The Development of Bovine Embryo after Fertilization by Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) Method and Strontium Activation

PERKEMBANGAN EMBRIO SAPI SETELAH FERTILISASI
MENGGUNAKAN METODE INTRACYTOPLASMIC SPERM
INJECTION (ICSI) DAN AKTIVASI DENGAN STRONTIUM

MUHAMMAD GUNAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perkembangan Embrio Sapi
setelah Fertilisasi Menggunakan Metode Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)
dan Aktivasi dengan Strontium adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor,

Juni 2013

Muhammad Gunawan
NIM B152090031

RINGKASAN
MUHAMMAD GUNAWAN. Perkembangan Embrio Sapi setelah Fertilisasi
Menggunakan Metode Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) dan Aktivasi
dengan Strontium. Dibimbing oleh MOKHAMAD FAHRUDIN dan ARIEF
BOEDIONO.
Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) merupakan metode fertilisasi
berbantuan dengan menginjeksikan spermatozoa tunggal langsung kedalam
sitoplasma oosit. Perlakuan mekanik pada ICSI dapat menyebabkan kurang
optimalnya spermatozoa dalam melakukan aktivasi pada oosit. Aktivasi buatan
setelah ICSI dengan menggunakan strontium bertujuan untuk meningkatkan
perkembangan embrio sapi secara in vitro.

Penelitian pertama dilakukan untuk mengetahui perkembangan embrio
partenogenetik hasil aktivasi dengan perbedaan konsentrasi strontium yang
dikultur selama 6 jam. Perkembangan embrio partenogenetik yang tertinggi pada
konsentrasi 20 mM dengan memperoleh embrio 2 sel (23,08%) dan blastosis
(3,08%).
Penelitian kedua dilakukan untuk mengetahui pengaruh kombinasi ICSI dan
aktivasi dengan strontium untuk mengetahui perkembangan pronukleus.
Kombinasi ICSI dan strontium 20 mM meningkatkan perkembangan pronukleus
2-PN mencapai 43,59%.
Penelitian ketiga untuk mengetahui hasil perkembangan embrio sampai
tahap blastosis. Hasil perkembangan embrio pada perlakuan kombinasi ICSI dan
strontium 20 mM mencapai tingkat perkembangan 2-4 sel (50,5%), 8-16 sel
(43,73%) dan blastosis (15,63%).
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah kombinasi ICSI dengan aktivasi
strontium 20 mM, mampu menghasilkan perkembangan in vitro embrio sapi yang
lebih baik.

Kata kunci: perkembangan, embrio sapi, fertilisasi, ICSI, aktivasi

SUMMARY

MUHAMMAD GUNAWAN. The Development of Bovine Embryo after
Fertilization by Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) Method and Strontium
Activation. Supervised by MOKHAMAD FAHRUDIN and ARIEF BOEDIONO.
Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) is an in vitro fertilization method
by injecting single sperm into oocyte cytoplasmic. The mechanic treatment on
ICSI causes the sperm less optimal in oocytes activation. The oocyte activation
after ICSI using strontium has a purpose to improve in vitro development of
bovine embryo.
The first experiment was conducted to find out the development of
parthenogenetic embryo result using different strontium concentration for 6 hours.
The second experiment was conducted to find out the influence of
combination ICSI and strontium activation in order to find out pronucleous
development. Combination ICSI and 20 mM of strontium increased development
to pronucleous stage 2-PN up to 43,59%.
The third experiment is to evaluate the in vitro development of embryo after
ICSI followed by strontium activation. The development of embryo after ICSI
treatment and 20 mM strontium up to 2-4 cells was 50,5%, 8-16 cells was
43,73%, and blastosyst was 15,63%.
The conclusion of the experiments is the fertilization by ICSI method
followed by activation using strontium 20 mM gives better results of bovine in

vitro embryo development.

Keywords: development, bovine embryo, fertilization, ICSI, activation.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERKEMBANGAN EMBRIO SAPI SETELAH FERTILISASI
MENGGUNAKAN METODE INTRACYTOPLASMIC SPERM
INJECTION (ICSI) DAN AKTIVASI DENGAN STRONTIUM

MUHAMMAD GUNAWAN


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Anatomi dan Perkembangan Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: drh. Ni Wayan Kurniani Karja, MP. Ph.D

Judul Tesis : Perkembangan Embrio Sapi setelah Fertilisasi Menggunakan
Metode Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) dan Aktivasi
dengan Strontium
Nama
: Muhammad Gunawan
NIM
: B152090031


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

drh Mokhamad Fahrudin, Ph.D
Ketua

Prof drh Arief Boediono, Ph.D, P AVet(K)
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Anatomi dan Perkembangan Hewan

Dr drh Ita Djuwita, M.Phil

Tanggal Ujian:

E


7 JUN 2013

Tanggal Lulus:

2 4 JUL 2013

Judul Tesis : Perkembangan Embrio Sapi setelah Fertilisasi Menggunakan
Metode Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) dan Aktivasi
dengan Strontium
Nama
: Muhammad Gunawan
NIM
: B152090031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

drh Mokhamad Fahrudin, Ph.D
Ketua


Prof drh Arief Boediono, Ph.D, PAVet(K)
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Anatomi dan Perkembangan Hewan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr drh Ita Djuwita, M.Phil

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2011 ini ialah
“Perkembangan Embrio Sapi setelah Fertilisasi Menggunakan Metode
Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) dan Aktivasi dengan Strontium”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. drh. Ita Djuwita MPhil,
selaku ketua program studi Anatomi dan Perkembangan Hewan, Bapak Dr drh
Mokhamad Fahrudin dan Bapak Prof Dr drh Arief Boediono selaku pembimbing,
serta drh Ni Wayan Kurniani Karja, MP. Ph.D selaku penguji, yang telah
memberikan arahan, masukan dan bimbingan selama penulis melaksanakan
penelitian dan penulisan tesis. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr
Ir Witjaksono, M.Sc selaku Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Bapak
Prof Dr Bambang Prasetya (Kapuslit Bioteknologi periode 2005 – 2011), Ibu Dr
Puspita Lisdiyanti selaku Kepala Bidang Biologi Sel dan Jaringan Puslit
Bioteknologi-LIPI, dan Bapak Prof Dr Ir Baharuddin Tappa selaku Kepala
Laboratorium Biologi Sel dan Jaringan Hewan, atas dukungan, ijin, sarana dan
prasarana, serta kebijaksanaannya selama penulis menempuh pendidikan
pascasarjana IPB. Terima kasih kepada rekan-rekan di Puslit Bioteknologi-LIPI,
atas partisipasinya baik langsung maupun tidak, terutama rekan-rekan yang
tergabung dalam kelompok penelitian Hewan: Dra. Ekayanti M. Kaiin, M.Si, Dr.

