KEDUDUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU) DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA (Studi Perppu Tahun 2004-2014)

ABSTRAK

KEDUDUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANGUNDANG (PERPPU) DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN
INDONESIA
(Studi Perppu Tahun 2004-2014)

Oleh
MARYANTO

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui tentang Kedudukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pada periode 2004-2014, di tinjau dari
pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi nomor
138/PUU-VII/2009. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif,
yaitu meneliti berbagai peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar
ketentuan hukum untuk menganalisis tentang kedudukan Perppu dalam sistem
perundang-undangan Indonesia, serta penelitian yuridis yakni penelitian yang mengkaji
dari Undang-undang, teori hukum dan pendapat para sarjana. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukan bahwa perppu yang dikeluarkan
oleh presiden pada periode 2004 hingga 2014 adalah tidak mengisi kekosongan hukum
karena perppu-perppu tersebut dikeluarkan tanpa syarat kegentingan yang memaksa
serta dikeluarkan dalam keadaan yang tidak membahayakan negara sesuai pasal 22

UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 138/PUU-VII/2009. upaya untuk
penanggulangan ketidaksesuaian dalam mengeluarkan perppu adalah terletak pada
presiden yakni dengan lebih cermat dalam mengamati suatu keadaan genting dan
darurat, serta DPR dalam mengesahkan perppu harus mempertimbangkan pasal 22
UUD 1945 dan Putusan MK nomor 138/PUU-VII/2009, sehinggan perppu yang
dikeluarkan benar-benar dapat mengakomodir kebutuhan mendesak dalam keadaan
genting dan memaksa.

Kata Kunci : Perppu, Pasal 22 UUD 1945, Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.

KEDUDUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANGUNDANG (PERPPU) DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN
INDONESIA
(Studi Perppu Periode 2004-2014)

Oleh
MARYANTO

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM

Pada
Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di desa Sidorejo Kecamatan Bangunrejo
Lampung Tengah pada tanggal 13 Maret 1993 anak ke tiga dari
tiga bersaudara oleh pasangan Bapak Regu (Alm) dengan ibu
Misiyem orang tua yang sangat penulis sayangi.
Penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 03 Sidorejo, Kec.
Bangunrejo, Lampung Tengah diselesaikan pada tahun 2005. Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama Negeri 02 Kairejo, Lampung Tengah diselesaikan pada tahun
2008. Sekolah Menengah Kejuruan Islam Adiluwih, Pringsewu diselesaikan pada
tahun 2011.

Pada tahun 2011 penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung
melalui jalur seleksi PMPAP Unila. Selama kuliah penulis aktif di berbagai
organisasi intra maupun ekstra kampus seperti BEM-U KBM Unila, BEM-FH
Unila, UKMF MAHKAMAH, HIMA-HTN FH UNILA, serta Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Hukum Unila, yang telah memberikan
penulis pengetahuan dan pengalaman serta menjadi wahana bagi penulis dalam
mengembangkan diri yang tidak didapatkan penulis dalam perkuliahan.

PERSEMBAHAN
Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati
kupersembahkan skripsiku ini kepada:

Ayahanda Regu (Alm),
Terimakasih atas segala kasih sayang, pengorbanan, dan
wejangan semasa kecil, serta terimakasih telah memberikanku ibu
yang teramat sangat hebat.

Ibunda Misiyem,
Terimakasih untuk segala pengorbanan, waktu, kasih sayang yang
tiada henti, serta motivasi dan doa-doamu, Panjang Umur ya bu,

saksikan aku sukses.

Kepada kakak-kakak tercintaku Siti Aminah & Ismail
Yang selalu memberikan dukungan moriil & materiil serta motivasi
yang tiada henti-hentinya.

Kepada keponakan-keponakan tersayangku, Akmal Maulana
Mubarrack & Muhammad Ridwan Ismail, jangan lupa; Pinter,
Sukses, dan berbhakti kepada orang tua Kelak.

Almamater tercinta Universitas Lampung
Tempatku menimba ilmu dan mendapatkan pengalaman
berharga yang menjadi sebagian jejak langkahku menuju
kesuksesan.

MOTO

“Sesungguhnya Jihad yang Paling Besar adalah
Mengungkapkan Kalimat Kebenaran di Hadapan
Sultan Yang Dzalim.”

(Hr. Tarmudzi)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, Tuhan semesta alam yang maha kuasa atas bumi, langit dan seluruh
isinya, serta hakim yang maha adil di yaumil akhir kelak. Sebab, hanya dengan
kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul
Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia (Studi Perppu Tahun 20042014), sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, saran
dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan untuk
pengembangan dan kesempurnaan skripsi ini.

Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung.
2. Bapak Rudy, S.H., LL.M.,LL.D selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H.

selaku Pembimbing I dan sekaligus

Pembimbing Akademik (PA) atas kesabaran dan kesediaan untuk meluangkan
waktu disela-sela kesibukannya, mencurahkan segenap pemikirannya,
memberikan bimbingan, motivasi, nasihat dalam mengarahkan penulis
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
4. Ibu Martha Riananda, S.H.,M.H selaku Pembimbing II atas kesabarannya
yang luar biasa dan bersedia untuk meluangkan waktunya, mencurahkan
segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, motivasi, nasihat dalam
mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
5. Bapak Ahmad Saleh, S.H.,M.H., selaku Pembahas I yang telah memberikan
kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.
6. Bapak Muhtadi, S.H.,M.H. yang telah membantu penulis menempuh
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Seluruh Dosen Bagian Hukum tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Lampung yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat
bagi penulis, serta segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama
menyelesaikan studi.
8. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi
dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan
yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi.
9. Teristimewa untuk Papaku tercinta dan tersayang Alm Regu dan mamaku
tercinta Misiyem wanita yang sangat luar biasa, Kalian adalah orang tua
terhebat dalam hidupku yang tiada henti memberikan cinta kasih, semangat
dan sembah

sujudnya terhadap Allah SWT untuk kebahagian dan

keberhasilanku, yang tidak pernah lelah mendukung, berharap dan menunggu
saat-saat indah ini. Terimakasih atas segalanya semoga kelak dapat
membahagiakan, membanggakan, dan selalu bisa membuat kalian tersenyum
dalam kebahagiaan. Love u much much much mom & dad.
10. Kakak-kakaku Siti Aminah dan Ismail, terima kasih untuk motivasi, dan
semangatnya.

