Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi Potong di Kota Sawahlunto

ABSTRAK
JENI FEBRIANTO. Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Program Inseminasi
Buatan (IB) pada Sapi Potong di Kota Sawahlunto. Dibimbing oleh IMAN
SUPRIATNA.
Kajian untuk melihat kondisi teknis maupun sosial ekonomi yang mungkin
berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan program inseminasi buatan (IB)
telah dilakukan di Kota Sawahlunto pada Juli 2011 sampai September 2012.
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei melalui wawancara berupa
kuisioner terhadap 44 peternak dan 16 inseminator. Kajian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan
pelaksanaan program IB. Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar
peternak memiliki tingkat pendidikan dan tingkat pengalaman yang rendah.
Berternak sapi potong hanya sebagai usaha sampingan, dengan mayoritas
pekerjaan utama sebagai petani dan kepemilikan ternak dibawah 5 ekor. Teknik
pemeliharaan ternak yang diterapkan sebagian besar peternak adalah secara semi
intensif dan sebagian kecil masih menerapkan secara ekstensif. Pengalaman
bertugas inseminator masih rendah dan setengah dari inseminator ini tidak
memiliki Surat Izin Melakukan Inseminasi Buatan (SIMI). Sistem kerja
inseminator sudah dilakukan dengan baik, namun kapasitas kerjanya masih
kurang. Tingkat keberhasilan pelaksanaan program IB yang dinilai dari angka
service per conception (S/C) dan conception rate (CR) sudah baik, namun nilai

calving interval (CI) masih buruk. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
tingkat keberhasilan pelaksanaan program IB ini adalah pengalaman berternak dan
sistem pemeliharaan ternak yang digunakan, sedangkan tingkat pendidikan dan
partisipasi peternak tidak berpengaruh.
Kata kunci: angka konsepsi, inseminasi buatan, inseminasi per kebuntingan,
Sawahlunto, sapi potong

ABSTRACT
JENI FEBRIANTO. Evaluation of Implementation of Artificial Insemination (AI)
Program on Beef Cattle in Sawahlunto City. Supervised by IMAN SUPRIATNA.
Study in investigating the technical and socio-economic conditions that may affect
the successful implementation of Artificial Insemination (AI) program were done
in Sawahlunto July 2011 to September 2012. This study was conducted through
interviews with survey methods in the form of questionnaires to 44 farmers and
16 inseminators. This study aimed to determine the factors that could affect the
successful implementation of the AI program. The results of the study showed
that most farmers had low level of education and experience. Raising beef cattle
only as a side job, with the majority of main jobs as farmers and cattle ownership
below 5 heads. Animal husbandry technique applied by most breeders was a semiintensive and a small portion was applied extensively. Experience of inseminator
on duty was low and half of inseminator did not have a License in Performing


Artificial Insemination (SIMI). Working system of inseminator has been
performed well, but the working capability still less. The success rate of
implementation of the AI program were assessed from the number of services per
conception (S/C) and conception rate (CR) had been good, but the value of
calving interval (CI) still low. Factors that influence the success rate of
implementation of the AI program was raising experience and farming system
which in use, while the level of education and participation of farmers had no
effect.
Keywords: artificial insemination, beef cattle, conception rate, Sawahlunto,
services per conception

EVALUASI KEBERHASILAN PELAKSANAAN
PROGRAM INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI POTONG
DI KOTA SAWAHLUNTO

JENI FEBRIANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Keberhasilan
Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi Potong di Kota
Sawahlunto adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Jeni Febrianto
B04080166

ABSTRAK
JENI FEBRIANTO. Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Program Inseminasi

Buatan (IB) pada Sapi Potong di Kota Sawahlunto. Dibimbing oleh IMAN
SUPRIATNA.
Kajian untuk melihat kondisi teknis maupun sosial ekonomi yang mungkin
berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan program inseminasi buatan (IB)
telah dilakukan di Kota Sawahlunto pada Juli 2011 sampai September 2012.
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei melalui wawancara berupa
kuisioner terhadap 44 peternak dan 16 inseminator. Kajian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan
pelaksanaan program IB. Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar
peternak memiliki tingkat pendidikan dan tingkat pengalaman yang rendah.
Berternak sapi potong hanya sebagai usaha sampingan, dengan mayoritas
pekerjaan utama sebagai petani dan kepemilikan ternak dibawah 5 ekor. Teknik
pemeliharaan ternak yang diterapkan sebagian besar peternak adalah secara semi
intensif dan sebagian kecil masih menerapkan secara ekstensif. Pengalaman
bertugas inseminator masih rendah dan setengah dari inseminator ini tidak
memiliki Surat Izin Melakukan Inseminasi Buatan (SIMI). Sistem kerja
inseminator sudah dilakukan dengan baik, namun kapasitas kerjanya masih
kurang. Tingkat keberhasilan pelaksanaan program IB yang dinilai dari angka
service per conception (S/C) dan conception rate (CR) sudah baik, namun nilai
calving interval (CI) masih buruk. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

tingkat keberhasilan pelaksanaan program IB ini adalah pengalaman berternak dan
sistem pemeliharaan ternak yang digunakan, sedangkan tingkat pendidikan dan
partisipasi peternak tidak berpengaruh.
Kata kunci: angka konsepsi, inseminasi buatan, inseminasi per kebuntingan,
Sawahlunto, sapi potong

ABSTRACT
JENI FEBRIANTO. Evaluation of Implementation of Artificial Insemination (AI)
Program on Beef Cattle in Sawahlunto City. Supervised by IMAN SUPRIATNA.
Study in investigating the technical and socio-economic conditions that may affect
the successful implementation of Artificial Insemination (AI) program were done
in Sawahlunto July 2011 to September 2012. This study was conducted through
interviews with survey methods in the form of questionnaires to 44 farmers and
16 inseminators. This study aimed to determine the factors that could affect the
successful implementation of the AI program. The results of the study showed
that most farmers had low level of education and experience. Raising beef cattle
only as a side job, with the majority of main jobs as farmers and cattle ownership
below 5 heads. Animal husbandry technique applied by most breeders was a semiintensive and a small portion was applied extensively. Experience of inseminator
on duty was low and half of inseminator did not have a License in Performing


