Alternatif Media Kultur dan Model Infeksi Leucocytozoon caulleryi Menggunakan Telur Embrio Tertunas.

RINGKASAN
INDRA BAGUS PRIASTOMO. Alternatif Media Kultur dan Model Infeksi
Agen Parasit Leucocytozoon caulleryi Menggunakan Telur Embrio Tertunas.
Dibawah bimbingan UMI CAHYANINGSIH.

Penelitian ini dirancang untuk mengetahui penggunaan telur embrio
tertunas sebagai media kultur dan model infeksi agen parasit Leucocytozoon
caulleryi. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi persentase parasitemia dan
diferensial leukosit embrio ayam. Penelitian ini menggunakan 24 telur embrio
tertunas sebagai media kultur parasit fase gametosit dengan menggunakan rute
inokulasi melalui membran korioalantois dan kantung alantois. Inokulasi
dilakukan pada umur embrio 13 hari dan ulas darah embrio dilakukan pada umur
embrio 16, 17, 18, dan 19 hari. Penelitian ini menggunakan rancangan kelompok
lengkap teracak dengan ulangan sebanyak tiga kali. Hasil penelitian menunjukan
perbedaan

nyata

pada

parasitemia


yang

diinokulasi

melalui

membran

korioalantois dan kantung alantois. Membran korioalantois menunjukan
persentase parasitemia lebih tinggi dibandingkan rute kantung alantois. Nilai
diferensial leukosit menunjukan perbedaan nyata pada perbedaan rute inokulasi
dan umur embrio. Limfosit merupakan diferensial leukosit tertinggi pada embrio
ayam diikuti dengan heterofil, monosit, basofil, dan eosinofil.

Kata kunci : Leucocytozoon caulleryi, Telur Embrio Tertunas, Leukosit

ABSTRACT
INDRA BAGUS PRIASTOMO. Embryonated Egg as Alternative Cultivation
Media and Infection Model of Parasite Leucocytozoon caulleryi. Under direction :

UMI CAHYANINGSIH.

This research was designed to understand utilization of embryonated egg
as cultivation media and infection model of parasite Leucocytozoon caulleryi. An
examination included percentage of parasitemia and leukocyte differential of
chicken embryo. This research used 24 embryonated egg which were inoculated
with gametocytes of L. caulleryi via chorioallantoic membrane (CAM) and
allantoic cavity (AC) route. Inoculation were done at 13 days old and blood smear
of embryo were done at 16, 17,18, and 19 days old. The result showed significant
different of inoculation route and each embryonated egg’s age. Inoculation route
via CAM showed higher parasitemia than AC. The highest of parasitemia were
showed at 19 days old of embryonated egg (6 days post-inoculation) both CAM
and AC. Percentage of leukocyte differential showed significant different of both
inoculation route and embryo’s egg on 16, 17, 18, and 19 days old. Both CAM
and AC route showed same percentage of lymphocyte as the highest percentage
followed by heterophil, monocyte, basophil, and eosinophil. Thus, embryonated
egg could be used as alternative cultivation media with chorioallantoic membrane
as better inoculation route and infection model which was showed by imune
response from leukocyte differential.
Keywords : Leucocytozoon caulleryi, Embryonated Egg, Leukocyte.


ALTERNATIF MEDIA KULTUR DAN MODEL INFEKSI
PARASIT Leucocytozoon caulleryi MENGGUNAKAN TELUR
EMBRIO TERTUNAS

INDRA BAGUS PRIASTOMO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Alternatif Media
Kultur dan Model infeksi Parasit Leucocytozoon caulleryi Menggunakan Telur
Embrio Tertunas adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber


informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Juli 2012

Indra Bagus Priastomo
NIM B04062761

RINGKASAN
INDRA BAGUS PRIASTOMO. Alternatif Media Kultur dan Model Infeksi
Agen Parasit Leucocytozoon caulleryi Menggunakan Telur Embrio Tertunas.
Dibawah bimbingan UMI CAHYANINGSIH.

Penelitian ini dirancang untuk mengetahui penggunaan telur embrio
tertunas sebagai media kultur dan model infeksi agen parasit Leucocytozoon
caulleryi. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi persentase parasitemia dan
diferensial leukosit embrio ayam. Penelitian ini menggunakan 24 telur embrio
tertunas sebagai media kultur parasit fase gametosit dengan menggunakan rute

inokulasi melalui membran korioalantois dan kantung alantois. Inokulasi
dilakukan pada umur embrio 13 hari dan ulas darah embrio dilakukan pada umur
embrio 16, 17, 18, dan 19 hari. Penelitian ini menggunakan rancangan kelompok
lengkap teracak dengan ulangan sebanyak tiga kali. Hasil penelitian menunjukan
perbedaan

nyata

pada

parasitemia

yang

diinokulasi

melalui

membran


korioalantois dan kantung alantois. Membran korioalantois menunjukan
persentase parasitemia lebih tinggi dibandingkan rute kantung alantois. Nilai
diferensial leukosit menunjukan perbedaan nyata pada perbedaan rute inokulasi
dan umur embrio. Limfosit merupakan diferensial leukosit tertinggi pada embrio
ayam diikuti dengan heterofil, monosit, basofil, dan eosinofil.

Kata kunci : Leucocytozoon caulleryi, Telur Embrio Tertunas, Leukosit

ABSTRACT
INDRA BAGUS PRIASTOMO. Embryonated Egg as Alternative Cultivation
Media and Infection Model of Parasite Leucocytozoon caulleryi. Under direction :
UMI CAHYANINGSIH.

This research was designed to understand utilization of embryonated egg
as cultivation media and infection model of parasite Leucocytozoon caulleryi. An
examination included percentage of parasitemia and leukocyte differential of
chicken embryo. This research used 24 embryonated egg which were inoculated
with gametocytes of L. caulleryi via chorioallantoic membrane (CAM) and
allantoic cavity (AC) route. Inoculation were done at 13 days old and blood smear
of embryo were done at 16, 17,18, and 19 days old. The result showed significant

different of inoculation route and each embryonated egg’s age. Inoculation route
via CAM showed higher parasitemia than AC. The highest of parasitemia were
showed at 19 days old of embryonated egg (6 days post-inoculation) both CAM
and AC. Percentage of leukocyte differential showed significant different of both
inoculation route and embryo’s egg on 16, 17, 18, and 19 days old. Both CAM
and AC route showed same percentage of lymphocyte as the highest percentage
followed by heterophil, monocyte, basophil, and eosinophil. Thus, embryonated
egg could be used as alternative cultivation media with chorioallantoic membrane
as better inoculation route and infection model which was showed by imune
response from leukocyte differential.
Keywords : Leucocytozoon caulleryi, Embryonated Egg, Leukocyte.