11. Ponakanku tercinta Akmal maulana Mubarack dan Muhammad Ridwan
ismail, Semoga menjadi anak yang berbhakti kepada orang tua.
12. Sahabat-sahabatku tersayang, kholifatul muhtadin, ageng widodo, jarwanto
djanoko, Nurkholis, endang, untuk kebersamaan, bantuan, canda tawa dan
semangatnya, semasa SMP. Terimakasih untuk persahabatan selama ini,
semoga persahabatan kita untuk selamanya dan semoga kita semua sukses.
13. Orang-orang terbaik yang ada di hidupku Ridho Aulia Husein, Nurkholis,
Annisa dian P.H. Hindiana sava husada, Rae Anggrainy, Nur Handayani, Ayu
Permata Sari, Annisa Dian P.H, Marullfa , Rohani, agung kurniawan, Fima
Agatha, tri fajar nugroho, herra destriana, ratna eka sari, rantika W, ririn
Regiliap. Semoga kita bisa tetap saling membantu dan menyemangati satu
sama lain. Semoga kita semua sukses.
14. Teman-teman seperjuangan HIMA HTN, aminah camila, david, daniel, ferry,
elsha vencha, sabrina, zein, virgi, utia, james, deka, husein, dewi, indra, anas,
dll, love you so much, kalian orang terhebat, sukses untuk kita semua.
15. Keluarga Besar Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEM-F) periode
2013/2014, dan keluarga besar BEM U KBM Unila, semua yang tidak dapat

disebutkan satu persatu terima kasih untuk kebersamaan, pengalaman serta
ilmu yang berharga. Semoga kita semua sukses.

16. Keluarga besar HMI Komisariat Hukum Unila, Yuk Ita, Kanda Yoni, Kanda
Ike, Kanda Angga, Kanda Abdi, Kanda Kamil, Kanda Galuh, Kanda Suntan,
Kanda Toni, Kanda Andri, Kanda Agus, Kanda Arif, Kanda Azam, Kanda
Insan, Yunda Inggit, Ridho, Mamat, Beni, Imam, Kahfi, Fery, Fajar, Shandy,
Emil, Sarah, Eka, Rekas, Ririn, Rantika, Abung,Prabu, silvi, ratna, jupi, kodri,
panca, serta dinda-kanda yang tidak dapat disebutkan satu persatu, kalian
keluarga yang luar biasa, terima kasih untuk kebersamaan, pengalaman serta
ilmu yang berharga yang tidak saya temukan dalam perkuliahan dan hanya
saya temukan di HMI Komisariat Hukum Unila.
17. Teman-teman KKN di Desa Goras jay; ka rizki , dhani, made, kok Kevin, mb
Kristi, mb aini, malani, ka lidiya, nissa. Terima kasih untuk kebersamaannya
selama 40 hari, semoga kita semua sukses.
18. Keluarga Besar MAHKAMAH, Yang tidak bisa di sebutkan satu-persatu
penulis sangat bangga menjadi bagian dari kalian.
19. Kawan Kawan Seantero Wisma Shizuka, mb desi ibu kost paling baik, bang
warji, Putra, Manda, Widi, Maryani, irpan, dll yang tak bisa disebutkaan
semoga kita semua sukses.
20. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan dan
dukungannya.


Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah
diberikan kepada penulis. Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang
sederhana ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis
dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, 17 November 2015
Penulis,

Maryanto

DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN ………………………………………………..…

1

1.1. Latar Belakang …………………………………………..………
1.2. Rumusan Masalah………………………………………..………

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...................................................
1.3.1. Tujuan Penelitian………….…………………………..…..
1.3.2. Kegunaan Penelitian…………………….……………….

1
8
8
8
8

II. TINJAUAN PUSTAKA.………………………………….……….
2.1. Konstitusi ……………..………………………………….…….
2.1.1. Istilah Konstitusi…………………………………………
2.1.2. Beberapa pengertian Konstitusi……………..…………...
2.2. Perubahan Hierarki Tata Urutan Perundang-Undangan…......…
2.2.1. ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/196 .....…………….
2.2.2. ketetapan MPR No III/MPR/2000 …..…………………..
2.2.3. Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 Pembentukan
PeraturanPerundang-Undang ..........………………...........

9
9
9
13
20
20
20

21

2.2.4. Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan….……………………...... 23
2.3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)…....... 25
2.3.1. Perppu Dan Kedudukanya ……………..…………… …… 27
3.2.3. Syarat-syarat dikeluarkanya Perppu………………………. 29
III. METODE PENELITIAN… ……………………………………....

32

3.1. Jenis dan Tipe Penelitian……….……………………………….
3.2 Metode Pendekatan ………….…………………………………
3.3. Data dan Sumber Data……………..…………………………..
3.4. Metode Pengumpulan Data……………………………………..
3.5. Metode Pengolahan Data…….……………………………….…
3.6. Analisis Data…………………………………..………..............