Ir. Syahrudin Said, Fifi Afiati, M.Si, Nova Dilla Yanthi, M.Si, drh. Nina Herlina,
Edi Sophian, S.Pt, Tulus Maulana S.Pt, atas bantuan dan dukungannya sejak
mulai penelitian sampai proses penyelesaian tesis ini. Terima kasih kepada
seluruh staf Pengajar dan Tata Usaha program studi Anatomi Perkembangan
Hewan (APH) serta rekan-rekan APH angkatan 2009 Devi dan Yeni, atas
kerjasama yang baik selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana IPB.
Terakhir penulis sampaikan terima kasih yang tulus kepada Istri dan anakku,
Listiyaning Handayani dan Fadhil Al Khairiy, atas kesabaran dan pengertiannya
selama ini. Serta kepada Mas Tri Suryono, Mas Yoga dan Mas Yoyok atas
dukungannya selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013
Muhammad Gunawan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii


DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Maturasi Oosit In Vitro
Spermatozoa
Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)
Fertilisasi dan Aktivasi Oosit

3
3
4
5
6

3 METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Rancangan Percobaan

8
8
8
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Embrio Parthenogenetik
Perkembangan Pronukleus setelah ICSI dan Aktivasi dengan Strontium
Perkembangan Embrio setelah ICSI dan Aktivasi dengan Strontium

12
12
13
16

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

18
18
18

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

31

DAFTAR TABEL
1
2
3

Perkembangan embrio partenogenetik hasil aktivasi dengan strontium
Perkembangan pronukleus hasil ICSI dan aktivasi dengan strontium
Perkembangan embrio sapi setelah ICSI dan aktivasi dengan
strontium

12
13
16

DAFTAR GAMBAR
1
2

3
4

Mekanisme aktivasi oosit oleh spermatozoa dalam mekanisme
fertilisasi (Alberio et al. 2001; dengan modifikasi)
Perkembangan pronukleus setelah ICSI dan aktivasi yang diamati
dengan mikroskop fluoresen dan pewarnaan Hoecsht 33342. (A) oosit
berkembang 1-PN, (B) oosit berkembang 2-PN. Bar = 20 µm
Proses ICSI. (A) Aspirasi spermatozoa, (B) Proses ICSI dan oosit
dengan badan kutub I. Bar = 40 µm
Morfologi perkembangan embrio, (A) embrio 2 sel (B) embrio 8 sel.
Bar = 60 µm. (C) embrio morula (D) embrio blastosis. Bar = 20 µm.

6

14
14
16

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Medium koleksi oosit sapi
Medium maturasi
Medium BO
Medium kultur Syntetic Oviduk Fluid (SOF)
Medium Aktivasi Strontium

24
25
27
28
30

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bioteknologi embrio telah berkembang dalam produksi embrio in vitro
(PEIV) sebagai salah satu teknologi reproduksi berbantuan (Assisted Reproductive
Technology, ART). Penggunaan teknologi reproduksi berbantuan pada hewan
ternak, satwa langka dan manusia telah berlangsung dalam waktu yang lama,
seperti penggunaan teknik Inseminasi Buatan (IB), Fertilisasi In Vitro (FIV) dan
teknologi Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI). Aplikasi teknologi reproduksi
berbantuan dapat digunakan untuk upaya peningkatan kualitas genetik ternak dan
membantu mengatasi masalah yang berkaitan dengan keinginan untuk mempunyai
keturunan.
Teknologi reproduksi berbantuan yang telah banyak diterapkan pada
hewan percobaan dan manusia adalah fertilisasi mikro dengan cara ICSI, pada
metode tersebut spermatozoa secara mekanik dimasukkan secara langsung ke
dalam sitoplasma sel telur dengan bantuan mikromanipulator (Boediono 2001).
Walaupun teknik ICSI dianggap sederhana, tetapi dalam aplikasinya melibatkan
berbagai macam persoalan termasuk masalah peralatan dan kemampuan teknik
operator sehingga akan mempengaruhi tingkat keberhasilan ICSI. Keberhasilan
fertilisasi dengan metode ICSI untuk memproduksi embrio sampai kelahiran anak
telah dilaporkan pada kelinci (Iritani dan Hoshi 1989), sapi (Goto et al. 1990) dan
manusia (Palermo et al.1992).
Perkembangan embrio terjadi mulai dari proses fertilisasi antara oosit
dengan spermatozoa. Oosit yang diperoleh dari hasil ovulasi secara alami atau
melalui maturasi secara in vitro adalah dalam kondisi matang (siap untuk dibuahi)
yaitu pada kondisi Metafase II (M-II). Perkembangan selanjutnya terjadi karena
adanya aktivasi oleh spermatozoa atau proses aktivasi secara buatan. Aktivasi
oosit oleh spermatozoa terjadi pada proses fertilisasi pada saat spermatozoa
melakukan inisiasi terhadap fluktuasi Ca2+ di dalam oosit sampai terbentuk
pronukleus. Fluktuasi Ca2+ selama fertilisasi terjadi beberapa jam sampai
terbentuknya pronukleus kemudian berhenti dan terjadi lagi pada awal
pembelahan mitosis embrio (Jones 2007). Sedangkan faktor dari oosit adalah
keberadaan inositol trifosfat (IP3) dan receptornya yang mengatur fluktuasi [Ca2+]
yang akan menurunkan aktivitas maturation promoting factor (MPF) (heterodimer
CDK1 dan cyclin B) dengan mendegradasi cyclin B (Madgwick et al. 2005).
Menurunnya MPF menyebabkan oosit melanjutkan proses meiosis kedua yang
ditandai dengan keluarnya badan kutub II dan kemudian membentuk pronukleus
betina. Aktivasi oosit secara alamiah dilakukan oleh spermatozoa, tetapi dapat
pula dilakukan secara buatan dengan listrik atau kimiawi untuk menstimulasikan
sinyal ion Ca2+ dan penghambatan aktivitas MPF. Aktivasi buatan menggunakan
bahan kimia dapat dilakukan dengan memaparkan oosit pada Ca ionophore,
etanol, strontium klorida, phorbol ester dan thimerosal (Alberio et al. 2001).
Penggunaan strontium sebagai agen parthenogenesis telah dilaporkan pada mencit
(Otaegui et al. 1999), tikus (Tomashov-Matar et al. 2005) dan sapi (Meo et al.
2005). Strontium klorida (SrCl2) dapat mengaktivasi osilasi kalsum [Ca2+] internal
oosit tikus melalui reseptor inositol triphosphate (IP3) (Tomashov-Matar et al.

