Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri

1

PENGARUH KEBERADAAN CENTRAL BUSINESS DISTRICT
(CBD) SIMPANG LIMA GUMUL TERHADAP KONVERSI
LAHAN PERTANIAN, KABUPATEN KEDIRI

AS AD ALI MUTAKIN

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

2

3

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Keberadaan

Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul Terhadap Konversi Lahan
Pertanian, Kabupaten Kediri adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya
melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

As Ad Ali Mutakin
NIM H44080034

4

ABSTRAK
AS AD ALI MUTAKIN. Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD)
Simpang Lima Gumul terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri.
Dibimbing oleh NINDYANTORO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola dan karakteristik alih fungsi

lahan pertanian beserta faktor dan laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten
Kediri. Metode analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis pola, karakteristik
dan laju alih fungsi lahan. Sementara itu untuk menganalisis faktor-faktor
digunakan model regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pola dan karakteristik konversi lahan di Kabupaten Kediri secara spontan masih
sangat sedikit dibandingkan dengan yang direncanakan. Pemerintah berhasil
mengatasi masalah defisit lahan pertanian melalui program percetakan sawah.
Secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian pada
taraf nyata ditingkat petani di Kecamatan Ngasem yang pertama adalah jumlah
tanggungan, yang menunjukkkan pertumbuhan pesat pasca pembukaan kawasan.
Kedua adalah jarak lahan dari pusat central business district. Ketiga adalah harga
lahan pertanian per/meter persegi. Keempat adalah luas lahan yang dimiliki
sebelumnya. Implikasi dari hal ini pemda perlu berkoordinasi dengan para pemilik
tanah yang luas agar konversi dapat terkendali.
Kata kunci: central business district, konversi lahan, Simpang Lima Gumul

ABSTRACT
AS AD ALI MUTAKIN. The linkages of existence Central Business District (CBD)
Simpang Lima Gumul with Agricultural Land Conversion, Kediri Regency . Guided
by NINDYANTORO.


This study aims to examine the pattern and characteristics of agricultural
land convertion and its factor and the rate of agricultural land conversion in Kediri
Regency. Descriptive analysis method used to analyze the patterns, characteristics
and the rate of land conversion. Meanwhile, to analyze the factors used multiple
linear regression models. The results showed that the patterns and characteristics
of land conversion in Kediri Regency spontaneously still very little compared by
the plan. The government managed to overcome the problem of agricultural land
deficit through by extensification farmland program. Empirically the factors that
influence agricultural land convertion in the real level of the farmer in Ngasem
Subdistrict the first is the number of dependents, which is indicating the rapid
growth of the region after opening area. The second is the distance of the area from
the center of he central business district. Third is the price of agricultural land per/
square meter. The fourth is land held previously. The implication of this is that local
government needs to coordinate with the owners of wide land so the conversion can
be controlled.
Keywords: central business district, land conversion, Simpang Lima Gumul

5


PENGARUH KEBERADAAN CENTRAL BUSINESS
DISTRICT (CBD) SIMPANG LIMA GUMUL TERHADAP
KONVERSI LAHAN PERTANIAN, KABUPATEN KEDIRI

AS AD ALI MUTAKIN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

6


7

Judul Skripsi : Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang
Lima Gumul terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri
Nama
: As Ad Ali Mutakin
NIM
: H44080034

Disetujui oleh

Ir Nindyantoro, MSP
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Aceng Hidayat, MT
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


Judul Skripsi: Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang
Lima Gumul terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri
: As Ad Ali Mutakin
Nama
: H44080034
NIM

Disetujui oleh

Ir Nindyantoro, MSP
Pembimbing

Diketahui oleh

Tanggal Lulus:

1 0 ", 2014

8


PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan
rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam selalu disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Judul
skripsi ini adalah “Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang
Lima Gumul terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri”, yang
dilaksanakan pada bulan mei 2013 hingga Maret 2014.
Penulis mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak
yang telah memberikan kontribusi serta kerjasama dalam penyusunan skripsi ini
terutama kepada:
1. Ayahanda tercinta (Sumali), Ibunda tercinta (Siti aisah), adik saya tercinta
(Tanto Wiyahya dan Abdul Rohman Zauhari), Om Yudi dan Tante ulfa, serta
keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, dukungan moril
maupun materil, serta limpahan do’a yang tak pernah putus kepada penulis.
2. Ir Nindyantoro MSP selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu
dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan, motivasi dengan penuh
kesabaran serta kebaikan yang sangat membantu dan memberikan inspirasi
penulis selama ini.
3. Adi Hadianto, SP, MSi selaku dosen penguji utama dan Asti Istiqomah, SP

selaku dosen perwakilan departemen.
4. Kepala Kesbangpolinmas Kabupaten Kediri, Kepala BAPPEDA Kabupaten
Kediri, Bapak Camat Ngasem, dan Bapak Kepala Desa beserta jajarannya serta
para ketua RT dan RW yang telah membantu penulis dalam memperoleh data
dan informasi.
5. Saudari Nurul Haq Sari yang telah memberikan limpahan doa, semangat, dan
motivasi kepada penulis
6. Sahabat penulis: Mahmud, Pramudi, Dewi, Ruben, Ai, Daus, Dea, Anna, Kiki,
Agustina, Rifki, Ayu, dan Dika kalian adalah sahabat terbaik. Terima kasih atas
motivasi dan semangatnya.
7. Teman-teman di kostan Wisma Rizki : Awir, Danang, Wisnu, Caesar, Iqra,
Aziz, Anang, Akbar, Dio, Esa, Gogo, Arif, dan Pem. Keluarga besar di ESL 45
dan teman-teman ESL 46 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih
atas berbagai ilmu, kebersamaan, doa, semangat, bantuan, dan dukungan kalian
selama ini.
8. Seluruh Dosen dan Tenaga Pendidikan Departemen ESL yang telah membantu
selama penulis menyelesaikan studi di ESL.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam membantu
proses persiapan hingga penyusunan skripsi ini. Semoga kebaikan yang telah
diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga penelitian ini dapat

bermanfaat bagi berbagai pihak khususnya kepada pembuat kebijakan dan
perencanaan pembangunan di Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri
Bogor, Maret 2014

As Ad Ali Mutakin

9

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR .

viii

DAFTAR LAMPIRAN


ix

I.