ii

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

ii

ALTERNATIF MEDIA KULTUR DAN MODEL INFEKSI
PARASIT Leucocytozoon caulleryi MENGGUNAKAN TELUR
EMBRIO TERTUNAS

INDRA BAGUS PRIASTOMO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2012

iii

Judul Skripsi : Alternatif Media Kultur dan Model Infeksi Leucocytozoon
caulleryi Menggunakan Telur Embrio Tertunas.
Nama

: Indra Bagus Priastomo

NIM

: B04062761

Disetujui :

Dr. drh. Umi Cahyaningsih, MS
Dosen Pembimbing


Diketahui,

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus :

iv

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia yang diberikan sehingga penelitian dan skripsi ini dapat diselesaikan.
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan September hingga Desember 2010
dan diberi judul “Alternatif Media Kultur dan Model Infeksi Parasit
Leucocytozoon caulleryi Menggunakan Telur Embrio Tertunas”.
Atas selesainya skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua, adik, dan keluarga besar yang tak henti-hentinya
mendoakan, atas segala kasih sayang, pengorbanan dan dukungan yang
diberikan.

2. Dr. drh. Umi Cahyaningsih selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktunya yang berharga untuk mengarahkan, memberikan
motivasi, membagi ilmu dan senantiasa sabar dalam membimbing penulis.
3. Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD selaku pembimbing akademik yang
senantiasa memberikan perhatian dan arahan selama menjalani masa
perkuliahan.
4. Drh. Akhmad Arif Amin, drh. Retno Wulansari, drh. Wahono Esthi
Setyaningtyas, drh. Okti Nadia Putri, selaku dosen penilai seminar dan
penguji sidang yang telah membantu penulis, mengarahkan, memberikan
masukan, dan membagi ilmu, serta bimbingan bagi penulis.
5. Teman–teman aesculapius FKH 43, IAAS Local Committee IPB,
Keluarga Besar IAAS National Committee, IAAS National, dan semua
pihak yang telah membantu, mendukung dan memberikan kontribusi
dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung,
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga skripsi ini dapat digunakan dan dimanfaatkan dengan semestinya.
Bogor, Juli 2012
Penulis

v

RIWAYAT HIDUP
Penulis dengan nama lengkap Indra Bagus Priastomo lahir di Jember pada
tanggal 25 Maret 1988 dari ayah Rustomo dan ibu Menik Sri Indari. Penulis
merupakan anak pertama dari empat bersaudara.
Penulis lulus dari SDN Kepatihan 17 Jember, Kabupaten Jember, Jawa
Timur pada tahun 2000 dan kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1
Jember serta lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan
pendidikan dari SMU Negeri 2 Jember dan diterima sebagai mahasiswa Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) serta
memilih mayor Kedokteran Hewan.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi International
Asscociation of Student in Agriculture and Related Sciences (IAAS) baik lingkup
komite lokal hingga nasional. Penulis juga terdaftar sebagai anggota Himpunan
Minat dan Profesi Ruminansia. Prestasi internasional penulis yaitu sebagai penyaji
makalah dalam 1st International Agriculture Student Symposium di Universiti
Putra Malaysia (UPM), Malaysia dan delegasi IPB dalam World Leadership
Conference 2009 di Singapura. Prestasi penulis lainnya sebagai Mahasiswa
Berprestasi IV Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Delegasi IPB dalam
Kongress Nasional IAAS selama 3 tahun berturut-turut sejak 2007, 2008, dan
2009. Penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Pengelolahan
Kesehatan Ternak Tropis dan Pengelolahan Kesehatan Hewan dan Lingkungan
tahun ajaran 2009/2010-2010/2011.

vi

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
PENDAHULUAN
........... Latar Belakang ....................................................................................... 1
........... Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
........... Manfaat Penelitian .................................................................................. 3
........... Hipotesis Penelitian................................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA
Leucocytozoon sp .................................................................................... 5
Telur Embrio Tertunas .................................................................................. 7
Leukosit ...................................................................................................... 12
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................................... 18
Persiapan Ayam Donor Leucocytozoon ...................................................... 18
Penentuan Dosis Parasit .............................................................................. 18
Penghitungan Jumlah Sel Darah Merah ...................................................... 18
Penghitungan Persentase Parasitemia ......................................................... 19
Persiapan Telur Embrio Tertunas dan Inokulasi Leucocytozoon ................ 19
Pemanenan Parasit ...................................................................................... 20
Analisis Data ............................................................................................... 20
Rancangan Percobaan ................................................................................. 21
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 22
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 32
LAMPIRAN ..................................................................................................... 36

vii

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Nilai persentase diferensial leukosit pada ayam yang baru menetas .....................13

2

Rata-rata persentase prasitemia pada telur embrio tertunas yang diinokulasi
dengan L. caulleryi .................................................................................................22

3

Rata-rata persentase diferensial leukosit pada telur embrio tertunas yang
diinfeksi L. caulleryi dengan rute inokulasi membran korioalantois dan
ruang alantois .........................................................................................................26

viii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Struktur anatomi saluran reproduksi ayam betina ................................................... 8

2

Perkembangan embrio hari ke-5 dan ke-10 .......................................................... 11

3

Perkembangan embrio hari ke-15 dan ke-20 ........................................................ 11

4

Limfosit unggas..................................................................................................... 13

5

Monosit unggas ..................................................................................................... 14

6

Heterofil unggas .................................................................................................... 15

7

Eosinofil unggas .................................................................................................... 15

8

Basofil unggas ....................................................................................................... 16

9

Rute inokulasi telur embrio tertunas melalui membran korioalantois dan
ruang alantois .........................................................................................................20

10

Rata-rata persentase limfosit embrio yang diinokulasi L caulleryi........................25

11

Rata-rata persentase heterofil embrio yang diinokulasi L caulleryi.......................27

12

Rata-rata persentase monosit embrio yang diinokulasi L caulleryi .......................28

13

Rata-rata persentase basofil embrio yang diinokulasi L caulleryi .........................29

14

Rata-rata persentase eosinofil embrio yang diinokulasi L caulleryi ......................30

