELOLA TANAH WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM DAN
UU NO. 41 TAHUN 2004 ...................................................


i ii iii vi vii 1 1 14 14 14 15 15 22
25

A. Tinjauan Terhadap Wakaf . ...........................................
B. Kedudukan Nadzir Wakaf Dalam Hukum Islam .........
C. Kewajiban dan Hak Nadzir Dalam Hukum Islam ........
D. Kedudukan Nadzir Wakaf Dalam UU No.41 Tahun 2004 .....................................................................
E. Kewajiban dan Hak Nadzir Dalam UU No. 41 tahun 2004 .....................................................................

25 38 41
44
52

Universitas Sumatera Utara

13

BAB III


KENDALA-KENDALA NADZIR DALAM MENGELOLA TANAH WAKAF ....................................

59

A. Kendala Nadzir dalam Manajemen Pengelolaan Tanah Wakaf ..................................................................

59

B. Kendala Tidak Terdaftarnya Tanah Wakaf ..................
C. Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Nadzir .......................
D. Tanah Wakaf Yang Dikuasai Nadzir di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh ......................................

69 74
79

BAB IV

E. Sanksi Pelanggaran Peraturan Perwakafan Tanah Milik
PENGAWASAN PENGELOLAAN TANAH WAKAF
A. Pengawasan dan Pengamanan Tanah Wakaf ................

B. Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai Pembina dan Pengawas Wakaf .....................................................

94 100 100
106

C. Pengawasan Tanah Wakaf di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh .........................................................

112

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................

1. Kesimpulan ......................................................................

2. Saran .................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

118 118 119 121

Universitas Sumatera Utara

6
ABSTRAK
Tanah wakaf yang dikuasai nadzir adalah penguasaan sepihak oleh nadzir terhadap tanah wakaf yang dikelolanya. Hal ini tentu bertentangan dengan kedudukan nadzir sebagai pengelola tanah wakaf, sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Kompilasi Hukum Islam Buku ke III tentang Wakaf. Oleh karena itu perlu dikaji kedudukan nadzir dalam Hukum Islam dan UU No.41 Tahun 2004, kendala-kendala nadzir dalam pengelolaan tanah wakaf dan bagaimana efektifitas pengawasan pengelolaan tanah wakaf.
Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, dengan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data sekunder dikumpulkan meliputi undang-undang, putusan pengadilan, peraturan-peraturan dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian. Sedangkan data primer digunakan untuk mendukung data sekunder yang diperoleh dari wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Lueng Bata, Nadzir-nadzir wakaf dan Hakim Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa kedudukan nadzir wakaf menurut Hukum Islam sebagai pengelola tanah wakaf. Nadzir berhenti dari kedudukannya apabila meninggal dunia, atas permohonan sendiri, tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai nadzir, melakukan kejahatan sehingga dipidana. Nadzir menurut UU No 41 Tahun 2004 sebagai pengelola, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf dengan melakukan administrasi harta benda wakaf dan melaporkan pelaksanaan tugas kenadzirannya kepada Badan Wakaf Indonesia. Masa bakti nadzir lima tahun dan dapat diangkat kembali. Kendala-kendala nadzir dalam mengelola tanah wakaf adalah kurangnya pemahaman nadzir tentang manajemen wakaf dan tidak terdaftarnya tanah wakaf. Penyebab tidak efektifnya pengawasan pengelolaan tanah wakaf adalah kurangnya tenaga ahli dibidang perwakafan, disamping itu karena Baitul Mal yang diserahi tugas oleh Pemerintah Aceh untuk mengawasi pengelolaan tanah wakaf Aceh, lebih memperhatikan persoalan zakat. Ditambah lagi Badan Wakaf Indonesia belum ada diseluruh daerah.
Disarankan pengaturan tambahan di dalam undang-undang mengenai pencantuman batas waktu maksimum masa bakti nadzir. Kepada nadzir disarankan, untuk mempelajari dan menguasai ilmu manajemen wakaf dan mendaftarkan tanah wakaf yang dikelolanya ke PPAIW. Disarankan pula, perlu adanya peningkatan kerjasama antara KUA, Baitul Mal, BWI dan nadzir wakaf agar pengawasan pengelolaan tanah wakaf lebih efektif.
Kata Kunci: Nadzir wakaf dan tanah wakaf
Universitas Sumatera Utara

