Analisis kesesuaian iklim tanaman soba (Fagopyrum esculentum) di wilayah Bogor dan Cianjur
ANALISIS KESESUAIAN IKLIM TANAMAN SOBA
.-
(Fagopyrum esculentum) DI WILAYAH BOGOR DAN CKANJUR
BUDIMAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTARTIANBOGOR
BOGOR
2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORNLASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kesesuaian lklim
Tanaman Soba (Fagopyrum esculentum) di Wilayah Bogor dan Cianjur adalah
karya saya sendiri. Tesis tersebut belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Budiman
NIM G25 1030021
ABSTRACT
BUD1 MAN. Analysis of Agro Climatic Zoning for Buckwheat (Fagopyrum
esculentum) in Bogor and Cianjur Area.
The growth and development of buckwheat (Fagopyrum esculentum
Moench) were greatest influenced by air temperature. Seasonal variations suggest
that temperature is one of the important factors for seed set. The optimum
temperature for seed set in buckwheat is 18 OC. The objective of this experiment is
to analysis agroclimate zoning for buckwheat in Cianjur and Bogor area which its
have air temperature about 20-25 OC that suitable for buckwheat. The areas are
situated possibly at 400 up to 1,200 meter above sea level. Analysis of agro climatic
zoning for buckwheat in Bogor and Cianjur area used Arc Info and ArcView GIs
3.3 software. Climate factors of temperature, water, and relative humidity for
growth and development of buckwheat have been analyzed. The results suggest that
wide areas of altitudes of 400-1.200 m above sea level is covered about 296,927
hectares. Particularly, after detail analysis for Bogor area it can be determined that
total of areas of low suitable for growth and development of buckwheat (400-700
m) is 50,610 ha, suitable (700-1.000 m) is 35,995 ha, and most suitable (1.000-
1.200 m) is 20,229 ha.
Keyword: agro climatic zoning, buckwheat, optimum temperature
RINGKASAN
B U DIM AN. Anal isis Kesesuaian I kl im Tanaman Soba (Fagopyrum esculentum) di
Wilayah Bogor dan Cianjur.
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman soba (Fagopyrum esculenfum)
sangat ditentukan oleh suhu udara. Di antara faktor iklim, suhu udara merupakan
factor penting dalam menghasilkan biji soba. Suhu udara rata-rata optimum untuk
budidaya soba sekitar 18 OC. Tujuan dari percobaan ini adalah menganalisis daerahdaerah yang secara iklim sesuai untuk budidaya soba .pads berbagai ketinggian di
Bogor dan Cianjur yang memiliki suhu udara rata-rata 20-25 OC. Analisis keseuaian
iklim soba di kawasan tersebut menggunakan peranti lunak Arc Info dan Arc View
GIs 3.3. Faktor-faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
soba seperti suhu udara, ketersediaan air, dan kelembaban udara (RH) juga
dianalisis. Hasilnya, menunjukkan bahwa luas areal di Bogor dan Cianjur dengan
ketinggian 400 - 1.200 m dpl tercatat sekitar 296.927 hektare. Khusus untuk Bogor
dilakukan analisis yang lebih detil yakni luas areal yang memiliki kesesuaian
rendah (low suitable) untuk pertumbuhan dan perkembangan soba (400-700 m dpl)
adalah 50.610 ha, yang sesuai atau suitable (700-1.000 m dpl) sekitar 35.995 ha,
dan yang paling sesuai atau most suitable (1.000-1.200 m ) seluas 20.229 ha.
Kata kunci:kesesuian iklim tanaman, soba, suhu udara optimum
ANALISIS KESESUAIAlV IKLIM TANAMAN SOBA
(Fagopyrum esculentum) DI WILAYAH BOGOR DAN CIAlYJUR
BUDIMAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul Tesis
: Analisis Kesesuaian Iklim Tanaman Soba
(Fagopyrum esculentum) di Wilayah Bogor dan Cianjur.
Nama
: Budiman
: G25 1030021
No. Pokok
Program Studi : Agroklimat
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Dr. Aris Poniman K
Anggota
Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS
Ketua
Diketahui:
Ketua Program Studi Agroklimat
Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey
Tanggal ujian: 2 Februari 2006
a Manuwoto, M.Sc
0 8 FEB 2006
Tanggal lulus: .........................
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah pada 29 Maret 1967 dari ayah
Soerachmad Siswodihardjo (aim.) dan Sulis Djuwarti. Penulis merupakan putra
kelima dari tujuh bersaudara. Menikah dengan Mardiatul Aini, penulis dikaruniai
empat putri; Nada Salsabila, Novsa Fakhira, Tania Adila, dan Raisa Pitas Malay.
Penulis lulus dari SMA Negeri Bangsri, Jepara dan melanjutkan studi ke
Program Studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB
pada 1986. Gelar sarjana diperoleh penulis pada 1992. Pada Agustus 2003 penulis
melanjutkan studinya di Sekolah Pascasarjana Agroklimatologi IPB dan meraih
gelar magister sains pada Februari 2006.
Sebelumnya, atas beasiswa dari Asia Foundation dan Harian Kornpas pada
1992 penulis mengikuti pendidikan Program Pascasarjana Jurnalistik di Lembaga
Pers Dr. Soetomo (LPDS) selama 13 bulan. Penulis memulai karir sebagai
wartawan di Suara Pembaruan pada 1993. Di koran sore tersebut, penulis pernah
menjadi Redaktur Iptek, Lingkungan Hidup, Teknologi Informasi, dan Otomotif.
Sebagai wartawan Iptek, penulis telah meliput berbagai ekspedisi,
konferensi, dan seminar baik berskala nasional maupun internasional seperti di
Oslo, Ottawa, Toronto, I,os Angeles, Melbourne, Sidney, Hobart, Pinang, Kuala
Lumpur, Beijing, Tokyo, Kyoto, Bangkok, dan Singapura.
Penulis memenangkan sebanyak 18 lomba karya tulis. Atas prestasi itu,
penulis menerima penghargaan dari IPB, Universitas Gadjah Mada (UGM),
Universitas Brawijaya (Unibraw), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek), Badan Pengkajian dan Penerapan
Tehologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan),
Bakosurtanal, RCTI, PT USIIIBM, serta Majalah Info Komputer. Penulis juga
pernah menerima Coastal Award (2002) serta Mina Bahari Press Award (2003 dan
2005) dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Di tengah-tengah kesibukannya sebagai wartawan, penulis juga menuiis dan
menyunting sebanyak 26 buku. Buku terbaru yang ditulis adalah Tsunami dan Iptek
Menguak Laut Indonesia (terbit Januari 2006). Penulis juga kerap menjadi Dewan
Juri berbagai lomba karya tulis ilmiah populer.
Saat ini penulis juga aktif sebagai Ketua I Masyarakat Penulis Ilrnu
Pengetahuan dan Teknologi (Mapiptek) serta salah satu pendiri Kornunitas
Wartawan Kelautan dan Perikanan (Komunikan).
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang
dilaksanakan sejak Februari 2005 ini adalah mencari daerahdaerah yang sesuai
secara iklim untuk pengembangan tanaman soba, dengan judul Analisis Kesesuaian
Iklim Tanarnan Soba (Fagopyrum esculentum) di wilayah Bogor dan Cianjur.
Karya ilmiah ini bisa diselesaikan juga berkat bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS dan Bapak Dr. Aris Poniman
selaku pembimbing. Ucapan yang sama juga penulis haturkan kepada Bapak Ir.
Heny Suharsono, MSi yang bersedia menjadi Dosen Penguji dan Kepala Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Bapak Ir Rudolf
Wennemar Matindas, MSc yang telah memberi fasilitas penelitian.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin
Dahuri, Bapak Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Indroyono
Soesilo atas berbagai masukan ilmiahnya. Juga mantan Pemimpin Redaksi Suara
Pembaruan Bapak Bondan Winarno yang telah memberi izin kepada penulis untuk
melanjutkan studi ke jenjang magister (S2). Hsl sempa juga penulis sampaikan
kepada Chief Executive Officer (CEO) PT Media Interaksi Utama Bapak Wim
Tangkilisan, pimpinan beserta rekan-rekan di Suara Pembaruan seperti Marcelius
Widiarto, Marthen Selamet Susanto, dan Yohana Ririhena, yang telah memberi
dorongan dan masukan berharga.
Di samping itu, penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir.
Nunvajedi, MSc dan Bapak Dr. Ir. Fahmi Amhar dari Bakosurtanal yang telah
rnembantu selama pengumpulan dan pengolahan data. Begitu juga dengan para
sahabat dan saudara antara lain Slarnet Widayadi, Sanny MK, Untung Widyanto,
Pandu Meilaka, Wiko Raharjo, Achmad Sarmili, Dini Kartika dan A. Akhadiat.
Ungkapan terima kasih juga penulis tujukan kepada ayah (alm), ibu, seluruh
saudara, istri, dan keernpat putri penulis atas segala doa dan kasih sayangnya.
Sernoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2006
Budiman
DAFTAR IS1
Halaman
...................................................................... vii
...
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR
....................................................................... 1
Latar Belakang ......................................................................... 1
Tujuan Penelitian ....................................................................... 2
PENDAHULUAN
...................................................................
Karakteristik dan Habitat Soba ......................................................
Produktivitas Soba di Berbagai Negara .............................................
Respon Soba Terhadap Suhu Udara .................................................
TINJAUAN PUSTAKA
Pengaruh Kelembaban Udara. Angin. dan Radiasi Surya
3
3
5
6
........................ 11
..................................................................13
Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 13
Bahan dan Alat ......................................................................... 13
Metode ...................................................................................14
BAHAN DAN METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
........................................................... 16
Analisis Suhu Udara ......................................................................................16
Analisis Curah Hujan dan Kelembaban Udara ................................................. 23
Analisis Kesesuaian Iklim ................................................................................. 27
KESIMPULAN ......................................................................... 33
Kesimpulan .......................................................................... 33
Saran
..................................................................................... 33
...................................................................... 35
LAMPIRAN ................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bentuk fisik tanaman soba (Fagopyrum esculentum Moench) besertabagian-bagiannya. (Sumber: Gillie'sa vegetarian delight.
http://www.collegiate-times.com dan Made in Japan.
http://businesstimes.asia 1 .corn)..............................................................
2. Skema alur penelitian yang digunakan....................................................
3. Peta wiiayah Bogor dengan interval ketinggian 100 m yang diolah dari
SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission)..........................................
4. Analisis kontur di beberapa kabupaten dan kotarnadya (Kodya) di Jawa
Barat berdasarkan data SRTM.................................................................
5. Pola curah hujan tahunan di lokasi penelitian (Sumber: Bakosurtanal
dan BMG, 2004).......................................................................................
6. Kondisi kelembaban udara (RH) tahunan di berbagai lokasi di Indonesia
(Sumber: Bakosurtanal dan BMG, 2004..................................................
7. Citra SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) dengan profil tiga
dimensi.....................................................................................................
8. Peta kesesuaian iklim untuk tanaman soba di Bogor dan Cianjur............
9. Peta kesesuaian iklim untuk tanaman soba pada berbagai ketinggian di
Bogor. Wama biru mewakili ketinggian 400-700 m dpl dengan kelas
kesesuaian rendah (low suitable), warna ungu (700- 1.000 m dpl) tergolong baik (suitable), dan warna hijau (1.000-1.200 m dpl) punya
kesesuaian sangat baik (most suitable).....................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta Rupa Bumi lndonesia daerah Ciawi (Sumber: Bakosurtanal, 2004). ..
39
2. Peta Rupa Bumi lndonesia daerah Bogor (Sumber: Bakosurtanal, 2004). ..
40
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia membutuhkan tepung gandum dalam jumlah tinggi dan terus
meningkat. Hal ini disebabkan selain jumlah penduduk bertambah banyak, juga
gaya hidup masyarakat Indonesia terhadap berbagai makanan berbahan baku
gandum (seperi mie dan roti) kian bertambah. Semua pasokan gandum itu diperoleh
dengan cara mengimpor dari berbagai negara seperti Amerika Serikat dan Australia.
Menurut catatan Departemen Pertanian, impor gandum pada tahun 2005
mencapai sekitar 4,5 juta ton. Angka itu cenderung meningkat dari tahun-tahun
sebelumnya seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pola gaya hidup tadi.
Upaya mengurangi ketergantungan terhadap impor gandum yang hingga
kini masih 100% didatangkan dari luar negeri itu temyata tidak mudah. Dari
berbagai penelitian yang dilakukan di Indonesia, temyata gandum tidak bisa
dibudidayakan secara komersial (menguntungkan). Sebab, faktor-faktor iklim,
khususnya suhu udara, di berbagai wilayah di Indonesia
tidak sesuai untuk
pertumbuhan tanaman gandum.
Salah satu alternatif mengatasi ketergantungan impor gandum adalah
dengan mengembangkan tanaman penghasil tepung yang berasal dari bukan
gandum, yakni dengan membudidayakan tanaman soba (Fagopyrum esculentum).
Selain mengandung banyak protein (12,3%) dan karbohidrat (73,3%), soba juga
berhasil dibudidayakan di beberapa wilayah dataran tinggi di Indonesia.
Salah satu faktor iklim yang menjadi pembatas bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman soba adalah suhu udara. Berbagai kajim sebel~lm~iya
menunjukkan, st-lhu d a r a rats-rata yang cptimal bagi budiciaya solib adalah 18 "C.
Jika soba ditanam pada kondisi suhu udara rata-rata di atas 25 "C, tidak akan
menghasilkan panen yang menguntungkan pembudidaya. Itu artinya, suhu udara
rata-rata optimal bagi budidaya soba akan tercapai pada areal yang memiliki dataran
tinggi (daerah pegunungan).
Menurut penelitian Sangadji, S (2001), soba yang ditanam di dua wilayah
Jawa Barat yakni di Cianjur pada ketinggian 1.150 meter dari permukaan laut (dpl)
dan Ciawi, Bogor pada ketinggian 400 meter dpl menunjukkan hasil panen yang
signifikan. Bahkan hasil terendah dari penelitian tersebut masih lebih tinggi
daripada hasil rata-rata dunia yang berkisar 0,989 ton per hektare.
