KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA KELUARGA POLIGAMI

(1)

KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA KELUARGA POLIGAMI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Psikologi ( S-1)

Oleh : Ritna Sandri NIM : 06810158

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2011


(2)

ii 

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Skripsi : Komunikasi Interpersonal Pada Keluarga Poligami Nama Peneliti : Ritna Sandri

NIM : 06810158

Fakultas : Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang Waktu Penelitian : 28 November- 28 Desember 2010

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II


(3)

iii 

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi Ini Telah Diuji Oleh Dewan Penguji Pada Tanggal: 7 Mei 2011

Dewan Penguji

Ketua Penguji : Dra. Siti Suminarti F., M.Si ( )

Anggota Penguji : 1. M. Shohib, S.Psi, M.Si ( )

2. Zakarija Achmat, S.Psi, M.Si ( )

3. Linda Yani, S.Psi, M.Psi ( )

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang


(4)

iv 

LEMBAR PERNYATAAN ORISINILITAS

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Ritna Sandri

Tempat, Tanggal lahir : Malang, 24 September 1986

NIM : 06810158

Fakultas : Psikologi

Menyatakan bahwa skripsi/ karya ilmiah yang berjudul : Komunikasi Interpersonal Pada Keluarga Poligami

1. Adalah bukan merupakan karya tulis orang lain, baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk kutipan yang telah disebutkan sumbernya 2. Hasil tulis karya ilmiah/ skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan

Hak Bebas Royalti Non Eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik.

Mengetahui, Malang, 29 April 2011

Ketua Program Studi Yang menyatakan,


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas kasih sayang dan nikmat yang tak terhingga batasnya, sehingga skripsi yang berjudul

“ Komunikasi interpersonal pada keluarga poligami” dapat terselesaikan.

Selama pengerjaan skripsi ini telah begitu banyak pihak yang turut membantu penulis, oleh sebab itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah terlibat dalam penyusunan skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Tulus Winarsunu M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dra. Siti Suminarti F., M.Si selaku pembimbing I yang selalu sabar dalam memberikan koreksi, masukan, pemahaman serta pencerahan bagi penulis selama bimbingan skripsi.

3. Bapak M. Shohib S.Psi, M.Si, selaku pembimbing II yang selalu bersedia diajak berdikusi dan selalu memberikan semangat baru bagi penulis. 4. Bapak Muhammad Salis Yuniardi M.Psi, selaku Dosen Wali yang telah

begitu banyak membagikan pengalaman serta memberikan pengajaran berharga bagi penulis

5. Untuk seluruh keluarga tercinta penulis, Ayah, Ibu, Adik Mela, Adik Enjang, Emsa, Mbak Laras, Om Rahman, Om Iswari dan keluarga, Mas Heri, Mas Nuri dan Istri, Mba Tri dan keluarga serta Mama Nadif yang selalu memberikan dukungan bagi penulis untuk terus berusaha menyelesaikan skripsi ini.

6. Untuk seluruh keluarga Bapak Syukur di Banyusangka Madura yang telah membantu penulis selama proses penelitian berlangsung

7. Seluruh keluarga bapak BP, bapak RH, Ibu Karimah dan Ibu Misriah yang telah bersedia berbagi cerita dan pengalaman dengan penulis

8. Teman-teman seperjuangan, dinda Dyah ayu, dinda Luluk, dinda Gerry, Dinda Puput, Mba Alif, Mba Sundari dan tentu saja Rhen Haylong,


(6)

vi 

terimakasih atas doa dan dukungannya selama ini.

9. Teman-teman kos Adinda, Diktir calon novelis, Puput calon traveler, Mei calon teknisi dan pengusaha, Devi dan Dina calon business woman, Aria calon konsultan, Ulfa, Nurul dan Nitha calon pengusaha, Megha calon guru bertaraf internasional, Lidya calon dosen, Ratih calon guru serta winda calon pakar informatika, terimakasih atas ketulusan persahabatan yang selama ini diberikan kepada penulis

10. Teman-teman kelas F angkatan 2006, terimakasih atas pengalaman yang menakjubkan.

11. Teman-teman bimbingan, Shohibpan-Club (Nisa,Yoga, Dhika, Fauzi, Hilman) Dessy, Mba Nani, Mba Wahyu, Mba Dewi, Mba Lia, Mba Zeni, Mba Ratna, Mba Evelyn, Mas Ucok, Avin, Ikke trimakasih telah mengubah suasana bimbingan menjadi lebih “ Berwarna”.

12. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang juga telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih begitu banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis sungguh mengharapkan segala masukan, kritikan atau saran yang bisa digunakan demi mendapatkan hasil yang lebih baik dimasa mendatang.