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk dunia mencapai 1,1% dalam 10 tahun
terakhir, menjadikan permintaan pasokan pangan meningkat. Peningkatan
pasokan pangan dunia meliputi permintaan kebutuhan pada sektor peternakan
dengan salah satu komoditas yaitu unggas. Sektor peternakan unggas memasok
30% dari total konsumsi daging sehingga menyebabkan perdagangan unggas
dunia mengalami peningkatan hingga mencapai 9,2 juta ton per tahun, dengan
peningkatan mencapai 5,3% tiap tahunnya (FAO 2007).
Peningkatan produksi unggas mengalami kendala diakibatkan peningkatan
kasus kejadian penyakit yang seringkali dialami oleh peternak unggas di
Indonesia. Sebagai salah satu negara tropis, Indonesia memiliki kerentanan
terhadap kejadian leucocytozoonosis. Leucocytozoonis merupakan penyakit yang
diakibatkan parasit Leucocytozoon sp yang dapat menyebabkan penurunan
produksi hingga 25-75% (Purwanto et al. 2010). Leucocytozoon merupakan
parasit yang bersifat obligat dan intraseluler pada darah dan jaringan, serta dapat
menghancurkan sel pada tubuh inang. Beragam spesies Leucocytozoon dapat
menginfeksi famili unggas secara luas pada unggas produksi, unggas peliharaan,
maupun unggas liar (Hill 2008). Siklus hidup Leucocytozoon terdiri dari siklus
seksual yang terjadi di inang definitif seperti ayam, bebek, bahkan penguin. Siklus
aseksual terjadi pada inang antara yaitu Simulium dan Cullicoides (Earle et al.
1992; Evans dan Otter 1998; dan Hill 2008).
Kejadian leucocytozoonosis tersebar di seluruh dunia dan bersifat dinamis
tergantung pada host susceptibility, keberadaan vektor, dan preferensi vektor
untuk spesies tertentu (Desser dan Bennet 1993). Daerah pegunungan yang
memiliki banyak aliran sungai memberikan lingkungan berkembangbiak optimal
untuk vektor Leucocytozoon yaitu Simulium dan Culicoides. Kejadian penyakit
juga lebih sering terjadi di peternakan yang terletak di dekat danau, rawa, ataupun
sungai (Stadller dan Carpenter 1996).
Parasit Leucocytozoon sp dapat menyerang baik pada ayam pedaging
maupun ayam petelur dengan kasus akut sering terjadi pada ayam muda,

2

sedangkan kasus kronis menyerang pada ayam tua terutama ayam petelur
(Whiterman dan Bickford 1989). Infestasi Leucocytozoon sp dapat terjadi tanpa
disertai gejala klinis maupun disertai gejala klinis. Gejala klinis pada ayam yang
terserang leucocytozoonosis meliputi depresi, hilang nafsu makan, muntah darah,
dan kelumpuhan hingga mengakibatkan kematian. Serangan yang tidak disertai
dengan gejala klinis umumnya berupa penurunan produksi telur maupun bobot
badan ayam (Purwanto et al. 2010). Raidal dan Jaensch (2000) melaporkan bahwa
terdapat gejala pada sistem syaraf pusat yang diduga akibat dari formasi skizon
sehingga menghambat kapiler otak. Biliverdinuria juga terjadi akibat dari
dekstruksi eristrosit dan inflamasi hepatik hingga nekrosis.
Kerugian yang ditimbulkan akibat infeksi Leucocytozoon menyebabkan
perlu dilakukan pencegahan maupun pengobatan pada kasus leucocytozoonosis.
Pencegahan dapat dilakukan dengan membatasi vektor parasit dan menjaga
kebersihan kandang. Penggunaan pyrimetamine dan sulfonamide bersifat efektif
untuk mencegah infeksi, namun untuk pengobatan masih memiliki hambatan
dikarenakan prevalensi parasit darah pada unggas tidak bersifat spesifik-spesies
yang tetap, namun lebih dikarenakan siklus parasitemia, faktor lingkungan, dan
juga populasi (Tella et al. 1999 dan Springer 1991). Hal ini menyebabkan
parasitemia dapat terjadi setiap saat, namun gejala klinis muncul pada saat inang
mengalami imunosupresi. Hal inilah yang membuat sulit dilakukan pencegahan
dan pengendalian Leucocytozoon. Infestasi kronis Leucocytozoon juga masih
belum dipahami secara mendalam sehingga masih diduga bahwa stress sebagai
penyebab primer kejadian penyakit ini.
Hambatan

dalam

pengobatan

dan

pencegahan

leucocytozoonosis

memerlukan penelitian lebih lanjut tentang sifat, karakter, dan tingkat patogenitas
dari parasit. Penelitian memerlukan penggunaan kultur parasit dan model infeksi
sebagai salah satu usaha dalam untuk memproduksi antigen yang digunakan
sebagai uji serologik dan imnunogen untuk pencegahan penyakit (Sunaga et al.
2002). Aplikasi praktis penggunaan kultur dan model infeksi antara lain sebagai
pengujian bahan obat dan ekstrak herbal. Teknik kultur menggunakan media juga
mefasilitasi penelitian tentang karakteristik dan morfologi dari parasit (Adriawan
2005).

3

Telur embrio tertunas telah banyak digunakan sebagai media kultur dan
model infeksi beragam parasit. Telur embrio tertunas telah berhasil dikembangkan
sebagai alternatif model infeksi pada Aspergillus fumigatus, Neospora caninum,
Trypanosoma cruzy (Jacobsen et al. 2010; Mansourian et al. 2009; Mello dan
Deane 1976). Telur embrio tertunas juga telah digunakan sebagai pengujian bahan
obat dan ekstrak herbal seperti ekstrak benalu teh (Murtini et al. 2006).
Takamutsu et al. (1984) telah berhasil melakukan kultur Leucocytozoon fase
sporozoit pada telur embrio tertunas dengan inokulasi melalui membran
korioalantois.
Pengujian menggunakan telur embrio tertunas memiliki keunggulan
dibandingkan dengan kultur sel dikarenakan tidak menggunakan media dan
kondisi laboratorium yang rumit sehingga biaya yang dibutuhkan relatif murah.
Telur

berembrio

sebagai

sistem

biologis

yang

dinamis

diharapkan

menggambarkan kondisi in vivo. Kondisi in vivo yang dimaksud yaitu adanya
metabolisme dan perkembangan sel-sel embrio di dalam telur yang berkembang
secara terus-menerus. Baik parasit maupun zat kimia tertentu dapat diinokulasi ke
dalam telur. Efek parasit dan zat kimia yang terhadap embrio tergantung pada
umur embrio dan aplikasi rute pemberian (Johston et al. 1997).

Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini untuk memperoleh informasi tentang
penggunaan telur embrio tertunas sebagai alternatif media kultur dan model
infeksi Leucocytozoon caulleryi.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
informasi tentang penggunaan telur embrio tertunas sebagai media alternatif
kultur dan model infeksi yang murah, mudah didapat, serta tidak membutuhkan
protokol dan peralatan penelitian yang rumit.

