Keefektifan Perlakuan Microwave, Air Panas, Panas Kering, Dan Bakterisida Untuk Menekan Infeksi Pantoea Stewartii Subsp. Stewartii Pada Benih Jagung Manis

KEEFEKTIFAN PERLAKUAN MICROWAVE, AIR PANAS,
PANAS KERING, DAN BAKTERISIDA UNTUK MENEKAN
INFEKSI Pantoea stewartii subsp. stewartii PADA BENIH
JAGUNG MANIS

SUSWI NALIS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keefektifan Perlakuan
Microwave, Air Panas, Panas Kering, dan Bakterisida untuk Menekan
Infeksi Pantoea stewartii subsp. stewartii pada Benih Jagung Manis adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Suswi Nalis
NIM A351130384

RINGKASAN
SUSWI NALIS. Keefektifan Perlakuan Microwave, Air Panas, Panas Kering, dan
Bakterisida untuk Menekan Infeksi Pantoea stewartii subsp. stewartii pada Benih
Jagung Manis. Dibimbing oleh GIYANTO dan GEDE SUASTIKA.
Jagung manis merupakan salah satu komoditas pertanian yang menjadi isu
nasional, khususnya terkait program peningkatan produksi, produktivitas dan
mutu tanaman hortikultura berkelanjutan. Penyakit layu Stewart merupakan
penyakit penting pada tanaman jagung, khususnya jagung manis, yang disebabkan
oleh bakteri Pantoea stewartii subsp. stewartii dan merupakan patogen tular benih.
Salah satu cara pengendalian penyakit ini adalah dengan perlakuan benih.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui keefektifan perlakuan microwave, air
panas, panas kering, bakterisida, dan kombinasinya untuk mengeliminasi bakteri
P. stewartii subsp. stewartii pada benih jagung manis tanpa merusak kualitas

benih.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium dan Rumah Kaca Balai Uji Terap
Teknik dan Metode Karantina Pertanian (BUTTMKP) Bekasi dari Bulan
September 2014 sampai Maret 2015. Penelitian terdiri atas 3 tahap percobaan.
Percobaan pertama dilakukan untuk menentukan treatment window perlakuan
microwave, air panas, panas kering, dan bakterisida (bahan aktif streptomisin
sulfat). Perlakuan tersebut dilakukan pada benih jagung manis dan bakteri P.
stewartii subsp. stewartii pada kondisi in vitro. Variabel yang diamati adalah daya
vigor dan berkecambah benih serta populasi bakteri P. stewartii subsp. stewartii
pada kondisi in vitro. Percobaan kedua merupakan perlakuan fisik dan kimiawi
pada benih jagung manis yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii. Perlakuan
benih yang dilakukan percobaan ini adalah perlakuan yang memiliki treatment
window pada percobaan pertama. Perlakuan yang dilakukan adalah perlakuan air
panas (suhu 50, 53, dan 55 °C selama 30 menit), panas kering (suhu 40, 45, 50,
55, dan 60 °C selama 24 jam), dan bakterisida dengan bahan aktif streptomisin
sulfat (konsentrasi 25, 50, 100, 150, dan 200 ppm selama 20 menit). Percobaan
ketiga merupakan kombinasi perlakuan fisik dan kimia pada benih yang terinfeksi
P. stewartii subsp. stewartii. Perlakuan yang dikombinasikan adalah perlakuan
panas kering (suhu 45, 50, dan 55°C selama 24 jam) dan bakterisida dengan bahan
aktif streptomisin sulfat (konsentrasi 25, 50, dan 100 ppm selama 20 menit)

dengan aplikasi perlakuan bakterisida dilakukan sebelum dan setelah perlakuan
panas kering. Variabel yang diamati pada percobaan kedua dan ketiga adalah
vigor dan daya berkecambah benih serta populasi bakteri P. stewartii subsp.
stewartii yang terdapat di dalam benih. Data dianalisis menggunakan Minitab
versi 16. Rancangan percobaan yangdigunakan pada percobaan pertama dan
kedua adalah rancangan acak lengkap (RAL) sedangkan pada percobaan ketiga
adalah RAL faktorial dengan masing-masing perlakuan terdiri atas 4 ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan panas kering pada suhu 50
°C selama 24 jam mampu mematikan P. stewartii subsp. stewartii pada kondisi in
vitro namun tidak efektif pada benih yang terinfeksi (secara in vivo). Uji daya
berkecambah pada benih yang diberi perlakuan panas kering sampai 55 °C selama
24 jam tidak menurunkan persentase perkecambahan. Perlakuan bakterisida pada

konsentrasi 100 ppm mampu mengurangi populasi bakteri ada benih jagung.
Konsentrasi bakterisida 150 dan 200 ppm dapat menurunkan populasi bakteri
pada benih jagung manis, tetapi menyebabkan efek fitotoksisitas pada
berkecambah. Kombinasi bakterisida konsentrasi 100 ppm dengan perlakuan
panas kering (55 °C selama 24 jam) mampu mengeliminasi bakteri dalam benih
dengan persentase daya berkecambah di atas 85%.
Kata kunci : Patogen tular benih, perlakuan benih, treatment window


SUMMARY
SUSWI NALIS. Effectiveness of Microwave, Hot Water, Dry Heat and
Bactericide Treatment to Supress Pantoea stewartii subsp. stewartii Infection on
Sweet Corn Seeds. Supervised by GIYANTO and GEDE SUASTIKA.
Sweet corn is one of the agricultural commodities into a national issue,
especially related to the program to increase production, productivity and quality
of horticultural crops. Stewart's wilt is an important bacterial disease of sweet
corn caused by the P. stewartii subsp. stewartii. This bacteria is a seed transmitted
pathogen. Seed treatment is one alternative of Stewart’s wilt control. The aim of
this research was to study the effectiveness of microwave, hot water, dry heat,
bactericide treatment and their combination to eliminate P. stewartii subsp.
stewartii infection on sweet corn seed without damaging of seed quality.
The research was conducted at the Laboratory and Greenhouse, Applied
Research Institute of Agricultural Quarantine (ARIAQ) on September 2014 to
March 2015. The treatments included in three experiments. The first experiment
was conducted to determine the treatment window of microwave, hot water, dry
heat, and bactericide (streptomicyn sulphate) treatment. The treatment was carried
out on sweet corn seed and the P. stewartii subsp. stewartii in vitro. The
observation of variable included vigor and germination of sweet corn seeds and

bacterial populations of P. stewartii subsp. stewarti in vitro. The second
experiment was study of a physical and chemical treatment on sweet corn seed
infested by P. stewartii subsp. stewartii. Seed treatment has a treatment window
in the first experiment was used in this experiment. The treatments were hot water
(50, 53, and 55 °C for 30 minutes), dry heat (40, 45, 50, 55, and 60 °C for 24
hours), and bactericide treatment (25, 50, 100, 150, and 200 ppm, w/v for 20
minutes). The thrid experiment was combination of a physical and chemical
treatment on sweet corn seed infested by P. stewartii subsp. stewartii. The
combination treatment was carried out dry heat (45, 50, and 55 °C for 24 hours)
and bactericide treatment (25, 50, and 100 ppm, w/v for 20 minutes). Applications
of the bactericide was executed before and after the dry heat treatment. The
observation of variable on the second and thrid experiments included vigor and
germination of sweet corn seeds and bacterial populations of P. stewartii subsp.
stewartii in sweet corn seed infested. Data were analyzed using Minitab version
16. The experimental design in the first and second experiments was used a
completely randomized design (CRD), while the thrid experiment was used CRD
factorial with each treatment consisted of 4 replications.
The results showed that dry heat treatment at 50 °C for 24 hours was able to
eliminate pathogen populations in vitro but was unable to eliminate the pathogen
on infected seed (in vivo). Germination tests indicated that seed treatments with

