LANDASAN KONSEPTUAL PERENCANAAN DAN PERANCANGAN GALERI WAYANG KULIT KI ANOM SUROTO DI SURAKARTA.

GALERI WAYANG KULIT KI ANOM SUROTO
DI SURAKARTA
Andreas Ariandra Herlambang
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari 44 Yogyakarta
email : reandesign93@gmail.com
ABSTRAK
Galeri Wayang Kulit Ki Anom Suroto merupakan sebuah galeri seni yang
berusaha mengenalkan seni pewayangan secara umum dan sosok ki Anom Suroto
beserta karya-karyanya kepada para para pengunjung. Ki Anom Suroto adalah
seorang dalang yang berasal dari Kota Surakarta yang cukup dikenal dikalangan para
pedalang dan masyarakat Kota Surakarta. Banyak karya-karya yang dihasilkan
olehnya yang sudah dipentaskan diluar negeri dan mendapat pengakuan dari berbagai
pihak.
Galeri Wayang Kulit Ki Anom Suroto diadakan dengan tujuan agar dapat
menjadi media pembelajaran bagi para pelajar dan menarik minat para wisatawan
baik domestik maupun asing untuk mengenal kesenian tradisional masyarakat Jawa,
yaitu Wayang Kulit. Selain itu, diharapkan warga Kota Solo sendiri dapat semakin
mengenal dan menghargai seniman lokalnya yang sudah mendunia.
Galeri ini memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh galeri lain.
Yang pertama adalah desainnya merepresentasikan nilai keutamaan yang terkandung
dalam singgat lakon Semar Maneges karya Ki Anom Suroto. Ada 5 nilai utama yang

dapat ditemukan pada lakon ini, yaitu ketegasan, keuletan, keberanian, fokus dan
konsisten serta peercaya diri. Semua nilai-nilai ini ditransformasikan pada desain
dalam bentuk pos-pos yang dapat dinikmati secara linear dari pos 1 ke pos
berikutnya. Yang kedua adalah sitenya terletak dekat dengan stasiun Purwosari dan
dekat dengan Batik Solo trans, sehingga aksesnya sangat mudah.
Galeri ini menggunakan pendekatan arsitektur neo vernakular. Arsitektur neo
vernakular merupakan salah satu gaya dari aliran Post-modern yang dikemukakan
oleh Charles Jencks dalam bukunya Language of Post-modern Architecture. Gaya
lain yang termasuk dalam aliran post-modern selain Arsitektur neo vernakular adalah
straight revivalism, adhocism + urbanist = contextual, methaphor and methaphisics
dan postmodern. Asitektur neo vernakular merupakan bentuk baru dari arsitektur
vernakular yang menjunjung tinggi nilai lokalitas yang disesuaikan dengan
perkembangan dalam dunia arsitektur. Dengan kata lain merupakan arsitektur yang
tidak menekankan kepada lokalitas yang ada secara murni, namun mengangkat nilai
ekspresi visual lokal yang ditampilkan dalam bentuk yang baru.
Kata Kunci: Galeri, Wayang Kulit, Semar Maneges, Ki Anom Suroto,
Arsitektur Neo Vernakular, Post-modern.

Pendahuluan
Latar Belakang Pengadaan Proyek

Program Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) yang telah dimulai
pada tahun 2016 membuka pintu bagi
arus globalisasi untuk menerpa
berbagai lini kehidupan di masyarakat,
salah satunya adalah budaya. Wayang
Kulit yang termasuk satu dari sekian
banyak budaya nusantara yang
adiluhungpun
ikut
terancam
kehilangan eksistensinya di belantika
kesenian
tradisional
Indonesia.
Wayang adalah boneka tiruan orang
yang terbuat dari pahatan kulit atau
kayu dan sebagainya yang dapat
dimanfaatkan untuk memerankan
tokoh dalam pertunjukan drama

tradisional, biasanya dimainkan oleh
seseorang yang disebut dalang1.
Sedangkan wayang kulit purwa adalah
wayang yang terbuat dari kulit dengan
cerita yang bersumber dari kitab
Mahabharata dan Ramayana. Seni
wayang kulit mengandung banyak
nilai–nilai filosofis kebudayaan lokal,
norma kesopanan dan tata krama yang
merupakan jati diri masyarakat Jawa.
Wayang Kulit yang banyak digemari
oleh kalangan asing ini layaknya
peribahasa hujan emas di negeri
orang, hujan batu di negeri sendiri.
Seolah wayang kulit lebih dihargai di
negeri orang, namun kurang tersambut
di negeri sendiri.
Hal inilah yang menjadi
keprihatinan Ki Anom Suroto, seorang
dalang dari Kota Surakarta yang sudah

memulai kiprahnya sejak tahun 1968
hingga sekarang. Dalang yang
mendapat gelar KRT. Lebdonagoro
1
Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta : Balai
Pustaka,1991)

dari Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat ini sudah banyak malang
melintang di berbagai negara berkat
kepiawaiannya
dalam
seni
menggerakkan wayang kulit. Banyak
sanggit lakon pewayangan maupun
tembang–tembang pengiring seni
pewayangan telah lahir dari karyanya,
namun tidak banyak orang yang
mengenal beliau sekarang ini kecuali