Akhirnya, penulis berharap skripsi yang telah dibuat ini dapat membawa manfaat untuk semua pihak.

Malang, 2 Mei 2011

Penulis


(7)

vii  INTISARI

Sandri, Ritna. (2011). Komunikasi Interpersonal Pada Keluarga Poligami. Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Pembimbing:

(1) Dra. Siti Suminarti F., M.Si. (2) M. Shohib, S.Psi, M.Si

Kata Kunci : Komunikasi interpersonal, poligami, keluarga

Perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingin di capai oleh individu yang bersangkutan, demikian pula dalam hal perkawinan. tujuan dari perkawinan adalah untuk membangun keluarga yang bahagia. Keluarga adalah sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan perkawinan. Didalamnya hidup bersama pasangan suami-istri secara sah karena pernikahan, mereka hidup bersama dengan suatu tekad dan cita-cita untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera lahir dan batin. Poligami memiliki dampak yang cukup signifikan bagi keluarga, terutama anak dan istri. Komunikasi adalah suatu kegiatan yang pasti terjadi dalam kehidupan keluarga, tanpa komunikasi, kerawanan hubungan antara anggota keluargapun sulit untuk dihindari, oleh karena itu komunikasi yang efektif perlu dibangun karena dengan komunikasi yang efektif akan menciptakan keluarga yang sejahtera. Berdasarkan hal tersebut diatas menarik peneliti untuk mengungkap lebih jauh lagi tentang komunikasi interpersonal pada keluarga poligami.

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah deskriptif kualitatif. Metode pengambilan data yang digunakan adalah metode wawancara semi terstruktur. Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2 keluarga poligami (dalam hal ini suami yang memiliki dua istri), dengan demikian subyek dalam penelitian ini terdiri dari suami, istri pertama, istri kedua, dan anak dari istri pertama dan kedua. Tempat dan waktu penelitian dilakukan sesuai dengan tempat subyek tersebut tinggal. Analisa data yang digunakan meliputi reduksi data, penyajian data, verification. Pemeriksaan keabsahan data menggunakan teknik triangulasi sumber.

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah pada keluarga poligami yang harmonis, komunikasi interpersonal keluarganya efektif, sedangkan pada keluarga poligami yang kurang harmonis, komunikasi interpersonal keluarganya kurang efektif.


(8)

viii  ABSTRACT

Sandri, Ritna (2011). Interpersonal Communication Polygamy on the Family. Thesis, Faculty of Psychology Muhammadiyah University of Malang. Advisor: (1) Dra. Siti Suminarti F., M.Si. (2) M. Shohib, S. Psi, M.Si

Keywords: Interpersonal communication, polygamy, family

Marriage is one of the activities of individuals. Individual activities will generally be related to a goal to be achieved by the individuals concerned, as well as in the case of marriage. Purpose of marriage is to build a happy family. Family is an institution formed by the bond of marriage. In it lived with the couple legally by marriage, they lived together with a determination and the aspiration to form a happy and prosperous families and unseen. Polygamy has a significant impact for families, especially children and wife. Communication is an activity that must occur in family life, without communication, vulnerability relationships between family members difficult to avoid, therefore effective communication needs to be built because with effective communication will create a prosperous family. Based on the above attract researchers to uncover more about interpersonal communication in polygamous families.

This type of research used by the researchers was a descriptive qualitative. Data collection methods used were semi-structured interview method. The subjects used in this study is 2 family polygamy (in this case the husband who has two wives), so subjects in this study consisted of the husband, the first wife, second wife, and children from the first and second wives. Place and time of the research carried out in accordance with where the subject lived. Analysis of the data used included data reduction, data presentation, verification. Checking the validity of the source data using triangulation techniques.

Results obtained from these studies is that harmony in polygamous families, families interpersonal communication is effective, whereas in polygamous families are less harmonious, family interpersonal communication is less effective.


(9)

ix  DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAANN ORISINILITAS ... iv

KATA PENGANTAR ... v

INTISARI ... vi

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Komunikasi Interpersonal ... 8

1. Pengertian ... 8

2. Model Komunikasi Interpersonal ... 11

3. Prinsip Komunikasi Interpersonal ... 14

4. Tujuan Komunikasi ... 15

5. Karakteristik Komunikasi Interpersonal yang efektif ... 17

6. Keberhasilan Komunikasi ... 28


(10)

