ANALISIS PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN PSIKOTROPIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA MILITER

  

ABSTRAK

ANALISIS PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN

PSIKOTROPIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA MILITER

Oleh

Alvin wijaya

  Anggota militer atau prajurit yang tergabung dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dipilih dan ditunjuk oleh negara untuk menduduki status tertentu yang mempunyai otoritas karena diberi tugas memimpin baik kesatuan/dinas/jabatan atau bagian yang besar maupun yang kecil di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan TNI merupakan simbol keamanan negara yang sangat berarti untuk melindungi masyarakat pada umumnya dan negara pada khususnya dari serangan atau gangguan dari dalam maupun dari luar (ekstern/intern). Namun ada juga Oknum militer yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan Psikotropika, oleh karena itu negara harus memiliki anggota TNI yang telah diberi keterampilan militer sehingga cakap dalam menjalankan tugas-tugas sebagai bakti anak bangsa. Agar terciptanya ketertiban yang lebih berdisiplin dalam lingkungan TNI sehingga merupakan kelompok tersendiri untuk mencapai tujuan tugasnya yang pokok untuk itu diperlukan suatu hukum khusus dan peradilan yang tersendiri terpisah dari peradilan umum. Maka dirancang Undang-undang yang berlaku bagi anggota militer yaitu Kitab Undang-Undang Peradilan Miliiter. Keberadaan peradilan militer diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai kewenangan penyerahan perkara. Berdasarkan uraian di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penyidikan tindak pidana penyalahgunaan psikotropika yang dilakukan oleh Anggota Militer, apakah faktor-faktor penghambat dalam proses penyidikan tindak pidana penyalahgunaan psikotropika yang dilakukan oleh Anggota Militer.

  Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dengan cara membaca, mencatat dan mengutip buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian dan data primer adalah data yang bersumber dari lapangan dengan melakukan penelitian langsung dilokasi penelitian yang selanjutnya dilakukan pengolahan data kedalam sub bahasan disertai analisis.

   Alvin Wijaya

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa 1). Proses penyidikan tindak pidana penyalahgunaan psikotropika yang dilakukan oleh Anggota Militer melalui tiga tahap yaitu a). Dengan proses penyidikan/pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik, b). Proses pemeriksaan lanjutan, c). Penyerahan perkara dan penuntutan 2). Adapun yang menjadi faktor-faktor penghambat dalam proses penyidikan tindak pidana penyalahgunaan Psikotropika yang dilakukan oleh anggota militer adalah tidak ditemukannya saksi dikarenakan ia melarikan diri, Membutuhkan waktu yang lama untuk mengumpulkan barang bukti dikarenakan pemeriksaan urine dan darah dilakukan di pusat laboratorium forensik Polri cabang Palembang, di dalam lingkungan militer adanya sikap anggota militer yang tidak kooperatif dalam proses penyidikan dan adanya sikap atasan/komandan kesatuan yang cenderung kurang tegas dalam menetapkan hukuman serta kecenderungan untuk menutupi (melindungi) kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya, Sedangkan dari masyarakat umum yang terjadi faktor panghambat proses penyidikan adalah adanya ketakutan untuk melaporkan dan memberikan kesaksian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh oknum militer. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakkan hukum itu sendiri antara lain adalah faktor Undang-undang (hukumnya sendiri), faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Setelah penulis melakukan penelitian tentang Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Psikotropika yang dilakukan oleh Anggota Militer di Detasemen Polisi Militer II/3, maka penulis berpendapat bahwa a. Hendaknya penyidik dalam tindak pidana militer selalu tanggap dengan permasalahan yang timbul di masyarakat, karena di dalam masyaraka ada ketakutan untuk melaporkan anggota militer yang melakukan tindak pidana dan, b. Hendaknya penyidik lebih profesional dalam melakukaan penyidikan dan harus melakukan kerjasama agar penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer dapat dilakukan lebih cepat.

  

DAFTAR ISI

  Halaman I.

   PENDAHULUAN A.

  Latar Belakang .......................................................................................... 1 B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ............................................................. 6 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................................. 7 D.

  Kerangka teoretis dan konseptual .............................................................. 8 E. Sistematika Penulisan ............................................................................... 12

  DAFTAR PUSTAKA II.

   TINJAUAN PUSTAKA

  A. Sejarah Terbentuknya Tentara Nasional Indonesia ............................ ........ 14

  B. Penyidik ....................................................................................................... 19

  1. Pengertian Penyidik .............................................................................. 19

  2. Wewenang Penyidik .............................................................................. 19

  C. Tindak Pidana ............................................................................................. 20

  1. Pengertian Tindak Pidana ..................................................................... 20

  2. Penggolongan Tindak Pidana ................................................................ 23

  D. Pidana Militer ............................................................................................. 26

  1. Pengertian Pidana Militer ...................................................................... 26

  2. Perbandingan Pidana Umum dengan Pidana Militer ............................ 26

  3. Penyidikan dan Penyelidikan ................................................................ 27

  E. Psikotropika ................................................................................................. 32

  1. Pengertian Psikotropika ........................................................................ 32

  2. Pengaruh Psikotropika .......................................................................... 32

  3. Penggolongan Psikotropika .................................................................... 33

  III. METODE PENELITIAN A.

  Pendekatan Masalah ................................................................................... 34 B. Sumber dan Jenis Data ............................................................................... 35 C. Penentuan Populasi dan Sampel................................................................. 35 D.

  Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ........................................... 36

  E. Analisis Data .............................................................................................. 37 DAFTAR PUSTAKA

  IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  A. Karakteristik Responden ............................................................................. 39

  B. Proses Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Psikotropika yang dilakukan Oleh Anggota Militer .................................................................. 40

  1. Azas Administrasi Penyidikan ............................................................... 44

  2. Syarat Administrasi Penyidikan ............................................................. 46

  3. Kegiatan Pencatatan ............................................................................... 48

  4. Kegiatan Laporan ................................................................................... 48

  5. Proses Penyidikan/pemeriksaan Pendahuluan Oleh Penyidik ............... 50

  6.Penangkapan dan Penahanan .................................................................. 52

  C. Faktor-faktor Penghambat Proses Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Psikotropika yang Dilakukan Oleh Anggota Militer ........ 55

  1. Faktor-faktor Penghambat Proses Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Psikotropika yang Dilakukan Oleh Anggota Militer.....55

  2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum ....................56 DAFTAR PUSTAKA

  V. PENUTUP

  A. Kesimpulan ................................................................................................. 63

  B. Saran ........................................................................................................... 66

  LAMPIRAN

  

MENGESAHKAN

1.

  Tim Penguji Ketua : Eko Raharjo S.H., M.H.

  ……………………… Sekretaris : Heni Siswanto S.H., M.H

  ……………………… Penguji Bukan Pembimbing : Firganefi S.H., M.H. ……………………… 2.

  Dekan Fakultas Hukum Adius Semenguk , S.H., M.S.

  NIP 195609011981031003 Judul Skripsi : ANALISIS PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN PSIKOTROPIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA MILITER Nama Mahasiswa : Alvin Wijaya Nomor Pokok Mahasiswa : 0542011023 Program Studi : Ilmu Hukum Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

  

MENYETUJUI

1.

  Komisi Pembimbing

  Eko Raharjo S.H., M.H Heni Siswanto S.H., M.H

  NIP 196104061989031003 NIP 196502041990031004 2.

  Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M, S.H., M.H .

  NIP 196208171987032003

  

ANALISIS PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN

PSIKOTROPIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA MILITER

(Skripsi)

Oleh

  

Alvin Wijaya

0542011023

BAGIAN HUKUM PIDANA

UNIVERSITAS LAMPUNG

FAKULTAS HUKUM

  

2010

I. PENDAHULUAN A.

   Latar Belakang

  Penyalahgunaan obat (drug abuse) dalam dua tiga dekade terakhir bertambah secara global dan juga sudah mencapai keadaan serius diIndonesia. Narkotika dan psikotropika merupakan bahan-bahan yang dapat digunakan dalam kehidupan karena dapat menimbulkan efek terapeutik (efek pengobatan) dalam dunia pengobatan. Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu Narkose yang artinya pingsan, kata ini juga berarti menidurkan yang sampai sekarang masih dipakai dibagian anatesis yang berarti menghilangkan kesadaran pasien pada waktu dilaksanakan operasi.

  Psikotropika adalah obat yang dapat menyebabkan ketergantungan, menurunkan aktivitas obat atau merangsang susunan saraf pusat yang dapat menimbulkan kelainan tingkah laku disertai dengan timbulnya halusinasi, ilusi, gangguan cara berfikir (M. Said Saile, 2009 : 239). Obat-obatan ini disamping mempunyai efek samping Euphoria, yaitu rasa senang, gembira, dan bahagia. Efek inilah yang diinginkan oleh para pecandu. Penggunaan secara berulang-ulang dapat menimbulkan ketergantungan baik secara fisiologis maupun psikologis. Obat narkotika dan psikotropika harus diberikan dalam takaran, ukuran, atau dosis yang sesuai dan waktu pemberian yang tepat, tidak boleh melebihi waktu dan dosis yang sembarangan.

  Penyimpangan-penyimpangan medis yang dilakukan sangatlah berbahaya, selain dapat menimbulkan ketergantungan obat-obatan juga dapat menimbulkan efek yang lebih parah jika dipakai dalam dosis yang besar, serta menimbulkan gejala berupa craving (keinginan yang sangat kuat untuk mendapatkan obat), mual, muntah, gelisah, demam, mencret, tidak suka makan, badan merasa sakit, mudah tersinggung dan susah tidur. Pada masyarakat dewasa ini sudah banyak yang mengerti bahaya dari narkotika dan psikotropika, namun masih banyak pula yang menyalahgunakannya. Faktor yang mempengaruhi penyalahgunaan narkotika dan psikortopika yaitu untuk membuktikan keberanian seseorang dalam melakukan perbuatan yang sangat berbahaya atau untuk menumbuhkan rasa percaya diri, mendapatkan pengalaman-pengalaman secara emosional, menghilangkan rasa frustasi atau sekedar ingin tahu, dan melepaskan diri dari rasa kesepian.