dry heat up to 55 °C did not decrease the germination percentage below 80%. The
use of bactericide treatment in 100 ppm could reduce the population of bacteria on
sweet corn seeds. Bactericide concentration 150 and 200 ppm could decrease the
population of bacteria on sweet corn seeds nevertheless, it could cause phytotoxic
effect. The combination of bactericide concentration (100 ppm, w/v) with dry heat

treatment (55 °C for 24 hours) is able to eliminate bacteria on infected seed sweet
corn with seed germination percentage above 85%.
Keywords : Seed transmitted pathogen, seed treatment, treatment window

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KEEFEKTIFAN PERLAKUAN MICROWAVE, AIR PANAS,
PANAS KERING, DAN BAKTERISIDA UNTUK MENEKAN
INFEKSI Pantoea stewartii subsp. stewartii PADA BENIH
JAGUNG MANIS

SUSWI NALIS

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Abdul Qadir, MSi


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 sampai Maret
2015 ini adalah perlakuan benih, dengan judul Keefektifan Perlakuan Microwave,
Air Panas, Panas Kering, dan Bakterisida untuk Menekan Infeksi Pantoea stewartii
subsp. stewartii pada Benih Jagung Manis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Giyanto MSi dan Dr Ir Gede
Suastika MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan,
pengarahan dan saran dalam penyusunan tesis. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada Dr Ir Abdul Qadir, MSi selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan saran dan masukan dalam penyusunan tesis. Penghargaan penulis
sampaikan kepada Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat MSc selaku ketua Program
Studi Fitopatologi, dan Dr Ir Pudjianto MSi selaku ketua Program Studi
Entomologi, dan staf pengajar Departemen Proteksi Tanaman IPB yang telah
memberikan ilmu selama penulis mengikuti pendidikan sehingga dapat dijadikan
bekal penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih diberikan kepada Badan Karantina Pertanian yang
telah memberikan beasiswa Program Khusus Karantina pada Sekolah Pascasarjana
IPB serta Prof Dr Ir Christanti Sumardiyono, SU, drh Bambang Haryanto, MM,

Ir Iyus Hidayat, MP, dan Zuro’aidah, SP Msi yang telah memberikan rekomendasi
kepada penulis untuk mengikuti seleksi mendapatkan beasiswa Program Khusus
Karantina pada Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih penulis sampaikan kepada
Kepala beserta staf Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon yang telah
memberikan bantuan dan dukungan selama penulis melaksanakan tugas belajar
serta Kepala beserta staf Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karatina Pertanian
atas bantuan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan kegiatan penelitian ini.
Rasa hormat yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang
tua tercinta, ayahanda Syakir dan ibunda Ponirah yang telah mencurahkan kasih
sayang, doa, bimbingan dan dukungannya. Ucapan terima kasih disampaikan pula
kepada adik-adik (Yohan, Ihsan, Fajar), Bapak dan Ibu mertua, serta adik ipar atas
doa dan dorongan semangatnya. Rasa terima kasih yang tulus penulis ucapkan
kepada suami tercinta Diana Budiman atas kasih sayang, pengertian, kesabaran, dan
dukungannya selama ini. Sayang dan cinta penulis berikan untuk ananda Razi Hanif
Widika Putra. Penulis sampaikan terima kasih pula kepada teman-teman satu
angkatan atas bantuan dan dukungannya. Akhir kata penulis haturkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya tesis yang tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2015
Suswi Nalis


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis


1
1
3
3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Layu Stewart
P. stewartii subsp. stewartii
Perlakuan Benih

4
4
5
7

BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Peralatan Penelitian
Bagan Alir Penelitian
Penentuan Treatment Window Perlakuan Benih
Perlakuan Fisik dan Kimiawi pada Benih Terinfeksi P. stewartii
subsp. stewartii
Kombinasi Perlakuan Fisik dan Kimawi pada Benih Terinfeksi
P. stewartii subsp. stewartii

12
12
12
12
14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbanyakan Isolat P. stewartii subsp. stewartii
Penentuan Treatment Window Perlakuan Benih
Perlakuan Fisik dan Kimiawi pada Benih Terinfeksi P. stewartii
subsp. stewartii
Kombinasi Perlakuan Fisik dan Kimiawi pada Benih Terinfeksi
P. stewartii subsp. stewartii
Pembahasan Umum

19
19
19

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

43
43
43

DAFTAR PUSTAKA

44

LAMPIRAN

50

RIWAYAT HIDUP

58

17
18

30
35
39

DAFTAR TABEL
1.
2.

3.
4.

Pengaruh perlakuan air panas pada benih jagung manis yang terinfeksi
bakteri
P. stewartii subsp. stewartii terhadap viabilitas benih dan
populasi bakteri
Pengaruh perlakuan panas kering pada benih jagung manis yang
terinfeksi bakteri P. stewartii subsp. stewartii terhadap viabilitas benih
dan populasi bakteri
Pengaruh perlakuan bakterisida (bahan aktif streptomisin sulfat ) pada
benih jagung manis yang terinfeksi bakteri P. stewartii subsp. stewartii
terhadap viabilitas benih dan populasi bakteri
Pengaruh perlakuan bakterisida bahan aktif streptomisin sulfat dan
perlakuan panas kering pada benih jagung yang terinfeksi bakteri P.
stewartii subsp. stewartii terhadap viabilitas benih dan populasi bakteri

31
32

33
36

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.

4.

5.
6.
7.

8.

9.

Grafik treatment window pada perlakuan benih
Koloni bakteri P. stewartii subsp. stewartii pada media YDCA (a) dan
semi selektif nigrosin (b)
Penampakan kecambah jagung manis yang tumbuh normal. (a) plumul
muncul keluar menembus koleoptil, (b) daun kedua telah terbentuk. (b :
biji, ap : akar primer, as : akar sekunder, k : koleoptil, p : plumul/ daun
pertama, d : daun kedua).
Penampakan kecambah jagung manis yang tumbuh abnormal. (a) benih
jagung tidak berkecambah, (b) koleoptil dan plumul tidak terbentuk, (c)
akar dan plumul tidak terbentuk, dan (d) plumul tidak terbentuk.
Pengaruh perlakuan microwave terhadap daya berkecambah benih jagung
manis dan jumlah koloni P. stewartii subsp. stewartii
Pengaruh perlakuan air panas terhadap daya berkecambah benih jagung
manis dan jumlah koloni P. stewartii subsp. stewartii. tw : daerah
treatment window/interval suhu yang sesuai untuk perlakuan benih.
Pengaruh perlakuan panas kering terhadap daya berkecambah benih
jagung manis dan jumlah koloni P. stewartii subsp. stewartii. tw :
daerah treatment window/interval suhu yang sesuai untuk perlakuan
benih.
Pengaruh perlakuan bakterisida bahan aktif streptomisin sulfat terhadap
daya berkecambah benih jagung manis dan nilai optical density P.
stewartii subsp. stewartii . tw : daerah treatment window/interval
konsentrasi yang sesuai untuk perlakuan benih.
Gejala keracunan pada kecambah jagung manis pada 7 HST. (a) klorosis
pada bagian tulang daun utama, (b) klorosis pada seluruh lamina daun,
(c) klorosis pada seluruh kecambah.