7
ABSTRACT
A wakaf land (land donated for religious/community purposes) controlled by a nadzir (inspector of wakaf) is a unilateral action by the nadzir on the wakaf land he is taking care of. This is contrary to Law No. 41/2004 on Wakaf and to the Compilation of the Islamic Law, Book III on Wakaf. Therefore, it is necessary to analyze nadzir’s position in the Islamic Law and Law No. 41/2004, the obstacles faced by a nadzir in managing wakaf land, and how effective the control of the wakaf land management.
The research used descriptive analytic study with judicial normative and judicial empirical approaches. The secondary data comprised legal provisions, Court’s verdicts, regulations, and some books which were related to the subject matter of the study. The primary data as the supporting data for the secondary data were gathered by performing interviews with the Head of the Religious Affairs Office, Lueng Bata Subdistrict, wakaf nadzirs, and the Judge of Sharia Court in Banda Aceh.
The result of the research shows that the job of a wakaf nadzir, according to the Islamic Law, is to manage wakaf land. A nadzir will quit his job when he dies, by his own will, when he cannot do his job as a nadzir, and when he commits a criminal act. A nadzir’s jobs, according to Law No. 41/2004, are to manage, control, and protect the wakaf properties by performing the administration of the wakaf properties and reporting his performance to BWI (Indonesian Wakaf Board). A nadzir’s term of office is five years, and he can be reappointed. The obstacles faced by a nadzir in managing a wakaf land are, among others, his lack of understanding in the management of wakaf and the wakaf land is not registered. The reasons why the management of wakaf land is not effective are the lack of professionals in wakaf, the Baitul Mal (Treasury) that has been entrusted by Aceh Administration to control wakaf only takes care of zakat, and there is only a small number of BWIs in Aceh.
It is recommended that the legal provisions on the length of a nadzir’s term of office should be added. A nadzir should study and master the science of wakaf management and register wakaf land to PWAIW. It is also recommended that cooperation among KUA, Baitul Mal, BWI, and wakaf nadzir should be increased so that the control of wakaf land management will be more effective.
Keywords: Wakaf Nadzir, Wakaf Land
Universitas Sumatera Utara

14
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai tujuan antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam rangka mencapai kesejaheraan umum tersebut, perlu diusahakan menggali, mengembangkan serta memberi kepastian hukum terhadap objek-objek yang menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Salah satu objek tersebut adalah tanah.
Menyadari betapa pentingnya permasalahan tanah di Indonesia, Indonesia telah menetapkan Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yaitu UU No.5 tahun 1960 disahkan tanggal 24 September 1960.
Bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur.1 Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasarkan atas Hukum Adat tentang tanah,
1 Konsiderans menimbang a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
1
Universitas Sumatera Utara

15
yang sederhana, dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersadar pada hukum agama.2
Tanah menempati kedudukan penting dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai jenis hak dapat melekat pada tanah, dengan perbedaan prosedur, syarat dan ketentuan umum memperoleh hak tersebut.3 Dalam Hukum Islam dikenal banyak cara untuk mendapatkan hak atas tanah. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui: jual beli, tukar menukar, hibah, hadiah, infak, sedekah, wakaf, wasiat, dan ihya-ulmawat (membuka tanah baru). Namun salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas keagrariaan yang sering menjadi perhatian adalah perwakafan tanah milik. Hal ini dikarenakan wakaf tanah difungsikan untuk kepentingan umum.
Perwakafan tanah milik menjadi perhatian khusus oleh pemerintah sebagaimana terlihat pasal 49 Bab IX UUPA No.5 tahun 1960. Penuangan perwakafan tanah milik dalam UUPA tersebut secara yuridis merupakan realisasi dari pengakuan terhadap unsur-unsur agama.4 Hal yang demikian ini sesuai dengan Politik Hukum Agraria Nasional maupun Pancasila sebagai asas kerohanian negara yang meliputi seluruh tertib Hukum Indonesia. Dengan demikian, dalam menafsirkan dan
2Konsiderans berpendapat a Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
3Adijani Al Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hal 2. 4Boedi Harsono, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaan UUPA, Jilid 1, Jambatan, Jakarta, Edisi Revisi 2003 : hal 220
Universitas Sumatera Utara

