Pengolahan Limbah Cair Laboratorium dengan Proses Elektrokoagulasi

1
 
  
 
 

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR LABORATORIUM DENGAN
 

PROSES ELEKTROKOAGULASI

 
 
 
 
 
 

GITA MELISA YOLANDA

 

 
 
 
 
 
 

 
 
 

DEPARTEMEN TEKNOLOGI  INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN
BOGOR
 
BOGOR
2015  



 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 

i
 

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA 
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengolahan Limbah
Cair Laboratorium dengan Proses Elektrokoagulasi adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015


Gita Melisa Yolanda
NIM F34100144
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

ii 
 

iii
 


ABSTRAK

GITA MELISA YOLANDA. Pengolahan Limbah Cair Laboratorium dengan
Proses Elektrokoagulasi. Dibimbing oleh SUPRIHATIN.
Limbah cair laboratorium banyak mengandung logam berat terlarut, seperti
merkuri (Hg), perak (Ag), dan krom (Cr) dalam konsentrasi tinggi dan memiliki
potensi mencemari lingkungan. Limbah laboratorium dihasilkan dalam jumlah
kecil, namun bersifat toksik dan hingga saat ini belum ada penanganan yang
memadai. Elektrokoagulasi merupakan teknik pengolahan limbah cair dengan
menggumpalkan dan mengendapkan partikel-partikel halus dalam air
menggunakan energi listrik. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui variasi
tegangan listrik dan waktu kontak untuk mendapatkan kombinasi terbaik setelah
proses elektrokoagulasi dilakukan terhadap efisiensi penyisihan parameter
pencemar. Limbah cair sebanyak 500 mL ditangani secara batch menggunakan
elektroda besi. Sampel diberi tegangan 6, 9, dan 12 V lalu dikombinasikan dengan
waktu 1, 2, 3, dan 4 jam. Kombinasi terbaik berdasarkan penurunan warna,
kekeruhan, dan TSS adalah 12 V dengan waktu kontak 2 jam. Total biaya yang
diperlukan dalam pengolahan limbah cair ini adalah sebesar Rp85.74/L.
Kata kunci: elektroda besi, elektrokoagulasi, limbah COD, limbah laboratorium


ABSTRACT
GITA MELISA YOLANDA. Wastewater Treatment from Laboratory with
Electrocoagulation Process. Supervised by SUPRIHATIN.
Liquid Laboratory waste contains dissolved heavy metals, such as mercury
(Hg), silver (Ag), and chromium (Cr) in high concentrations and have potential to
pollute the environment. The waste produced in small quantities, but the waste are
toxic and until now there is no adequate treatment. Electrocoagulation is a liquid
waste processing technique by agglomerate and precipitate fine particles in water
using electrical energy. The purpose of this research was to determine of
variations in power supply voltage and the contact time to find out the best
combination of electrocoagulation process regarding the removal efficiency of the
pollutants. Liquid waste as much as 500 mL was treated in batch mode using iron
electrode. Samples were given a voltage of 6, 9, and 12 V for 1, 2, 3, and 4 hours.
The best combination based on the reduction of color, turbidity, and TSS was 12
volts with a contact time of 2 hours. Total cost for the treatment was 85.74
rupiahs per L.
Keywords: COD waste, electrocoagulation, iron electrode, laboratory waste

iv 
 


v
 

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR LABORATORIUM DENGAN
PROSES ELEKTROKOAGULASI

GITA MELISA YOLANDA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


vi 
 

viii 
 

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 ini ialah
Pengolahan Limbah Laboratorium dengan Proses Elektrokoagulasi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr-Ing Ir Suprihatin
selaku pembimbing yang telah banyak memberi solusi dan saran selama
pelaksanaan penelitian, Bapak Yogi Suprayogi yang telah memberikan dukungan
moril selama penulis melaksanakan penelitian, para staf dan laboran departemen
Teknologi Industri Pertanian lainnya yang telah membantu selama pengumpulan
data. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua, adik-adik,
serta seluruh mahasiswa Teknologi Industri Pertanian angkatan 47 atas segala

bantuan, doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2015

Gita Melisa Yolanda

ix
 

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x


DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Limbah COD

3

Elektrokoagulasi

3

Elektroda

5

METODOLOGI

6

Waktu dan Tempat

6

Bahan

6

Alat

6

Metode

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

SIMPULAN DAN SARAN

24

DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

39


 

DAFTAR TABEL
 
 

1 Karakteristik limbah COD laboratorium

8

DAFTAR GAMBAR

 
 

1
2
3
4
5

Mekanisme elektrokoagulasi
Penampakan limbah COD laboratorium
Penampakan elektroda positif (merah)
Perubahan limbah COD selama proses elektrokoagulasi
Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap
nilai pH limbah COD
6 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap
kekeruhan (a) dan efisiensi penyisihan kekeruhan limbah COD (b)
7 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap
nilai TSS limbah COD
8 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap
nilai warna (a) dan efisiensi penyisihan warna limbah COD (b)
9 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap
kadar krom (a) dan efisiensi penyisihan krom limbah COD (b)
10 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap
kadar besi (a) dan efisiensi penyisihan besi limbah COD (b)
11 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap
kadar merkuri (a) dan efisiensi penyisihan merkuri limbah COD (b)
12 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap
kadar perak (a) dan efisiensi penyisihan perak limbah COD (b)

4
7
9
9
10
12
14
15
17
19
20
22

 

DAFTAR LAMPIRAN

 
 

1
2
3
4
5
6
7

Metode analisis parameter pencemar limbah cair 
Standar baku mutu limbah cair industri berdasarkan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor: KEP-51/MENLH/10/1995 
Data hasil pengujian nilai pH limbah COD pada berbagai variasi
perlakuan elektrokoagulasi 
Data hasil pengujian nilai kekeruhan limbah COD pada berbagai
variasi perlakuan elektrokoagulasi 
Data hasil pengujian nilai TSS limbah COD pada berbagai variasi
perlakuan elektrokoagulasi 
Data hasil pengujian nilai warna limbah COD pada berbagai variasi
perlakuan elektrokoagulasi 
Data hasil pengujian kadar krom limbah COD pada berbagai variasi
perlakuan elektrokoagulasi 

28 
29 
30
31
32
33
34

xi
 

8
9
10
11
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Data hasil pengujian kadar besi limbah COD pada berbagai variasi
perlakuan elektrokoagulasi 
Data hasil pengujian kadar merkuri limbah COD pada berbagai variasi
perlakuan elektrokoagulasi 
Data hasil pengujian kadar perak limbah COD pada berbagai variasi
perlakuan elektrokoagulasi 
Kebutuhan biaya dan energi metode elektrokoagulasi 

