Profil kromatografi cair kinerja tinggi ekstrak tempuyung (Sonchus arvensis L.) dan toksisitasnya terhadap Artemia salina

ABSTRAK
ANITA PAULINA TAMBUNAN. Profil Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Ekstrak Tempuyung (Sonchus arvensis L.) dan Toksisitasnya Terhadap Artemia
salina. Dibimbing oleh LATIFAH K. DARUSMAN dan IRMANIDA
BATUBARA.
Tempuyung (Sonchus arvensis) merupakan salah satu tanaman herbal
yang berpotensi sebagai antikanker. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat
potensi ekstrak S. arvensis sebagai antikanker berdasarkan toksisitasnya terhadap
Artemia salina dan juga mendapatkan profil ekstrak S. arvensis paling berpotensi
pada kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Tanaman S. arvensis diambil dari 5
daerah berbeda di Pulau Jawa. Tanaman S. arvensis diekstraksi dengan pelarut
metanol 70% dan etanol 70% dengan metode maserasi selama 3 jam. Hasil uji
fitokimia menunjukkan bahwa S. arvensis positif mengandung saponin, flavonoid,
steroid, dan tanin. Hasil uji toksisitas S. arvensis Solo terhadap A. salina
menunjukkan nilai LC50 ekstrak etanol 70% (325.63 ppm) lebih toksik daripada
ekstrak metanol 70% (766.44 ppm). Analisis profil ekstrak etanol 70% S. arvensis
Solo dengan KCKT dilakukan dengan metode isokratik dan gradien dengan fase
gerak metanol-asam asetat 0.01% (v/v). Berdasarkan kromatogram yang
diperoleh, pada metode gradien dihasilkan 3−7 puncak sehingga menunjukkan
profil yang lebih baik untuk sidik jari dibandingkan dengan metode isokratik yang
hanya menghasilkan 1−4 puncak.


ABSTRACT
ANITA PAULINA TAMBUNAN. High Performance Liquid Chromatography
Profile of Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Extract and Its Toxicity to Artemia
salina. Supervised by: LATIFAH K. DARUSMAN and IRMANIDA
BATUBARA.
Tempuyung (Sonchus arvensis) is one of herbal plants which has anticancer
potency. The aim of this research are to investigate the anticancer potency of S.
arvensis based on its toxicity against Artemia salina and to obtain high
performance liquid chromatography (HPLC) profile of the most potent S.
arvensis. S. arvensis was collected from 5 different places in Java Island. Each
collected sample was extracted with methanol 70% and ethanol 70% by
maceration method for 3 hours. Phytochemical test results showed that S. arvensis
contained saponins, flavonoids, steroids, and tannins. Toxicity results against A.
salina showed that LC50 of S. arvensis 70% ethanol extract (325.63 ppm) was
more toxic than 70% methanol extract (766.44 ppm). HPLC profile of S. arvensis
Solo ethanol 70% extract was performed by isocratic and gradient method using
methanol-acetic acid 0.01% (v/v) as the mobile phase. Based on the
chromatogram, in the gradient method 3−7 peaks were obtained, therefore showed
better profile for fingerprint compared with isocratic method which produced only

1−4 peaks.

 

PENDAHULUAN
Pola hidup manusia yang tidak seimbang
menyebabkan tingginya pertumbuhan kanker
di dunia. Metode terapi yang lazim dilakukan
selama ini untuk mengatasi kanker adalah
radiasi dan kemoterapi. Metode ini
membutuhkan biaya yang mahal dalam proses
pengobatannya. Pendekatan yang dilakukan
untuk mengatasi hal tersebut adalah
penggunaan bahan alam sebagai alternatif
agen antikanker. Menurut Depkes RI, definisi
tanaman
obat
Indonesia
sebagaimana
tercantum

dalam
SK
Menkes
No.
149/SK/Menkes/IV/1978 ialah tanaman atau
bagian tanaman yang digunakan sebagai
bahan obat tradisional atau jamu. Selain itu,
tanaman obat dapat digunakan sebagai
formula bahan baku obat yang diekstraksikan
dan ekstrak yang dihasilkan dapat digunakan
sebagai obat (Siswanto et al. 1997).
Rosita dan Moko (1993) melaporkan
bahwa tempuyung (Sonchus arvensis)
merupakan tanaman obat potensial di
Indonesia sebagai bahan baku industri obat
modern maupun tradisional. Tanaman ini
memiliki banyak khasiat, di antaranya untuk
mengobati asam urat, diuretik, batu ginjal,
kencing batu, bengkak, batuk, asma, bronkitis,
dan berpotensi sebagai antikanker. Hal ini

disebabkan S. arvensis mengandung banyak
senyawa bioaktif, seperti golongan alkaloid,
flavonoid, saponin, dan tanin. Senyawaan
tersebut sering digunakan dalam dunia
pengobatan (Khurniasari 2004).
Senyawa yang diduga memiliki aktivitas
antikanker biasanya diujikan terlebih dahulu
dengan metode uji letalitas larva udang
(BSLT) menggunakan larva udang Artemia
salina sebagai hewan uji. Metode ini
merupakan salah satu metode yang banyak
digunakan
untuk
pencarian
senyawa
antikanker baru yang berasal dari tanaman.
Hasil uji toksisitas dengan metode ini telah
terbukti memiliki korelasi dengan daya
sitotoksik senyawa antikanker (Meyer et al.
1982). Penelitian ini bertujuan mencari

manfaat lain S. arvensis terutama di bidang
pengobatan sebagai senyawa antikanker
berdasarkan toksisitasnya terhadap A. salina
dengan uji in vitro metode BSLT.

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Obat
Penggunaan obat tradisional atau jamu di
masyarakat merupakan bentuk pemeliharaan
dan peningkatan taraf kesehatan, serta
merupakan warisan budaya turun-temurun
masyarakat Indonesia. Obat tradisional telah
menjadi bagian integral dari kehidupan
Indonesia. Untuk mengembangkan dan
mempertanggungjawabkan pemakaian obat
tradisional tersebut, dilakukan beberapa
pengujian ilmiah tentang khasiat dan
keamanannya (Wijayakusuma et al. 1992).
S. arvensis (Gambar 1) merupakan salah
satu tanaman obat asli Indonesia. Tanaman ini

tumbuh liar di tempat terbuka yang terkena
sinar matahari atau sedikit terlindung, seperti
tebing-tebing, tepi saluran air, atau tanah
telantar, dan terkadang ditanam sebagai
tanaman obat. Tanaman yang berasal dari
Eurasia ini bisa ditemukan pada daerah yang
banyak turun hujan pada ketinggian 50–1.650
m dpl. Tanaman ini mengandung getah putih
dengan akar tunggang yang kuat, batang
berongga, dan berusuk (Iskandar 2007).

Gambar 1

Tanaman tempuyung (Sonchus
arvensis) koleksi Pusat Studi
Biofarmaka IPB (2010).

Ekstrak S. arvensis memiliki beberapa
efek farmakologi, salah satunya dapat
digunakan sebagai antikanker. Hal ini

disebabkan kandungan metabolit sekunder
flavonoid dalam S. arvensis yang diduga kuat
sebagai
senyawa
bioaktif
antikanker.
Mekanisme penghambatan sel kanker oleh
flavonoid adalah dengan menduduki tempat
pengikatan adenosin trifosfat (ATP) dari
protein kinase, sehingga menurunkan aktivitas
protein kinasenya. Protein kinase merupakan
enzim yang berperan penting dalam transduksi
sinyal yang memacu siklus perbanyakan pada
sel-sel kanker (Hanahan & Weinberg 2000).