16
melaksanakan peraturan agraria (pertanahan) yang berlaku harus berlandaskan dan bersumber pada Pancasila.5
Wakaf adalah sebagai salah satu cara mendapat hak kepemilikan atas tanah, merupakan salah satu lembaga Islam yang diperkirakan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, yaitu sejak Islam masuk ke Indonesia. Dilihat dari keberadaannya, wakaf tanah berasal dari Hukum Islam, yang diberlakukan sebagai hukum nasional. Negara Indonesia menganut asas Pancasila yang memberikan hak kepada rakyatnya untuk melaksanakan kaidah-kaidah sesuai dengan keyakinan agamanya. Indonesia adalah negara sebagian besar penduduknya beragama Islam. Bagi orang Islam, beribadat menurut Agama Islam termasuk kedalam melaksanakan hukum-hukum yang diajarkan oleh Islam. Penerapan Hukum Islam telah diberlakukan sedikit demi sedikit secara bertahap oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penerapannya telah dilakukan ijtihad-ijtihad dalam berbagai variasi kelembagaan dan pasang surutnya situasi dan kondisi, dalam bentuk adat istiadat dan dalam Hukum Adat. Demikian juga dalam bentuk yurisprudensi dan perundang undangan, walaupun masih sedikit dibandingakan materi Hukum Islam itu sendiri. Kenyataannya dapat kita lihat langsung dalam hukum perwakafan tanah milik, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977.6
5Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta,1984, hal 69.
6Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 2002, hal. 2
Universitas Sumatera Utara

17
Sebenarnya perwakafan tanah ini dapat dimasukan dalam kategori pengasingan tanah (Land-alienation) karena pengertian wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebahagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah, namum dalam kaitannya dengan administrasi pendaftaran tanah, wakaf masuk kedalam kategori penetapan hak atas tanah karena terdapat kegiatan penetapan tanah wakaf melalui keputusan pejabat yang berwenang.7
Pengasingan tanah yang dimaksudkan diatas dapat diartikan suatu perbuatan memisahkan atau memindahkan sebagian hak milik dengan cara penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya untuk kepentingan sosial, sehingga hak milik tersebut menjadi hapus. Pengasingan tanah wakaf dapat juga dikatakan sebagai pengasingan secara langsung, karena jelas orang yang menyerahkan (wakif), kepada siapa tanah tersebut diserahkan (nadzir) dan untuk apa pemanfaatnnya.
Berbicara tentang pemahaman perwakafan di Indonesia, maka harus diketahui landasan hukum yang berlaku tentang pewakafan tersebut dinegara ini. Karena hanya tanah hak milik sebagai objek wakaf, maka landasan hukum perwakafan menurut undang-undang dan peraturan perundangan di negara kita antara lain sebagai berikut:
1. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan
7Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2010, hal. 266
Universitas Sumatera Utara

18
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
4. Instruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
5. Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Tanah, Instruksi bersama Menteri Agama-Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1990/….. No. 24 Tahun 1990 tentang Serterpikat Tanah Wakaf.
6. Surat Kepala BPN, 27 Agustus 1991, biaya serterpikat wakaf dengan biaya prona. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994-pajak untuk tanah hibah/wakaf dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1977 unuk PHTB (Peralihan Hak Untuk Tanah Bangunan), atas pewakaf.8 Sebagai langkah konkrit pemerintah dalam menertibkan administrasi
perwakafan, telah disahkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. UU ini terdiri atas 11 (sebelas) Bab dan 71 (tujuh puluh satu) Pasal yang meliputi tentang pengertian wakaf, syarat-syarat sahnya wakaf, tata cara mewakafkan dan pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian sengketa, pembinaan dan pengawasan wakaf, Badan Wakaf Indonesia (BWI), ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.9
8M. Hasballah Thaib, Fiqih Waqaf, Konsentrasi Hukum Islam Program Pascasarjana Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2003, hal. 7
9Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan: Peradilan Agama di Indonesia, Perdana Publishing, Medan, 2010, hal. 347
Universitas Sumatera Utara