PENDAHULUAN

1

1.1

Latar Belakang

1

1.2

Perumusan Masalah

3


1.3

Tujuan Penelitian

4

1.4

Ruang Lingkup Penelitian

4

II.

TINJAUAN PUSTAKA

5

2.1

Pembangunan Wilayah

5

2.1.1 Rencana Tata Ruang Wilayah

6

2.1.2 Pemindahan Pusat Kota Kabupaten

9

2.1.3 Central Business District (CBD)
2.2

10

Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya Terhadap Perkembangan
Wilayah

12

2.3

Lahan dan Fungsi Utama Lahan

13

2.4

Konversi Lahan

14

2.4.1 Definisi Konversi

14

2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan

16

2.5

land Rent

17

2.5

Penelitian Terdahulu

18

III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1

21

Kerangka Teoritis

21

3.1.1 Teori Konversi Lahan

21

3.1.2 Teori Lokasi

22

3.2

Kerangka Operasional

25

3.3

Hipotesis

28

IV. METODE PENELITIAN

29

4.1

Lokasi dan Waktu Penelitian

29

4.2

Metode Penelitian

29

4.3

Jenis dan Sumber Data

29

10

V.

4.4

Metode Pengambilan Sampel

30

4.5

Metode Analisis Data

30

4.5.1 Analisis Deskriptif

31

4.5.2 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan

31

4.5.3 Analisis Regresi Linear Berganda

32

GAMBARAN UMUM

37

5.1

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

37

5.1.1 Kabupaten Kediri

37

5.1.2 Kecamatan Ngasem

37

5.2

5.3

Gambaran Umum Central Business District Simpang Lima
Gumul (CBD SLG)

38

5.2.1 Potensi Kawasan Central Business District

38

5.2.2 Fasilitas Pendukung CBD SLG

39

Karakteristik Responden

42

5.3.1 Jenis Kelamin

42

5.3.2 Tingkat Umur

43

5.3.3 Tingkat Pendidikan

43

5.3.4 Jenis Pekerjaan

44

5.3.5 Alasan Konversi Lahan

45

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

47

6.1

Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan

47

6.2

Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Kediri

52

6.3

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan ditingkat
Petani

VII. SIMPULAN DAN SARAN

54
61

7.1

Simpulan

61

7.2

Saran

62

DAFTAR PUSTAKA

63

LAMPIRAN

66

11

DAFTAR TABEL
Halaman
1.1

Jumlah penduduk Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011 dengan laju
pertumbuhannya

2

4.1

Matriks metode analisis data

31

4.2

Selang nilai statistik durbin watson serta keputusannya

34

6.1

Luas alih fungsi lahan sawah tahun 2003-2009 di Kabupaten Kediri

48

6.2

Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah 2009-2011 di Setiap
Kecamatan

50

6.3

Luas dan laju alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Kediri

53

6.4

Hasil interpretasi koefisien determinasi faktor-faktor yang
mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani

6.5

56

Jumlah penduduk Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011 dengan laju
pertumbuhannya

57

DAFTAR GAMBAR
Halaman
3.1

Ilustrasi hubungan antara land rent dengan kapasitas penggunaan lahan

22

3.1

Pengaruh Jarak Terhadap Biaya Transportasi dan Land Rent

23

3.3

Kurva Bid-rent Individu

24

3.4

Alokasi Lahan Permukiman dengan Preferensi yang Relatif Tinggi
Terhadap Aksessibilitas

25

3.5

Diagram kerangka pemikiran

27

5.1

Hubungan jenis kelamin dengan pendidikan

42

5.2

Hubungan umur dengan status kependudukan

43

5.3

Hubungan tingkat pendidikan dengan jenis pekerjaan

44

5.4

Hubungan jenis pekerjaan dengan pendapatan

45

5.5

Hubungan alasan menjual lahan dengan pendapatan

46

6.1

Luas Lahan Sawah di Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011

47

6.2

Pola Konversi Lahan di Kecamatan Ngasem

51

12

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Kuisioner Penelitian

66

2

Peta Kawasan Strategis Kabupaten Kediri

69

3

Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kediri tahun
2011 dalam RTRW

70

4

Konversi lahan yang dilakukan responden

72

5

Hasil Olahan Data Regresi Linear Berganda Fungsi Faktor-

6

Faktor

73

Dokumentasi Kegiatan

76

1

I. PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus meningkat secara fluktuatif
memiliki dampak terhadap meningkatnya perkembangan wilayah. Perkembangan
suatu wilayah ditandai oleh perkembangan sektor ekonomi dan peningkatan
kelengkapan fasilitas-fasilitas pelayanan umum di suatu wilayah, seperti sekolah,
pertokoan, industri, dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu, wilayah yang
mengalami perkembangan menjadi daya tarik berpindahnya penduduk ke wilayah
tersebut dan proses ini menyokong pertambahan penduduk secara signifikan.
Sejalan dengan perkembangan suatu wilayah

dan

meningkatnya

pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan terus meningkat pesat. Sementara
itu ketersediaan lahan pada dasarnya tidak berubah, meskipun kualitas tingkat
kesuburannya dapat ditingkatkan. Pada kondisi tersebut maka peningkatan
kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan produksi akan mengurangi ketersediaan
lahan untuk kegiatan produksi lainnya. Hal inilah yang menyebabkan seringnya
terjadi benturan dalam penggunaan lahan.
Kabupaten Kediri merupakan salah satu wilayah yang mengalami
perkembangan wilayah cukup pesat. Hal ini ditandai dengan pembangunan
kawasan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul yang mulai dibuka
untuk umum tahun 2008. Pembangunan kawasan Simpang Lima Gumul dimulai
pada tahun 2002 dan masih dalam proses penyelesaian pembangunan. Keberadaan
kawasan CBD Simpang Lima Gumul memicu perkembangan sektor ekonomi, hal
ini dikarenakan infrastruktur yang dibangun untuk mendukung kawasan CBD
menjadi daya tarik bagi masyarakat sekitar untuk berkunjung dan juga menjadi daya
tarik bagi pengusaha/investor untuk berinvestasi.
Semakin berkembangnya pembangunan dan meningkatnya pertambahan
penduduk di Kabupaten Kediri, maka lahan yang dibutuhkan untuk kegiatan non
pertanian seperti permukiman, perdagangan, dan industri semakin meningkat. Hal
tersebut yang menyebabkan sering terjadinya benturan dalam penggunaan lahan.
Alih fungsi lahan cenderung tidak dapat dihindari, hal ini disebabkan

