Enzymatic Fuel Cell (EFC) used carbon-polyaniline nanoparticle composite bioanoda with amobolized Glucose Oxidase (GOD).

ENZYMATIC FUEL CELL (EFC) MENGGUNAKAN BIOANODA
KOMPOSIT KARBON-NANOPARTIKEL POLIANILIN YANG
TERAMOBILISASI Glucose Oxidase (GOD)

SURIANTY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Enzymatic Fuel
Cell (EFC) menggunakan bioanoda komposit karbon-nanopartikel polianilin
yang teramobilisasi Glucose Oxidase (GOD) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014

Surianty
NIM G751110121

RINGKASAN
SURIANTY. Enzymatic Fuel Cell (EFC) menggunakan bioanoda komposit
karbon-nanopartikel polianilin yang teramobilisasi Glucose Oxidase (GOD)
dibimbing oleh Akhiruddin Maddu dan Laksmi Ambarsari
Nanopartikel Polianilin merupakan salah satu polimer konduktif yang
bisa digunakan sebagai matriks dalam pembuatan bioanoda dalam aplikasi
biofuel cell. Polianilin dapat disintesis melalui metode polimerisasi
interfacial antar muka sistem dua fasa larutan organik/air. Produk berupa
endapan polianilin dan dilakukan pemurnian melalui filtrasi. Serbuk
polianilin dikarakterisasi dengan SEM, untuk melihat struktur morfologi
yang berpori dari permukaan polianilin, hasil analisis diperoleh partikel
dengan ukuran sekitar 60 nm. Karakterisasi TEM untuk melihat lapisan
paling tipis sampel (polianilin), dan terlihat morfologi polianilin membentuk

kelompok atau mengagregasi seperti serat dengan ukuran diameter partikel
rata-rata 60-80 nm. Kristalinitas polianilin dengan XRD, memperlihatkan
struktur kristal parsial atau semikristalin dari polianilin dengan ukuran ratarata kristal 10,4 nm. Umumnya pola difraksi yang melebar mengindikasikan
urutan struktur kristalinitas polianilin nanokristal. Analisis FTIR
mengindikasikan bahwa polianilin yang diperoleh merupakan bentuk
polianilin konduktif atau emeraldine salt (ES).
Penambahan polianilin pada elektroda pasta karbon teramati pada
kurva voltamogram. Puncak oksidasi terjadi pada potensial 0,4 V dan 0,6
V, sedangkan puncak reduksi pada -0,1 V dan 0,8 V walaupun tidak terlihat
begitu tajam.
Penggunaan enzim glucose oxidase dalam bentuk larutan kurang
ekonomis, karena enzim tersebut tidak dapat dimanfaatkan kembali. Untuk
efisiensi penggunaan enzim dalam analisis maupun dalam proses produksi,
maka dikembangkan teknik amobilisasi enzim. Amobilisasi enzim
dilakukan pada elektroda anoda sebagai penghasil elektron. Polianilin
(nanopartikel PANI) dengan ukuran partikel yang kecil namun luas
permukaannya besar, digunakan sebagai matriks yang dapat mengikat enzim
bebas dan mampu menjaga stabilitas aktivitas katalitik enzim dengan lebih
baik sehingga dapat digunakan sebagai bahan elektroda yang akan
digunakan pada proses reaksi anoda pada EFC.

Enzymatic fuel cell merupakan teknologi elektrokimia yang
mengkonversi energi kimia menjadi listrik. Energi penggerak yang sering
disebut enzymatic fuel cell ini merupakan enzim glucose oxsidase yang
berperan sebagai biokatalisis. Hasil pengamatan diperoleh bahwa
konsentrasi glukosa rendah (0,25 M) menghasilkan nilai arus yang tinggi
(5,05 A), namun peningkatan konsentrasi glukosa (0,50 M; 0,75 M; 1 M)
menurunkan nilai arus yang dihasilkan (2,45 A; 1,6λ A; 1,35 A). Hal
yang sama terjadi pada pengamatan nilai tegangan, dengan konsentrasi
glukosa rendah (0,25 M) menghasilkan nilai tegangan yang tinggi 60,8 mV,
namun nilai tegangan menurun (20,3 mV; 20,8 mV; 15,4 mV) dengan
bertambahnya konsentrasi glukosa (0,50 M; 0,75 M; 1 M). Nilai rapat daya
(power density) maksimum diperoleh 0,3λ W/cm2, pada konsentrasi
glukosa rendah (0,25 M) dengan peningkatan konsentrasi glukosa (0,50 M;