35
36
37
38

xii 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

1
 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Universitas pada umumnya memiliki laboratorium yang berperan sebagai
fasilitas penunjang kegiatan pendidikan. Laboratorium biasanya digunakan untuk
melakukan proses percobaan atau analisis kimia yang menghasilkan limbah.
Praktikum dan penelitian menggunakan bahan-bahan kimia untuk melakukan
sintesis maupun analisis karena tujuan penggunaannya maka terbentuk bahan
awal, produk samping, pelarut yang digunakan, dan bahan kimia yang
terkontaminasi sehingga bahan tersebut harus diurai atau dibuang jika daur ulang
tidak mungkin dilakukan (Amril et al. 2013).
Limbah adalah hasil samping dari proses produksi yang tidak digunakan dan
dapat berbentuk benda padat, cair, gas, debu, suara, dan getaran yang dapat
menimbulkan pencemaran. Limbah cair domestik atau limbah cair rumah tangga
dapat menjadi ancaman serius karena limbah tersebut dipastikan mencemari
lingkungan khususnya air tanah dan dapat membawa bibit penyakit (Bambang dan
Budianto 1993; Devi 2001 dalam Sami 2012). Limbah cair laboratorium termasuk
golongan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Limbah B3 berasal dari
bahan kimia yang tidak dapat digunakan kembali atau telah kadaluarsa
berdasarkan tanggal produksi yang dapat membahayakan manusia (Turang 2006).
Unsur-unsur berbahaya yang sebagian besar terdapat dalam limbah cair
laboratorium adalah logam berat, seperti besi (Fe), mangan (Mn), krom (Cr), dan
merkuri (Hg). Limbah laboratorium juga mengandung zat padat terlarut (TDS),
amoniak (NH3), nitrit (NO2), dan derajat keasaman (pH) (Hartini et al. 2011).
Sumber polutan logam berat salah satunya adalah limbah cair residu analisis
parameter chemical oxygen demand (COD). Limbah COD memiliki pH asam dan
hingga saat ini belum ada penanganan yang memadai. Limbah COD dihasilkan
dalam jumlah kecil, namun bersifat toksik yang menjadi masalah utama
pencemaran. Jumlah limbah yang dikumpulkan semakin hari semakin bertambah
sebanding dengan kegiatan analisis yang rutin dilakukan sehingga perlu segera
dilakukan penanganan khusus terhadap limbah COD tersebut.
Limbah COD merupakan limbah cair berbahaya dan beracun sehingga tidak
dapat dibuang secara langsung ke lingkungan. Limbah COD untuk sementara
waktu ditampung di dalam wadah berupa drum tertutup terpisah dari limbah cair
yang tidak berbahaya. Limbah ini bersifat sangat asam perlu ditingkatkan pH nya
agar netral dengan penambahan basa namun sangat sulit dilakukan akibat masih
banyak mengandung garam dan asam. Limbah COD yang awalnya bersifat asam
pekat menjadi sangat basa mencapai pH 10 hingga 12. Limbah ini belum pernah
dibuang ke lingkungan disebabkan pH nya yang masih sangat basa. Limbah cair
yang masih rendah atau tinggi pH nya dapat merusak properti (bersifat korosif)
dan menganggu organisme (Suprihatin dan Indrasti 2010). Faktor belum adanya
teknik pengolahan yang efektif dengan biaya terjangkau menyebabkan
penanganan limbah COD masih sebatas pemisahan dengan limbah tidak
berbahaya kemudian penetralan namun terkendala akibat limbah COD yang masih
sangat basa sulit untuk dinetralkan.


 

Metode alternatif untuk pengolahan limbah cair selain metode-metode yang
telah ada di Indonesia adalah elektrokoagulasi. Proses elektrokoagulasi relatif
baru namun mudah diterapkan, sederhana, dan ukurannya dapat diatur sesuai
kebutuhan. Elektrokoagulasi dapat mengendapkan berbagai pengotor dan polutan
serta meminimalisir penggunaan bahan kimia. Elektrokoagulasi menghasilkan air
bersih dibandingkan koagulasi kimia ataupun sedimentasi. Elektrokoagulasi
menerapkan proses secara fisika yang pada umumnya menggunakan proses secara
kimia. Percobaan ini menggunakan limbah COD yang masih banyak mengandung
logam berat. Penelitian dilakukan untuk mengetahui proses elektrokoagulasi dapat
diterapkan sebagai metode alternatif pengolahan limbah COD.
Perumusan Masalah
 
Masalah yang diteliti adalah mengkaji pengaruh proses elektrokoagulasi
terhadap pengolahan limbah COD yang berasal dari tempat penampungan limbah
B3 laboratorium. Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak pada proses
elektrokoagulasi yang merupakan pengolahan limbah cair secara fisika karena
pada umumnya diolah secara kimia.
Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah mengetahui variasi tegangan listrik
dan waktu kontak untuk mendapatkan kombinasi terbaik setelah proses
elektrokoagulasi dilakukan terhadap efisiensi penyisihan parameter pencemar.
Manfaat Penelitian
 
Manfaat penelitian adalah memberikan informasi alternatif teknologi yang
dapat digunakan dalam mengolah limbah COD. Menurunkan kandungan
parameter pencemar limbah COD sehingga limbah ini lebih aman dibuang ke
lingkungan. Meminimalisir biaya pengolahan limbah sebab pada umumnya
menggunakan bahan-bahan kimia yang mahal harganya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian difokuskan pada pengolahan limbah COD dengan proses
elektrokoagulasi menggunakan elektroda besi. Kegiatan penelitian yang
dilakukan, meliputi persiapan dan karakterisasi limbah COD selanjutnya
pengolahan limbah COD menggunakan metode elektrokoagulasi. Variasi
tegangan listrik yang ditetapkan adalah 6, 9, dan 12 V dengan waktu kontak yang
diterapkan adalah 1, 2, 3, dan 4 jam. Hasil proses pengolahan limbah COD
dengan elektrokoagulasi ini dianalisis parameter pencemarnya, meliputi pH,
warna, kekeruhan, TSS, kadar krom (Cr), kadar perak (Ag), kadar merkuri (Hg),
dan kadar besi (Fe).

3
 

TINJAUAN PUSTAKA
Limbah COD
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu kegiatan bila ditinjau
secara kimiawi, terdiri dari bahan kimia senyawa organik dan anorganik dengan
konsentrasi dan kuantitas tertentu dapat berdampak negatif terhadap lingkungan
terutama kesehatan manusia sehingga perlu penanganan lebih lanjut (Widjajanti
2009). Chemical oxygen demand (COD) sering disebut sebagai kebutuhan oksigen
kimiawi merupakan jumlah oksigen dalam ppm atau mg/L yang dibutuhkan dalam
kondisi khusus untuk menguraikan benda organik secara kimiawi. Nilai COD
merupakan ukuran pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat
dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya
oksigen terlarut di dalam air (Sani 2006).
Kalium dikromat (K2Cr2O4) sebagai sumber oksigen mengoksidasi limbah
organik menjadi gas CO2 dan H2O serta sejumlah ion krom. Proses oksidasi akan
bekerja secara efektif apabila terjadi dalam suhu tinggi dan suasana asam. Limbah
COD mengandung logam berat terlarut, yaitu merkuri (Hg), perak (Ag), dan krom
(Cr) dalam konsentrasi tinggi dan berpotensi mencemari lingkungan (Suprihatin
dan Indrasti 2010). Menurut Sani (2006), zat organik melalui tes COD di oksidasi
oleh larutan K2Cr2O4 dalam keadaan asam yang mendidih dengan reaksi berikut:
 