8. Faktor-faktor yang mempengaruhi Komunikasi

Interpersonal ... 30

9. Faktor-faktor yang mempengaruhi Komunikasi dalam Keluarga ... 42

B. Keluarga ... 43

1. Pengertian Keluarga ... 43

2. Bentuk-bentuk Keluarga ... 44

3. Fungsi-fungsi Keluarga ... 44

C. Poligami ... 46

1. Pengertian Poligami ... 46

2. Hak-hak Istri Dalam Perkawinan Poligami ... 46

D. Perkawinan ... 47

1. Pengertian Perkawinan ... 47

2. Tujuan Perkawinan ... 47

3. Latar Belakang Perkawinan ... 48

BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian ... 51

B. Batasan Istilah ... 51

C. Subyek Penelitian ... 52

D. Tempat dan Waktu Penelitian ... 52

E. Metode Pengumpulan Data ... 52

F. Prosedur Penelitian ... 53

G. Metode Analisa Data ... 54

H. Keabsahan Data ... 55

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subyek Penelitian ... 56


(11)

xi 

2. Keluarga Bapak RH ... 58

B. Deskripsi Data Penelitian ... 60

1. Keluarga Bapak BP ... 60

2. Keluarga Bapak RH ... 79

C. Analisa Data Penelitian ... 98

1. Keluarga Bapak BP ... 98

2. Keluarga Bapak RH ... 119

D. Pembahasan ... 144

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 156

B. Saran ... 156

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

         


(12)

xii 

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

Tabel 1 Identitas Subyek Penelitian ... 56 Tabel 2 Analisa Data Komunikasi Interpersonal

Keluarga Bapak BP ... 98 Tabel 3 Analisa Data Komunikasi Interpersonal

Keluarga Bapak RH ... 119


(13)

xiii 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Informed Consent Lampiran II : Guide Interview


(14)

xiv 

DAFTAR PUSTAKA

Ch, Mufidah. (2008). Psikologi keluarga islam berwawasan gender. Malang: UIN

Malang Press

Dagun, S.M. (2002). Psikologi keluarga. Jakarta: Asdi mahasatya

Devito, J.A. ( 1997). Komunikasi antar manusia. Jakarta: Professional Book

Djamarah, S.B. (2004). Pola komunikasi orang tua & anak dalam keluarga. Jakarta: Rineka cipta.

Endah, A. (2010). Mari bicara. Jakarta: Gramedia pustaka utama

Fakultas Psikologi UMM. (2010). Pedoman penyusunan skripsi. Malang: UMM Press

Kuntaraf, J., & Kuntaraf, L.H.K. (2003). Komunikasi keluarga kunci kebahagiaan anda. Jakarta: Indonesia publishing house

Lexy J, Moleong. (2004). Metode penelitian kualitatif. Bandung: Rosda

Rakhmat, J. (2008). Psikologi komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Setiati, E. (2007). Hitam putih poligami. Jakarta: Cisera publishing


(15)

xv 

Sugiono. (2008). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta

Walgito, B. (2004). Bimbingan dan konseling perkawinan. Yogyakarta: Andi

Wood, Julia T. 2005. Interpersonal Communication Everyday Encounters. Third Edition


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan-kebutuhan seperti makhluk hidup yang lain, baik kebutuhan-kebutuhan untuk melangsungkan eksistensinya sebagai makhluk, maupun kebutuhan-kebutuhan yang lain. Kebutuhan manusia tidak terbilang banyaknya, Menurut Gerungan (dalam Walgito, 2004:16)) adanya tiga macam kelompok kebutuhan manusia itu, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis, sosiologis dan theologis. Hal ini didasarkan atas pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk biologis, sosial dan religi. Disamping itu Maslow (dalam Walgito, 2004:16-17) mengemukakan bahwa adanya beberapa kebutuhan yang ada pada manusia yang sifatnya hirarkhis. Sesuatu kebutuhan akan timbul bila kebutuhan yang lebih rendah telah terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan yang ada pada manusia itu adalah the physiological needs, the safety needs, the belongingness and love needs, the esteem needs, dan the needs for self-actualization, pada dasarnya kebutuhan-kebutuhan diatas menghendaki adanya pemenuhan, karena itu manusia berbuat ataupun bertingkah laku akan dikaitkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan dengan menikah sebagian besar kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat terpenuhi.

Perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingin di capai oleh individu yang bersangkutan, demikian pula dalam hal perkawinan. Karena perkawinan merupakan suatu aktivitas dari suatu pasangan, maka sudah selayaknya merekapun juga mempunyai tujuan tertentu. (Walgito, 2004:13).