Hasil panen itu merupakan terobosan sekaligus menjadi harapan baru bagi
petani yang bakal membudidayakan soba di dataran tinggi di Indonesia. Dengan
demikian, langkah awal yang perlu dilakukan untuk membudidayakan soba secara
komersial adalah dengan mencari daerahdaerah yang secara iklim sesuai bagi
pertumbuhan dan perkembangan soba.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis daerahdaerah yang secara
iklim sesuai untuk budidaya soba pada berbagai ketinggian di Bogor dan Cianjur.
Luarannya adalah perhitungan luas potensi dari masing-masing daerah kesesuaian
tersebut untuk budidaya soba.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik dan Habitat Soba
Tanaman soba (lihat Gambar 1) memiliki batang dan cabang yang sukulen,
daunnya berbentuk hati dan bijinya membentuk sudut tringular. Tanaman soba
merupakan tanaman semusim yang tumbuh tegak dengan tinggi 0,3 - 1,2 m, berakar
tunggang, serta memiliki beberapa cabang dan hanya memiliki satu batang utama.
Soba memerlukan masa tanam 10 - 12 minggu atau 70
- 84 hari
(Grubben dan
Siemonsma, 1996).
Gambar 1. Bentuk fisik tanaman soba (Fagopyrum esculentum Moench) beserta
bagian-bagiannya.
(Sumber:
Gillie'sa
vegetarian
delight.
http://www.collegiate-times.com
dan
Made
in
Japan.
http://businesstimes.asial .corn).
Tanaman soba merupakan tanaman herbaceous, yang secara taksonomi
dapat
diklasifikasikan
Angiospermae,
Sub
sebagai
Kelas:
berikut:
Divisi:
Dicotyledonae, Ordo:
Spermatophyta,
Kelas:
Caryophyllae,
Famili:
Polygonaceae, Genus: Fagopyrum, dan Spesies: Fagopyrum esculentum Moench.
Tanaman soba berasal dari Yunnan dan Sichuan yang terletak di daratan
Cina bagian barat dan tengah (Edwardson, 1996). Hingga kini soba sudah
dibudidayakan di berbagai negara. Menurut FA0 (1999), negara tempat budidaya
tanaman soba terluas adalah Rusia diikuti oleh Cina, Brasil, Polandia, AS, Jepang,
dan Kazakhstan.
Di negara-negara tersebut, tanaman soba berperan penting dalam
rasionalisasi pertanaman untuk ekologi pertanian (Wei, 1995). Negara-negara
pengekspor soba antara lain adalah Cina, AS, Kanada, Rusia, dan Brasil. Sedangkan
negara pengimpor terbesar adalah Jepang, yang mengimpor hampir 80% dari
kebutuhan setahunnya.
Tingginya konsumsi soba di dunia sebenarnya tidak terlepas dari kandungan
gizi yang terkandung di dalam bijinya. Berbagai penelitian menunjukkan, soba
memiliki gizi yang bermanfaat untuk kesehatan. Karena itu soba bisa dimanfaatkan
sebagai bahan makanan bergizi yang dapat digunakan dalam berbagai bentuk
seperti mie, kue, roti, dan lain sebagainya.
Menurut Edwardson (1996), biji soba mengandung protein sebesar 12,3%,
karbohidrat (73,3%), lemak (2,3%), serat (10,9%), dan abu (2,1%). Selain itu, soba
juga mengandung vitamin P, B1, dan B2. Komposisi asam amino esensial terdiri
dari arginine 0,90%, histidine 0,33%, isoleucine 0,46%, leucine 0,84%, lycine
0,77%, methionine 0,19%. phenylalanine 0,56%, threonine '0,49%, dan valine
0,60%.
Jika dibandingkan dengan beras, soba juga bisa diandalkan. Dengan kata
lain, soba merupakan salah satu tanaman penghasil tepung yang dapat
menggantikan beras. Tepung soba memiliki kandungan karbohidrat yang lebih
tinggi (sekitar 77,5%) sedangkan beras hanya 51,9%. Sementara itu, untuk
kandungan proteinnya 6,4% dan lemak 1,2%. Sedangkan pada beras, proteinnya
berjumlah 8,6% dan lemak 6,1% (USDA, 1997 dalam Irawati 2000).
Produktivitas Soba di Berbagai Negara
Menurut Badan Pangan dan Pertanian Dunia atau FA0 (1999), produktivitas
panen soba rata-rata dunia mencapai 0,898 ton per hektare. Hasil panen terendah
tercatat sekitar 0,459 ton per ha di Rusia dan tertinggi bisa mencapai 2,568 ton per
ha di Prancis.
Hasil panen biji tanarnan soba yang ditanam di Nepal pada beberapa
ketinggian seperti dilaporkan oleh Yoshida, et al. (1997). Mereka membudidayakan
soba di berbagai ketinggian antara 2.300 sampai 2.650 m dpl. Hasilnya, panen
tertinggi dicapai pada ketinggian 2.650 m dpl dengan produktivitas antara 1,25 1,50 todha. Sedangkan pada ketinggian 2.300 m panen yang didapat sebesar 0,53 0,6 tonlha.
Menurut penelitian Sangaji (2001), tanarnan soba yang ditanam di Cianjur
pada ketinggian 1.150 m dpl menunjukkan hasil yang berbeda dengan yang
dibudidayakan di Bogor yang memiliki ketinggian tempat sekitar 400 m dpl.
Ternyata soba yang ditanam di Cianjur lebih tinggi hasil panennya ketimbang di
Bogor. Masih menurut penelitian tersebut, rata-rata bobot biomassa per meter
persegi di Bogor berkurang sebesar 42,89% dari Cianjur. Atau kalau
dikuantitatifkan nilainya sebesar 53 1,6 gram (di Bogor) dan 930,s g (di Cianjur).
Begitu juga dengan bijinya. Biji soba yang ditanam di Bogor menghasilkan
sekitar 146,6 g per m2 atau turun sebesar 48,54% dari yang ditanam di Cianjur
dengan hasil 284 g per m2 . Namun demikian, hasil terendah soba yang ditanam di
Bogor itu masih lebih tinggi daripada hasil soba rata-rata dunia (0,898 ton per
hektare).
Di Cianjur, waktu tanam pada 27 Mei relatif lebih baik daripada 27 April
dan 27 Juni. Sedangkan di Bogor, waktu tanam 27 April cenderung paling baik
dibandingkan dengan waktu tanam lainnya.
Sementara itu, di Cianjur populasi 160 tanaman per m2 merupakan populasi
terbaik karena menghasilkan panen tertinggi. Sedangkan soba yang ditanam di
Bogor dengan populasi 200 tanaman per m2 menghasilkan hasil panen tertinggi.
Hasil penelitian Chodijah (2000), soba yang ditanam pada ketinggian
sekitar 1.150 m dpl menghasilkan biji sebesar 3,26 tonha. Penelitian lain juga
dilakukan Masyithah (2001) di Ciawi pada ketinggian 415 m dpl. Hasil panen biji
soba dengan berbagai perlakukan berkisar 1,722 tonha sarnpai 4,309 tonha.
Respon Soba Terhadap Suhu Udara
Suhu merupakan saiah satu indikasi jumlah energi yang terdapat dalam
suatu sistem atau massa. Suhu secara makroskopi berarti tingkat atau derajat
kepanasan suatu benda. Panas akan berpindah dari titik yang bersuhu tinggi ke titik
yang bersuhu rendah.
Setiap jenis tumbuhan membutuhkan suhu aktif dan optimal dalam kisaran
sesuai dengan prinsip reaksi kimia, demikian juga dalam proses metabolisme (Bey
dan Las, 1991). Pengaruh suhu pada tanaman terlihat pacla laju perkembangan
tanaman seperti perkecambahan, pembentukan daun, dan inisiasi biji. Suhu
lingkungan dipengaruhi oleh variasi diurnal, musirnan, angin, kedudukan tajuk,
tinggi tajuk di atas tanah, dan ukuran daun (Baharsjah, 1991).
Menurut Fitter dan Hay (1981), adalah sulit menetapkan secara tepat antara
proses-proses pada tanaman dan temperatur. Hal itu disebabkan variabilitas yang
esktrim dari temperatur tanah dan udara. Suhu daun rnisalnya tergantung pada enam
faktor; waktu (variasi reguler sepanjang hari), bulan (variasi reguler musiman),
keawanan dan kecepatan angin (variasi irreguler jangka pendek), posisi kanopi
(misalnya daun yang terkena sinar matahari dan daun yang ternaungi ketinggian
lahan serta dimensi daun).
Salisbury dan Spomer (1964) pernah mengkaji mengenai suhu akar
Menurutnya, suhu akar dipengaruhi oleh empat faktor; (a) waktu harian, (b) bulan
(musiman), (c) kedalaman di bawah permukaan tanah, serta (d) sifat tanah yang
menentukan absorbsi dan transmisi panas (terutama kelembaban tanah, kerapatan
massa, dan sifat permukaan tanah).
Akibatnya, kanopi daun dan profil tanah merupakan suatu mosaik yang
kompleks dari rejim panas yang berfluktuasi dengan cepat. Variabilitas ini
menyebabkan sangat sulit melakukan penelitian pengaruh temperatur pada proses
fotosintesis di lapangan.
Pendapat itu dibenarkan Pigott (1975) dan Wassink (1972). Menurutnya,
kesulitan tersebut menyebabkan kesulitan lebih besar lagi dalam riset jangka
panjang dimana kecepatan pertumbuhan tanaman tergantung pada satu atau lebih
parameter panas seperti temperatur rata-rata, temperatur minimum dan maksimum,
serta jumlah penimbunan panas di atas nilai ambang sepanjang tahun atau satu
periode kritis yang pendek.
Pisek, et al. (1973) behasil menggambarkan respon laju pertumbuhan
tanaman terhadap tiga suhu kardinai (suhu minimum. suhu optimum, dan suhu
maksimum. Peningkatan temperatur akan mempengaruhi proses biokimia dalam
dua cara.
Pertama, dengan naiknya temperatur sel tanaman maka kecepatan pegerakan
(vibrasi, rotasi, dan translasi) dari molekul-molekul yang bereaksi semakin
bertambah. Hal itu menyebabkan tabrakan antarmolekul semakin sering dan laju
reaksi juga kian cepat. Kedua, dengan naiknya temperatur (hingga ke suhu
maksimum), peningkatan rangsangan molekuler cenderung merusak struktur
jaringan dan menurunkan aktivitas enzim dan laju reaksi hingga akhirnya sel-selnya
mati.
Setiap tanaman juga memiliki respon yang berbeda terhadap suhu
lingkungan, baik pada fase vegetatif maupun generatif. Soba adalah tanaman hari
pendek dan netral. Suhu udara dan penyinaran merupakan faktor ekologi penting
yang berhubungan dengan distribusi varietas. waktu tanam, dan lokasi
penanamannya. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman soba sangat dipengaruhi
oleh kondisi suhu udara (Chai Yan, et al., 1995).
Suhu udara menentukan berbagai tingkat pertumbuhan tanaman, dari segi
fisiologis, pertumbuhan vegetatif dan generatif, hingga pemasakan biji. Suhu udara
berpengaruh langsung pada proses fotosintesis, respirasi, permeabilitas dinding sel,
absorbsi air dan hara transpirasi, aktivitas enzim, serta koagulasi protein.
Setiap jenis tanaman membutuhkan suhu aktif dan suhu optimal pada
kisaran tertentu. Suhu yang ekstrim tinggi dan ekstrim rendah berakibat fatal bagi
pertumbuhan tanaman. Pada suhu ekstrim tinggi, menyebabkan antara lain
terjadinya desikasi jaringan yaitu kekeringan daun akibat kepanasan, ataupun
kelayuan akibat tingginya laju transpirasi. Sedangkan pada suhu ekstrim rendah
mengakibatkan bahaya frost (chilling injuri) dan kehampaan yang tinggi pada
tanaman biji-bijian (Bey dan Las, 1991).
Suhu udara mempengaruhi kestabilan sistem enzim. Pada suhu optimum,
sistem enzim berfungsi baik dan tetap stabil untuk waktu yang lama. Pada suhu
yang lebih rendah, sistem enzim tetap stabil tetapi tidak berfungsi. Sementara itu,
pada suhu tinggi maka sistem enzim mengalami kerusakan.
Suhu mempunyai pengaruh kuat pada reaksi biokimia dan fisiologi tanaman,
juga menentukan tingkatan tugas tanaman seperti absorbsi unsur hara dan air.
Fotosintesis lebih lambat pada suhu rendah dan akibatnya laju pertumbuhan lebih
lambat.
Perkembangan tanaman soba dari penanaman hingga pembentukan bunga
merupakan fungsi suhu. Suhu optimum selama pembungaan soba adalah 10 OC,
pembungaan sampai pemasakan 14 O C dan suhu optimum untuk pemasakan biji 18 10 "C (Gorski, 1986).
Sementara itu, Slawinska dan Obendorf (2001) melakukan penelitian
tentang soba yang ditanam di rumah kaca di New York, Amerika Serikat yang bisa
diatur suhu udaranya. Hasilnya, panen tertinggi terapai pada kondisi suhu udara
rata-rata 18 OC.
Sebelumnya, Funatsuki, et al. (2000) juga melakukan penelitian di di
Hokkaido Jepang pada tahun 1997 dan 1998. Menurutnya, suhu udara yang lebih
rendah dari suhu optimumnya (di bawah 18 "C) menyebabkan pertumbuhan dan
pemasakan biji soba lebih lambat. Sebaliknya, pada suhu udara rata-rata yang
berada pada kisaran suhu optimumnya, tanaman soba memiliki respon positif
terhadap pertumbuhan dan pemasakan bulir.
Menurut penelitian itu, soba yang ditanam pada pertengahan Agustus 1997
menghasilkan pemasakan bulir yang lebih lama dibandingkan bulan yang sama
pada 1998. Hal itu disebabkan suhu udara rata-rata pada 1997 (13,5 "C) lebih
rendah dibandingkan pada 1998 (18,2 OC).