32
32
33
34
34
35

i

IV. PEMBAHASAN…………………………………………………….

36

4.1. Perppu Pada Periode 2004-2014 ………………………………..

36

4.2. Perppu Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Penangguhan Mulai
Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial………...……... 38
4.3. Perppu Nomor 2 tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi
Sumatera Utara…………………………………………………

41

4.4. Perppu Nomor 3 tahun 2005 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah……………. 45
4.5. Perppu Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003…….....…. 47
4.6

Peppu Nomor 2 Tahun 2006 Penangguhan Pelaksanaan Tugas
dan Fungsi Pengadilan Perikanan Sebagaimana Dimaksud dalam
Pasal 71 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan…….……………………………………….… 50

4.7. Peppu Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 Tentang Penetapan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas Menjadi Undang-Undang……......……………………… 52
4.8. Perppu No. 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan
Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi Dan
Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi
Sumatera Utara………………………………………………………………………………… 55
4.9. Perppu No. 3 Tahun 2007 Perubahan Atas
Undang Undang Nomor 11 Tahun 1998 Tentang Perubahan
Berlakunya Undang Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan………………………………………………… 57
4.10. Perppu Nomor 1 Tahun 2008 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua…………………………………………………………..... 59

ii

4.11. Perppu Nomor 2 Tahun 2008 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia………………...…… 61

4.12. Perppu Nomor 3 Tahun 2008 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan….. 63
4.13. Perppu Nomor 4 Tahun 2008 Jaring Pengaman Sistem
Keuangan… …………………………………………………….. 64
4.14. Perppu Nomor 5 Tahun 2008 Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan………………………………. 66
4.15. Perppu Nomor 1 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah…….………………………

68

4.16. Perppu Nomor 2 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji… 69
4.17. Perppu Nomor 3 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian…………………….. 72
4.18. Perppu Nomor 4 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi………..………………………………………... 74
4.19. Perppu Nomor 1 Tahun 2013 Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi... 77
4.20. Perppu No. 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati
Dan walikota...…………………………………………………. 84
V. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………….

90

5.1. Kesimpulan ……………………………………….……………… 90
5.2. saran ……………………………………………..…………….…. 91
DAFTAR PUSTAKA

iii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan
berjenjang sekaligus berkelompok-kelompok dimana suatu norma berlaku,
bersumber pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi demikian
seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (Staatsfundamentalnorm).1
Norma hukum memainkan peran dalam hubungan kehidupan bernegara
maupun bermasyarakat seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut dengan UUD 1945 menjadi
dasar hukum tertulis untuk mengatur segala aspek kehidupan bernegara yang
lebih lanjut diatur dalam peraturan perundang-undangan lain yang berada di
bawah UUD 1945, artinya setiap peraturan perundang-undangan lain yang
berada di bawah UUD 1945 harus berdasar dan bersumber pada UUD 1945
baik dalam aspek prosedur maupun dalam aspek muatannya, dan tidak dapat
bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang telah diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

1

Hans Kelsen dalam Maria Farida, Ilmu perundang-undangan : jenis, fungsi, dan materi muatan,
Kanisius, Yogyakarta,2007, hlm 21-22

Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
Dilihat dari sisi materi muatannya, peraturan perundang-undangan bersifat
mengatur (Regelling) secara umum dan abstrak, tidak konkrit dan individual
seperti keputusan penetapan.
Undang-undang yang selanjutnya disebut UU adalah produk yang dikeluarkan
oleh Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya
disebut DPR yang mana undang-undang tersebut memiliki kekuatan yang
mengikat sejak disahkan oleh DPR. Sementara itu di dalam Undang-undang
nomor 12 tahun 2011 pasal 3 disebutkan “Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan
Perundang-undangan” namun demikian ada peraturan yang sama dengan undangundang, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang selanjutnya
diebut dengan UU yang mana kedudukannya berada di bawah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang selanjutnya disebut Tap MPR.2
Kedudukan undang-undang dan peraturan dibawahnya haruslah tunduk pada
konstitusi dasar Negara Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 dan kedudukan Perppu adalah sama dengan
undang-undang. Perppu mempunyai hierarki setingkat dengan Undang-Undang

2

B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia,Yogyakarta: Universitas Atma jaya,
2009, Hlm 42

2

Akan tetapi

Perppu ini terkadang dikatakan tidak sama dengan undang-

undang karena belum disetujui oleh DPR.3
Undang-undang selalu dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dan
dalam keadaan normal, atau menurut perubahan UUD 1945 dibentuk oleh DPR
dan disetujui secara bersama oleh DPR dan Presiden, serta disahkan oleh
Presiden, sedangkan Perppu dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan DPR karena
adanya “suatu hal ihwal kegentingan yang memaksa.4
Undang-undang dan Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan
memang memiliki kedudukan yang sama, hanya saja keduanya dibentuk dalam
keadaan yang berbeda. Undang-undang dibentuk oleh Presiden dalam keadaan
normal dengan persetujuan DPR, sedangkan Perppu dibentuk oleh Presiden dalam
keadaan genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah yang
kemudian membuat kedudukan Perppu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR
kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di bawah Undang-undang. Perppu
ini memiliki jangka waktu yang terbatas atau sementara sebab secepat mungkin
harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya.
Apabila Perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang, dan
apabila Perppu itu tidak disetujui oleh DPR akan dicabut. Karena itu, hierarkinya
adalah setingkat/sama dengan Undang-undang sehingga fungsi maupun materi
muatan Perppu adalah sama dengan fungsi maupun materi muatan Undang-

3

Maria Farida Indrati Soeprapto.. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya
(Yogyakarta:kanisius:1998) hlm.96
4
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik
Pembentukannya. (Yogyakarta:Kanisius,2007) hlm 80.

3

undang.5 Jadi, saat suatu Perppu telah disetujui oleh DPR dan dijadikan Undangundang, saat itulah Perppu dipandang memiliki kedudukan sejajar/setingkat
dengan Undang-undang. Hal ini disebabkan karena Perppu tersebut telah disetujui
oleh DPR, walaupun sebenarnya secara hierarki perundang-undangan, fungsi,
maupun materi, keduanya memiliki kedudukan yang sama meski Perppu belum
disetujui oleh DPR.
Kewenangan presiden dalam mengeluarkan Perppu bukanlah merupakan
kewenangan tanpa batas yang dimiliki oleh presiden, “Keberanian” Presiden Pada
tahun 2004 hingga 2014 dalam mengeluarkan Perppu tidak lepas dari perdebatan
tentang subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal kegentingan memaksa”
yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Penafsiran subyektif presiden dalam pasal
22 harus dibedakan dengan penafsiran obyektif yang diatur dalam Pasal 12 UUD
1945. Dalam kondisi bahaya atau tidak normal, UUD Negara RI Tahun 1945
memberikan kewenangan kepada presiden untuk melakukan tindakan khusus.
Tindakan khusus yang diberikan oleh UUD 1945diatur dalam pasal 12 dan Pasal
22. Pasal 12 menyebutkan presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat
dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. UUD 1945
dengan tegas mengamanatkan adanya undang-undang yang mengatur keadaan
bahaya yang saat ini diatur lebih lanjut dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959
tentang Keadaan Bahaya. Terhadap keadaan bahaya yang diatur dalam UU (Prp)
No. 23 Tahun 1959 ini, Presiden hanya dapat menafsirkan secara obyektif, dalam
hukum tata negara tidak tertulis dikenal dengan doktrin noodstaatsrecht.