Artificial Insemination (SIMI). Working system of inseminator has been
performed well, but the working capability still less. The success rate of
implementation of the AI program were assessed from the number of services per
conception (S/C) and conception rate (CR) had been good, but the value of
calving interval (CI) still low. Factors that influence the success rate of
implementation of the AI program was raising experience and farming system
which in use, while the level of education and participation of farmers had no
effect.
Keywords: artificial insemination, beef cattle, conception rate, Sawahlunto,
services per conception

EVALUASI KEBERHASILAN PELAKSANAAN
PROGRAM INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI POTONG
DI KOTA SAWAHLUNTO

JENI FEBRIANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan

pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Judul Skripsi : Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan
(IB) pada Sapi Potong di Kota Sawahlunto
Nama
: Jeni Febrianto
NIM
: B04080166

Disetujui oleh

Prof Dr drh Iman Supriatna
Pembimbing


Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2011 ini ialah
Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan pada Sapi Potong
di Kota Sawahlunto.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr drh Iman Supriatna
selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Heri Sutrisno SPKP dan drh Ferry
Aulia Oktafiantris dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto yang
telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta keluarga besar IPMM
Bogor, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013
Jeni Febrianto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN




Latar Belakang



Tujuan Penelitian



Manfaat Penelitian



Hipotesis Penelitian



TINJAUAN PUSTAKA




Inseminasi Buatan



Pola Peternakan Sapi Potong



Karakteristik



Partisipasi



METODE



Kerangka Konsep Penelitian



Waktu dan Lokasi Penelitian



Disain Penelitian



Sampel



Pengumpulan Data



Analisis Data



HASIL DAN PEMBAHASAN



Pelaksanaan Kegiatan Inseminasi Buatan



Karakteristik Peternak



Partisipasi Peternak

10 

Sistem Pemeliharaan Ternak

11 

Karakteristik Inseminator

12 

Sistem dan Kapasitas Kerja Inseminator

13 

Tingkat Keberhasilan Program Inseminasi Buatan

14 

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan Program Inseminasi
Buatan
15 
SIMPULAN DAN SARAN

16 

Simpulan

16 

Saran

16 

DAFTAR PUSTAKA

17 

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL
1 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan
korelasi, nilai p, dan arah korelasi
2 Karakteristik peternak
3 Partisipasi peternak dalam program IB
4 Teknik pemeliharaan ternak
5 Karakteristik inseminator
6 Sistem dan kapasitas kerja inseminator
7 Hubungan karakteristik peternak, partisipasi peternak, dan teknik
pemeliharaan ternak terhadap keberhasilan pelaksanaan IB

8
10
11
12
12
14
15

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka konsep penelitian
2 Struktur organisasi pelaksana IB di Kota Sawahlunto

6
9

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permintaan pangan asal ternak dalam beberapa dasawarsa terakhir ini terus
meningkat, walaupun terdapat fluktuasi yang cukup besar antar waktu maupun
wilayah. Sementara itu, elastisitas pendapatan terhadap permintaan produk
peternakan relatif cukup tinggi (Soedjana et al. 1994). Laju permintaan pangan
asal ternak khususnya daging yang meningkat ini tidak diimbangi oleh
peningkatan produksi daging sapi dalam negeri. Sehingga saat ini ketersediaan
daging sapi nasional masih mengalami kekurangan, yang ditutup melalui impor
sekitar 35% dari total kebutuhan daging sapi nasional (Ditjennak 2010a). Kondisi
ini merupakan peluang yang sangat baik untuk mengembangkan industri
peternakan, seirama dengan antisipasi kemungkinan terjadinya revolusi
peternakan tahun 2020, seperti yang diramalkan Delgado et al. (1999).
Pemulihan kinerja sektor industri pangan asal ternak sudah saatnya
diprioritaskan pada pengoptimalisasian dan pemberdayaan sumber daya lokal
melalui pengembangan inovasi teknologi yang tepat. Agribisnis sapi potong untuk
menghasilkan bakalan ternyata memiliki peluang yang sangat besar dalam
menjawab tantangan peluang tersebut di atas. Hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa (1) lebih dari 99% penghasil sapi bakalan di dalam negeri adalah
peternakan rakyat, (2) permintaan akan daging cenderung terus meningkat, dan
(3) ketersediaan sumber daya lokal cukup memadai (Dwiyanto 2008).
Mengatasi tantangan tersebut pemerintah telah mencanangkan program
swasembada daging, yaitu tersedianya secara cukup pangan hewani asal ternak
khususnya daging sapi. Untuk mencapai sasaran tersebut berbagai program
dilakukan oleh pemerintah, yang bertujuan untuk meningkatkan populasi sapi
lokal sebagai sumber utama daging sapi. Program yang dimaksud adalah
pengurangan pemotongan sapi lokal betina produktif dan memperluas jangkauan
program kawin silang sapi betina lokal dengan inseminasi buatan (IB) (Ditjennak
2010b). Selain itu, Dwiyanto dan Inounu (2009) juga berpendapat bahwa
penyempurnaan kegiatan IB di Indonesia yang saat ini sedang dan akan terus
dilakukan harus dikerjakan guna meningkatkan populasi, mutu, dan produksi
ternak.
Kota Sawahlunto dipilih sebagai lokasi penelitian karena saat ini
Pemerintahan Daerah Kota Sawahlunto memiliki program besar dalam
peningkatan kesejahteraan rakyat dengan peningkatan produksi peternakan sapi
potong yang dikembangkan masyarakat. Sawahlunto yang sejak lama dikenal
sebagai Kota Tambang, dimana sumber perkonomian masyarakatnya berasal dari
usaha tambang batu bara. Batu bara merupakan sumber daya alam yang akan
habis apabila dieksploitasi secara terus menerus. Deposit batu bara di Kota
Sawahlunto sudah berkurang sehingga sumber penghasilan utama masyarakat ini
menjadi berkurang.
Menyikapi kondisi di atas Pemerintah Kota Sawahlunto secara arif
menyikapi masalah ini dengan mencari jalan ke arah pertanian dan peternakan.
Salah satu program andalan pembangunan peternakan yang telah dikembangkan
oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto adalah program inseminasi