4

Hipotesis Penelitian
1. Penelitian ini menduga bahwa telur embrio tertunas dapat dijadikan sebagai
alternatif media kultur dengan rute inokulasi membran korioalantois atau ruang
alantois berdasarkan persentase parasitemia darah pada umur embrio tertentu.
2. Penelitian ini menduga bahwa telur embrio tertunas memiliki respon imun
terhadap parasit yang diinokulasikan dengan rute inokulasi membran korioalantois
atau ruang alantois berdasarkan persentase diferensial leukosit pada umur embrio
tertentu.

TINJAUAN PUSTAKA
Leucocytozoon caulleryi
Leucocytozoon merupakan parasit darah dan jaringan yang telah
ditemukan pada unggas sejak 200 tahun yang lalu oleh Danilewsky pada tahun
1884. Pertama kalinya, Leucocytozoon ditemukan pada burung hantu dengan
hanya gametosit yang terlihat pada bagian perifer pembuluh darah. Khusus parasit
Leucocytozoon terdapat perbedaan dengan parasit darah lainnya dimana dapat
ditemukan parasit pada sel darah putih (Fallis dan Desser 1977).

Transmisi

parasit disebabkan oleh vektor Simulidae dan Cullicidae. Kejadian penyakit
umumnya terjadi pada peternakan yang terletak di dekat danau, rawa, maupun
sungai. Penyakit ini juga seringkali terjadi ketika perubahan suhu udara menjadi
lebih hangat (Stadller dan Carpenter 1996).
Gejala klinis yang diakibatkan dari infestasi parasit Leucytozoon meliputi
anorexia, penurunan produksi, lethargy, dan hilangnya keseimbangan. Gejala
klinis lainnya yaitu anemia dan leukositosis. Kejadian yang bersifat akut
umumnya terjadi pada unggas muda, sedangkan kejadian kronis terjadi pada
unggas tua (Whiterman dan Bickford 1989).
Kontrol kejadian penyakit umumnya dilakukan pencegahan yang
dilakukan

dengan

membatasi

populasi

dari

paparan

vektor.

Diagnosa

leucocytozoonosis dilakukan dengan deteksi keberadaan parasit fase gametosit
pada darah perifer melalui ulas darah (Campbell 1995).

Morfologi
Morfologi pada inang definitif fase gametosit Leucocytozoon yang terlihat
pada hasil ulas darah perifer merupakan cara yang dilakukan untuk membedakan
dan melakukan identifikasi spesies Leucocytozoon. Umumnya Leucocytozoon
menghasilkan gametosit dalam 2 tipe yang berbeda yaitu parasit yang tampak
mengelilingi lingkaran sel darah dengan nukleus yang terdorong ke sisi sehingga
tampak terjepit dan mengecil, serta parasit yang dengan penampakan berbentuk
lingkaran, oval, ataupun elips dengan sitoplasma mengalami perpanjangan yang
merupakan perkembangan dari parasit (Fallis dan Khan 1974). Namun terdapat

6

perbedaan morfologi pada spesies L. caulleryi yang menginfeksi ayam, gametosit
pada spesies ini berbentuk melingkar dan nukleus sel terdorong keluar dengan
sedikit perubahan bentuk dan terkadang terdorong keluar dari sel darah (Fallis dan
Desser 1977).

Siklus hidup
Siklus hidup Leucocytozoon terdiri dari 2 siklus yaitu siklus aseksual dan
siklus seksual. Siklus aseksual terjadi pada inang seperti ayam, bebek, atau unggas
lainnya. Sedangkan siklus seksual terjadi pada vektor yaitu Cullicidae dan
Simulidae (Tampubolon 1992).
Perkembangan parasit aseksual terjadi ketika masuknya sporozoit dari
gigitan vektor Simulidae atau Cullicidae pada unggas. Sporozoit yang masuk
melalui luka gigitan vektor akan masuk ke dalam sel jaringan dan berkembang
dalam fase aseksual yang disebut skizon. Skizogoni merupakan fase terbentuknya
ribuan merozoit. Fase skizogoni terjadi di dalam sel parenkim hati, sel epitel
ginjal, dan sel retikuloendotel tubuh seperti ginjal dan kelenjar limfe. Terdapat
perbedaan proses skizogoni pada tiap-tiap spesies parasit, namun umumnya
skizogoni terjadi pada sel parenkim hati (Fallis dan Desser 1977).
Merozoit terbentuk setelah 4 hari pasca-infeksi yang dimulai dari
pembelahan inti secara berulang pada skizon. Skizon dengan pembelahan inti
yang berulang akan mengalami invaginasi sitoplasma dan membentuk sitomer
dengan banyak inti, lalu pembelahan inti dan sitoplasma akan dilanjutkan hingga
sitomer dan dihasilkan ribuan merozoit tak berinti sebesar 1 mikron. Beberapa
spesies, skizon dapat mengalami ruptur sebelum terjadinya pembentukan merozoit
secara lengkap. Ruptur dari skizon dengan beberapa inti pada sitomer disebut
dengan sinsitia. Hal ini juga menunjukan bahwa parasit kurang beradaptasi pada
tubuh inang.
Merozoit yang keluar dari skizon akan masuk ke dalam aliran darah, dan
masuk ke dalam eritrosit dan eritroblas, serta mengalami perubahan menjadi
gametosit. Umumnya proses pematangan merozoit menjadi gametosit akan terjadi
selama 48 jam.

7

Proses seksual terjadi setelah masuknya gametosit pada tubuh vektor
melalui hisapan nyamuk atau lalat dari darah unggas yang terinfeksi
Leucocytozoon. Awal dari fase seksual yaitu terbentuknya gametosit jantan dan
betina yang disebut juga fase gametogoni. Pembentukan makrogametosit dan
mikrogametosit terjadi di saluran pencernaan vektor dan lebih distimulasi oleh
perubahan kadar oksigen dan karbondioksida dibandingkan perubahan temperatur
pada saat perpindahan parasit dari unggas ke tubuh vektor. Proses pendewasaan
gametosit terjadi setelah parasit keluar dari darah dan distimulasi oleh lepasnya
membran sel darah merah unggas. Proses pendewasaan pada mikrogamet terjadi
ketika inti sel megalami kondensasi dan berubah menjadi massa yang lebih padat.
Proses tersebut mengawali pembentukan flagella yang merupakan alat gerak
untuk menuju makrogamet.
Zigot terbentuk setelah proses fertilisasi antara makrogamet dan
mikrogamet berflagella dan dalam beberapa jam berubah bentuk menjadi ookinet
motil dengan ukuran mencapai 30 mikron. Ookinet melakukan migrasi menembus
dinding saluran cerna untuk menghindari proses pencernaan darah pada saluran
cerna vektor. Ookinet yang tidak dapat menembus dinding saluran cerna akan
mengalami ruptur 3-4 hari sesudahnya. Ookinet yang mampu menembus dinding
usus vektor, akan mematangkan diri menjadi ookista dan melakukan migrasi ke
saluran air liur (Fallis dan Desser 1977).