5

opcit hal.94

4

Menurut Harun Al Rasyid, dalam noodstaatsrecht, Undang-Undang keadaan
bahaya selalu ada, pelaksanaan berlakunya keadaan bahaya dituangkan dalam
keputusan presiden. Noodstaatsrecht harus dibedakan dari staatsnoodrecht.
Menurut doktrin staatnoodrecht, jika negara dalam keadaan darurat kepala negara
boleh bertindak apapun bahkan melanggar Undang-Undang dasar sekalipun demi
untuk menyelamatkan negara. Staatnoodrecht merupakan hak darurat negara,
bukan hukum.6
Sementara itu, Perppu merupakan produk hukum yang sah sesuai ketentuan Pasal
22 Undang-Undang Dasar 1945. Secara formal, Perppu adalah peraturan
pemerintah, bukan Undang-undang. Tetapi secara substansial, meteri Perppu sama
dengan materi muatan Undang-Undang (Pasal 9 UU No. 10 Tahun 2004).
Terhadap Perppu, DPR dapat melakukan legislative review untuk menyetujui
Perppu sebagai undang-undang atau tidak.
Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan:
1. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
2. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut;
3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” merupakan syarat mutlak bagi
presiden untuk menggunakan haknya. Secara a contrario presiden tidak dapat
menggunakan haknya selama tidak ada hal ikhwal kegentingan memaksa.

6

Kons Kleden & Imam Waluyo, Undang-undang Subversi dan Hak Asasi Manusia, Lappenas,
Jakarta 1981, hlm 76-77.

5

Dalam Hukum Tata Negara dikenal asas hukum darurat untuk kondisi darurat atau
abnormale recht voor abnormale tijden. Asas ini kemudian menjadi hak
prerogatif presiden seperti dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945.7

Perppu sebagai emergency legislation yang didasarkan pada alasan inner
nootstand (keadaan darurat yang bersifat internal) dalam keadaan (i) mendesak
dari segi substansi, dan (ii) genting dari segi waktunya. Sementara itu, Bagir
Manan dalam buku Teori dan Politik Konstitusi (2004) mengatakan, hal ihwal
kegentingan yang memaksa" merupakan syarat konstitutif yang menjadi dasar
kewenangan

presiden

dalam

menetapkan

perppu.

Apabila

tidak

dapat

menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak berwenang menetapkan
perppu. Perppu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal kegentingan maka batal
demi hukum (null and void), karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa
wewenang. Hal ihwal kegentingan yang memaksa juga harus menunjukkan
beberapa syarat adanya krisis, yang menimbulkan bahaya atau hambatan secara
nyata terhadap kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan. Oleh karena itu,
muatan perppu hanya terbatas pada pelaksanaan (administratiefrechtelijk).8

Muatan dan cakupan Perppu sendiri, sifat inner notstand sebagai alasan pokok
hanya dapat dijadikan alasan ditetapkannya Perppu sepanjang berkaitan dengan
kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan dukungan payung hukum
setingkat undang-undang. Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa
7

Indrianto Seno Adji , Teroris e, Perppu No. Tahu
Dala Perspektif Huku Pida a
Dalam Terorisme; Tragedi Umat Manusia, Jakarta: O.C Kaligis & Associates, 2001, Hlm. 17
8
Jimly Ashiddiqie, Pengantar Hukum tata Negara jilid 1, Jakarta; sekretariat jenderal MK, 2006
hlm.80-85.

6

presiden mempunyai keterbatasan dalam menggunakan hak subyektifnya dalam
mengeluarkan Perppu. Presiden hanya bisa menggunakan haknya sepanjang
berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan.9

Perppu pada periode 2004 hingga 2014 ini menunjukan inkonsistensi Presiden,
Sebab sebenarnya, Presiden telah menyatakan persetujuannya terhadap beberapa
undang-undang Nomor, baik secara materiil maupun formil, dan motif penerbitan
Perppu tersebut tidak selaras dengan kehendak konstitusi. Sebab, penerbitan
Perppu oleh Presiden pada saat itu lebih didasari pada penafsiran subjektifitas
Presiden.
Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. dalam
putusan tersebut diatur bahwa Perppu hanya diperlukan apabila terdapat keadaan
atau kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat,
terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) atau undang-undang yang ada dianggap
tidak memadai, serta untuk mewujudkan kepastian hukum.
Berdasarkan uraian di atas, maka Munculah masalah hukum terhadap kedudukan
Perppu (Perppu) yang dikeluarkan oleh presiden Pada Periode 2004 hingga 2014,
apakah dasar pertimbangan presiden dalam mengeluarkan Perppu, serta
bagaimanakah seharusnya Presiden menetapkan suatu kegentingan, mengingat
telah disahkanya Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia pada
periode tersebut.

9

Ibid… hlm 85

7

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas, maka
yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

Bagaimanakah Kedudukan Perppu pada Periode Tahun 2004 Hingga Tahun 2014
Dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia?
1.3. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Setelah melihat permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian
dalam skripsi ini antara lain adalah: untuk mengetahui kedudukan Perppu dalam
sistem perundang-undangan Indonesia.
1.3.2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:
1. Kegunaan teoritis karya tulis ini dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk
mengembangkan wawasan terutama Hukum dan Politik, terkait Kedudukan
perppu di indonesia.
2. Kegunaan praktis penelitian ini berguna untuk;
a.