2
buatan (IB). Melalui program IB ini diharapkan para peternak yang tersebar
diseluruh daerah Kota Sawahlunto dapat memanfaatkannya, sehingga jumlah dan
kualitas sapi mereka dapat meningkat. Keterlibatan atau partisipasi aktif dari
petugas dan peternak dipandang akan menunjang keberhasilan dari program
tersebut.
Keberhasilan IB secara umum masih lebih rendah dibandingkan dengan
kawin alami. Keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu genetik sapi
(produktivitas) sampai saat ini belum ada laporan yang lengkap. Demikian pula
halnya dengan kinerja keragaan reproduksi sapi hasil IB praktis belum banyak
dievaluasi (Soeharsono et al. 2010). Untuk melihat kinerja reproduksi hasil IB di
Kota Sawahlunto, telah dilakukan suatu kajian terhadap para peternak. Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi teknis maupun sosial
ekonomi yang mungkin berpengaruh terhadap kinerja reproduksi sapi potong.
Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang kekuatan dan
kelemahan dalam pelaksanaan program IB di Kota Sawahlunto.

Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gambaran umum pelaksanaan program IB di Kota Sawahlunto.
2. Mengetahui karakteristik dan partisipasi peternak dalam program IB di Kota
Sawahlunto.
3. Mengetahui karakteristik dan kapasitas kerja inseminator dalam program IB di
Kota Sawahlunto.
4. Mengetahui pola peternakan yang diterapkan peternak di Kota Sawahlunto.
5. Mengetahui tingkat keberhasilan program IB di Kota Sawahlunto.
6. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan program IB
di Kota Sawahlunto.

Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai pelaksanaan program IB di Kota Sawahlunto.
2. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
keberhasilan program IB di Kota Sawahlunto.

Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik peternak, partisipasi
peternak, dan teknik pemeliharaan ternak yang diterapkan peternak terhadap
keberhasilan program IB di Kota Sawahlunto.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Inseminasi Buatan
Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu teknologi yang diaplikasikan
secara luas untuk mendorong swasembada daging sapi. Teknologi IB yang
digunakan untuk program peningkatan mutu genetik terutama pada ruminansia
besar (sapi dan kerbau) merupakan teknologi unggulan yang masih akan
digunakan dalam upaya peningkatan produktivitasnya (Sayuti et al. 2011).
Menurut Hafez (1993), IB adalah proses memasukkan sperma ke dalam
saluran reproduksi betina dengan tujuan untuk membuat betina jadi bunting tanpa
adanya proses perkawinan alami. Konsep dasar dari teknologi ini adalah seekor
pejantan yang secara alamiah memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan
(spermatozoa) per hari, hanya digunakan untuk membuahi satu sel telur (oosit)
pada hewan betina yang seharusnya diperlukan hanya satu sel spermatozoa.
Potensi terpendam yang dimiliki seekor pejantan unggul sebagai sumber
informasi genetik, dapat dimanfaatkan secara efisien untuk membuahi banyak
betina.
Dalam perkembangan lebih lanjut, program IB tidak hanya mencakup
pemasukan semen ke dalam saluran reproduksi betina, tetapi juga menyangkut
seleksi dan pemeliharaan pejantan, penampungan, penilaian, pengenceran,
penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan
semen, inseminasi, pencatatan dan penentuan hasil inseminasi pada hewan/ternak
betina, serta bimbingan dan penyuluhan pada peternak. Dengan demikian,
pengertian IB menjadi lebih luas yang mencakup aspek reproduksi dan pemuliaan,
sehingga istilahnya menjadi perkawinan buatan atau artificial breeding. Tujuan
dari IB itu sendiri adalah sebagai satu alat yang ampuh yang diciptakan manusia
untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak secara kuantitatif dan kualitatif
(Toelihere 1979).
Pelayanan Petugas Inseminasi Buatan
Pelayanan IB dilakukan oleh seorang inseminator (tenaga teknis menengah
yang telah dididik dan mendapat sertifikat sebagai inseminator dari pemerintah
dalam hal ini dinas peternakan) yang telah memiliki Surat Izin Melakukan
Inseminasi (SIMI) dengan sistem aktif, pasif, dan semi aktif. Bila inseminator
belum memiliki SIMI maka tanggung jawab hasil kerjanya jatuh pada dinas
peternakan provinsi tempatnya bekerja (Feradis 2010).
Faktor-faktor pembatas yang mempengaruhi rendahnya kinerja IB
diantaranya: kualitas semen pejantan, kesuburan betina, keterampilan inseminator,
pengetahuan zooteknis peternak, serta ketepatan waktu inseminasi. Keberhasilan
menjalankan tugas sebagai inseminator dipengaruhi beberapa faktor, antara lain
keterampilan dan pengalaman petugas, keterampilan peternak dalam mendeteksi
birahi ternaknya, dan komunikasi yang harmonis antara inseminator dengan
peternak sapi potong (Sutrisno et al. 2010).