Telur Embrio Tertunas
Pembentukan embrio
Unggas memiliki perbedaan dalam sistem perkembangan embrio dengan
mamalia. Perkembangan embrio pada unggas terjadi pada telur (in ovo) yang
berada diluar tubuh induk. Kondisi perkembangan embrio yang terjadi diluar
tubuh sehingga memungkinkan dilakukan intervensi pada embrio unggas (Ricks
et al. 2003). Proses perkembangan pada unggas terutama ayam terjadi secara
cepat dan membutuhkan waktu 21 hari inkubasi hingga menjadi individu.
Perkembangan telur embrio tertunas didahului dengan pembuahan sperma
dan ova pada tubuh induk betina. Induk betina dapat juga menghasilkan telur
walaupun tanpa proses perkawinan. Namun telur yang dihasilkan bersifat infertil

8

sehingga tidak terdapat embrio yang berkembang dan menetas menjadi individu.
Fertilisasi pada unggas terjadi di infundibulum saluran telur (oviduct). Induk ayam
betina umumnya menghasilkan telur dari 1 buah ovarium aktif. Ovarium pada
telur pada masa perkembangannya memiliki sepasang namun hanya satu buah
yang aktif menghasilkan telur. Ovarium induk dewasa berbentuk seperti gerombol
anggur yang merupakan kumpulan ova hingga mencapai 2000 buah yang nantinya
berkembang menjadi kuning telur (yolk) (Setijanto 1998).
Kuning telur dibentuk dari kantung folikuler yang merupakan kumpulan
lapisan-lapisan secara terus-menerus dari bahan pembentuk kuning telur.
Umumnya bahan pembentuk kuning telur dibentuk sejak 7-9 hari sebelum induk
bertelur. Kuning telur yang berkembang juga terdapat germinal disc yang
mengandung satu sel telur dimana ketika proses fertilisasi akan menjadi calon
embrio. Germinal disc terletak di lapisan terluar kuning telur dan terbentuk dari
proses pembentukan kuning telur (Smith 2010).

Gambar 1 Struktur anatomi saluran reproduksi ayam betina (Smith 2010)
Kuning telur pada ovarium dibungkus dengan membran tipis dan halus
yang disebut dengan folikel. Membran folikel merupakan suatu anyaman kapiler
yang halus serta banyak yang ditautkan pada ovarium dan batang folikel. Kapilerkapiler tersebut membawa zat makanan yang meresap melalui dinding membran
ke dalam kuning telur yang sedang tumbuh. Ketika kuning telur matang, maka

9

folikel-folikel mengalami ruptur dan membentuk garis yang disebut dengan
stigma, daerah yang tidak mengandung pembuluh darah dan folikelnya sangat
tipis. Proses ini menyebabkan kuning telur keluar dari ovarium dan prosesnya
disebut dengan ovulasi (Setijanto 1998).
Kuning telur yang telah keluar dari ovarium akan ditangkap oleh
infundibulum. Kuning telur akan berada di dalam infundibulum selama 10-20
menit dan proses fertilisasi akan terjadi di infundibulum jika ayam betina
dikawinkan dengan pejantan. Setelah berada di infundibulum dan terjadi proses
fertilisasi, kuning telur akan masuk dan bergerak ke dalam magnum dan
menerima albumin tebal (putih telur). Setelah 2-3 jam di dalam magnum, telur
akan bergerak ke arah istmush selama 1-1,5 jam untuk mendapatkan lapisan
membran-membran kulit telur. Selanjutnya telur akan berpindah ke dalam uterus
dan mendapatkan lapisan kerabang yang berbahan dasar kalsium karbonat, serta
pigmen oofin yang memberikan warna pada kulit telur. Lapisan tali tipis pada
kuning telur yang disebut juga kalaza akan tampak di uterus. Kalaza berfungsi
untuk menjaga kuning telur tetap berada di tengah serta menjaga posisi germinal
disc untuk selalu di lapisan terluar kuning telur.
Proses di dalam uterus terjadi hingga 20 jam lamanya dan telur yang telah
berkembang penuh akan masuk ke dalam vagina selama 5-10 menit sebelum telur
dikeluarkan dari tubuh induk melalui kloaka. Telur juga mendapatkan substansi
yang berlendir dan tipis yang disebut dengan kutikula. Lapisan kutikula akan
melapisi pori-pori kulit telur dan melindungi kulit telur dari bakteri. Telur akan
berubah posisi menjadi horizontal sehingga telur dari vagina akan masuk ke
kloaka dan dikeluarkan secara sekaligus. Kulit telur akan segera mengeras setelah
berada di udara bebas.

Perkembangan Embrio Telur
Perkembangan embrio pada telur terjadi pada 3 tahapan waktu yang
berbeda yaitu (1) sebelum telur dikeluarkan dari tubuh induk, (2) waktu antara
pengeluran telur hingga inkubasi, dan (3) selama proses inkubasi berlangsung.
Pembelahan sel berlangsung sesaat setelah proses fertilisasi hingga prosses
pembentukan telur selesai, dan pembelahan akan berlanjut setelah telur diletakkan