Menurut Undang perkawinan, yang di kenal dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seoarang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa., dalam pasal 1 Undang-Undang perkawinan tersebut


(17)

2

di atas dengan jelas disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan dalam islam salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk membangun keluarga bahagia, sakinah, mawadah wa rahmah sebagaimana prinsip membangun keluarga dalam islam . Abdullah menyebutkan mawaddah dipahami sebagai to love each other, Rahmah dipahami sebagai relieve from suffering through symphaty to show human understanding from one another, love and respect one another dan sakinah dipahami to be or become trainquil, peaceful, God inspired peace of mind . (Mufidah , 2008:48-49)

Dengan demikian tujuan dari perkawinan adalah untuk membangun keluarga yang bahagi. Keluarga adalah sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan perkawinan. Didalamnya hidup bersama pasangan suami-istri secara sah karena pernikahan, mereka hidup bersama dengan suatu tekad dan cita-cita untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera lahir dan batin. Ketika sebuah keluarga terbentuk, komunitas baru karena hubungan darah pun terbentuk pula, didalamnya ada suami, istri dan anak sebagai penghuninya. Saling berhubungan, saling berinteraksi diantara mereka melahirkan dinamika kelompok karena berbagai kepentingan, yang terkadang bisa memicu konflik dalam keluarga. (Djamarah, 2004:16-17).

Menjelang akhir tahun 2006 pemberitaan poligami menduduki raking tertinggi di semua stasiun televisi swasta dan media cetak. Ustad kondang K.H. Abdullah Gymnastiar atau yang akrab disapa Aa Gym telah memukul genderang masalah poligami sebagai sebuah fenomena perkawinan masa kini. Tentu saja hal itu membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan staf kementerian merasa kewalahan, hingga akhirnya Presiden SBY mengeluarkan statement akan merevisi kembali isi UU No.1 tahun 1975 dan PP No.10 tahun 1990 menjadi peraturan perkawinan yang baru, yang didalamnya memuat sanksi bagi pelaku poligami dan aparat Kantor Pengadilan Agama yang memberikan izin poligami bagi suami atau laki-laki yang melanggar peraturan persyaratan poligami. Gerak cepat Presiden SBY menanggapi keresahan warga dilandasi kekhawatirannya terhadap para pegawai negeri sipil PNS, pejabat negara, kalangan ABRI dan masyarakat akan


(18)

3

mengikuti jejak ustad Aa Gym sebagai pelaku poligami yang merupakan da’i panutan masyarakat indonesia. Ketakutan akan “demam poligami” tidak hanya membuat resah Presiden SBY tetapi juga masyarakat. Berbagai komentar pun bermunculan, ada yang bersikap pro, ada pula yang kontra menanggapi perkawinan poligami seperti yang dilakukan oleh Aa’Gym, yang dianggap masyarakat sebagai tokoh panutan malah menyimpang dari arus perkawinan yang diakui di negara kita yaitu perkawinan monogami. ( Setiati, 2007:13-14).

Rasyid Ridha mengatakan, sebagaimana yang di kutip oleh Masyfuk Zuhdi, sebagai berikut : Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/ madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak – watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis (Ghozali, 2008: 130-131).

Sedangkan dalam konteks perkawinan yang berkesetaraan dan berkeadilan gender yang mengacu pada empat indikator, yaitu suami istri sama-sama memiliki akses dalam kehidupan rumah tangga, menerima wewenang dan tanggung jawab yang sama termaksuk dalam pengambilan keputusan, serta sama-sama mendapatkan manfaat dalam kehidupan rumah tangga, perkawinan poligami sulit rasanya untuk mewujudkan indikator kesetaraan gender karena kondisi awal dalam membangun rumah tangga posisi suami istri tidak sama sehingga berpengaruh dalam ekses, pembagian peran dan tanggungjawab, khususnya pengambilan keputusan serta penerima manfaat dalam aktifitas rumah tangga tersebut. Ketidaksetaraan ini melahirkan diskriminasi gender yang pada umumnya menimpa pada istri dan sebagian dari suami (Mufidah Ch, 2008:238).

Dari 42.769 angka perceraian yang tercatat Bimas Islam sepanjang tahun 2004, sebanyak 813 kali perceraian disebabkan oleh poligami. Jumlah perceraian akibat poligami terus meningkat dua tahun berikutnya.

Tahun Angka Perceraian Akibat Poligami


(19)

4

2005 55.509 879

2006 Tidak ada data 983

Sumber: Bimasislam.net, 24 Agustus 2007

Pada 2006 terdapat hampir 1.000 kasus perceraian karena suami menikahi wanita lain. Pernikahan poligami juga meningkat. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan menerima 87 laporan poligami pada tahun 2008, meningkat dari 16 pada tahun 2007. Direktur Jenderal Bimas Islam Departemen Agama Nasaruddin Umar: “Terjadi banyak peningkatan perceraian yang signifikan karena wanita-wanita telah menolak poligami pada beberapa tahun terakhir.” (Error! Hyperlink reference not valid.diakses 25 mei 2010 ) dan dari total kasus 15.771 perceraian di Indonesia sepanjang 2007, poligami memicu 937 kasus perceraian. Angka ini merupakan angka terakhir yang berhasil dihimpun oleh Pengadilan agama diseluruh Indonesia.