1
 

 


PENDAHULUAN
Pola hidup manusia yang tidak seimbang
menyebabkan tingginya pertumbuhan kanker
di dunia. Metode terapi yang lazim dilakukan
selama ini untuk mengatasi kanker adalah
radiasi dan kemoterapi. Metode ini
membutuhkan biaya yang mahal dalam proses
pengobatannya. Pendekatan yang dilakukan
untuk mengatasi hal tersebut adalah
penggunaan bahan alam sebagai alternatif
agen antikanker. Menurut Depkes RI, definisi
tanaman
obat
Indonesia
sebagaimana
tercantum
dalam
SK
Menkes
No.

149/SK/Menkes/IV/1978 ialah tanaman atau
bagian tanaman yang digunakan sebagai
bahan obat tradisional atau jamu. Selain itu,
tanaman obat dapat digunakan sebagai
formula bahan baku obat yang diekstraksikan
dan ekstrak yang dihasilkan dapat digunakan
sebagai obat (Siswanto et al. 1997).
Rosita dan Moko (1993) melaporkan
bahwa tempuyung (Sonchus arvensis)
merupakan tanaman obat potensial di
Indonesia sebagai bahan baku industri obat
modern maupun tradisional. Tanaman ini
memiliki banyak khasiat, di antaranya untuk
mengobati asam urat, diuretik, batu ginjal,
kencing batu, bengkak, batuk, asma, bronkitis,
dan berpotensi sebagai antikanker. Hal ini
disebabkan S. arvensis mengandung banyak
senyawa bioaktif, seperti golongan alkaloid,
flavonoid, saponin, dan tanin. Senyawaan
tersebut sering digunakan dalam dunia

pengobatan (Khurniasari 2004).
Senyawa yang diduga memiliki aktivitas
antikanker biasanya diujikan terlebih dahulu
dengan metode uji letalitas larva udang
(BSLT) menggunakan larva udang Artemia
salina sebagai hewan uji. Metode ini
merupakan salah satu metode yang banyak
digunakan
untuk
pencarian
senyawa
antikanker baru yang berasal dari tanaman.
Hasil uji toksisitas dengan metode ini telah
terbukti memiliki korelasi dengan daya
sitotoksik senyawa antikanker (Meyer et al.
1982). Penelitian ini bertujuan mencari
manfaat lain S. arvensis terutama di bidang
pengobatan sebagai senyawa antikanker
berdasarkan toksisitasnya terhadap A. salina
dengan uji in vitro metode BSLT.


TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Obat
Penggunaan obat tradisional atau jamu di
masyarakat merupakan bentuk pemeliharaan
dan peningkatan taraf kesehatan, serta
merupakan warisan budaya turun-temurun
masyarakat Indonesia. Obat tradisional telah
menjadi bagian integral dari kehidupan
Indonesia. Untuk mengembangkan dan
mempertanggungjawabkan pemakaian obat
tradisional tersebut, dilakukan beberapa
pengujian ilmiah tentang khasiat dan
keamanannya (Wijayakusuma et al. 1992).
S. arvensis (Gambar 1) merupakan salah
satu tanaman obat asli Indonesia. Tanaman ini
tumbuh liar di tempat terbuka yang terkena
sinar matahari atau sedikit terlindung, seperti
tebing-tebing, tepi saluran air, atau tanah
telantar, dan terkadang ditanam sebagai
tanaman obat. Tanaman yang berasal dari
Eurasia ini bisa ditemukan pada daerah yang
banyak turun hujan pada ketinggian 50–1.650
m dpl. Tanaman ini mengandung getah putih
dengan akar tunggang yang kuat, batang
berongga, dan berusuk (Iskandar 2007).

Gambar 1

Tanaman tempuyung (Sonchus
arvensis) koleksi Pusat Studi
Biofarmaka IPB (2010).

Ekstrak S. arvensis memiliki beberapa
efek farmakologi, salah satunya dapat
digunakan sebagai antikanker. Hal ini
disebabkan kandungan metabolit sekunder
flavonoid dalam S. arvensis yang diduga kuat
sebagai
senyawa
bioaktif
antikanker.
Mekanisme penghambatan sel kanker oleh
flavonoid adalah dengan menduduki tempat
pengikatan adenosin trifosfat (ATP) dari
protein kinase, sehingga menurunkan aktivitas
protein kinasenya. Protein kinase merupakan
enzim yang berperan penting dalam transduksi
sinyal yang memacu siklus perbanyakan pada
sel-sel kanker (Hanahan & Weinberg 2000).

1
 

 

Tapak dara atau Catharanthus roseus
(Gambar 2) adalah tanaman obat yang telah
lebih dahulu dibuktikan khasiatnya secara
ilmiah sebagai antikanker. Kandungan
senyawa utama dalam C. roseus adalah
vinkristin dan vinblastin (Padua et al. 1999).
Senyawa tersebut akan menekan atau
menghambat
pembelahan
sel
dengan
membekukan protein mikrotubular, terutama
pada metafase (Alexandrova et al. 2000).
Selain itu, C. roseus dapat digunakan untuk
mengobati malaria, sembelit, dan juga kencing
manis.

Ekstrak dalam dunia farmasi didefinisikan
sebagai sediaan kering, kental, atau cair yang
dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati
atau hewani menurut cara yang cocok, di luar
pengaruh cahaya matahari langsung. Sebagai
pengekstrak digunakan air, eter, campuran
etanol dan air. Pengekstrak yang baik
mempunyai kriteria murah dan mudah
diperoleh, stabil secara fisika dan kimia,
bereaksi netral, tidak mudah menguap dan
tidak mudah terbakar, selektif, serta tidak
memengaruhi zat berkhasiat (Rustam 2006).
Fitokimia

Gambar 2 Tanaman tapak dara (Catharanthus
roseus), koleksi Pusat Studi
Biofarmaka IPB (2010).
Ekstraksi
Maserasi merupakan metode perendaman
sampel tumbuhan dengan pelarut organik.
Pada umumnya, digunakan pelarut dengan
molekul relatif kecil. Maserasi dilakukan pada
suhu kamar sehingga pelarut akan mudah
terdistribusi ke dalam sel tumbuhan. Proses ini
sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa
bahan alam, karena dengan merendam sampel
akan terjadi kontak antara sampel tumbuhan
dan pelarut yang cukup lama (Widodo 2007).
Keuntungan ekstraksi dengan maserasi
adalah cara pengerjaan yang mudah dan
peralatan
yang
digunakan
sederhana.
Kelemahan metode ini adalah pengerjaannya
membutuhkan waktu lama dalam prosesnya
maupun dalam mencari pelarut organik yang
sesuai. Pelarut harus dapat melarutkan dengan
baik senyawa yang akan diisolasi dan harus
mempunyai titik didih yang tinggi pula,
sehingga tidak mudah menguap (Manjang
2004). Pemilihan pelarut yang efektif untuk
proses
maserasi
dilakukan
dengan
memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam
dalam pelarut akibat kontak langsung dan
cukup lama dengan sampel (Djarwis 2004).

Bahan
alam
banyak
mengandung
metabolit sekunder diantaranya alkaloid dan
flavonoid. Kedua senyawa tersebut diduga
kuat memiliki bioaktivitas sebagai antikanker.
Alkaloid
memiliki
kemampuan
antimitosis, yaitu kemampuan untuk mengikat
protein tubulin yang menyusun mikrotubulus
dengan cara menghambat atau memblokade
polimerisasi protein ke dalam mikrotubulus
tersebut. Mikrotubulus pada akhirnya hancur
dan kerja enzim telomerase terganggu
sehingga mitosis terhenti pada metafase.
Adanya gangguan tersebut menyebabkan
ukuran telomer pada ujung kromosom tidak
dapat dipertahankan dan terjadi kematian sel
(apoptosis) (Hanahan & Weinberg 2000).
Flavonoid juga memiliki aktivitas sebagai
antikanker. Aktivitas ini disebabkan adanya
gugus OH− pada flavonoid yang berikatan
dengan protein integral membran sel. Ikatan
tersebut menyebabkan terbendungnya transpor
Na+ dan K+ sehingga pemasukan ion Na+ ke
dalam sel tidak terkendali dan menyebabkan
pecahnya membran sel. Pecahnya membran
sel inilah yang menyebabkan kematian sel
(Scheuer 1994).
Sitotoksisitas
Tanaman yang dijadikan sebagai antitumor
atau antikanker harus mengandung senyawa
metabolit sekunder yang aktif dengan 3 sifat
antitoksik, sitostatik, dan antiangiogenesis.
Sifat antitoksik adalah kemampuan untuk
mengeliminasi keganasan racun yang
dihasilkan oleh sel-sel tumor, sedangkan sifat
sitostatik merupakan kemampuan metabolit
sekunder dalam menghambat pertumbuhan sel
tumor dan melisis sel-sel tumor (Murakami et
al. 1996). Sifat antiangiogenesis ialah
kemampuan untuk memutuskan pasokan
makanan dan oksigen dengan menghentikan
aliran darah (Hanahan & Weinberg 2000).