Walaupun soba yang ditanam pada 1997 mengalami keterlambatan
pemasakan bulir dibandingkan dengan 1998, namun pada 1997 soba tumbuh 7-10
hari lebih awal daripada 1998. Penyebabnya, suhu udara rata-rata pada awal masa
tanam 1997 sampai dengan awal pengisian bulir lebih tinggi daripada perlakukan
masa tanam 1998. Mereka juga menemukan bahwa pada masa tanam 1998 panen
soba yang dihasilkan lebih bagus dibandingkan pada 1 997.
Suhu juga mempengaruhi karakteristik pertumbuhan kultivar dan hasil
(Feng Shanhai, et al., 1995). Menurut Gorski (1986), suhu optimum selama
pembungaan adalah 10 OC, antara pembungaan dan pemasakan berkisar 14 OC, dan
untuk pemasakan adalah 18-19 OC.
Menurut Koesmaryono, Sangadji, dm June (2002), berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan di Cianjur (pada ketinggian 1.I50 m dpl) dan Ciawi,
Bogor (400 m dpl) menunjukkan bahwa suhu dasar tanaman soba untuk fase tanam
hingga muncul bunga sebesar 5,17 "C, bunga mekar (5,39 OC), muncul biji hijau
(4,69 OC), dan masak atau panen (5,06 "C). Rata-rata suhu dasar hasil perhitungan
untuk seluruh fase pertumbuhan tanaman soba sebesar 5 OC.
Sementara itu, masih menurut penelitian tersebut, akumulasi panas tidak
dipengaruhi oleh perbedaan lokasi dan waktu tanam. Akumulasi panas tanaman
soba untuk periode fase tanam hingga perkecambahan sebesar 76,7 hari OC, muncul
bunga (264,3 hari OC), bunga mekar (434,8 hari OC), muncul biji hijau (513,3 hari
OC), dan hingga panen (848,7 hari OC).
Angka tersebut berbeda dengan hasil penelitian Cha, et al. (1989).
Menurutnya, akumulasi panas yang dibutuhkan hingga pembungaan adalah 440
sampai 470 hari OC. Keragaman akumulasi panas tersebut diduga berhubungan
dengan varietas tanaman soba yang digunakan dan iklim (radiasi surya lama
penyinaran, curah hujan, kelembaban udara, dan kecepatan angin).
Faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut berpengaruh terhadap suhu
udara. Penurunan suhu udara berhubungan erat dengan kenaikan tinggi tempat.
Handoko (1993) menjelaskan, di daerah tropika, fluktuasi suhu rata-rata harian
relatif konstan sepanjang tahun. Sedangkan fluktuasi diurnal (variasi antara siang
dan malam hari) lebih besar daripada fluktuasi suhu rata-rata harian.
Laju penurunan suhu udara terhadap kenaikan tinggi tempat atau lapse rate
suhu, rata-rata sedunia (dtldz) adalah -6,5 OC/I km dan rata-rata di Indonesia adalah
-6,l OCI1 krn. Berdasarkan penelitian Braak (1929), rata-rata tahunan suhu pantai di
Indonesia adalah 26,3 OC.
Pengaruh Kelembaban, Angin, dan Radiasi Surya
Kelembaban merupakan salah satu unsur iklim yang berpengaruh dalam
proses pembungaan tanaman, khususnya pada proses persarian Kelembaban udara
merupakan indikator keadaan tekanan defisit uap air di sekitar pertanaman.
Pola fluktuasi kelembaban udara mempunyai korelasi dengan keadaan suhu
udara di sekitar pertanaman. Semakin tinggi suhu udara, kapasitas udara untuk
menampung uap air per satuan volume udara juga semakin besar.
Tanaman soba cocok dikembangkan di daerah yang bersuhu dingin dengan
kelembaban udara yang tinggi. Menurut Gobersci, et al. (1986), kelembaban
optimal bagi tanaman soba adalah sekitar 60 - 80%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan hasil tanaman soba
sangat dipengaruhi oleh perbedaan iklim. Hasil penelitian Sangadji (2001) yang
dilakukan di dua tempat dataran tinggi Jawa Barat yaitu di Cianjur dan Ciawi
(Bogor) menunjukkan ha1 itu.
Selain itu, angin kencang akan menyebabkan rebahnya tanaman soba pada
saat pertumbuhan dan dapat menghancurkan biji pada saat pemasakan (Grubben
dan Siemonsma, 1996).
Hasil penelitian Masyithah (200 1) menunjukkan, soba yang ditanam di
Ciawi, Bogor, pada ketinggian sekitar 415 m dpl dengan jumlah populasi 200
tanaman per m2 (setara dengan jarak antar baris 20 cm) menghasilkan panen
tertinggi dibandingkan dengan populasi tanam lainnya. Hal ini terkait dengan
intersepsi radiasi matahari yang diterima tanaman tersebut.
Semakin tinggi intersepsinya, hasil panennya juga kian besar. Berdasarkan
penelitian itu, hasil panen tertinggi bisa mencapai 4,309 tonlha. Sedangkan hasil
panen terendah berkisar 1,722 tonfha yang diperoleh dari populasi soba 133
tanaman/m2 (setara dengan jarak antar baris 20 cm) dan tidak diberi pupuk.
Presentase intersepsi radiasi (Qint)= (I-QdQ,) x loo%, dimana Qb adalah
radiasi di bawah tajuk dan Q, adalah radiasi di atas tajuk. Intersepsi radiasi matahari
(Int)= %Qintx total intersepsi radiasi. Satuan Intadalah MJ m2minggu-'.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Tempat penelitian ini berlokasi di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan
Kabupaten Cianjur. Secara koordinat, wilayah itu terletak pada 06'00'
sampai
07'00' Lintang Selatan (LS) dan 106'30' hingga 108'00' Bujur Timur (BT).
Sementara itu pengolahan datanya dilakukan di Laboratorium milik
Kedeputian Survei Dasar Sumber Daya Alam, Badan Koordinasi Survei dan
Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Cibinong, Bogor. Penelitian tersebut dilakukan
sejak Februari 2005 sampai 12 Oktober 2005.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi peta digital dan peta
analog. Peta digital yang dipakai adakah dari SRTM (Shuttle Radar Topography
Mission) tahun 2000, peta rupabumi untuk wilayah Bogor dan Cianjur. Peta analog
(peta dalam bentuk cetakan) yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta
rupabumi skala 1:250.000 (lembar 1209 Jakarta) edisi tahun 2003 dan peta land
system.
Untuk keperluan diskripsi wilayah penelitian, juga dipakai atlas flora dan
fauana Indonesia buatan Bakosurtanal. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
jenis-jenis flora dan fauna yang khas di daerah penelitian.
Sementara itu, alat bantu yang dipakai dalam percobaan ini meliputi
altimeter (pengukur ketinggian tempat), seperangkat komputer serta software
Global Mapper 6.0, Arc Info, dan Arc View GIs 3.3.
Metode
Dengan menggunakan rumus Braak (1929), bisa dihitung suhu udara ratarata di berbagai ketinggian sebagai berikut:
tLr= (1,- [(Z, - Zo)]/l .000] x 6,l)"C.
dimana t,, adalah suhu rata-rata tahunan di suatu tempat dengan ketinggian tertentu,
t,, adalah suhu udara rata-rata di pantai (saat itu di Indonesia = 26,3 "C). Menurut
penghitungan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), suhu udara rata-rata di
pantai di Indonesia sekitar 27,5 "C. Jadi dalam penghitungan ini, rumus Braak tetap
digunakan namun besarnya t,, yang dipakai adalah 27,5 OC. Z1 merupakan
ketinggian tempat (m) di lokasi yang ingin dicari, dan Zo adalah ketinggian di
pantai, besarnya dianggap 0 meter.
Dari persamaan ini, untuk wilayah dengan ketinggian 400 sampai 1.200
meter memiliki kisaran suhu rata-rata udara 20,2 - 25,l OC. Dengan menggunakan
citra SRTM dan peta rupa bumi (digital) maka bisa diambil data kontur (ketinggian
tempat) sesuai target penelitian, yaitu antara 400 dan 1.200 meter di atas perrnukaan
laut (dpl).
Batasan kawasan yang terpilih itu lalu diolah dengan menggunakan software
Arc Info dan Arc View GIs 3.3. Data ini lalu diekstrapolasi menjadi luas areal
dengan tcrlebih dahulu membuat topologi poligonnya. Poligon adalah daerah yang
dibatasi oleh garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama.
Dari sini lalu areal tersebut dianalisis berdasarkan data curah hujan dan
kelembaban udara (RH) di berbagai ketinggian berdasarkan Atlas Curah Hujan
Indonesia yang dibuat Bakosurtanal bekerja sama dengan Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG). Khusus untuk kawasan Bogor, kisaran ketinggian tersebut lalu
diklasifikasikan ke dalam tiga kelas.
Kelas pertama dengan ketinggian 400 sampai 700 m dpl digolongkan pada
areal yang memiliki tingkat kesesuaian rendah (low suitable). Sementara itu, pada
ketinggian 700 - 1.000 m dpl memiliki tingkat kesesuaian baik (suitable). Dan pada
ketinggian 1.000
-
1.200 m dpl memiliki tingkat kesesuaian sangat baik (most
suitable).
Masing-masing kelas tersebut lalu dihitung luas arealnya (dalam satuan
hektare). Secara ringkas, alur atau metode penelitian ini bisa dilihat pada Gambar 2
berikut ini.
+
berdasarkan
kelas kesesuaian
Ekstrapolasi kontur
(400 - 1.200 m)
Ekstrapolasi
ke luas areal
Gambar 2. Skema alur penelitian yang digunakan.
poligon
curah hujan dan
kelembaban udara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Suhu Uda ra
Dari berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa di antara unsur
iklim, suhu udara merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi
pertumbuhan
dan
perkembangan
tanaman
soba.
Besarnya
suhu
udara
mempengaruhi tanaman pada berbagai fase pertumbuhan, baik vegetatif maupun
generatif.
Artinya, suhu udara berpengaruh penting pada tahap perkecambahan,
pembentukan daun, dan inisiasi organ produktif. Dengan demikian suhu sangat
berperan dalam pertumbuhan tanaman soba terkait dengan reaksi kimia dan proses
metabolisme tanaman.
Semakin optimum suhu udaranya. proses metabolisme tanaman juga
berlangsung dengan baik. Sebaliknya, jika suhu udaranya terlalu tinggi atau rendah
maka metabolisme itu akan terganggu.
Respon tanaman terhadap temperatur lingkungan tidak semuanya
memberikan hasil yang sama. Pada spesies yang berasal dari iklim berlintang
sedang, fotosintesis kotornya (bruto) berhenti pada temperatur hanya beberapa
derajat di bawah 0 OC (minimumj dan di
2tas 40
OC (maksimum), narnum memiliki
kecepatan optimum pada kisaran 20 sampai 35 "C.
Laju respirasi cenderung menjadi lemah di bawah 20 "C. Karena
metabolisme yang terganggu oleh panas pada temperatur yang lebih tinggi maka
laju itu meningkat cepat sampai pada temperatur kompensasi dimana kecepatan
respirasi sama dengan kecepatan fotosintesis net0 (fotosintesis bruto dikurangi
respirasi) terhadap temperatur sama dengan pertumbuhan keseiuruhsn.
Walaupun temperatur begitu dominan dalam menentukan pertumbuhan dan
perkembangan tananan, namun proses tersebut tidak sepenuhnya dikendalikan
temperatur. Menurut Milthorpe dan Moorby (1953), peran
cahaya juga ikut
menentukan proses pertumbuhan dan perkembangan beberapa spesies tanaman.
Hal itu ditunjukkan berdasarkan penelitian Milthorpe dan Moorby bahwa
pembentukan umbi pada kentang (Solanum tuberosum) tergantung pada peran
bersama antara temperatur, fotoperiodisme, intensitas cahaya, dan suplai nutrien.
Jadi kompleksitas rezim panas dari tanaman di dalam lingkungan alaminya
diimbangi oieh kompleksitas respon tanaman terhadap temperatur. Karena itu, agar
tanaman dapat hidup terus di daerah yang memiliki temperatur eksrtrim maka
berbagai adaptasi dilakukan.
Pendinginan tanaman-tanaman subtropis dan tropis sampai pada kisaran
temperatur 0-10 "C cenderung menyebabkan penurunan aktivitas proses
metabolisme dengan sangat cepat (terutama respirasi). Hal ini dapat mengakibatkan
kerusakan yang sangat membahayakan dan kematian dalam beberapa jam atau hari.
Kondisi tersebut sering terjadi pada vegetasi di daerah berlintang tinggi.
Bukti yang ada menunjukkan bahwa pendinginan spesies ini menyebabkan
perubahan fase (dari cair ke padat) pada lipida membran yang menyebabkan tidak
aktifhya enzim-enzim yang terikat pada membran seperti enzim di dalarn alat
pernafasan yang melekat pada membran mitokondria. Lyon (1 973) memperkirakan
bahwa proporsi yang lebih besar dari asal lemak tidak jenuh di dalam lipida
membran pada spesies iklim sedang menyebabkan membran lebih mantap (cair)
dan risiko terjadinya kerusakan pendinginan berkurang.
Secara umum tanaman daerah iklim sedang tidak peka terhadap terjadinya
ganguan akibat pendinginan temperatur di atas 0 O C dan cenderung memperlihatkan
tanda-tanda kerusakan hanya sesudah es terbentuk di dalam jaringan.
Soba sangat sensitif terhadap frost (Grubben dan Siemonsma, 1996). Hasil
penelitian Gabersci, et al. (1986) didapatkan bahwa daundaun akan mengalami
post pada saat suhu udara mencapai -2 "C hingga -3 O C . Indonesia beruntung karena
sangat jarang ada lokasi yang diselimuti suhu udara dalam kisaran tersebut.
Pada keadaan kecepatan pendinginan yang relatif rendah (kurang dari I "C
per jam), es cenderung terbentuk secara preferensial di dalam apoplast dari jaringan
tanaman sebab konsentrasi terlarut di dalam sitoplasma dan vakuola lebih besar.