2

perkembangan land rent indutri dan permukiman yang lebih tinggi dibandingkan
land rent pertanian, yang semakin memicu perubahan tataguna lahan pertanian.
Kabupaten Kediri mengalami pertumbuhan penduduk yang terus meningkat
dari tahun ke tahun. Pertambahan penduduk ini menyebabkan keperluan bangunan
juga ikut bertambah. Tidak hanya bangunan rumah untuk tempat tinggal, tetapi juga
infrastruktur lain yang mendukung masyarakat, seperti sekolah, perkantoran, rumah
sakit, dan jalan raya. Adapun gambaran tren peningkatan jumlah penduduk
Kabupaten Kediri dapat dilihat pada Tabel 1.1
berikut ini.
Tabel 1.1 Jumlah penduduk Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011 dengan laju
pertumbuhannya
tahun

Jumlah penduduk (jiwa)

Pertambahan penduduk

laju penduduk (%)

2001
2002

1.401.130
1.407.921

6.791

0,485

2003

1.415.500

7.579

0,538

2004

1.423.234

7.734

0,546

2005

1.438.783

15.549

1,093

2006

1.445.695

6.912

0,480

2007

1.453.619

7.924

0,548

2008

1.461.566

7.947

0,547

2009

1.475.815

14.249

0,975

2010

1.499.768

23.953

1,623

2011

1.576.160

76.392

5,094

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kediri

Menurut Santoso (2013) meningkatnya perkembangan wilayah di
Kabupaten Kediri dimulai ketika Bupati Kabupaten Kediri yang menjabat saat itu
H. Sutrisno (2000-2010) membuat kebijakan untuk memindahkan ibukota
Kabupaten Kediri. Pusat pemerintahan Kabupaten Kediri sebelumnya berada di
Kota Kediri. Pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Kediri sebelumnya telah
lama direncanakan ke Kecamatan Pare, namun rencana tersebut dibatalkan.
Akhirnya ibukota Kabupaten Kediri diputuskan berada di Kecamatan
Ngasem. Pemilihan Kecamatan Ngasem merupakan jalan tengah dan jawaban dari
penolakan pemindahan ibukota kabupaten ke Kecamatan Pare oleh kecamatan
lainnya. Pusat pemerintahan di wilayah Kecamatan Ngasem berada di Desa
Sukorejo. Kecamatan inilah tempat dibangunnya Central Business District di
wilayah Kota Baru Gumul.

3

1.2

Perumusan Masalah

Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk
kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya lahan merupakan salah satu sektor
yang diperlukan dalam setiap bentuk aktivitas manusia. Penggunaan lahan pada
umumnya tergantung pada kemampuan lahan dan lokasi lahan. Penggunaan lahan
untuk daerah-daerah pemukiman, industri dan perdagangan tergantung pada lokasi
lahan. Sedangkan untuk pertanian penggunaan lahan tergantung pada tingkat
kesuburan lahan tersebut.
Lahan yang memiliki tingkat kesuburan bagus dan lokasi yang strategis
akan terdapat kompetisi dalam pemanfaatannya. Kompetisi yang terjadi biasanya
terdapat pada lahan-lahan subur yang berada di daerah perkotaan maupun di daerah
sub urban. Kompetisi dalam pemanfaatan lahan biasanya terjadi antara sektor
pertanian dengan sektor lainnya seperti pemukiman, industri maupun perdagangan.
Secara umum, sumberdaya lahan akan dimanfaatkan oleh pemiliknya untuk tujuantujuan yang memberikan harapan memperoleh penghasilan yang tertinggi. Pemilik
lahan akan menggunakan lahan yang dimilikinya sesuai dengan manfaat
penggunaan tertinggi dan terbaik. Penilaian pemilik lahan untuk penggunaan
terbaik dan tertinggi tergantung pada orientasi yang ingin dicapai yaitu orientasi
ekonomi, sosial maupun lingkungan.
Jika penilaian lahan berdasarkan orientasi ekonomi lebih tinggi daripada
orientasi lainnya maka lahan akan digunakan untuk pemanfaatan yang memberikan
nilai ekonomi tinggi. Pada daerah perkotaan dan sub urban umumnya sektor
pertanian terkalahkan oleh sektor pemukiman, industri maupun perdagangan
sehingga lahan-lahan pertanian dikonversi menjadi pemukiman, industri maupun
perdagangan. Konversi lahan pertanian menimbulkan dampak positif dan negatif.
Dampak positif yang dirasakan adalah munculnya kawasan pemukiman baru untuk
memenuhi kebutuhan perumahan, peningkatan kegiatan perdagangan serta adanya
tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari retribusi dan pajak. Selain dampak
positif konversi lahan pertanian juga menyebabkan dampak negatif.
Dampak negatif yang dirasakan akibat konversi lahan pertanian antara lain
adalah hilangnya kesempatan memproduksi pangan, hilangnya hamparan efektif
yang mampu mengurangi air limpasan dan hilangnya fungsi ekologi dari lahan

4

pertanian tersebut. Oleh karena itu, dalam pengelolaan sumberdaya lahan perlu
mempertimbangkan banyak aspek. Selain aspek ekonomi dalam pengelolaan
sumberdaya lahan juga perlu memperhatikan aspek sosial dan lingkungan.
Berdasarkan fenomena yang terjadi, ada beberapa permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini, meliputi:
1. Bagaimana pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten Kediri?
2. Berapakah laju alih fungsi lahan di Kabupaten Kediri?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian pada
tingkat petani?
1.3

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Mengkaji pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten Kediri.
2. Menghitung laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Kediri.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
pertanian pada tingkat petani.
1.4

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup memiliki tujuan untuk mengetahui batas penelitian. Wilayah
penelitian terletak di Desa Paron, Desa Gogorante dan Desa Sumberejo yang
ketiganya masuk dalam administrasi Kecamatan Ngasem dengan populasi
penelitian merupakan petani di ketiga desa tersebut. Petani tersebut adalah petani
yang mentransaksikan hak kepemilikan lahannya, petani yang melakukan alih
fungsi lahannya sendiri dan petani yang tidak melakukan alih fungsi lahan. Alih
fungsi lahan yang terjadi berupa perubahan lahan pertanian menjadi fungsi lain
yang tidak bisa diubah menjadi lahan pertanian kembali. Lahan pertanian yang
dianalisis terbatas pada lahan sawah dan hasil produksi berupa padi, jagung dan
tebu. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor langsung yang
mempengaruhi keputusan petani. Penelitian ini tidak mencakup dampak yang
dirasakan petani karena telah melakukan alih fungsi lahan.