4
Penilaian Hasil Inseminasi Buatan
Feradis (2010) menyebutkan, untuk memperoleh informasi secepat mungkin,
perlu digunakan teknik-teknik penentuan fertilitas yang walaupun kurang
sempurna, tetapi telah terbukti dapat memberi gambaran umum untuk penilaian
pelaksanaan IB sebagai dasar penentuan kebijaksanaan selanjutnya. Di Indonesia
sistem penilaian keberhasilan IB pada umumnya berdasarkan pada nilai angka
konsepsi atau conception rate (CR) dan nilai inseminasi per konsepsi atau service
per conception (S/C). Menurut Soeharsono et al. (2010), performans reproduksi
yang sangat penting antara lain: umur beranak pertama, nilai S/C, dan nilai CI.
a). Angka konsepsi atau Conception Rate (CR)
Angka konsepsi atau conception rate merupakan suatu ukuran terbaik dalam
penilaian hasil inseminasi yaitu persentase sapi betina yang bunting pada
inseminasi pertama. Angka konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnosa
kebuntingan melalui pemeriksaan rektal (eksplorasi rektal) oleh dokter hewan
dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi (Feradis 2010).
CR %

Jumlah betina bunting pada IB pertama
x
Jumlah seluruh betina yang di IB

%

b). Pelayanan IB per kebuntingan atau service per conception (S/C)
Jumlah inseminasi per kebuntingan atau service per conception (S/C) adalah
untuk membandingkan efisiensi relatif dari proses reproduksi diantara individuindividu sapi betina yang subur, sering dipakai penilaian atau penghitungan
jumlah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai
terjadinya kebuntingan atau konsepsi. Nilai ini barulah berarti apabila
dipergunakan semen dari pejantan yang berbeda-beda dan apabila betina-betina
yang steril turut diperhitungkan dalam membandingkan kesuburan populasi ternak
(Feradis 2010).
S/C

Jumlah dosis IB
Jumlah betina yang bunting

c). Jarak beranak atau calving interval (CI)
Jarak beranak atau calving interval adalah periode waktu antara dua
kelahiran yang berurutan dan dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode
kebuntingan dengan periode antara saat kelahiran dengan terjadinya perkawinan
yang subur berikutnya atau days open (Sutan 1988). Selain itu, Nurhyadi dan
Wahjuningsih (2011) juga menyatakan bahwa calving interval ditentukan oleh
lama kebuntingan dan lama waktu kosong.
Evaluasi hasil IB dengan cara pemeriksaan kebuntingan berkaitan erat
dengan upaya memperpendek jarak beranak. Jarak beranak merupakan salah satu
faktor yang menentukan efisiensi usaha. Selang beranak yang berkepanjangan di
Indonesia adalah salah satu masalah utama dalam upaya meningkatkan populasi
ternak. Diagnosis kebuntingan dan upaya mengetahui status reproduksi sapi
setelah perkawinan merupakan hal yang sangat tepat dilakukan untuk
memperpendek jarak beranak (Sayuti et al. 2011).

5
Pola Peternakan Sapi Potong
Menurut Sugeng (2006), sistem pemeliharaan sapi potong di Indonesia
dibedakan menjadi tiga, yaitu: intensif, ekstensif, dan usaha campuran (mixed
farming). Pada pemeliharaan secara intensif, sapi dikandangkan secara terusmenerus atau hanya dikandangkan pada malam hari dan pada siang hari ternak
digembalakan. Pola pemeliharaan sapi secara intensif banyak dilakukan petani
peternak di Jawa, Madura, dan Bali. Pada pemeliharaan ekstensif, ternak
dipelihara di padang penggembalaan dengan pola pertanian menetap atau di hutan.
Pola tersebut banyak dilakukan peternak di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan,
dan Sulawesi. Dari kedua cara pemeliharaan tersebut, sebagian besar merupakan
usaha rakyat dengan ciri skala usaha rumah tangga dan kepemilikan ternak sedikit,
menggunakan teknologi sederhana, bersifat padat karya, dan berbasis azas
organisasi kekeluargaan (Azis dalam Yusdja dan Ilham 2004).
Indonesia memiliki tiga pola pengembangan sapi potong. Pola pertama
adalah pengembangan sapi potong yang tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan usaha pertanian, terutama sawah dan ladang. Pola kedua adalah
pengembangan sapi tidak terkait dengan pengembangan usaha pertanian. Pola
ketiga adalah pengembangan usaha penggemukan (fattening) sebagai usaha padat
modal dan berskala besar, meskipun kegiatan masih terbatas pada pembesaran
sapi bakalan menjadi sapi siap potong (Yusdja dan Ilham 2004).

Karakteristik
Karakteristik adalah suatu keadaan yang mempengaruhi cara dan
kemampuan yang berbeda dalam bentuk persepsi, informasi apa yang diinginkan,
bagaimana menginterpretasi informasi tersebut (Simamora 2002)
Karakteristik peternak adalah keadaan peternak yang berhubungan dengan
keterlibatannya dalam mengelola usahaternak dan bisa mempengaruhi dalam hal
mengadopsi suatu inovasi (Yanti 1997). Sumarwan (2004) juga mengatakan
bahwa karakteristik peternak sebagai individu perlu diperhatikan untuk melihat
apakah faktor-faktor ini akan mempengaruhi respon peternak terhadap inovasi
yang diperkenalkan.

Partisipasi
Partisipasi merupakan pelibatan diri secara penuh pada suatu tekad yang
telah menjadi kesepakatan bersama antar anggota dalam satu kelompok/antar
kelompok sampai dengan skala nasional dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Landasan Konstitusional Negara Republik Indonesia, maka
partisipasi dapat disebut sebagai Falsafah Pembangunan Indonesia (Mulyono
2008)
Marbun (2009) juga berpendapat bahwa, partisipasi adalah suatu gejala
demokratis dimana orang diikutsertakan dalam perencanaan serta pelaksanaan dan
juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat
kewajibannya. Unsur-unsur partisipasi adalah: (1) keterlibatan anggota dalam
segala kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi, (2) kemauan anggota untuk

6
berinisiatif dan berkreasi dalam kegiatan yang dilancarkan oleh organisasi, (3)
adanya kesadaran anggota, (4) tidak ada unsur paksaan, dan (5) anggota merasa
ikut memiliki.