Selama periode pembekuan semacam ini tidak diperpanjang dan kecepatan
pencairan tidak terlalu cepat maka pembentukan es esktraseluler tidak dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang berarti di dalam tanaman keras.
Jika es di luar sel tetap ada maka air bergerak keluar dari sel dan masuk ke
dalam apoplast. Dengan demikian jumlah es di dalam jaringan tanaman meningkat.
Akibatnya, terjadi dehidrasi secara cepat dari isi sel. Kondisi ini mengakibatkan
keadaan biokimia sitoplasma terganggu sehingga terjadi perapatan molekul-molekul
makro. Pencairan yang cepat dapat juga berpengaruh dalam mematikan
metabolisme sel.
Stres air dan stres panas umumnya dialami oleh vegetasi daerah-daerah yang
lebih kering di wilayah tropik dan subtropik. Kondisi tersebut juga bisa terjadi pada
habitat xeric (seperti bukit-bukit pasir dan tanah-tanah dangkal) di zona beriklim
sedang selama periode penerimaan radiasi yang tinggi.
Levitt (1972) pernah meneliti pengaruh temperatur tinggi pada tanaman
yang diberi air cukup. Hasilnya, pada temperatur lebih dari 45 "C minimal selama
30 menit dapat rnenyebabkan kerusakan yang berat pada daundaun tanaman di
berbagai daerah iklim. Pengaruh utarna temperatur yang tinggi adalah gangguan
terhadap metabolisme sel, rnungkin denaturasi protein. produksi zat-zat beracun,
atau kerusakan rnembran.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Grubben dan Siemonsma (1996) yang
menemukan kisaran suhu udara optimum untuk pertumbuhan soba antara 15 "C dan
25 "C. Suhu udara untuk proses fotosintesis optimum jarang dilaporkan narnun
diindikasikan berada pada kisaran 18-30 "C untuk suhu harian. Jika suhu tanah
tercatat 10 OC maka benih berkecambah setelah tujuh hari.
Pengaruh suhu terhadap fotosintesis untuk berbagai jenis tumbuhan adalah
sangat luas. Pada keadaan kelembaban tinggi dan udara tenang serta cahaya surya
cerah maka dapat meningkatkan suhu daun hingga 40 OC. Pada suhu daun yang
melebihi 37 OC, umumnya fotositensis turun dengan cepat dan berhenti pada suhu
43 "C karena mengalami kerusakan enzim.
Pada kisaran suhu toleransi, ternyata peningkatan suhu disertai dengan
penambahan kadar C02 hingga jenuh rnenunjukkan kenaikan produk fotosintesis.
Di dalam batas toleransi, kecepatan dan produksi reaksi kimia meningkat.
Demikian pula sebaliknnya, penurunan suhu reaksi akan rnenurunkan
intensitas kej a katalisator sehingga kecepatan produksi reaksi kimia menurun.
Hubungan antara suhu dan kecepatan reaksi sering dinyatakan dengan koefisien
suhu. Dari berbagai penelitian, bisa diperoleh gambaran bahwa suhu yang sesuai
untuk pertumbuhan dan perkembangan tanarnan soba berkisar 20 "C sampai 25 "C.
Di
Indonesia. kisaran suhu tersebut bisa diperoleh di dataran tinggi. Dengan
menggunakan rumus Braak, wilayah berketinggian 400 m dpl memiiiki suhu udara
rata-rata 25 OC. Pada ketinggian 1.200 rn dpl suhu udara rata-ratanya adalah 20 "C.
29W
Gambar 3. Peta wilayah Bogor dengan interval ketinggian 100 m yang diolah dari citra SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission).
Dengan menggunakan citra SRTM dan peta rupz bumi (digital) bisa diambil data
kontur (ketinggian tempat) dengan interval ketinggian 100 meter di atas permukaan
laut seperti terlihat pada Gambar 3.
Dari informasi ini lalu dipilih ketinggian yang sesuai untuk tanaman soba
yakni 400 - 1.200 m dpl. Hasilnya disajikan pada Gambar 4.
Analisis Curah Hujan dan Ktlembaban Udara
Tanaman soba ,agak sensitif terhadap kekeringan. Hal ini dikarenakan
perkembangan sistem perakaran yang minim. Jika terjadi kekeringan dan suhu yang
tinggi selama pembungaan berlangsung. akan menyebabkan pengisian biji terhalang
dan ukuran biji yang dihasilkan menjadi kecil-kecil.
Walaupun demikian, soba juga lebih tahan terhadap kekeringan jika
dibandingkan dengan tanaman serealia lainnya. Gorski (1986) menyatakan bahwa
periode kritis yang sensitif terhadap stress air adalah pada saat pembungaan.
Selama siklus pertumbuhan tanaman, adanya hujan akan meningkatkan
pertumbuhan vegetatif tetapi menghalangi proses reproduksi terutama pengisian
biji, dan juga menghambat proses penyerbukan oleh serangga (Grubben dan
Siemonsma, 1996).
Pola curah hujan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5. Terlihat
bahwa di kedua lokasi (Bogor dan Cianjur) pada ketinggian antara 400 sampai
1.200 m dpl memiliki curah hujan yang tinggi, yaitu 3.600 sampai 5.000 mm per
tahun. Sementara itu, bulan basah di lokasi penelitian tercatat 10 sampai 12 bulan
dan bulan kering 0 hingga 2 bulan.
Hal serupa juga dialami dataran tinggi lainnya di Jawa Barat seperti di
Kabupaten Sukabumi, Garut, Sumedang, Bandung, dan Tasikmalaya. Menurut
Matindas et al. (2004), curah hujan di dataran tinggi di Jawa Barat tergolong tinggi.
Dengan demikian ketersediaan air tanah bukan menjadi faktor pembatas
terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman soba. Curah hujan merupakan
faktor peubah (driving variable) yang menentukan ketersediaan air bagi tanaman.
Kebutuhan air tanaman berkisar antara 60 mm pada awal pertumbuhan sampai 120
mm pada pertumbuhan paling aktif.
Gambar 5. Pola curah hujan tahunan di lokasi penelitian (Sumber: Bakosurtanal dan BMG, 2004).
Berdasarkan analisis pada peta land system maka areal Bogor dan Cianjur
termasuk dalam land system Bogor. Jenis tanahnya didominasi oleh latosol
(Dystropepts) dengan kedalaman tanah lebih dari 150 cm. Tingkat keasaman (pH)
tanah pada lapisan atas (top soil) tercatat 5,6 - 6,O sedangkan pH pada lapisan sub
soil 6,l
- 6,15.
Drainase tanahnya juga tergolong baik. Sehingga curah hujan yang tinggi
tidak menimbulkan genangan. Jika dilihat dari faktor ini, soba cocok ditanam di
lokasi tersebut. Sebaliknya, soba tidak akan tumbuh dengan baik pada kondisi tanah
yang mudah tergenang.
Begitu juga dengan kelembaban udara (RH). Baik di Bogor maupun Cianjur
memiliki RH rata-rata yang sesuai, yakni 75%
- 85%. Menurut (Gabersci et a].,
1986), RH optimal bagi tanaman soba adalah sekitar 60% - 80%.
Secara menyeluruh, di seluruh dataran tinggi di lndonesa memiliki kisaran
RH yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan soba. Kisaran RH di berbagai
wilayah itu berada mulai dari 60% sampai 90%.
Dengan demikian RH bukan merupakan faktor pembatas bagi soba di kedua
wilayah tersebut. Hal itu penting karena RH merupakan salah satu unsur iklim yang
berpengaruh dalam proses pembungaan tanaman, khususnya pada proses persarian.
Data selengkapnya bisa dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Kondisi kelembaban udara (RH) tahunan di berbagai lokasi di Indonesia (Sumber: Bakosurtanal dan BMG, 2004).
Analisis Kesesuaian Iklim
Berdasarkan data digital SRTM dan bantuan software Global Mapper, lokasi
penel itian disaj ikan pada Gambar 7. Berdasarkan analisis peta rupabumi (digital)
dan peta sistem lahan dengan menggunakan Arc Info dan ArcView GIs 3.3 maka
luas lahan yang sesuai untuk budidaya soba pada ketinggian 400 sampai 1.200 m
dpl di Bogor dan Cianjur adalah sekitar 296.927 ha (lihat Gambar 8).
Berdasarkan penel itian Sangadji (200 I), tanaman soba yang ditanam di
Cianjur pada ketinggian 1.150 m di atas permukaan laut (dpl) menunjukkan h a i l
yang berbeda dengan yang dibudidayakan di Bogor dengan ketinggian tempat
sekitar 400 m dpl.
Panen soba di Bogor berkurang sebesar 42,89% dari Cianjur. Atau kalau
dikuantitatifkan nilainya sebesar 1,47 tonlha di Bogor dan 2,85 tonha) di Cianjur.
Namun demikian, hasil terendah soba yang ditanarn di Bogor itu masih lebih tinggi
daripada hasil soba rata-rata dunia (0,898 ton per ha).
Menurut Koesmaryono, Sangadji, dan June (2002), berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan di Cianjur (1.150 m dpl) dan Ciawi, Bogor (400 m dpl)
menunjukkan bahwa suhu dasar tanaman soba untuk fase tanam hingga muncul
bunga sebesar 5,17 "C, bunga mekar (5,39 OC), muncul biji hijau (4,69 OC), dan
masak atau panen (5,06 "C). Rata-rata suhu dasar hasil perhitungan untuk seluruh
fase pertumbuhan tanaman soba sebesar 5 "C.
Sementara itu, masih menurut penelitian tersebut, akumulasi panas tanaman
soba untuk periode fase tanam hingga perkecambahan sebesar 76,7 hari "C, muncul
bunga (264,3 hari "C), bunga mekar (434,8 hari OC), muncul biji hijau (5 13,3 hari
"C), dan hingga panen (848,7 hari OC).
Gambar 7. Citra SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) dengan profil tiga dimensi.
S
KETERANGAN
Jaringan jalan
Aliran sungai
LUAS KAWASAN :
DIATAS 1200 rn DPL = 32.312 ha
400 - 1.200 M DPL = 296.927
Gambar 8. Peta kesesuaian iklim untuk tanaman soba di Bogor dan Cianjur.
Berdasarkan analisis kesesuaian iklim maka luas untuk masing-masing
ketinggian di Bogor adalah sebagai berikut (lihat Gambar 9). Untuk ketinggian 400
sampai 700 m dpl (kelas kesesuaian rendah atau low suitable) seluas 50.6 10 ha.
Areal ini memiliki interval suhu udara rata-rata antara 23,2 "C dan 25,l "C.
Pada areal semacam ini soba masih bisa dibudidayakan walaupun memi liki
tingkat panen biji yang rendah, baik kualitas maupun kuantitasnya. Namun
demikian, pembudidaya bisa memanfaatkan daun soba untuk kebutuhan industri
kosmetik. Hal itu sudah dilakukan di negara maju.
Begitu pula dengan bij i soba. Menurut pengalaman beberapa orang, biji
yang ditumbuk dan diberi air hangat ternyata bisa dimanfaatkan untuk obat penurun
tekanan darah tinggi. Kulit luar soba juga bisa dimanfaatkan untuk pengisi bantal
(pillow).
Sementara itu, ketinggian 700 sampai 1.000 meter (kelas kesesuaian baik
atau suitable) seluas 35.995 ha. Kawasan tersebut memiliki kisaran suhu udara ratarata antara 2 1,4 "C dan 23,2 "C.
Untuk ketinggian 1.000 sampai 1.200 meter (kelas kesesuaian) sangat baik
atau most suitable) seluas 20.229 ha. Areal itu memiliki kisaran suhu udara rata-rata
antara 20,2 "C dan 21,4 "C. Sayangnya, pada kawasan terbaik ini penggunaan
lahannya didominasi oleh vegetasi hutan.
Soba yang dibudidayakan pada ketinggian seperti ini ideal jika tepungnya
dimanfaatkan untuk industri pangan dengan harga jual yang tinggi. Selain sebagai
mie soba, tepung soba juga bisa dimanfaatkan untuk membuat roti dengan nilai gizi
yang tinggi. Dengan demikian, pembudidaya soba di dataran tinggi tersebut bisa
mendapatkan nilai tambah (added value) yang tinggi dari hasil utsma panenya
dalam bentuk biji (tepung).
Keterangan:
400
-
700 m dpl
700 - 1.000 m dpl
1.000
-
-
1.200 m dpl
_.__-
Gambar 9. Peta kesesuaian iklim untuk tanaman soba pada berbagai ketinggian di Bogor. Warna biru mewakili
ketinggian 400-700 m dpl dengan kelas kesesuaian rendah (low suitable), warna ungu (700-1.000 m dpl) tergolong baik
(suitable), dan warna hijau (1.000-1.200 m dpl) punya kesesuaian sangat baik (most suitable).
Berdasarkan penelitian ini maka kawasar? Bogor dan Cianjur berpotensi
untuk budidaya soba. Luas areal di kedua kawasan tersebut yang sesuai berdasarkan
iklim (suhu udara, curah hujan, dan kelembaban udara) untuk budidaya soba sekitar
296.927 ha.
Semakin tinggi tingkat kesesuaian wilayahnya (most suitable) maka luas
daerahnya semakin rendah. Berdasarkan informasi dari peta rupa bumi, penggunaan
tata guna lahan pun pada ketinggian di atas 1.000 m dpl didominasi oleh hutan.
Oleh sebab itu, membudidayakan soba secara massal bisa dilakukan dengan
cara fallow system. Artinya, pola tanam sayur-sayuran yang selama ini
dibudidayakan petani dataran tinggi bisa digilir dengan menanam soba yang hanya
berumur sekitar dua bulan. Misalnya, dalam satu tahun masa tanam, soba bisa
ditanam di antara kentang atau sayuran lainnya.
Pola tanamam seperti ini, selain bisa memutus rantai hama dan penyakit
pada sayur-sayuran tersebut, petani juga mendapatkan hasil panen soba dengan nilai
jual lebih tinggi daripada sayur-sayuran. Hal ini juga untuk mencegah masyarakat
agar tidak membuka lahan baru dengan cara membabat hutan.