8
19

20
21
22

25

27

29
35

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

7.
8.
9.
10.
11.
12.

13.
14.
15.

16.
17.

18.

Viabilitas benih jagung manis dan P. stewartii subsp. stewartii pada
berbagai waktu paparan dengan perlakuan microwave
Viabilitas benih jagung manis dan P. stewartii subsp. stewartii pada
berbagai suhu dengan perlakuan air panas
Viabilitas benih jagung dan P. stewartii subsp. stewartii pada berbagai
suhu dengan perlakuan udara panas kering
Viabilitas benih jagung dan P. stewartii subsp. stewartii pada berbagai
konsentrasi dengan perlakuan bakterisida bahan aktif streptomisin sulfat
Analisis ragam pengaruh perlakuan air panas terhadap persentase vigor
benih jagung manis yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii
Analisis ragam pengaruh perlakuan air panas terhadap persentase daya
berkecambah benih jagung manis yang terinfeksi P. stewartii subsp.
stewartii
Analisis ragam pengaruh perlakuan air panas terhadap log 10 populasi
P. stewartii subsp. stewartii pada benih jagung manis
Analisis ragam pengaruh perlakuan panas kering terhadap persentase
vigor benih jagung manis yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii
Analisis ragam pengaruh perlakuan panas kering terhadap persentase
daya berkecambah benih jagung manis yang terinfeksi P. stewartii
subsp. stewartii
Analisis ragam pengaruh perlakuan panas kering terhadap log 10
populasi P. stewartii subsp. stewartii pada benih jagung manis
Analisis ragam pengaruh perlakuan bakterisida terhadap persentase
vigor benih jagung manis yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii
Analisis ragam pengaruh perlakuan bakterisida terhadap persentase
daya berkecambah benih jagung manis yang terinfeksi P. stewartii
subsp. stewartii
Analisis ragam pengaruh perlakuan bakterisida terhadap log 10
populasi P. stewartii subsp. stewartii pada benih jagung manis
Analisis ragam pengaruh perlakuan bakterisida terhadap persentase
fitotoksisitas benih jagung manis yang terinfeksi P. stewartii subsp.
stewartii
Analisis ragam pengaruh kombinasi perlakuan panas kering dan
bakterisida terhadap persentase vigor benih jagung manis yang
terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii
Analisis ragam pengaruh perlakuan kombinasi perlakuan panas kering
dan bakterisida terhadap persentase daya berkecambah benih jagung
manis yang terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii
Analisis ragam pengaruh perlakuan kombinasi perlakuan panas kering
dan bakterisida terhadap log 10 populasi P. stewartii subsp. stewartii
pada benih jagung manis
Koloni bakteri P. stewartii subsp. stewartii pada media YDCA 24 (kiri)
dan 48 jam (kanan) setelah inkubasi

51
51
52
52
53
53
53
53

54
54
54
54
55

55
55

56
56
57

19.

Koloni P. stewartii subsp. stewartii dari hasil ekstraksi benih yang
terinfeksi pada media YDCA 24 (kiri) dan 48 jam (kanan) setelah
inkubasi

57

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jagung merupakan komoditas penting Indonesia dan saat ini menempati
posisi cukup penting dalam perekonomian nasional karena merupakan sumber
karbohidrat dan bahan baku industri pakan dan pangan (Akil & Dahlan 2010).
Produksi jagung nasional meningkat setiap tahun, namun hingga sampai saat ini
belum mampu memenuhi kebutuhan domestik. Hal ini karena permintaan jagung
yang tinggi terutama dipicu oleh kebutuhan pakan ternak, sehingga pemanfaatan
jagung yang semula hanya sebagai sumber pangan (konsumsi langsung) sekarang
berubah menjadi bahan industri. Upaya untuk memenuhi kebutuhan nasional yang
tinggi ini, maka diperlukan impor baik yang berupa benih jagung untuk
meningkatkan produksi dalam negeri maupun jagung pipilan untuk memenuhi
kebutuhan industri, seperti industri pakan ternak. Menurut Direktorat Jenderal
Hortikultura Kementerian Pertanian (2014), nilai impor untuk jagung manis pada
tahun 2012 mencapai 983 729 US$, lebih besar dari nilai ekspornya yang hanya
330 776 US$.
Penyakit layu Stewart merupakan penyakit bakteri penting pada tanaman
jagung manis (Lipps et al. 2003). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Pantoea
stewartii subsp. stewartii Smith (Mergaert et al. 1993). Penyakit ini terutama
menginfeksi jagung manis pada seluruh stadia tanaman (stadia pembungaan,
pembuahan, pembibitan dan pertumbuhan vegetatif). Penyakit ini dapat
menyebabkan kehilangan hasil pada jagung manis yang rentan antara 40 sampai
100% bila terinfeksi sebelum munculnya daun kelima, 15 sampai 35% bila
terinfeksi saat muncul daun kelima sampai ketujuh, dan 3 sampai 15% bila
terinfeksi pada saat muncul daun ketujuh sampai kesembilan. Penyebaran bakteri
dilakukan oleh perantara serangga vektor Chaetocnema pulicaria Melsheimer
(Coleoptera: Chrysomelidae) atau corn flea beetle (Pataky 2004) dan merupakan
patogen tular benih walaupun frekuensinya sangat kecil (Block et al. 1998;
Michener et al. 2002; Rahma et al. 2013). Berdasarkan Lampiran Peraturan
Menteri Pertanian nomor 93/Permentan/OT.140/12/2011 tentang Jenis Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina, bakteri ini termasuk Organisme Pengganggu
Tumbuhan Karantina (OPTK) kategori A1 yaitu OPTK yang belum ada di
wilayah Indonesia.
Pengamatan lapangan di Pulau Karimun menunjukkan bahwa serangga
vektor C. pulicaria telah ditemukan di areal pertanaman jagung dan kangkung
(Widodo 2013). Hasil analisis risiko organisme pengganggu tumbuhan (AROPT)
C. pulicaria, serangga vekor ini hanya terbatas di wilayah Tanjung Balai
Karimun. Semakin tingginya arus lalu lintas komoditas pertanian yang didukung
lancarnya transportasi dari negara yang komoditas pertaniannya terserang C.
pulicaria, maka semakin tinggi kemungkinan C. pulicaria masuk dan tersebar di
wilayah Republik Indonesia (Achrom 2012).
Adanya laporan gejala layu Stewart di lapangan di beberapa wilayah
Indonesia disertai dengan dilaporkannya keberadaan serangga vektor C.
pulicaria di Tanjung Balai Karimun akan menjadi permasalahan yang krusial
terhadap perkembangan penyakit layu Stewart di Indonesia. Walaupun persentase