(http://www.detiknews.com/read/2010/02/22/102434/1304065/10/selingkuh-penyebab-10-ribu-kasus-perceraian-poligami-hanya-937-kasus) diakses 27 mei 2010)

Kementerian Agama RI menyebutkan, angka perceraian di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Data terakhir mencatat terjadinya 250 ribu kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2009. Angka ini setara dengan 10% dari jumlah pernikahan di tahun 2009 sebanyak 2,5 juta. Jumlah perceraian tersebut naik 50 ribu kasus dibanding tahun 2008 yang mencapai 200 ribu perceraian.

(http://www.esqmagazine.com/nasional/2010/02/27/1587/angka-perceraian-2009-meningkat.html diakses 28 mei 2010), dengan demikian dalam lima tahun

terakhir kasus perceraian meningkat lebih dari 40 persen, di mana pada lima tahun lalu angka perceraian masih di bawah 100 ribu, tetapi kini mencapai sekitar 200 ribu, dimana hampir 70 persen justru istri yang menceraikan suami (gugat cerai) dan hanya 30 persen suami yang menceraikan, perceraian terjadi karena 13 kriteria, antara lain, ketidakcocokan, kekerasan dalam rumah tangga, poligami, masalah ekonomi, nikah di bawah tangan, salah satu pasangan menjadi TKI atau jarak usia yang terlalu jauh .


(20)

5

(http://www.berita8.com/news.php?tgl=2009-08-15&cat=2&id=14139 diakses 29 mei 2010).

Poligami memiliki dampak yang cukup signifikan bagi keluarga, terutama anak dan istri. Kurangnya kasih sayang ayah kepada anaknya, berarti anak akan menderita karena kebutuhan bathinnya yang tidak terpenuhi. Selain itu, kurangnya perhatian dan kontrol dari ayah kepada anak-anaknya maka akan menyebabkan anak tumbuh dan berkembang dengan bebas. Dalam kebebasan ini anak tidak jarang mengalami kemrosotan moral, karena dalam pergaulannya dengan orang lain yang terpengaruh kepada hal-hal yang kurang wajar.

Margaret Mead, seorang antropolog terkenal mengatakan bahwa cara-cara pengasuhan yang hanya mengandalkan ibu sebagai satu-satunya tokoh, akan menimbulkan banyak masalah pada anak. Karena hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bagi anak untuk berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang di sekelilingnya.

Selain itu poligami juga memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap istri pertama, berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan LBH Apik Jakarta tahun 2003-2005, poligami mengakibatkan dampak sebagai berikut:

NO JENIS DAMPAK JUMLAH

1 Tidak memberi nafkah 37

2 Tekanan psikis 21

3 Penganiayaan fisik 7

4 Diceraikan suami 6

5 Ditelantarkan suami 23

6 Pisah ranjang 11

7 Mendapat terror dari istri kedua 2

Jumlah 107

Dengan demikian berdasarkan tabel diatas dapat di ketahui bahwa poligami memberikan dampak yang negatif terhadap istri pertama, akan tetapi organisasi wanita Nasional Utah (NOWU) berpendapat bahwa poligami mampu memberikan solusi bagi permasalahan para ibu yang bekerja, dimana poligami merupakan ide


(21)

6

yang cukup baik bagi para wanita karir. Mereka dapat mengembangkan karir dan dan sekaligus memiliki orang dirumah yang dapat mereka percaya untuk merawat anak-anaknya, tentu hal ini akan menyelesaikan permasalahan yang biasanya muncul dalam keluarga. Namun mungkin poligami dapat bermanfaat bagi sebagian orang dan mungkin ini dapat menjadikan pengasuhan anak-anak menjadi lebih mudah bagi mereka yang berusaha menyiasati karir dan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. ( Thalib, 2004: 66-67).

Dengan demikian jika mengacu pada tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka praktik poligami akan diragukan dapat mencapai tujuan tersebut.

Komunikasi adalah suatu kegiatan yang pasti terjadi dalam kehidupan keluarga, tanpa komunikasi, kerawanan hubungan antara anggota keluargapun sulit untuk dihindari, oleh karena itu komunikasi yang harmonis perlu dibangun karena dengan komunikasi yang harmonis akan menciptakan keluarga yang sejahtera, sekaligus sebagai upaya untuk membentuk anak yang cerdas, hal ini dikarenakan pola komunikasi yang baik akan menciptakan pola asuh yang baik.