Bahan informasi bagi masyarakat, akademi, dan kalangan birokrasi
pemerintahan yang bergerak di bidang Hukum dan politik.

b.

Menambah referensi bahan bacaan dan sebagai sumber data yang
melakukan penelitian berhubungan dengan Hukum dan politik dalam
menganalisis perppu yang dikeluarkan oleh presiden.

c.

Sebagai salah satu syarat akademik bagi peneliti untuk menyelesaikan
Strata Satu pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konstitusi
2.1.1. Istilah Konstitusi
Istilah konstitusi berawal dari kata kerja constitute yang berarti membentuk. yang
dibentuk itu adalah suatu negara. Oleh karena itu, konstitusi mengandung
permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara. Sehubungan dengan
istilah konstitusi ini para sarjana dan ilmuwan hukum tata negara terdapat
perbedaan pendapat. Ada yang berpendapata konstitusi sama dengan undangundang dasar dan ada pula yang yang berpendapat konstitusi tidak sama dengan
undang-undang dasar, untuk lebih jelasnya pendapat perhatikan di bawah ini:10
A. Kelompok pertama yang memepersamakan konstitusi dengan undang-undang
dasar, di antaranya:11
1. G.J.Wolhaff, berpendapat bahwa kebanyakan Negara-negara modern
berdasarkan atas suatu UUD (konstitusi).
2. Sri soemantri, penulis menggunakan istilah konstitusi sama dengan undangundang dasar (grondwet).
3. J. C. T. Simorangkir Mengangap konstitusi sama dengan UUD.

10
11

Dasril Radjab, 2005, Hukum tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, hlm 44.
I id… hl

B. Kelompok kedua yang membedakan konstitusi dengan undang-undang dasar.
di antaranya
1. Van Apeldorn berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar adalah bagian
tertulis dari konstitusi, konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun tidk
tertulis.
2. M. Solly Lubis melukiskan pembagian konstitusi dalam suatu skema, sebagai
berikut :
Konstitusi tertulis (UUD)
Konstitusi
Konstitusi tidak tertulis (Konvensi)
3. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa setiap peraturan
hukum karena pentingnya harus ditulis dan konstitusi yang tertulis itu adalah
UUD. (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983 : 66).
Pendapat kedua kelompok tersebut tidak terdapat perbedaan yang prinsipil karena
kelompok pertama mempersamakan istilah konstitusi dengan undang-undang
dasar, sedangkan kelompok kedua meninjau dari segi materi yang ada dalam
konstitusi atau undang-undang dasar. Kelompok pertama yang mempersamakan
undang-undang dasar dengan konstitusi mungkin disebabkan oleh konstitusi
tersebut dalam kamus hukum di Indonesia diterjemahkan dengan undang-undang
dasar, sebagaimana yang terlihat dalam kamus karangan J. C. T. Simorangkir,
dkk. “Konstitusi” = Undang-Undang Dasar.
Sedangkan penganut paham modern yang mempersamakan konstitusi dengan
undang-undang

Dasar

varfassungswesen”.

Ia

adalah

Lasalle

mengemukakan

dalam
bahwa

karanganya
konstitusi

“Uber

sesungguhnya

menggambarkan hubungan antara kekuasaan yang terdapat di dalam masyarakat,
seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata dalam masyarakat, misalnya

10

kepala negara, angakatan perang, partai-partai politik, pressure group, buruh, tani,
pegawai dan sebagainya. Dari pendapat tersebut kemudian Lasalle menghendaki
agar seluruh hal penting itu tertulis dalam konstitusi.12

Kelompok kedua yang membedakan konstitusi dengan undang-undang dasar,
mengingat tidak semua hal penting harus dimuat dalam konstitusi , melainkan hal
yang bersifat pokok saja. Perlu diketahui juga bahwa pengertian penting dan
Pokok tidaklah sama. Seperti dikemukakan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily
Ibrahim bahwa isinya merupakan peraturan yang bersifat fundamental, artinya
tidak semua hal penting harus dimuat dalam konstitusi, melainkan hal yang
bersifat pokok, dasar, dan asas-asas. Dengan kata lain dapat kita artikan bahwa
semua aturan tersebut itu penting untuk di muat dalam konstitusi, tidak semua hal
penting itu merupakan hal yang pokok atau hal yang mendasar. Oleh karena itu,
pengertian pokok dapat dikatakan hal terpenting dari yang penting. Tidak
dimuatnya semua hal-hal penting tersebut ke dalam undang-undang dasar
disebabkan adanya perkembangan atau perubahan dalam poitik hukum dan
masyarakat. Apabila masyarakat berubah dengan sendirinya maka undang-undang
dasar

harus

pula

menyesuaikan

diri

dengan

masyarakatnya.

Untuk

menghindarkan seringnya perubahan suatu undang-undang dasar, maka hal-hal
yang penting tidak semuanya dimuat dalam undang-undang dasar, tetapi cukup
hal-hal yang mendasar (aturan dasar) yang pokok dan lebih penting saja. Alasanya
adalah untuk menjaga wibawa undang-undang dasar karena bila perubahan suatu
undang-undang dasar terlalu sering, akan mengaikbatkan hilangnya wibawa dari
undang-undang dasar tersebut.
12