2
bakteri ini sebagai patogen tertular benih sangat kecil, akan tetap menjadi
permasalahan penyakit yang besar bila terdapat serangga vektornya.
Pengendalian untuk menekan penyakit ini adalah dengan menciptakan benih
yang sehat. Perlakuan benih yang sesuai diperlukan agar benih terbebas dari
patogen tular benih dengan tidak menurunkan kualitas benihnya. Pengendalian
penyakit layu Stewart di beberapa negara saat ini masih sebatas pada
pengendalian serangga vektor, yaitu dengan insektisida seperti imidacloprid,
thiomethoxam, dan clothianidin (Pataky et al. 2000; Kuhar et al. 2002). Di China,
perendaman benih jagung dengan antibiotik Xinzhimeisu (streptomisin dan
terramisin) konsentrasi 300 ppm, Wuyijunsu (Streptomyces ahygroscopicus var.
wuyiensis) konsentrasi 120 ppm, dan Agricultural Antibiotic 120 (S.
hygrospinosus var. beijingensis) konsentrasi 1:20 pada suhu 40 sampai 47 °C
selama 1.5 jam dapat mengeliminasi P. stewartii subsp. stewartii dan
menstimulasi perkecambahan benih (Guo et al. 1991).
Alternatif perlakuan untuk benih yang perlu dikembangkan adalah dengan
perlakuan fisik, di antaranya perlakuan dengan microwave, air panas, dan panas
kering. Radiasi microwave telah dimanfaatkan untuk mengendalikan patogen pada
pengolahan dan penyimpanan makanan, serta perlakuan benih dengan energi
panas sebagai lethal mode of action. Perlakuan microwave (1100 W 2450 MHz)
pada benih kacang buncis dapat mengendalikan patogen terbawa benih
diantaranya Xanthomonas axonopodis pv. phaseoli, Pseudomonas syringae pv.
phaseolicola, dan Colletotrichum lindemuthianum (Friesen 2014). Perlakuan air
panas merupakan salah satu metode perlakuan benih yang ideal karena dapat
membunuh patogen yang terbawa benih dengan air panas tanpa merusak embrio
(Mc Cormack 2004). Perlakuan air panas pada benih jagung manis dengan suhu
53 °C selama 15 menit dapat mematikan cendawan Cephalosporium acremonium
dengan daya berkecambah 100% (Reddy et al. 1926). Perlakuan panas kering
merupakan salah satu perlakuan fisik pada benih yang secara luas diterapkan
untuk tanaman tertentu, terutama benih sayuran hibrida yang mahal. Grum et al.
(2007), melaporkan bahwa kombinasi perlakuan panas kering pada benih dan
termoterapi pada pembibitan dapat digunakan untuk mengeradikasi bakteri
patogen pada buncis (X. campestris pv. phaseoli).
Perlakuan kimiawi dengan bakterisida dapat pula menjadi alternatif
perlakuan benih yang terinfeksi bakteri patogen. Bakterisida dengan bahan aktif
streptomisin sulfat merupakan bakterisida sistemik yang dapat direkomendasikan
untuk mengatasi masalah penyakit layu bakteri. Streptomisin digunakan untuk
mengendalikan fire blight pada apel dan pir yang disebabkan Erwinia amylovora
di New Zealand dan USA dengan toksisitas yang rendah (FSANZ 2011). Vanesste
(2011), melaporkan bahwa streptomisin digunakan untuk pengendalian penyakit
kanker bakteri dan layu bakteri. Perlakuan fisik dan kimiawi maupun kombinasi
dari perlakuan tersebut diharapkan mampu menekan maupun mengeliminasi
keberadaan P. stewartii subsp. stewartii pada benih jagung manis.

3
Perumusan Masalah
Jagung manis merupakan salah satu komoditas pertanian yang menjadi isu
nasional, khusunya terkait peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman
hortikultura berkelanjutan. Pengembangan sistem perbenihan hortikultura salah
satu kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Penyakit layu
Stewart yang disebabkan oleh bakteri P. stewartii subsp. stewartii merupakan
salah satu penyakit penting yang bersifat tular benih yang dapat menurunkan
produktivitas jagung manis. Adanya laporan terkait ditemukannya penyakit layu
Stewart di beberapa wilayah sentra pertanaman jagung manis sangat
mempengaruhi produktivitas nasional sehingga menyebabkan gagalnya
pencapaian program tersebut. Pengendalian untuk menekan penyakit ini adalah
dengan menciptakan benih yang sehat dan bermutu. Perlakuan benih yang sesuai
diperlukan agar terbebas dari patogen tular benih dan tidak menurunkan kualitas
benih. Alternatif perlakuan untuk benih yang perlu dikembangkan adalah dengan
perlakuan fisik dan kimiawi. Perlakuan fisik dan kimiawi maupun kombinasi dari
perlakuan tersebut diharapkan mampu menekan maupun mengeliminasi
keberadaan P. stewartii subsp. stewartii pada benih jagung manis tanpa
menurunkan kualitas benihnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan perlakuan microwave,
air panas, panas kering dan bakterisida serta kemungkinan kombinasinya untuk
mengeliminasi infeksi bakteri P. stewartii subsp. stewartii pada benih jagung
manis tanpa merusak kualitas benih.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang teknologi perlakuan
benih yang efektif mengeliminasi bakteri P. stewartii subsp. stewartii pada benih
jagung manis tanpa merusak kualitas benih.
Hipotesis
Perlakuan fisik (microwave, air panas, dan panas kering) dan kimiawi
(bakterisida) serta kombinasinya mampu mengeliminasi bakteri P. stewartii
subsp. stewartii pada benih jagung manis tanpa merusak kualitas benih.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Layu Stewart
Arti Penting Penyakit
Penyakit layu Stewart juga dikenal sebagai layu bakteri atau hawar daun
bakteri. Penyakit layu Stewart pertama kali diamati oleh T.J Burnill di akhir tahun
1980an saat mempelajari fire blight di pertanaman jagung di Illinois selatan,
namun patogen penyebab penyakit ini belum dapat ditentukan. Pada tahun 1895,
F.C Stewart mengamati layu pada tanaman jagung manis di Long Island, New
York. Pada tahun 1898, Stewart memberi laporan yang akurat terhadap gejala dan
patogen penyebabnya yaitu Pseudomonas stewartii dan bersama rekan-rekannya
disimpulkan bahwa bakteri ini disebarkan oleh benih. Tahun 1925, C. pulicaria
diidentifikasi sebagai vektor utama penyakit ini (Pataky 2004).
Penyakit layu Stewart merupakan penyakit bakteri penting pada tanaman
jagung di Amerika Serikat, khususnya pada jenis jagung manis (sweet corn), dent
corn, flint corn, flour corn, dan pop corn. Penyakit ini menjadi masalah utama di
bagian timur sentra pertanaman jagung di Amerika Serikat. Pada jagung manis,
kerusakan dapat menyebabkan pembibitan yang terinfeksi menjadi layu dan mati.
Dent corn lebih tahan daripada jagung manis dan kehilangan hasil yang
diakibatkan penyakit ini sangat rendah kecuali ketika hawar daun terjadi setelah
pembungaan pada pertanaman jagung sudah cukup tinggi persentasenya. Layu
pada pembibitan terjadi pada dent corn hibrida yang rentan atau pada lahan
pembibitan terdapat populasi C. pulicaria yang tinggi (Lipps et al. 2003).
Penyakit ini terutama menginfeksi jagung manis pada seluruh stadia
tanaman (stadia pembungaan, pembuahan, pembibitan dan pertumbuhan
vegetatif). Bagian tanaman yang terinfeksi yaitu buah, kuncup bunga, daun, akar,
benih, batang dan seluruh bagian tanaman. Penyakit ini dapat menyebabkan
kehilangan hasil pada jagung manis yang rentan antara 40 sampai 100% bila
terinfeksi sebelum munculnya daun kelima, 15 sampai 35% bila terinfeksi saat
muncul daun kelima sampai ketujuh, dan 3 sampai 15% bila terinfeksi pada saat
muncul daun ketujuh sampai kesembilan (Pataky 2004).
Jagung manis merupakan merupakan kultivar jagung yang paling rentan
terhadap penyakit ini dibandingkan pop corn dan dent corn, tetapi jenis jagung
hibrida untuk kultivar ini juga cukup rentan terhadap penyakit ini. Pada
pertengahan abad yang lalu, penyakit ini menjadi outbreak pada pertanaman
jagung manis di Amerika. Selama tahun 1990an, penyakit ini meningkat dan
menjadi penting secara ekonomi karena berpengaruh terhadap ekspor benihnya,
yaitu negara pengimpor akan melarang dan membatasi masuknya benih ke negara
mereka bila pada benih jagung terdeteksi patogen penyebab penyakit ini
(Munkvold 2001; Rahma 2013).
Gejala Penyakit
Penyakit layu Stewart pada tanaman yang rentan memperlihatkan gejala
layu seperti kekeringan, kekurangan hara, atau terserang hama. Gejala lain
adanya goresan berwarna hijau pucat atau kuning, sejajar tulang daun dengan
pinggir bergelombang tidak beraturan dan goresan ini berubah menjadi kering
dan berwarna coklat. Tanaman yang terserang berat, pada empulur batang