Jika diasumsikan 10 persen dari luas lahan yang sesuai itu bisa dipakai maka
luas potensi rii
.-
(Fagopyrum esculentum) DI WILAYAH BOGOR DAN CKANJUR
BUDIMAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTARTIANBOGOR
BOGOR
2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORNLASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kesesuaian lklim
Tanaman Soba (Fagopyrum esculentum) di Wilayah Bogor dan Cianjur adalah
karya saya sendiri. Tesis tersebut belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Budiman
NIM G25 1030021
ABSTRACT
BUD1 MAN. Analysis of Agro Climatic Zoning for Buckwheat (Fagopyrum
esculentum) in Bogor and Cianjur Area.
The growth and development of buckwheat (Fagopyrum esculentum
Moench) were greatest influenced by air temperature. Seasonal variations suggest
that temperature is one of the important factors for seed set. The optimum
temperature for seed set in buckwheat is 18 OC. The objective of this experiment is
to analysis agroclimate zoning for buckwheat in Cianjur and Bogor area which its
have air temperature about 20-25 OC that suitable for buckwheat. The areas are
situated possibly at 400 up to 1,200 meter above sea level. Analysis of agro climatic
zoning for buckwheat in Bogor and Cianjur area used Arc Info and ArcView GIs
3.3 software. Climate factors of temperature, water, and relative humidity for
growth and development of buckwheat have been analyzed. The results suggest that
wide areas of altitudes of 400-1.200 m above sea level is covered about 296,927
hectares. Particularly, after detail analysis for Bogor area it can be determined that
total of areas of low suitable for growth and development of buckwheat (400-700
m) is 50,610 ha, suitable (700-1.000 m) is 35,995 ha, and most suitable (1.000-
1.200 m) is 20,229 ha.
Keyword: agro climatic zoning, buckwheat, optimum temperature
RINGKASAN
B U DIM AN. Anal isis Kesesuaian I kl im Tanaman Soba (Fagopyrum esculentum) di
Wilayah Bogor dan Cianjur.
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman soba (Fagopyrum esculenfum)
sangat ditentukan oleh suhu udara. Di antara faktor iklim, suhu udara merupakan
factor penting dalam menghasilkan biji soba. Suhu udara rata-rata optimum untuk
budidaya soba sekitar 18 OC. Tujuan dari percobaan ini adalah menganalisis daerahdaerah yang secara iklim sesuai untuk budidaya soba .pads berbagai ketinggian di
Bogor dan Cianjur yang memiliki suhu udara rata-rata 20-25 OC. Analisis keseuaian
iklim soba di kawasan tersebut menggunakan peranti lunak Arc Info dan Arc View
GIs 3.3. Faktor-faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
soba seperti suhu udara, ketersediaan air, dan kelembaban udara (RH) juga
dianalisis. Hasilnya, menunjukkan bahwa luas areal di Bogor dan Cianjur dengan
ketinggian 400 - 1.200 m dpl tercatat sekitar 296.927 hektare. Khusus untuk Bogor
dilakukan analisis yang lebih detil yakni luas areal yang memiliki kesesuaian
rendah (low suitable) untuk pertumbuhan dan perkembangan soba (400-700 m dpl)
adalah 50.610 ha, yang sesuai atau suitable (700-1.000 m dpl) sekitar 35.995 ha,
dan yang paling sesuai atau most suitable (1.000-1.200 m ) seluas 20.229 ha.
Kata kunci:kesesuian iklim tanaman, soba, suhu udara optimum
ANALISIS KESESUAIAlV IKLIM TANAMAN SOBA
(Fagopyrum esculentum) DI WILAYAH BOGOR DAN CIAlYJUR
BUDIMAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul Tesis
: Analisis Kesesuaian Iklim Tanaman Soba
(Fagopyrum esculentum) di Wilayah Bogor dan Cianjur.
Nama
: Budiman
: G25 1030021
No. Pokok
Program Studi : Agroklimat
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Dr. Aris Poniman K
Anggota
Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS
Ketua
Diketahui:
Ketua Program Studi Agroklimat
Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey
Tanggal ujian: 2 Februari 2006
a Manuwoto, M.Sc
0 8 FEB 2006
Tanggal lulus: .........................
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah pada 29 Maret 1967 dari ayah
Soerachmad Siswodihardjo (aim.) dan Sulis Djuwarti. Penulis merupakan putra
kelima dari tujuh bersaudara. Menikah dengan Mardiatul Aini, penulis dikaruniai
empat putri; Nada Salsabila, Novsa Fakhira, Tania Adila, dan Raisa Pitas Malay.
Penulis lulus dari SMA Negeri Bangsri, Jepara dan melanjutkan studi ke
Program Studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB
pada 1986. Gelar sarjana diperoleh penulis pada 1992. Pada Agustus 2003 penulis
melanjutkan studinya di Sekolah Pascasarjana Agroklimatologi IPB dan meraih
gelar magister sains pada Februari 2006.
Sebelumnya, atas beasiswa dari Asia Foundation dan Harian Kornpas pada
1992 penulis mengikuti pendidikan Program Pascasarjana Jurnalistik di Lembaga
Pers Dr. Soetomo (LPDS) selama 13 bulan. Penulis memulai karir sebagai
wartawan di Suara Pembaruan pada 1993. Di koran sore tersebut, penulis pernah
menjadi Redaktur Iptek, Lingkungan Hidup, Teknologi Informasi, dan Otomotif.
Sebagai wartawan Iptek, penulis telah meliput berbagai ekspedisi,
konferensi, dan seminar baik berskala nasional maupun internasional seperti di
Oslo, Ottawa, Toronto, I,os Angeles, Melbourne, Sidney, Hobart, Pinang, Kuala
Lumpur, Beijing, Tokyo, Kyoto, Bangkok, dan Singapura.
Penulis memenangkan sebanyak 18 lomba karya tulis. Atas prestasi itu,
penulis menerima penghargaan dari IPB, Universitas Gadjah Mada (UGM),
Universitas Brawijaya (Unibraw), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek), Badan Pengkajian dan Penerapan
Tehologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan),
Bakosurtanal, RCTI, PT USIIIBM, serta Majalah Info Komputer. Penulis juga
pernah menerima Coastal Award (2002) serta Mina Bahari Press Award (2003 dan
2005) dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Di tengah-tengah kesibukannya sebagai wartawan, penulis juga menuiis dan
menyunting sebanyak 26 buku. Buku terbaru yang ditulis adalah Tsunami dan Iptek
Menguak Laut Indonesia (terbit Januari 2006). Penulis juga kerap menjadi Dewan
Juri berbagai lomba karya tulis ilmiah populer.
Saat ini penulis juga aktif sebagai Ketua I Masyarakat Penulis Ilrnu
Pengetahuan dan Teknologi (Mapiptek) serta salah satu pendiri Kornunitas
Wartawan Kelautan dan Perikanan (Komunikan).
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang
dilaksanakan sejak Februari 2005 ini adalah mencari daerahdaerah yang sesuai
secara iklim untuk pengembangan tanaman soba, dengan judul Analisis Kesesuaian
Iklim Tanarnan Soba (Fagopyrum esculentum) di wilayah Bogor dan Cianjur.
Karya ilmiah ini bisa diselesaikan juga berkat bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS dan Bapak Dr. Aris Poniman
selaku pembimbing. Ucapan yang sama juga penulis haturkan kepada Bapak Ir.
Heny Suharsono, MSi yang bersedia menjadi Dosen Penguji dan Kepala Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Bapak Ir Rudolf
Wennemar Matindas, MSc yang telah memberi fasilitas penelitian.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin
Dahuri, Bapak Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Indroyono
Soesilo atas berbagai masukan ilmiahnya. Juga mantan Pemimpin Redaksi Suara
Pembaruan Bapak Bondan Winarno yang telah memberi izin kepada penulis untuk
melanjutkan studi ke jenjang magister (S2). Hsl sempa juga penulis sampaikan
kepada Chief Executive Officer (CEO) PT Media Interaksi Utama Bapak Wim
Tangkilisan, pimpinan beserta rekan-rekan di Suara Pembaruan seperti Marcelius
Widiarto, Marthen Selamet Susanto, dan Yohana Ririhena, yang telah memberi
dorongan dan masukan berharga.
Di samping itu, penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir.
Nunvajedi, MSc dan Bapak Dr. Ir. Fahmi Amhar dari Bakosurtanal yang telah
rnembantu selama pengumpulan dan pengolahan data. Begitu juga dengan para
sahabat dan saudara antara lain Slarnet Widayadi, Sanny MK, Untung Widyanto,
Pandu Meilaka, Wiko Raharjo, Achmad Sarmili, Dini Kartika dan A. Akhadiat.
Ungkapan terima kasih juga penulis tujukan kepada ayah (alm), ibu, seluruh
saudara, istri, dan keernpat putri penulis atas segala doa dan kasih sayangnya.
Sernoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2006
Budiman
DAFTAR IS1
Halaman
...................................................................... vii
...
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR
....................................................................... 1
Latar Belakang ......................................................................... 1
Tujuan Penelitian ....................................................................... 2
PENDAHULUAN
...................................................................
Karakteristik dan Habitat Soba ......................................................
Produktivitas Soba di Berbagai Negara .............................................
Respon Soba Terhadap Suhu Udara .................................................
TINJAUAN PUSTAKA
Pengaruh Kelembaban Udara. Angin. dan Radiasi Surya
3
3
5
6
........................ 11
..................................................................13
Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 13
Bahan dan Alat ......................................................................... 13
Metode ...................................................................................14
BAHAN DAN METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
........................................................... 16
Analisis Suhu Udara ......................................................................................16
Analisis Curah Hujan dan Kelembaban Udara ................................................. 23
Analisis Kesesuaian Iklim ................................................................................. 27
KESIMPULAN ......................................................................... 33
Kesimpulan .......................................................................... 33
Saran
..................................................................................... 33
...................................................................... 35
LAMPIRAN ................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bentuk fisik tanaman soba (Fagopyrum esculentum Moench) besertabagian-bagiannya. (Sumber: Gillie'sa vegetarian delight.
http://www.collegiate-times.com dan Made in Japan.
http://businesstimes.asia 1 .corn)..............................................................
2. Skema alur penelitian yang digunakan....................................................
3. Peta wiiayah Bogor dengan interval ketinggian 100 m yang diolah dari
SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission)..........................................
4. Analisis kontur di beberapa kabupaten dan kotarnadya (Kodya) di Jawa
Barat berdasarkan data SRTM.................................................................
5. Pola curah hujan tahunan di lokasi penelitian (Sumber: Bakosurtanal
dan BMG, 2004).......................................................................................
6. Kondisi kelembaban udara (RH) tahunan di berbagai lokasi di Indonesia
(Sumber: Bakosurtanal dan BMG, 2004..................................................
7. Citra SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) dengan profil tiga
dimensi.....................................................................................................
8. Peta kesesuaian iklim untuk tanaman soba di Bogor dan Cianjur............
9. Peta kesesuaian iklim untuk tanaman soba pada berbagai ketinggian di
Bogor. Wama biru mewakili ketinggian 400-700 m dpl dengan kelas
kesesuaian rendah (low suitable), warna ungu (700- 1.000 m dpl) tergolong baik (suitable), dan warna hijau (1.000-1.200 m dpl) punya
kesesuaian sangat baik (most suitable).....................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta Rupa Bumi lndonesia daerah Ciawi (Sumber: Bakosurtanal, 2004). ..
39
2. Peta Rupa Bumi lndonesia daerah Bogor (Sumber: Bakosurtanal, 2004). ..
40
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia membutuhkan tepung gandum dalam jumlah tinggi dan terus
meningkat. Hal ini disebabkan selain jumlah penduduk bertambah banyak, juga
gaya hidup masyarakat Indonesia terhadap berbagai makanan berbahan baku
gandum (seperi mie dan roti) kian bertambah. Semua pasokan gandum itu diperoleh
dengan cara mengimpor dari berbagai negara seperti Amerika Serikat dan Australia.
Menurut catatan Departemen Pertanian, impor gandum pada tahun 2005
mencapai sekitar 4,5 juta ton. Angka itu cenderung meningkat dari tahun-tahun
sebelumnya seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pola gaya hidup tadi.
Upaya mengurangi ketergantungan terhadap impor gandum yang hingga
kini masih 100% didatangkan dari luar negeri itu temyata tidak mudah. Dari
berbagai penelitian yang dilakukan di Indonesia, temyata gandum tidak bisa
dibudidayakan secara komersial (menguntungkan). Sebab, faktor-faktor iklim,
khususnya suhu udara, di berbagai wilayah di Indonesia
tidak sesuai untuk
pertumbuhan tanaman gandum.
Salah satu alternatif mengatasi ketergantungan impor gandum adalah
dengan mengembangkan tanaman penghasil tepung yang berasal dari bukan
gandum, yakni dengan membudidayakan tanaman soba (Fagopyrum esculentum).
Selain mengandung banyak protein (12,3%) dan karbohidrat (73,3%), soba juga
berhasil dibudidayakan di beberapa wilayah dataran tinggi di Indonesia.
Salah satu faktor iklim yang menjadi pembatas bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman soba adalah suhu udara. Berbagai kajim sebel~lm~iya
menunjukkan, st-lhu d a r a rats-rata yang cptimal bagi budiciaya solib adalah 18 "C.
Jika soba ditanam pada kondisi suhu udara rata-rata di atas 25 "C, tidak akan
menghasilkan panen yang menguntungkan pembudidaya. Itu artinya, suhu udara
rata-rata optimal bagi budidaya soba akan tercapai pada areal yang memiliki dataran
tinggi (daerah pegunungan).
Menurut penelitian Sangadji, S (2001), soba yang ditanam di dua wilayah
Jawa Barat yakni di Cianjur pada ketinggian 1.150 meter dari permukaan laut (dpl)
dan Ciawi, Bogor pada ketinggian 400 meter dpl menunjukkan hasil panen yang
signifikan. Bahkan hasil terendah dari penelitian tersebut masih lebih tinggi
daripada hasil rata-rata dunia yang berkisar 0,989 ton per hektare.