2
 

 

Dalam pencarian bahan bioaktif yang
mempunyai aktivitas antikanker digunakan
beberapa metode penapisan bioaktivitas, di
antaranya metode uji BSLT, uji hambatan
tumor pada lempeng kentang (potato disk
crow gall tumor inhibitor assay), uji
proliferasi kuncup Lemna, serta uji sitotoksik
in vitro dan in vivo (Hidayat 2002). Metode
yang digunakan pada penelitian ini adalah
BSLT yang merupakan metode penapisan
farmakologi awal yang relatif murah dan telah
teruji hasilnya dengan tingkat kepercayaan
95% serta memenuhi syarat untuk analisis
statistika. Metode BSLT pada umumnya
digunakan untuk meneliti toksisitas ekstrak
fungi, tumbuhan, logam berat, substansi
toksin dari sianobakteri, dan pestisida
(Carballo et al. 2002). Meyer et al. (1982) dan
Anderson (1991) melaporkan bahwa suatu
ekstrak menunjukkan toksisitas dalam BSLT
jika ekstrak dapat menyebabkan kematian
50% hewan uji pada konsentrasi kurang dari
1000 ppm.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Metode kromatografi lapis tipis (KLT)
adalah metode kromatografi cair yang paling
sederhana, cepat dalam pemisahan, dan
sensitif (Hostettmann 1986). Pada penelitian
ini, KLT digunakan untuk analisis kualitatif
senyawa flavonoid dalam ekstrak S. arvensis
berdasarkan penafsiran warna bercak dari segi
struktur flavonoid (Lampiran 1).
Identifikasi senyawa pada KLT selain
berdasarkan penafsiran warna bercak, juga
berdasarkan pada nilai Rf. Nilai Rf
didefinisikan sebagai tingkat penahanan suatu
komponen dalam fase diam. Faktor-faktor
yang memengaruhi nilai Rf antara lain struktur
kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat
penyerap dan aktivitasnya, tebal dan kerataan
lapisan penjerap, tingkat kemurnian fase
gerak, tingkat kejenuhan uap, jumlah cuplikan
yang diinginkan, dan suhu (Sastrohamidjojo
1985).
Metode
KLT
memiliki
beberapa
keuntungan dan kerugian. Keuntungannya,
waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama dan
jumlah sampel yang digunakan sedikit (2−20
μg). Adapun kerugiannya adalah tidak efektif
dalam skala besar. Pemakaian dalam skala
besar akan menghabiskan pelat KLT yang
lebih banyak sehingga biaya analisis pun akan
semakin meningkat (Mayo et al. 2000).

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
merupakan
sistem
pemisahan
dengan
kecepatan dan efisiensi yang tinggi, karena
KCKT didukung oleh kemajuan dalam
teknologi kolom, sistem pompa bertekanan
tinggi, dan detektor yang sangat sensitif.
KCKT mampu menganalisis cuplikan secara
kualitatif maupun kuantitatif, baik pada
komponen tunggal maupun campuran.
Adapun kelebihan penggunaan KCKT antara
lain mampu memisahkan molekul-molekul
dari suatu campuran, memiliki resolusi yang
baik, mudah dalam pelaksanaannya, kecepatan
analisis dan kepekaan yang tinggi, dan juga
dapat meminimumkan dekomposisi bahan
yang dianalisis (Putra 2004).
KCKT merupakan kromatografi kolom
yang terbuat dari bahan kemasan dengan
partikel berukuran kecil dan berbentuk teratur.
Karena kehalusan kemasan tersebut, untuk
mendapatkan laju aliran yang memadai,
digunakan tekanan tinggi (5000 lb/inci atau
sekitar 2000 kg/cm). Tekanan tinggi tersebut
juga berfungsi mengirim fase gerak ke dalam
kolom sehingga laju dan efisiensi pemisahan
dapat ditingkatkan (Khopkar 2003).
Metode KCKT dalam analisis tanaman
obat dapat digunakan sebagai uji identitas, uji
kemurnian, penetapan kadar, dan penentuan
profil. Analisis profil KCKT berfungsi
sebagai kendali mutu obat herbal. Hal ini
dapat menjadi pendekatan yang efektif karena
dapat menjelaskan karakteristik obat herbal
secara komprehensif. Profil yang informatif
dan representatif dapat diperoleh melalui
pengoptimuman pelarut ekstraksi dan fase
gerak kromatografi (Wahyuni 2010).

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan antara lain alat
kaca, bejana kromatografi, pelat KLT,
Linomat IV, neraca analitik, neraca digital OHauss, pipet mikro, rotavapor, shaker,
pemanas (heater), spektrofotometer UVTampak Pharmaspec 1700 Shimadzu, dan
KCKT Shimadzu LC-20A.
Bahan-bahan yang digunakan antara lain,
daun tempuyung dan tapak dara, kapas,
metanol, etanol, serbuk Mg, aluminium(III)
klorida, natrium hidroksida, natrium asetat,
campuran natrium asetat dengan asam borat,
HCl pekat, amil alkohol, dietil eter, asam
asetat anhidrat, kloroform, NH4OH, H2SO4

3
 

 

Dalam pencarian bahan bioaktif yang
mempunyai aktivitas antikanker digunakan
beberapa metode penapisan bioaktivitas, di
antaranya metode uji BSLT, uji hambatan
tumor pada lempeng kentang (potato disk
crow gall tumor inhibitor assay), uji
proliferasi kuncup Lemna, serta uji sitotoksik
in vitro dan in vivo (Hidayat 2002). Metode
yang digunakan pada penelitian ini adalah
BSLT yang merupakan metode penapisan
farmakologi awal yang relatif murah dan telah
teruji hasilnya dengan tingkat kepercayaan
95% serta memenuhi syarat untuk analisis
statistika. Metode BSLT pada umumnya
digunakan untuk meneliti toksisitas ekstrak
fungi, tumbuhan, logam berat, substansi
toksin dari sianobakteri, dan pestisida
(Carballo et al. 2002). Meyer et al. (1982) dan
Anderson (1991) melaporkan bahwa suatu
ekstrak menunjukkan toksisitas dalam BSLT
jika ekstrak dapat menyebabkan kematian
50% hewan uji pada konsentrasi kurang dari
1000 ppm.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Metode kromatografi lapis tipis (KLT)
adalah metode kromatografi cair yang paling
sederhana, cepat dalam pemisahan, dan
sensitif (Hostettmann 1986). Pada penelitian
ini, KLT digunakan untuk analisis kualitatif
senyawa flavonoid dalam ekstrak S. arvensis
berdasarkan penafsiran warna bercak dari segi
struktur flavonoid (Lampiran 1).
Identifikasi senyawa pada KLT selain
berdasarkan penafsiran warna bercak, juga
berdasarkan pada nilai Rf. Nilai Rf
didefinisikan sebagai tingkat penahanan suatu
komponen dalam fase diam. Faktor-faktor
yang memengaruhi nilai Rf antara lain struktur
kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat
penyerap dan aktivitasnya, tebal dan kerataan
lapisan penjerap, tingkat kemurnian fase
gerak, tingkat kejenuhan uap, jumlah cuplikan
yang diinginkan, dan suhu (Sastrohamidjojo
1985).
Metode
KLT
memiliki
beberapa
keuntungan dan kerugian. Keuntungannya,
waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama dan
jumlah sampel yang digunakan sedikit (2−20
μg). Adapun kerugiannya adalah tidak efektif
dalam skala besar. Pemakaian dalam skala
besar akan menghabiskan pelat KLT yang
lebih banyak sehingga biaya analisis pun akan
semakin meningkat (Mayo et al. 2000).