5
terbentuk rongga. Bakteri berkembang dan menyebar melalui jaringan pembuluh
sampai ke benih (Pataky & Ikin 2003). Gejala penyakit layu Stewart muncul
ketika benih yang berkecambah normal telah berumur sekitar 1 minggu dan
memiliki 2 sampai 3 helai daun (Rahma et al. 2013).
Gejala penyakit layu Stewart pada jagung terjadi pada dua fase pertumbuhan
tanaman yang berbeda (Pataky 2004). Fase pertama adalah gejala layu pada
pembibitan, yaitu terjadi saat pertumbuhan 2 sampai 5 helai daun. Pada
tanaman yang muda gejala water soaking (luka kebasahan) yang panjang terdapat
di sepanjang daun dan daun akan memperlihatkan garis hijau pucat sampai
kuning (Yang 2000; Zitter 2002). Bakteri akan memperbanyak diri dalam
pembuluh xilem daun dan batang. Tingginya produksi ekstraseluler polisakarida
(EPS) oleh bakteri menyebabkan terjadinya penyumbatan pada pembuluh
xilem, sehingga akan menyebabkan kurangnya suplai air dan nutrisi ke
tanaman, dan pada akhirnya tanaman menjadi layu dan mati. Kebanyakan
tanaman yang terinfeksi akan terlihat adanya rongga pada pangkal batang.
Tanaman yang terinfeksi jika tidak mati akan menjadi kerdil dan tidak akan
menghasilkan bulir (Pataky 2004; Stack et al. 2006).
Fase kedua dari penyakit ini gejalanya berupa hawar pada daun tua dan
terjadi setelah munculnya malai (Pataky 2004). Infeksi hanya bersifat lokal (Yang
2000). Umumnya gejala berupa luka pada daun, dan terdapat streak atau goresan
hijau sampai kuning dengan pinggiran yang tak beraturan dan bergelombang di
sepanjang tulang daun dan juga diseluruh permukaan daun selanjutnya akan
kering dan mati dengan gejala seperti kekurangan nutrisi. Pada fase kedua
ini tidak terjadi layu seperti pada fase pertama. Jika batang tanaman muda
yang terinfeksi dipotong akan terlihat adanya massa bakteri berwarna kuning
dan apabila diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x, akan
terlihat ooze bakteri pada jaringan vaskular (Yang 2000; EPPO 2006).
Penyebaran Penyakit Layu Stewart di Indonesia
Di Indonesia penyakit layu Stewart dilaporkan pertama kali oleh Rahma
dan Armansyah (2008) di Kabupaten Pasaman Barat dengan kisaran kejadian
penyakit antara 1 sampai 15%. Rahma dan Khairul (2009) melaporkan adanya
penyakit ini di Provinsi Sumatera Barat, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur
dan Gorontalo dengan kisaran kejadian penyakit antara 9 sampai 18% dan
keparahan penyakit antara 11 sampai 27%. Gejala penyakit layu Stewart yang
ditemukan di Bogor Jawa Barat memiliki kisaran kejadian penyakit antara 23.67
sampai 31.45% (Rahma et al. 2014). Penyakit layu dan hawar daun bakteri pada
jagung di Jawa Timur terutama di daerah Batu, Malang (Suryani et al. 2012) dan
di Kediri (Aini et al. 2013) disebabkan oleh bakteri genus Pantoea.
P. stewartii subsp. stewartii
Klasifikasi dan Ciri Umum
P. stewartii subsp. stewartii merupakan bakteri Gram negatif, anaerob
fakultatif, berbentuk batang, tidak memiliki flagel/tidak bergerak, tidak
membentuk spora (Pataky 2004). Ukuran sel bakteri ini adalah antara 0.4 sampai
0.8 x 0.0 sampai 2.2 µm. Suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri ini berkisar
antara 27 sampai 30 °C, sedangkan pertumbuhan bakteri terendah pada kisaran 8