19
Secara umum perwakafan tunduk pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, namun secara khusus ketentuan hukum yang mengatur tentang perwakafan tanah milik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.10
Dengan mengacu kepada undang-undang dan peraturan tersebut, maka inti dari perwakafan adalah sebagai berikut: 1. Objeknya tanah hak milik dengan catatan tentu serterpikat dan/atau sekalian
diproses hak miliknya. 2. Merupakan perbuatan hukum (wakaf) untuk memisahkan tanah milik
perorangan/badan hukum (wakaf) guna kepentingan peribadatan, kepentingan umum sesuai ajaran Islam, berlaku selamanya dan tidak dapat dicabut. 3. Dilakukan dengan akta ikrar wakaf dihadapan pejabat akta ikrar wakaf. 4. Adanya nadzir yaitu perorangan atau badan hukum yang diberikan tugas memelihara dan mengurus harta wakaf tersebut. 5. Tanah wakaf dengan akta wakaf harus didaftarkan ke kantor BPN setempat. 6. Pengawasan tanah wakaf dan nadzir dilakukan oleh KUA Kecamatan 7. Atas tanah wakaf tersebut terbebas dari beban pajak berupa PBB, PPH, BPHTB, dan untuk persertipikatan tanah wakaf dengan biaya prona.11
Ketentuan mengenai perwakafan tanah milik yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan tersebut belum mengatur substansi hukum wakaf secara utuh
10 Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Op. cit, hal 268 11 M. Hasballah Thaib, Op. cit, hal. 8
Universitas Sumatera Utara

20
sehingga belum dapat dijadikan landasan hukum untuk menyelesaikan berbagai persoalan wakaf yang dihadapi oleh lembaga keagamaan yang bertindak sebagai nadzir. Sering terjadi perselisihan antara nadzir dengan pewakaf atau ahli waris pewakaf, dan adakalanya melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan yang belum diatur oleh masyarakat dan belum ada ketentuan hukum mengenai cara penyelesaiannya. Jika hal itu tidak segera diatasi, dengan terlebih dahulu membentuk suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai wakaf, dikuatirkan akan semakin banyak harta wakaf beralih ke pihak lain tanpa hak akibat kesenjangan atau kelalaian nadzir yang dapat merugikan masyarakat.12 Hal-hal yang belum jelas diatur dalam undang-undang perwakafan seperti mengenai tata cara pengelolaan tanah wakaf, bagaimana imbalan nadzir bila tanah wakaf tidak memiliki hasil bersih dari pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf, sanksi hukum terhadap nadzir yang tidak jujur dalam pengelolaan tanah wakaf, mekanisme penyelesaian sengketa wakaf dan siapa saja yang terlibat dalam penyelesaian sengketa wakaf bila dilakukan musyawarah, peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan sengketa wakaf, dan bagaimana bila terjadi perubahan peruntukan tanah wakaf, bukankah ikral wakaf pada dasarnya tidak boleh dibatalkan, apakah akta ikral wakaf dapat diubah pula.
Mengkaji tentang pengelolaan wakaf, tentunya hal yang paling penting yang tidak boleh dilupakan adalah masalah Nadzir wakaf, karena berkembang dan tidaknya harta wakaf sangat dipengaruhi oleh peran nadzir wakaf, meskipun ahli fiqih tidak
12Proses Lahirnya Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, 2005, hal 33
Universitas Sumatera Utara