METODE
Kerangka Konsep Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara karakteristik
peternak, partisipasi peternak, dan teknik pemeliharaan ternak terhadap tingkat
keberhasilan IB di Kota Sawahlunto (Gambar 1).







Karakteristik Peternak
Pengalaman
Pendidikan terakhir
Pekerjaan utama
Jumlah ternak





Partisipasi Peternak
Keikutsertaan IB
Lama ikut serta IB
Jumlah ternak yang di
IB

Tingkat Keberhasilan
Inseminasi Buatan (IB)
• Nilai CR (%)
• Nilai S/C
• Nilai CI rata-rata

Teknik Pemeliharaan
Teknik pemeliharaan
ternak

Gambar 1 Kerangka konsep penelitian

Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2011 sampai dengan bulan
September 2012 dengan lokasi di empat kecamatan yang ada di Kota Sawahlunto,
yaitu Kecamatan Talawi, Barangin, Lembah Segar, dan Silungkang. Penelitian
dilakukan dengan pengambilan data secara acak sederhana pada 44 peternak dan
16 inseminator yang ada di Kota Sawahlunto. Perencanaan dan analisis data
dilakukan di Kampus IPB Dramaga, Bogor.

Disain Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode survei melalui wawancara peternak dan
inseminator yang berhubungan dengan pelaksanaan IB yang telah dilakukan di
Kota Sawahlunto. Wawancara dilakukan menggunakan kuisioner secara
terstruktur. Pertanyaan pada kuisioner berisi mengenai karakteristik, pengetahuan,
partisipasi, jumlah ternak, serta pertanyaan mengenai pelaksanaan IB yang telah
dilakukan. Kuisioner ini dibedakan untuk setiap karakter responden.

7
Sampel
Besaran sampel peternak ditentukan dengan rumus Slovin (Umar dalam
Nataatmaja dan Arifin 2008), yaitu:

Keterangan:

n

N
Ne

n = jumlah sampel
N = populasi
e = % kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan contoh yang
bisa ditolerir

dengan besar populasi 2343 peternak dan tingkat kesalahan 15%. Besaran sampel
yang dihasilkan yaitu 44 responden. Metode penarikan untuk pemilihan responden
dilakukan dengan Metode Penarikan Contoh Acak Sederhana berdasarkan
persentase banyaknya peternak tiap kecamatan dengan populasi Kecamatan
Talawi 1214 peternak, Kecamatan Barangin 657 peternak, Kecamatan Lembah
Segar 242 peternak, dan Kecamatan Silungkang 230 peternak yang masingmasing sebesar 23, 15, 5, dan 4 responden. Sedangkan besaran sampel untuk
inseminator diambil secara sensus sebesar 16 responden.

Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan melalui kegiatan wawancara langsung
dan kuisioner kepada responden peternak dan inseminator berdasarkan pertanyaan
yang telah disiapkan dalam bentuk kuisioner. Sedangkan, data sekunder dalam
penelitian ini dikumpulkan dari laporan-laporan, catatan, dan dokumen dari Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto, serta kumpulan informasi dari para
dokter hewan, para medis, dan pegawai yang ada di kantor dinas setempat. Data
yang terkumpul dari hasill wawancara ini ditabulasikan berdasarkan jenis variabel
dan kategori variabel.

Analisis Data
Analilis data yang dilakukan adalah analisis deskriptif hasil frekuensi
dengan menggunakan program SPSS 18.0 dan Microsoft Excel 2007. Data yang
telah dikumpulkan dimasukkan ke dalam tabel beserta variabelnya. Uji korelasi
digunakan untuk melihat hubungan antara karakteristik peternak, partisipasi
peternak, dan teknik pemeliharaan ternak terhadap keberhasilan IB. Jenis variabel
X dan variable Y setiap kategori adalah dengan hipotesis ordinal yang
menggunakan uji Spearman. Hasil uji korelasi diinterpretasikan berdasarkan
kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi (Tabel 1).

8
Tabel 1 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi,
nilai p, dan arah korelasi (Dahlan 2001)
No.

Parameter

1.

Kekuatan Korelasi
(r)

2.

Nilai p

Nilai
0.00-0.199
0.20-0.399
0.40-0.599
0.60-0.799
0.80-1.000
P < 0.05
P > 0.05
+ (positif)

3.

Arah korelasi
- (negatif)

Interpretasi
Sangat lemah
Lemah
Sedang
Kuat
Sangat Kuat
Terdapat korelasi yang bermakna antara
dua variabel yang diuji
Tidak terdapat korelasi yang bermakna
antara dua variabel yang diuji
Searah: semakin besar nilai satu variabel,
semakin besar pula nilai variabel lainnya
Berlawanan arah: semakin besar nilai satu
variabel, semakin kecil nilai variabel
lainnya

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan Kegiatan Inseminasi Buatan
Salah satu upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas sapi lokal
serta produksi peternakan di Kota Sawahlunto khususnya ternak sapi potong,
Pemerintah Kota Sawahlunto dalam hal ini Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota
Sawahlunto melaksanakan program inseminasi buatan (IB). Pelaksanaan program
IB di Kota Sawahlunto telah mencapai usia kurang lebih 10 tahun.
Program IB di Kota Sawahlunto terdiri dari berbagai rangkaian kegiatan
yang pelaksanaannya dikelola oleh dinas setempat. Pengelolaan ini ditunjang oleh
beberapa aktivitas saling berkaitan yaitu penyuluhan IB, distribusi semen beku,
deteksi birahi, sistem pelaksanaan IB, pelayanan pemeriksaan kebuntingan,
pemeriksaan gangguan kebuntingan, dan pencatatan (recording) IB.
Organisasi pelaksana IB yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan
program IB di Kota Sawahlunto adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota
Sawahlunto. Pelaksanaan program ini dikelola oleh Bidang Peternakan dan
Perikanan dengan membuat satuan pelayanan khusus yaitu Satuan Pelayanan
Inseminasi Buatan (SPIB). Gambar 1 memperlihatkan struktur organisasi
pelaksanaan program inseminasi di Kota Sawahlunto.
Lokasi pelaksanaan IB di Sawahlunto mencakup 4 kecamatan di wilayah
Kota Sawahlunto. Untuk memudahkan pelaksanaan IB maka dibentuk SPIB yang
terbagi pada 4 kecamatan tersebut. Keberadaan SPIB per kecamatan ini dapat
memecahkan masalah klasik pelaksanaan IB yaitu tak terjangkaunya lokasi IB.
Lokasi SPIB ini terletak di di kantor UPTD Pertanian setiap kecamatan.