6
sampai 9 °C dan suhu tertinggi untuk dapat mematikan bakteri adalah 53 °C
(Pataky & Ikin 2003).
Pada media Yeast Extract Dextrosa-Calcium Carbonat Agar (YDCA)
koloni P. stewartii subsp. stewartii berwarna kuning dan cembung. Pada media
Nutrient–Glucosa Agar berwarna kuning krem, kuning lemon atau kuning
oranye, dan tidak mukoid. Koloni pada media Casamino-acid Peptone Glucose
(CPG) sangat mukoid. Pada media Luria Bertani (LB) agar memproduksi warna
kuning yang terang dan sedikit pigmen (Coplin & Kado 2001). Dalam media
semi selektif nigrosine koloni P. stewartii subsp. stewartii tumbuh sedikit
cembung, halus, berkilau, dan lengket dengan karakteristik pigmen hitam pada
pusat koloni dan transparan bagian pinggir (fish eyes), koloni muncul setelah
diinkubasi selama 5 sampai 7 hari pada suhu 39 °C (Guo et al. 1982).
Patogenisitas dari bakteri ini didasarkan pada produksi ekstraseluler
polisakarida (EPS) yang menyebabkan terjadinya penyumbatan pada pembuluh
xilem sehingga menyebabkan layunya tanaman (gejala akan berkembang).
Patogenisitas dan munculnya gejala water soaking juga membutuhkan kelompok
gen respon hipersensitif dan patogenisitas (hrp) dan water soaking (wts) yang
pada hakekatnya sama dengan kelompok gen yang ditemukan pada E. amylovora
yang merupakan bakteri penyebab hawar api (Pataky 2004).
Sebelum berubah menjadi genus Pantoea pada tahun 1993 menjadi spesies
P. stewartii subsp. stewartii (Mergaert et al. 1993), awalnya bakteri ini
dikenal sebagai Bacillus stewartii, Bacterium stewartii, E. stewartii, P.
stewartii, Pseudobacterium stewartii, Phytobacterium stewartii atau X. stewartii
(Pataky & Ikin 2003).
Klasifikasi dari bakteri ini adalah sebagai berikut (Mergaert et al. 1993;
Pataky & Ikin 2003; EPPO 2006):
Kingdom
: Bacteria
Filum
: Proteobacteria
Kelas
: Gamma Proteobacteria
Ordo
: Enterobacteriales
Famili
: Enterobacteriaceae
Genus
: Pantoea
Nama umum : Pantoea stewartii (E.F. Smith 1898) Mergaert et al., 1993
Subspecies
: Pantoea stewartii subsp. stewartii
Pantoea stewartii subsp. indologenes
Sinonim
: Pseudomonas stewartii E.F. Smith, 1898
Bacterium stewartii E.F. Smith, 1914
Aplanobacter stewarti (E.F. Smith1898) McCulloch, 1918
Bacillus stewartii (E.F Smith) Holland, 1920
Phytomonas stewarti (E.F Smith 1898) Bergey et al.,1923
Xanthomonas stewarti (E.F Smith 1898) Dowson, 1939
Pseudobacterium stewarti (E.F. Smith 1898) Krasil’nikov, 1949
Erwinia stewartii (E.F. Smith 1898) Dye, 1963
Biologi dan Ekologi
P. stewartii subsp. stewartii dapat dipencarkan melalui vektor utamanya,
yaitu serangga C. pulicaria. Di Amerika, sepanjang musim dingin bakteri P.
stewartii subsp. stewartii berada di dalam sistem pencernaan makanan kumbang

7
C. pullicaria yang berhibernasi di dalam tanah. Pada awal musim semi
bersaman dengan tanaman jagung mulai ditanam, kumbang dewasa akan muncul
dan memakan daun jagung. Kumbang yang membawa bakteri P. stewartii subsp.
stewartii akan memindahkan bakteri ke dalam tanaman jagung melalui luka bekas
makan dan bakteri akan masuk ke jaringan pembuluh tanaman yang rentan
(Pataky 2004).
P. stewartii subsp. stewartii dapat bertahan hidup pada benih dan
tanaman inang yang hidup. Tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa
bakteri ini dapat bertahan pada tanah atau sisa-sisa tanaman di musim dingin
(Munkvold 2001; Lipps et al. 2003; Pataky 2004). Penyebaran bakteri P. stewartii
subsp. stewartii juga dapat ditularkan melalui benih (Pataky 2004). Block et al.
(1998) mengemukakan bahwa 0.8 sampai 72% benih terinfeksi P. stewartii subsp.
stewartii. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Michener et al. (2002), yaitu
infeksi bakteri pada benih yang diproduksi sebesar 15.6% (1998), 49.4% (1999)
dan 12.5% (2000). Kejadian penyakit layu Stewart pada sampel benih jagung
berkisar antara 2.00 sampai 15.33%, daya berkecambah 68.00 sampai 95.33%,
dan indeks vigor antara 55.33 sampai 90.67% serta tidak ada kaitan antara
persentase kejadian penyakit layu Stewart dengan daya berkecambah serta indeks
vigor benih (Rahma et al. 2013). Penularan P. stewartii subsp. stewartii melalui
benih frekuensinya lebih rendah dibandingkan melalui vektornya, namun potensi
resiko penularan melalui benih ini dianggap sangat penting bahkan lebih dari 50
negara di dunia melarang pemasukan benih yang terinfeksi kecuali benih yang
bersertifikat dan bebas dari P. stewartii subsp. stewartii (Coplin et al. 2002).
P. stewartii subsp. stewartii terletak di dalam jaringan benih jagung, yaitu di
dalam jaringan chalazal, antara jaringan chalazal dan endosperm, dan di dalam
endosperm. Patogen ini tidak terdapat dalam embrio maupun kulit benih dan
masih aktif pada benih sampai 5 bulan setelah panen (Ivanoff 1933 dalam Singh
& Mathur 2004). Di China, patogen ini mampu bertahan di tempat penyimpanan
dalam waktu yang lama pada suhu yang lebih rendah. Patogen ini tidak dapat aktif
setelah berada dalam penyimpanan selama 200 sampai 250 hari pada 8 sampai 15
°C di musim dingin dan selama 110 sampai 120 hari pada suhu 20 sampai 25 °C
di musim panas (Guo et al. 1987).
Perlakuan Benih
Pengendalian serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) selain dapat
dilakukan di lapangan, umumnya dilakukan tindakan preventif dengan perlakuan
benih sebelum tanam. Tindakan ini jauh lebih efektif dibanding jika ditangani di
lapangan. Perlakuan benih yang umum digunakan adalah dengan menyelimuti
benih menggunakan bahan kimia (Sigee 1993).
Perlakuan benih yang ideal harus memenuhi beberapa persyaratan,
diantaranya (1) sangat efektif untuk patogen terbawa benih, (2) relatif bersifat non
toksik terhadap binatang dan tanaman, (3) efektif untuk penyimpanan benih dalam
waktu yang lama, (4) mudah digunakan, (5) dapat diterima dan diaplikasikan, dan
(6) ekonomis (Mc Cormack 2004). Perlakuan karantina dinyatakan efektif apabila
mampu mengeliminasi OPT/K tanpa merusak mutu benih. Perlakuan ini dapat
dilakukan secara fisik maupun kimiawi. Perlakuan fisik umumnya dipilih karena
mampu mengendalikan OPT/K tanpa mencemari lingkungan serta tidak

8
menimbulkan zat–zat residu yang dapat membahayakan kesehatan tubuh (Rustiani
2012).
Menurut Forsberg (2004), berbagai jenis perlakuan suhu pada benih seperti
solarisasi, panas kering, perlakuan air panas dan aerated steam telah diterapkan
secara praktis. Sanitasi benih dari penyakit dengan perlakuan panas mungkin
diterapkan pada kasus saat patogen memiliki toleransi rendah terhadap suhu tinggi
dibandingkan benih yang terinfeksi. Perlakuan untuk mengeliminasi patogen
terbawa benih dapat dilakukan bila perlakuan tersebut memiliki treatment window
(Gambar 1). Treatment window merupakan daerah pada saat populasi patogen
sudah mulai menurun tetapi benih memiliki perkecambahan yang tinggi setelah
diberikan perlakuan benih. Suhu maksimum yang digunakan untuk perlakuan
adalah pada saat infeksi patogen sudah menurun tetapi perkecambahan benihnya
masih tinggi (sebelum menurun) sedangkan suhu minimum pada saat infeksi
patogen sudah menurun dengan perkecambahan masih tinggi. Interval antara suhu
maksimum dan minimum ini yang dapat dijadikan untuk perlakuan pada benih
yang terinfeksi patogen.
Interval suhu yang sesuai untuk perlakuan benih

Perkecambahan
benih
Tingkat infeksi

Suhu
Gambar 1

Grafik treatment window pada perlakuan benih (sumber : Forsberg
2001 dalam Forsberg 2004)