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
merupakan
sistem
pemisahan
dengan
kecepatan dan efisiensi yang tinggi, karena
KCKT didukung oleh kemajuan dalam
teknologi kolom, sistem pompa bertekanan
tinggi, dan detektor yang sangat sensitif.
KCKT mampu menganalisis cuplikan secara
kualitatif maupun kuantitatif, baik pada
komponen tunggal maupun campuran.
Adapun kelebihan penggunaan KCKT antara
lain mampu memisahkan molekul-molekul
dari suatu campuran, memiliki resolusi yang
baik, mudah dalam pelaksanaannya, kecepatan
analisis dan kepekaan yang tinggi, dan juga
dapat meminimumkan dekomposisi bahan
yang dianalisis (Putra 2004).
KCKT merupakan kromatografi kolom
yang terbuat dari bahan kemasan dengan
partikel berukuran kecil dan berbentuk teratur.
Karena kehalusan kemasan tersebut, untuk
mendapatkan laju aliran yang memadai,
digunakan tekanan tinggi (5000 lb/inci atau
sekitar 2000 kg/cm). Tekanan tinggi tersebut
juga berfungsi mengirim fase gerak ke dalam
kolom sehingga laju dan efisiensi pemisahan
dapat ditingkatkan (Khopkar 2003).
Metode KCKT dalam analisis tanaman
obat dapat digunakan sebagai uji identitas, uji
kemurnian, penetapan kadar, dan penentuan
profil. Analisis profil KCKT berfungsi
sebagai kendali mutu obat herbal. Hal ini
dapat menjadi pendekatan yang efektif karena
dapat menjelaskan karakteristik obat herbal
secara komprehensif. Profil yang informatif
dan representatif dapat diperoleh melalui
pengoptimuman pelarut ekstraksi dan fase
gerak kromatografi (Wahyuni 2010).

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan antara lain alat
kaca, bejana kromatografi, pelat KLT,
Linomat IV, neraca analitik, neraca digital OHauss, pipet mikro, rotavapor, shaker,
pemanas (heater), spektrofotometer UVTampak Pharmaspec 1700 Shimadzu, dan
KCKT Shimadzu LC-20A.
Bahan-bahan yang digunakan antara lain,
daun tempuyung dan tapak dara, kapas,
metanol, etanol, serbuk Mg, aluminium(III)
klorida, natrium hidroksida, natrium asetat,
campuran natrium asetat dengan asam borat,
HCl pekat, amil alkohol, dietil eter, asam
asetat anhidrat, kloroform, NH4OH, H2SO4

3
 

 

pekat, H2SO4 2M, pereaksi Mayer, pereaksi
Wagner, pereaksi Dragendorf, akuades,
akuabides, FeCl3, dan asam asetat.
Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap:
penentuan kadar air, ekstraksi, uji fitokimia,
uji toksisitas A. salina, uji KLT, uji KCKT,
dan uji statistik. Diagram alir penelitian
disajikan dalam Lampiran 2.
Pengumpulan Tumbuhan Obat dan
Pembuatan Simplisia
Daun tempuyung dari 5 daerah berbeda,
yaitu aksesi asal Pusat Studi Biofarmaka
(PSB, Bogor I), Gunung Batu (Bogor II),
Balitro (Bogor III), Solo, dan Wonogiri
masing-masing sebanyak 0.50 kg. Daun tapak
dara diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka
(PSB, Bogor I) sebanyak 0.50 kg. Daun-daun
tersebut dicuci bersih dengan air mengalir,
kemudian dikeringkan di udara terbuka dan
dihaluskan menjadi serbuk (dirajang) yang
disebut simplisia (Djamal 1990).
Penetapan Kadar Air (AOAC 1990)
Pinggan porselen dikeringkan pada suhu
105 oC selama 30 menit kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Serbuk simplisia kering sebanyak 3 g
dimasukkan ke dalamnya, dikeringkan pada
suhu 105 oC selama 3 jam, lalu didinginkan
dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan
dan penimbangan dilakukan berulang-ulang
sampai diperoleh bobot yang tetap.
Ekstraksi Simplisia secara Maserasi
dengan Metanol 70% dan Etanol 70%
(Suwandi 2008)
Simplisia tempuyung dari 5 daerah
berbeda dan simplisia tapak dara masingmasing dimaserasi dengan metanol 70% dan
etanol 70% sampai terendam pada suhu
kamar. Campuran diaduk selama 3 jam
menggunakan
shaker
sampai
ekstrak
berwarna hitam atau hijau kehitaman. Setelah
itu, filtrat dipisahkan dari residu dengan
penyaringan menggunakan corong yang
lubangnya ditutup kapas. Filtrat tersebut
kemudian dipekatkan dengan alat pemusing
sampai menjadi ekstrak kental, kemudian
ekstrak tersebut disimpan dalam botol gelap.
Uji fitokimia (Harbone 1987)
Uji Alkaloid. Sebanyak 1 g sampel
dilarutkan dalam 10 mL kloroform dan
beberapa tetes NH4OH kemudian disaring

dalam tabung reaksi bertutup. Ekstrak
kloroform dalam tabung reaksi dikocok
dengan 10 tetes H2SO4 2M, dan lapisan
asamnya dipisahkan ke dalam tabung reaksi
lain. Lapisan asam ini diteteskan pada pelat
tetes dan ditambahkan pereaksi Mayer,
Wagner, dan Dragendorf yang akan
menimbulkan endapan dengan warna berturutturut putih, cokelat, dan jingga jika terdapat
alkaloid.
Uji Flavonoid. Sebanyak 1 g sampel
dilarutkan dalam 100 mL air panas. Kemudian
campuran dididihkan selama 5 menit. Setelah
itu, campuran disaring dan filtratnya
digunakan untuk pengujian. Sebanyak 10 mL
filtrat ditambahkan 0.5 g serbuk magnesium, 2
mL alkohol klorhidrat (campuran HCl 37%
dan etanol 95% dengan nisbah 1:1), dan 2 mL
amil alkohol. Kemudian filtrat dikocok
dengan kuat. Terbentuknya warna merah,
kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol
menunjukkan adanya flavonoid.
Uji Saponin. Sebanyak 1 g sampel
masing-masing dimasukkan ke dalam gelas
piala kemudian ditambahkan 100 mL air
panas dan dididihkan selama 5 menit. Setelah
itu, campuran disaring dan filtrat dimasukkan
ke dalam tabung reaksi bertutup. Filtrat
dikocok kuat selama 10 detik, lalu didiamkan
selama 10 menit. Saponin ditunjukkan dengan
terbentuknya buih yang stabil.
Uji Tanin. Sebanyak 1 g sampel
ditambahkan 100 mL air panas, dididihkan
selama 5 menit, dan disaring. Sebagian filtrat
yang diperoleh ditambah larutan besi(III)
klorida. Terbentuknya warna hitam kehijauan
menunjukkan adanya tanin.
Uji Triterpenoid dan Steroid. Sebanyak
1 g sampel dilarutkan dengan 25 mL etanol
panas 50 oC, disaring ke dalam pinggan
porselen, dan diuapkan sampai kering. Residu
ditambahkan eter dan ekstrak eter dipindahkan
ke dalam lempeng tetes lalu ditambahkan 3
tetes anhidrida asam asetat dan 1 tetes H2SO4
pekat (uji Lieberman-Buchard). Warna merah
atau ungu pada ekstrak eter menunjukkan
adanya triterpenoid, sedangkan warna hijau
atau biru menunjukkan adanya steroid.
Uji Toksisitas (Juniarti et al. 2009)
Sebanyak 50 mg kista A. salina
dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air
laut yang sudah disaring. Setelah itu, A. salina
diaerasi selama 48 jam di bawah pencahayaan
lampu supaya menetas sempurna. Larva yang
sudah menetas diambil untuk digunakan
dalam uji toksisitas terhadap A. salina.