5

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Pembangunan Wilayah

Jayadinata (1999) mendefinisikan wilayah dalam pengertian geografis
sebagai kesatuan alam yaitu alam yang serba sama, atau homogen, atau seragam,
kesatuan manusia, yaitu masyarakat serta kebudayaannya yang serba sama yang
mempunyai ciri (kekhususan) yang khas, sehingga wilayah tersebut dapat
dibedakan dari wilayah lain. Menurut Rustiadi dan Anwar (2000), wilayah adalah
satu satuan atau unit geografis dengan batas-batas tertentu, dimana bagian
bagiannya (sub wilayah) satu sama lain tergantung secara fungsional. Dari
pengertian di atas dapat dikatakan pengertian wilayah bersifat relatif yaitu tidak ada
batasan yang luas. Oleh karena itu, pembagian wilayah tergantung dari tujuan
analisis wilayah tersebut.
Dalam konsep wilayah nodal, maka wilayah ditafsirkan sebagai sel hidup
yang mengandung inti dan plasma. Inti adalah pusat atau kutub yang berfungsi
sebagai pusat konsentrasi tenaga kerja, lokasi industri, dan jasa serta pasar bahan
mentah. Plasma mengandung pengertian wilayah belakang (hinterland) yang
berfungsi sebagai pemasok tenaga kerja, pemasok bahan mentah, serta pasar dari
industri dan jasa.
Pertumbuhan penduduk, meningkatnya sarana perhubungan, menurunnya
secara relatif sektor pertanian sebagai penopang kehidupan masyarakat petani di
perdesaan dan daya tarik kota menyebabkan terjadinya arus urbanisasi dari desa ke
kota atau dari daerah belakang atau plasma ke pusat-pusat atau inti. Disisi lain
dengan adanya ketersediaan infrastruktur di pusat atau di inti, tenaga kerja yang
berlimpah menyebabkan banyak industri bertumbuh di pusat dan wilayah pengenal
pinggiran kota inti. Adanya perbedaan pertumbuhan wilayah dalam lingkup suatu
negara, menyebabkan dalam suatu kawasan yang lebih luas akan terdapat beberapa
macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu (1). wilayah maju;
(2). wilayah sedang berkembang; (3). wilayah belum berkembang; dan (4). wilayah
tidak berkembang. Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya
berfungsi sebagai pusat pertumbuhan, biasanya terdapat pemusatan penduduk, industri,
pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Selain itu juga dicirikan oleh tingkat

6

pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang
juga tinggi.
Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang
cepat dan merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai
aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah yang belum
berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah baik secara absolut,
maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola
atau dimanfaatkan. Wilayah ini masih didiami oleh tingkat kepadatan penduduk yang
masih rendah. Selain itu wilayah ini belum mempunyai aksesibilitas yang baik terhadap
wilayah lain. Struktur ekonomi wilayah ini masih didominasi oleh sektor primer dan
biasanya belum mampu membiayai pembangunan secara mandiri.
Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal : Pertama adalah
wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam
maupun potensi lokal, sehingga secara alami sulit sekali berkembang dan mengalami
pertumbuhan. Kedua adalahwilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi baik
sumberdaya alam atau lokal maupun keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan
tumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah
yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk yang jarang
dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak
memiliki infrastruktur yang lengkap dan tingkat aksesibilitas yang rendah. Wilayah
yang memiliki sumberdaya yang berlimpah, namun tidak berkembang dicirikan oleh
tingkat kebocoran wilayah yang tinggi, dimana manfaat tertinggi dari manfaat
sumberdaya alam tersebut dinikmati oleh wilayah lainnya.

2.1.1 Rencana Tata Ruang Wilayah
Didalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan
bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
arti, daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur pemerintahan di luar
yang menjadi urusan Pemerintah, yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan prinsip
tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa dalam menangani urusan

7

pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi
setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Selain itu penyelenggaraan
otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antar Daerah dengan
Daerah lainnya, dan juga mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah
dengan Pemerintah.
Disamping itu karena kemampuan atau kapasitas sumberdaya manusia di
daerah relatif masih sangat terbatas. Oleh karena itu perlu pengurangan dominasi
perencanaan dari atas yang menuju pemberdayaan perencanaan dari bawah.
Walaupun perencanaan dari atas tersebut tidak selalu berarti negatif, namun sudah
saatnya dilakukan upaya peningkatan pemberdayaan seluruh lapisan masyarakat
dalam proses dan pelaksanaan pembangunan. Hal itu bertujuan agar keterpaduan
perencanaan dari atas dengan perencanaan yang datang dari bawah dapat
diwujudkan secara optimal.
Ditinjau dari kondisi yang ada saat ini, Kabupaten Kediri memiliki wilayah
seluas 1.386,05 km2 dan memiliki kondisi yang beraneka ragam baik sumber daya
alam, sumber daya manusia, maupun perkembangan wilayahnya. Oleh karena itu,
diperlukan strategi

pengembangan kawasan

yang baik

untuk

memacu

perkembangan yang terarah dan untuk mengurangi kesenjangan pertumbuhan antar
wilayah. Pengarahan perkembangan yang akan datang diupayakan agar
pertumbuhan tersebut dapat seoptimal mungkin untuk mendorong perkembangan
wilayah dan sektor yang potensial pada setiap wilayah.
Perkembangan wilayah dapat di optimalkan bila pada setiap wilayah
mempunyai satu pusat dan diharapkan akan dapat mendorong perkembangan
sekitarnya melalui proses interaksi wilayah. Dimungkinkan dengan adanya konsep
tersebut dapat berjalan dengan baik, maka permasalahan pertumbuhan ekonomi
wilayah dan pemerataan hasil pembangunan akan lebih mudah tercapai.
Secara konseptual permasalahan ini dapat dilakukan dengan menetapkan
struktur tata ruang wilayah yang ideal yaitu dengan menetapkan kota kota kunci.
Pada umumnya kota ini memiliki karakter kota terbesar di wilayahnya, lokasinya
central, aksesnya bagus dan memiliki sektor atau kegiatan tertentu yang dapat