2
2005). Meo et al. (2005) menggunakan strontium sebagai aktivasi tunggal pada
oosit sapi untuk tujuan parthenogenesis dengan diperoleh embrio sampai tahap
blastosis. Melihat potensi pemanfaatan teknologi reproduksi berbantuan yaitu
metode ICSI dalam mengatasi hambatan dalam fertilisasi dan metode aktivasi
dalam perbaikan tingkat perkembangan embrio, maka penelitian ini ditujukan
untuk mengetahui perkembangan embrio sapi setelah fertilisasi menggunakan
metode ICSI dan aktivasi dengan konsentrasi strontium yang berbeda.

Perumusan Masalah
Produksi embrio in vitro (PEIV) telah berkembang dengan teknologi
reproduksi berbantuan menggunakan metode intracytoplasmic sperm injection
(ICSI). Metode ini mampu memasukkan spermatozoa ke dalam sitoplasma oosit
yang telah matang secara mekanik dengan bantuan mikromanipulator. Mekanisme
perkembangan oosit setelah fertilisasi dipengaruh oleh proses aktivasi oosit.
Proses aktivasi oosit dapat berlangsung secara alami dan buatan. Aktivasi secara
alami disebabkan dari spermatozoa dan faktor internal dari oosit sendiri. Pada
kondisi in vitro aktivasi oosit dapat mengalami gangguan dan tidak normal,
sehingga diperlukan aktivasi bantuan yang dapat dilakukan secara kimiawi dengan
menambahkan strontium klorida. Berdasarkan pada beberapa hal tersebut, perlu
dilakukan pengamatan perkembangan embrio sapi setelah fertilisasi menggunakan
metode intracytoplasmic sperm injection (ICSI), dan dilanjutkan dengan aktivasi
menggunakan strontium klorida.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan embrio sapi
setelah fertilisasi menggunakan metode Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)
dan aktivasi dengan strontium klorida.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk:
1. Memperoleh informasi tingkat perkembangan embrio sapi hasil fertilisasi
menggunakan metode Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)
2. Memperoleh informasi tingkat konsentrasi strontium klorida yang
optimum untuk aktivasi setelah ICSI pada sapi.
3. Model aplikasi teknologi reproduksi bantuan untuk produksi embrio pada
sapi.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Maturasi Oosit In Vitro
Maturasi oosit hewan mamalia secara umum mengalami dua hal yaitu
pematangan inti dan pematangan sitoplasma untuk dapat mengalami proses
fertilisasi dan perkembangan embrio. Pematangan inti meliputi berbagai
perubahan kronologis tahapan meiosis sedangkan pematangan sitoplasma
merupakan penambahan kompetensi biologis oosit yang meliputi berbagai
perubahan struktur dan biokimia di dalam sel yang memungkinkan oosit untuk
mengekspresikan potensi perkembangannya setelah fertilisasi dan mampu
mendukung pembentukan dan perkembangan embrio preimplantasi (Gordon
2003), ditandai dengan sejumlah kriteria termasuk organisasi sitoskeletal dari
oosit seperti migrasi kortikal granula ke oolemma, peningkatan mitokondria dan
lipid droplet, akan menyebabkan perubahan susunan aparatus golgi dan
keberadaan reticulum endoplasmik granular, aktivitas maturation promoting
factor (MPF) dan metabolism oosit (Rahman et al. 2008). Kriteria lain yang juga
sering digunakan sebagai indikator pematangan adalah pematangan sel-sel
kumulus yang dinilai berdasarkan ekspansi sel-sel kumulus. Kriteria ini sering
digunakan karena adanya indikasi yang kuat antara dinamika ekspansi sel-sel
kumulus pada oosit dari hewan tertentu dengan morfologi yang normal,
kemampuan untuk difertilisasi dan kemampuan perkembangan oosit setelah
difertilisasi (Setiadi 2001).
Morfologi sel kumulus yang mengelilingi oosit umumnya digunakan
sebagai kriteria utama seleksi untuk maturasi in vitro (Lonergan et al. 1994) dan
tingkat dari ekspansi sel kumulus dapat digunakan sebagai salah satu indikator
morfologi dari kualitas oosit (Veeck 1988). Sel-sel kumulus pada oosit sapi mulai
ekspansi setelah 12 jam maturasi in vitro ketika oosit pada tahap metaphase I (MI). Ekspansi sel kumulus sedikit demi sedikit meningkat hingga 18 jam inkubasi
dan tetap bertahan setelahnya (Syamsuddin et al. 1993).
Proses pematangan inti oosit berhubungan dengan aktivitas sintesis RNA,
ditandai dengan perubahan inti dari fase diploten ke metaphase II. Membran inti
akan mengadakan penyatuan dengan vesikel membentuk germinal vesicle (GV)
dan kemudian akan mengalami pelepasan membrane inti membentuk germinal
vesicle breakdown (GVBD). Setelah GVBD terbentuk, kromosom dibungkus oleh
mikrotubulus dan mikrofilamen yang sangat mempengaruhi keberhasilan
pembelahan meiosis. Oosit yang telah mengalami GVBD selanjutnya akan
mencapai tahap metaphase I (M-I). Pada oosit sapi metaphase I terjadi setelah 12 14 jam inkubasi dan diikuti oleh tahap anaphase I (A-I) dan telophase I (T-I) yang
berlangsung relatif singkat (14-18 jam) setelah inkubasi (Chohan dan Hunter
2003). Perkembangan selanjutnya akan mencapai tahap metaphase II (M-II) yang
ditandai dengan terbentuknya badan kutub I sebagai oosit matang yang siap untuk
difertilisasi (Pawshe et al. 1994).
Pematangan sitoplasma mencakup proses oosit untuk melengkapi
pematangan inti, fertilisasi dan awal embryogenesis serta mempersiapkan suatu
dasar untuk implantasi, inisiasi kebuntingan dan perkembangan fetus normal
(Sirard et al. 2006). Pematangan sitoplasma meliputi akumulasi protein dan