Pola komunikasi keluarga merupakan bentuk komunikasi yang dilakukan diantara anggota keluarga dalam menyampaikan pesan kepada anggota keluarga yang lain, dalam kajian komunikasi keluarga, apabila kita mengacu pada hakekat dasar komunikasi yaitu kegiatan yang melibatkan komponen komunikator, pesan, saluran dan komunikan, maka komunikasi keluarga adalah komunikasi dengan komponen-komponennya yang terjadi didalam keluarga, dengan demikian komunikasi keluarga adalah komunikasi yang terjadi diantara orang tua dengan anak-anaknya dan suami dengan istri, dalam berbagai hal sebagai sarana bertukar pikiran, mensosialisasikan nilai-nilai kepribadian orang tua kepada anaknya, dan penyampaian segala persoalan atau keluh kesah dari anak kepada kedua orang tuanya. Jadi hakekat komunikasi keluarga dilaksanakan sebagai upaya untuk menciptakan keluarga yang saling mengenal dan saling memahami sesama anggota keluarga sehingga dari situ dapat tercipta suasana yang harmonis dalam keluarga tersebut. ( Komala, dkk, 2005: 11).


(22)

7

Berdasarkan beberapa fenomena dan permasalahan yang telah dipaparkan tersebut diatas. Hal tersebut menarik peneliti untuk mengungkap lebih jauh lagi tentang komunikasi interpersonal pada keluarga poligami.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : “Bagaimana komunikasi interpersonal pada keluarga poligami?”.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komunikasi interpersonal pada keluarga poligami.

D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis

1) Sebagai referensi bagi perkembangan ilmu psikologi perkembangan terutama psikologi keluarga dan perkawinan.

2) Sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya yang mempunyai keterkaitan dengan masalah dalam penelitian ini

2. Praktis

1) Untuk memberikan masukan kepada keluarga poligami agar menjaga efektivitas komunikasi interpersonal yang baik sehingga hubungan keluarga akan harmonis .

2) Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh institusi-institusi terkait dalam melihat realita komunikasi interpersonal pada keluarga poligami.


(1)

di atas dengan jelas disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan dalam islam salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk membangun keluarga bahagia, sakinah, mawadah wa rahmah sebagaimana prinsip membangun keluarga dalam islam . Abdullah menyebutkan mawaddah dipahami sebagai to love each other, Rahmah dipahami sebagai relieve from suffering through symphaty to show human understanding from one another, love and respect one another dan sakinah dipahami to be or become trainquil, peaceful, God inspired peace of mind . (Mufidah , 2008:48-49)

Dengan demikian tujuan dari perkawinan adalah untuk membangun keluarga yang bahagi. Keluarga adalah sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan perkawinan. Didalamnya hidup bersama pasangan suami-istri secara sah karena pernikahan, mereka hidup bersama dengan suatu tekad dan cita-cita untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera lahir dan batin. Ketika sebuah keluarga terbentuk, komunitas baru karena hubungan darah pun terbentuk pula, didalamnya ada suami, istri dan anak sebagai penghuninya. Saling berhubungan, saling berinteraksi diantara mereka melahirkan dinamika kelompok karena berbagai kepentingan, yang terkadang bisa memicu konflik dalam keluarga. (Djamarah, 2004:16-17).

Menjelang akhir tahun 2006 pemberitaan poligami menduduki raking tertinggi di semua stasiun televisi swasta dan media cetak. Ustad kondang K.H. Abdullah Gymnastiar atau yang akrab disapa Aa Gym telah memukul genderang masalah poligami sebagai sebuah fenomena perkawinan masa kini. Tentu saja hal itu membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan staf kementerian merasa kewalahan, hingga akhirnya Presiden SBY mengeluarkan statement akan merevisi kembali isi UU No.1 tahun 1975 dan PP No.10 tahun 1990 menjadi peraturan perkawinan yang baru, yang didalamnya memuat sanksi bagi pelaku poligami dan aparat Kantor Pengadilan Agama yang memberikan izin poligami bagi suami atau laki-laki yang melanggar peraturan persyaratan poligami. Gerak cepat Presiden SBY menanggapi keresahan warga dilandasi kekhawatirannya terhadap para pegawai negeri sipil PNS, pejabat negara, kalangan ABRI dan masyarakat akan


(2)

mengikuti jejak ustad Aa Gym sebagai pelaku poligami yang merupakan da’i panutan masyarakat indonesia. Ketakutan akan “demam poligami” tidak hanya membuat resah Presiden SBY tetapi juga masyarakat. Berbagai komentar pun bermunculan, ada yang bersikap pro, ada pula yang kontra menanggapi perkawinan poligami seperti yang dilakukan oleh Aa’Gym, yang dianggap masyarakat sebagai tokoh panutan malah menyimpang dari arus perkawinan yang diakui di negara kita yaitu perkawinan monogami. ( Setiati, 2007:13-14).