8

memacu perkembangan pada wilayah sekitarrnya. Kota-kota kunci ini yang
nantinya akan menjadi penentu pertumbuhan atau perkembangan bagi wilayah
sekitarnya, sehingga perbedaan perkembangan antar wilayah akan dapat dicegah
tanpa harus mengesampingkan perkembangan wilayah yang potensial untuk
berkembang BAPEDDA (2013).
Penetapan kota-kota kunci dalam tata ruang wilayah di Kabupaten Kediri di
tetapkan dengan model regionalisasi atau penentuan Sub Satuan Wilayah
Pengembangan (SSWP) dan setiap SSWP memiliki wilayah pendukung dan pusat
SSWP harus diberi kelengkapan yang berupa penunjang sosial ekonomi dalam
pelayanan sub regional. Wilayah pusat juga harus memiliki aksesibilitas yang tinggi
pada wilayah sekitarnya dan ke Kediri sebagai pusat SSWP, sedangkan fasilitas
sosial ekonomi harus ada pada setiap SSWP.
Berdasarkan kondisi yang ada di Kabupaten Kediri, penetapan sistem tata
ruang wilayah yang direncanakan adalah dengan membagi wilayah yang ada
menjadi 7 (tujuh) wilayah pengembangan dan kegiatan utamanya BAPPEDA
(2011) sebagai berikut:
1. SSWP A terdiri dari Kecamatan Grogol, Tarokan dan Banyakan dengan pusat
di Kecamatan Grogol. Kegiatan yang akan dikembangkan di wilayah ini antara
lain pendidikan, industri kecil/menengah, perdagangan dan pertanian.
2. SSWP B terdiri dari Kecamatan Ngadiluwih, Mojo, Kras, Kandat dan
Ringinrejo dengan pusat di Kecamatan Ngadiluwih. Kegiatan yang
dikembangkan di wilayah ini antara lain pertanian, perdagangan, pendidikan,
pariwisata dan industri kecil/menengah.
3. SSWP C terdiri dari Kecamatan Ngancar dan Wates dengan pusat di
Kecamatan Wates. Kegiatan yang akan dikembangkan di wilayah ini adalah
pertanian, perhubungan, perdagangan, industri kecil dan pariwisata.
4. SSWP D terdiri dari Kecamatan Ngasem, Gampengrejo, Gurah, Pagu,
Kayenkidul dan Plosoklaten dengan pusat di Kecamatan Ngasem. Kegiatan
yang akan dikembangkan di wilayah ini antara lain perdagangan, industri,
pendidikan, pusat pemerintahan, pemasaran/jasa, pertanian dan pariwisata.
5. SSWP E terdiri dari Kecamatan Pare, Badas, Puncu, Kepung dan Kandangan
yang berpusat di Kecamatan Pare. Kegiatan yang akan dikembangkan di

9

wilayah ini antara lain pertanian, Agro industri, perdagangan, pariwisata,
perhubungan dan pendidikan.
6. SSWP F yang terdiri dari Kecamatan Papar, Plemahan, Kunjang dan Purwoasri
berpusat di Kecamatan Papar dengan kegiatan yang dikembangkan yakni
pertanian, perdagangan, Transportasi dan industri.
7. SSWP G terdiri dari Kecamatan Semen yang menuju perbatasan Kota Kediri,
dengan pengembangan kegiatan wilayah yakni perdagangan, industri kecil,
pariwisata dan pertanian.
2.1.2 Pemindahan Pusat Kota Kabupaten
Ibukota Kabupaten merupakan suatu pusat administrasi pemerintahan yang
setingkat dengan kota. Di situ ditempatkan kegiatan fungsional pemerintahan yang
mengurus dan menyelenggarakan segala kegiatan dan administrasi yang berada di
bawahnya yaitu kecamatan. Kecamatan membawahi administrasi dibawahnya yaitu
sejumlah kelurahan dan desa.
Kabupaten merupakan alat penghubung antar propinsi, antar kabupaten atau
kota dalam suatu propinsi dan menjaga kesatuan wilayah administrasinya.
Disamping itu Ibukota kabupaten sebagai suatu kota harus dapat berfungsi sebagai
pusat pelayanaan bagi kegiatan sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik
suatu wilayah kabupaten. Untuk itu harus mampu menyediakan jasa pelayanaan
dalam menunjang fungsi tersebut, dalam artian menyediakan sumber penghidupan
dan kehidupan bagi penduduk kota itu sendiri Sugiarto (1995) dalam Indafa`a
(2006).
Sejalan dengan gerak laju pembangunan saat ini, Kabupaten Kediri tumbuh
dan berkembang cepat, baik fisik, perekonomian, sosial, budaya maupun jumlah
penduduk. Perkembangan pembangunan di Kabupaten Kediri perlu terus dipacu
dengan menumbuhkan pusat-pusat perekonomian di seluruh wilayah, untuk itu
perlu diimbangi dengan pengaturan tata ruang wilayah khususnya bagi Ibukota
Kabupaten Kediri. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memindahkan Ibukota
Kabupaten Kediri yang sebelumnya berada di Kota Kediri ke Ngasem selaku pusat
seluruh aktivitas pemerintahan dan pembangunan.
Sesuai dengan kebijakan pembangunan nasional, dalam rangka pemerataan
pembangunan dan keseimbangan pembangunan antar wilayah di Kabupaten Kediri