Hasil panen itu merupakan terobosan sekaligus menjadi harapan baru bagi
petani yang bakal membudidayakan soba di dataran tinggi di Indonesia. Dengan
demikian, langkah awal yang perlu dilakukan untuk membudidayakan soba secara
komersial adalah dengan mencari daerahdaerah yang secara iklim sesuai bagi
pertumbuhan dan perkembangan soba.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis daerahdaerah yang secara
iklim sesuai untuk budidaya soba pada berbagai ketinggian di Bogor dan Cianjur.
Luarannya adalah perhitungan luas potensi dari masing-masing daerah kesesuaian
tersebut untuk budidaya soba.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik dan Habitat Soba
Tanaman soba (lihat Gambar 1) memiliki batang dan cabang yang sukulen,
daunnya berbentuk hati dan bijinya membentuk sudut tringular. Tanaman soba
merupakan tanaman semusim yang tumbuh tegak dengan tinggi 0,3 - 1,2 m, berakar
tunggang, serta memiliki beberapa cabang dan hanya memiliki satu batang utama.
Soba memerlukan masa tanam 10 - 12 minggu atau 70
- 84 hari
(Grubben dan
Siemonsma, 1996).
Gambar 1. Bentuk fisik tanaman soba (Fagopyrum esculentum Moench) beserta
bagian-bagiannya.
(Sumber:
Gillie'sa
vegetarian
delight.
http://www.collegiate-times.com
dan
Made
in
Japan.
http://businesstimes.asial .corn).
Tanaman soba merupakan tanaman herbaceous, yang secara taksonomi
dapat
diklasifikasikan
Angiospermae,
Sub
sebagai
Kelas:
berikut:
Divisi:
Dicotyledonae, Ordo:
Spermatophyta,
Kelas:
Caryophyllae,
Famili:
Polygonaceae, Genus: Fagopyrum, dan Spesies: Fagopyrum esculentum Moench.
Tanaman soba berasal dari Yunnan dan Sichuan yang terletak di daratan
Cina bagian barat dan tengah (Edwardson, 1996). Hingga kini soba sudah
dibudidayakan di berbagai negara. Menurut FA0 (1999), negara tempat budidaya
tanaman soba terluas adalah Rusia diikuti oleh Cina, Brasil, Polandia, AS, Jepang,
dan Kazakhstan.
Di negara-negara tersebut, tanaman soba berperan penting dalam
rasionalisasi pertanaman untuk ekologi pertanian (Wei, 1995). Negara-negara
pengekspor soba antara lain adalah Cina, AS, Kanada, Rusia, dan Brasil. Sedangkan
negara pengimpor terbesar adalah Jepang, yang mengimpor hampir 80% dari
kebutuhan setahunnya.
Tingginya konsumsi soba di dunia sebenarnya tidak terlepas dari kandungan
gizi yang terkandung di dalam bijinya. Berbagai penelitian menunjukkan, soba
memiliki gizi yang bermanfaat untuk kesehatan. Karena itu soba bisa dimanfaatkan
sebagai bahan makanan bergizi yang dapat digunakan dalam berbagai bentuk
seperti mie, kue, roti, dan lain sebagainya.
Menurut Edwardson (1996), biji soba mengandung protein sebesar 12,3%,
karbohidrat (73,3%), lemak (2,3%), serat (10,9%), dan abu (2,1%). Selain itu, soba
juga mengandung vitamin P, B1, dan B2. Komposisi asam amino esensial terdiri
dari arginine 0,90%, histidine 0,33%, isoleucine 0,46%, leucine 0,84%, lycine
0,77%, methionine 0,19%. phenylalanine 0,56%, threonine '0,49%, dan valine
0,60%.
Jika dibandingkan dengan beras, soba juga bisa diandalkan. Dengan kata
lain, soba merupakan salah satu tanaman penghasil tepung yang dapat
menggantikan beras. Tepung soba memiliki kandungan karbohidrat yang lebih
tinggi (sekitar 77,5%) sedangkan beras hanya 51,9%. Sementara itu, untuk
kandungan proteinnya 6,4% dan lemak 1,2%. Sedangkan pada beras, proteinnya
berjumlah 8,6% dan lemak 6,1% (USDA, 1997 dalam Irawati 2000).
Produktivitas Soba di Berbagai Negara
Menurut Badan Pangan dan Pertanian Dunia atau FA0 (1999), produktivitas
panen soba rata-rata dunia mencapai 0,898 ton per hektare. Hasil panen terendah
tercatat sekitar 0,459 ton per ha di Rusia dan tertinggi bisa mencapai 2,568 ton per
ha di Prancis.
Hasil panen biji tanarnan soba yang ditanam di Nepal pada beberapa
ketinggian seperti dilaporkan oleh Yoshida, et al. (1997). Mereka membudidayakan
soba di berbagai ketinggian antara 2.300 sampai 2.650 m dpl. Hasilnya, panen
tertinggi dicapai pada ketinggian 2.650 m dpl dengan produktivitas antara 1,25 1,50 todha. Sedangkan pada ketinggian 2.300 m panen yang didapat sebesar 0,53 0,6 tonlha.
Menurut penelitian Sangaji (2001), tanarnan soba yang ditanam di Cianjur
pada ketinggian 1.150 m dpl menunjukkan hasil yang berbeda dengan yang
dibudidayakan di Bogor yang memiliki ketinggian tempat sekitar 400 m dpl.
Ternyata soba yang ditanam di Cianjur lebih tinggi hasil panennya ketimbang di
Bogor. Masih menurut penelitian tersebut, rata-rata bobot biomassa per meter
persegi di Bogor berkurang sebesar 42,89% dari Cianjur. Atau kalau
dikuantitatifkan nilainya sebesar 53 1,6 gram (di Bogor) dan 930,s g (di Cianjur).
Begitu juga dengan bijinya. Biji soba yang ditanam di Bogor menghasilkan
sekitar 146,6 g per m2 atau turun sebesar 48,54% dari yang ditanam di Cianjur
dengan hasil 284 g per m2 . Namun demikian, hasil terendah soba yang ditanam di
Bogor itu masih lebih tinggi daripada hasil soba rata-rata dunia (0,898 ton per
hektare).
Di Cianjur, waktu tanam pada 27 Mei relatif lebih baik daripada 27 April
dan 27 Juni. Sedangkan di Bogor, waktu tanam 27 April cenderung paling baik
dibandingkan dengan waktu tanam lainnya.
Sementara itu, di Cianjur populasi 160 tanaman per m2 merupakan populasi
terbaik karena menghasilkan panen tertinggi. Sedangkan soba yang ditanam di
Bogor dengan populasi 200 tanaman per m2 menghasilkan hasil panen tertinggi.
Hasil penelitian Chodijah (2000), soba yang ditanam pada ketinggian
sekitar 1.150 m dpl menghasilkan biji sebesar 3,26 tonha. Penelitian lain juga
dilakukan Masyithah (2001) di Ciawi pada ketinggian 415 m dpl. Hasil panen biji
soba dengan berbagai perlakukan berkisar 1,722 tonha sarnpai 4,309 tonha.
Respon Soba Terhadap Suhu Udara
Suhu merupakan saiah satu indikasi jumlah energi yang terdapat dalam
suatu sistem atau massa. Suhu secara makroskopi berarti tingkat atau derajat
kepanasan suatu benda. Panas akan berpindah dari titik yang bersuhu tinggi ke titik
yang bersuhu rendah.
Setiap jenis tumbuhan membutuhkan suhu aktif dan optimal dalam kisaran
sesuai dengan prinsip reaksi kimia, demikian juga dalam proses metabolisme (Bey
dan Las, 1991). Pengaruh suhu pada tanaman terlihat pacla laju perkembangan
tanaman seperti perkecambahan, pembentukan daun, dan inisiasi biji. Suhu
lingkungan dipengaruhi oleh variasi diurnal, musirnan, angin, kedudukan tajuk,
tinggi tajuk di atas tanah, dan ukuran daun (Baharsjah, 1991).
Menurut Fitter dan Hay (1981), adalah sulit menetapkan secara tepat antara
proses-proses pada tanaman dan temperatur. Hal itu disebabkan variabilitas yang
esktrim dari temperatur tanah dan udara. Suhu daun rnisalnya tergantung pada enam
faktor; waktu (variasi reguler sepanjang hari), bulan (variasi reguler musiman),
keawanan dan kecepatan angin (variasi irreguler jangka pendek), posisi kanopi
(misalnya daun yang terkena sinar matahari dan daun yang ternaungi ketinggian
lahan serta dimensi daun).
Salisbury dan Spomer (1964) pernah mengkaji mengenai suhu akar
Menurutnya, suhu akar dipengaruhi oleh empat faktor; (a) waktu harian, (b) bulan
(musiman), (c) kedalaman di bawah permukaan tanah, serta (d) sifat tanah yang
menentukan absorbsi dan transmisi panas (terutama kelembaban tanah, kerapatan
massa, dan sifat permukaan tanah).
Akibatnya, kanopi daun dan profil tanah merupakan suatu mosaik yang
kompleks dari rejim panas yang berfluktuasi dengan cepat. Variabilitas ini
menyebabkan sangat sulit melakukan penelitian pengaruh temperatur pada proses
fotosintesis di lapangan.
Pendapat itu dibenarkan Pigott (1975) dan Wassink (1972). Menurutnya,
kesulitan tersebut menyebabkan kesulitan lebih besar lagi dalam riset jangka
panjang dimana kecepatan pertumbuhan tanaman tergantung pada satu atau lebih
parameter panas seperti temperatur rata-rata, temperatur minimum dan maksimum,
serta jumlah penimbunan panas di atas nilai ambang sepanjang tahun atau satu
periode kritis yang pendek.
Pisek, et al. (1973) behasil menggambarkan respon laju pertumbuhan
tanaman terhadap tiga suhu kardinai (suhu minimum. suhu optimum, dan suhu
maksimum. Peningkatan temperatur akan mempengaruhi proses biokimia dalam
dua cara.
Pertama, dengan naiknya temperatur sel tanaman maka kecepatan pegerakan
(vibrasi, rotasi, dan translasi) dari molekul-molekul yang bereaksi semakin
bertambah. Hal itu menyebabkan tabrakan antarmolekul semakin sering dan laju
reaksi juga kian cepat. Kedua, dengan naiknya temperatur (hingga ke suhu
maksimum), peningkatan rangsangan molekuler cenderung merusak struktur
jaringan dan menurunkan aktivitas enzim dan laju reaksi hingga akhirnya sel-selnya
mati.
Setiap tanaman juga memiliki respon yang berbeda terhadap suhu
lingkungan, baik pada fase vegetatif maupun generatif. Soba adalah tanaman hari
pendek dan netral. Suhu udara dan penyinaran merupakan faktor ekologi penting
yang berhubungan dengan distribusi varietas. waktu tanam, dan lokasi
penanamannya. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman soba sangat dipengaruhi
oleh kondisi suhu udara (Chai Yan, et al., 1995).
Suhu udara menentukan berbagai tingkat pertumbuhan tanaman, dari segi
fisiologis, pertumbuhan vegetatif dan generatif, hingga pemasakan biji. Suhu udara
berpengaruh langsung pada proses fotosintesis, respirasi, permeabilitas dinding sel,
absorbsi air dan hara transpirasi, aktivitas enzim, serta koagulasi protein.
Setiap jenis tanaman membutuhkan suhu aktif dan suhu optimal pada
kisaran tertentu. Suhu yang ekstrim tinggi dan ekstrim rendah berakibat fatal bagi
pertumbuhan tanaman. Pada suhu ekstrim tinggi, menyebabkan antara lain
terjadinya desikasi jaringan yaitu kekeringan daun akibat kepanasan, ataupun
kelayuan akibat tingginya laju transpirasi. Sedangkan pada suhu ekstrim rendah
mengakibatkan bahaya frost (chilling injuri) dan kehampaan yang tinggi pada
tanaman biji-bijian (Bey dan Las, 1991).
Suhu udara mempengaruhi kestabilan sistem enzim. Pada suhu optimum,
sistem enzim berfungsi baik dan tetap stabil untuk waktu yang lama. Pada suhu
yang lebih rendah, sistem enzim tetap stabil tetapi tidak berfungsi. Sementara itu,
pada suhu tinggi maka sistem enzim mengalami kerusakan.
Suhu mempunyai pengaruh kuat pada reaksi biokimia dan fisiologi tanaman,
juga menentukan tingkatan tugas tanaman seperti absorbsi unsur hara dan air.
Fotosintesis lebih lambat pada suhu rendah dan akibatnya laju pertumbuhan lebih
lambat.
Perkembangan tanaman soba dari penanaman hingga pembentukan bunga
merupakan fungsi suhu. Suhu optimum selama pembungaan soba adalah 10 OC,
pembungaan sampai pemasakan 14 O C dan suhu optimum untuk pemasakan biji 18 10 "C (Gorski, 1986).
Sementara itu, Slawinska dan Obendorf (2001) melakukan penelitian
tentang soba yang ditanam di rumah kaca di New York, Amerika Serikat yang bisa
diatur suhu udaranya. Hasilnya, panen tertinggi terapai pada kondisi suhu udara
rata-rata 18 OC.
Sebelumnya, Funatsuki, et al. (2000) juga melakukan penelitian di di
Hokkaido Jepang pada tahun 1997 dan 1998. Menurutnya, suhu udara yang lebih
rendah dari suhu optimumnya (di bawah 18 "C) menyebabkan pertumbuhan dan
pemasakan biji soba lebih lambat. Sebaliknya, pada suhu udara rata-rata yang
berada pada kisaran suhu optimumnya, tanaman soba memiliki respon positif
terhadap pertumbuhan dan pemasakan bulir.
Menurut penelitian itu, soba yang ditanam pada pertengahan Agustus 1997
menghasilkan pemasakan bulir yang lebih lama dibandingkan bulan yang sama
pada 1998. Hal itu disebabkan suhu udara rata-rata pada 1997 (13,5 "C) lebih
rendah dibandingkan pada 1998 (18,2 OC).