Ibid, hlm 46

11

Melihat pernyataan di atas, untuk menentukan mana yang penting dan mana yang
pokok, antara negara yang satu dengan negara yang lain terdapat perbedaan,
Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu motif lahirnya konstitusi
atau undang-undang dasar, bentuk negara, sistem pemerintahan, dan lain-lain. Ada
yang memuat aturan dasar itu sedetail mungin karena dianggap penting dan harus
dimuat dalam konstitusinya, yang mengakibatkan jumlah pasal-pasal menjadi
lebih banyak, sebagai contoh India terdiri dari 394 pasal, Uruguy 332 pasal,
Belanda 210 pasal, Ethiopia 55 pasal. Sebaliknya, ada pula yang dianggap penting
tetapi tidak pokok sehingga konstitusinya hanya terdiri dari beberapa pasal saja
seperti Laos 44 pasal, Spanyol 36 pasal, Dan Republik Indonesia 37 Pasal.13
Dilihat dari alasan (motif) timbulnya konstitusi atau undang-undang dasar
menurut Lord Bryce ada empat motif timbulnya konstitusi atau undang-undang
dasar sebagai berikut:14
1) Adanya keinginan para anggota warga negara untuk menjamin hak-hak
mereka sendiri pada waktu hak-hak itu terancam dan selanjutnya membatasi
tidakan-tindakan penguasa di kemudian hari.
2) Adanya keinginan entah dari pihak yang diperintah atau pihak yang
memerintah atau pihak penguasa sendiri, dengan harapan untuk menjamin
rakyatnya melalui jalan menentukan bentuk-bentuk suatu sistem
ketatanegaraan tertentu yang semula tidak jelas dalam suatu bentuk tertentu
menurut aturan-aturan positif, maksudnya agar dikemudian hari tidak
dimungkinkan adanya tindakan –tindakan yang sewenang-wenang dari
penguasa.
3) Adanya keinginan dari pembentuk negara baru untuk menjamin adanya cara
penyelenggaraan ketatanegaraan yang pasti dan dapat membahayakan kepada
rakyatnya.
4) Adanya keinginan untuk menjamin kerja sama yang efektif dari beberapa
negara yang pada mulanya berdiri sendiri (nantinya menjadi negara bagian
dari negara federal yang merupakan bentuk kerjasamanya).

13
14

Ibid, hlm 47
Ibid, hlm 47

12

2.1.2. Beberapa Pengertian Konstitusi
UUD 1945 merupakan suatu bentuk konstruksi dasar pembentukan segala bentuk
peraturan di Negara Republik Indonesia yang artinya UUD 1945 adalah bentuk
konstitusi dari Negara Indonesia, setiap negara pada dasarnya memiliki sebuah
konstitusi atau undang-undang dalam bentuk tertulis, namun demikian ada
beberapa negara yang sampai saat ini dikenal tidak memiliki undang-undang dasar
tidak tertulis yaitu Inggris, Israel, dan Saudi Arabia. undang-undang dasar diketiga
negara ini tidak pernah di buat tersendiri, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dari
aturan dan pengalaman praktik ketatanegaraan. Negara pertama yang menyusun
konstitusinya dalam satu naskah undang-undang adalah Amerika Serikat (United
States Of America) pada tahun 1787.15
Menurut Hermann Heller, undang-undang dasar yang tertulis dalam satu naskah
yang bersifat politis, sosiologis dan bahkan yuridis hanyalah merupakan salah satu
bentuk atau sebagian saja dari pengertian konstitusi yang lebih luas yaitu
konstitusi yang hidup ditengah-tengah masyarakat, artinya disamping konstitusi
yang tertulis, segala bentuk nilai-nilai normatif yang hidup dalam kesadaran
masyarakat luas juga termasuk ke dalam pengertian konstitusi yang luas itu. Oleh
karena itu dalam bukunya “Verfassungslehre”, Herman Heller membagi
konstitusi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:16
1. Konstitusi dalam pengertian social politik
Dalam pengertian ini konstitusi tumbuh dalam pengertian sosial politik. Ide-ide
konstitusional dikembangkan karena memang mencermikan keadaan sosial politik
15

Bagir manan, 1995. Pertumbuhan dan perkembangan Konstitusi suatu Negara. CV. Mandar
maju, Bandung, hlm 2
16
Jimly Asshidiqie, 2006,
pengantar Hukum Tata Negara jilid I. Sekretariat Jenderal dan
kepaniteraan Mahkamah konstitusi RI. Jakarta. Hlm 123-124

13

dalam masyarakat yang bersangkutan pada saat itu, konstitusi dalam tahap ini
dapat digambarkan sebagai kesepakatan-kesepakatan politik yang belum
dituangkan dalam bentuk tertentu, melainkan tercermin dalam perilaku nyata
dalam kehidupan kolektif warga masyarakat;
2. Konstitusi dalam pengertian hukum.
Dalam pengertian ini konstitusi sudah diberi hukum tertentu, sehingga perumusan
normatifnya menuntut pemberlakuan yang dapat dipaksakan . Konstitusi dalam
social politik yang dilihat sebagai kenyataan tersebut diatas dianggap harus
berklaku dalam kenyataan . Oleh karena itu setiap, setiap pelanggaran
terhadapnya haruslah dapat dikenai sanksi yang pasti;
3. Konstitusi dalam pengertian peraturan tertulis.
Dalam tingkatan ke tiga ini merupakan tahapan yang terahir dan merupakan
tingkatan yang paling tinggi dalam perkembangan pengertian rechtsvervassung
yang muncul sebagai pengaruh aliran kodifikasi yang menghendaki agar berbagai
norma hukum dapat dituliskan dalam naskah yang bersifat resmi. Tujuanya adalah
untuk mencapai kesatuan hukum atau unifkasi hukum (rechtseneheid),
kesederhanaan hukum (rechtsvereenvoudinging), dan kepastian hukum
(rechtszekerheid).
Menurut Herman Heller, konstitusi tidak dapat dipersempit maknanya hanya
sebagai undang undang dasar atau konstitusi dalam arti yang tertulis sebagaimana
yang lazim dipahami karena pengaruh aliran kodifikasi. Di samping undangundang dasar yang tertulis ada pula konstitusi yang hidup dalam kesadaran hukum
masyarakat. Disamping itu undang-undang dasar yang tertulis, ada pula konstitusi
yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat.
K. C. Whare “Modern Constitution” mengklaisifikasikan konstitusi sebagai
berikut:17
1. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis (Written Constitution And
Unwritten Constitution);
2. Konstitusi Flexible Dan Konstitusi Rigid (Flexible & Rigid Constitution);
Konstitusi flexiblelitas merupakan konstitusi yang memiliki cirri-ciri pokok:

17

Muhammad Hardani, 2003, Konstitusi-Konstitusi modern. Pustaka Eureka. Surabaya. Hlm 110

14

a. Sifat elastis , artinya dapat disesuaikan dengan mudah;
b. Dinyatakan dan di lakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah
undang-undang.
3. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak tinggi (Supreme And Not
Supreme Constitution);
Konstitusi derajat tinggi mempunyai arti kedudukan tertinggi dalam negara (
tingkatan peraturan perundang-undangan). Konstitusi tidak berderajat tinggi
adalah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan seperti yang pertama;
4. Konstitusi negara serikat dan negara kesatuan (Federal And Unitary
Constitution.
Bentuk negara akan sangat menentukan konstitusi Negara yang bersangkutan.
Dalam suatu negara serikat terdapat terdapat pembagian kekuasaan antara
pemerintah federal (pusat) dengan negara-negara bagian. Hal itu diatur di
dalam konstitusinya. Pembagian kekuasaan seperti itu tidak diatur dalam
konstitusi negara kesatuan. Karena pada dasarnya semua kekuasaan berada di
pemerintah pusat;
5. Konstitusi pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer
(President Executive and Parliamentary Executive constitution);
Dalam system pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain:
a. Presiden memiliki kekusaan nominal sebagi kepala negara, tetapi juga
memiliki kedudukan sebagai kepala pemerintahan;
b. Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih;
c. Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat
memerintahkan pemilihan umum.
Carl Schmitt, membagi konstitusi dalam 4 (empat) pengertian sebagai berikut:18
1. Konstitusi dalam arti absolute (Absoluter Verfassungs Begriff), yang di
perinci menjadi empat bagian sebagai berikut:
a. Konstitusi dianggap sebagai satuan organisasi yang nyata, mencakup semua
bangunan hukum dari semua organisasi yang ada dalam negara.
b. Konstitsi sebagai bentuk negara. Yang dimaksud dengan bentuk negara
adalah negara dalam arti keseluruhanya (Ganzh Heit). Bentuk negara itu
busa demokrasi
atau monarki (sebenarnya yang dimaksud adalah
bentuk/system pemerintahan). Sendi demokrasi adalah identitas, sedangkan
sendi monarki adalah representasi. Demokrasi baik langsung maupun
memerintah dirinya sendiri dengan sendirinya sehingga antara yang
memerintah dan yang diperintah identik dengan rakyat. Sedangkan
representasi karena baik raja maupun kepala negara dalam negara yang
demokratis merupakan wakil atau mandataris dari rakyat dan pada dasarnya
kekuasaan itu ada pada rakyat;
c. Konstitusi sebagai faktor integrasi. faktor ini bisa abstrak dan fungsional.
Abstrak misalnya hubungan antara bangsa dan negara dengan lagu
18

Dasril Radjab, 2005, Hukum tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, hlm 48

15

kebangsaanya, bahasa persatuanya, bendera sebagai lambang persatuanya,
dan lain-lain. Dikatakan fungsional karena tugas konstitusi mempersatukan
bangsa melalui pemilu, referendum, pembentukan kabinet, suatu diskusi
atau debat dalam politik pada negar-negar liberal, mosi yang diajukan oleh
dewan perwakilan rakyat baik yang sifatnya menuduh atau tidak percaya,
dan sebagainya;
d. Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma-norma hukum yang tertinggi
di dalam negara, jadi konstitusi itu merupakan norma dasar sebagai sumber
bagi norma-norma lain yang berlaku di dalam negara.

2. Konstitusi dalam arti Relative (Relative Vervassungs Begriff)
Konstitusi dalam arti relative dimaksudkan sebagai konstitusi yang di
hubungkan denagn kepentingan suatu golongan tertentu di dalam masyarakat.
Golongan utama adalah golongan borjuis liberal yang menghendaki adanya
jaminan dari pengusa agar hak-haknya tidak dilanggar. Jaminan di letakan
dalam UUD yang tertulis sehingga tidak mudah dilupakan. Jadi dalam hal ini
konstitusi dibagi menjadi 2 (dua) pengertian, yaitu:
a. Konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjuis liberal agar hakhaknya di jamin tidak dilanggar oleh penguasa;
b. Konstitusi sebagi konstitusi dalam arti formal atau dalam arti tertulis.
3. Konstitusi dalam arti positif (der positive vervassungs begriff).
Pengertian konstitusi dihubungkan dengan ajaran dezisionisme, sebagai
contoh yaitu ajaran tentang keputusan. Konstitusi dalam arti positif itu
mengandung pengertian sebagai keputusan politik yang tertinggi berhubungan
dengan pembuatan Undang-Undang Dasar Weimar Tahun 1919 yang
menentukan nasib seluruh jerman. Karena undang-undang dasar itu telah
merubah struktur pemerintah yang lama dari system monarki, dimana
kekuasaan raja masih kuat menjadi suatu pemerintah dengan system
parlementer.
Namun ajaran Carl Schmitt ini tidak dapat diterapkan dengan peristiwa di
Indonesia, yakni dalam pembentukan UUD 1945 karena pembukaan UUD 1945
hanya merupakan salah satu diantara keputusan politik tertinggi yang dilakukan
bangsa Indonesia adalah Proklamasi 17 Agustus 1945, yang merupakan satusatunya keputusan politik tertinggi yang dilakukan bangsa Indonesia untuk
mengubah nasibnya dari bangsa yang di jajah menjadi bangsa yang merdeka.

16

UUD 1945 disahkan setelah proklamasi kemerdekaan merupakan tindak lanjut
dari proklamasi kemerdekaan.
4. Konstitusi dalam arti Ideal (Ideal Vervassungs Begriff)
Disebut konstitusi ideal karena konstitusi itu idaman dari kaum borjuis sebagai
jaminan agar hak-hak asasinya dilindungi.

Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas
kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika
negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi
itu adalah rakyat. jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang
menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para
ahli sebagai “Constituent power” yang merupakan kewenangan yang berada di
luar dan sakaligus diatas sistem yang di aturnya. Oleh karena itulah di negara
demokrasi rakyat yang dianggapmenentukan berlakunya suatu konstitusi.19
Konstitusi Negara Indonesia dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti undang-undang yang
menjadi dasar semua undang dan peraturan lain di suatu negara yang
mengatur, bentuk, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, wewenang
badan pemerintahan.20 Dalam bahasa Belanda istilah perundang-undangan
dan peraturan perundang-undangan berasal dari istilah “Wetteijke Regels”
atau “Wettelijke Regeling”. Istilah Wet (Undang-undang) dalam literatur
hukum Belanda (di ambil dari pendapat Buys) mempunyai dua macam

19
20

Jimly Asshidiqie, Pengantar ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Op. Cit. hlm.117
Armen Yasir dkk, Hukum Tata Negara (Bandar Lampung : Justice Publisher, 2014) hlm. 19

17

pengertian yaitu keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang yang
di dasarkan kepada bentuk dan cara terbentuknya dan Wet In Materiele Zin
(undang-undang dalam arti materiil), yaitu keputusan pemerintah/penguasa
yang dilihat berdasarkan kepada isi atau substansinya mengikat langsung
terus penduduk atau suatu daerah tertentu.21 Dalam ilmu hukum terdapat
istilah undang-undang

dalam arti formil dan undang-undang dalam arti

materiil. Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh DPR dengan persetujuan presiden.22 Undang-undang dalam arti
formil adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara pemegang
kekuasaan eksekutif (Presiden) dan legislative (DPR) yang berisi aturan
tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum. Sedangkan yang
dimaksud dengan undang-undang dalam arti materiil adalah setiap keputusan
tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah
laku dan mengikat sesara umum .
Indonesia adalah negara hukum23 yang mana segala sesuatunya adalah
berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan. Negara hukum merupakan
esensi yang menitik beratkan pada tunduknya pemegang kekuasaan negara
pada aturan hukum.24 Hal ini berarti alat-alat negara mempergunakan
kekuasaannya hanya sejauh berdasarkan hukum yang berlaku dan dengan
cara yang ditentukan dalam hukum itu. Melihat kembali pada sejarah,
gagasan negara hukum ini berawal di Negara Inggris dan merupakan latar

21

Armen Yasir, hukum perundang-undangan, (Bandar Lmpung: Justice Publisher,2014) hlm. 33
Rumusan pasal 1 ayat (3) UU no 10 tahun 2004.
23
Pasal 1 ayat 3 undang-undang dasar 1945
24
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, ( Bandung: Mandar Maju,
2013), hlm. 1
22

18

belakang dari Glorious Revolution 1688 M. Gagasan itu timbul sebagai reaksi
terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal
sebagai Bill Of Right 1689, hal ini menunjukan kemenangan parlemen atas
raja, serta rentetan kemenangan rakyat dalam pergolakan-pergolakan yang
menyertai perjuangan Bill of Rights.25
Konsep negara hukum ini merupakan perlawanan terhadap pemerintah negara
yang melakukan penindasan terhadap rakyat karena tidak ada batasan bagi
diktator untuk melakukan kekuasaan.
Konsep ini sejalan dengan pengertian negara hukum menurut Bothling
adalah26 :
“de staat, waarin de wilsvriheid van gezagsdragers is beperket door grezen
van recht.” (negara, dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasan
dibatasi oleh ketentuan hukum).
Pembatasan kekuasaan sebagaimana konsep negara hukum juga ada pada
UUD 1945 sebelum amandemen yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1):
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar”
Sehingga segala produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah harus
berdasar dan bersumber pada Undang-Undang Dasar 1945.

25

Assihiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm. 87
26
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), hlm. 27.

19

2.2. Perubahan Hierarki Tata Urutan Perundang-Undangan.
2.2.1. Ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966
Peraturan peraturan perundang-undangan dimulai dan dilatar belakangi oleh
ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR
mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan
perundang-undangan Republik Idonesia, sebagai berikut :27
1.
2.
3.
4.
5.

Undang-Undang Dasar 1945;
Ketetapan MPR;
Undang-Undang/Perppu;
Peraturan Pemerintah;
Keputusan Presiden;
Peraturan Pelaksana lainya yang meliputi:
a. Peraturan Menteri;
b. Instruksi Menteri;
c. dan lain-lain.

Ketetapan MPRS ini merupakan hasil dari pada sidang MPR tahun 1973 dan
MPR tahun 1978 dengan ketetapan MPR No V/MPR/1973 dan ketetapan
MPR No IX/MPR/1978 akan disempurnakan, namun sampai runtuhnya
pemerintahan orde baru ketetapan MPR tersebut tidak mengalami
perubuhan.28

2.2.2. Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
Pasca reformasi, hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia dirubah
melalui ketetapan MPR No III/MPR/2000, dalam peraturan ini terdapat
pergeseran kedudukan yakni kedudukan undang-undang adalah lebih tinggi

27

Ketetapan mprs no XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai tertib hukum
republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan republik idonesia jo ketetapan MPR
nomor V/MPR/1973 tentang peninjauan produk-produk yang berupa ketetapan majelis.
28
Op. it Ar e Yasir ………hl

20

daripada Perppu (Perppu), dan terjadi perubahan yakni di hapusnya
“Peraturan Pelaksana lainya” di gantikan dengan Peraturan Daerah (Perda).
Adapun

tata

urutan

peraturan

perundang-undangan

jenis

peraturan

perundang-undangan menurut Ketetapan MPR No III/2000 adalah sebagai
berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Undang-undang dasar 1945;
Ketetapan MPR;
Undang-Undang;
Perppu (Perppu);
Peraturan Pemerintah;
Keputusan Presiden;
Peraturan Daerah.

Selain tata urutan peraturan perundang-undangan di atas, masih terdapat
peraturan perundangan lain sebagimana ditentukan pasal 4 ayat