  Keadaan seperti inilah yang memberikan peluang bagi orang-orang tertentu untuk memanfaatkan kesempatan tersebut sebagai bisnis yang menguntungkan.

  Perdagangan narkotika dan psikotropika saat ini telah menembus serta meluas ke berbagai daerah. Peredarannyapun sampai ke desa-desa sehingga membuat cemas masyarakat dan pemerintah, Pemerintah sudah melakukan upaya-upaya dalam menekan peredaran dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Namun kenyataannya yang menyalahgunakan psikotropika dan narkotika masih banyak.

  Anggota militer atau prajurit yang tergabung dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dipilih atau ditunjuk oleh Negara untuk menduduki status tertentu yang mempunyai oteritet karena diberi tugas memimpin baik kesatuan/dinas/jabatan atau bagian yang besar maupun kecil di negara kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan TNI merupakan simbol keamanan negara yang sangat berarti untuk melindungi masyarakat pada umumnya dan melindungi negara pada khususnya dari serangan maupun gangguan dalam bentuk apapun baik dari dalam maupun dari luar (ekstern/intern). Untuk itu negara harus memiliki anggota TNI yang telah diberi keterampilan dalam bidang militer sehingga cakap dalam menjalankan tugas-tugas negara sebagai bakti anak bangsa.

  Anggota militer lalai atau tidak cakap dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, ia dapat saja melanggar hukum yang ringan maupun berat kerena anggota militer tetaplah manusia biasa yang tidak bisa terlepas dari kesalahan dan kelalaian. Walaupun sebagai Warga Negara Republik Indonesia anggota militer bukanlah merupakan kelas tersendiri, karena tiap anggota militer adalah juga sebagai anggota masyarakat biasa, tapi karena adanya beban kewajiban Anggota Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan Negara, maka diperlukan suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih berdisiplin dalam organisasinya, sehingga seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk mencapai tujuan tugasnya yang pokok, untuk itu diperlukan suatu hukum yang khusus dan peradilan yang tersendiri yang terpisah dari peradilan umum. Maka dirancang Undang-Undang yang berlaku untuk anggota militer yaitu Kitab Undang-Undang Peradilan Militer, dengan adanya peradilan militer diharapkan dapat memberikan tersebut. Tujuan pemisahan peradilan ini adalah untuk menjaga kewibawaan kesatuan TNI agar lembaga ini dapat menjalankan hukum yang seadil-adilnya dengan memberikan sanksi yang sesuai dengan perbuatannya. Contoh perkara yang terjadi di Polisi Militer II/Sriwijaya Detasemen Polisi Militer

  II/3 Bandar Lampung dan diperiksa oleh kesatuan Denpom II/3 Lampung (Angkatan Darat), mengenai salah seorang anggota militer yang diduga menggunakan obat terlarang jenis Psikotropika, setelah melelui hasil test urine yang dilakukan oleh Kesdam II/Sriwijaya pada hari senin tanggal 07 maret 2005 di Markas Korem 043/Gatam nomor 16 Kedataon Penengahan Bandar Lampung, ketika dilakukan penyidikan terhadap anggota tersebut ia mengatakan belum pernah menggunakan obat terlarang, setelah dilakukan pemeriksaan ia terbukti menggunakan obat terlarang jenis Psikotropika sejak lebih kurang 7 (tujuh) hari yang lalu pada hari Minggu tanggal 27 Februari 2005 dan ia menerangkan bahwa ia diberi minuman Kratingdaeng oleh seorang yang telah dikenalnya selama 2 (dua) bulan, namun ia tidak mengetahui bila minuman tersebut telah dicampur oleh obat terlarang jenis ekstasi, dan bila ia mengetahui minuman tersebut telah dicampur maka ia tidak akan mau minum-minuman yang diberikan oleh temannya, setelah dilakukan penyidikan lebih lanjut oleh penyidik militer tidak dapat ditemukan orang yang memberikan minuman kepada tersangka tersebut oleh karena itu maka penyidik militer menyimpulkan bahwa kasus tersebut tidak dapat disidangkan, dikarenakan belum cukup bukti, namun tersangka tersebut diserahkan kepada ankumnya untuk menjalani proses disiplin.

  Keberadaan peradilan militer diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 yang menetukan bahwa Angkatan Bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara.