Walaupun soba yang ditanam pada 1997 mengalami keterlambatan
pemasakan bulir dibandingkan dengan 1998, namun pada 1997 soba tumbuh 7-10
hari lebih awal daripada 1998. Penyebabnya, suhu udara rata-rata pada awal masa
tanam 1997 sampai dengan awal pengisian bulir lebih tinggi daripada perlakukan
masa tanam 1998. Mereka juga menemukan bahwa pada masa tanam 1998 panen
soba yang dihasilkan lebih bagus dibandingkan pada 1 997.
Suhu juga mempengaruhi karakteristik pertumbuhan kultivar dan hasil
(Feng Shanhai, et al., 1995). Menurut Gorski (1986), suhu optimum selama
pembungaan adalah 10 OC, antara pembungaan dan pemasakan berkisar 14 OC, dan
untuk pemasakan adalah 18-19 OC.
Menurut Koesmaryono, Sangadji, dm June (2002), berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan di Cianjur (pada ketinggian 1.I50 m dpl) dan Ciawi,
Bogor (400 m dpl) menunjukkan bahwa suhu dasar tanaman soba untuk fase tanam
hingga muncul bunga sebesar 5,17 "C, bunga mekar (5,39 OC), muncul biji hijau
(4,69 OC), dan masak atau panen (5,06 "C). Rata-rata suhu dasar hasil perhitungan
untuk seluruh fase pertumbuhan tanaman soba sebesar 5 OC.
Sementara itu, masih menurut penelitian tersebut, akumulasi panas tidak
dipengaruhi oleh perbedaan lokasi dan waktu tanam. Akumulasi panas tanaman
soba untuk periode fase tanam hingga perkecambahan sebesar 76,7 hari OC, muncul
bunga (264,3 hari OC), bunga mekar (434,8 hari OC), muncul biji hijau (513,3 hari
OC), dan hingga panen (848,7 hari OC).
Angka tersebut berbeda dengan hasil penelitian Cha, et al. (1989).
Menurutnya, akumulasi panas yang dibutuhkan hingga pembungaan adalah 440
sampai 470 hari OC. Keragaman akumulasi panas tersebut diduga berhubungan
dengan varietas tanaman soba yang digunakan dan iklim (radiasi surya lama
penyinaran, curah hujan, kelembaban udara, dan kecepatan angin).
Faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut berpengaruh terhadap suhu
udara. Penurunan suhu udara berhubungan erat dengan kenaikan tinggi tempat.
Handoko (1993) menjelaskan, di daerah tropika, fluktuasi suhu rata-rata harian
relatif konstan sepanjang tahun. Sedangkan fluktuasi diurnal (variasi antara siang
dan malam hari) lebih besar daripada fluktuasi suhu rata-rata harian.
Laju penurunan suhu udara terhadap kenaikan tinggi tempat atau lapse rate
suhu, rata-rata sedunia (dtldz) adalah -6,5 OC/I km dan rata-rata di Indonesia adalah
-6,l OCI1 krn. Berdasarkan penelitian Braak (1929), rata-rata tahunan suhu pantai di
Indonesia adalah 26,3 OC.
Pengaruh Kelembaban, Angin, dan Radiasi Surya
Kelembaban merupakan salah satu unsur iklim yang berpengaruh dalam
proses pembungaan tanaman, khususnya pada proses persarian Kelembaban udara
merupakan indikator keadaan tekanan defisit uap air di sekitar pertanaman.
Pola fluktuasi kelembaban udara mempunyai korelasi dengan keadaan suhu
udara di sekitar pertanaman. Semakin tinggi suhu udara, kapasitas udara untuk
menampung uap air per satuan volume udara juga semakin besar.
Tanaman soba cocok dikembangkan di daerah yang bersuhu dingin dengan
kelembaban udara yang tinggi. Menurut Gobersci, et al. (1986), kelembaban
optimal bagi tanaman soba adalah sekitar 60 - 80%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan hasil tanaman soba
sangat dipengaruhi oleh perbedaan iklim. Hasil penelitian Sangadji (2001) yang
dilakukan di dua tempat dataran tinggi Jawa Barat yaitu di Cianjur dan Ciawi
(Bogor) menunjukkan ha1 itu.
Selain itu, angin kencang akan menyebabkan rebahnya tanaman soba pada
saat pertumbuhan dan dapat menghancurkan biji pada saat pemasakan (Grubben
dan Siemonsma, 1996).
Hasil penelitian Masyithah (200 1) menunjukkan, soba yang ditanam di
Ciawi, Bogor, pada ketinggian sekitar 415 m dpl dengan jumlah populasi 200
tanaman per m2 (setara dengan jarak antar baris 20 cm) menghasilkan panen
tertinggi dibandingkan dengan populasi tanam lainnya. Hal ini terkait dengan
intersepsi radiasi matahari yang diterima tanaman tersebut.
Semakin tinggi intersepsinya, hasil panennya juga kian besar. Berdasarkan
penelitian itu, hasil panen tertinggi bisa mencapai 4,309 tonlha. Sedangkan hasil
panen terendah berkisar 1,722 tonfha yang diperoleh dari populasi soba 133
tanaman/m2 (setara dengan jarak antar baris 20 cm) dan tidak diberi pupuk.
Presentase intersepsi radiasi (Qint)= (I-QdQ,) x loo%, dimana Qb adalah
radiasi di bawah tajuk dan Q, adalah radiasi di atas tajuk. Intersepsi radiasi matahari
(Int)= %Qintx total intersepsi radiasi. Satuan Intadalah MJ m2minggu-'.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Tempat penelitian ini berlokasi di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan
Kabupaten Cianjur. Secara koordinat, wilayah itu terletak pada 06'00'
sampai
07'00' Lintang Selatan (LS) dan 106'30' hingga 108'00' Bujur Timur (BT).
Sementara itu pengolahan datanya dilakukan di Laboratorium milik
Kedeputian Survei Dasar Sumber Daya Alam, Badan Koordinasi Survei dan
Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Cibinong, Bogor. Penelitian tersebut dilakukan
sejak Februari 2005 sampai 12 Oktober 2005.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi peta digital dan peta
analog. Peta digital yang dipakai adakah dari SRTM (Shuttle Radar Topography
Mission) tahun 2000, peta rupabumi untuk wilayah Bogor dan Cianjur. Peta analog
(peta dalam bentuk cetakan) yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta
rupabumi skala 1:250.000 (lembar 1209 Jakarta) edisi tahun 2003 dan peta land
system.
Untuk keperluan diskripsi wilayah penelitian, juga dipakai atlas flora dan
fauana Indonesia buatan Bakosurtanal. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
jenis-jenis flora dan fauna yang khas di daerah penelitian.
Sementara itu, alat bantu yang dipakai dalam percobaan ini meliputi
altimeter (pengukur ketinggian tempat), seperangkat komputer serta software
Global Mapper 6.0, Arc Info, dan Arc View GIs 3.3.
Metode
Dengan menggunakan rumus Braak (1929), bisa dihitung suhu udara ratarata di berbagai ketinggian sebagai berikut:
tLr= (1,- [(Z, - Zo)]/l .000] x 6,l)"C.
dimana t,, adalah suhu rata-rata tahunan di suatu tempat dengan ketinggian tertentu,
t,, adalah suhu udara rata-rata di pantai (saat itu di Indonesia = 26,3 "C). Menurut
penghitungan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), suhu udara rata-rata di
pantai di Indonesia sekitar 27,5 "C. Jadi dalam penghitungan ini, rumus Braak tetap
digunakan namun besarnya t,, yang dipakai adalah 27,5 OC. Z1 merupakan
ketinggian tempat (m) di lokasi yang ingin dicari, dan Zo adalah ketinggian di
pantai, besarnya dianggap 0 meter.
Dari persamaan ini, untuk wilayah dengan ketinggian 400 sampai 1.200
meter memiliki kisaran suhu rata-rata udara 20,2 - 25,l OC. Dengan menggunakan
citra SRTM dan peta rupa bumi (digital) maka bisa diambil data kontur (ketinggian
tempat) sesuai target penelitian, yaitu antara 400 dan 1.200 meter di atas perrnukaan
laut (dpl).
Batasan kawasan yang terpilih itu lalu diolah dengan menggunakan software
Arc Info dan Arc View GIs 3.3. Data ini lalu diekstrapolasi menjadi luas areal
dengan tcrlebih dahulu membuat topologi poligonnya. Poligon adalah daerah yang
dibatasi oleh garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama.
Dari sini lalu areal tersebut dianalisis berdasarkan data curah hujan dan
kelembaban udara (RH) di berbagai ketinggian berdasarkan Atlas Curah Hujan
Indonesia yang dibuat Bakosurtanal bekerja sama dengan Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG). Khusus untuk kawasan Bogor, kisaran ketinggian tersebut lalu
diklasifikasikan ke dalam tiga kelas.
Kelas pertama dengan ketinggian 400 sampai 700 m dpl digolongkan pada
areal yang memiliki tingkat kesesuaian rendah (low suitable). Sementara itu, pada
ketinggian 700 - 1.000 m dpl memiliki tingkat kesesuaian baik (suitable). Dan pada
ketinggian 1.000
-
1.200 m dpl memiliki tingkat kesesuaian sangat baik (most
suitable).
Masing-masing kelas tersebut lalu dihitung luas arealnya (dalam satuan
hektare). Secara ringkas, alur atau metode penelitian ini bisa dilihat pada Gambar 2
berikut ini.
+
berdasarkan
kelas kesesuaian
Ekstrapolasi kontur
(400 - 1.200 m)
Ekstrapolasi
ke luas areal
Gambar 2. Skema alur penelitian yang digunakan.
poligon
curah hujan dan
kelembaban udara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Suhu Uda ra
Dari berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa di antara unsur
iklim, suhu udara merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi
pertumbuhan
dan
perkembangan
tanaman
soba.
Besarnya
suhu
udara
mempengaruhi tanaman pada berbagai fase pertumbuhan, baik vegetatif maupun
generatif.
Artinya, suhu udara berpengaruh penting pada tahap perkecambahan,
pembentukan daun, dan inisiasi organ produktif. Dengan demikian suhu sangat
berperan dalam pertumbuhan tanaman soba terkait dengan reaksi kimia dan proses
metabolisme tanaman.
Semakin optimum suhu udaranya. proses metabolisme tanaman juga
berlangsung dengan baik. Sebaliknya, jika suhu udaranya terlalu tinggi atau rendah
maka metabolisme itu akan terganggu.
Respon tanaman terhadap temperatur lingkungan tidak semuanya
memberikan hasil yang sama. Pada spesies yang berasal dari iklim berlintang
sedang, fotosintesis kotornya (bruto) berhenti pada temperatur hanya beberapa
derajat di bawah 0 OC (minimumj dan di
2tas 40
OC (maksimum), narnum memiliki
kecepatan optimum pada kisaran 20 sampai 35 "C.
Laju respirasi cenderung menjadi lemah di bawah 20 "C. Karena
metabolisme yang terganggu oleh panas pada temperatur yang lebih tinggi maka
laju itu meningkat cepat sampai pada temperatur kompensasi dimana kecepatan
respirasi sama dengan kecepatan fotosintesis net0 (fotosintesis bruto dikurangi
respirasi) terhadap temperatur sama dengan pertumbuhan keseiuruhsn.
Walaupun temperatur begitu dominan dalam menentukan pertumbuhan dan
perkembangan tananan, namun proses tersebut tidak sepenuhnya dikendalikan
temperatur. Menurut Milthorpe dan Moorby (1953), peran
cahaya juga ikut
menentukan proses pertumbuhan dan perkembangan beberapa spesies tanaman.
Hal itu ditunjukkan berdasarkan penelitian Milthorpe dan Moorby bahwa
pembentukan umbi pada kentang (Solanum tuberosum) tergantung pada peran
bersama antara temperatur, fotoperiodisme, intensitas cahaya, dan suplai nutrien.
Jadi kompleksitas rezim panas dari tanaman di dalam lingkungan alaminya
diimbangi oieh kompleksitas respon tanaman terhadap temperatur. Karena itu, agar
tanaman dapat hidup terus di daerah yang memiliki temperatur eksrtrim maka
berbagai adaptasi dilakukan.
Pendinginan tanaman-tanaman subtropis dan tropis sampai pada kisaran
temperatur 0-10 "C cenderung menyebabkan penurunan aktivitas proses
metabolisme dengan sangat cepat (terutama respirasi). Hal ini dapat mengakibatkan
kerusakan yang sangat membahayakan dan kematian dalam beberapa jam atau hari.
Kondisi tersebut sering terjadi pada vegetasi di daerah berlintang tinggi.
Bukti yang ada menunjukkan bahwa pendinginan spesies ini menyebabkan
perubahan fase (dari cair ke padat) pada lipida membran yang menyebabkan tidak
aktifhya enzim-enzim yang terikat pada membran seperti enzim di dalarn alat
pernafasan yang melekat pada membran mitokondria. Lyon (1 973) memperkirakan
bahwa proporsi yang lebih besar dari asal lemak tidak jenuh di dalam lipida
membran pada spesies iklim sedang menyebabkan membran lebih mantap (cair)
dan risiko terjadinya kerusakan pendinginan berkurang.
Secara umum tanaman daerah iklim sedang tidak peka terhadap terjadinya
ganguan akibat pendinginan temperatur di atas 0 O C dan cenderung memperlihatkan
tanda-tanda kerusakan hanya sesudah es terbentuk di dalam jaringan.
Soba sangat sensitif terhadap frost (Grubben dan Siemonsma, 1996). Hasil
penelitian Gabersci, et al. (1986) didapatkan bahwa daundaun akan mengalami
post pada saat suhu udara mencapai -2 "C hingga -3 O C . Indonesia beruntung karena
sangat jarang ada lokasi yang diselimuti suhu udara dalam kisaran tersebut.
Pada keadaan kecepatan pendinginan yang relatif rendah (kurang dari I "C
per jam), es cenderung terbentuk secara preferensial di dalam apoplast dari jaringan
tanaman sebab konsentrasi terlarut di dalam sitoplasma dan vakuola lebih besar.
Selama periode pembekuan semacam ini tidak diperpanjang dan kecepatan
pencairan tidak terlalu cepat maka pembentukan es esktraseluler tidak dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang berarti di dalam tanaman keras.