Rasyid Ridha mengatakan, sebagaimana yang di kutip oleh Masyfuk Zuhdi, sebagai berikut : Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/ madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak – watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis (Ghozali, 2008: 130-131).

Sedangkan dalam konteks perkawinan yang berkesetaraan dan berkeadilan gender yang mengacu pada empat indikator, yaitu suami istri sama-sama memiliki akses dalam kehidupan rumah tangga, menerima wewenang dan tanggung jawab yang sama termaksuk dalam pengambilan keputusan, serta sama-sama mendapatkan manfaat dalam kehidupan rumah tangga, perkawinan poligami sulit rasanya untuk mewujudkan indikator kesetaraan gender karena kondisi awal dalam membangun rumah tangga posisi suami istri tidak sama sehingga berpengaruh dalam ekses, pembagian peran dan tanggungjawab, khususnya pengambilan keputusan serta penerima manfaat dalam aktifitas rumah tangga tersebut. Ketidaksetaraan ini melahirkan diskriminasi gender yang pada umumnya menimpa pada istri dan sebagian dari suami (Mufidah Ch, 2008:238).

Dari 42.769 angka perceraian yang tercatat Bimas Islam sepanjang tahun 2004, sebanyak 813 kali perceraian disebabkan oleh poligami. Jumlah perceraian akibat poligami terus meningkat dua tahun berikutnya.

Tahun Angka Perceraian Akibat Poligami


(3)

2005 55.509 879

2006 Tidak ada data 983

Sumber: Bimasislam.net, 24 Agustus 2007

Pada 2006 terdapat hampir 1.000 kasus perceraian karena suami menikahi wanita lain. Pernikahan poligami juga meningkat. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan menerima 87 laporan poligami pada tahun 2008, meningkat dari 16 pada tahun 2007. Direktur Jenderal Bimas Islam Departemen Agama Nasaruddin Umar: “Terjadi banyak peningkatan perceraian yang signifikan karena wanita-wanita telah menolak poligami pada beberapa tahun terakhir.” (Error! Hyperlink reference not valid.diakses 25 mei 2010 ) dan dari total kasus 15.771 perceraian di Indonesia sepanjang 2007, poligami memicu 937 kasus perceraian. Angka ini merupakan angka terakhir yang berhasil dihimpun oleh Pengadilan agama diseluruh Indonesia.

(http://www.detiknews.com/read/2010/02/22/102434/1304065/10/selingkuh-penyebab-10-ribu-kasus-perceraian-poligami-hanya-937-kasus) diakses 27 mei 2010)

Kementerian Agama RI menyebutkan, angka perceraian di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Data terakhir mencatat terjadinya 250 ribu kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2009. Angka ini setara dengan 10% dari jumlah pernikahan di tahun 2009 sebanyak 2,5 juta. Jumlah perceraian tersebut naik 50 ribu kasus dibanding tahun 2008 yang mencapai 200 ribu perceraian. (http://www.esqmagazine.com/nasional/2010/02/27/1587/angka-perceraian-2009-meningkat.html diakses 28 mei 2010), dengan demikian dalam lima tahun terakhir kasus perceraian meningkat lebih dari 40 persen, di mana pada lima tahun lalu angka perceraian masih di bawah 100 ribu, tetapi kini mencapai sekitar 200 ribu, dimana hampir 70 persen justru istri yang menceraikan suami (gugat cerai) dan hanya 30 persen suami yang menceraikan, perceraian terjadi karena 13 kriteria, antara lain, ketidakcocokan, kekerasan dalam rumah tangga, poligami, masalah ekonomi, nikah di bawah tangan, salah satu pasangan menjadi TKI atau jarak usia yang terlalu jauh .


(4)

(http://www.berita8.com/news.php?tgl=2009-08-15&cat=2&id=14139 diakses 29 mei 2010).

Poligami memiliki dampak yang cukup signifikan bagi keluarga, terutama anak dan istri. Kurangnya kasih sayang ayah kepada anaknya, berarti anak akan menderita karena kebutuhan bathinnya yang tidak terpenuhi. Selain itu, kurangnya perhatian dan kontrol dari ayah kepada anak-anaknya maka akan menyebabkan anak tumbuh dan berkembang dengan bebas. Dalam kebebasan ini anak tidak jarang mengalami kemrosotan moral, karena dalam pergaulannya dengan orang lain yang terpengaruh kepada hal-hal yang kurang wajar.