4
mRNA, perkembangan regulasi kalsium, perubahan aktivitas dari maturation
promoting factor (MPF) dan mitogen activated protein kinase (MAPK) dan
redistribusi organel seluler (Anguita et al. 2007). Hal ini dibutuhkan untuk
mencapai kemampuan perkembangan oosit dan juga membantu kemampuan
perkembangan embrionik (Watson 2007).
Spermatozoa
Spermatozoa terdiri dari kepala dan ekor yang keseluruhannya diselubungi
oleh membran plasma. Pada bagian kepala terdapat inti sel dengan DNA-nya
yang merupakan materi genetik jantan dan akrosom dengan enzim-enzim
hidrolitik dan proteolitik yang dibutuhkan untuk menembus kumulus oophorus
dan dinding ovum pada saat fertilisasi (Johnson et al. 1997). Sedangkan Gilbert
(1994) menyatakan bahwa spermatozoa terdiri dari inti haploid, sistem penggerak
spermatozoa dan kumpulan enzim yang dapat membantu inti memasuki
sitoplasma oosit pada saat fertilisasi. Kebanyakan organel pada sitoplasma
spermatozoa akan menghilang pada saat maturasi berlangsung dan tinggal
beberapa organel termodifikasi yang tetap menjalankan fungsi spermatozoa.
Selain itu inti haploid juga mengalami perubahan, demikian halnya dengan DNAnya akan mengalami pemadatan. Lebih lanjut dikatakan bahwa di depan inti sel
spermatozoa terdapat akrosom yang berasal dari apparatus golgi dan mengandung
banyak enzim-enzim pencerna protein dan gula.
Struktur yang melindungi bentuk tiga dimensi inti sel disebut matriks inti.
Matriks ini tersusun atas jalinan benang-benang protein yang meliputi seluruh
permukaan inti sel, nukleus, RNA, polisakarida dan selubung yang berisi pori-pori
inti. Matriks sama sekali tidak mempunyai histon dan lipid serta hanya
mengandung 5% DNA dalam keadaan terlindungi. Beberapa hipotesis telah
dibangun untuk menerangkan faktor internal dan eksternal yang berpengaruh
terhadap struktur inti. Faktor internal melibatkan perubahan bentuk kromatin dan
aktivitas elemen kontraktil dalam inti. Sedangkan faktor eksternal merupakan
pengaruh kerja aktin mikrofilamen, intermedit filament dan mikrotubul yang
menyusun sitoskeleton. Selubung inti bertaut dengan filament sitoplasma
intermedit yang menjulur ke plasma membran (Meistrich 1993).
Poccia (1986) menyatakan bahwa spermatozoa merupakan sel yang tidak
dapat lagi melakukan replikasi atau tidak dapat dibagi lagi menjadi beberapa
bagian. Hal ini berhubungan dengan tidak aktifnya sintesis RNA. Kromatin inti
sel spermatozoa sangat padat dan mengandung struktural protein pengikat DNA
yang sangat spesifik. Selanjutnya dilaporkan oleh Bellve (1982) bahwa protein
kromosom (protamin) berfungsi sebagai penentu kondensasi kromatin. Protein inti
terdiri atas lebih dari 90% protamin, suatu polipeptida yang kaya akan arginin dan
berfungsi untuk menghilangkan histon, menyebabkan kondensasi kromatin dan
menghambat ekspresi gen pada proses spermiogenesis. Walaupun pada
kebanyakan mamalia, protamin mengandung banyak arginin, tetapi molekul
protamin mempunyai sekuens primer yang unik dengan bagian terminal
karboksinya yang sangat bervariasi. Variasi filogeni pada protamin ini diduga
dapat menggambarkan fungsinya sebagai penentu bentuk nukleus.
Fraser (2004) menyatakan bahwa kromatin spermatozoa mempunyai
struktur yang kompak dan terdiri dari atas DNA dan protein-protein yang

5
heterogen. Struktur kromatin spermatozoa yang kompak tersebut dapat
melindungi integritas genetik spermatozoa selama transportasi dari saluran
reproduksi jantan ke saluran reproduksi betina untuk melakukan fertilisasi.

Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)
ICSI sebagai suatu teknik yang memungkinkan untuk memasukkan
spermatozoa ke dalam sel telur untuk tujuan fertilisasi dengan bantuan alat
mikromanipulator, teknik ini telah mampu meningkatkan angka fertilisasi
spermatozoa. Alat mikromanipulator terdiri dari sebuah mikroskop inverted yang
dilengkapi peralatan pelengkap yang mampu menggerakkan pipet injection
(berdiameter luar 10 μm dan diameter dalam 8 μm) dan holding (berdiameter luar
100-150 μm dan diameter dalam 20-40 μm) dalam melaksanakan ICSI.
Kelebihan utama teknik ICSI adalah dapat menggunakan spermatozoa tanpa
mempertimbangkan motilitasnya yang merupakan syarat mutlak pada IVF (Okada
et al. 1999; Kuramoto et al. 1997). Seleksi spermatozoa normal untuk ICSI
dilakukan untuk memperoleh perkembangan embrio yang lebih tinggi, walaupun
menurut Nagy et al. (1995) mengemukakan bahwa peningkatan jumlah
spermatozoa yang abnormal dalam semen bukan merupakan faktor kritis yang
menurunkan tingkat fertilisasi setelah ICSI. Said et al. (2003) mendukung hal
tersebut, dari penelitiannya dimana spermatozoa tikus yang telah mati karena
dilakukan pemisahan kepala spermatozoa dengan ekor spermatozoa, selanjutnya
hanya kepala spermatozoa saja yang dimasukkan ke dalam oosit ternyata mampu
tumbuh dan membelah.
Pada setiap pelaksanaan ICSI, sebelum spermatozoa diinjeksikan ke dalam
oosit dilakukan immobilisasi atau menghentikan pergerakan spermatozoa. Hal ini
dilakukan agar mudah memasukkan spermatozoa ke dalam pipet injeksi dan
spermatozoa tidak melakukan pergerakan. Immobilisasi spermatozoa umumnya
dilakukan dengan menekan ekor spermatozoa dengan pipet injeksi ke dasar petri
(Dozortzev et al. 1995). Boediono (2001) menyatakan bahwa perlakuan
immobilisasi spermatozoa kambing sebelum dilakukan ICSI akan dapat
meningkatkan angka pembelahan pada tahap awal perkembangan embrio.
Beberapa jenis hewan telah lahir dari hasil ICSI yang menggunakan
spermatozoa immotile (Yanagimachi, 2001). Satu hal yang perlu dicatat bahwa
ICSI dalam aplikasinya telah berkembang dengan berbagai teknik yang berbeda
untuk menghasilkan pembuahan normal. Beberapa penelitian telah melaporkan
tentang keberhasilan ICSI dalam mendukung pembentukan pronukleus dan
perkembangan embrio hingga tahap blastosis, serta keberhasilan ICSI pada hewan
dalam menghasilkan anak. Beberapa kelahiran anak hewan hasil ICSI telah
dilaporkan pada kelinci (Hosoi et al. 1988 dan Iritani, 1989), mencit (Kimura dan
Yanagimachi, 1995), kucing (Pope et al. 1998), kuda (Cochran et al. 1998),
domba (Gomez et al. 1998), sapi (Hamano et al. 1999) dan tikus (Said et al. 2003).
Melalui ICSI, pembuahan lebih efisien dan tepat karena hanya memerlukan
satu spermatozoa untuk membuahi sel telur. Bahkan ICSI pada beberapa jenis
hewan seperti mencit tidak mempertimbangkan motilitas dan viabilitas
spermatozoa (Wakayama dan Yanagimachi, 1998).

6
Fertilisasi dan Aktivasi Oosit
Keberhasilan perkembangan embrio didahului dengan terjadinya proses
fertilisasi antara oosit dengan spermatozoa. Oosit dari ovulasi alami atau in vitro
maturasi adalah dalam kondisi matang (siap untuk dibuahi) yaitu pada kondisi
Metafase II (M-II) dengan terdapatnya badan polar I, perkembangan selanjutnya
terjadi karena aktivasi oleh spermatozoa atau aktivasi buatan dengan cara elektrik
atau kimiawi. Rekayasa aktivasi oosit merupakan metode yang sangat berguna
untuk meningkatkan keberhasilan ICSI (Yanagimachi 2005).

Gambar 1 Mekanisme aktivasi oosit oleh spermatozoa dalam mekanisme
fertilisasi (Alberio et al. 2001; dengan modifikasi)
Secara ilustrasi (dengan sedikit modifikasi), proses aktivasi oosit oleh
spermatozoa pada proses fertilisasi digambarkan oleh Alberio et al. (2001) pada
Gambar 1. Terlihat pada gambar tersebut, spermatozoa sebagai activator
menempel pada membran plasma oosit pada bagian sperm receptor (SR).
Reseptor yang terdapat pada permukaan membran oosit adalah CD9 dan α1β6.
Pertemuan tersebut selanjutnya mengaktifkan protein G atau Protein Tyrosine
Kinase (PTK) yang kemudian mengaktifkan phospholipase C (PLC). Aktifnya
PLC membuat proses hidrolisa phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate (PIP2) pada
membran plasma dapat berjalan. Hidrolisa PIP2 menghasilkan diacylglicerol
(DAG) dan inositol 1,4,5-triphosphate (IP3).
Meningkatnya konsentrasi Ca2+ menyebabkan terjadinya dua kejadian
penting pada fertilisasi yaitu pelepasan CG dan inisiasi berlanjutnya siklus
pembelahan meiosis sel. Pelepasan CG (tersusun dari enzyme dan glycoprotein)
kedalam ruang perivitellin oosit dan kemudian mengubah kondisi zona pelucida
menjadi keras untuk mencegah polyspermi, sementara inisiasi berlanjutnya siklus
pembelahan meiosis sel keluar dari penahanan pada tahap M-II ditandai dengan
menurunkan aktivitas MPF (Machaty dan Prather 1998; Alberio et al. 2001; Jones