orang–orang yang memang tertarik
pada seni pewayangan ini. Beberapa
karyanya yang paling terkenal baik
dalam
skala
nasional
maupun
internasional
diantaranya
adalah
Kresna Datu, Semar Maneges,
Gandamana Lahir, Basudewa Kembar
dan Wahyu Sri Cemani.
Dari beberapa singgat lakon
tersebut, yang paling banyak digemari
oleh penonton adalah lakon Semar
Maneges. Lakon ini mendapat tempat
tersendiri di hati para penikmat seni
pewayangan sebab memiliki banyak
nilai filosofi budaya Jawa yang cukup

kental, diantaranya adalah perjuangan
Semar, abdi dari para Pandawa yang
memperjuangkan hak dari Arjuna yang
nyaris kehilangan pusakanya, Aji
Gineng Sukawedha akibat ulah
konspirasi
tingkat
tinggi
yang
dilakukan oleh Bathara Guru dan
Bathari
Durga.
Lakon
ini
menunjukkan nilai-nilai yang harus
dimiliki
seseorang
agar
dapat
mencapai

keberhasilan
dalam
menggapai tujuan dan cita-citanya.
Digambarkan tokoh Semar sebagai
seorang abdi Arjuna yang diberi
mandat untuk merebut kembali pusaka
yang seharusnya menjadi kepunyaan
Arjuna. Semar yang sudah mendapat
amanat besar dari tuannya inipun
melaksanakan tugas yang diembannya
dengan sepenuh hati. Ia bahkan sampai

berani menggugat para dewa untuk
mengembalikan apa yang memang
seharusnya menjadi hak Arjuna,
tuannya.
Hal
ini
yang
melatarbelakangi

penulis
untuk
mendesain suatu tempat yang mampu
secara lebih dalam melestarikan dan
mengenalkan sosok Ki Anom Suroto
dan karya–karyanya beserta seni
wayang kulit dalam bentuk galeri
sambil nguri–uri kebudayaan Jawa.
Latar Belakang Pemasalahan
Dalam mendesain galeri yang
memberi ruang bagi kegiatan pameran
dan workshop ini permasalahan yang
muncul adalah bagaimana dapat
mewujudkan bangunan yang dapat
mengenalkan nilai keutamaan dalam
lakon Semar Maneges kepada para
pengunjung. Contohnya, bagaimana
Semar dapat berhasil merebut kembali
Aji Gineng Sukawedha dari tangan
Bathara Guru sang pemimpin dewadewa, apa saja tantangan yang

dihadapi Semar dan bagaimana ia
menghadapi semua tantangan tersebut
apa saja hal-hal penting yang harus
dimiliki agar dapat berhasil menggapai
sesuatu seperti Semar.
Selain itu, rancangan tak
hanya harus merepresentasikan nilainilai keutamaan dalam lakon Semar
Maneges, namun juga harus memiliki
karakter lokalitas setempat. Rancangan
harus menjadi jembatan antara budaya
dan perkembangan dalam dunia
arsitektural. Oleh sebab itu, tuntutan
desain berusaha dijawab dengan
menggunakan pendekatan arsitektur
neo vernakular.
Arsitektur neo
vernakular dipilih sebab langgam ini
tidak hanya memperhatikan nilai-nilai
lokalitas yang berkembang disuatu
tempat, namun juga memadukannya


secara fleksibel dengan perkembangan
dalam dunia arsitektur. Arsitektur ini
merupakan
pembaharuan
dari
arsitektur vernakular yang artinya
berusaha mengangkat nilai lokalitas
yang berkembang di masyarakat
dengan bentuk dan fungsi yang baru
yang lebih modern dan menarik
sehingga tidak terikat pada nilai itu
sendiri.
Rumusan masalah
Bagaimana landasan konseptual
rancangan Galeri Wayang Kulit Ki
Anom Suroto di Surakarta yang
merepresentasikan
nilai–nilai
keutamaan dalam singgat lakon Semar

Maneges karya Ki Anom Suroto
melalui pengolahan tata ruang dan tata
rupa dengan pendekatan arsitektur neo
vernakular ?
Tujuan dan Sasaran
Tujuan
Mewujudkan
landasan
konseptual rancangan Galeri Wayang
Kulit Ki Anom Suroto di Surakarta
yang merepresentasikan nilai–nilai
keutamaan dalam singgat lakon Semar
Maneges karya Ki Anom Suroto
melalui pengolahan tata ruang dan tata
rupa dengan pendekatan arsitektur neo
vernakular yang kental dengan nilai
budaya lokal namun mengikuti
perkembangan zaman.
Sasaran
1. Menggali nilai-nilai keutamaan
yang terkandung dalam lakon
Semar Maneges untuk diterapkan
pada perancangan dan perencanaan
galeri.
2. Mengolah tata ruang, tata masa dan
tata rupa bangunan sesuai dengan
fungsi yang akan diwadahi.