Margaret Mead, seorang antropolog terkenal mengatakan bahwa cara-cara pengasuhan yang hanya mengandalkan ibu sebagai satu-satunya tokoh, akan menimbulkan banyak masalah pada anak. Karena hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bagi anak untuk berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang di sekelilingnya.

Selain itu poligami juga memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap istri pertama, berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan LBH Apik Jakarta tahun 2003-2005, poligami mengakibatkan dampak sebagai berikut:

NO JENIS DAMPAK JUMLAH

1 Tidak memberi nafkah 37

2 Tekanan psikis 21

3 Penganiayaan fisik 7

4 Diceraikan suami 6

5 Ditelantarkan suami 23

6 Pisah ranjang 11

7 Mendapat terror dari istri kedua 2

Jumlah 107

Dengan demikian berdasarkan tabel diatas dapat di ketahui bahwa poligami memberikan dampak yang negatif terhadap istri pertama, akan tetapi organisasi wanita Nasional Utah (NOWU) berpendapat bahwa poligami mampu memberikan solusi bagi permasalahan para ibu yang bekerja, dimana poligami merupakan ide


(5)

yang cukup baik bagi para wanita karir. Mereka dapat mengembangkan karir dan dan sekaligus memiliki orang dirumah yang dapat mereka percaya untuk merawat anak-anaknya, tentu hal ini akan menyelesaikan permasalahan yang biasanya muncul dalam keluarga. Namun mungkin poligami dapat bermanfaat bagi sebagian orang dan mungkin ini dapat menjadikan pengasuhan anak-anak menjadi lebih mudah bagi mereka yang berusaha menyiasati karir dan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. ( Thalib, 2004: 66-67).

Dengan demikian jika mengacu pada tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka praktik poligami akan diragukan dapat mencapai tujuan tersebut.

Komunikasi adalah suatu kegiatan yang pasti terjadi dalam kehidupan keluarga, tanpa komunikasi, kerawanan hubungan antara anggota keluargapun sulit untuk dihindari, oleh karena itu komunikasi yang harmonis perlu dibangun karena dengan komunikasi yang harmonis akan menciptakan keluarga yang sejahtera, sekaligus sebagai upaya untuk membentuk anak yang cerdas, hal ini dikarenakan pola komunikasi yang baik akan menciptakan pola asuh yang baik.

Pola komunikasi keluarga merupakan bentuk komunikasi yang dilakukan diantara anggota keluarga dalam menyampaikan pesan kepada anggota keluarga yang lain, dalam kajian komunikasi keluarga, apabila kita mengacu pada hakekat dasar komunikasi yaitu kegiatan yang melibatkan komponen komunikator, pesan, saluran dan komunikan, maka komunikasi keluarga adalah komunikasi dengan komponen-komponennya yang terjadi didalam keluarga, dengan demikian komunikasi keluarga adalah komunikasi yang terjadi diantara orang tua dengan anak-anaknya dan suami dengan istri, dalam berbagai hal sebagai sarana bertukar pikiran, mensosialisasikan nilai-nilai kepribadian orang tua kepada anaknya, dan penyampaian segala persoalan atau keluh kesah dari anak kepada kedua orang tuanya. Jadi hakekat komunikasi keluarga dilaksanakan sebagai upaya untuk menciptakan keluarga yang saling mengenal dan saling memahami sesama anggota keluarga sehingga dari situ dapat tercipta suasana yang harmonis dalam keluarga tersebut. ( Komala, dkk, 2005: 11).


(6)

Berdasarkan beberapa fenomena dan permasalahan yang telah dipaparkan tersebut diatas. Hal tersebut menarik peneliti untuk mengungkap lebih jauh lagi tentang komunikasi interpersonal pada keluarga poligami.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : “Bagaimana komunikasi interpersonal pada keluarga poligami?”.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komunikasi interpersonal pada keluarga poligami.

D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis

1) Sebagai referensi bagi perkembangan ilmu psikologi perkembangan terutama psikologi keluarga dan perkawinan.

2) Sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya yang mempunyai keterkaitan dengan masalah dalam penelitian ini

2. Praktis

1) Untuk memberikan masukan kepada keluarga poligami agar menjaga efektivitas komunikasi interpersonal yang baik sehingga hubungan keluarga akan harmonis .

2) Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh institusi-institusi terkait dalam melihat realita komunikasi interpersonal pada keluarga poligami.