10

upaya pemindahan pusat pemerintahan dari Kota Kediri ke Ngasem pada dasarnya
telah mendapatkan persetujuan prinsip dari Bupati Kediri melalui Surat Nomor
100/3967/2005 tanggal 17 Desember 2005 perihal Pengiriman Dokumen Calon
Ibukota Kabupaten Kediri dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Kediri Nomor 13/DPRD/2005 tanggal 14 Desember 2005 tentang
Penetapan Nama dan Peta serta Batas-batas wilayah Calon Ibukota Kabupaten
Kediri

serta

Rekomendasi

Gubernur

Nusa

Tenggara

Timur

Nomor

Pem.135/530/2005 tanggal 15 Desember 2005 mengenai rekomendasi Kecamatan
Ngasem sebagai Ibukota Kabupaten Kediri.
2.1.3 Central Business District
Menurut Sitohang (1977) dalam Indafa`a (2006) pengertian CBD adalah
wadah konsentrasi kegiatan bisnis. Jenis kegiatan tersebut diantaranya perdagangan,
kegiatan belanja dan sebagainya, dengan karakteristik penggunaannya lebih banyak
untuk kegiatan perkantoran dan pemerintahan. CBD merupakan kawasan yang
didalamnya menampung aktifitas yang relatif padat atau kegiatan yang
multifungsional. Kegiatan yang berada di dalamnya meliputi diantaranya yang
paling menonjol adalah kegiatan perdagangan, jasa dan perkantoran.
Central Business District (CBD) atau Daerah Pusat Kegiatan (DPK) adalah
bagian kecil dari kota yang merupakan pusat dari segala kegiatan politik, sosial
budaya, ekonomi dan teknologi. Central Business District memiliki ciri-ciri yang
membedakannya dari bagian kota yang lain, Mulyawan (2010). Ciri-ciri tersebut
adalah :
a. Adanya pusat perdagangan, terutama sektor retail.
b. Banyak kantor-kantor institusi perkotaan.
c. Tidak dijumpai adanya industri berat/manufaktur.
d. Permukiman

jarang,

dan

kalaupun

ada

merupakan

permukiman

mewah(apartemen)sehingga populasinya jarang.
e. Ditandai adanya zonasi vertikal yaitu banyak bangunan bertingkat yang
memiliki diferensiasi fungsi.
f. Adanya pedestrian yaitu suatu zona yang dikhususkan untuk pejalan kaki
karena sering terjadi kemacetan lalu lintas. Tetapi zona ini baru ada di
negara-negara maju.

11

g. Adanya “ multi storey “ yaitu perdagangan yang bermacam-macam dan
ditandai dengan adanya supermarket/mall.
h. Sering terjadi masalah penggusuran untuk redevelopment/renovasi
bangunan.
Menurut teori konsentris Burgess (1925) Daerah Pusat Kota (DPK)
atau Central Business District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di
tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial,
ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas
tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu:
pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan
dominan pertokoan, perkantoran, dan jasa; kedua bagian di luarnya atau WBD
(Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan
kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan, dan gedung
penyimpanan barang supaya tahan lama.
Dalam era otonomi yang memberlakukan pasar bebas dalam globalisasi
ekonomi, Indonesia sebagai negara berkembang mulai berbenah diri, hal ini dapat
terlihat di sebagian besar di kota-kota di Indonesia yang berlomba-lomba
membangun daerahnya, salah satunya dapat dilihat di CBD Simpang Lima
Semarang yang merupakan tren masyarakat Semarang, sebagai tempat kegiatan
yang multifungsi dan diperuntukkan sebagai kawasan perdagangan, perkantoran,
hunian, pendidikan dan rekreasi. Kawasan CBD Simpang Lima ini merupakan
pusat perekonomian terbesar di Kota Semarang yang didukung oleh jalur segitiga
perekonomian

Bulu,

Peterongan,

Johar.

Keberadaan

CBD

ini

mampu

membangkitkan perekonomian kota dan menjadi konsentrasi kegiatan utama yang
komplek bagi Kota Semarang.
Kawasan menurut Pasal 1 butir 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang yaitu “wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau
budidaya”. Kawasan menurut Pasal 1 butir 21-30 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 terdiri dari :
a. Kawasan Lindung
b. Kawasan Budidaya
c. Kawasan Perdesaan

12

d. Kawasan Agropolitan
e. Kawasan Perkotaan
f. Kawasan Metropolitan
g. Kawasan Megapolitan
h. Kawasan Strategis Nasional
i. Kawasan Strategis Provinsi
j. Kawasan Strategis Kabupaten/Kota
Kawasan Simpang Lima Gumul termasuk di dalam kategori kawasan
perdesaan (Pasal 1 butir 23 UU Nomor 26 Tahun 2007) yaitu : “Wilayah yang
mempunyai kegiatan utamanya adalah pertanian, termasuk pengelolaan sumber
daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan,
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi”.
Kawasan Simpang Lima Gumul juga termasuk di dalam kategori kawasan
agropolitan (Pasal 1 butir 24 UU Nomor 26 Tahun 2007) yaitu : “Kawasan yang
terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai system
produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan
oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem
permukiman dan sistem agribisnis”.
2.2

Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan
Suatu Wilayah
Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu

wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan waktu sebelumnya. Prediksi
jumlah penduduk yang akan datang dapat bermanfaat untuk mengetahui kebutuhan
dasar penduduk, tidak hanya di bidang sosial dan ekonomi tetapi juga di bidang
pemenuhan kebutuhan akan lahan misalnya penggunaan lahan (BPS Indonesia,
2000).
Badan Pusat Statistik Indonesia (2000) menyatakan pertumbuhan penduduk
suatu wilayah atau negara dapat dihitung dengan membandingkan jumlah penduduk
awal (misal P0) dengan jumlah penduduk di kemudian hari (misal Pt). Tingkat
pertumbuhan penduduk dapat dihitung dengan menggunakan rumus geometrik.
Dengan rumus pertumbuhan geometrik, angka pertumbuhan penduduk (rate of
growth) sama untuk setiap tahun, rumusnya:

13

�� = �

Keterangan:

+�



P0 = jumlah penduduk awal
Pt = jumlah penduduk t tahun kemudian
r = tingkat pertumbuhan penduduk
t = jumlah tahun dari 0 ke t
Menurut Fandeli et al. (2008) perkembangan penduduk menyebabkan
pemanfaatan sumber daya alam yang tidak memperhatikan kelestarian.
Perkembangan penduduk menyebabkan kebutuhan lahan semakin meningkat dan
menyebabkan peralihan fungsi hutan ke penggunaan yang lain. Selanjutnya Sitorus
et al. (2010) menyatakan perkembangan jumlah penduduk yang terlalu banyak
dapat mengakibatkan penggunaan sumberdaya yang berlebihan.
2.3

Lahan dan Fungsi Utama Lahan

Lahan adalah suatu wilayah daratan bumi yang ciri-cirinya mencakup
semua tanda pengenal (attributes) atmosfer, lahan, geologi, timbulan (relief),
hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, baik yang bersifat mantap maupun
yang bersifat mendaur, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini, sejauh
hal-hal tadi berpengaruh murad (significant) atas penggunaan lahan pada masa kini
dan masa mendatang. Jadi, lahan mempunyai ciri alami dan budaya.
Menurut Arsyad (2010), penggunaan lahan dibagi ke dalam dua kelompok
utama yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian.
Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam peggunaan
lahan pertanian seperti tegalan, sawah, kebun karet, hutan produksi, dan sebagainya.
Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan atas penggunaan
kota dan desa (permukiman), industri, rekreasi, dan sebagainya. Barlowe (1978)
membagi penggunaan lahan untuk (1) lahan permukiman, (2) lahan industri dan
perdagangan, (3) lahan bercocok tanam, (4) lahan peternakan dan penggembalaan,
(5) lahan hutan, (6) lahan mineral/pertambangan, (7) lahan rekreasi, (8) lahan
pelayanan jasa, (9) lahan transportasi, dan (10) lahan tempat pembuangan.
Menurut Barlowe (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi pola
penggunaan lahan adalah faktor fisik-biologis, faktor pertimbangan ekonomi, dan
faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik-biologis berkaitan dengan lingkungan

14

fisik dimana manusia berada. Faktor ini memberikan dukungan sifat-sifat alamyang
sesuai dengan letaknya, keadaan bahan penunjang untuk kegiatan manusia, dan
komunitas manusia, diantaranya mencakup keadaan geologi, tanah, air, iklim,
tumbuh-tumbuhan, hewan, dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi
meliputi produktivitas, pemasaran, transportasi, dan kebutuhan yang dicirikan oleh
keuntungan, keadaan pasar, dan transportasi. Faktor kelembagaan dicirikan oleh
ada tidaknya hukum pertanahan yang berlaku di masyarakat dan tidak bertentangan
dengan keadaan sosial budaya serta kepercayaan yang secara empirik dapat
diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat.
Suparmoko (1989) penggunaan lahan oleh masyarakat pada suatu wilayah
merupakan pencerminan dari kegiatan manusia pada wilayah yang mendukungnya.
Pemanfaatan sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan bertujuan untuk
menghasilkan barang-barang pemuas kebutuhan manusia yang terus meningkat
sebagai akibat pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi. Saefulhakim
dan Nasoetion (1996), menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan suatu
proses yang dinamis, perubahan yang terus menerus, sebagai hasil dari perubahan
pada pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu. Hal ini mengakibatkan
masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang kompleks.
Penggunaan lahan merupakan refleksi perekonomian dan preferensi masyarakat.
Berhubung perekonomian dan preferensi masyarakat ini bersifat dinamis sejalan
dengan pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan, maka penggunaan
lahanpun bersifat dinamis bisa berkembang ke arah peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan juga sebaliknya.
2.4

Konversi Lahan

2.4.1 Definisi Konversi
Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan
lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang
membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan
tersebut. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian penggunaan
disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya dan
meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Utomo et al. 1992).

15

Menurut Sumaryanto et al. (1994) menjelaskan alih guna lahan dari segi
pengembangan sumberdaya merupakan suatu bentuk dari perubahan alokasi
sumberdaya antara sektor penggunaan. Akibat struktur trasformasi perekonomian
yang mengarah pada semakin meningkatnya peran sektor non pertanian,
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi besaran dan laju penggunaan
sumberdaya (tenaga kerja, modal dan tanah) antar sektor. Lazimnya, sektor-sektor
ekonomi dengan pertumbuhan yang tinggi akan diikuti dengan laju penggunaan
sumberdaya yang lebih tinggi. Akibatnya relokasi sumberdaya dari sektor pertanian
ke non pertanian sangat sulit dihindari.
Perkembangan sektor pertanian pada umumnya terjadi pada wilayahwilayah yang berlahan subur. Pada wilayah-wilayah inilah berkembang pusat-pusat
pemukiman penduduk sehingga menuntut pemerintah daerah setempat untuk
membangun fasilitas-fasilitas umum dan prasarana-prasarana diwilayah tersebut.
Adanya pusat pemukiman penduduk, ketersediaan prasarana dan berdasarkan
pertimbangan faktor-faktor lokasi, yaitu dekatnya lokasi dengan pemukiman
sebagai sumber tenaga kerja, maka penggunan lahan untuk penggunaan non
pertanian seperti industri cenderung untuk berkembang di wilayah ini (Nuryati,
1995).
Konversi lahan sawah sebenarnya wajar terjadi apabila dilakukan di lahan
yang kurang subur, tapi pada kenyataannya konversi lahan sawah dilakukan pada
lahan-lahan sawah yang subur dan produktif. Sehingga hal ini dalam jangka yang
panjang akan mendatangkan banyak masalah, seperti hilangganya produksi padi
yang mengakibatkan swasembada pangan (beras) tidak tercapai, mata pencaharian
menjadi berkurang yang dulu bekerja menjadi petani dan buruh tani sekarang
menjadi pengangguran karena lahan garapan sudah beralih fungsi ke non pertanian.
Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan
pertanian ke penggunaan non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan
pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dijelaskan bahwa konversi
lahan dipengaruhi dua faktor utama, yaitu:
1. Faktor pada aras makro yang meliputi perubahan industri, pertumbuhan
pemukiman,

pertumbuhan

kemiskinan ekonomi.