10

pada lingkungan dengan suhu kisaran 38°C-39°C. Pembelahan pertama selesai
pada saat telur telah mencapai istmush. Pembelahan lainnya akan berlanjut setiap
20 menit hingga membentuk gastrula.
Sesaat setelah telur dikeluarkan dari tubuh induk yaitu waktu antara
bertelur hingga inkubasi, telur mengalami perubahan suhu dari suhu tubuh induk
ke suhu lingkungan. Perubahan suhu menyebabkan perkembangan embrio terhenti
hingga suhu lingkungan stabil kembali dalam suhu inkubasi sekitar 38°C -39°C
(Grimes 2002). Awal dari masa inkubasi, embrio akan mengalami perkembangan
seluler yang diawali dengan diferensiasi sel. Beberapa sel akan berkembang
menjadi organ vital dan sel-sel lainnya.
Hari pertama pasca-inkubasi, germinal disc akan berkembang menjadi
prekursor pembentukan organ viscera yaitu foregut. Selain itu, terbentuk juga
blood islands atau pulau darah yang nantinya akan membentuk sistem sirkulasi
darah, prekursor pembentukan jaringan syaraf, dan pembentukan mata.
Hari kedua masa inkubasi, pulau-pulau darah yang terbentuk akan saling
berikatan satu sama lain dan membentuk sistem vaskular, disertai pembentukan
organ jantung. Setelah 44 jam inkubasi, organ jatung dan jaringan vaskular akan
berhubungan sehingga jantung mulai berdetak. Sistem sirkulasi pernafasan juga
terbentuk menjadi 2 sistem sirkulasi, yaitu sistem embrionik bagi embrio dan
sistem viteline yaitu sistem sirkulasi pada telur (Smith 2010).
Akhir dari masa perkembangan embrionik, terbentuk 2 jenis sistem
vaskular darah ekstra-embrionik, yaitu sistem viteline sebagai transpor nutrisi dari
kuning telur ke embrio. Sebelum hari ke-4, sistem tersebut mengalirkan darah
beroksigen. Sistem vaskular darah lainya berasal dari sirkulasi alantois yang
berfungsi sebagai sistem sirkulasi respirasi dan penyimpanan produk eksresi ke
alantois. Ketika telur menetas, kedua sistem tersebut tidak berfungsi kembali.
Perkembangan syaraf juga berkembang dan terbentuk otak bagian depan,
pembentukan telinga, dan awal pembentukan lensa mata.
Hari ketiga inkubasi, bakal pembentukan ektremitas telah terbentuk yang
nantinya akan membentuk sayap dan kaki. Pembentukan bagian komplek kepala,
telinga, muka, dan beberapa organ kelenjar. Cairan amnion akan mengelilingi
embrio sebagai proteksi dari proses perkembangan embrio. Kantung alantois telah

11

terbentuk yang akan menjadi organ respirasi dan ekskresi selama perkembangan
embrio di dalam telur. Nutrisi dari albumin dan kalsium dari cangkang telur juga
ditransportasikan melalui alantois. Hari keempat inkubasi, semua organ yang
dibutuhkan telah terbentuk dan dapat diidentifikasi sehingga perkembangan terus
berlanjut secara cepat.

Gambar 2 Perkembangan embrio hari ke-5 dan ke-10 (Smith 2010)
Hari ketujuh inkubasi, telah terbentuk digit pada bagian kaki dan sayap,
jantung secara lengkap telah terbentuk dan telah masuk keseluruhan pada rongga
thorax. Hari kesepuluh inkubasi, telah terbentuk bulu dan paruh yang lebih kokoh.
Hari keempat-belas inkubasi, embrio telah berotasi ke posisi yang diperlukan saat
menetas. Suplai nutrisi yang berasal dari albumin akan habis pada hari keenambelas sehingga sumber nutrisi hanya berasal dari kuning telur. Pada hari keduapuluh, embrio akan berada di posisi menetas dimana paruh akan mendekati
kantung udara dan sistem pernafasan berganti menjadi sistem pulmonal.

12

Gambar 3 Perkembangan embrio hari ke-15 dan ke-20 (Smith 2010)
Hari ke-21, ayam akan keluar dari cangkang telur dengan memecah
cangkang pada bagian kantung udara. Kantung alantois yang sebelumnya sebagai
alat respirasi selama proses inkubasi akan mengering dan pernafasan berlangsung
menggunakan paru-paru. Setelah menetas, ayam dapat bertahan hingga 72 jam
tanpa makan dikarenakan cadangan nutrisi yang berasal dari kuning telur yang
menempel pada tubuh ayam pada hari ke-19. Kuning telur mengandung cadangan
nutrisi yang cukup tinggi seperti protein, lemak, vitamin, mineral, dan air untuk
beberapa jam setelah menetas. Kuning telur akan dikonsumsi secara bertahap
hingga hari kesepuluh setelah menetas (Smith 2010).

Leukosit
Darah terdiri dari sel-sel yang terendam di dalam cairan yang disebut
plasma. Sebagain besar sel-sel darah berada di dalam pembuluh-pembuluh, namun
leukosit dapat menembus dinding pembuluh darah untuk mengatasi terjadinya
infeksi. Leukosit atau sel darah putih merupakan suatu unit aktif dari pertahanan
tubuh hewan dan manusia. Sel darah putih menurut tempat berkembang dan
diferensiasi dibagi menjadi unsur mieloid dan unsur limfoid (Frandson 1986).
Unsur mieloid terdiri dari granulosit yang dalam kondisi normal dihasilkan di
dalam sumsum tulang (jaringan mieloid). Unsur limfoid terdiri dari limfosit dan
monosit yang berkembang pada jaringan limfoid seperti timus, limpa, dan bursa
fabricius pada unggas (Ganong 2002).
Hewan yang terpapar oleh bakteri, virus, parasit, dan benda asing akan
mengaktifkan sistem pertahanan yang akan melawan berbagai macam patogen
toksik dan infeksius. Sistem ini terdiri dari sel darah putih dan sel jaringannya.
Semua sel akan bekerja secara bersama dengan merusak patogen dengan cara
fagositosis,

membentuk

antibodi,

dan

mengaktifkan

limfosit

untuk

menghancurkan patogen (Guyton dan Hall 2008).
Sel darah putih terdiri dari 5 jenis yaitu limfosit, monosit, netrofil, basofil,
dan eosinofil. Netrofil, basofil, dan eosinofil termasuk dalam golongan granulosit
yang memiliki granula di dalam sitoplasmanya. Limfosit dan monosit termasuk
dalam agranulosit. Sel darah putih memiliki perbedaan dengan sel darah merah

13

karena memiliki nukelus dan memiliki kemampuan untuk bergerak secara
independen. Selain itu, sel-sel darah putih memiliki masa hidup yang bervariasi,
mulai dari beberapa jam untuk granulosit, hingga beberapa bulan untuk monosit,
bahkan beberapa tahun untuk limfosit. Sel darah putih juga bersifat nonfungsional di dalam aliran arah dan hanya diangkut menuju jaringan ketika
dibutuhkan (Frandson 1986). Menurut Morita et al. (2010), nilai diferensial
leukosit pada ayam yang baru menetas adalah sebagai berikut:

Tabel 1 Nilai persentase diferensial leukosit pada ayam yang baru menetas
Diferensial Leukosit

Persentase (%)

Limfosit

70.1 – 83.3

Monosit

2.6 – 4.4

Heterofil

12.3 – 25.2

Basofil

1.0 – 2.0

Eosinofil

0.1 – 0.5

Limfosit
Limfosit merupakan leukosit yang tidak bergranul atau agranulosit.
Limfosit memiliki variasi ukuran dan memiliki nukleus yag relatif besar yang
dikelilingi sejjumlah sitoplasma. Limfosit terdiri dari 2 jenis yaitu limfosit besar
dengan diameter 12-16 m dan limfosit kecil dengan diameter 9-12 m. Limfosit
besar memiliki lebih banyak sitoplasma, berinti besar, dan pucat. Limfosit kecil
memiliki inti besar dan menyerap warna, dan sitoplasmanya biru pucat.