  Pejabat militer yang mempunyai kewenangan sebagai penyidik seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Peradilan Militer Nomor 31 Tahun 1997 pada

  Pasal 69 butir (1) adalah sebagai berikut : a. Atasan yang Berhak menghukum (Ankum) ; b. Polisi Militer ; c. Oditur ; d. Provos (AD,AL,AU) . Masing-masing penyidik mempunyai kewenangan dalam menangani pelanggaran yang dilakukan oleh anggota militer baik itu pelanggaran pidana maupun pelanggaran yang bersifat disiplin saja. Adanaya anggapan dari masyarakat umum bahwa jika seorang anggota militer melakukan tindak pidana tidak akan diproses atau dibiarkan begitu saja. Tentu saja penilaian ini salah, sebab peradilan militer mempunyai wewenang untuk mengadili setiap anggota militer yang melakukan tindak pidana.

  Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan membuat skripsi dengan judul

  “Analisis Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Psikotropika Yang dilakuk an oleh Anggota Militer.” B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

  1. Permasalahan

  Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah : a.

  Bagaimanakah penyidikan tindak pidana penyalahgunaan psikotropika yang dilakukan oleh Anggota Militer? b.

  Apakah faktor-faktor penghambat dalam proses penyidikan tindak pidana penyalahgunaan psikotropika yang dilakukan oleh Anggota Militer?

  2. Ruang Lingkup

  Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian bidang ilmu hukum pidana militer yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer serta proses penyidikan di Wilayah Polisi Militer II/ Sriwijaya Detasemen Polisi Militer II/3 Bandar Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

  1. Tujuan Penelitian

  Bardasarkan permasalahan di atas dan bertitik tolak pada alasan pemilihan judul di atas, maka maksud dan tujuan untuk dapat memberikan gambaran yang jelas agar tidak terjadi kesalah pahaman tentang : a.

  Untuk mengetahui penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh Anggota Militer b. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh Anggota Militer

  2. Kegunaan Penelitian

  Kegunaan penelitian ini adalah : a.

  Kegunaan Teoritis, diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam pengkajian ilmu hukum mengenai penyidikan tindak pidana penyalahgunaan psikotropika yang dilakukan oleh anggota militer dan dapat menjadi pengetahuan awal untuk penelitian lebih lanjut.

  b.

  Kegunaan Praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan memperluas pengetahuan bagi pihak departemen pertahanan (militer) dan masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai proses penyidikan militer.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

  Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosisal yang dianggap relevan untuk suatu penelitian (Soerjono Soekanto, 1986 : 125). Pengertian penyidik menurut KUHAP adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan. Dalam hukum pidana militer yang berwenang melakukan penyidikan adalah atasan yang berhak menghukum (Ankum), polisi militer, dan oditur militer. Akan tetapi karena atasan yang berhak menghukum adalah komandan suatu kesatuan, maka tidak mungkin ia melakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana.

  Oleh karena itu demi efektifnya pelaksanaan suatu kewenangan penyidikan dari atasan yang berhak menghukum tersebut dan untuk membantu supaya atasan yang berhak menghukum lebih memusatkan perhatian, tenaga, dan waktu dalam melaksanakan tugas pokoknya, pelaksanaan penyidikan tersebut dilaksanakan oleh penyidik polisi militer atau oditur militer. Sedangkan wewenang penyidik pembantu apabila ia melakukan penyidikan dibawah bimbingan polisi militer atau oditur militer. Dalam undang-undang tindak pidana militer tidak diatur secara khusus tentang penyelidikan sebagai salah satu tahap penyidikan karena penyidikan merupakan penyidik polisi militer sedangkan atasan yang berhak menghukum (Ankum) dan perwira penyerah perkara (Papera) mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan dan pelaksanaan penahanannya hanya dilaksanakan di rumah tahanan militer, karena di lingkungan peradilan militer hanya dikenal satu jenis penahanan yaitu penahanan di rumah tahanan militer. Oditur penyidik sebagai penyidik dapat meminta pendapat dari perwira penyerah perkara (Papera) untuk memastikan apakah penyidikan terhadap anggota milter yang melakukan tindak pidana dapat dilanjutkan atau dihentikan. Apabila belum cukup bukti-bukti maka atas persetujuan perwira penyerah perkara (Papera) penyidikan itu dapat dihentikan dengan mendapat surat keputusan berdasarkan pendapat hukum dari Oditur Militer (Pasal 101 Undang-Undang Peradilan Militer). Setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik polisi militer, maka oditur militer segera mempelajari dan meneliti apakah hasil penyidikan sudah lengkap.

  Apabila persyaratan formal kurang lengkap maka oditur militer meminta agar penyidik polisi militer melengkapinya, dan jika hasil penyidikan ternyata belum cukup, oditur militer melakukan penyidikan tambahan untuk melengkapi atau mengembalikan berkas perkara kepada penyidik petunjuk tentang hal-hal yang harus dilengkapi. Mengenai berkas-berkas perkara yang tersangkanya tidak diketemukan maka berita acara pemeriksaan tersangka tidak merupakan persyaratan lengkapnya suatu berkas perkara (Pasal 124 Undang-Undang Peradilan Militer).