 

 

 

 

 

 

Perak sulfat (Ag2SO4) ditambahkan sebagai katalisator untuk mempercepat
reaksi sedangkan merkuri sulfat (HgSO4) untuk menghilangkan gangguan klorida
yang pada umumnya ada di dalam air limbah. Zat pengoksidasi K2Cr2O4 masih
harus tersisa di refluks untuk memastikan bahwa hampir semua zat organis habis
teroksidasi. K2Cr2O4 yang tersisa di dalam larutan tersebut digunakan untuk
menentukan jumlah oksigen yang telah terpakai. Sisa K2Cr2O4 tersebut ditentukan
melalui titrasi dengan ferro ammonium sulfat (FAS), adapun reaksi yang
berlangsung adalah sebagai berikut:
 

  4

 

 

Indikator feroin digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi, yaitu saat
warna hijau biru larutan berubah menjadi coklat merah. Sisa K2Cr2O4 dalam
larutan blanko adalah K2Cr2O4 awal, karena diharapkan blanko tidak mengandung
zat organis yang dapat di oksidasi oleh K2Cr2O4.
Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi adalah suatu teknik pemisahan yang menggunakan sel
elektrokimia yang biasa digunakan untuk menangani air (Gameissa 2012). Proses
elektrokoagulasi merupakan gabungan dari proses elektrokimia dan proses
flokulasi-koagulasi (Susetyaningsih et al. 2008). Ketiga proses dasar ini saling


 

berinteraksi dan berhubungan untuk menjalankan elektrokoagulasi. Proses
elektrokoagualasi diduga dapat menjadi pilihan metode pengolahan limbah
radioaktif dan limbah B3 cair fase air alternatif mendampingi metode-metode
pengolahan yang lain yang telah dilaksanakan.
Prinsip kerja metode elektrokoagulasi adalah dengan menggunakan dua
buah lempeng elektroda yang dimasukkan ke dalam bejana berisi limbah cair
yang akan dijernihkan. Kedua elektroda dialiri arus listrik searah (DC) sehingga
terjadi proses elektrokimia yang menyebabkan ion positif (kation) bergerak
menuju katoda yang bermuatan negatif. Ion-ion negatif (anion) bergerak menuju
anoda yang bermuatan positif selanjutnya akan terbentuk suatu flokulan yang
akan mengikat kontaminan maupun partikel-partikel dari limbah cair tersebut.
Suatu aliran listrik mampu menyebabkan destabilitasi unsur-unsur partikel atau
senyawa terikat, diantaranya senyawa logam, hidrokarbon, dan organik. Aliran
listrik saat tidak stabil menyebabkan muatan partikel dan ion menarik unsur atau
senyawa lain hingga terbentuk senyawa yang sangat stabil (Saranto 2000 dalam
Triwulandari et al. 2012). Gambar 1 menunjukkan mekanisme yang terjadi di
dalam reaktor elektrokoagulasi.

Gambar 1 Mekanisme elektrokoagulasi (Ni’am et al. 2007)
Menurut Purwaningsih (2008), kelebihan proses pengolahan limbah dengan
elektrokoagulasi antara lain:
1 Flok yang dihasilkan elektrokoagulasi ini sama dengan flok yang dihasilkan
koagulasi biasa,
2 Lebih cepat mereduksi kandungan koloid atau partikel yang paling kecil, hal
ini disebabkan pengaplikasian listrik ke dalam air akan mempercepat
pergerakan partikel di dalam air dengan demikian akan memudahkan proses,
3 Gelembung-gelembung gas yang dihasilkan pada proses elektrokoagulasi ini
dapat membawa polutan ke atas air sehingga dapat dengan mudah
dihilangkan,
4 Mampu memberikan efisiensi proses yang cukup tinggi untuk berbagai
kondisi dikarenakan tidak dipengaruhi temperatur,
5 Tidak memerlukan pengaturan pH,
6 Tidak perlu menggunakan bahan kimia tambahan.

5
 

Purwaningsih (2008) menambahkan kekurangan dari proses pengolahan
limbah dengan metode elektrokoagulasi adalah:
1 Tidak dapat digunakan untuk mengolah limbah cair yang mempunyai sifat
elektrolit cukup tinggi dikarenakan akan terjadi hubungan singkat antar
elektroda,
2 Besarnya reduksi logam berat dalam limbah cair dipengaruhi oleh besar
kecilnya arus voltase listrik searah pada elektroda,
3 Luas sempitnya bidang kontak elektroda dan jarak antar elektroda,
4 Penggunaan listrik yang mungkin mahal,
5 Batangan anoda yang mudah mengalami korosi.
Elektroda
Hari dan Harsanti (2010) menyatakan elektroda merupakan salah satu
perantara untuk menghantarkan atau menghubungkan arus listrik ke dalam larutan
agar larutan tersebut terjadi suatu reaksi (perubahan kimia). Prinsip dasar dari
elektrokoagulasi adalah reaksi reduksi dan oksidasi (redoks). Peristiwa oksidasi
terjadi di elektroda positif yaitu anoda, sedangkan reduksi terjadi di elektroda
negatif yaitu katoda. Menurut Ardhani dan Ismawati (2007), faktor yang terlibat
dalam reaksi elektrokoagulasi selain elektroda adalah air yang diolah yang
berfungsi sebagai larutan elektrolit. Berikut adalah reaksi yang terjadi pada proses
elektrokoagulasi (Lukismanto et al. 2010):
Mekanisme 1 (Kondisi asam)
Anoda:
4    4
   
Chemical:
4
   
       4
Katoda:
 
 4
Reaksi keseluruhan:
4
   
 4
Mekanisme 2 (Kondisi basa)
Anoda:
   
 
Chemical:
 
 
Katoda:
   
     
Reaksi keseluruhan:
   
   
 
 
 

 

 4

 


 

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan November hingga Desember 2014.
Pengambilan data, analisis, dan perhitungan dilakukan di Laboratorium Dasar
Ilmu Terapan (DIT), dan Laboratorium Teknologi Manajemen Lingkungan
(TML), Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan utama yang digunakan pada penelitian adalah limbah cair COD
laboratorium. Bahan lainnya yang digunakan adalah bahan untuk keperluan
pengujian, yakni air akuades.
Alat
Pengujian pengolahan limbah cair COD laboratorium dengan proses
elektrokoagulasi ini menggunakan unit elektrokoagulasi terdiri dari power supply
dihubungkan dengan dua buah elektroda besi, gelas piala 1 L, dan pump
controller. Alat-alat yang digunakan untuk analisis, antara lain: spektrofotometer,
pH meter, botol sampel, erlenmeyer, pipet mohr, bulb, labu ukur, gelas ukur,
corong, dan botol akuades.
Metode
 