Gambar 4 Limfosit unggas (Phillips 2010)
Linfosit merupakan unsur kunci dalam proses kekebalan (Ganong 2002).
Limfosit memiliki peran utama dalam pembentukan antibodi sebagai respon
terhadap antigen yang masuk dalam tubuh. Limfosit memiliki peran utama dalam

14

mekanisme kekebalan spesifik dengan 3 tipe sel meliputi limfosit B, limfosit T,
dan null cells (McBride 2002).

Monosit
Monosit merupakan sel darah putih yang tidak bergranul dan memiliki
sitoplasma yang besar. Monosit berbentuk sel mononuklear dengan jumlah normal
lebih sedikit dibandingkan dengan limfosit. Monosit mempunyai ukuran sel yang
besar dan memiliki variasi bentuk berupa lingkaran hingga rhomboit (Phillips
2010).

Gambar 5 Monosit unggas (Phillips 2010)
Monosit memiliki kemampuan fagositik, yaitu memakan benda asing
seperti bakteri, sebagaimana heterofil. Apabila heterofil berperan dalam mengatasi
infeksi akut, maka monosit bekerja dalam keadaan infeksi yang tidak terlalu akut.
Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang yang nantinya akan disebarkan dan
beredar di dalam darah hingga 72 jam. Sel-sel monosit selanjutnya akan masuk ke
dalam jaringan dan membentuk makrofag. Makrofag akan mampu berada di
jaringan hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hingga musnah akibat
kemampuan fagositiknya (Frandson 1986).

Heterofil
Heterofil merupakan sel darah putih yang memiliki granul pada unggas.
Heterofil memiliki kesamaan fungsi seperti netrofil mamalia (Campbell 1995).
Bentuk heterofil bulat dengan sitoplasma transparan, bersifat eosinofilik, serta
memiliki granul yang berbentuk batang hingga lonjong yang terletak di tengah sel.

15

Granul dari heterofil sedikit tersamarkan dengan nukleus dengan wana biru yang
kuat (Phillips 2010).

Gambar 6 Heterofil unggas (Phillips 2010)
Heterofil termasuk dalam jajaran pertama sistem kekebalan tubuh ketika
melawan infeksi dengan cara migrasi menuju daerah-daerah yang sedang
mengalami infeksi dengan menembus dinding endotel dan menghancurkan agen.
Jumlah heterofil yanng meningkat menunjukan kejadian infeksi akut. Heterofil
memiliki masa hidup yang singkat, dimana setelah melakukan tugasnya akan mati
dan melepas faktor kemotaktik untuk menarik heterofil lainnya. Masa hidup
normal dalam sirkulasi darah mencapai 4-8 jam, kemudian 4-5 jam berikutnya
berada pada jaringan. Masa hidup heterofil mampu beredar dalam aliran darah
hingga 12 jam (Tizard 1988).

Eosinofil
Eosinofil merupakan sel darah putih yang berbentuk lingkaran dan
memiliki granul. Sitoplasma eosinofil bersifat basofilik dengan banyak granul
yang bersifat eosinofilik. Granul eosinofil tampak lebih terang dibandingkan
dengan heterofil pada ulas darah yang sama. Pewarnaan inti sel eosinofil berwarna
ungu kebiru-biruan dan memiliki kemiripan dengan inti sel heterofil (Phillips
2010).

Gambar 7 Eosinofil unggas (Phillips 2010)

16

Eosinofil dalam kondisi normal hanya mencapai 2% dari jumlah leukosit
darah. Eosinofil dibentuk di dalam sumsum tulang belakang dan memiliki waktu
hidul relatif singkat. Eosinofil mempunyai sifat fagositik yang lemah dan
kemotaksis. Eosinofil akan meningkat dalam aliran darah ketika terjadi infeksi
parasit dan eosinofil akan bermigrasi ke bagian jaringan yang terinfeksi parasit.
Tizard (1988) menyatakan bahwa eosinofil tidak seefisien dalam fagositosis,
namun eosinofil cocok untuk menyerang dan menghancurkan larva cacing.
Meskipun banyak parasit yang berukuran lebih besar dari eosinofil,

namun

fagositosis akan dilakukan dengan cara melekatkan diri pada molekul permukaan
parasit dan melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh parasit tersebut
(Guyton dan Hall 2008).

Basofil
Basofil merupakan granulosit yang bersifat polimorfnuklear-basofil.
Diameter antara 10-15m, memiliki inti 2 gelambir, dan tidak berarturan.
Granulnya berwarna biru tua hingga ungu dan manutupi inti yang cerah (Dellman
dan Brown 1992). Identifikasi basofil dapat mudah diamati dari bentuknya
lingkaran, memiliku granul dengan sifat basofilik yang kuat, dan inti sel yang
tidak berlobus (Phillips 2010).

Gambar 8 Basofil unggas (Phillips 2010)
Basofil dibentuk di dalam sumsum tulang. Basofil memiliki fungsi sebagai
reaksi terhadap peradangan. Basofil dalam sirkulasi darah mirip dengan sel mast
besar yang terletak di sisi luar kapiler endotel tubuh. Basofil memiliki histamin
yang diduga sebagai prekursor bagi sel mast. Basofil akan bekerja dengan sel mast
mengeluarkan histamin dan heparin serta mediator radang lainnya (Frandson
1986). Sel-sel ini terlibat dalam reaksi peradangan jaringan dan proses reaksi

17

alergik. Basofil juga dapat meningkatkan permeabilitas dan vasodilatasi pembuluh
darah dalam reaksi hipersensitifitas kulit (Dellman dan Brown 1992).

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium Protozologi, Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan SeptemberDesember 2010.

Persiapan ayam donor Leucocytozoon
Ayam sakit berumur 1 bulan dengan gejala demam dan anemia diambil
dari farm dan dipelihara dengan memberikan pakan komersial dan air minum ad
libitum. Pemeriksaan terhadap parasitemia dilakukan setiap hari. Pemeriksaan
parasitemia dilakukan dengan melakukan ulas darah. Ayam sebelumnya
diposisikan dorsal recumbency dan sayap dikembangkan sehingga dapat
dilakukan pengambilan darah melalui vena brachialis. Ulas darah dilakukan
dengan

menggunakan

gelas

objek

dan

dilanjutkan

dengan

pewarnaan

menggunakan Giemsa 10%, dan dilakukan pemeriksaan menggunakan mikroskop
cahaya. Jika dinyatakan positif adanya Leucocytozoon sp, maka dapat digunakan
untuk kultur parasit.