Perlakuan Microwave
Gelombang mikro (microwave) merupakan gelombang elektro berfrekuensi
tinggi yang terletak di antara gelombang berfrekuensi sangat tinggi (infrared) dan
gelombang radio konvensional. Microwave ini memiliki rentang panjang
gelombang mulai dari 1 mm sampai dengan 30 cm. Gelombang ini dibangkitkan
oleh tabung elektron khusus, seperti klystron dan magnetron (ini sebabnya
microwave oven sering juga disebut magnetron). Biasanya tabung elektron
tersebut dilengkapi dengan pengatur frekuensi baik berupa resonator, oscillator
atau perangkat sejenis. Gelombang mikro telah diaplikasikan secara luas, seperti
dalam radio, TV, radar, meteorologi, komunikasi satelit, pengukuran jarak jauh,
dan untuk penelitian sifat-sifat material.
Radiasi microwave telah dimanfaatkan untuk mengendalikan patogen pada
pengolahan makanan, penyimpanan makanan, dan produksi benih. Perlakuan ini

9
menggunakan panas sebagai lethal mode of action untuk mengendalikan patogen.
Karakteristik dari perlakuan ini antara lain adalah waktu paparan yang cukup
singkat karena kemampuannya secara cepat menghasilkan panas. Perlakuan ini
juga dapat meningkatkan vigor dan mempercepat perkecambahan benih. Radiasi
microwave dapat mengurangi biaya tambahan atau alternatif perlakuan kimiawi
saat ini untuk mengurangi dan mengeliminasi patogen terbawa benih tanpa
mempengaruhi perkecambahan benih (Friesen 2014).
Pertumbuhan Penicillium expansum secara in vitro terhambat oleh
pemanasan microwave 2450 MHz selama 2 atau 3 menit, sedangkan pada paparan
selama 1 menit hanya sebagian terhambat saja. Kombinasi perlakuan panas
microwave dengan agens hayati secara nyata lebih baik daripada perlakuan panas
microwave saja. Perlakuan ini tidak mengganggu parameter kualitas pada buah pir
dan kombinasi antara yeast antagonis (Cryptococcus laurentii) dan microwave
dapat menjadi solusi yang dapat diandalkan untuk mengendalikan penyakit
pascapanen pada buah pir (Zhang et al. 2006). Perlakuan benih tembakau dengan
radiasi microwave (2450 MHz, 625 W) selama 20 menit mampu mengeliminasi E.
carotovora var. carotovora tanpa mengurangi perkecambahan benih tembakau.
Persentase benih terinfeksi berkurang rata-rata 68% dengan perlakuan 10 menit
dan 99% dengan perlakuan 15 menit. Perkecambahan benih kacang hancur
dengan perlakuan selama 2 menit serta perkecambahan benih kubis berkurang
10% dengan perlakuan selama 2 menit dan 55% dengan perlakuan selama 5 menit
(Hankin dan Sands 1977). Menurut Friesen (2014), perlakuan microwave
(microwave oven 2450 MHz, 1100 W) pada benih kacang buncis untuk
mengendalikan patogen terbawa benih (X. axonopodis pv. phaseoli, P. syringae
pv. phaseolicola, dan C. lindemuthianum) memiliki sedikit efek yang buruk bila
diterapkan pada waktu paparan yang optimal (< 40 detik).
Menurut Gedikli et al. (2008), penggunaan microwave 2450 MHz pada
tingkat daya yang berbeda, menunjukkan bahwa gelombang mikro ternyata
menghasilkan efek mematikan pada bakteri karena panas yang dihasilkan saat
terpapar microwave. Hasil menunjukkan bahwa perlakuan microwave berakibat
pada kerusakan dinding sel bakteri Escherichia coli sehingga dapat mengurangi
jumlah selnya.
Perlakuan Air Panas
Perlakuan air panas merupakan salah satu metode perlakuan benih yang
ideal. Tujuan dari perlakuan ini adalah membunuh patogen yang terbawa benih
dengan air panas tanpa merusak embrio benih (Mc Cormack 2004). Air adalah
sumber perlakuan yang ideal karena dapat menembus jaringan tanaman, memiliki
kapasitas yang tinggi untuk perubahan suhu sehingga membutuhkan suhu rendah
dan waktu pemaparan singkat. Perlakuan air panas ini banyak digunakan untuk
mengendalikan penyakit terbawa benih dengan suhu yang cukup untuk
membunuh patogen namun tidak cukup untuk mematikan benih (Friesen 2014).
Perlakuan air panas efektif digunakan untuk patogen yang berada di dalam
benih dan yang sulit ditembus oleh desinfektan. Suhu air dan waktu yang
digunakan untuk perlakuan bervariasi bergatung pada jenis patogen dan benih
tanaman (Agarwal & Sinclair 1997). Perlakuan air panas pada benih jagung manis
pada suhu 53 °C selama 15 menit mampu mematikan cendawan C. acremonium
dengan daya berkecambah 100% (Reddy et al. 1926). Menurut Agarwal dan

10
Sinclair (1997), perlakuan air panas pada suhu 50 °C selama 12 menit mampu
membunuh E. carotovora pv. carotovora pada benih tembakau dan pada suhu 50
°C selama 30 menit mampu mengeliminasi X. campestris pv. campestris pada
benih brokoli dan kubis. Perlakuan air panas pada suhu 48 dan 52 °C selama 20
menit serta 48 °C selama 40 menit menghasilkan perkecambahan yang tidak
berbeda dengan tanpa perlakuan pada benih tomat (Divsalar et al. 2014).
Perlakuan Panas Kering
Perlakuan panas kering pada benih digunakan untuk mengendalikan patogen
tular benih seperti cendawan, bakteri, virus, dan nematoda dan untuk memecahkan
dormansi benih. Perlakuan panas kering adalah salah satu dari banyak digunakan
perlakuan fisik benih. Perlakuan panas kering pada benih bernilai tinggi secara
luas diterapkan untuk tanaman tertentu, terutama benih hibrida sayuran yang
mahal. Benih yang aman diperlakukan dengan panas kering meliputi
Cucurbitaceae (semangka, melon, mentimun, labu, labu dan berbagai batang
bawah), tanaman Solanaceae (tomat, paprika, terong, kentang bibit benar),
tanaman Brassica (kubis dan kubis Cina, lobak) dan sayuran lain seperti selada,
bayam dan wortel. Patogen terbawa benih seperti layu bakteri pada jagung manis
dapat diinaktifkan dengan perlakuan panas kering pada suhu 53 °C selama 3 jam
(Lee 2004).
Perlakuan panas kering pada benih barley pada suhu 72°C selama 4 hari
mampu mengeliminasi X. campestris pv. translucens (Fourest et al. 1990). Grum
et al. (2007), mengemukakan bahwa kombinasi perlakuan panas kering pada
benih dan termoterapi pada pembibitan dapat digunakan untuk mengeradikasi
bakteri patogen pada buncis (X. campestris pv. phaseoli). Secara umum, suhu
tinggi dapat mengurangi viabilitas benih dan vigor benih (Basra et al. 2004).
Tingkat suhu tinggi (35, 38, dan 41 °C selama 7 hari/malam) dapat menurunkan
atau menunda perkecambahan jagung, beras, dan benih sorgum (Akman 2009).
Raka et al. (2012) melaporkan bahwa benih cabai rawit yang diberi perlakuan
panas kering pada suhu 70 °C selama 72 jam tidak menyebabkan
terganggunya viabilitas benih, bahkan mampu meningkatkan vigor kecepatan
berkecambah, vigor tinggi bibit dan vigor jumlah daun bibit dibandingkan
dengan benih yang tidak diberi perlakuan.
Perlakuan Bakterisida
Beberapa bahan kimia seperti bakterisida, fungisida dan insektisida
umumnya diberikan pada benih sebelum ditanam di lapangan. Bakterisida,
fungisida dan insektisida adalah suatu zat yang bersifat racun, menghambat
pertumbuhan, mempengaruhi tingkah laku, penghambat makan, serta aktivitas
lainnya yang dapat mempengaruhi OPT (IRRI 2008).
Streptomisin adalah aminoglikosida yang larut dalam air yang berasal dari
bakteri Streptomyces griseus. Antibiotik ini dipasarkan sebagai garam
streptomisin sulfat. Bakterisida dengan bahan aktif streptomisin merupakan salah
satu bakterisida sistemik yang direkomendasikan untuk mengatasi beberapa
masalah penyakit layu bakteri. Vanesste (2011), mengemukakan bahwa
streptomisin digunakan untuk pengendalian penyakit kanker bakteri dan layu
bakteri. Streptomisin merupakan obat antibiotik untuk manusia yang juga
digunakan sebagai pestisida, untuk mengendalikan bakteri, cendawan dan alga.