Persiapan dan Karakterisasi Limbah COD
Limbah COD yang berada dalam drum penampungan diambil kemudian
dilakukan karakterisasi bahan, meliputi pH, warna, TSS, kekeruhan, kadar krom
(Cr), kadar perak (Ag), kadar merkuri (Hg), dan kadar besi (Fe). Metode analisis
parameter pencemar limbah cair disajikan pada Lampiran 1.
Elektrokoagulasi
Proses elektrokoagulasi ini dilakukan dengan sistem batch. Limbah yang
digunakan adalah limbah COD sisa analisis laboratorium. Sampel sebanyak 500
mL dimasukkan ke dalam gelas piala 1 L. Alat elektrokoagulasi yang terdiri dari
pembangkit tegangan (power supply) dipasang beserta dua elektroda besi
berukuran 10 cm x 1.5 cm x 0.3 cm. Tegangan arus listrik menyebabkan elektroda
melepaskan unsur-unsur yang membantu penggumpalan (Rachmah 2013).
Arus listrik yang berada pada power supply akan mengalir melalui kabel
yang dililitkan pada elektroda. Penelitian ini menggunakan variasi tegangan
adalah 6, 9, dan 12 V serta waktu kontak 1, 2, 3, dan 4 jam. Menurut Gameissa
(2012), prinsip pengolahan limbah cair dengan teknik elektrokoagulasi adalah
dengan cara penggumpalan dan pengendapan partikel-partikel halus dalam air
menggunakan energi listrik. Sampel setelah dilakukan proses elektrokoagulasi
kemudian diendapkan sehingga terbentuk flotasi dan endapan. Hasil proses
diambil menggunakan pump controller lalu dilakukan analisis, meliputi pH,

7
 

warna, TSS, kekeruhan, dan analisis logam berat. Analisis logam berat berupa
kadar krom (Cr), kadar perak (Ag), kadar merkuri (Hg), dan kadar besi (Fe)
menggunakan metode Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) (APHA
2012). Metode analisis parameter pencemar limbah cair dapat dilihat pada
Lampiran 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Limbah COD
Limbah yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah hasil analisis
COD yang berasal dari laboratorium. Limbah cair COD secara visual dapat dilihat
bahwa berwarna kuning bening. Limbah yang ditaruh dalam wadah penampungan
ini masih tinggi derajat keasamannya sekitar 10 hingga 12. Limbah COD telah
mengalami proses penetralan dengan menambahkan NaOH namun cukup sulit
dilakukan diakibatkan banyak mengandung kalium dikromat (K2Cr2O7), asam
sulfat pekat (H2SO4), raksa sulfat (HgSO4), perak sulfat (Ag2SO4), ferosulfat
(FeSO4.7H2O), dan fero alumunium sulfat (Fe(NH4)2(SO4).6H2O) (Suprihatin dan
Indrasti 2010). Limbah cair sisa analisis COD ini memiliki toksisitas tinggi
sehingga belum dapat dibuang secara langsung ke lingkungan perlu penanganan
khusus terlebih dahulu. Berikut penampakan limbah COD laboratorium disajikan
pada Gambar 2.

Gambar 2 Penampakan limbah COD laboratorium
Karakteristik awal limbah cair sebelum dilakukan proses elektrokoagulasi
dianggap sebagai karakteristik limbah cair pada tegangan 0 V. Hasil pengukuran
terhadap limbah cair sisa analisis COD laboratorium dapat diketahui nilai masing–
masing parameter pada limbah tersebut, meliputi warna, kekeruhan, pH, TSS,
kadar krom (Cr), kadar besi (Fe), kadar merkuri (Hg), dan kadar perak (Ag).
Berikut hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1.


 

Tabel 1 Karakteristik limbah COD laboratorium
Parameter
Warna (PtCo)
TSS (mg/L)
Kekeruhan (FTU)
pH
Kadar krom (mg/L)
Kadar merkuri (mg/L)
Kadar besi (mg/L)
Kadar perak (mg/L)

Hasil penelitian
112
0
28
9.565
3.07
7.56
0.14
0.027

Baku mutu (Kepmen
LH No. 51 Tahun 1995)
0
6-9
0.5
0.002
5
-

Baku mutu limbah cair ini mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup No. 51 Tahun 1995. Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa
limbah COD tersebut hanya pada parameter total suspended solid (TSS) dan
kadar besi yang masih dibatas baku mutu limbah cair kelas 1. Batas parameter
TSS yang tertera adalah sebesar 200 mg/L sedangkan dapat dilihat bahwa tidak
ditemukan TSS dalam limbah COD tersebut. Parameter kadar besi didapatkan
hasil sebesar 0.14 mg/L masih di bawah batas maksimum baku mutu kadar besi,
yakni sebesar 5 mg/L.
Berdasarkan parameter lain, limbah ini belum sesuai dengan baku mutu
yang telah ditentukan. Parameter pH diketahui nilai yang didapatkan sebesar
9.565 hanya melewati sedikit baku mutu limbah cair yang memiliki rentang antara
6 hingga 9. Parameter kadar krom dan kadar merkuri hasil yang didapat tidak
sesuai dengan baku mutu limbah cair yang telah ditentukan. Nilai kadar krom
sebesar 3.07 mg/L sedangkan baku mutu hanya 0.5 mg/L. Kadar merkuri nilai
yang didapat mencapai 7.56 mg/L sangat jauh melewati baku mutu yang hanya
0.002 mg/L. Parameter warna, kekeruhan, dan kadar perak (Ag) tidak menjadi
parameter yang disyaratkan dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 1995. Standar baku
mutu limbah cair industri berdasarkan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: KEP51/MENLH/10/1995 dapat dilihat pada Lampiran 2.
Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi merupakan suatu proses koagulasi dengan menggunakan
arus listrik searah melalui peristiwa elektrokimia, yaitu gejala dekomposisi
elektrolit yang salah satu elektrodanya merupakan alumunium ataupun besi.
Proses ini terjadi reaksi reduksi logam-logam akan direduksi dan diendapkan di
kutub negatif, sedangkan elektroda positif (Fe) akan teroksidasi menjadi Fe(OH)2
yang berfungsi sebagai koagulan. Berikut penampakan elektroda positif (merah)
yang menjadi koagulan disajikan pada Gambar 3.

9
 

Gambar 3 Penampakan elektroda positif (merah)
Menurut Nasution (2012), anoda berfungsi sebagai koagulan dalam proses
koagulasi-koagulasi yang terjadi di dalam sel tersebut. Reaksi katodik terjadi pada
katoda dengan membentuk gelembung-gelembung gas hidrogen yang berfungsi
menaikkan flok-flok tersuspensi yang tidak dapat mengendap di dalam sel. Proses
elektrokoagulasi ini menghasilkan gelembung-gelembung gas maka kotorankotoran yang terbentuk di dalam air akan terangkat ke atas permukaan air. Flokflok yang terbentuk ternyata mempunyai ukuran relatif kecil sehingga flok
tersebut lama-kelamaan akan bertambah besar ukurannya (Sunardi 2007).
Perubahan limbah COD selama proses elektrokoagulasi disajikan pada Gambar 4
di bawah ini.

