Kajian Fisik BAGIAN 4-HUBUNGAN TINGKAT PENDAPATAN PETERNAK SAPI PERAH TERHADAP TINGKAT PENDIDIKAN KELUARGA DI DESA PANDESARI KECAMATAN PUJON KABUPATEN MALANG

BAB IV KAJIAN FISIK DAN SOSIAL

4.1 Kajian Fisik

Pandesari merupakan salah satu desa yang terletak dalam cakupan wilayah administrasi kecamatan pujon, kabupaten malang. Khususnya dalam kajian penggunaan lahan, desa pandesari secara global merupakan desa dengan alokasi hutan lindung terbesar dibandingkan dengan desa-desa lainnya yang berada di kecamatan pujon. Kuantitas tersebut sebesar 1033.1 hektar dialokasikan sebagai hutan lindung, sedangkan sebesar 383.9 hektar dialokasikan sebagai hutan produksi. Hal tersebut sejalan dengan signifikansi social ekonomi masyarakat yang notabene bermatapencaharian sebagai peternak sapi perah yang membutuhkan bahan makanan sapi berupa rumput. Sebagai pendampingnya, perhutani sebagai pengelola tunggal hutan yang ada di kawasan desa pandesari, hanya mengizinkan penanaman hutan dalam rangka untuk mencukupi kebutuhan akan rumput makan ternak saja bukan sebagai lahan pertanian atau perkebunan. Pandesari terbagi atas 5 dusun, yaitu sebaluh, marun sebaluh, krajan, gesingan, dan jurang rejo. Kelimanya mencakup penggunaan lahan dalam hal permukiman seluas 93 hektar, lahan persawahan 96.86 hektar, perkebunan 6 hektar, pemakaman 2.451 hektar, pekarangan seluas 26.39 hektar, taman 1.5 hektar, perkantoran 0.93 hektar, tegalan 231.54 hektar, serta prasarana umum lainnya seluas 132.499 hektar. Dominasi tersebut terletak pada alokasi penggunaan lahan jenis tanah kering berupa tegalan atau perladangan dikarenakan masyarakat selain sebagai peternak sapi perah juga mengandalkan terhadap hasil pertanian yang berjenis non- pertanian. Hampir sebagian besar peternak merangkap sebagai petani independen petani atas lahan sendiri atau petani dependen mengerjakan lahan orang lain. Sedangkan untuk lahan persawahan tidak terlalu mendominasi penggunaan lahan di desa pandesari karena adanya kesulitan pengairan atau irigasi apabila suatu lahan ditanami komoditas sawah yang membutuhkan kuatitas air yang besar seperti halnya padi. Namun masyarakat lebih mendominasikan persawahan kering atau disebut sebagai ladang dengan komoditas pertanian yang tidak membutuhkan air dalam jumlah yang relative banyak seperti kentang, bawang merah, wortel, dan lain sebagainya. Dominasi penggunaan lahan lainnya terletak pada fasilitas umum berupa lahan kas desa 37.034 hektar, lapangan olahraga seluas 0.865 hektar, perkantoran pemerintah 0.13 hektar, pembuangan sampah 1.3 hektar, dan jalan 5.916 hektar. Sehingga total keseluruhannya sebesar 49.331 hektar penggunaan lahan dialokasikan pada fasilitas umum desa. Dominasinya terletak pada tanah kas desa yang pada kenyataannya berupa lahan cadangan yang mana fungsinya digunakan sebagai tanah “tendon” apabila diperlukan suatu waktu tertentu untuk dibangun. Hal ini didasarkan pada terbatasnya lahan yang dapat digunakan atau dialihfungsikan meskipun kuantitasnya cukup banyak dan mendominasi penggunaan lahan desa, seperti hutan lindung dan pekarangan. Sebagai bentuk kajian lainnya yang ada di kawasan penelitian kuliah kerja lapangan III maka akan dibahas secara detail pada kajian berdasarkan temuan di lapangan. Kajian temuan dalam laporan ini dimaksudkan sebagai bentuk komparasional akan kajian data atau disebut dengan nomograf. Selain itu kajian temuan merupakan aspek koreksi akan data yang dipaparkan dalam nomograf, karena data nomograf terkadang sudah using dan belum mengalami pembaruan karena adanya keterbatasan periode atau pengulangan survey secara menyeluruh disegala bidang. Penggunaan lahan dalam nomograf dengan ralitasnya dilapangan memiliki perbedaan yang cukup signifikan apabila ditelaah lebih jauh. Banyak aspek-aspek penggunaan lahan yang sudah berubah dan tidak sesuai dengan paparan data. Meskipun dalam kajian temuan ini tidak disampaikan secara mendetail mengenai luasan-luasan penggunaan lahan, namun akan dipaparkan perubahan penggunaan lahan di lapangan. Berdasarkan peta kajian geologi Kediri, maka didapatkan bahwa kawasan desa pandesari terletak pada lingkup kode batuan QPkb atau disebut dengan batuan gunung api kawi-butak. Satuan masanya, QPkb