7
2007). Kejadian lain yang mengikuti peningkatan Ca2+ adalah meningkatnya pH,
sehingga terjadi pertukaran antara Na+ dari luar sel dan H+ dari dalam oosit.
Peningkatan pH penting artinya untuk menstimulasi replikasi DNA,
perkembangan konduktan K+ dan perubahan metabolism seluler lainnya (Machaty
dan Prather 1998).
Aktivasi oosit oleh spermatozoa terjadi pada proses fertilisasi dimana
spermatozoa melakukan inisiasi terhadap fluktuasi Ca2+ didalam oosit sampai
terbentuk pronukleus. Hal pokok yang mengakibatkan oosit aktif adalah peranan
dan keberadaan ion Ca2+ yang dapat dilihat dari serangkaian fluktuasi konsentrasi
Ca2+ intracellular yang dilepaskan dari reticulum endoplasma. Fluktuasi ini
penting artinya untuk mendukung perkembangan. Fluktuasi Ca2+ dimulai
beberapa saat setelah fusi gamet, terjadi pada berbagai frekuensi, dan berhenti
pada saat pembentukan pronukleus (Ozil 1990; Toth et al. 2006; Jones, 2007).
Konsentrasi ion Ca2+ dengan batas minimum diperlukan agar oosit dapat aktif
(Toth et al. 2006). Fluktuasi Ca2+ selama fertilisasi terjadi beberapa jam sampai
terbentuknya pronukleus kemudian berhenti dan terjadi lagi pada saat membran
inti pecah pada awal pembelahan mitosis embrio. Dijelaskan oleh Jones (2007)
bahwa fluktuasi ini penting untuk memastikan seluruh proses aktivasi oosit
berlangsung. Terdapat dua faktor yang menentukan fluktuasi Ca2+ , yaitu faktor
inisiasi dari spermatozoa dan faktor dari oosit. Faktor dari spermatozoa dikontrol
oleh suatu protein spermatozoa yaitu PLC-zeta, yang terdapat pada inti
spermatozoa. Fluktuasi Ca2+ berhenti ketika terbentuk pronuklei karena PLC-zeta
dilokalisir dalam membran pronuklei bersama inti sehingga tidak dapat
mempengaruhi fluktuasi Ca2+. Sedangkan faktor dari oosit adalah keberadaan IP3
dan receptornya yang mengatur keluarnya Ca2+.
Fluktuasi Ca2+ akan menurunkan aktivitas MPF (heterodimer CDK1 dan
cyclin B) dengan mendegradasi cyclin B (Madgwick et al. 2005). Dijelaskan lebih
lanjut fluktuasi Ca2+ akan mengaktifkan calmodulin-dependent protein kinase II
(CaMK-II) yang selanjutnya mengaktivasi anaphase-promoting complex /
cyclosome (APC/C). Aktifnya APC/C disebabkan oleh hilangnya early mitotic
inhibitor 2 (Emi2) (Madgwick & Jones 2007) karena diphosporilasi oleh CaMK-II.
Selain itu, CaMK-II bekerja menurunkan fluktuasi Ca2+, tetapi penurunan ini akan
meningkatkan spindle checkpoint yang menghambat aktivasi APC/C. Keberadaan
APC/C hasil stimulasi CaMK-II bersama dengan senyawa proteolysis 26S
Proteosome, selanjutnya akan mendegradasi cyclin B. Degradasi cyclin B
berakibat menurunnya MPF, sehingga oosit akan segera melakukan meiosis ke
dua yang ditandai dengan keluarnya PB-II dan kemudian membentuk pronukleus
betina. Berdasarkan informasi-informasi yang dikumpulkan Markoulaki et al.
(2003), selain Ca2+, CaMK-II juga berfluktuasi selama fertilisasi untuk
memastikan keberadaan aktivitas enzim yang diperlukan selama fertilisasi.
Aktivitas enzim meningkat sebesar 370% selama fluktuasi Ca2+ dan 185% pada
fluktuasi CaMK-II (Markoulaki et al. 2003). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
keluarnya oosit dari fase M-II dan perkembangannya ditentukan oleh fluktuasi
Ca2+ dan CaMK-II.
Aktivasi buatan dengan menggunakan bahan kimia dapat dilakukan dengan
memaparkan oosit pada Ca ionophore, etanol, strontium klorida, phorbol ester dan
thimerosal (Alberio et al. 2001). Penggunaan strontium sebagai agen
parthenogenesis telah diterapkan pada oosit mencit (Otaegui et al. 1999), oosit

8
tikus (Tomashov-Matar et al. 2005) dan oosit sapi (Meo et al. 2005). Strontium
klorida (SrCl2) dapat mengaktivasi osilasi kalsum (Ca2+) internal oosit tikus
melalui reseptor inositol triphosphate (IP3) (Tomashov-Matar et al. 2005). Meo et
al. (2005) menggunakan strontium sebagai aktivasi tunggal pada oosit sapi untuk
tujuan parthenogenesis dengan diperoleh embrio sampai tahap blastosis.
Strontium merupakan multiple activator yang dapat menginduksi peningkatan
Ca2+ dan menginduksi pelepasan Ca2+ dari intracellular di dalam oosit (Kline dan
Kline 1992).
Penggunaan strontium sebagai aktivator partenogenesis oosit dengan tujuan
menginduksi peningkatan kalsium intraseluler. Perlakuan oosit dengan strontium
akan menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium secara bergelombang seperti
yang terjadi pada saat aktivasi oosit oleh sperma (Kline dan Kline 1992; BosMikich et al. 1995; Rogers et al. 2004). Strontium menginduksi peningkatan
kalsium intraseluler melalui berbagai mekanisme seperti melalui stimulasi
adenylyl cyclase type VIII (Gu et al. 2000), Ca2+-dependent Ca2+ release (Jallerete
et al. 2000), dan inositol 1,4,5-trisphosphate (IP3)-induced calcium release (IICR)
(Zhang et al. 2005). Pola aktivasi dengan strontium memerlukan waktu yang lebih
lama (3-6 jam) dibandingkan dengan ethanol (5-7 menit). Lamanya waktu aktivasi
oleh strontium karena peningkatan kalsium secara bergelombang dan mampu
mengaktivasi oosit muda dan oosit tua (Wu et al. 1998). Strontium dapat
meningkatkan sensivitas reseptor IP3, strontium dapat memicu eksositosis
kalsium yang cepat dengan peningkatan pada calcium-binding site dari IP3
reseptor. Ada dua calcium interaction site pada reseptor IP3 yaitu: stimulatory site
yang sensitive terhadap strontium dan inhibitory site yang tidak sensitif terhadap
strontium (Marshall dan Taylor 1994).