3. Mengkaji pendekatan arsitektur neo
vernakular yang sesuai dengan
kebutuhan
perancangan
dan
perencanaan galeri.
4. Mengaplikasikan
prinsip–prinsip
arsitektur neo vernakular pada
desain Galeri Wayang Kulit Ki
Anom Suroto. Hal ini terkait pada
pemilihan material yang akan
disintesiskan dengan unsur-unsur
lokal yang ada sehingga tercapai
rancangan yang baru namun
memiliki jati diri lokal.
5. Mengkaji
unsur-unsur
yang
menopang pagelaran wayang kulit
modern dalam beberapa unsur
seperti tata panggung, lighting,
multimedia dan teknologi yang
digunakan.
Pengertan Galeri
Galeri
merupakan sebuah
tempat
yang
digunakan
untuk
memamerkan karya seni baik berupa
lukisan, fashion, barang antik dan
lain–lain yang bisa dimiliki oleh
pemerintah,
organisasi
maupun
pribadi.
Galeri memiliki beberapa definisi,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Galeri adalah ruangan atau gedung
tempat untuk memamerkan benda
atau karya seni2.
2. Sebuah ruang yang digunakan
untuk menyajikan hasil karya seni,
sebuah area memajang aktivitas
publik
yang
kadang
kala

digunakan
untuk
keperluan
3
khusus .
3. Galeri adalah sebuah ruang
kosong yang digunakan untuk
pameran kesenian4.
Tujuan Galeri
Galeri merupakan tempat yang
digunakan untuk memarkan suatu
karya seni. Galeri tidaklah sama
dengan museum. Jika museum
memamerkan benda yang harus
memiliki nilai estetika dan sejarah
yang tinggi dan tidak boleh melakukan
transaksi jual beli di dalam museum,
lain halnya dengan galeri. Galeri
dipandang lebih fleksibel. Dalam
memamerkan karya, tak semua obyek
harus memiliki nilai historis yang
tinggi dan peserta boleh melakukan
transaksi di dalamnya. Artinya,
museum adalah bagian dari galeri,
namun galeri bukan selalu museum.
Menurut
Kepala
Kantor
Wilayah Perdagangan (Kakanwil),
tujuan adanya galeri adalah untuk
memberikan informasi tentang benda
dan hasil karya seni, baik yang berasal
dari karya seniman maupun produk
industri kepada pengunjung atau
konsumen dengan cara memajang atau
memamerkan barang-barang tersebut
ke dalam suatu pameran sehingga
diharapkan mampu menjangkau pasar
yang lebih luas dan dapat juga
membantu seniman yang belum
mampu menggelar pameran tunggal.
3

2

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasio al. Ka us Besar Bahasa I do esia,
http://kbbi.web.id/galeri (akses tanggal 12
Januari 2016).

Cyril M. Harris, Dictionary of Architecture
and Construction Fourth Edition (New York :
McGraw-Hill, 2006), hal.451.
4
Wiki edia Fou datio
Museu
“e i,
https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_seni
(akses tanggal 12 Januari 2016).

Persyaratan Ruang Pameran Galeri
Menurut
Neufert5,
ruang
pameran pada galeri sebagai tempat
untuk memamerkan atau menampilkan
karya seni harus memenuhi beberapa
syarat yaitu:
1. Terlindung
dari
kerusakan,
pencurian,
kelembaban,
kekeringan, cahaya
matahari
langsung dan debu.
2. Pencahayaan yang cukup.
3. Penghawaan yang baik dan
kondisi ruang yang stabil.
4. Tampilan
display
dibuat
semenarik mungkin dan dapat
dilihat dengan mudah.

menyesuaikannya dengan falsafah asli
Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini
juga menyangkut pada pandangan
filosofis masyarakat Jawa terhadap
kedudukan
para
dewa
dalam
pewayangan.
Hadirnya
tokoh
Punakawan
dalam
pewayangan
sengaja
diciptakan
oleh
para
budayawan
Indonesia
(tepatnya
budayawan Jawa) untuk memperkuat
konsep filsafat bahwa di dunia ini
tidak ada makhluk yang benar-benar
baik dan yang benar-benar jahat.
Setiap makhluk selalu menyandang
unsur kebaikan dan kejahatan.

Pengertian Wayang Kulit
Wayang adalah salah satu seni
tradisional bangsa Indonesia yang
paling menonjol di antara banyak
karya budaya lainnya. Budaya ini
sangat menarik sebab meliputi
berbagai cabang seni lainnya seperti
seni peran, seni suara, seni musik, seni
tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat
dan juga seni perlambang. Budaya
wayang yang terus berkembang dari
zaman ke zaman juga merupakan
media
penerangan,
dakwah,
pendidikan, pemahaman filsafat serta
hiburan bagi masyarakat di semua
kalangan.
Keberadaan wayang sudah
berabad-abad sebelum agama Hindu
masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita
wayang yang populer di masyarakat
masa kini merupakan adaptasi dari
karya sastra India, yaitu Ramayana dan
Mahabharata. Kedua induk cerita itu
dalam pewayangan banyak mengalami
pengubahan dan penambahan untuk

Biografi Singkat Ki Anom Suroto

5

Ernst Neufert, Data Arsitek Jilid II (Jakarta :
Erlangga, 2002), hal.250.