(a) Sebelum elektrokoagulasi

(c) Setelah sedimentasi selama 2 hari

(b) Setelah elektrokoagulasi

(d) Flok mengapung dan mengendap

Gambar 4 Perubahan limbah COD selama proses elektrokoagulasi

10 
 

Berdasarkan Gambar 4 di atas dapat dilihat bahwa (a) kondisi awal limbah
COD masih berwarna kuning bening. Gambar 4 (b) setelah proses
elektrokoagulasi dilakukan, warna limbah berubah menjadi coklat pekat akibat
arus listrik memaksa ion yang ada pada elektroda besi keluar dan menjadi
koagulan sehingga dapat mengikat bahan pencemar limbah. Gambar 4 (c)
dilakukan proses sedimentasi, yakni proses pengendapan partikel atau flok yang
terbentuk setelah proses elektrokoagulasi. Gambar 4 (d) merupakan penampakan
limbah COD yang berubah menjadi jernih akibat bahan terlarut dalam limbah cair
membentuk flok mengendap dan mengapung yang merupakan bahan pencemar.
Pengendapan flok Fe(OH)2 terjadi karena adanya pertumbuhan massa flok
sehingga berat jenis flok menjadi besar dan akhirnya mengendap. Gas hidrogen
dari katoda membantu flok Fe(OH)2 dalam larutan yang terangkat ke permukaan
(Yulianto et al. 2009).
Pengaruh Elektrokoagulasi terhadap pH
Parameter pH atau disebut kadar keasaman mengindikasikan kebasaan dari
suatu larutan. Semakin banyak ion OH- dan gas hidrogen yang dihasilkan melalui
reaksi reduksi molekul air (H2O) pada katoda maka nilai pH atau kebasaan dari
limbah cair yang diolah akan semakin meningkat (Ni’am et al. 2007). Menurut
Abdel dan Husein (1993) bahwa nilai pH sekitar katoda semakin tinggi selama
proses elektrolisis berlangsung. Berikut Gambar 5 menunjukkan pengaruh variasi
tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap nilai pH limbah COD.
11

pH

10.5
10

6 V

9.5

9 V
12 V

9
0

1

2

3

Waktu kontak (jam)

4

5

 

Gambar 5 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap
nilai pH limbah COD
Berdasarkan Gambar 5 menunjukkan pengaruh variasi tegangan dan waktu
kontak elektrokoagulasi terhadap nilai pH limbah COD. Semakin lama waktu
kontak elektrokoagulasi dan semakin besar tegangan yang diberikan maka nilai
pH limbah COD semakin naik. Data hasil penelitian nilai pH limbah cair pada
berbagai variasi pelakuan elektrokoagulasi dapat dilihat pada Lampiran 3. Nilai
pH awal limbah COD saat karakterisasi sebesar 9.56, kemudian setelah dilakukan
proses elektrokoagulasi, nilai pH meningkat menjadi 10.77 pada tegangan 12 V
dengan waktu kontak 4 jam. Menurut Ni’am et al. (2007), peningkatan nilai pH
yang terjadi disebabkan karena pada proses elektrokoagulasi terjadi akumulasi

11
 

OH-. Hal ini menunjukkan bahwa proses elektrokoagulasi yang diterapkan pada
limbah COD berdampak pada pH yang semakin meningkat sehingga belum
memenuhi baku mutu limbah cair Kepmen LH No. 51 Tahun 1995 sebesar 6
hingga 9.
Kenaikan pH akan memudahkan pembentukan ion hidroksi dan menaikkan
konduktivitas larutan, sehingga interaksi antar koagulan dan polutan akan semakin
meningkat. Ion hidroksi akan bereaksi dengan polutan logam berat menjadi
senyawa logam hidroksida yang tidak larut dan mudah teradsorbsi oleh koagulan
(Mukimin 2006). Peningkatan pH menyebabkan terjadinya penurunan kandungan
polutan pada limbah. Hal ini disebabkan oleh efek ion-ion hidroksida (OH-),
semakin meningkat jumlah ion hidroksida maka energi yang dibutuhkan untuk
pembentukan gas hidrogen atau oksigen semakin rendah sehingga gelembung
hidrogen atau oksigen tersebut banyak terbentuk. Meningkatnya jumlah
gelembung udara akan meningkat pula kinerja flotasi.
Menurut Nasution (2012), kenaikan tegangan listrik pada bejana
elektrokoagulasi akan membawa kenaikan nilai arus listrik sehingga akan
meningkatkan daya kerja dalam bejana tersebut. Kenaikan pH ini menandakan
bahwa adanya reaksi yang terjadi di dalam bejana terutama di katoda. Katoda
pada proses elektrolisis menghasilkan ion OH- yang akan menaikkan nilai pH.
Nilai pH larutan juga mempengaruhi kondisi spesies pada larutan dan kelarutan
dari produk yang dibentuk. pH larutan mempengaruhi keseluruhan efisiensi dan
efektifitas dari elektrokoagulasi.
Abdel dan Hussein (1993) menambahkan semakin tinggi pH sekitar katoda
maka semakin besar pengurangan turbiditas atau kekeruhan air. pH memiliki
pengaruh yang besar terhadap pengendapan logam. Pengendapan logam berat
yang tereduksi membutuhkan waktu relatif lama karena padatan tersuspensi
logam berat yang tereduksi sangat sulit untuk diendapkan dengan waktu yang
singkat. Tiap logam memiliki pH spesifik saat kelarutannya minimum, sehingga
dapat mengendap secara maksimal (Jamhari 2009).
Pengaruh Elektrokoagulasi terhadap Kekeruhan
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan bahan
anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus).
Padatan tersuspensi berkolerasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai
padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga akan semakin tinggi tetapi tingginya
padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan (Samosir 2009).
Kekeruhan atau turbiditas air disebabkan oleh kontaminan biologis, senyawa
makromolekul, senyawa anorganik tak larut dan partikel tersuspensi atau koloid
(oksida alumunium, besi, dan silika) (Holisaturrahmah dan Suprapto 2013).
Salah satu karakteristik limbah yang menjadi nilai penting bagi limbah
sebelum dibuang ke lingkungan adalah kekeruhan. Kekeruhan atau turbidity
digunakan untuk menyatakan derajat kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh
bahan-bahan yang melayang biasanya bahan organik dan anorganik. Semakin
pekat atau keruh suatu limbah cair yang dibuang ke lingkungan maka kualitas
limbah dan keamanannya terhadap lingkungan semakin buruk. Proses

12 
 

elektrokoagulasi selain berpengaruh terhadap penurunan nilai TSS, juga
berpengaruh terhadap nilai kekeruhan dari limbah yang digunakan (Gameissa et
al. 2012). Berikut pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi
terhadap kekeruhan dan efisiensi penyisihan kekeruhan limbah COD disajikan
pada Gambar 6.
45
40

Kekeruhan (FTU)

35
30
25

6 V

20

9 V

15
12 V
10
5
0
0

1

2

3

4

5

Waktu kontak (jam)
(a)
Perubahan kekeruhan (%)