Penentuan dosis parasit
Dosis parasit dilakukan dengan menghitung jumlah sel darah merah dan
tingkatan parasetimia pada ayam terinfeksi. Dosis yang dibutuhkan adalah
parasitemia 102/ml darah untuk menghasilkan dosis infektif pada telur embrio
tertunas (Takamutsu et al. 1984). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
Dosis parasit : Jumlah sel darah merah ( /l ) x persentase parasitemia (%)

Penghitungan jumlah sel darah merah
Penghitungan sel darah merah dilakukan dengan menggunakan alat
penghitung dari alat NewBauer Chamber dan Hematositometer. Darah pada ayam
diambil menggunakan hematositometer hingga mencapai garis putih pertama, lalu
dicampur dengan pengambilan larutan Ress Ecker hingga mencapai garis putih ke

19

dua. Pencampuran dilakukan dengan menggerakan hematositometer seperti angka
delapan hingga beberapa kali. Setelah tercampur sempurna, larutan di buang
sebanyak 2 tetes, lalu dengan menggunakan kamar hitung, larutan dimasukan ke
dalam kamar hitung dan ditutup dengan cover glass. Setelah tertutup dengan
cover glass, butir darah merah dihitung menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 400 kali.

Penghitungan persentase parasitemia
Penghitungan

parasitemia

dilakukan

dengan

menghitung

eritrosit

terinfeksi dalam 1000 eritrosit pada preparat ulas secara manual dengan tiga kali
ulangan.

Persiapan telur embrio tertunas dan inokulasi Leucocytozoon
Telur embrio tertunas umur 10 hari diletakan dalam inkubator dengan suhu
37°C dan tingkat kelembaban 50-60%.

Telur sebelumnya disesuaikan pada

inkubator terlebih dahulu sebelum dilakukan inokulasi protozoa. Pemeriksaan
tanda vital kehidupan dilakukan dengan metode candling. Inokulasi dilakukan
dengan menggunakan dua rute berbeda yaitu membran korioalantois dan ruang
alantois. Sebelum dilakukan okulasi, cangkang telur dibersihkan menggunakan
alkhohol 70% lalu dibuat lubang pada area yang mendekati rute dengan
menggunakan dentis’s drill. Setelah terbentuk lubang, dilakukan inokulasi dengan
memasukan agen parasit menggunakan syringe 0,1 ml dan bekas lubang ditutup
menggunakan stiker marker. Seluruh proses dilakukan di dalam laminar air flow
untuk mencegah kontaminasi pada telur. Setelah itu, telur yang telah diinokulasi
dengan protozoa, dilakukan monitoring dengan menggunakan candling (Jacobsen
et al. 2010).
Rute inokulasi melalui kantung alantois dilakukan dengan cara telur
embrio tertunas dilakukan metode candling untuk memberi tanda jarak antara
membran korioalantois dari embrio dan kantung amnion yang bebas dari
pembuluh darah. Tanda diletakan pada 3 mm diatas garis membran korioalantois.
Setelah itu dibuat lubang menggunakan dentist’s drill dan aplikasi inokulasi dapat
dilakukan.

20

(A)

(B)

Gambar 9 Rute inokulasi telur embrio tertunas melalui kantung alantois (A) dan
membran koriolalantois (B) (Cunningham 1973).
Rute membran korioalantois dilakukan dengan menggunakan teknik “top
route membrane choriooallantoic”. Teknik ini dilakukan dengan cara candling
embrio, lalu dilakukan pemberian tanda antara membran korioalantois dan
kantung udara atas untuk lokasi lubang. Setelah itu dibuat lubang menggunakan
dentist’s drill dan aplikasi inokulasi dilakukan dengan menggunakan needle
ukuran 26-28 G.

Pemanenan parasit
Pemanenan darah pada media kultur dilakukan secara desktruktif dengan
mengambil darah telur embrio tertunas (TET). Darah pada embrio dipanen dengan
membuka terlebih dahulu cangkang telur. Cangkang telur TET umumnya terdapat
pembuluh darah, dan dilakukan pengambilan ulas darah pada bagian kapiler darah
di perifer cangkang telur. Setelah dilakukan ulas darah, dilakukan pewarnaan
menggunakan Giemsa 10%

dan dilakukan penghitungan persentase jumlah

parasit pada hasil ulas darah.

Analisis data
Data hasil pengamatan diolah dengan menggunakan ANOVA (Analysis of
Varian). Kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple range Test dengan

21

taraf 5% bila berbeda nyata pada perlakukan yang diberikan. Data ditampilkan
dalam bentuk tabel dan diagram.

Rancangan percobaan
Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan rancangan kelompok
lengkap teracak (RKLT) dengan 2 faktor yaitu rute inokulasi dan umur embrio.
Faktor rute inokulasi terdapat 2 taraf yaitu rute melalui membran korioalantois
dan kantung alantois. Umur embrio terdapat 4 taraf yaitu umur embrio 16 hari
(H16), 17 hari (H17), 18 hari (H18), dan 19 hari (H19), inokulasi dilakukan pada
embrio umur 13 hari. Peubah yang diamati yaitu persentase parasitemia dan
persentase diferensial leukosit yang terdiri dari limfosit, monosit, heterofil,
basofil, dan eosinofil.
Data yang didapatkan selanjutnya akan diolah dan disajikan dalam bentuk
persentase (%) dan perbedaan perlakuan diuji menggunakan Analysis of Variance
(ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95%. Data analisis ragam dilanjutkan dengan
menggunakan uji wilayah berganda (Duncan Multiple Range Test) untuk menguji
perbedaan yang ada (Matjik dan Sumertajaya 2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Parasitemia
Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui
membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur
tertunas (TET). Namun terdapat perbedaan nilai parasitemia ulas darah embrio
ayam pada beragam umur TET yang ditunjukan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rata-rata persentase parasitemia pada telur embrio tertunas yang
diinokulasi dengan L. caulleryi.
Umur TET

Rute inokulasi
Membran Korio-alantois (CAM)

Kantung Alantois (AC)

H16

0.14±0.11c

0.00±0.00d

H17

0.33±0.04b

0.00±0.00d

H18

0.35±0.12b

0.00±0.00d

H19

1.33±0.19a

0.04±0.06cd

Keterangan : Angka yang diikuti huruf superskrip berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf
p