Gambar 1.Ki Anom Suroto
Sumber : Jhovanco.wodpress.com
Ki Anom Suroto merupakan
seorang dalang wayang kulit purwa
yang lahir di Juwiring, Klaten Jawa
Tengah pada pada tahun 1975. Dalang
yang memulai pembelajarannya sejak
usia 12 tahun ini mendapatkan ilmu
pedalangannya langsung dari ayahnya,
Ki
Sadiyun
Harjadarsana,
Ki
Nartasabda dan beberapa dalang senior
lainnya. Selain itu, Ki Anom Suroto
juga
pernah
mengikuti
kursus
pedalangan yang diadakan oleh
Himpunan
Budaya
Surakarta,
Pasinaon Dhalang Mangkunegaran,
Pawiyatan Kraton Surakarta dan

pernah juga bersekolah ke Sekolah
Pedalangan Habhiranda yang berada di
Yogyakarta.
Ki Anom Suroto dikenal orang
melalui kelihaiannya membawakan
suluk. Suluk adalah kalimat pengantar
sebelum masuk ke inti cerita. Beliau,
mampu menyampaikan misi–misi dari
sponsor dengan baik, menyajikan
percakapan antar tokoh dalam
pewayangan dengan kontras dan
menyampaikan
nilai-nilai
yang
melatarbelakangi suatu lakon dengan
baik pula.
Selain aktif mendalang, Ki
Anom Suroto juga giat melakukan
pembinaan terhadap generasi-generasi
muda yang tertarik mempelajari seni
pewayangan.
Berawal
dari
penyelenggaraan forum kritik yang
berupa
sarasehan
dan
pentas
pedalangan
yang
diadakan
di
rumahnya yaitu Jalan Notodiningratan
100 Surakarta yang diadakan pada
Hari Rabu Legi, acara itu kini terus
berlanjut di kediamannya yang
berlokasi di Kebon Seni Timasan,
Pajang, Sukoharjo. Ki Anom Suroto
merupakan dalang yang memiliki rasa
peduli yang sangat besar terhadap
perkembangan seni budaya tradisional
Indonesia ini. Beliau merupakan
pemrakarsa lahirnya Koperasi Dalang
Amarta yang bergerak di bidang
simpan pinjam dan penjualan alat
pagelaran wayang dan Yayasan Sesaji
Dalang, yayasan yang tujuannya
membantu para seniman yang ingin
mengetahui lebih lanjut mengenai seni
pedalangan.
Pengertian
Arsitektur
Neo
Vernakular
Arsitektur
Neo
Vernakular
adalah salah satu paham atau aliran

yang berkembang pada era Post
Modern yaitu aliran arsitektur yang
muncul pada pertengahan tahun 1960,
Post Modern lahir disebabkan pada era
modern timbul protes dari para arsitek
terhadap pola-pola yang berkesan
monoton (bangunan berbentuk kotakkotak). Oleh sebab itu, lahirlah aliranaliran baru yaitu Post Modern6.
Arsitektur Neo Vernakular adalah
arsitektur yang berusaha mengangkat
nilai–nilai lokalitas yang ada di suatu
tempat
tertentu
dengan
cara
memadukan unsur sosial budaya,
sejarah dan kearifan lokal yang ada
dengan perkembangan arsitektur yang
baru sehingga karakter atau jiwa suatu
tempat akan tetap lestari.
Arsitektur
Neo
Vernakular
berasal dari kata Neo dan Vernakular.
Neo merupakan adaptasi dari bahasa
Yunani yang berfungsi sebagai fonim
yang memiliki arti yang baru.
Sedangkan
Vernakular
adalah
arsitektur yang berasal dari budaya
setempat yang diturunkan dari satu
generasi ke generasi lainnya. Oleh
sebab itu, Arti dari Arsitektur Neo
Vernakular adalah arsitektur yang
menerapkan elemen arsitektur yang
sudah ada baik berupa bentuk fisik
yang berkaitan dengan tata rupa, tata
masa, tata ruang, konstruksi dan
bentuk non fisik yang berkaitan
dengan kepercayaan, tradisi, budaya,
konsep dan filosofi yang diperbaharui
menjadi suatu karya yang baru, lebih
modern tanpa menghilangkan lokalitas
setempat.
6

Indri Yermia Wehelmina Maloring, E-Jurnal
Re-Design Taman Budaya Sulawesi Utara di
Manado “Neo-Vernacular Architecture”,
Universitas Sam Ratulangi. Manado, hal.35
(akses 5 April 2016).

Karena
Arsitektur
Neo
Vernakular merupakan aliran yang
masuk dalam Arsitektur Post-modern
maka karakteristik arsitektur ini
menurut Heinrich Klotz7 dibagi
menjadi 10 butir karakteristik, yaitu:
1.
Regionalism
Mengacu kepada gaya regional
atau setempat untuk menggantikan
gaya internasional yang telah
masuk dan berkembang.
2. Fictional Figurative
Bermain-main
dengan
figur
bangunan untuk memberikan
kesan yang beragam.
3. Fictional
Mengapresiasikan
arsitektur
sebagai sebuah karya seni dan
menuangkannya dalam suatu
bangunan.
4. Comunicative
Memiliki banyak arti dalam suatu
wadah bangunan dan berkesan
komunikatif kepada pengguna.
5. Imaginative
Menggambarkan imajinasi dunia
dalam suatu bangunan yang akan
dibangun.
6. No – Sterile
Menentang paham steril dalam
suatu bangun.
7. Historism
Dikuasai oleh kenangan dalam
sebuah
bangunan
yang
tergambarkan melalui kesan dan
pesan yang dituangkan.
8. Contextual
Konstektual dan menyesuaikan
dengan lingkungan sekitar (fisik
dan non fisik), serta menghargai
ungkapan individu atau personal.
9. No – Single Style