120
100
80
60
40

6 V

20

9 V

0

12 V

‐20 0

1

2

3

4

5

‐40
‐60

Waktu kontak (jam)
(b)

Gambar 6 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap
kekeruhan (a) dan efisiensi penyisihan kekeruhan limbah COD (b)
Berdasarkan Gambar 6 (a) menunjukkan pengaruh variasi tegangan dan
waktu kontak elektrokoagulasi terhadap kekeruhan limbah COD. Grafik dapat
terlihat bahwa data yang dihasilkan bersifat fluktuatif. Nilai kekeruhan terjadi
penurunan kemudian meningkat kembali dapat disebabkan elektroda telah jenuh
dan medan magnet yang terjadi sudah sangat kecil maka proses elektrokoagulasi
sudah minimum. Menurut Susetyaningsih et al. (2008), dapat diduga sebagian
besar kekeruhan akibat flok Fe(OH)2 yang akhirnya mengendap pada bejana. Nilai
kekeruhan limbah COD awal saat karakteristik diketahui sebesar 28 FTU. Nilai
kekeruhan mengalami penurunan tertinggi setelah dilakukan proses
elektrokoagulasi sebesar 3 FTU. Penurunan ini terjadi pada tegangan 12 V dengan

13
 

waktu kontak 2 jam. Efisiensi saat tegangan dan waktu kontak tersebut sebesar
89.28% terlihat pada Gambar 6 (b). Data hasil pengujian nilai kekeruhan limbah
COD pada berbagai variasi perlakuan elektrokoagulasi dapat dilihat pada
Lampiran 4.
Pengaruh Elektrokoagulasi terhadap TSS
Total Suspended Solid (TSS) adalah residu dari padatan total yang tertahan
oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2 mikrometer atau lebih besar dari
ukuran koloid (Isnani 2010). Parameter TSS merupakan faktor penting untuk
pengolahan dan sebagai standar acuan keberhasilan sistem pengolahan. TSS
mudah dikenali dalam mengukur kualitas suatu air karena secara fisik dapat
dilihat, jika suatu limbah cair mengandung TSS tinggi maka dapat langsung
disimpulkan bahwa limbah berkualitas jelek dan berpotensi merusak ekosistem
khususnya di aquatik. Analisis kandungan padatan tersuspensi (TSS) adalah
penting dalam keperluan mengatur atau menentukan proses pengolahan limbah
baik secara biologi maupun fisika dan salah satu syarat kunci untuk perizinan
pembuangan limbah cair ke lingkungan.
Sumber polutan TSS adalah bahan-bahan kimia baik organik maupun
anorganik yang membentuk suspensi pada limbah cair tersebut. Sumber TSS juga
berasal dari logam-logam yang membentuk senyawa komplek baik dengan ligan
hidroksida atau anion-anion lain yang senyawa ini tersuspensi di dalam larutan
limbah baik karena sifat ukuran molekul senyawanya maupun sifat kepolaran
yang dimiliki (Mukimin 2006). Proses penurunan TSS dapat diketahui karena
TSS adalah polutan yang berada dalam bentuk tersuspensi. Suatu material
berbentuk solid apabila materi tersuspensi dengan ukuran tertentu. Material solid
ini dapat dengan mudah teradsorbsi ke dalam koagulan Fe(OH)2 atau teradsorbsi
ke dalam gelembung udara. Hasil adsorbsi akan terpisahkan ke atas (terflotasi)
sehingga terjadi penurunan konsentrasi TSS di dalam limbah cair.
Berdasarkan Gambar 7 terlihat bahwa data yang dihasilkan bersifat
fluktuatif. Hal ini dapat disebabkan pada limbah COD terdapat ion-ion logam
lainnya sehingga ion logam-logam tersebut direduksi menjadi logamnya yang
membentuk flok-flok halus melayang sehingga meningkatkan nilai TSS pada
limbah COD (Gameissa 2012). Tegangan 12 V terjadi peningkatan nilai TSS yang
awalnya tidak ada menjadi terdapat padatan tersuspensi pada waktu kontak 3 jam
dan meningkat saat 4 jam. Meningkatnya konsentrasi TSS disebabkan karena
banyaknya flok yang terbentuk dan terflotasi ke atas. Flok-flok tersebut ikut
terbawa pada saat pengukuran. Selama proses elektrokoagulasi, jika tegangan
yang diberikan semakin besar, maka semakin lama waktu yang diperlukan untuk
pengendapan karena flok yang terbentuk akan semakin banyak. Peningkatan
konsentrasi TSS seiring dengan meningkatnya voltase yang diberikan. Hal ini
sangat berhubungan dengan besarnya kuat arus dan tegangan listrik yang
diberikan pada saat proses elektrokoagulasi berlangsung. Berikut Gambar 7
menunjukkan pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi
terhadap nilai TSS limbah COD.

 

14 
 
14
12
10

TSS (mg/L)

8
6 V
6
9 V 
4

12 V

2
0
0

1

2

3

4

5

Waktu kontak (jam)
Gambar 7 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap
nilai TSS limbah COD
Semakin besar kuat arus dan tegangan yang diberikan semakin banyak pula
dihasilkan flok-flok yang dapat mengikat kontaminan pada limbah. Flok flok yang
dihasilkan sebagian dapat mengendap dan sebagian lagi ada yang terflotasi ke atas
permukaan (Wardhani 2012). Berdasarkan data hasil penelitian dapat diketahui
bahwa nilai TSS limbah COD baik sebelum maupun setelah proses
elektrokoagulasi masih memenuhi baku mutu limbah cair Kepmen LH No. 51
Tahun 1995 kelas 1 yakni sebesar 200 mg/L. Data hasil pengujian nilai TSS
limbah COD pada berbagai variasi perlakuan elektrokoagulasi dapat dilihat pada
Lampiran 5.
Pengaruh Elektrokoagulasi terhadap Warna
Warna limbah cair dapat dibedakan menjadi dua, yaitu warna sejati dan
warna semu. Warna yang disebabkan oleh warna organik yang mudah larut,
beberapa ion logam ini disebut warna sejati. Air yang mengandung kekeruhan
atau adanya bahan tersuspensi oleh penyebab warna sejati maka warna tersebut
dikatakan warna semu karena adanya bahan-bahan tersuspensi termasuk koloid.
Wati (2008) menyatakan warna dalam air disebabkan adanya ion-ion logam besi
dan mangan, humus, plankton, tanaman air, dan buangan industri. Menurut
Darmawan et al. (2006), konstanta adsorbsi zat warna merupakan fungsi
kesebandingan dari voltase yang diberikan, dengan kata lain laju adsorbsi zat
warna sebanding dengan voltase elektrolisis besi. Proses dekolorisasi dapat terjadi
karena koagulasi zat warna yang terdapat dalam limbah cair oleh koloid besi
hidroksida yang dilepaskan selama elektrokoagulasi.
Proses koagulasi disebabkan oleh adanya perbedaan muatan pada kedua
partikel tersebut (zat warna dan besi hidroksida). Semakin besar tegangan yang
diberikan maka semakin besar pula arus yang mengalir pada larutan. Hal ini
menyebabkan semakin cepat terjadi reaksi pembentukan hidroksida koagulan dan