terletak pada masa pleistosen, khususnya pleistosen tengah hingga akhir Santosa dan Atmawinata, 1992. Letaknya diantara gunung kawi dan gunung butak, dengan variasi kawasan yang cukup, yaitu terdapat kontak batuan antara jenis batuan gunung butak dan jenis batuan gunung kawi. Selain itu terbentang sesar dan porsi igir juga mendominasi. Tidak menutup kemungkinan karena adanya kontak batuan dan sesar maka terdapat asosiasi batuan lainnya yaitu Qpvp atau disebut dengan batuan gunung api parasite tua pada masa pleistosen akhir. Karena memang batuan gunung api kawi butak menjangkau hingga pleistosen akhir. Selain itu terdapat bentukan gunung pehwangu pada pleistosen akhir, yang juga mengalami kontak akibat sesar yang berada disekitar gunung kawi, maka memang tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan menjadi batuan parasite tua termodifikasi dengan batuan kawi butak. Secara signigfikan, penggunaan lahan di kawasan desa pandesari telah mengalami banyak perubahan, bahkan hampir keseluruhan mengalami perubahan. Penggunaan lahan berdasarkan temuan penelitian kuliah kerja lapangan III menunjukkan bahwa kuantitas atau porsi penggunaan lahan untuk hutan lindung sudah sangat benyak berkurang. Dapat diasumsikan bahwa hutan lindung hanya sekedar tersisa sebesar 60 dari total yang disebutkan dalam nomograf. Sebagai sampelnya di dusun jurang rejo yang mana merupakan titik tertinggi desa pandesari menunjukkan bahwa terdapat perselingan antara hutan lindung dengan usaha msyarakat. Perselingan tersebut tidak hanya menguarangi porsi lahan untuk hutan lindung saja, namun juga merubah bentukan lahannya atau morfologinya. Perselingan tersebut dapat berupa penanaman secara massif untuk rumput gajah, maupun tanaman-tanaman kebutuhan sehari-hari seperti cabe, jahe, lengkuas, dan sebagainya. Perubahan morfologi yang sangat jelas terlihat adalah berupa pembuatan teras bangku yang selanjutnya oleh masyarakat ditanami dengan rumput gajah di semua lapisannya. Vegetasi yang awalnya merupakn pohon pinus semakin mengalami pergeseran dan pengurangan jumlah hingga 40. Menurut kepala dusun jurang rejo dalam wawancara mengenai peterbakan sapi perah di desa pandesari, menyatakan bahwa kauntitas lahan semakin tidak jelas arahnya kemana karena memang kebutuhan masyarakat akan rumput gajah sangat tinggi, sehingga banyak lahan yang secara illegal dimanfaatkan sebagai lahan untuk ditanami. Namun sebenarnya regulasi mengenai pemanfaatan lahan untuk ditanami dengan rumput gajah tidak dilarang, hanya saja pihak perhutani tidak mengijinkan adanya perubahan morfologi kawasan seperti pembuatan teras atau pengolahan lahan secara signifikan. Lahan masyarakat yang berbasis persawahan lebih memiliki kecenderungan tidak terlalu mendominasi, namun banyaknya tegalan mengindikasikan bahwa permasalahan kesulitan air memang terjadi di lapangan. Pertanian dengan skala kecil di dusun jurang rejo sebagai sampelnya membutuhkan setidaknya dukung diesel pompa air untuk mencukupi irigasinya, meskipun sebenarnya tanaman tersebut tidak terlalu besar ketergantungannya terhadap air. Penanaman akan wortel, kentang, daun bawang, jeruk nipis, cengkeh menyebar diseluruh kawasan desa pandesari. Sedang pengelolaannya dikategorikan atas kepemilikan lahan itu sendiri. Perubahan yang terjadi dalam penggunaan lahan tidak hanya sebatas itu, namun juga mencakup pada alih fungsinya. Karena pada titik tertinggi vegetasi penopang recharge area mengalami penurunan yang cukup signifikansi, maka tanah bagian top soil banyak tererosi dan mengalami pencucian mineralnya, sehingga berwarna merah dan hitam berselingan setiap teras tanahnya. Asosiasi regosol dan andosol memang signifikan di kawasan pandesari, namun pola penggunaan lahan yang mendukung semakin besarnya erosi menyebabkan perubahan pula pada hara tanah. Sehingga juga menyebabkan perubahan pola penggunaan tanah dibagian tengah dan bawah. Seperti yang pada awalnya warga menanam komoditas pertanian di bagian tengah, maka semakin lama warga akan semakin naik untuk menggunakan lahan dibawah kanopi hutan lindung yang notabene asosiasi regosol dan andosol masih baik. Penggunaan lahan lainnya yang digolongkan kedalam basis masyarakat adalah penggunaan untuk bangunan atau