2. Konseptual

  Merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti atau ingin diketahui. Agar tidak terjadi kesalahan terhadap permasalahan maka penulis akan memberikan konsep yang bertujuan untuk menjelaskan dari istilah yang digunakan dalam pembahasan ini, adapun istilah yang digunakan adalah sebagai berikut : a.

  Tindak Pidana Militer Pada hakikatnya tindak pidana militer sama dengan tindak pidana umum, hanya saja penerapan hukum dan pelaku dari tindak pidana itu sendiri berbeda. Bagi seorang militer penjatuhan hukuman lebih dititik beratkan pada pendisiplinan saja atau pendidikan sedangkan bagi masyarakat umum penjatuhan pidana merupakan penjeraan. Namun apabila seorang militer melekukan tindak pidana umum maka penjatuhan hukuman seperti yang terdapat dalam KUHAP ditambah dengan yang terdapat dalam KUHPM (AHM-PTHM, 1981 (66)).

  b.

  Penyidikan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (UUPM Nomor 31 Tahun 1997 Pasal 1 (16)). c.

  Penyidik ABRI Penyidik ABRI yang selanjutnya disebut penyidik adalah atasan yang berhak menghukum, pejabat polisi militer tertentu dan oditur militer yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (UUPM Nomor 31 tahun 1997 Pasal 1 (11)).

  d.

  Prajurit Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut prajurit adalah warga Negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer (UUPM Nomor 31 Tahun 1997 Pasal 1 (42)).

  e. Disiplin Prajurit Disiplin prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia adalah ketaatan dan kepatuhan yang sungguh-sungguh setiap perajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang didukung oleh kesadaran yang bersendikan oleh sapta marga dan sumpah prajurit untuk menunaikan tugas dan kewajiban serta bersikap dan berperilaku sesuai dengan aturan-aturan atau tata kehidupan prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). f. Hukum Disiplin Hukum disiplin Angkatan Bersenjata Republik Indonesia adalah serangkaian peraturan dan norma untuk mengatur, menegakkan, dan membina disiplin atau tata kehidupan prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia agar setiap tugas dan kewajibannya dapat berjalan dengan sempurna (Pasal 1 angka 2 Undang- undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

E. Sistematika Penulisan

  Secara keseluruhan Skripsi ini terdiri dari lima bab yang isinya mencerminkan susuna dari materi yang perinciannya sebagai berikut :

  I. PENDAHULUAN

  Bab ini merupakan pendahuluan yang berisikan tentang penguraian hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang permasalahan, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta diakhiri dengan sistematika penulisan.

  II. TINJAUAN PUSTAKA

  Bab ini merupakan pengantar dalam memahami pengertian tindak pidana, pengertian psikotropika, penggolongan tindak pidana, pengertian pidana militer, perbandingan pidana umum dengan pidana militer, penyidikan dan Penyelidikan, pengaruh psikotropika serta penggolongan psikotropika.

  III. METODE PENELITIAN

  Bab ini berisikan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data serta analisis data.

  IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  Bab ini merupakan penjelasan yang menjelasakan bagaimana proses penyidikan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer dan faktor pendukung serta penghambat dalam proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer.

  V. KESIMPULAN DAN SARAN

  Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi ini, yang berisikan kesimpulan- kesimpulan mengenai hal-hal yang telah diuraikan dan kemudian dilengkapi dengan saran secara alternative pemecahan.

DAFTAR PUSTAKA

  Hamzah, Andi. 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. Soekanto, Soejono. 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada.

  Jakarta. Sianturi, S. 1998. Hukum Pidana Militer Di Indonesia. Alumni AHM PTHM.

  Jakarta. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Undang-Undang Peradilan

  Militer. Sinar Grafika. Jakarta

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

  Pendekatan masalah yang ditempuh adalah dengan menggunakan dua metode pendekatan, yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan secara yuridis empiris.

  1. Pendekatan yuridis normatif Yaitu suatu langkah pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari ketentuan dan kaedah berupa aturan hukumnya atau ketentuan hukum yang ada hubungannya dengan judul skripsi ini dan berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan Undang-undang Peradilan Militer.

  2. Pendekatan yuridis empiris Yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengadakan hubungan langsung terhadap pihak-pihak yang dianggap mengetahui hal-hal yang ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam skripsi ini. Pendekatan empiris dilakukan dengan cara memperhatikan atau melihat perilaku-perilaku atau gejala- gejala hukum dan peristiwa hukum yang terjadi di lapangan.

  B. Sumber dan Jenis Data

  Data yang dikumpulkan guna menunjang hasil penelitian adalah data primer dan data sekunder yang dapat didefinisikan sebagai berikut :

  1. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari pemberi data atau orang yang terlibat langsung dalam memberikan data, yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.