4
 

 

Sebanyak 10 ekor larva A. salina
dimasukkan ke dalam vial yang berisi air laut.
Setelah itu, masing-masing vial ditambahkan
larutan ekstrak (metanol 70% dan etanol 70%)
dari ekstrak S. arvensis dan C. roseus,
sehingga konsentrasi akhirnya menjadi 1000,
500, 100, dan 10 ppm. Kemudian, campuran
didiamkan selama 24 jam. Jumlah larva yang
mati dihitung dengan bantuan kaca pembesar.
Persen mortalitas kuantitatif diolah untuk
memperoleh konsentrasi letal 50% (LC50)
dengan selang kepercayaan 95%. Uji statistik
dilakukan dengan uji Duncan.
Pencarian Eluen Terbaik
Analisis eluen terbaik dilakukan dengan
menggunakan pelat KLT. Pelat KLT GF254
digunakan sebagai fase diam. Berbagai eluen
yang memiliki tingkat kepolaran berbeda-beda
diujikan, yaitu kloroform, metanol, asam
asetat, etil asetat, dan butanol. Noda
pemisahan dideteksi di bawah lampu
ultraviolet (UV) 254 dan 366 nm. Eluen
campuran yang lazim digunakan untuk deteksi
senyawaan flavonoid juga diujikan, antara lain
klorofom-metanol (96:4), etil asetat-asam
asetat-air
(6:1:1),
kloroform-metanol-air
(65:45:12), dan butanol-asam asetat-air (4:1:5)
(Markham 1988).
Preparasi KLT
Berbagai larutan ekstrak tempuyung dan
tapak dara diaplikasikan pada pelat KLT
dengan alat Linomat IV menggunakan
pengaturan lebar pita 5 mm, ukuran pelat 10
cm × 10 cm, dan laju alir 50 μL/det. Posisi
mulai 10 mm dari dasar pelat dan 10 mm dari
kedua sisi pelat. Pelat dielusi dengan eluen
terbaik yang sebelumnya telah dijenuhkan
dalam bejana kromatografi ukuran sedang 20
cm × 20 cm. Identifikasi senyawa golongan
flavonoid dilakukan dengan mengamati warna
flouresens di bawah sinar UV pada 254 dan
366 nm, sebelum dan sesudah penambahan
uap amonia terhadap bercak isolat yang
diperoleh.
Profil KCKT Tempuyung
Analisis
kualitatif
untuk
ekstrak
tempuyung paling aktif dilakukan dengan
KCKT merek Shimadzu LC-20A yang
dihubungkan dengan kolom nukleosil C18
(150 mm × 4,6 mm i.d: ukuran partikel 5 μm).
Fase gerak yang digunakan berupa campuran
metanol dan asam asetat 0.01% (v/v) secara
gradien. Metode gradien yang digunakan
dapat dilihat pada Gambar 3. Kecepatan aliran
1 mL/menit. Panjang gelombang UV yang

digunakan untuk mendeteksi senyawa yang
terdapat dalam ekstrak S. arvensis adalah 360,
350, dan 662 nm. Sebelum analisis dilakukan,
fase gerak dan larutan sampel disaring terlebih
dahulu.

Gambar 3 Perubahan konsentrasi fase gerak
metanol pada metode gradien
KCKT ekstrak etanol 70% S.
arvensis Solo.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi
Pelarut merupakan salah satu faktor
penting dalam menghasilkan mutu ekstrak
yang baik (Vijesekera 1991). Pelarut yang
dipilih adalah yang memiliki daya larut tinggi,
tidak berbahaya, dan tidak beracun. Menurut
Depkes RI (1996), pelarut yang dipilih harus
menguntungkan, artinya dalam jumlah sedikit
sudah dapat melarutkan zat aktif suatu bahan.
Selain itu, waktu menguapkan pelarut harus
singkat sehingga kemungkinan terjadinya
kerusakan zat aktif yang tidak tahan panas
dapat diperkecil. Kirk dan Othmer (1951)
menyatakan bahwa pelarut yang digunakan
juga harus selektif terhadap bahan aktif yang
diinginkan. Berdasarkan kriteria pemilihan
pelarut tersebut, pelarut metanol 70% dan
etanol 70% dipilih untuk mengekstraksi
tempuyung (S. arvensis) dan tapak dara (C.
roseus) untuk mendapatkan mutu ekstrak yang
baik.
Pemilihan pelarut metanol 70% dan etanol
70% selain berdasarkan kriteria pelarut yang
baik, juga mengacu pada metode Suwandi
(2008). Metode ini menitikberatkan kepada
sifat polar metanol 70% dan etanol 70%
dalam mengekstraksi senyawa flavonoid yang
umumnya bersifat polar. Dengan demikian,
diharapkan banyak senyawa flavonoid dapat
terekstraksi. Selain itu, kedua pelarut baik
untuk ekstraksi pendahuluan, karena memiliki
gugus hidroksil polar dan gugus alkil
nonpolar. Dengan adanya perbedaan tingkat
kepolaran ini, diharapkan semua senyawa

5
 

 

Sebanyak 10 ekor larva A. salina
dimasukkan ke dalam vial yang berisi air laut.
Setelah itu, masing-masing vial ditambahkan
larutan ekstrak (metanol 70% dan etanol 70%)
dari ekstrak S. arvensis dan C. roseus,
sehingga konsentrasi akhirnya menjadi 1000,
500, 100, dan 10 ppm. Kemudian, campuran
didiamkan selama 24 jam. Jumlah larva yang
mati dihitung dengan bantuan kaca pembesar.
Persen mortalitas kuantitatif diolah untuk
memperoleh konsentrasi letal 50% (LC50)
dengan selang kepercayaan 95%. Uji statistik
dilakukan dengan uji Duncan.
Pencarian Eluen Terbaik
Analisis eluen terbaik dilakukan dengan
menggunakan pelat KLT. Pelat KLT GF254
digunakan sebagai fase diam. Berbagai eluen
yang memiliki tingkat kepolaran berbeda-beda
diujikan, yaitu kloroform, metanol, asam
asetat, etil asetat, dan butanol. Noda
pemisahan dideteksi di bawah lampu
ultraviolet (UV) 254 dan 366 nm. Eluen
campuran yang lazim digunakan untuk deteksi
senyawaan flavonoid juga diujikan, antara lain
klorofom-metanol (96:4), etil asetat-asam
asetat-air
(6:1:1),
kloroform-metanol-air
(65:45:12), dan butanol-asam asetat-air (4:1:5)
(Markham 1988).
Preparasi KLT
Berbagai larutan ekstrak tempuyung dan
tapak dara diaplikasikan pada pelat KLT
dengan alat Linomat IV menggunakan
pengaturan lebar pita 5 mm, ukuran pelat 10
cm × 10 cm, dan laju alir 50 μL/det. Posisi
mulai 10 mm dari dasar pelat dan 10 mm dari
kedua sisi pelat. Pelat dielusi dengan eluen
terbaik yang sebelumnya telah dijenuhkan
dalam bejana kromatografi ukuran sedang 20
cm × 20 cm. Identifikasi senyawa golongan
flavonoid dilakukan dengan mengamati warna
flouresens di bawah sinar UV pada 254 dan
366 nm, sebelum dan sesudah penambahan
uap amonia terhadap bercak isolat yang
diperoleh.
Profil KCKT Tempuyung
Analisis
kualitatif
untuk
ekstrak
tempuyung paling aktif dilakukan dengan
KCKT merek Shimadzu LC-20A yang
dihubungkan dengan kolom nukleosil C18
(150 mm × 4,6 mm i.d: ukuran partikel 5 μm).
Fase gerak yang digunakan berupa campuran
metanol dan asam asetat 0.01% (v/v) secara
gradien. Metode gradien yang digunakan
dapat dilihat pada Gambar 3. Kecepatan aliran
1 mL/menit. Panjang gelombang UV yang

digunakan untuk mendeteksi senyawa yang
terdapat dalam ekstrak S. arvensis adalah 360,
350, dan 662 nm. Sebelum analisis dilakukan,
fase gerak dan larutan sampel disaring terlebih
dahulu.