Menghindari langgam tunggal dan
mengembangkan
vokabulari
langgam dan bentuk dalam
penerapannya.
10. Fiction = Function
Fiksi dapat juga berarti fungsi dari
suatu bangunan.
Arsitektur
Post
Modern
merupakan
arsitektur
yang
berkembang setelah masa Arsitektur
Modern dan Late Modern. Arsitektur
ini berkembang pada pertengahan abad
ke 19 atau sekitar tahun 1960an.
Menurut Charles Jencks dalam
bukunya Late-Modern and Other
Essay, terdapat 29 perbedaan yang
dapat dilihat antara langgam pada
Arsitektur Modern, Late Modern dan
Post Modern, yaitu sebagai berikut8:
Tabel 1.Perbedaan Arsitektur Modern,
Late Modern dan Post Modern

Sumber : Charles Jencks, Late-Modern Architecture and Other Essays, 1980

Ir. Wahyu Prastowo,”Aliran Post-Modern”,
Diktat Perkembangan Arsitektur 3, (hal 11)

7

8

Charles Jencks, Late-Modern Architecture and Other
Essays (New Yorks : Rizolli, 1980), hal.32.

Perbedaan Arsitektur Tradisional,
Vernakular dan Neo Vernakular
Arsitektur
Neo
Vernakular
memiliki perbedaan dengan Arsitektur
Vernakular
maupun
tradisional.
Arsitektur
yang
sama-sama
mengangkat nilai tradisi ini memiliki
beberapa perbedaan yang menyangkut
pada banyak hal, terkait pada prinsip,
ide bentuk dan tujuannya.
Ciri-ciri Arsitektur Neo Vernakular
Menurut Charles Jencks dalam
bukunya Language of Post-Modern
Archicture (1986), Arsitektur Neo
Vernakular memiliki karakteristik
desain sebagai berikut :
a. Menggunakan atap bubungan.
b. Penggunaan elemen konstruksi
lokal seperti batu bata.
c. Penggunaan
bentuk-bentuk
tradisional yang ramah lingkungan
dengan proporsi yang lebih
vertikal.
d. Adanya interior yang terbuka
melalui elemen yang modern
dengan ruang terbuka di luar
bangunan.
e. Warna-warna yang kuat dan
kontras.
Dari ciri-ciri di atas dapat dilihat
bahwa Arsitektur Neo Vernakular
tidak ditujukan pada Arsitektur
Modern
maupun
Arsitektur
Tradisional. Arsitektur ini merupakan
hasil sintesa dari kedua gaya arsitektur
tersebut. Hubungan antara kedua
bentuk arsitektur di atas ditunjukkan
dengan jelas dan tepat oleh Arsitektur
Neo Vernakular melalui trend akan
rehabilitasi dan pemakaian kembali
bentuk-bentuk maupun nilai filosofis
dan kosmologis suatu daerah namun
dalam suatu desain yang baru.

Analisis Perencanaan
Analisis Pelaku Kegiatan
Galeri Wayang Kulit Ki Anom
Suroto di Surakarta ini memiliki
beberapa kelompok pelaku dan
kegiatan. Pelaku dan kegiatan ini
dibagi menjadi berikut ini:
Tabel 2.Analisa Pelaku dan Kegiatan

Sumber: Analisis Penulis,2015

Analisa Sifat Ruang
Sifat ruang meliputi ruang
publik, semi privat dan privat. Ruang
publik berfungsi mewadahi kegiatan
yang lebih luas, mencakup kegiatan
umum atau kegiatan yang dapat
dilakukan bersama-sama. Ruang semi
privat merupakan kegiatan yang
mewadahi kegiatan bersama dalam
lingkup yang lebih sempit yaitu antara
pengelola dan pengunjung. Sedangkan
ruang privat mewadahi kegiatan baik
individu maupun kelompok yang
membutuhkan privasi tinggi.

Analisis Perancangan
Analisis Singgat Lakon Semar
Maneges
Analisis Singgat Lakon Semar
Maneges berpusat pada tokoh Semar.
Dengan pendekatan yang dilakukan
pada beberapa aspek diantaranya
adalah tata rupa atau fasad yang
merupakan representasi dari watak
Semar pada cerita Semar Maneges.
Semar
dalam
kepercayaan
masyarakat
Jawa
dilambangkan
sebagai seorang dewa yang mengatasi
segala dewa, namun ia menjelma
menjadi manusia, ia menjadi pengasuh
Pandawa, yang merupakan simbol dari
kebenaran. Nama aslinya adalah
Batara Ismaya. Tokoh Semar ini
digambarkan sebagai tokoh yang
setara dengan Batara Guru atau Dewa
Siwa dalam agama Hindu, namun
memiliki sifat yang jauh berbeda dari
Batara Guru.
Semar merupakan respresentasi
dari masyarakat Jawa, ia merupakan
sosok yang kuat dan tegas namun
tenang, ia mampu mengendalikan
nafsunya, ia rendah hati dan
menghormati siapapun walaupun
orang tersebut sebenarnya memiliki
kasta yang lebih rendah. Semar
merupakan simbol superioritas budaya
Jawa atas invasi agama Hindu dalam
budaya
Jawa
sendiri.
Semar
diceritakan memiliki kesaktian yang
besar, sehingga ia mampu menelan
gunung, hal itu yang membuat Semar
memiliki bentuk tubuh kecil di atas
namun besar di bawah seperti gunung.
Gunung bagi orang Jawa merupakan
simbol dari Tuhan, sehingga Semar
juga merepresentasikan sifat-sifat
Tuhan bagi orang Jawa. Semar
merupakan representasi dari gunung
yang
identik
dengan
Tuhan.