  2. Data sekunder Data sekunder yang digunakan sebagai bahan hukum primer terdiri dari : a.

  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Undang-Undang Peradilan Militer, KUHP, KUHPM.

  b.

  Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku hasil karya ahli-ahli hukum yang berkaitan dengan kemiliteran.

  c.

  Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan informasi, petunjuk maupun penjelasan tentang bahan bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti pedoman penulisan karya ilmiah dan kamus.

  C. Penentuan Populasi dan Sampel

  Populasi yaitu keseluruhan dari obyek atau obyek penelitian (Burhan Ashshofa, 1998 : 79). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah Polisi Militer metode yang digunakan adalah metode purposive sampling yaitu menentukan sample disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai terhadap masalah yang akan diteliti atau hendak dibahas.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

  1. Pengumpulan Data

  Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini akan ditentukan dengan cara-cara sebagai berikut : a. Data Sekunder

  Data sekunder didapatkan melalui rangkaian studi kepustakaan dengan cara membaca, mencatat dan mengutip serta menelaah peraturan perundang- undangan dan informasi laiinya yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.

  b. Data Primer Data primer diperoleh dengan mengadakan studi di polisi Militer II/3 Bandar Lampung. Adapun metode yang akan digunakan adalah wawancara yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden dengan menanyakan daftar pertanyaan dan data- data tertulis yang sudah disiapkan terlebih dahulu.

  2. Pengolahan Data

  Dalam pelaksanaan pengolahan data yang telah diperoleh penulis mengadakan kegiatan sebagai berikut : a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasannya dan relevansinya begi penelitian. b. Evaluasi, yaitu kegiatan memeriksa dan kelengkapan data, kejelasannya, konsistensinya dan relevansinya terhadap topik penulisan skripsi ini.

  c. Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis.

E. Analisis Data

  Pada kegiatan ini data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dengan mendeskripsikan data yang dihasilkan dari penelitian dilapangan dalam bentuk penjelasan. Darai hasil analisis tersebut akan diketahui dan diperoleh kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus dan selanjutnya dari beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran-saran.

  

DAFTAR PUSTAKA

Hanitijo, Soemitro, Ronni. 1998. Metodelogi Penelitian Hukum Dan Jurimetri.

  Ghalia Indonesia. Jakarta. Husin, Sanusi. 1999. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum.

  Universitas Lampung. Sangarimbun, Masridan Effendi, Sofian. 1989. Metode Penelitian Survay (Edisi Revisi). LP3ES. Jakarta.

  Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. 2005. Lampung University Press. Bandar Lampung.

  Soekamto, Soerjono, dan Sri Mamuji. 1985. Penelitian Hukum Normatif. P.T Raja Grafindo Persada. Jakarta.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

  Kajian atau pembahasan lebih lanjut tentang bagaimana proses penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, maka penulis akan kemukakan terlebih dahulu tentang kerakteristik dari responden. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran objektif validitas dari data-data yang diberikan oleh responden.

  Karakteristik Responden Penyidik Polisi Militer

  Adapun responden yang dipilih adalah penyidik polisi militer sebagai berikut: 1. Nama : Letnan Asep Supriyatna, S.H.

  Jabatan : Ba Unit Riksa (Bintara Unit Pemeriksa) Agama : Islam Umur : 34 Tahun 2. Nama : Letda Kurinci, S.H.

  Jabatan : Wadan Satlak Idik (Penyidik Bintara). Agama : Islam Umur : 38 Tahun Berdasarkan data tersebut, nenunjukkan bahwa yang menjadi penyidik pemeriksa adalah orang-orang yang telah berpengalaman dan telah mengikuti

  

B. Proses Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Psikotropika yang

dilakukan oleh Anggota Militer

  Berdasarkan wawancara dengan Asep Supriyatna selaku Ba Unit Riksa Bandar Lampung dan sesuai Pasal 69 Undang-Undang Pidana Militer dapat diketahui bahwa yang berwenang melakukan penyidikan adalah:

  1. Atasan Yang Berhak Menghukum (Ankum);

  2. Polisi Militer;

  3. Oditur Militer; 4. Provos (AD,AL,AU).

  Penyidik itu adalah atasan yang berhak menghukum, akan tetapi katena atasan yang berhak menghukum adalah komandan suatu kesatuan maka tidak mungkin ia melakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana, maka ia mendelegasikan wewenangnya untuk melaksanakan penyidikan kepada polisi militer atau oditur militer. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Asep Supriyatna selaku Ba Unit Riksa Bandar Lampung, penyidik polisi militer dalam malaksanakan wewenangnya sesuai Pasal 71 dan 72 UU No. 31 tahun 1997 sebagai penyidik dapat melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:

  1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana;

  2. Melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian;

  3. Mencari keterangan dan barang bukti;

  4. Menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai tersangka dan memeriksa

  5. Melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat- surat;

  6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

  7. Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

  8. Meminta bantuan pemeriksaan seseorang ahli atau mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

  9. Mengadakan tindakan lain terhadap hukum yang bertanggung jawab Peristiwa tindak pidana yang terjadi dimana penyidik yang menangani kasus tersebut diharapkan agar bisa membuat terangnya peristiwa tersebut guna melindungi kepentingan masyarakat dan dapat perlindungan hukum.