Gambar 3 Perubahan konsentrasi fase gerak
metanol pada metode gradien
KCKT ekstrak etanol 70% S.
arvensis Solo.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi
Pelarut merupakan salah satu faktor
penting dalam menghasilkan mutu ekstrak
yang baik (Vijesekera 1991). Pelarut yang
dipilih adalah yang memiliki daya larut tinggi,
tidak berbahaya, dan tidak beracun. Menurut
Depkes RI (1996), pelarut yang dipilih harus
menguntungkan, artinya dalam jumlah sedikit
sudah dapat melarutkan zat aktif suatu bahan.
Selain itu, waktu menguapkan pelarut harus
singkat sehingga kemungkinan terjadinya
kerusakan zat aktif yang tidak tahan panas
dapat diperkecil. Kirk dan Othmer (1951)
menyatakan bahwa pelarut yang digunakan
juga harus selektif terhadap bahan aktif yang
diinginkan. Berdasarkan kriteria pemilihan
pelarut tersebut, pelarut metanol 70% dan
etanol 70% dipilih untuk mengekstraksi
tempuyung (S. arvensis) dan tapak dara (C.
roseus) untuk mendapatkan mutu ekstrak yang
baik.
Pemilihan pelarut metanol 70% dan etanol
70% selain berdasarkan kriteria pelarut yang
baik, juga mengacu pada metode Suwandi
(2008). Metode ini menitikberatkan kepada
sifat polar metanol 70% dan etanol 70%
dalam mengekstraksi senyawa flavonoid yang
umumnya bersifat polar. Dengan demikian,
diharapkan banyak senyawa flavonoid dapat
terekstraksi. Selain itu, kedua pelarut baik
untuk ekstraksi pendahuluan, karena memiliki
gugus hidroksil polar dan gugus alkil
nonpolar. Dengan adanya perbedaan tingkat
kepolaran ini, diharapkan semua senyawa

5
 

 

bioaktif dalam S. arvensis dan C. roseus akan
terekstraksi dengan baik ke dalam pelarut
metanol 70% dan etanol 70%.
Analisis rendemen ekstrak digunakan
untuk mengetahui persentase ekstrak yang
dihasilkan dari setiap gram daun segar yang
diambil dari simplisia S. arvensis dan C.
roseus. Kisaran rendemen ekstrak metanol
70% S. arvensis yang diperoleh berkisar
3−6%, sedangkan rendemen ekstrak etanol
70% berkisar 3−7%. Lebih tingginya
rendemen ekstrak metanol 70% dapat
disebabkan oleh sifat kepolaran metanol 70%
yang lebih tinggi daripada etanol 70%,
sehingga dapat lebih banyak mengekstrasi
aglikon flavonoid yang bersifat polar
(Harwood dan Moody 1989). Data terperinci
S. arvensis dan C. roseus ditunjukkan pada
Tabel 1.

perbedaan senyawa bioaktif yang terkandung
di dalamnya. Berdasarkan hal itu, dapat
dikatakan bahwa asal tanaman juga
berpengaruh nyata terhadap rendemen yang
dihasilkan.

Tabel 1 Rendemen ekstrak S. arvensis dan C.
roseus

Tabel 2

Sampel

Tempuyung
Bogor I
Bogor II
Bogor III
Solo
Wonogiri
Tapak dara
Bogor I
Keterangan:

Kadar air
(%)

Rerata rendemen
Ekstrak
(%b/b) ± SD
MeOH
EtOH
70%
70%

9.53 ±
0.10b
10.64 ±
0.10d
9.27 ±
0.23b
8.25 ±
0.08a
9.59 ±
0.10b

5.78 ±
0.20cd
6.48 ±
0.20d
6.11 ±
0.10bc
5.48 ±
0.07b
3.44 ±
0.38a

7.80 ±
0.24e
6.27 ±
0.20d
5.56 ±
0.10c
4.36 ±
0.06b
3.22 ±
0.24a

9.59 ±
0.10bc

10.25 ±
0.07e

14.32 ±
0.11f

Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang
berbeda
pada
lajur
yang
sama
menunjukkan hasil yang berbeda nyata
dengan uji Duncan pada taraf kepercayaan
95%.

Tabel 1 menunjukkan bahwa tiap-tiap
daerah asal sampel tanaman, baik S. arvensis
maupun C. roseus, memberikan rendemen
yang berbeda nyata. Perbedaan terlihat dari
perbedaan huruf yang tertera pada tabel.
Sebagai contoh, rendemen ekstrak metanol
70% dari S. arvensis Wonogiri (3.44 ± 0.38a)
berbeda nyata dengan rendemen S. arvensis
Solo (5.48 ± 0.07b). Perbedaan dapat
disebabkan oleh adanya perbedaan struktur
geografis, seperti suhu, tinggi permukaan
tanah, dan curah hujan (Ubaidillah 2010).
Perbedaan dapat pula disebabkan oleh

Uji Fitokimia
Berdasarkan uji fitokimia, diketahui
bahwa S. arvensis (Solo) positif mengandung
flavonoid, sedangkan C. roseus (PSB) positif
mengandung alkaloid (Tabel 2). C. roseus
juga positif mengandung flavonoid, tetapi
dengan intensitas warna yang lebih lemah.
Hal ini diduga karena kandungan senyawa
flavonoid dalam S. arvensis lebih banyak.
Perbedaan juga dapat disebabkan oleh
perbedaan jenis flavonoid yang terkandung di
dalam tanaman.
Uji fitokimia serbuk tanaman S.
arvensis (Solo) dan C. roseus
(PSB)
Hasil Uji
Uji Fitokimia
Tempuyung
Tapak Dara
Alkaloid
++
Saponin
+
+
Flavonoid
++
+
Triterpenoid
+
Steroid
+
Tanin
+
+
Keterangan:

Tanda (+) menunjukkan tingkat
intensitas warna
Tanda (-) menunjukkan tidak ada
senyawa uji

Penapisan fitokimia adalah pemeriksaan
kimia secara kualitatif terhadap senyawa
organik bioaktif yang terdapat dalam
simplisia
tumbuhan
seperti
alkaloid,
flavonoid, terpenoid, tanin, dan steroid
(Markham 1988). Dalam penelitian ini,
pemeriksaan fitokimia dapat membantu
langkah-langkah
fitofarmakologi,
yaitu
membantu mengetahui ada tidaknya senyawa
flavonoid di dalam S. arvensis yang dapat
dikaitkan dengan aktivitas biologisnya
sebagai antikanker melalui toksisitasnya
terhadap A. salina.
Uji Golongan Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan fenolik
yang dapat menyerap di daerah sinar UV
pendek. Sinar UV akan membantu
penampakan bercak pada pelat gel silika.
Oleh karena itu, penampakan bercak senyawa
flavonoid ekstrak S. arvensis pada KLT