9

Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto

Bidang Peternakan dan Perikanan

Bagian Produksi

Satuan Pelayanan IB (SPIB)

SPIB Kecamatan

Inseminator

Peternak
Gambar 2 Struktur organisasi pelaksana IB di Kota Sawahlunto
.
Karakteristik Peternak
Responden terdiri dari 44 peternak yang ada di Kota Sawahlunto.
Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi lama berternak,
pendidikan terakhir, pekerjaan utama, dan jumlah ternak sapi potong yang
dimiliki oleh peternak (Tabel 2).
Hasil survei dari seluruh responden menunjukkan bahwa lama berternak
responden adalah antara 1 sampai 5 tahun (43.2%), 6 sampai 10 tahun (20.5%), 11
sampai 15 tahun (13.6%), dan yang lebih dari 15 tahun (22.7%). Hal ini
mengindikasikan bahwa responden yang berpengalaman rendah lebih
mendominasi. Kondisi ini memungkinkan mereka sulit belajar dari pengalaman
lapangan, sehingga akan sulit juga dalam menerima inovasi teknologi usahatani
menuju perubahan baik secara individu maupun kelompok. Pengalaman yang
masih rendah akan berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang (Nee dan Sani
2011).
Tingkat pendidikan responden sebagian besar hanya menjalani pendidikan
sampai SD dan hanya sedikit yang mencapai jenjang sekolah lanjutan bahkan
sampai perguruan tinggi. Tingkat pendidikan responden yang rata-rata
berpendidikan terbatas, yaitu tamat SD (36.4%), SLTP (29.5%), SLTA (31.8%),
dan perguruan tinggi (2.3%) dapat mengindikasikan bahwa berternak merupakan
pilihan pekerjaan bagi responden yang tidak memiliki pendidikan yang tinggi.

10
Pekerjaan utama responden relatif bervariasi, yaitu pegawai (4.5%),
peternak (9.1%), petani (63.6%), dan wiraswasta (22.8%). Hal ini merupakan
gambaran umum penduduk di pedesaan, dimana sebagian besar bergantung pada
sektor pertanian. Kepemilikan ternak sapi potong responden antara lain 1 sampai
5 ekor (61.4%), 6 sampai 10 ekor (27.3%), 11 sampai 15 ekor (6.8%), dan yang
lebih dari 15 ekor (4.2%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepemilikan sapi
potong peternak sangat terbatas. Dari data ini terlihat sangat jelas bahwa petani
hanya sekedar sebagai keeper atau user. Oleh karena itu, di Kota Sawahlunto
hampir tidak ada petani yang berperan sebagai producer maupun breeder,
sehingga sapi potong belum menjadi usaha pokok bagi petani, tetapi masih
sebagai usaha sambilan.
Tabel 2 Karakteristik peternak (n=44)
Karakter Responden
Lama berternak
1 - 5 tahun
6 - 10 tahun
11 - 15 tahun
> 15 tahun
Pendidikan terakhir
SD
SLTP
SLTA
PT
Pekerjaan utama
Pegawai
(PNS/swasta/honorer)
Peternak
Petani
Wiraswasta
Jumlah ternak
1 - 5 ekor
6 - 10 ekor
11 - 15 ekor
> 15 ekor

Jumlah Responden

% dari Total Responden

19
9
6
10

43.2
20.5
13.6
22.7

16
13
14
1

36.4
29.5
31.8
2.3

2
4
28
10

4.5
9.1
63.6
22.8

27
12
3
2

61.4
27.3
6.8
4.2

Partisipasi Peternak
Partisipasi peternak dalam penelitian ini dinilai dari teknik perkawinan yang
diterapkan peternak, kurun waktu lamanya peternak mengikuti program IB, dan
pemanfaatan IB oleh peternak untuk mengawinkan keseluruhan ternaknya.
Partisipasi peternak dalam program IB dapat dilihat dalam Table 3.
Partisipasi peternak dalam program IB memperlihatkan sebagian besar
peternak sudah memanfaatkan teknik perkawinan secara IB (86.4%). Hal ini

11
mengindikasikan bahwa program IB yang dicanangkan Pemerintah Kota
Sawahlunto sebagian besar sudah dimanfaatkan oleh peternak.
Tabel 3 Partisipasi peternak dalam program IB (n=44)
Kategori
Teknik perkawinan
IB
Alami
Keikutsertaan IB
Tidak ikut
< 1 tahun
1 - 5 tahun
6 - 10 tahun
Kekontinuan mengawinkan
ternak dengan IB
Tidak ikut
Sebagian induk
Seluruh induk

Jumlah Responden

% dari Total Responden

38
6

86.4
13.6

6
10
24
4

13.6
22.7
54.5
9.1

6
8
30

13.6
18.4
68.0

Tabel 3 juga memperlihatkan bahwa sebanyak 22.7% responden
memanfaatkan program IB kurang dari 1 tahun, 54.5% responden memanfaatkan
program IB antara 1 sampai 5 tahun, 9.1% responden memanfaatkan program IB
antara 6 sampai 10 tahun, dan tidak ada responden yang memanfaatkan program
IB lebih dari 10 tahun. Sebagian besar responden memanfaatkan IB dengan kurun
waktu antara 1 sampai 5 tahun dan tidak ada responden yang memanfaatkan IB
lebih dari 10 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar masyarakat
baru mengetahui program IB tidak lebih dari 5 tahun dan program IB di Kota
Sawahlunto diterapkan tidak lebih dari 10 tahun karena tidak ada satupun
responden yang memanfaatkan IB dalam kurun waktu tersebut.
Lebih dari dua per tiga responden mengawinkan seluruh ternak dengan cara
IB (68.0%) dan sebanyak kurang dari satu per tiga responden yang mengawinkan
sebagian ternak dengan cara IB (18.4%). Hal ini menunjukkan bahwa peternak
cukup nyaman dengan penggunaan program IB dalam mengawinkan ternaknya.