15
 

Warna (PtCo)

reaksi dekolorisasi yang terjadi (Darmawan et al. 2006). Warna merupakan salah
satu parameter dalam pengolahan limbah. Warna pada limbah laboratorium
berasal dari kandungan logam-logam yang terdapat di dalamnya (Rohaeti et al.
2010). Berikut pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi
terhadap nilai warna dan efisiensi penyisihan warna limbah COD disajikan pada
Gambar 8.
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0

6 V
9 V
12 V

0

1

2

3

4

5

Waktu kontak (jam)
(a)
120

Perubahan warna (%)

100
80
60
40
6 V
20
9 V
0
‐20 0

1

2

3

4

5

12 V

‐40
‐60
‐80

Waktu kontak (jam)
(b)

Gambar 8 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap
nilai warna (a) dan efisiensi penyisihan warna limbah COD (b)
Berdasarkan grafik terlihat bahwa tegangan 6 dan 9 V data yang dihasilkan
bersifat fluktuatif. Hal ini dikarenakan kemampuan kedua tegangan tersebut
kurang untuk menurunkan parameter pencemar. Jarak antar elektroda dan

16 
 

pengaruh medan magnet juga dapat menjadi penyebab naik turunnya nilai warna.
Menurut Purwaningsih (2008), salah satu kekurangan proses elektrokoagulasi
adalah luas sempitnya bidang kontak elektroda dan jarak antar elektroda.
Penelitian ini tidak memperhatikan kedua faktor tersebut sehingga dapat menjadi
penyebab data yang diperoleh terjadi peningkatan dan penurunan.
Proses elektrokoagulasi yang menggunakan plat besi ini terjadi peningkatan
nilai warna pada tegangan 12 V saat waktu 3 jam disebabkan akibat proses
pengkaratan. Pengkaratan merupakan peristiwa logam bereaksi dengan
persenyawaan-persenyawaan tertentu di dalam air hingga logam tersebut habis
bereaksi. Limbah cair yang mengandung asam, misalnya asam lemah akan
mempengaruhi terjadinya proses pengkaratan namun teori baru menunjukkan
bahwa pengkaratan dapat terjadi dengan cepat tanpa adanya asam askorbat atau
asam-asam lemah lainnya, salah satunya adalah dengan peristiwa elektrokimia
(Winarno et al. 1973 dalam Gameissa 2012).
Warna limbah setelah perlakuan elektrokoagulasi secara visual sangat
berbeda dengan kondisi limbah awal, yaitu lebih jernih. Hasil analisis warna juga
menunjukkan nilai di bawah warna limbah awal. Warna awal limbah yaitu kuning
bening dengan nilai sebesar 112 PtCo dapat dilihat pada Gambar 8 (a) berasal dari
kromium yang tidak mengendap. Penurunan warna tertinggi terjadi setelah proses
elektrokoagulasi pada tegangan 12 V dengan waktu 2 jam sebesar 13 PtCo.
Efisiensi saat tegangan dan waktu kontak tersebut sebesar 88.39% terlihat pada
Gambar 8 (b).
Menurut Nasution (2012), perubahan warna dari coklat gelap menjadi jernih
terjadi karena pengotor telah dihilangkan dalam proses elektrokoagulasi. Pengotor
ini yang menjadi penyebab adanya warna coklat gelap pada limbah. Pengotor
tersebut hilang dengan dua cara, yaitu pengotor yang lebih berat terbawa ke dasar
bejana (proses koagulasi) dan pengotor lebih ringan akan mengapung ke atas
bejana (proses pengapungan). Data hasil pengujian nilai warna limbah COD pada
berbagai variasi perlakuan elektrokoagulasi dapat dilihat pada Lampiran 6.
Pengaruh Elektrokoagulasi terhadap Krom
Logam Cr adalah bahan kimia yang bersifat persisten, bioakumulatif, dan
toksik (Persistent, Bioaccumulative, and Toxic (PBT)) yang tinggi serta tidak
mampu terurai di dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. Kestabilan
diakumulasikan akan mempengaruhi toksisitasnya terhadap manusia secara
berurutan, mulai dari tingkat toksisitas terendah, yakni Cr (0), Cr (III), dan Cr
(VI). Cr (VI) pada umumnya 1 000 kali lipat lebih toksik dibandingkan Cr (VI),
tidak bersifat iritatif, serta tidak korosif. Senyawa Cr (III) lebih toksik pada ikan
dan binatang air lainnya dibandingkan Cr (VI) (Jamhari 2009).
Limbah logam berat Cr (VI) yang merupakan salah satu jenis limbah
berbahaya, dapat berasal dari industri cat, pelapisan logam (electroplating), dan
penyamakan kulit (leather tanning). Krom terdapat di alam dalam dua bentuk
oksida, yaitu Cr (VI) atau chromium hexavalent dan Cr (III) atau chromium
trivalent. Cr (VI) mudah larut dalam air dan membentuk divalent oxyanion, yaitu
kromat (CrO42-) dan dikromat (Cr2O72-). Tingkat toksisitas Cr (VI) sangat tinggi
sehingga bersifat racun terhadap semua organisme untuk konsentrasi > 0.05 ppm.
Cr (VI) bersifat karsinogenik dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit manusia.

17
 

Toksisitas Cr (III) jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Cr (VI), yaitu
sekitar 1/100 kalinya, sehingga untuk mengolah limbah krom, Cr (VI) harus
direduksi terlebih dahulu menjadi Cr (III). Cr (III) mudah diendapkan atau
diabsorbsi oleh senyawa-senyawa organik dan anorganik pada pH netral atau
alkalin (Darmono 1995 dan Widowati et al. 2008 dalam Jamhari 2009). Berikut
pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap kadar
krom dan efisiensi penyisihan krom limbah COD disajikan pada Gambar 9.
4.5

Kadar krom (mg/L)

4
3.5
3
2.5
2

6 V

1.5

9 V

1

12 V

0.5
0
0

1

2

3

4

5

Waktu kontak (jam)
(a)
120

Perubahan krom (%)

100
80
6 V
60
9 V
40
12 V
20
0
‐20 0

1

2

3

4

5

‐40

Waktu kontak (jam)

(b)
Gambar 9 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap
kadar krom (a) dan efisiensi penyisihan krom limbah COD (b)
Nilai kadar krom limbah COD awal saat di karakterisasi sebesar 3.07 mg/L.
Grafik menunjukkan bahwa tegangan 6 terjadi peningkatan kadar krom saat waktu
kontak 1 jam, kemudian turun lalu meningkat kembali diakibatkan kemampuan
elektroda akan berkurang apabila reaksi antara elektroda dan limbah telah jenuh