21

menjadikan nadzir sebagai salah satu rukun wakaf, namun mereka sepakat bahwa wakif boleh menentukan nadzir terhadap harta wakafnya, mengingat pentingnya peranan nadzir, di Indonesia menjadikan nadzir sebagai salah satu unsur wakaf.13
Nadzir wakaf adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut. Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi nadzir selama ia mempunyai hak melakukan tindakan hukum.14 Ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa pihak yang berwakaf boleh menunjukkan seseorang atau lembaga yang akan mengelola harta wakaf, baik menunjuk pribadi langsung maupun menyebutkan sifat-sifatnya saja seperti pengelola wakaf itu harus cerdas, terampil, dan bertanggung jawab. Apabila pemberi wakaf menunjuk nadzir, maka wajib dipenuhi sesuai dengan syarat yang diminta. Akan tetapi, apabila wakif tidak menunjuk atau mensyaratkan nadzir, menurut ulama Mazhab Maliki dan Syafi”I, yang bertindak sebagai nadzir adalah pihak penguasa, karena merekalah yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kepentingan umum. Menurut ulama Mazhab Hambali, nadzirnya adalah orang yang menerima wakaf tersebut. menurut ulama mazhab Hanafi, pengelolaan wakaf itu boleh dilakukan oleh wakif sendiri, baik ia syaratkan dirinya sebagai nadzir atau tidak, boleh juga orang yang diberi wasiat oleh wakif. Apabila tidak ada orang yang ditunjuk atau diawasi, maka nadzirnya adalah pihak penguasa.15 Wakif hendaknya

hal.33

13Pasal 6 Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf 14Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Darul Ulum Press, Jakarta, 1994, 15Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1999, hal. 1910

Universitas Sumatera Utara

22
menentukan nadzir dan honor atas kerjanya. Ia juga bisa memilih dirinya sebagai nadzir sepanjang hidupnya kalau mau. Ia berhak untuk menggantikannya, sekalipun itu tidak tertulis dalam ikral wakaf. Sedangkan kepengurusan yang memerlukan dewan dan badan wakaf apabila wakif belum nenentukan nadzir dan cara pemilihannya, dan apabila telah berlalu seratus tahun dari pembentukan wakaf, apapun bentuknya.16
Di dalam UU No. 41 tahun 2004, nadzir wakaf dijadikan sebagai salah satu unsur wakaf, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 6 yang menjelaskan bahwa wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf, yaitu:
1. Wakif 2. Nadzir 3. Harta benda wakaf 4. Ikrar wakaf 5. Peruntukan harta benda wakaf 6. Jangka waktu wakaf Dalam Undang-undang tersebut, selain memuat nadzir wakaf sebagai unsur wakaf juga menjelaskan tentang kategori nadzir adakalanya: 1. Perseorangan 2. Organisasi, atau, 3. Badan hukum
16 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Group), Jakarta Timur, 2005, hal. 171
Universitas Sumatera Utara

23
Sebelum ditetapkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang
perwakafan, telah ada PP Nomor 28 Tahun 1977 menegaskan tentang keberadaan
nadzir dalam pelaksanaan perwakafan. Di dalam PP No. 28 Tahun 1977 disebutkan
tentang kewajiban dan hak nadzir yang bertujuan untuk menghindari praktek
ketidakpastian pengelolaan dan pemanfaatan wakaf yaitu Pasal 7 yang berbunyi:
1. Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai aturan wakaf.
2. Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
3. Tatacara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut oleh menteri Agama.17
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2006 tentang aturan
Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 secara jelas menjelaskan tentang Nadzir wakaf,
dimana mulai pasal 2 hingga pasal 14 memuat tentang Nadzir wakaf, dimulai dari
Pasal 2 hingga Pasal 14. Diantara hal yang dimuat dalam PP No.42 Tahun 2006
adalah tentang ketentuan nadzir, baik nadzir perseorangan, organisasi maupun nadzir
badan hukum. Pasal 4 PP No.42 tahun 2006 menyebutkan:
1. Nadzir perseorangan ditunjukan oleh wakif dengan memenuhi persyaratan menurut Undang-undang
2. Nadzir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan pada Menteri Agama dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat.
3. Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat sebagaimana pada ayat (2), pendaftaran nadzir dilakukan melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau Perwakilan Badan wakaf Indonesia di Provinsi/Kabupaten Kota.
4. BWI menerbitkan bukti pendaftaran Nadzir. 5. Nazir perseorangan harus merupakan suatu kelompok yang terdiri dari paling
sedikit tiga orang dan salah salah seorang diangkat menjadi ketua.
17 Pagar, Op.Cit, hal. 90
Universitas Sumatera Utara