Transformasi desain yang diambil dari
nilai-nilai yang menjiwai lakon Semar
Maneges ini adalah sebagai berikut.
1. Bagian Luar
a. Dipilih vegetasi menggunakan
pohon
sawo
kecik,
yang
merupakan simbol dari kebaikan.
Kata kecik ini dianalogikan
dengan becik atau baik dalam
bahasa Jawa. Selain itu pohon
sawo kecik juga memberi kesan
teduh karena tajuknya yang lebar.
Secara arsitektur neo vernakular,
pohon ini juga termasuk pohon
lokal yang dapat ditemukan pada
Keraton Kasunanan Surakarta.

Gambar 2.Pohon Sawo
Sumber : Analisis Penulis,2016
b. Adanya kolam ikan dan air mancur
yang menimbulkan suara gemercik air
yang memberi suasana tenang.
Mempunyai makna impresi pertama
terhadap masyarakat Jawa yang
terkesan tenang. Namun sebenarnya
mereka tenang karena memiliki
kepribadian yang kuat, kepribadian ini
akan diterjemahkan dalam desain
bagian dalam

Gambar 3.Kolam
Sumber : Analisis Penulis,2016
2. Bagian dalam
a. Tegas
Nilai ketegasan diwujudkan dalam
pos pertama, yang merupakan lobi
utama sekaligus tempat membeli
tiket, di sini pengunjung akan
mendapatkan pengenalan singkat
mengenai Galeri Wayang Kulit Ki
Anom Suroto dan ruang-ruang yang
ada. Secara arsitektural, konsep
desain
diterjemahkan
dengan
sirkulasi
yang
menggunakan
material
batu
alam
sebagai
penegasan menuju pos ini dan
pemilihan warna yang tegas pada
dinding interior.
Pada bagian ini, akan ditemukan
wayang kulit Semar yang sangat
besar dengan ukuran 3x3m sebagai
ikon dan penjelasan-penjelasan
konsep per pos galeri ini. Di ruang
berikutnya, masih di pos pertama,
akan ditemukan pameran tentang
wayang kulit pada umumnya,
berkisar cerita tentang Mahabaratha
dan Ramayana yang di rangkai
dalam etalase dan pajangan.

Gambar 4. Warna tegas interior
Sumber : Analisis Penulis,2016

Gambar 5.Material penutup lantai
Sumber : Analisis Penulis,2016
b. Tekun
Pos kedua merupakan pos yang berisi
pengenalan tentang Ki Anom Suroto
dan beberapa lakon yang ia rangkai.
Untuk mencapai pos ini, pengunjung
harus memiliki ketekunan sebab
pengunjung diharuskan melewati anak
tangga yang cukup banyak, yaitu 33
buah anak tangga.

Gambar 6.Tangga menuju pos kedua
Sumber : Analisis Penulis,2016
Pos ini dibagi menjadi 3 bagian, pada
bagian pertama merupakan pengenalan
terhadap Ki Anom Suroto. Pengunjung
dapat melihat penghargaan yang ia
peroleh ketika mendalang di 5 benua,
penghargaan dari Pemerintah maupun
dari Keraton Surakarta dan foto-foto
tentang suasana ketika ia sedang
melakukan pementasan. Selain itu,
diletakkan patung lilin beliau yang
mementaskan pewayangan dibagian
tengah lengkap beserta wayang,
blencong dan kelir, sehingga efek
bayangan yang ditimbulkan oleh
lampu
blencong
akan
terlihat
dibelakang kelir. Pada bagian kedua,

merupakan dua buah lakon karangan
Ki Anom Suroto pada masa ia
mengawali kariernya sebagai pedalang
di RRI tahun 1978 sampai dengan
pada
tahun
1991
ketika
ia
mementaskan wayang di Jepang.
Kisah yang ia buat masih beerupa
pertentangan antara manusia dengan
manusia. Lalu pada bagian kedua
menampilkan
lakon
seusai
ia
memperdalam ilmunya tentang dewadewa di India, lakon yang ditampilkan
semakin
luas,
dulu
beliau
menampilkan lebih kepada Pandawa
dan keluarga Bharata namun seusai
pembelajarannya,
ia
mulai
memasukkan
tokoh-tokoh
dewa
sebagai
tokoh
yang
dapat
dikonfrontasi. Sehingga cerita yang
ditampilkan mulai lebih berani dengan
adanya permasalahan antara manusia
dengan dewa seperti layaknya kisah
Wahyu Aji Gineng Sukawedha dan
Wahyu Makutho Romo. Secara
arsitektural,
tekun
diterjemahkan
dalam bentuk permainan pencahayaan
dan penghawaan. Pada bagian awal
pos,
menggunakan
pencahayaan
buatan dan minim bukaan, untuk
menciptakan suasana yang lebih gelap,
lalu makin menuju akhir pos, suasana
akan semakin terang dan bukaan
semakin besar sehingga sirkulasi udara
semakin
lancar.
Hal
ini
menggambarkan seseorang yang tekun
dalam menghadapi sesuatu lama-lama
akan menemukan titik terang atau
solusi dari apa yang ia hadapi.
c. Berani.
Pos
berikutnya
adalah
pos
keberanian, yang fungsinya adalah
tempat
workshop
pembuatan
wayang
dengan
teknik
tata
sungging.
Setelah
mendapat

pengetahuan
mengenai
tata
sungging, pengunjung mendapat
kesempatan
untuk
mencoba
membuat wayangnya sendiri yang
nantinya akan menjadi cinderamata
bagi pengunjung. Aktivitas ini
memerlukan keberanian sehingga
dapat menghasilkan wayangnya
sendiri. Tempat ini menggunakan
material bata ekspos sebagai
dindingnya secara penuh , dimana
bata ekspos mempunyai pesan
keberanian untuk mengekspos diri.
Pada pos ini, akan ditemui beberapa
pajangan wayang dari beberapa
bahan seperti kulit sapi dan kerbau
dan bermacam-macam kedetailan
beserta
beberapa
material
pewarnaannya.