11
Streptomisin digunakan untuk mengendalikan fire blight pada apel dan pir yang
disebabkan oleh E. amylovora di New Zealand dan USA dengan toksisitas yang
rendah (EPA 1992; FSANZ 2011).
Agrept 20 WP merupakan bakterisida sistemik dengan bahan aktif
streptomisin sulfat 20%. Bakterisida ini dapat digunakan untuk mengendalikan
penyakit pada tanaman yang disebabkan oleh bakteri, antara lain penyakit hawar
bakteri pada akasia (X. campestris), penyakit layu pada cabai (Ralstonia
solanacearum), penyakit hawar daun pada padi (X. oryzae), penyakit layu bakteri
pada jahe dan tomat (P. solanacearum), serta penyakit layu bakteri pada kedelai
dan tembakau (E. carotovora).

12

BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Balai Uji Terap
Teknik dan Metoda Karantina Pertanian (BUTTMKP) Bekasi. Penelitian
dilaksanakan pada bulan September 2014 sampai Maret 2015.
Bahan dan Peralatan Penelitian
Bahan yang digunakan antara lain sampel benih jagung manis yang beredar
di pasaran, isolat P. stewartii subsp. stewartii (koleksi Laboratorium Bakteriologi
Departement Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor),
bakterisida (Agrept 20 WP), media Yeast Extract Dextrosa-Calcium Carbonat
Agar (YDCA), Nutrient Broth (NB), NaCl, dan Pasir. Peralatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah microwave oven (2450 MHz), bio safety cabinet II,
water bath, oven inkubator, shaker inkubator, vortex, hot plate, alat gelas, bunsen,
dan autoclave.
Bagan Alir Penelitian
Percobaan I
Penentuan Treatment Window Perlakuan Benih

Persiapan Isolat P.
stewartii subsp
stewartii

Persiapan Sampel
Benih Jagung
Manis

Perlakuan
Microwave

Perlakuan
Panas
Kering

Perlakuan
Air Panas

Analisis Treatment Window
Tidak
Stop

Perlakuan
Bakterisida

 DB
 Populasi
Bakteri

Memiliki
Treatment Window
Ya

Percobaan II
Perlakuan Fisik dan Kimiawi pada Benih Terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii

13
Lanjutan bagan alir penelitian
Percobaan II
Perlakuan Fisik dan Kimiawi pada Benih Terinfeksi P. stewartii subsp. stewartii
Persiapan Sampel Benih
Jagung Manis Terinfeksi
P. stewartii subsp. stewartii

Perlakuan
Air Panas

Perlakuan
Panas
Kering

Perlakuan
Bakterisida
 DB
 Vigor
 Populasi
Bakteri

Analisis Data
Tidak

Potensi untuk
Perlakuan Benih

Stop

Ya
Percobaan III
Kombinasi Perlakuan Fisik dan Kimiawi pada Benih Terinfeksi P. stewartii
subsp. stewartii
Persiapan Sampel Benih
Jagung Manis Terinfeksi
P. stewartii subsp. stewartii

Perlakuan Bakterisida
Dilanjutkan Panas Kering

Perlakuan Panas Kering
Dilanjutkan Bakterisida

Analisis Data

Teknologi untuk
mengeliminasi
P. stewartii subsp.
stewartii pada benih
jagung manis

 DB
 Vigor
 Populasi
Bakteri

14
Percobaan I
Penentuan Treatment Window Perlakuan

Dokumen yang terkait

STABILITAS FORMULA Bacillus subtilis ISOLAT RZ 2L2 K YANG DISIMPAN PADA WAKTU DAN SUHU BERBEDA DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU DAN HAWAR DAUN STEWART (Pantoea stewartii subsp. stewartii) PADA TANAMAN JAGUNG.

0 0 15

Penyebaran Penyakit Stewart oleh Bakteri Pantoea stewartii Sebagai Penyakit Baru Pada Tanaman Jagung (Zea Mays) Studi Kasus di Pasaman Barat*).

0 0 1

Uji Virulensi Beberapa Isolat Bakteri Pantoea stewartii subsp. Penyebab Penyakit Stewart Terhadap Bibit jagung (Zea mays).

0 1 20

KEBERADAAN DAN TINGKAT SERANGAN Pantoea stewartii subsp. stewartii PENYEBAB LAYU DAN HAWAR DAUN STEWART PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) DI SUMATERA BARAT.

0 1 6

TINGKAT VIRULENSI BEBERAPA ISOLAT Pantoea stewartii subsp. stewartii PENYEBAB PENYAKIT LAYU STEWART TERHADAP BIBIT JAGUNG (Zea mays L.) MENGGUNAKAN BEBERAPA METODE INOKULASI.

0 2 6

Penyebaran Penyakit Stewart oleh Bakteri Pantoea stewartii Sebagai Penyakit Baru Pada Tanaman Jagung (Zea Mays) Studi Kasus di Pasaman Barat*).

0 0 11

TINGKAT SERANGAN Pantoea stewartii subsp. stewartii PENYEBAB LAYU DAN HAWAR DAUN STEWART PADA BERBAGAI FASE PERTUMBUHAN JAGUNG (Zea mays. L) DI LAPANGAN.

1 2 6

Identifikasi Molekuler dan Analisis Filogenetik Pantoea stewartii Penyebab Layu Bakteri Stewart pada Jagung di Provinsi Bali.

0 0 7

View of Perkembangan Temporal-Spatial Penyakit Layu Stewart (Pantoea stewartii subsp. stewartii) Pada Tanaman Jagung Temporal-Spatial Development of Stewart Wilt (Pantoea stewartii subsp. stewartii) on Corn

0 3 15

Pengunaan reaktor microwave efektif pada penghapusan tar dengan perlakuan panas dan penambahan air

0 0 10