24
6. Salah seorang nadzir perseorangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (5) harus bertempat tinggal di Kecamatan tempat benda wakaf berada. Dalam praktik kehidupan masyarakat, sebidang tanah telah diwakafkan Sebagai akibatnya akan mempunyai kedudukan khusus, yakni terisolasinya
tanah wakaf tersebut dari kegiatan transaksi (jual beli, sewa beli, hibah, waris, penjaminan, dan bentuk pengalihan hak lainnya). Sebagai akibatnya pula ia seolaholah dapat dikategorikan sebagai suatu rechtpersoon (badan hukum), yakni pribadi hukum, yang mempunyai hak-hak dan kewajiban di dalam kehidupan hukum sebagai subjek hukum. Dikatakan demikian, karena dari tata cara sampai kepada pengurusnya, seluruh kegiatannya dalam masyarakat merupakan kegiatan harta wakaf itu sendiri yang pelaksanaannya diwakili oleh nadzir. Agar harta wakaf kelembagaannya tetap terpelihara dan tujuannya dapat terlaksana, tentulah nadzir sebagai pihak yang diserahi dan diberi amanat untuk mengelola dan memeliharanya mempunyai peranan yang amat penting. Nadzir tidak saja berkewajiban menjaga dan mengurusnya, akan tetapi juga mewakili harta wakaf yang dikelolanya didalam dan diluar hukum, seperti laporan berkala kepada KUA, mempertahankannnya apabila diperkarakan di pengadilan.18
Pada dasarnya, terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain daripada yang dimaksudkan dalam ikrar wakaf, sesuai dengan UU NO.41 Tahun 2004 Pasal 40, “harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang untuk dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan,
18Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 107.
Universitas Sumatera Utara

25
ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya”. Disinilah peran nadzir sangat diperlukan, sebagai pihak yang memelihara dan mengamankan benda wakaf, untuk menjaga keberadaan dan keutuhan serta fungsi dari wakaf itu sendiri, sehingga tidak menyimpang dari keinginan wakif.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, sangat jelas bahwa keberadaan Nadzir sangat memiliki peran penting dalam pengelolaan dan pengurusan tanah wakaf, sebab tidak jarang terjadi penyelewengan penggunaan tanah wakaf karena tidak jelasnya siapa nadzir wakaf dan apa saja kewenangan dari nadzir terhadap tanah wakaf yang dikuasainya. Oleh karena nadzir merupakan orang yang berpengaruh keberadaannya, sebab dengan adanya nadzir akan terwujud pengelolaan tanah wakaf yang tertib hukum dalam masyarakat.
Pasca tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh, persoalan tanah menjadi persoalan yang sangat besar. Hal ini disebabkan karena banyaknya kasus tanah yang timbul. Tidak hanya masalah-masalah hilangnya batas tanah atau bukti-bukti kepemilikan tanah, tetapi karena banyaknya persil (bidang) tanah yang musnah. Dari persoalan tersebut ada beberapa kasus yang menimbulkan sengketa. Sengketa atas tanah ini tidak hanya terjadi pada tanah-tanah yang merupakan hak milik pribadi, tetapi juga terhadap tanah wakaf. Contohnya saja persoalan tanah wakaf di kawasan kecamatan kutaraja, Banda Aceh. Disebutkan Kepala KUA Kutaraja, Drs. H. Nurdin Ali, dari banyaknya tanah wakaf di kawasan ini, ada beberapa tanah wakaf yang bermasalah. Masalah timbul karena tanah wakaf yang ada kini diduduki oleh orangorang yang sebelum tsunami tidak mendiaminya tanah-tanah tersebut diwakafkan
Universitas Sumatera Utara