Gambar 7.Material dinding bata ekspos
Sumber : Analisis Penulis,2016
d. Fokus dan konsisten
Pos keempat adalah tempat wayang
dijemur, konsisten diterjemahkan
dalam pola ritme pada pelingkup
menggunakan pergola. Sedang fokus
diterjemahkan melalui bagian tengah
pos ini yang diberi peninggian
sehingga menjadi titik fokus untuk
dilihat oleh pengunjung dan titik
utama penjemuran kulit. Setelah itu
pengunjung akan dihadapkan dengan
dua jalan, jalan pertama menuju ke pos
kelima dan jalan lainnya menuju

kafetaria
dan
toko
souvenir.
Pengunjung harus fokus memilih jalan
yang menuju ke pos kelima jika ingin
menyelesaikan rangkaian acara, sebab
di pos inilah pengunjung dapat
menyaksikan seni pertunjukan wayang
kulit.
e. Percaya diri.
Pada pos lima, disekelingnya dibuat
kolam, dan hanya ada jembatan
yang terbuat dari kaca untuk
menyeberanginya.
Perlu
rasa
percaya diri untuk melewatinya dan
sampai kepada tujuan utama yaitu
pos lima.

konsistensi juga rasa percaya diri di
dalam dirinya.
Analisa Perancangan Site
Site yang dipilih merupakan
sebuah lahan yang berada di Jalan
Brigjen Slamet Riyadi, Kelurahan
Purwosari, Kecamatan Laweyan, Kota
Surakarta. Site ini sangat potensial
sebab terletak tidak jauh dari Stasiun
Purwosari dan dekat dengan Halte
Batik Solo Trans. Site ini berada
disebelah utara jalan dua arah sehingga
mudah diakses dari luar kota dan dapat
menjadi tujuan wisata pembuka saat
hendak berkeliling kota Surakarta.
KOTA SURAKARTA

KECAMATAN

Gambar 8. Pos kelima dan Jembatan kaca
Sumber : Analisis Penulis,2016

Gambar 10.Lokasi Site
Sumber : Data Penulis,2015
Dimensi dan Peraturan Bangunan

Gambar 9. Tampak depan Pos Kelima
Sumber : Analisis Penulis,2016
Hal ini memberi kesan bahwa
masyarakat Jawa yang dari luar
terkesan baik, tenang dan teduh
tersebut di dalamnya sebenarnya harus
memiliki ketegasan, kegigihan dan
keuletan, keberanian, fokus dan

Gambar 11.Ukuran Site
Sumber : Data Penulis

- mempertahankan transformasi bentuk
joglo yang menegaskan bangunan ini

Konsep Perancangan
Konsep

Filosofis

Singgat

Lakon

bangunan neo vernakular Jawa
2. Pos Kedua – Ketekunan

Semar Maneges
Konsep Filosofis Singgat Lakon
Semar Maneges diterjemahkan dalam
dua aspek desain, yang pertama adalah
tata rupa atau fasad, yang kedua adalah

Gambar 13.Pos Kedua
Sumber : Analisa Pelaku, 2016

tata ruang yang terkait dengan tata
ruang luar (eksterior) dan tata ruang

- tangga berjumlah 23 yang harus

dalam (interior). Aplikasi desainnya

didaki agar sampai pada tujuan, di

adalah sebagai berikut:

tutup dengan atap agar terlihat gelap,

1. Pos Pertama – Ketegasan

atap dikombinasikan dengan material
atap fiberglass sehingga semakin
mendekati

akhir,

suasana

makin

terang, selain itu, jarak atap dengan
Gambar 12.Pos Pertama
Sumber : Analisa Pelaku, 2016
- penggunaan material batu alam
sebagai penegasan jalur sirkulasi
-

penggunaan

pergola

sebagai

elemen lantai semakin lama semakin
jauh

sehingga

sirkulasi

udara

semakin baik dan suasana semakin
lega.
- di ruang pameran, menggunakan

penegasan pintu masuk- pemilihan

cahaya

kolom yang besar dengan umpak

suasana dengan bukaan yang minim,

yang diekspos bersama batu alam

dibagian akhir pemanfaatan cahaya

memberi kesan kokoh,kuat dan tegas

alami lebih dimaksimalkan dengan

- pemilihan material dinding yang

buatan

penggunaan

yang membentuk

bukaan

yang

besar

tegas berbeda (kontras) antara kaca

dengan view ke taman yang baik

yang terkesan ringan dan batu bata

pula.

ekspos yang terkesan berat

3. Pos Ketiga – Keberanian

berpikir untuk melanjutkan puncak
rangkaian galeri atau berhenti karena
tidak memiliki rasa percaya diri
dalam melangkah memasuki pos
terakhir.