penduduk,

intervensi

pemerintah,

dan

16

2. Faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur
ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai
ekonomi rumah tangga), dan strategi bertahan hidup rumah tangga.
2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Alih fungsi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun
pada kenyataanya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi diatas lahan
pertanain produktif. Berdasarkan hal tersebut, Pakpahan (1993) membagi faktor
yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak
langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur
ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi
rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan
pembanguan sarana trasforasi, pertumbuhan lahan untuk industri, pertumbuhan
sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah.
Faktor langsung dipengaruhi oleh faktor tidak langsung, seperti
pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan
struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan
pembanguan sarana trasfortasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus
urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan di pinggiran kota. Alih
fungsi lahan menjadi isu penting karena sebagian besar terjadi padalahan pertanian
produktif dan adanya indikasi pemusatan penguasaan lahan di satu pihak dan proses
fragmentasi lahan di pihak lain (Pakpahan et al, 1993).
Konversi lahan pertanian menjadi non pertanian menurut Winoto (2005)
disebabkan oleh 5 faktor yaitu:
1. Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk di suatu
wilayah. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan
permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut
berperan menciptakan tambahan permintaan lahan.
2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktifitas sektor
non pertanian dibandingkan dengan sektor pertanian. Rendahnya insentif
untuk bertani disebabkan tingginya biaya produksi, sementara harga hasil
pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan

17

keluarga petani yang semakin mendesak menyebabkan terjadinya konversi
lahan.
3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang
menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi
batas minimun skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang
memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara
keseluruhan. Hal ini tercermin dari rencana tata ruang wilayah (RTRW)
yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan
tanah non pertanian.
5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari
peraturan yang ada.
2.5

Land Rent

Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa land rent merupakan nilai dari
kegiatan yang dilakukan pada sebidang lahan yang menghasilkan pendapatan bersih
tiap meter persegi per tahun. Land rent adalah nilai surplus ekonomi sebagai bagian
dari nilai produk total atau pendapatan total yang ada setelah pembayaran dilakukan
untuk semua faktor biaya total (Barlowe, 1986). Nilai land rent yang lebih tinggi
dapat menggeser kegiatan usaha yang mempunyai land rent lebih rendah. Hal ini
dapat mempengaruhi dinamika perubahan penggunaan lahan. Secara umum
aktivitas industri memiliki nilai land rent paling besar kemudian perdagangan,
pemukiman, pertanian, dan kehutanan. Keterkaitan nilai land rent dengan
perubahan penggunaan lahan sangat erat, karena penggunaan lahan cenderung akan
berubah dari aktivitas dengan land rent rendah ke aktivitas dengan land rent yang
lebih tinggi. Perubahan penggunaan lahan ini merupakan akibat dari perkembangan
nilai land rent usaha non pertanian yang lebih tinggi dari pada land rent pertanian
di suatu lokasi yang lebih produktif.
Menurut Hardjowigeno et al (1999), lahan paling sedikit mempunyai tiga
jenis nilai dalam ekonomi lahan, yaitu :
1. Ricardian Rent, nilai lahan yang berkaitan dengan sifat dan kualitas tanah
2. Locational Rent, nilai lahansehubungan dengan sifat lokasi relatif dari lahan
3. Enviromental Rent, sifat tanah sebagai komponen utama ekosistem

18

Menurut Barlowe (1978) nilai ekonomi lahan dapat dibedakan menjadi dua
yaitu :
1. Sewa Lahan (contract rent) sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik
dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu.
2. Keuntungan usaha (economic rent atau land rent) yang merupakan surplus
pendapatan di atas biaya produksi atau harga input lahan yang memungkinkan
faktor produksi lahan dapat dimanfaatkan dalam proses produksi.
Konsep David Ricardo yang berkaitan dengan sewa atas dasar perbedaan
dalam kesuburan lahan terutama pada masalah sewa di sektor pertanian. Teori sewa
model Ricardo ditentukan berdasarkan perbedaan dalam kualitas lahan yang hanya
melihat

faktor-faktor

kemampuan

lahan

untuk

membayar

sewa

tanpa

memperhatikan faktor lokasi lahan. Faktor lokasi dalam menetukan nilai sewa lahan
diamati oleh Von Thunen yang menemukan bahwa sewa lahan di daerah yang dekat
dengan pusat pasar lebih tinggi daripada daerah yang lebih jauh dari pusat pasar.
Menurut Von Thunen sewa lahan berkaitan dengan perlunya biaya transport dari
daerah yang jauh ke pusat pasar (Suparmoko, 1989)
Lahan yang lokasinya dekat pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah
pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dan kapasitas sewa
yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan, seperti untuk industri-industri
atau kegiatan lain yang lebih menguntungkan. Bila mekanisme pasar terus
berlangsung, maka penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih besar
relatif mudah menduduki lokasi utama dan menekan serta menggantikan posisi
penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih kecil. Secara umum
besaran land rent dari berbagai kegiatan dapat diurutkan dari yang terbesar sebagai
berikut : Industri, Perdagangan, Permukiman, Pertanian Intensif, Pertanian
Ekstensif (Barlowe, 1978). Hal ini dapat disimpulkan bahwa sektor-sektor yang
komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi. Sehingga sektor-sektor
tersebut berada di kawasan strategis.
2.6

Penelitian Terdahulu

Astuti, 2011 dalam penelitiannya yang berjudul keterkaitan harga lahan
terhadap laju konversi lahan pertanian di hulu sungai Ciliwung Kabupaten Bogor.

19

Tujuan dari penelitian yang dilakukan Astuti (2011) adalah untuk: (1)
Mengidentifikasi laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua. (2) Menganalisis
keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di Kecamatan
Cisarua. (3) Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk dalam
mengkonversi lahan di hulu sungai.
Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dan
kuantitatif, analisis kualitatif menggunakan metode linear berganda, analisis
kuantitatif menggunakan metode Korelasi Pearson. Hasil dari penelitian yang
dilakukan adalah harga lahan di tingkat Kecamatan Cisarua pada tahun 2001-2010
berhubungan positif terhadap konversi lahan. Laju konversi semakin tinggi karena
harga lahan di Kecamatan Cisarua lebih murah dibandingkan dengan daerah asal
mayoritas

pembeli

yaitu

Jakarta

dimana

pembeli

memiliki

keinginan

untukberinvestasi.
Anugrah, 2005 dalam penelitiannya yang berjudul analisis faktor-fa