6
 

 

dilakukan pada panjang gelombang 254 nm
dan 366 nm.
Flavonoid diduga merupakan senyawa
bioaktif utama pada ekstrak S. arvensis yang
berperan sebagai antikanker. Senyawa
flavonoid pada umumnya adalah senyawa
fenolik, yang umumnya akan berubah warna
apabila ditambah basa. Oleh karena itu,
penambahan basa berupa uap amoniak
berfungsi memperjelas penampakan bercak
yang ditandai dengan adanya perubahan
warna. Perubahan warna tersebut merupakan
ciri khas suatu flavonoid tertentu. Perubahan
warna antara golongan flavonoid satu dan
lainnya akan berbeda.
Uji golongan flavonoid terhadap ekstrak
etanol 70% S. arvensis Solo memperlihatkan
golongan flavon dengan nilai Rf 0.15; 0.25;
dan 0.50. Selain itu, terdapat juga golongan
kalkon dengan nilai Rf 0.15 dan 0.25. Data
terperinci golongan flavonoid dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3

Penafsiran golongan flavonoid
ekstrak S. arvensis Solo etanol
70% (Markham 1988)
Warna pita

Tanpa
uap

(+)
Uap

Dugaan

Nilai Rf ekstrak
MeOH
EtOH
70%
70%
0.14
0.15

NH3

NH3

Biru
gelap

Biru
gelap

Flavon
Flavonol
isoflavon
Kalkon

Hitam

Hitam

Flavon,
kalkon
flavonol

0.20

0.25

Biru
Langit

Biru
Langit

Flavon
Flavonol

0.54

0.50

Hasil uji golongan flavonoid memperkuat
hasil uji sebelumnya (Akbar 2010), yang
dilakukan dengan penambahan berbagai
pereaksi. Berdasarkan kedua hasil uji
tersebut, dapat dikatakan bahwa senyawa
bioaktif utama pada S. arvensis, khususnya
ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo adalah
flavonoid, yakni golongan flavon dan
flavonol sebagai golongan flavonoid mayor,
dan kalkon sebagai golongan flavonoid
minor.
Uji Toksisitas Larva Udang
Uji letalitas larva udang (BSLT) dapat
digunakan untuk menduga aktivits suatu
bahan uji dalam membunuh sel kanker, hama
penyakit, atau menduga efek farmakologinya.

Pada penelitian ini, uji BSLT bertujuan
mengetahui efek farmakologi ekstrak S.
arvensis dan C. roseus berdasarkan
toksisitasnya terhadap hewan uji A. salina.
Toksisitas ekstrak tersebut dilihat dari
kemampuannya dalam membunuh 50%
hewan uji (LC50) dengan tingkat kepercayaan
95% (Rahman 1991).
Dalam uji toksisitas ekstrak S. arvensis
dan C. roseus, digunakan kontrol negatif
yang berfungsi menguji pengaruh pelarut
metanol 70% dan etanol 70%. Kontrol
diharapkan tidak membunuh A. salina.
Walaupun demikian, dalam percobaan
terdapat beberapa A. salina yang mati.
Kematian A. salina pada kontrol negatif
diduga diakibatkan penurunan aktivitas A..
salina. Hal ini ditandai dengan pergerakan A.
salina yang terus-menerus berada di dasar
tabung percobaan. Dengan demikian,
kematian A. salina pada kontrol negatif
merupakan kematian yang alami.
Kematian A. salina pada kontrol negatif
berbeda dari kematian A. salina yang diberi
perlakuan. Penambahan ekstrak S. arvensis
dan C. roseus mengakibatkan A. salina
mengalami disorientasi gerak (pergerakannya
tidak teratur). A. salina tetap berputar-putar
pada satu titik, dan pada akhirnya mengalami
kematian.
Kematian
tersebut
diduga
diakibatkan oleh senyawa bioaktif yang
terkandung dalam S. arvensis (flavonoid) dan
C. roseus (alkaloid).
Meyer (1982) dan Anderson (1991)
melaporkan
bahwa
suatu
ekstrak
menunjukkan aktivitas ketoksikan dalam uji
BSLT jika dapat mematikan 50% hewan uji
pada konsentrasi 1000 ppm. Ekstrak
dikatakan sangat toksik bila memiliki nilai
LC50 di bawah 30 ppm dan dianggap tidak
toksik apabila nilai LC50 di atas 1000 ppm.
Karena itu, dapat dikatakan ekstrak metanol
70% S. arvensis dari Bogor I (1934.47 ppm),
Bogor II (1010.51 ppm), Bogor III (1107.34
ppm), dan Wonogiri (1020.89 ppm) tidak
toksik. Nilai LC50 selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan bahwa ekstrak S.
arvensis Solo memiliki toksisitas lebih tinggi
di antara ekstrak S. arvensis lainnya, baik
ekstrak metanol 70% maupun etanol 70%.
Ekstrak etanol 70% (325.63 ppm) lebih toksik
daripada ekstrak metanol 70% (766.44 ppm).
Semakin rendah nilai LC50 suatu ekstrak,
semakin rendah konsentrasi ekstrak yang
diperlukan untuk dapat menyebabkan
kematian A. salina sebagai hewan uji. Dengan

7
 

 

kata lain, ekstrak tersebut semakin toksik
(Meyer et al. 1982).
Tabel 4 Nilai rerata LC50 ekstrak metanol
70% dan etanol 70% pada S.
arvensis dan C. roseus
Ekstrak
Tempuyung
Bogor I
Bogor II
Bogor III
Solo
Wonogiri
Tapak dara
Bogor I
Keterangan:

LC50 (ppm)
Metanol
Etanol 70%
70%
1934.47 ±
8.08f
1010.51 ±
9.77c
1107.34 ±
12.74e
766.44 ±
20.63b
1020.89 ±
0.14cd

410.07 ±
3.89d
449.76 ±
5.50f
426.52 ±
3.31e
325.63 ±
4.94b
386.61 ±
9.97c

729.48 ±
4.36a

310.34 ±
3.53a

Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang
berbeda
pada
lajur
yang
sama
menunjukkan hasil yang berbeda nyata
dengan uji Duncan pada taraf kepercayaan
95%

Toksisitas ekstrak etanol 70% S. arvensis
Solo diduga berasal dari adanya senyawa
flavonoid golongan flavon, flavonon, dan
kalkon sebagaimana diperlihatkan oleh hasil
uji golongan flavonoid. Golongan-golongan
tersebut diduga kuat merupakan senyawa
bioaktif utama yang berperan sebagai
antikanker.
Flavon, flavonol, kalkon, dan isoflavon
dalam ekstrak S. arvensis merupakan aglikon
flavonoid yang kurang polar, disebabkan oleh
adanya gugus metoksil (Harborne 1987).
Gugus metoksil lebih larut dalam pelarut yang
kurang polar. Dengan demikian, aglikon
flavonoid dalam ekstrak S. arvensis akan lebih
larut dalam pelarut etanol 70%. Hal ini dapat
menyebabkan toksisitas ekstrak etanol 70%
lebih tinggi daripada metanol 70%.
Tanaman C. roseus pada umumnya
dikenal dalam pengobatan tradisional dalam
menurunkan kadar glukosa dalam darah.
Namun, pada pemeriksaan selanjutnya, C.
roseus terbukti menunjukkan aktivitas sebagai
antikanker (Lingga 2005). Zat aktif dalam C.
roseus yang berfungsi sebagai antikanker
adalah golongan alkaloid seperti vinblastin,
vinkristin, dan katarantin (Foye 1995).
Berdasarkan hal tersebut, C. roseus dijadikan
sebagai tanaman pembanding toksisitas S.
arvensis dalam hal potensinya sebagai
antikanker.