3 METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Embriologi, Departemen
Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor dan Laboratorium Biologi Sel dan Jaringan Hewan, Pusat
Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong mulai
dari bulan Agustus 2011 hingga bulan Oktober 2012.
Metode Penelitian
Koleksi dan Maturasi Oosit Sapi
Ovarium sapi betina afkir diperoleh dari Rumah Potong Hewan Terpadu
Kota Bogor dan dibawa ke laboratorium dalam media ringer laktat (Otsuka)
ditambah Penicillin G (Sigma, P7794, USA) 100 IU/ml dan Streptomycin (Sigma,
S6501, USA) 100 µg/ml. Koleksi oosit dilakukan dengan metode penyayatan
(slicing) medium Dulbecco`s Phosphate Buffered Saline/DPBS (Gibco, 21600010, USA) ditambah 5% Fetal Bovine Serum/FBS (Sigma, F4135, USA) dan 10
mg/ml gentamicyn (Sigma, G1272, USA). Oosit diseleksi berdasarkan keadaan
sitoplasma yang homogen dan sel-sel kumulus utuh menggunakan mikroskop

9
stereo (Nikon, SMZ-2T, Japan), kemudian dilakukan maturasi in vitro dalam drop
50 µl medium maturasi yaitu TCM-199 (Sigma, M4530, USA), ditambah FBS
(Sigma, F4135, USA) 10%, Follicle Stimulating Hormone/FSH (OvagenTM, New
Zealand) 10 µg/ml, human Chorionic Gonadotrophin/hCG (Intervet Internasional
BV, Chorulon, Boxmeer, Holland) 10 µg/ml, Estradiol (Sigma, E4389, USA) 1
µg/ml, gentamicyn (Sigma, G1272, USA) 10 mg/ml, sodium pyruvate (GibcoBRL,
11840-030, USA) 0,25 mM (Meo et al. 2007) dan ditutup mineral oil (Sigma,
M8410, USA). Setiap drop 50 µl media maturasi diisi 10 oosit dan diinkubasi
selama 24 jam dalam inkubator (Forma, Steri-Cycle) CO2 5%, suhu 38,80C (Meo
et al. 2007). Kematangan oosit dievaluasi dengan melihat perkembangan sel-sel
kumulus dan keluarnya badan kutub I (tahap M-II) yang digunakan untuk
penelitian.
Aktivasi Partenogenetik
Aktivasi partenogenetik menggunakan strontium klorida/SrCl2 (Sigma,
255521, USA) dengan perlakuan konsentrasi 0 mM, 10 mM, 20 mM dan 30 mM
dalam modifikasi medium BO (Brackett dan Oliphant 1975) tanpa Ca2+ dan Mg2+,
ditambah BSA (Sigma, A3311, USA) 10 mg/ml. Oosit hasil maturasi dilepaskan
dari sel-sel kumulus dengan 0,2% hyaluronidase (Sigma, H4272, USA) dalam
medium DPBS (Sigma, D8537, USA) ditambah 10% FBS (Sigma, F4135, USA)
dan 10 mg/ml gentamicyn (Sigma, G1272, USA) selama 10 menit. Oosit dengan
badan kutub I kemudian dipindahkan ke dalam drop perlakuan aktivasi dan
dikultur selama 6 jam di dalam inkubator CO2. Embrio partenogenetik satu sel
dipindahkan dalam drop 50 µl medium kultur Synthetic Oviductal Fluid (SOF)
yang mengandung 5 mg/ml BSA (Sigma, A3311, USA), 2,5% FBS (Sigma,
F4135, USA) (Meo et al. 2007) dan ditutup mineral oil (Sigma, M8410, USA),
dikultur dalam inkubator CO2. Pengamatan perkembangan embrio partenogenetik
dilakukan setiap 24 jam dan penggantian medium setiap 48 jam.
Pembuatan Pipet Mikromanipulasi Injeksi dan Holding
Bahan pipet mikromanipulasi adalah tabung borosilikat gelas kapiler tanpa
filament (Sutter Instrument, B100-75-10, Novato, CA). Pipet mikromanipulasi
injeksi dibuat dengan menggunakan alat micro-puller (Sutter Instrument P-87,
Novato, CA) dan micro-forge (Narishige, MF-79, Japan). Pipet mikromanipulasi
injeksi berdiameter bagian luar 10 μm dan diameter dalam 5-7 μm untuk aspirasi
spermatozoa. Bagian ujung mikromanipulasi injeksi dibuat tajam dengan microgrinder (Narishige, Japan) agar dapat menembus masuk ke sitoplasma sel telur.
Pipet mikromanipulasi holding berdiameter bagian luar 100-150 μm dan
berdiameter dalam 20-40 μm untuk memfiksir oosit selama proses ICSI.
Penyiapan Oosit dan Sperma Sapi untuk ICSI
Oosit hasil maturasi dilepaskan dari sel-sel kumulus dengan 0,2%
hyaluronidase (Sigma, H4272, USA) dalam medium DPBS (Sigma, D8537, USA)
ditambah 10% FBS (Sigma, F4135, USA) dan 10 mg/ml gentamicyn (Sigma,
G1272, USA) selama 10 menit. Oosit dengan badan kutub I digunakan untuk ICSI.
Spermatozoa sapi yang digunakan berasal dari semen beku yang di thawing di
dalam waterbath dengan suhu 370C selama 30 detik. Seleksi spermatozoa dengan
cara swim up, dengan terlebih dahulu sperma di sentrifus dengan kecepatan 1800