Jika es di luar sel tetap ada maka air bergerak keluar dari sel dan masuk ke
dalam apoplast. Dengan demikian jumlah es di dalam jaringan tanaman meningkat.
Akibatnya, terjadi dehidrasi secara cepat dari isi sel. Kondisi ini mengakibatkan
keadaan biokimia sitoplasma terganggu sehingga terjadi perapatan molekul-molekul
makro. Pencairan yang cepat dapat juga berpengaruh dalam mematikan
metabolisme sel.
Stres air dan stres panas umumnya dialami oleh vegetasi daerah-daerah yang
lebih kering di wilayah tropik dan subtropik. Kondisi tersebut juga bisa terjadi pada
habitat xeric (seperti bukit-bukit pasir dan tanah-tanah dangkal) di zona beriklim
sedang selama periode penerimaan radiasi yang tinggi.
Levitt (1972) pernah meneliti pengaruh temperatur tinggi pada tanaman
yang diberi air cukup. Hasilnya, pada temperatur lebih dari 45 "C minimal selama
30 menit dapat rnenyebabkan kerusakan yang berat pada daundaun tanaman di
berbagai daerah iklim. Pengaruh utarna temperatur yang tinggi adalah gangguan
terhadap metabolisme sel, rnungkin denaturasi protein. produksi zat-zat beracun,
atau kerusakan rnembran.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Grubben dan Siemonsma (1996) yang
menemukan kisaran suhu udara optimum untuk pertumbuhan soba antara 15 "C dan
25 "C. Suhu udara untuk proses fotosintesis optimum jarang dilaporkan narnun
diindikasikan berada pada kisaran 18-30 "C untuk suhu harian. Jika suhu tanah
tercatat 10 OC maka benih berkecambah setelah tujuh hari.
Pengaruh suhu terhadap fotosintesis untuk berbagai jenis tumbuhan adalah
sangat luas. Pada keadaan kelembaban tinggi dan udara tenang serta cahaya surya
cerah maka dapat meningkatkan suhu daun hingga 40 OC. Pada suhu daun yang
melebihi 37 OC, umumnya fotositensis turun dengan cepat dan berhenti pada suhu
43 "C karena mengalami kerusakan enzim.
Pada kisaran suhu toleransi, ternyata peningkatan suhu disertai dengan
penambahan kadar C02 hingga jenuh rnenunjukkan kenaikan produk fotosintesis.
Di dalam batas toleransi, kecepatan dan produksi reaksi kimia meningkat.
Demikian pula sebaliknnya, penurunan suhu reaksi akan rnenurunkan
intensitas kej a katalisator sehingga kecepatan produksi reaksi kimia menurun.
Hubungan antara suhu dan kecepatan reaksi sering dinyatakan dengan koefisien
suhu. Dari berbagai penelitian, bisa diperoleh gambaran bahwa suhu yang sesuai
untuk pertumbuhan dan perkembangan tanarnan soba berkisar 20 "C sampai 25 "C.
Di
Indonesia. kisaran suhu tersebut bisa diperoleh di dataran tinggi. Dengan
menggunakan rumus Braak, wilayah berketinggian 400 m dpl memiiiki suhu udara
rata-rata 25 OC. Pada ketinggian 1.200 rn dpl suhu udara rata-ratanya adalah 20 "C.
29W
Gambar 3. Peta wilayah Bogor dengan interval ketinggian 100 m yang diolah dari citra SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission).
Dengan menggunakan citra SRTM dan peta rupz bumi (digital) bisa diambil data
kontur (ketinggian tempat) dengan interval ketinggian 100 meter di atas permukaan
laut seperti terlihat pada Gambar 3.
Dari informasi ini lalu dipilih ketinggian yang sesuai untuk tanaman soba
yakni 400 - 1.200 m dpl. Hasilnya disajikan pada Gambar 4.
Analisis Curah Hujan dan Ktlembaban Udara
Tanaman soba ,agak sensitif terhadap kekeringan. Hal ini dikarenakan
perkembangan sistem perakaran yang minim. Jika terjadi kekeringan dan suhu yang
tinggi selama pembungaan berlangsung. akan menyebabkan pengisian biji terhalang
dan ukuran biji yang dihasilkan menjadi kecil-kecil.
Walaupun demikian, soba juga lebih tahan terhadap kekeringan jika
dibandingkan dengan tanaman serealia lainnya. Gorski (1986) menyatakan bahwa
periode kritis yang sensitif terhadap stress air adalah pada saat pembungaan.
Selama siklus pertumbuhan tanaman, adanya hujan akan meningkatkan
pertumbuhan vegetatif tetapi menghalangi proses reproduksi terutama pengisian
biji, dan juga menghambat proses penyerbukan oleh serangga (Grubben dan
Siemonsma, 1996).
Pola curah hujan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5. Terlihat
bahwa di kedua lokasi (Bogor dan Cianjur) pada ketinggian antara 400 sampai
1.200 m dpl memiliki curah hujan yang tinggi, yaitu 3.600 sampai 5.000 mm per
tahun. Sementara itu, bulan basah di lokasi penelitian tercatat 10 sampai 12 bulan
dan bulan kering 0 hingga 2 bulan.
Hal serupa juga dialami dataran tinggi lainnya di Jawa Barat seperti di
Kabupaten Sukabumi, Garut, Sumedang, Bandung, dan Tasikmalaya. Menurut
Matindas et al. (2004), curah hujan di dataran tinggi di Jawa Barat tergolong tinggi.
Dengan demikian ketersediaan air tanah bukan menjadi faktor pembatas
terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman soba. Curah hujan merupakan
faktor peubah (driving variable) yang menentukan ketersediaan air bagi tanaman.
Kebutuhan air tanaman berkisar antara 60 mm pada awal pertumbuhan sampai 120
mm pada pertumbuhan paling aktif.
Gambar 5. Pola curah hujan tahunan di lokasi penelitian (Sumber: Bakosurtanal dan BMG, 2004).
Berdasarkan analisis pada peta land system maka areal Bogor dan Cianjur
termasuk dalam land system Bogor. Jenis tanahnya didominasi oleh latosol
(Dystropepts) dengan kedalaman tanah lebih dari 150 cm. Tingkat keasaman (pH)
tanah pada lapisan atas (top soil) tercatat 5,6 - 6,O sedangkan pH pada lapisan sub
soil 6,l
- 6,15.
Drainase tanahnya juga tergolong baik. Sehingga curah hujan yang tinggi
tidak menimbulkan genangan. Jika dilihat dari faktor ini, soba cocok ditanam di
lokasi tersebut. Sebaliknya, soba tidak akan tumbuh dengan baik pada kondisi tanah
yang mudah tergenang.
Begitu juga dengan kelembaban udara (RH). Baik di Bogor maupun Cianjur
memiliki RH rata-rata yang sesuai, yakni 75%
- 85%. Menurut (Gabersci et a].,
1986), RH optimal bagi tanaman soba adalah sekitar 60% - 80%.
Secara menyeluruh, di seluruh dataran tinggi di lndonesa memiliki kisaran
RH yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan soba. Kisaran RH di berbagai
wilayah itu berada mulai dari 60% sampai 90%.
Dengan demikian RH bukan merupakan faktor pembatas bagi soba di kedua
wilayah tersebut. Hal itu penting karena RH merupakan salah satu unsur iklim yang
berpengaruh dalam proses pembungaan tanaman, khususnya pada proses persarian.
Data selengkapnya bisa dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Kondisi kelembaban udara (RH) tahunan di berbagai lokasi di Indonesia (Sumber: Bakosurtanal dan BMG, 2004).
Analisis Kesesuaian Iklim
Berdasarkan data digital SRTM dan bantuan software Global Mapper, lokasi
penel itian disaj ikan pada Gambar 7. Berdasarkan analisis peta rupabumi (digital)
dan peta sistem lahan dengan menggunakan Arc Info dan ArcView GIs 3.3 maka
luas lahan yang sesuai untuk budidaya soba pada ketinggian 400 sampai 1.200 m
dpl di Bogor dan Cianjur adalah sekitar 296.927 ha (lihat Gambar 8).
Berdasarkan penel itian Sangadji (200 I), tanaman soba yang ditanam di
Cianjur pada ketinggian 1.150 m di atas permukaan laut (dpl) menunjukkan h a i l
yang berbeda dengan yang dibudidayakan di Bogor dengan ketinggian tempat
sekitar 400 m dpl.
Panen soba di Bogor berkurang sebesar 42,89% dari Cianjur. Atau kalau
dikuantitatifkan nilainya sebesar 1,47 tonlha di Bogor dan 2,85 tonha) di Cianjur.
Namun demikian, hasil terendah soba yang ditanarn di Bogor itu masih lebih tinggi
daripada hasil soba rata-rata dunia (0,898 ton per ha).
Menurut Koesmaryono, Sangadji, dan June (2002), berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan di Cianjur (1.150 m dpl) dan Ciawi, Bogor (400 m dpl)
menunjukkan bahwa suhu dasar tanaman soba untuk fase tanam hingga muncul
bunga sebesar 5,17 "C, bunga mekar (5,39 OC), muncul biji hijau (4,69 OC), dan
masak atau panen (5,06 "C). Rata-rata suhu dasar hasil perhitungan untuk seluruh
fase pertumbuhan tanaman soba sebesar 5 "C.
Sementara itu, masih menurut penelitian tersebut, akumulasi panas tanaman
soba untuk periode fase tanam hingga perkecambahan sebesar 76,7 hari "C, muncul
bunga (264,3 hari "C), bunga mekar (434,8 hari OC), muncul biji hijau (5 13,3 hari
"C), dan hingga panen (848,7 hari OC).
Gambar 7. Citra SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) dengan profil tiga dimensi.
S
KETERANGAN
Jaringan jalan
Aliran sungai
LUAS KAWASAN :
DIATAS 1200 rn DPL = 32.312 ha
400 - 1.200 M DPL = 296.927
Gambar 8. Peta kesesuaian iklim untuk tanaman soba di Bogor dan Cianjur.
Berdasarkan analisis kesesuaian iklim maka luas untuk masing-masing
ketinggian di Bogor adalah sebagai berikut (lihat Gambar 9). Untuk ketinggian 400
sampai 700 m dpl (kelas kesesuaian rendah atau low suitable) seluas 50.6 10 ha.
Areal ini memiliki interval suhu udara rata-rata antara 23,2 "C dan 25,l "C.
Pada areal semacam ini soba masih bisa dibudidayakan walaupun memi liki
tingkat panen biji yang rendah, baik kualitas maupun kuantitasnya. Namun
demikian, pembudidaya bisa memanfaatkan daun soba untuk kebutuhan industri
kosmetik. Hal itu sudah dilakukan di negara maju.
Begitu pula dengan bij i soba. Menurut pengalaman beberapa orang, biji
yang ditumbuk dan diberi air hangat ternyata bisa dimanfaatkan untuk obat penurun
tekanan darah tinggi. Kulit luar soba juga bisa dimanfaatkan untuk pengisi bantal
(pillow).
Sementara itu, ketinggian 700 sampai 1.000 meter (kelas kesesuaian baik
atau suitable) seluas 35.995 ha. Kawasan tersebut memiliki kisaran suhu udara ratarata antara 2 1,4 "C dan 23,2 "C.
Untuk ketinggian 1.000 sampai 1.200 meter (kelas kesesuaian) sangat baik
atau most suitable) seluas 20.229 ha. Areal itu memiliki kisaran suhu udara rata-rata
antara 20,2 "C dan 21,4 "C. Sayangnya, pada kawasan terbaik ini penggunaan
lahannya didominasi oleh vegetasi hutan.
Soba yang dibudidayakan pada ketinggian seperti ini ideal jika tepungnya
dimanfaatkan untuk industri pangan dengan harga jual yang tinggi. Selain sebagai
mie soba, tepung soba juga bisa dimanfaatkan untuk membuat roti dengan nilai gizi
yang tinggi. Dengan demikian, pembudidaya soba di dataran tinggi tersebut bisa
mendapatkan nilai tambah (added value) yang tinggi dari hasil utsma panenya
dalam bentuk biji (tepung).
Keterangan:
400
-
700 m dpl
700 - 1.000 m dpl
1.000
-
-
1.200 m dpl
_.__-
Gambar 9. Peta kesesuaian iklim untuk tanaman soba pada berbagai ketinggian di Bogor. Warna biru mewakili
ketinggian 400-700 m dpl dengan kelas kesesuaian rendah (low suitable), warna ungu (700-1.000 m dpl) tergolong baik
(suitable), dan warna hijau (1.000-1.200 m dpl) punya kesesuaian sangat baik (most suitable).
Berdasarkan penelitian ini maka kawasar? Bogor dan Cianjur berpotensi
untuk budidaya soba. Luas areal di kedua kawasan tersebut yang sesuai berdasarkan
iklim (suhu udara, curah hujan, dan kelembaban udara) untuk budidaya soba sekitar
296.927 ha.
Semakin tinggi tingkat kesesuaian wilayahnya (most suitable) maka luas
daerahnya semakin rendah. Berdasarkan informasi dari peta rupa bumi, penggunaan
tata guna lahan pun pada ketinggian di atas 1.000 m dpl didominasi oleh hutan.
Oleh sebab itu, membudidayakan soba secara massal bisa dilakukan dengan
cara fallow system. Artinya, pola tanam sayur-sayuran yang selama ini
dibudidayakan petani dataran tinggi bisa digilir dengan menanam soba yang hanya
berumur sekitar dua bulan. Misalnya, dalam satu tahun masa tanam, soba bisa
ditanam di antara kentang atau sayuran lainnya.
Pola tanamam seperti ini, selain bisa memutus rantai hama dan penyakit
pada sayur-sayuran tersebut, petani juga mendapatkan hasil panen soba dengan nilai
jual lebih tinggi daripada sayur-sayuran. Hal ini juga untuk mencegah masyarakat
agar tidak membuka lahan baru dengan cara membabat hutan.
Jika diasumsikan 10 persen dari luas lahan yang sesuai itu bisa dipakai maka
luas potensi rii