Toksisitas ekstrak etanol 70% S. arvensis
(325.63 ppm) lebih rendah daripada C. roseus
(310.34 ppm). Hasil uji beda nyata Duncan
memperlihatkan bahwa nilai LC50 kedua
ekstrak tersebut berbeda secara signifikan.
Walaupun berbeda, berdasarkan Meyer et al.
(1982) dan Anderson (1991), S arvensis
berpotensi sebagai antikanker.
Nilai LC50 ekstrak etanol 70% S. arvensis
Solo (325.63 ppm) lebih tinggi dibandingkan
dengan beberapa ekstrak tanaman obat lain,
seperti ekstrak daun kamanggi (16 182 ppm,
Mukhtar et al. 2007), dan daun saga (606.74
ppm, Juniarti et al. 2010). Nilai LC50 tersebut
juga lebih tinggi daripada ekstrak Turbinari
decurrens (672.59 ppm, Fajarningsih et al
2008). Ekstrak T. decurrens telah terbukti
memiliki sitotoksisitas terhadap sel tumor
HeLa. Oleh sebab itu, ekstrak etanol 70% S.
arvensis Solo sangat prospektif dikembangkan
sebagai senyawa antitumor.
Profil Ekstrak Tempuyung dengan KCKT
Analisis profil ekstrak S. arvensis
dilakukan dengan menggunakan KCKT.
Analisis dilakukan terhadap ekstrak etanol
70% S. arvensis Solo, karena ekstrak tersebut
memiliki tingkat toksisitas tertinggi. Dengan
tingkat
toksisitas
tertinggi
tersebut,
diharapkan profil yang diperoleh lebih
representatif.
Fase gerak dipilih berdasarkan hasil uji
golongan flavonoid yang menunjukkan
komponen ekstrak etanol 70% S. arvensis
Solo sedikit terbawa pada fase gerak. Hal itu
menandakan bahwa ekstrak tersebut bersifat
polar. Dengan demikian, analisis ekstrak
etanol 70% S. arvensis Solo pada KCKT
menggunakan fase terbalik: fase diam lebih
nonpolar daripada fase gerak, maka digunakan
pelarut dengan kepolaran yang tinggi. Pelarut
yang digunakan pada penelitian ini antara lain
asetonitril, metanol, dan campuran metanolasam asetat 0.01% (v/v) dalam air.
Analisis
profil
pada
awalnya
menggunakan fase gerak asetonitril dan
metanol secara isokratik. Kedua pelarut
tersebut tidak menghasilkan profil yang baik,
tidak terdapat puncak pada kromatogramnya
(Lampiran 3). Hal ini dapat diakibatkan fase
gerak kurang bersifat polar, sehingga kurang
dapat membawa komponen senyawa.
Selanjutnya, analisis dilakukan dengan
fase gerak campuran metanol-asam asetat
0.01% (v/v). Analisis profil KCKT
berdasarkan pada jumlah puncak yang terlihat
dalam kromatogram. Jumlah puncak yang

8
 

 

etanol 70% S. arvensis Solo pada 360 nm dan
662 nm.
a.

1 .7 7 8 /1 3 6 7 5 9 4 7

mV
Detector A Ch2:350nm

Densitas optik (mV)

1500

1250

1000

750

500

0.0

5.0

1 2 .1 2 7 /7 7 2 2 2

0

7 .6 2 6 /6 5 4 9 1

5 .3 4 1 /3 4 6 6 4 7

250

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

50.0

55.0

min

Waktu (menit)

b.

mV
Detector A Ch1:360nm

1250
1 .7 8 6 /8 8 0 0 6 3 8

1000

750

500

0
0.0

5.0

7 .5 5 4 /6 0 6 1 1

5 .3 0 0 /3 6 8 3 5 5

250

1 2 .0 0 6 /3 3 2 3 3

Densitas optik (mV)

1500

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

50.0

min

20.0

22.5

25.0

27.5

Waktu (menit)

c.

mV
Detector A Ch2:662nm
700
600
500
400
300
200
100
0

1 .8 0 0 /4 2 0 5 8

Densitas optik (mV)

dapat dideteksi dihitung berdasarkan kriteria
nilai resolusi dan nisbah sinyal terhadap derau
(S/N). Puncak diakui dan dihitung jika
memiliki nilai resolusi ≥ 3 (Wahyuni 2010).
Analisis kromatogram pada panjang
gelombang 350 (a), 360 (b), dan 662 nm (c)
pada Gambar 4 menghasilkan 1−4 puncak.
Jumlah puncak yang terbentuk terlalu sedikit,
maka profil yang terbentuk tidak baik. Selain
itu, puncak-puncak yang terbentuk diduga
bukan berasal dari ekstrak etanol 70% S.
arvensis, melainkan dari fase gerak.
Berdasarkan hal itu, metode isokratik belum
dapat digunakan dalam penentuan profil.
Ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo selain
dianalisis dengan metode isokratik, juga
dianalisis dengan metode gradien dengan fase
gerak yang sama. Elusi gradien didefinisikan
sebagai penambahan kekuatan fase gerak
selama analisis kromatografi berlangsung
(Putra 2004). Peningkatan kekuatan fase gerak
dapat mempersingkat waktu retensi dari
senyawa-senyawa yang tertahan kuat dalam
kolom, sehingga puncak-puncak kromatogram
yang dihasilkan semakin banyak.
Profil ekstrak etanol 70% S. arvensis yang
diperoleh dengan metode elusi gradien pada
350, 360, dan 662 nm dapat dikatakan lebih
baik (Gambar 5). Jumlah puncak yang
dihasilkan lebih banyak daripada metode elusi
isokratik, berkisar antara 3 dan 7 puncak.
Puncak-puncak yang teridentifikasi juga tidak
muncul hanya pada menit awal saja, tetapi
muncul selama analisis berlangsung sampai
menit ke–55. Dengan demikian, profil yang
terbentuk dengan metode gradien lebih
representatif dibandingkan dengan metode
isokratik.
Profil yang terbentuk pada metode elusi
gradien lebih baik dibandingkan dengan
metode isokratik, karena pada metode elusi
gradien, susunan pelarut diubah tahap demi
tahap, setiap tahap lebih polar daripada tahap
sebelumnya. Adanya perubahan kepolaran
tersebut membuat senyawa flavonoid lebih
terbawa dalam fase gerak. Seperti penjelasan
sebelumnya, senyawa flavonoid termasuk
golongan fenolik yang bersifat polar sehingga
akan cenderung berasosiasi dengan fase gerak.
Profil ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo
dengan elusi gradien pada 350 nm
menghasilkan bentuk kromatogram yang lebih
ramping dan sempit. Bentuk tersebut sesuai
dengan kriteria kromatogram yang diinginkan.
Oleh karena itu, dapat dikatakan kondisi
tersebut
menghasilkan
profil
terbaik
dibandingkan dengan profil metode elusi

-100
-200
0.0

2.5

5.0

7.5

10.0

12.5

15.0

17.5

Waktu (menit)

Gambar 4 Kromatogram isokratik ekstrak
etanol 70% S. arvensis Solo
dengan metanol-asam asetat
0.01% (v/v) pada 350(a), 360
(b), dan 622 nm (c).

9
 

min

 

a.

700

600

400

2 3 .2 7 0 /3 2 2 0 0 5 3

300

200

100

3 6 .2 7 9 /1 2 9 9 8 5 1

3 1 .2 1 8 /6 6 6 5 4 1 0
3 2 .6 2 3 /1 0 4 7 5 5 4

500

1 3 .9 1 7 /1 5 8 2 0 2 6

Densitas optik (mV)

dan kalkon menyerap sinar UV pada daerah
350−360 nm. Karena itu, penentuan profil
ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo dilakukan
pada 350 nm dan 360 nm. Penentuan profil
pada 662 nm berdasarkan pada nilai absorbans
tertinggi. Dengan menggunakan panjang
gelombang dari absorbans maksimum, jika
terjadi penyimpangan (deviasi) kecil terhadap
panjang gelombang dari cahaya yang masuk,
maka hanya menyebabkan galat yang kecil
dalam pengukuran (Day dan Underwood
1998).

2 5 .0 6 0 /2 0 6 3 8 6 0 7

mV
Detector A Ch2:350nm
800

0
0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0