Gambar 14.Pos Ketiga
Sumber : Analisa Penulis, 2016
- penggunaan material batu alam
sebagai

eksterior

melambangkan

dan

interior

keberanian

untuk

- Percaya diri juga didefinisikan
dengan

bentuk

struktur

yang

diekspos , tidak ditutupi sehingga
memberi

perasan

aman

pada

pengunjung yang ada di dalam mini
auditorium

mengekspos diri.
- kolom dan balok tidak di finishing,
sehingga terlihat berani apa adanya.

Konsep Perancangan Site

4. Pos Keempat – Fokus dan konsisten

- Pada pos ini akan disediakan
pameran terbuka wayang kulit dari
berbagai jenis bahan yang merupakan
hasil karya para pembuat wayang
kulit dan para pengunjung yang
pernah melakukan workshop. Pos ini
berupa

taman

wayang

kulit

dengan
yang

pameran

sirkulasinya

menuju pos terakhir.

Gambar 15.Konsep Tata Ruang
dan Bangunan
Sumber : Analisa Penulis, 2016
Konsep Arsitektur Neo Vernakular

5. Pos Kelima – Percaya diri

- berupa Mini auditorium pertunjukan

Konsep

Arsitektur

Neo

wayang kulit dengan dikelilingi air

Vernakular pada Galeri Wayang Kulit

pada

bangunan,

Ki Anom Suroto ini dapat dilihat dari

jembatan

beberapa aspek. Di antaranya adalah

sisi

menggunakan

luar

penyeberangan yang dibuat dari kaca
agar dapat membuat pengunjung

sebagai berikut.

1. Tata Ruang

Penggunaan kombinasi antara dinding

Mengangkat nilai filosofis perjalanan

menggunakan bata sebagai elemen

Semar dalam singgat lakon Semar

lokal dan penggunaan dinding kaca

Maneges karya Ki Anom Suroto

tempered/kaca warna selain memberi

menjadi pos-pos dalam galeri ini.

kesan modern, penggunaan kaca juga

2. Kaki

sesuai dengan prinsip arsitektur neo

Modifikasi penggunaan model umpak

vernakular yang menekankan pada

dipertahankan

kesatuan antara ruang luar dengan

untuk

menangkap

ekspresi visual vernakular bangunan

ruang dalam.

tersebut, namun hanya bentuknya saja.
Pondasi yang digunakan menggunakan
pondasi berupa pondasi batu kali dan
footplat untuk bangunan yang lebih
dari satu lantai.

Gambar 18. Dinding Kaca dan Bata
Sumber : Analisa Penulis, 2016
Pemilihan warna yang kontras pada
interior juga memberi kesan modern
dan disesuaikan dengan kebutuhan
ruangnya. Hal ini sesuai dengan

Gambar 16.Modifikasi Umpak
Sumber : Analisa Penulis, 2016

arsitektur

neo

vernakular

dengan pemilihan warna-warna yang
kontras.

3. Badan

Mengganti

konsep

kayu

sebagai

material

utama pembebanan kolom dan balok
menggunakan

beton

sehingga

ekosistem alam terjaga.
Gambar 19.Interior
Sumber : Analisa Penulis, 2016
Penggunaan tralis jendela yang ide

Gambar 17.Kolom beton
Sumber : Analisa Penulis, 2016

bentuknya

diambil

dari

kebudayaan

lokal

setempat,

bentuk
yaitu

motif batik mitik karawitan yang

merupakan batik khas Kota Surakarta

Zarkasi, Effendy. (1977). Unsur Islam

yang ditransformasi menjadi bentuk

dalam Pewayangan. Bandung

baru.

: PT Al'ma Arief
Haryanto. (1991). Seni Kriya Wayang
Kulit. Jakarta : Pustaka Umum

Gambar 20.Transformasi Batik Kawung
Sumber : Analisa Penulis, 2016

Grafiti
Prastowo,

Wahyu.

”Aliran

Post-

Modern”, Diktat Perkembangan

4. Kepala

Mengambil

Arsitektur 3

bentuk dasar atap khas
Limasan

Jencks, Charles. (1980). Late-Modern

beserta ornament lisplang yang tetap

Architecture and Other Essays.

dipertahankan.

New Yorks : Rizolli

Jawa

seperti

Joglo dan

Dikombinasikan

dengan material atap bitumen selulosa,

Pusat

Pembinaan

Pengembangan

sehingga menjadi karya yang secara

Bahasa. (1991). Kamus Besar

ekspresi visual baru namun memiliki

Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.

bentuk lokal.

Jakarta : Balai Pustaka
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional. “Kamus Besar Bahasa
Indonesia,”
http://kbbi.web.id/galeri (diakses

Gambar 21.Kaca Tempered
Sumber : Analisa Penulis, 2016
Daftar Pustaka
Harris, Cyril. (2006). Dictionary of
Architecture and Construction
Fourth Edition. New York :
McGraw-Hill
Neufert, Ernst. (2002). Data Arsitek
Jilid II. Jakarta : Erlangga

tanggal 12 Januari 2016).
Wikimedia Foundation “Museum
Seni,”
https://id.wikipedia.org/wiki/Mu
seum_seni (diakses tanggal 12
Januari 2016).
http://www.surakarta.go.id/ (diakses
tanggal 10 Januari 2016).
https://surakartakota.bps.go.id
(diakses
2016).

tanggal

12

Januari