26
oleh Teungku Dianjong. Setelah diwakafkan, penduduk yang saat itu menjadi penerima wakaf, menimbun rawa-rawa dan selanjutnya dijadikan pemukiman, sampai akhirnya tsunami menghantam kawasan tersebut. masalah mulai muncul ketika kemudian para ahli waris yang sebelumnya tinggal di kawasan tanah wakaf itu membangun rumah bantuan pasca tsunami. Sebagian warga dikatakannya menolak keberadaan para ahli waris karena status tanah tersebut adalah tanah wakaf, artinya tidak bisa diwariskan. Selain itu, ada juga kasus di kecamatan Ulee Kareng. Di kecamatan ini, sengketa tanah wakaf terjadi karena peruntukan tanah yang diubah dari perjanjian semula. Tanah tersebut dalam aktanya disebutkan akan digunakan untuk kegiatan keagamaan. Tetapi kini, di atas tanah wakaf tersebut dibangun Poliklinik Desa (Polindes).19 Namun dari beberapa kasus yang di temukan di wilayah Banda Aceh, hanya ada satu kasus yang sampai ke tingkat Mahkamah Syar’iyah, yaitu kasus tanah wakaf Mesjid Jami’ di Kecamatan Lueng Bata Banda Aceh.
Berdasarkan informasi yang di peroleh dari Makamah Syar’iyah Banda Aceh. Persoalan tanah wakaf terjadi tidak terlepas dari kurangnya tanggung jawab nadzir wakaf yang mengelola tanah wakaf tersebut. Nadzir wakaf yang mengelola tanah wakaf tersebut tidak sepenuhnya melaksanakan kewajiban sebagai mana yang sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sehingga pemanfaatan tanah wakaf tidak sesuai dengan yang ikrarkan oleh wakif. 20
19Internet, http://www.google.com/idlo.int/wakaf_land_ind.pdf, terakhir di akses pada tanggal 01 Desember 2011
20 Hasil wawancara dengan H. Basri, S.H, Ketua Panitera Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh, 8 Januari 2012.
Universitas Sumatera Utara

27
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka disusunlah penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Tinjauan Yuridis Atas Tanah Wakaf yang Dikuasai Nadzir” (Studi Kasus di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh). B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah: 1. Bagaimana kedudukan nadzir sebagai pengelola tanah wakaf menurut Hukum
Islam dan UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf? 2. Apakah yang menjadi kendala-kendala nadzir dalam pengelolaan tanah wakaf? 3. Bagaimana efektifitas pengelolaan pengawasan tanah wakaf?
C. Tujuan Penelitian Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat
dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah? 1. Untuk mengetahui kedudukan nadzir sebagai pengelola tanah wakaf menurut
Hukum Islam dan UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala nadzir dalam pengelolaa tanah wakaf 3. Untuk mengetahui efektifitas pengelolaan pengawasan tanah wakaf.
D. Manfaat Penelitian Dari pembahasan permasalahan dalam kegiatan penelitian ini diharapkan
nantinya dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktek.
Universitas Sumatera Utara

28
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbangan saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta ilmu kenotariatan khususnya tentang pengelolan tanah wakaf oleh nadzir.
Secara praktek, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan nadzir dalam kegiatan pemanfaatan harta wakaf dan pihak yang berkepentingan dengan tanah wakaf tersebut. selain itu, masyarakat dan praktisi hukum dapat menyadari bahwa kedudukan tanah wakaf adalah untuk mensejahterakan masyarakat dan merupakan milik bersama, bukan milik nadzir atau pihak tertentu yang menguasai tanah tersebut. E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan, khususnya pada perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara di Medan, penelitian mengenai Tinjauan Yuridis Atas Tanah Wakaf yang Dikuasai Nadzir (Studi Kasus di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh) , ternyata belum pernah disusun oleh peneliti lain. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah asli, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai-nilai objektifitas dan kejujuran.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan teori harus diuji dengan menghadapkan pada fakta-
Universitas Sumatera Utara

29
fakta dapat menunjukkan ketidakbenarannya.21 Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variabel bersangkutan memang dapat mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab.22 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.23 Selain itu teori ini bermanfaat untuk memberikan dukungan analisis terhadap topik yang sedang dikaji. Disamping itu teori ini dapat memberikan bekal kepada kita apabila akan mengemukakan hipotesis dalam tulisan.24 Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atas butir-butir pendapat teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.25 Menurut teori konfesional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (recht geverchtyheid), kemanfaatan (recht sulihteit) dan kepastian hukum (recht zekerheid).26 Aveldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertip dalam masyarakat secara damai dan adil, untuk mencapai kedamaian hukum, harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan penumbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang
21J.JM. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-asas, Jilid 1, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203
22J.Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rieka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 192 23Lexy J Molloeng, Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35 24Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal.144 25M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80 26Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofi dan Sosiologi), Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal.85
Universitas Sumatera Utara