Sistem Pemeliharaan Ternak
Teknik pemeliharaan ternak dalam penelitian ini dibedakan atas teknik
pemeliharaan secara intensif, semi intensif, dan ekstensif. Teknik pemeliharaan
intensif diartikan bahwa sapi selalu dikandangkan dan diberikan pakan secara
teratur di dalam kandang. Teknik pemeliharaan semi intensif diartikan bahwa sapi
dikandangkan pada malam hari dan digembalakan pada siang hari. Sedangkan,
teknik pemeliharaan secara ekstensif diartikan bahwa ternak dipelihara di padang
penggembalaan dengan pola pertanian menetap atau di hutan (Tabel 4).
Teknik pemeliharaan ternak di Kota sawahlunto sebagian besar dilakukan
dengan cara semi intensif (70.5%), sebagian lagi intensif (20.5%), dan hanya

12
sedikit dengan cara ekstensif (9.1%). Teknik pemeliharaan yang sebagian besar
dilakukan dengan cara semi-intensif ini mengindikasikan bahwa peternak harus
memiliki padang penggembalaan untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak setiap
hari.
Tabel 4 Teknik pemeliharaan ternak
Teknik Pemeliharaan
Intensif
Semi intensif
Ekstensif
Total

Total
Jumlah Responden % dari Total Responden
9
20.5
31
70.5
4
9.1
44
100.0

Karakteristik Inseminator
Responden terdiri dari 16 inseminator yang ada di Kota Sawahlunto.
Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi lama bertugas
sebagai inseminator, pendidikan terakhir, pekerjaan utama, dan kepemilikan Surat
Izin Melakukan Inseminasi Buatan (SIMI). Tabel 5 memperlihatkan karakteristik
inseminator yang ada di Kota Sawahlunto.
Tabel 5 Karakteristik inseminator (n=16)
Karakter Responden
Lama bertugas
1 - 5 tahun
6 - 10 tahun
Pendidikan terakhir
SMA
D3
S1
Pekerjaan utama
PNS/honorer
Swadana
Peternak
SIMI
Memiliki
Tidak memiliki

Jumlah Responden

% dari Total Responden

11
5

68.8
31.3

9
2
5

56.3
12.5
31.3

9
6
1

56.3
37.5
6.3

8
8

50.0
50.0

Hasil survei dari seluruh responden menunjukkan bahwa lama bertugas
responden sebagai inseminator adalah antara 1 sampai 5 tahun (68.8%), 6 sampai
10 tahun (31.3%), dan tidak ada satu pun responden yang bertugas lebih dari 10
tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa responden yang berpengalaman rendah
lebih mendominasi, hanya sedikit yang cukup berpengalaman, bahkan tidak ada
seorang pun inseminator yang berpengalaman lebih dari 10 tahun. Kondisi ini

13
memungkinkan hasil IB di Kota Sawahlunto kurang bagus karena pengalaman
inseminator yang kurang.
Tingkat pendidikan responden sebagian besar hanya menjalani pendidikan
sampai SMA dan hanya sedikit yang mencapai jenjang pendidikan sampai
perguruan tinggi. Tingkat pendidikan responden yang rata-rata terbatas ini, yaitu
tamat SMA (56.3%), D3 (12.5%), dan sarjana (31.3%) dapat mengindikasikan
bahwa inseminator yang ada di Kota Sawahlunto memiliki pengetahuan yang
kurang.
Pekerjaan utama responden relatif bervariasi, yaitu PNS dan honorer dinas
peternakan (56.3%), swadana (37.5%), dan peternak (6.3%). Hal ini
mengindikasikan bahwa sebagian besar inseminator yang ada adalah pegawai
yang bekerja di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto, sehingga
pelaksanaan program IB yang dilakukan lebih terstruktur.
Petugas pelayanan IB (inseminator) di Kota Sawahlunto yang memiliki
SIMI hanya setengah (50%), sedangkan sebagian lagi tidak memiliki. Hal ini
mengindikasikan bahwa setengah dari inseminator ini belum layak untuk
melakukan pelayanan inseminasi buatan kepada masyarakat. Ditjennak (2012)
menegaskan bahwa untuk dapat melakukan inseminasi buatan di masyarakat,
petugas teknik inseminasi buatan harus memiliki Surat Izin Melakukan Inseminasi
Buatan (SIMI) yang dikeluarkan oleh dinas yang menangani fungsi peternakan
dan kesehatan hewan provinsi setempat. Dengan demikian tidak dibenarkan
apabila pelaksana IB di lapangan diserahkan kepada petugas yang belum atau
tidak cukup mengikuti pelatihan inseminator.