  Peran penyidik antara lain adalah a. Menyelenggarakan penyidikan dalam penanganan Polisi Militer.

  b. Merumuskan perencanaan kegiatan, pengendalian tehnis dan evaluasi terhadap pelaksanaan penyidikan.

  c. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan barang bukti guna kepentingan penyidikan.

  d. Menyelesaikan perkara secara benar dan tepat waktu.

  e. Mencari dan menemukan pelaku yang belum tertangkap.

  f. Melakukan koordinasi dengan instansi lain yang ada hubungannya dengan penyelesaian perkara pidana dilingkungan TNI.

  g. Membantu fungsi Polisi Militer lainnya yang ada hubungannya dengan penyidikan. h. Meminta bantuan atau mendatangkan tenaga ahli guna melakukan pemeriksaan sehubungan dengan penyidikan suatu perkara. i. Menyelesaikan perkara pidana dilingkungan TNI sampai berkas perkara. j. Mengirim berkas perkara kepada Papera dan Odmil. k.Memberikan saran kepada Ankum atau Papera guna menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anggotanya. l. Hasil kegiatan penyidikan digunakan dalam program pencegahan kejahatan. m. Tindakan lain berdasarkan Undang-undang yang dapat dipertanggung jawabkan.

  Proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan terhadap anggota militer dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu :

  1. Proses penyidikan/pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik

  2. Proses pemeriksaan lanjutan 3. Penyerahan perkara dan penuntutan.

  Kemungkinan penyelesain suatu tindak pidana secara hukum disiplin. Disiplin prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia adalah ketaatan dan kepatuhan yang sungguh-sungguh setiap perajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang didukung oleh kesadaran yang bersendikan oleh sapta marga dan sumpah prajurit untuk menunaikan tugas dan kewajiban serta bersikap dan berperilaku sesuai dengan aturan-aturan atau tata kehidupan prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).

  Disiplin Militer adalah suatu syarat mutlak untuk menetapi semua peraturan militer dan semua perintah kedinasan dari tiap-tiap atasan, pun yang mengenai hal yang kecil-kecil, dengan tertib, tepat dan sempurna. Faktor-faktor yang penting dalam pembentukan dan pembinaan disiplin dagi TNI antara lain motivasi, pendidikan, latihan, kepemimpinan, kesejahteraan dan penegakan disiplin melalui hukum.

  Hukum disiplin Angkatan Bersenjata Republik Indonesia adalah serangkaian peraturan dan norma untuk mengatur, menegakkan, dan membina disiplin atau tata kehidupan prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia agar setiap tugas dan kewajibannya dapat berjalan dengan sempurna (Pasal 1 angka 2 Undang- undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

  Perbedaan pokok antara tindak pidana dan pelanggaran disiplin adalah bahwa suatu tindak pidana pada umumnya dirasakan sebagai mengganggu keseimbangan masyarakat, ketergangguan mana hanya mana dapat dipulihkan dengan penjatuhan pidana sebagai alat terakhir/senjata pamungkas kepada patindak.

  Sedangkan pelanggaran disiplin lebih merupakan perbuatan yang tidak pantas, yang dapat ”diatasi” dengan cara pemberian tegoran atau hukuman yang lebih bersipat mendidik. Dapat juga disebutkan sebagai perbedaan : berat atau ringannya sifat suatu tindak pidana atau akibat-akibatnya. Akan tetapi dalam hal atau keadaan tertentu sering ditemukan kesulitan-kesulitan untuk memperbedakan sifat-sifat tertentu. Demikinlah misalnya ada suatu tindakan dalam masyarakat militer umumnya dianggap sebagai ”kenakalan” militer sebagai pelanggaran disiplin militer, akan tetapi oleh masyarakat tertentu dianggap sebagai pantas untuk dipidana, contohnya perbuatan main-main ketika mengikuti suatu latihan pertempuran dapat merupakan suatu tindakan yang sifatnya ringan, akan tetapi perbuatan main-main itu dapat juga mencelakakan teman-temannya bahkan dapat menggagalkan seluruh latihan tersebut. Dengan perkataan lain adakalanya suatu tindak pidana (yang tentunya ringan sifatnya) dirasakan hanya sebagai pelanggaran disiplin saja atau sebaliknya. Mengingat bahwa pidana yang dijatuhkan kepada seseorang militer adalah juga merupakan pendidikan atau pembinaan baginya selama tidak dibarengi dengan pemecatan dari militer, maka adalah wajar apabila dimungkinkan penyelesaiaan suatu tindak pidana (sifatnya ringan) yang lebih mendekati ”golongan pelanggaran disiplin militer” secara hukum disiplin demi tujuan perbaikan seorang militer.