30
harus memperoleh hak-haknya sesuai hukum yang berlaku dalam hal mewujudkan keadilan.27
Wakaf adalah sesuatu istilah yang terdapat dalam Hukum Islam, oleh karena itu apabila berbicara mengenai wakaf, tidak mungkin terlepas dari konsepsi wakaf dari Hukum Islam. Hukum Islam bersifat elastis, sehingga mampu mengikuti perkembangan zaman. Tujuan dari Hukum Islam adalah mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Sejalan dengan hal tersebut, maka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori positivisme.
Teori positivisme yang dikembangkan oleh John Austin dalam bukunya yang berjudul Province of Jurisprudence, Jgon Austin mengartikan bahwa:
Hukum itu sebagai a commond of the lawgiver, yang artinya bahwa hukum adalah perintah dari penguasa, yaitu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai sesuatu yang logis, tetap dan bersifat tertutup. Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada nilai baik buruk.28 Oleh karena itu, hukum positif harus memenuhi unsur, yaitu adanya unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Di sinilah letak korelasi antara persoalan kepastian hukum yang merupakan salah satu tujuan hukum dengan peranan negara. Dalam Hukum Positivisme, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian.
27 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.57 28 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar maju, Bandung, 2002, hal.55.
Universitas Sumatera Utara

31
Hukum berwakaf ada beberapa macam, menurut pendapat imam-imam diantaranya ialah: Imam Syafi’I berpendapat bahwa berwakaf adalah “suatu ibadah yang disyari’atkan Allah dan berlaku sah bilamana orang yang berwakaf itu telah menyatakan dengan kalimat tanda menyerahkan seperti katanya” saya telah mewakafkan (berwakaf) walaupun tidak diputuskan oleh hakim. Kemudian Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wakaf adalah merupakan suatu sadakah ataupun pemberian dan tidak terlepas dari milik orang yang berwakaf sebelum hakim memutuskannya. Dengan arti kata sebelum hakim mengumumkan bahwa harta itu adalah wakaf atau dengan kata-kata ta’lik yaitu sesudah meninggal orang yang berwakaf seumpama perkataan si wakif: Bila saya telah meninggal dunia maka harta saya (misalnya sawah saya) saya wakafkan untuk kepentingan urusan masjid si polan.29
Pengaturan wakaf di Aceh sebelum kedatangan kaum penjajah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari kitab fiqih bermazhab Syafi’i. Karena masalah wakaf ini sangat erat kaitannya dengan Hukum Adat yang berlaku di Indonesia, dengan tidak mengurangi nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam wakaf itu sendiri.30 Sejalan dengan perkembangan zaman yang begitu pesat,
29M. Hasballah Thaib, Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Dharmawangsa, Medan, 1992, hal.72
30Surawardi K.Lubis dkk, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.151
Universitas Sumatera Utara

32
sejarah perkembangan perwakafan tanah milik mengikuti pula perkembangan sejarah Islam yang terdapat disuatu Negara. 31
Mengingat betapa pentingnya masalah tersebut dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas pemeluknya Agama Islam, maka lembaga wakaf tanah harus di transformasikan ke dalam Hukum Nasional guna melindungi eksistensi dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat.32
Adanya perkembangan lembaga perwakafan tanah milik yang berkembang di negara-negara Islam mengilhami pembuat/perancang UUPA Tahun 1960 memasukan salah satu pasal dalam UUPA yang mengatur khusus mengenai perwakafan tanah milik, yaitu pasal 49 yang berbunyi sebagai berikut:33
1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dalam sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
3. Perwakafan tanah milik dilindumgi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penerapan Hukum Syariat adalah merupakan hukum positif yang
diberlakukan di Provinsi Aceh dan dilegalkan atau disahkan oleh negara atas keinginan masyarakat Aceh.34 Didalam penerapan