Sistem dan Kapasitas Kerja Inseminator
Sistem dan kapasitas kerja inseminator dalam penelitian ini terdiri dari
sistem pelayanan dan melakukan pelaporan dalam pelaksanaan IB. Disamping itu,
peubah lain yang digunakan untuk mengukur kapasitas kerja inseminator adalah
lamanya persiapan sebelum melaksanakan IB dan jumlah akseptor yang dapat
dilayani dalam sehari sebagaimana disajikan dalam Tabel 6.
Sistem pelayanan IB dalam penelitian ini dibedakan atas sistem pelayanan
aktif (inseminator mendatangi peternak), pasif (peternak mendatangi inseminator),
dan semi aktif (inseminator dan peternak bertemu disuatu tempat). Dari Tabel 6
dapat diketahui bahwa sistem pelayanan aktif lebih mendominasi (62.8%), semi
aktif (37.2%), dan tidak ada sama sekali sistem pelayanan pasif. Hal ini
mengindikasikan bahwa inseminator sangat peduli terhadap pelayanan IB kepada
masyarakat peternak, sedangkan masyarakat peternak tidak terlalu peduli karena
tidak ada satu pun peternak yang mendatangi inseminator untuk pelayanan IB
ternaknya.
Untuk mempermudah pelaporan/permintaan pelayanan IB maka harus
dibuat suatu sistem pelaporan yang sederhana, cepat, mudah, dan murah. Dari
Tabel 6 dapat dilihat bahwa seluruh inseminator membuat laporan dan dilakukan
secara teratur dalam menjalankan tugasnya. Hal ini mengindikasikan bahwa
program IB di Kota Sawahlunto terstruktur dengan baik dan kinerja
inseminatornya sangat baik.

14
Lama persiapan IB yang dilakukan inseminator sebelum melakukan IB
adalah kurang atau sama dengan 1 jam (100%). Hal ini mengindikasikan bahwa
kinerja inseminator sangat baik, sehingga pelaksanaan IB berjalan dengan baik.
Tabel 6 Sistem dan kapasitas kerja inseminator (n=16)
Kategori
Sistem pelayanan
Aktif
Pasif
Aktif dan pasif
Melakukan pelaporan
ya, secara teratur
ya, tidak teratur
tidak buat laporan
Lama persiapan alat IB
< 1 Jam
≥ 1 jam
Jumlah akseptor per hari
1 - 2 ekor
3 - 4 ekor
≥ 5 ekor

Jumlah Responden

% dari Total Responden

10
0
6

62.8
0.0
37.2

16
0
0

100.0
0.0
0.0

16
0

100.0
0.0

10
6
0

62.8
37.2
0.0

Jumlah akseptor yang dapat dilayani seorang inseminator adalah 1 sampai 2
ekor (62.8%), 3 sampai 4 ekor (37.2%), dan lebih atau sama dengan 5 ekor tidak
ada seorang inseminator pun yang dapat melayani IB. Hal ini mengindikasikan
bahwa sebagian besar inseminator yang bertugas di wilayah kerja Dinas Pertanian
dan Kehutanan Kota Sawahlunto hanya dapat melayani IB tidak lebih dari 2 ekor
akseptor dan Kota Sawahlunto masih membutuhkan seorang inseminator untuk
melayani akseptor.

Tingkat Keberhasilan Program Inseminasi Buatan
Tingkat keberhasilan IB pada penelitian ini diukur dari nilai angka konsepsi
atau conception rate (CR), inseminasi per konsepsi atau service per conception
(S/C), dan jarak kelahiran atau calving interval (CI) yang yang dihitung dari hasil
wawancara 44 orang peternak. Sistem penilaian keberhasilan IB di Indonesia pada
umumnya berdasarkan pada nilai CR dan S/C (Feradis 2010). Soeharsono et al.
(2010) juga berpendapat bahwa performans reproduksi yang sangat penting adalah
umur beranak pertama, service per conception (S/C), dan jarak beranak atau
calving interval (CI).
Nilai CR pembibitan ternak sapi potong di Kota Sawahlunto dari hasil
penelitian ini dapat diketahui sebesar 50.0%. Hal ini mengindikasikan bahwa
keberhasilan IB di Kota Sawahlunto sudah baik, namun hampir mendekati kurang
baik. Toelihere (1979) menyatakan bahwa conception rate di negara maju dapat
berkisar antara 60-70%, namun untuk kondisi di Indonesia conception rate

15
sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika dibawah 50% berarti menunjukkan
wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur.
Penghitungan terhadap nilai S/C di Kota Sawahlunto pada penelitian ini
didapatkan nilai S/C sebesar 1.80. Dari data ini dapat dikatakan bahwa tingkat
keberhasilan IB di Kota Sawahlunto sudah baik, karena menurut Toelihere (1979)
nilai S/C yang normal adalah 1.60 sampai 2.00.
Nilai CI rata-rata di Kota Sawahlunto dari hasil penelitian ini adalah selama
16.34 bulan. Hal ini mengindikasikan bahwa di Kota Sawahlunto efisiensi
reproduksinya buruk. Hadi dan Ilham (2002) menyatakan bahwa jarak waktu
beranak (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan
menyusui. Efisiensi yang buruk ditandai dengan interval kelahiran yang lebih
panjang (Nurhyadi dan Wahjuningsih 2011).

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan
Program Inseminasi Buatan
Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan IB dapat
ditinjau dari karakteristik peternak, partisipasi peternak, serta teknik pemeliharaan
ternak. Tabel 7 memperlihatkan hubungan beberapa faktor terhadap keberhasilan
program IB.
Tabel 7

Hubungan karakteristik peternak, partisipasi peternak, dan teknik
pemeliharaan ternak terhadap keberhasilan pelaksanaan IB

Karakteristik
Lama berternak
Tiingkat pendidikan
Pekerjaan utama
Jumlah ternak
Keikutsertaan IB
Lama keikutsertaan IB
Jumlah ternak yang di IB
Teknik pemeliharaan
ternak

CR
p-value
r
0.037
0.340*
0.773
-0.048
0.355
0.154
0.789
0.045
0.712
-0.062
0.642
0.078
0.017

0.385*

S/C
p-value
r
0.022 0.372*
0.752
-0.053
0.286
-0.178
0.656
0.075
0.568
-0.096
0.963
-0.008
0.037

0.339*

CI
p-value
0.290
0.999
0.945
0.970
0.587
0.083
0.358
0.014

r
0.163
0.000
0.011
-0.060
0.084
0.264
0.142
0.367*

Keterangan: *Menunjukkan hubungan yang nyata pada nilai p