10
rpm, selama 5 menit dalam 5 ml medium DPBS (Gibco, 21600-010, Invitrogen,
USA) ditambah BSA (Sigma, A2153, USA) 10 mg/ml dan gentamicyn (Sigma,
G1272, USA) 10 mg/ml. Hasil sentrifus diperoleh supernatant dan pellet, bagian
supernatan dibuang dan didapatkan pellet, kemudian diatas pellet ditambahkan
secara perlahan 1 ml medium DPBS (Sigma, D8537, USA) ditambah 10% FBS
(Sigma, F4135, USA) dan 10 mg/ml gentamicyn (Sigma, G1272, USA).
Selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C selama 10-15 menit agar spermatozoa
mengurai dari kelompoknya dan bergerak ke arah permukaan larutan.
Spermatozoa diambil pada bagian permukaan yang selanjutnya digunakan untuk
ICSI.
Pelaksanaan ICSI dan Aktivasi
Metode ICSI yang digunakan pada penelitian ini mengikuti prosedur
Boediono (2001) dengan modifikasi. Tutup cawan petri 60 mm (Corning, 430196,
USA) digunakan sebagai tempat membuat drop medium untuk ICSI. Medium
ICSI dan manipulasi menggunakan medium DPBS (Sigma, D8537, USA)
ditambah 10% FBS (Sigma, F4135, USA) dan 10 mg/ml gentamicyn (Sigma,
G1272, USA) dalam bentuk lima drop 5 µl, masing-masing berisi 2-5 oosit dibuat
disebelah kiri. Bagian kanan dibuat empat buah drop manipulasi spermatozoa
masing-masing 10 µl dibuat memanjang, dua drop 5 µl berisi media manipulasi
sedangkan satu drop 10 µl dibuat memanjang berisi medium manipulasi yang
mengandung PVP (Sigma, P5288, USA) 5% (w/v), yang digunakan untuk
mencuci jarum injeksi dan holding. Proses ICSI menggunakan mikroskop inverted
(Nikon Diapot, Japan) dan micromanipulator (Narisige, Japan), dimulai dengan
melakukan aspirasi spermatozoa menggunakan jarum injeksi. Oosit difiksir
menggunakan pipet holding dan diarahkan sedemikian rupa sehingga badan kutub
I berada pada posisi arah jam 12 atau jam 6. Spermatozoa diinjeksikan pada arah
jam 3 yang merupakan sudut 900 terhadap badan kutub I untuk menghindari
rusaknya inti sel yang berada di dekat badan kutub I. Selanjutnya spermatozoa
diinjeksikan ke dalam sitoplasma oosit dan pipet injeksi ditarik kembali keluar.
Oosit setelah ICSI kemudian diaktivasi menggunakan strontium (Sigma, 255521,
USA) dengan perlakuan konsentrasi 0 mM, 10 mM, 20 mM dan 30 mM dalam
modifikasi medium BO (Brackett dan Oliphant 1975) tanpa Ca2+ dan Mg2+,
ditambah BSA (Sigma, A3311, USA) 10 mg/ml, dan dikultur selama 6 jam dalam
inkubator CO2.
Kultur dan Perkembangan Pronukleus
Oosit setelah ICSI dan aktivasi kemudian dipindahkan dalam drop 50 µl
medium kultur SOF yang mengandung 5 mg/ml BSA (Sigma, A3311, USA),
2,5% FBS (Sigma, F4135, USA) dan ditutup mineral oil (Sigma, M8410, USA),
selanjutnya dikultur dalam inkubator 5% CO2, suhu 38,80C (Meo et al. 2007).
Evaluasi kemampuan fertilisasi oosit dilakukan 18 jam setelah ICSI dan aktivasi,
dengan melihat terbentuknya pronukleus (PN). Pengamatan PN dilakukan dengan
oosit dikultur selama 10-15 menit dengan pewarnaan 10 µg/ml Hoechst 33342
(Sigma, B2261, USA) dalam medium DPBS (Sigma, D8537, USA) (Meo et al.
2007), dengan menempatkan oosit pada tengah slide glass dan ditutup cover glass
yang direkatkan mengunakan paraffin di keempat sisinya kemudian ditutup

11
vernish. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop flouresen (Imager.Z2, Carl
Zeiss) dengan panjang gelombang 330-385 nm.
Kultur dan Perkembangan Embrio
Embrio satu sel hasil ICSI dan aktivasi kemudian dipindahkan dalam drop
50 µl medium kultur SOF yang mengandung 5 mg/ml BSA (Sigma, A3311, USA),
2,5% FBS (Sigma, F4135, USA) dan ditutup mineral oil (Sigma, M8410, USA),
selanjutnya dikultur dalam inkubator 5% CO2, suhu 38,80C (Meo et al. 2007).
Pengamatan perkembangan embrio tahap satu sel sampai tahap blastosis
dilakukan setiap 24 jam dan penggantian medium setiap 48 jam.
Rancangan Percobaan
Perkembangan Embrio Partenogenetik
Pada penelitian ini, variabel respon yang diukur adalah jumlah
keberhasilan sel embrio partenogenetik mencapai perkembangan tahap 2-4 sel, 816 sel, morula dan blastosis dari perlakuan aktivasi menggunakan strontium
dengan konsentrasi 0 mM, 10 mM, 20 mM dan 30 mM.

Perkembangan Pronukleus Hasil ICSI dan Aktivasi dengan Strontium
Pada penelitian ini, variable respon yang diukur adalah jumlah
keberhasilan oosit hasil ICSI dan aktivasi dengan strontium untuk mencapai
perkembangan pronukleus dari perlakuan kontrol negatif (oosit diinjeksi tanpa
spermatozoa dan aktivasi), kontrol positif (ICSI tanpa aktivasi) dan kombinasi
ICSI dengan aktivasi menggunakan strontium konsentrasi 0 mM, 10 mM, 20 mM
dan 30 mM.
Perkembangan Embrio Hasil ICSI dan Aktivasi dengan Strontium
Pada penelitian ini, variabel respon yang diukur adalah jumlah
keberhasilan sel embrio mencapai perkembangan tahap 2-4 sel, 8-16 sel, morula
dan blastosis dari perlakuan kombinasi ICSI dan aktivasi menggunakan strontium.
Analisa Data
Data kuantitatif akan dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA),
dan apabila terdapat perbedaan diantara perlakuan dilanjutkan dengan uji
perbandingan berganda Duncan (DMRT, Duncan Multiple Range Test). Analisis
data dilakukan dengan mengunakan software SPSS versi 17.

12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Embrio Parthenogenetik
Penelitian pertama ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi strontium
dalam medium aktivasi untuk perkembangan embrio partenogenetik pada sapi
(Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan embrio partenogenetik hasil aktivasi dengan strontium
Jumlah (%) embrio berkembang mencapai

Tidak
berkembang

Kultur
embrio

2-4 sel

8-16 sel

Morula

Blastosis

(n)

(%)

(%)

(%)

(%)

0 mM (S0)

60

2 (3.33)a

0 (0.00)a

0 (0.00)a

0 (0.00)a

58 (96.67)c

10 mM (S1)

62

10 (16.13)b

5 (8.06)b

1 (1.61)ab

0 (0.00)a

52 (83.87)ab

20 mM (S2)

65

15 (23.08)c

9 (13.85)b

4 (6.15)b

2 (3.08)b

50 (76.92)a

30 mM (S3)

63

9 (14.29)b

5 (7.94)b

2 (3.17)ab

0 (0.00)a

54 (85.71)b

Perlakuan
SrCl2

a, b, c

(%)

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P