1. Azas Administrasi Penyidikan

  a. Dalam pelaksanaan kegiatan administrasi penyidikan diperluakn adanya azas- azas administrasi penyidikan untuk mencapai hasil guna dan daya guna yang optimal sehingga tidak menyulitkan jalannya penyidikan yang dilakukan.

  b. Azas-azas Administrasi Penyidikan a.

  Azas pencatatan meliputi : 1) Azas tujuan. Pencatatan harus diarahkan kepada pengorganisasian data yang beik sehingga dapat menjamin pendataan yang teratur ketepatan analisa dan kemingkinan pengolahan data secara otomatis untuk mencapai tujuan. 2) Azas ketelitian. Pencatatan harus menjamin pengorganisasian data secara pengaturan perlu diperhatikan. Pengawasan perlu untuk mencegah data yang salah dijadikan data bahan analisa sedangkan pengaturan perlu dilakukan dilihat dari aspek materi dan sumber data. 3) Azas keamanan. Pencatatan harus menjamin bahwa data yang telah terkumpul tidak jatuh ketangan kepada orang yang tidak berhak, terpelihara dan selalu siap bila diperlukan. 4) Azas penghematan. Sistem pencatatan harus menjamin penghematan dalam pelaksanaannya. Hemat disini dilihat dari segi waktu, biaya dan tenaga.

  5) Azas kesederhanaan. Sistem pencatatan harus menjamin bahwa seluruh anggota dari setiap tingkat/satuan dapat melakukan pencatatan dengan baik.

  b.

  Azas laporan meliputi : 1) Azas kepentingan masyarakat. Bahwa demi tegaknya keadilan dan ketertiban serta terpeliharanya keamanan dan masyarakat maka setiap pelanggaran dapat dijatuhi hukuman/tindakan yang setimpal dengan kesalahannya. 2) Azas kepentingan tersangka. Bahwa Si tersangka sesuai dengan hak asasi manusia yang beradao dan merdeka harus mendapatkan perlakuan sebagai praduga tidak bersalah sebelum ada keputusan dari mahkamah pengadilan mengenai kesalahan/kejahatannya.

  c.

  Azas pengarsipan meliputi : 1) Azas kemudahan. Arsip sebagai bahan bukti dan alat pengingat harus dapat menjamin penyajiannya kembali secara mudah dan cepat setiap saat dibutuhkan.

  2) Azas keamanan. Arsip dalam pelaksanaannya harus tetap terratur dan terpelihara serta dapat menjamin tidak hilang atau jatuh ke tangan orang yang tidak berhak.

2. Syarat Administrasi Penyidikan

a. Dalam pelaksanaan kegiatan administrasi penyidikan diperlukan adanya

  syarat-syarat administrasi penyidikan untuk mencapai hasil guna dan daya guna yang optimal sehingga tidak menyulitkan jalannya penyidikan yang dilakukan. b Syarat-syarat Administrasi Penyidikan.

  a.

  Syarat pencatatan : Pencatatan data dan bahan keterangan/informasi yang harus diterima :

  1) Mampu mencari secara teliti sehingga data bahan keterangan/informasi yang berguna bagi kepentingan analisa terpisah dari data dan bahan keterangan/informasi yang kurang ada kaitannya. 2) Menjamin keterangan data dan bahan keterangan /informasi yang mesuk sehingga tersusun dalam susunan yang rapi, mudah dicari dan aman.

  b.

  Syarat-syarat laporan. 1) Laporan bidang penyidiakn harus mampu membantu pimpinan dengan kebutuhan menurut perkembangan situasi perkara yang terjadi.

  2) Laporan bidang penyidikan harus mampu menjamin kebutuhan data dan keterangan-keterangan yang pasti, berlanjut dan tepat pada waktunya.

  3) Pengelompokkan data dan keterangan-keterangan diatur secara sistematis dan berlanjut.

  4) Memudahkan pencatatan dan pengguanaannya untuk kepentingan analisa. 5) Mempunyai nilai hemat yang optimal baik dari segi biaya, waktu maupun tenaga.

  6) Masalah/kasus yang dilaporkan harus jelas, mempunyai sistematika laporan dan memenuhi unsur-unsur siabidibame yang disampaikan secara berlanjut.

  7) Laporan bidang penyidikan harus terdiri dari : Bab pendahuluan, inti dan penutup yang memuat kesimpulan dan saran kalau ada (kecuali laporan kemajuan dan laporan penyelasaian perkara.

  c.

  Syarat-syarat pengarsipan 1) Arsip surat-surat data dan bahan keterangan lainnya yang diterima dari instansi lain dicatat dalam buku agenda arsip.