kuantitas lahan terbangun. Menurut nomograf, penggunaan lahan untuk kawasan terbangun seperti rumah warga, jalan, dan perkantoran disebutkan sedikit dan tidak melampaui 100 hektar. Sedangkan temuan di lapangan, bahwa semakin massifnya pembangunan rumah di kawasan atas, khususnya di dusun jurang rejo, termasuk pembangunan kandang sapi yang juga menambah padatnya perumahan. Kawasan perkantoran saja yang mungkin tidak mengalami signifikansi perubahan atau perluasan, sedangkan fasilitas umum, seperti jalan, dan sebagainya sangat mengalami perkembangan dan cukup mendominasi porsi penggunaan lahan di desa pandesari. Seperti pada kawasan atas, pembukaan jalan-jalan baru untuk memberikan akses sambungan terhadap dusun jurang rejo, sebaluh, dan krajan pasti telah menambah jumlah alokasi lahan yang terbangun untuk jalan dan mengurangi porsi penggunaan lahan untuk kawasan hutan lindung. Sejalan dengan hal tersebut, banyaknya pembangunan rumah makan di kawasan dusun krajan, juga menyebabkan berkurangnya kuantitas lahan tersebut. Hal ini dikarenakan factor destinasi yang sengaja diciptakan dengan landmark “pujon kecamatan susu” maka banyaknya wisatawan yang datang juga mengakibatkan masyarakat mengikuti alur perubahan tersebut. Kajian mengenai penggunaan lahan akan jauh lebih mendalam dibahas dan diperkuat dengan adanya kajian mengenai pH tanah, bahan organik tanah, Tabel 4.1 Warna, Kandungan Bahan Organik dan Kapur Tanah Nomer Titik Pengamatan HCl H 2 O 1 X = 0664857 Y = 9134066 Tidak Bereaksi Bereaksi 2 X = 0664856 Y = 9134081 Tidak Bereaksi Beraksi 3 X = 0664844 Y = 9134093 Tidak Bereaksi Bereaksi 4 Tanah warna coklat Tidak Bereaksi Bereaksi 5 Tanah warna hitam Tidak Bereaksi Bereaksi Pada proses pengukuran kemiringan lereng, diperoleh 7 sekmen dengan rata- rata prosentase mencapai 45. Untuk tiap sekmen pengambilan data dlakukan dengan cara mengambil jarak sepanjang 5 M. Hal tersebut bertujuan untuk menyesuaikan dengan kondisi umum topografi yang ada. Pada sekmen pertama, diperoleh hasil kemiringan sebesar 7° 30” jika diprosentasekan menjadi 35. Kondisi umum pada sekmen pertama yaitu berupa lahan pertanian sayur, dimana sistem pengairan yang ada sudah menggunakan sistim peranian yang notabennya cocok digunakan untuk lahan dengan kemiringan yang ada. Selain itu dari pengukuran beberapa sekmen selanjutnya juga memiliki karakteristik yang sama yaitu berada pada lahan pertanian dengan beberapa tutupan kanopi yang relatif lebat. Adapun pengambilan tiap sekmen yang ada diperoleh titik koordinat berupa UTM yakni: Tabel. 4.2 Kemiringan Lereng NO Titik Koordinat Kemiringan Prosentase 1. 0664334 9134063 7° 30” 35 2. 0664833 9134065 7° 50” 36 3. 0664842 9134066 12° 30” 45 4. 0664848 9134064 9° 0” 40 5. 0664854 9134067 19° 50” 65 6. 0664853 9134067 19° 10” 63 7. 0664829 9134090 20° 0” 65 Pada proses pengukuran lereng juga diketahui bahwa terdapat beberapa sekmen dengan kemiringan yang relatif sama akan tetapi juga diketahui terdapat 1 sekmen dengan kemiringan mencapai 65, adapun karakteristik dari lokasi kajian tersebut yaitu merupakan daerah batas terasiring sehingga pengukuran dengan jarak 5 M yang diambil memiliki tingkat kemiringan yang relatif tinggi. Pada lokasi kajian juga dilakukan proses penghitungan kerapatan kanopi. Penghitungan kerapatan kanopi didasarkan atas zonasi dan lokasi pengukuran kemiringan lereng. Pengukuran tingkat kerapatan yang ada dilakukan dengan cara mengambil jarak 15M². Pada penghitungan tersebut diperoleh hasil 46 pohon yang terdiri dari 23 pohon Pinus, 7 pohon lamtoro, 2 pohon nangka, 3 pohon jati, dan 5 pohon kopi. Dengan kondisi kerapatan kanopi yang relatif lebat, kemiringan lereng yang ada masih bisa terkonrol dari tingkat bahaya erosi. Selain itu pada sebagian lahan juga terdapat tanaman pakan ternak Rumput Gajah dan sebagian lagi digunakan sebagai lahan sayur gubis dan cabai rawit. Oleh karena itu pada lokasi kajian dapat diklasifikasikan sebgai lahan degan kondisi yang relatif miring akan tetapi masih tergolong aman dari tigkat bahaya erosi. Sehingga pada proses pengolahan selanjutnya perlu diperhitungkan lagi untuk pembuatan saluran pengairan yang ada agar konservasi lahan yang ada dapat terjaga dengan baik.

4.2 Kajian Sosial