18 
 

seiring berjalannya waktu, sehingga akan mempengaruhi presentase penurunan
kadar kromiumnya (Harmami et al. 2014). Kromium yang telah diendapkan
kemudian terlarut kembali sehingga konsentrasi kromium dalam larutan sedikit
meningkat. Simajuntak et al. (2007) menyatakan bahwa peningkatan kembali
absorbansi mengindikasikan terjadinya destabilisasi flok sehingga polutan yang
sebelumnya telah terkoagulasi terlarut kembali ke dalam limbah.
Penurunan kadar krom terjadi setelah proses elektrokoagulasi dilakukan
dengan nilai tertinggi sebesar 0.075 mg/L. Penurunan ini terjadi pada tegangan 9
V dengan waktu kontak 2 jam. Hal ini menunjukkan setelah elektrokoagulasi,
nilai kadar krom pada limbah COD telah memenuhi baku mutu limbah Kepmen
LH No. 51 Tahun 1995 kelas 1 sebesar 0.5 mg/L. Efisiensi saat tegangan dan
waktu kontak tersebut sebesar 97.55% terlihat pada Gambar 9 (b). Data hasil
pengujian kadar krom limbah COD pada berbagai variasi perlakuan
elektrokoagulasi dapat dilihat pada Lampiran 7.
Pengaruh Elektrokoagulasi terhadap Besi
Logam besi teroksidasi dalam air berwarna kecoklatan dan tidak larut
mengakibatkan penggunaan air menjadi terbatas. Kandungan besi yang ada di
dalam buangan limbah industri berasal dari korosi pipa-pipa air mineral logam
sebagai hasil reaksi elektrokimia yang terjadi pada perubahan air yang
mengandung padatan larut mempunyai sifat menghantarkan dan ini mempercepat
terjadinya korosi (Wati 2008). Gambar 10 (a) menunjukkan pengaruh variasi
tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap kadar besi limbah COD.
Sutanto et al. (2012) menyatakan proses elektrokoagulasi dapat menurunkan
kadar besi dan kekeruhan dalam limbah. Semakin lama penggunaan waktu proses
atau arus yang digunakan semakin tinggi, maka kadar besi dan kekeruhan limbah
cair semakin turun.
Berdasarkan Gambar 10 (a) terlihat bahwa grafik yang dihasilkan bersifat
fluktuatif. Hal ini dapat disebabkan pada semua permukaan plat elektroda tertutup
oleh flok yang terbentuk, sehingga sudah berkurang kemampuannya untuk
menarik ion-ion dalam limbah. Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan
besarnya medan magnet. Medan magnet diantara plat elektroda ketika masih
cukup besar menyebabkan sistem ionik dari logam-logam yang ada dominan
saling berkompetisi untuk menempel pada plat elektroda dan proses oksidasi pada
plat anoda juga masih besar. Kekeruhan selain diakibatkan adanya kotoran karena
sebagian besar kekeruhan diduga diakibatkan oleh flok Fe(OH)2 yang akhirnya
mengendap pada bejana sedimentasi (Susetyaningsih et al. 2008).
Kadar besi limbah COD awal saat karakteristik diketahui sebesar 0.14
mg/L. Data hasil pengujian kadar besi limbah COD pada berbagai variasi
perlakuan elektrokoagulasi dapat dilihat pada Lampiran 8. Kadar besi mengalami
penurunan setelah dilakukan proses elektrokoagulasi dengan penurunan tertinggi
sebesar 0.0915 mg/L. Penurunan ini terjadi pada tegangan 12 V dengan waktu
kontak 1 jam. Hal ini menunjukkan kadar besi pada limbah COD baik sebelum
maupun setelah proses elektrokoagulasi telah memenuhi baku mutu limbah cair
Kepmen LH No. 51 Tahun 1995 kelas 1 sebesar 5 mg/L.  Efisiensi saat tegangan
dan waktu kontak tersebut sebesar 34.64% terlihat pada Gambar 10 (b). Berikut

19
 

Gambar 10 menunjukkan pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak
elektrokoagulasi terhadap kadar besi dan efisiensi penyisihan besi limbah COD.

Kadar besi (mg/L)

0.25
0.2
0.15
6 V
0.1
9 V
12 V

0.05
0
0

1

2

3

4

5

Waktu kontak (jam)
(a)
50
40

Perubahan besi (%)

30
20
10
6 V

0
‐10 0

1

2

3

4

5

‐20

9 V
12 V

‐30
‐40
‐50
‐60

Waktu kontak (jam)
(b)

Gambar 10 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi
terhadap kadar besi (a) dan efisiensi penyisihan besi limbah COD (b)
Pengaruh Elektrokoagulasi terhadap Merkuri
Logam merkuri merupakan salah satu trace element yang mempunyai sifat
cair pada temperatur ruang dengan spesific gravity dan daya hantar listrik yang
tinggi. Jenis logam ini banyak digunakan baik dalam kegiatan perindustrian
maupun laboratorium. Merkuri yang terdapat dalam limbah di perairan umumnya
diubah oleh aktivitas mikroorganisme menjadi komponen methyl merkuri (CH3Hg) yang memiliki sifat racun dan daya ikat kuat disamping kelarutannya yang

20 
 

tinggi terutama dalam tubuh hewan air (Budiono 2003 dalam Jamhari 2009).
Merkuri merupakan salah satu logam berat yang mempunyai efek toksisitas yang
paling tinggi. Logam merkuri dalam lingkungan perairan biasanya dalam bentuk
senyawa CH3-HgCl, C2H5HgCl, dan HgCl2. Senyawa-senyawa tersebut
merupakan senyawa toksik yang terbanyak mencemari lingkungan. Berikut
Gambar 11 menunjukkan pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak
elektrokoagulasi terhadap kadar merkuri dan efisiensi penyisihan merkuri limbah
COD.
9

Kadar merkuri (mg/L)

8
7
6
5
4

6 V

3

9 V

2

12 V

1
0
0

1

2

3

4

5

Waktu kontak (jam)
(a)

Perubahan merkuri (%)

120
100
80
60

6 V
9 V

40
12 V
20
0
0

1

2

3

4

5

Waktu kontak (jam)
(b)
Gambar 11

Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi
terhadap kadar merkuri (a) dan efisiensi penyisihan merkuri limbah
COD (b)

21
 

Berdasarkan Gambar 11 (a) menunjukkan terjadi penurunan kadar merkuri
kemudian meningkat lalu menurun kembali. Hal ini dapat disebabkan plat
elektroda sudah jenuh dan medan magnet yang terjadi sudah sangat kecil maka
proses elektrokimia dalam sistem air sudah minimum (Prayitno dan Kismolo
2012). Fe(OH)2 merupakan logam hidroksida amfoterik. Campuran logam ini
menimbulkan masalah karena dapat melarutkan kembali ion logam yang lain
(Soemantojo 2009). Kadar merkuri awal limbah COD saat karakterisasi sebesar
7.56 mg/L kemudian setelah dilakukan proses elektrokoagulasi, terjadi penurunan
kadar merkuri tertinggi pada tegangan 6 V dengan waktu kontak 2 jam sebesar
0.69 mg/L. Hal ini menunjukkan kadar merkuri pada limbah COD baik sebelum
maupun setelah proses elektrokoagulasi belum memenuhi baku mutu limbah cair
Kepmen LH No. 51 Tahun 1995 kelas 1 sebesar 0.002 m