0,75 M; 1 M) menurunkan nilai rapat daya (0,071 W/cm2, 0,044 W/cm2,
0,026 W/cm2). Jadi dapat dikatakan konsentrasi glukosa yang rendah
menghasilkan energi listrik yang maksimum baik arus, tegangan dan rapat
daya. Jadi nilai rapat daya (power density) maksimum yang diperoleh pada
penelitian ini sebesar 0,3λ W/cm2.
Keywords : polianilin, elektroda bioanoda, dan enzymatic fuel cell


SUMMARY
SURIANTY. Enzymatic Fuel Cell (EFC) used carbon-polyaniline
nanoparticle composite bioanoda with amobolized Glucose Oxidase (GOD).
Supervised by AKHIRUDDIN MADDU and LAKSMI AMBARSARI
.
Polyaniline nanoparticles is one of the conductive polymer which used
as a matrix in the manufacture bioanoda in biofuell cell applications.
Polyaniline was synthesized by the interfacial polymerization method
interfacial two-phase system of organic solvent or water. Products such as
polyaniline precipitate was collected and purified by filtrating. The powder
was characterized by SEM for morphology structure analyzing of
polyaniline surface porous, the analyzing result of particle size was 60 nm.
Characterization of TEM showed the thinnest layer of the sample, the
morphologically formed groups or aggregations such as fiber to the size of
the average particle diameter of 60-80 nm. The crystallinity of X-ray
diffraction results showed partial or semi-crystalline structure of polyaniline
with an average crystal size was 10.4 nm. Generally, the diffraction pattern
indicates that extends sequence crystallinity of polyaniline nanocrystal
structure. FTIR analysis indicated that the sample obtained was a conductive

polyaniline forms or emeraldine salt (ES).
Polyaniline addition on carbon paste electrode observed in
voltammogram curve. The oxidation peak in potential 0,4 and 0,6 V, and the
reduction peak was seen at -0,1 and 0,8, although it does not look so sharp.
The using of glucose oxidase enzyme in solution is less economical,
because the enzyme can not be used repeatedly. For using efficiently of
enzymes in analyzing and production process, the enzyme immobilization
technique was developed. Immobilization of enzymes were applied to
produce electron. Polyaniline (PANI nanoparticles) with nanoscale
structures with small particle size which had a large surface area, used as a
matrix be able to bind the enzyme free and able to maintain the stability of
the catalytic activity of the enzyme better. It can be used as an electrode
material for anode reaction process on the EFC.
Enzymatic fuel cell is an electrochemical technology converted
chemical energy into electricity. The driving force is called enzymatic fuel
cells are from glucose oxidase enzyme as a bio-catalyst. It also has a high
specificity for glucose substrate. The observation result by lower
concentration of glucose (0.25 M) produced higher current (5,05 A).
Increasing of glucose concentration( 0,50 M; 0,75M; 1 M) decresed of
current results (2,45 A; 1,6λ A; 1,35 A). The same thing happens on

observations of potential, with a low glucose concentration (0.25 M)
produces a high voltage value of 60.8 mV, but decrease voltage value (20.3
mV; 20.8 mV; 15.4 mV) with increasing concentrations of glucose (0.50 M,
0.75 M, 1 M) The value obtained maximum power density was 0.39
W/cm2 at low glucose concentrations (0,25 M) with increasing
concentrations of glucose (0.50 M, 0.75 M, 1 M) decresed the value of the

power density (0.071 W/cm2, 0.044 W/cm2, 0.026 W/cm2). The glucose
with lower concentration can produced maximum electrical by current,
voltage and power density. The values obtained maximum power density
was 0.39 W/cm2.
Keywords : polyaniline, electroda bioanoda, dan enzymatic fuel cell

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ENZYMATIC FUEL CELL (EFC) MENGGUNAKAN BIOANODA
KOMPOSIT KARBON-NANOPARTIKEL POLIANILIN YANG
TERAMOBILISASI Glucosa Oxidase (GOD)

SURIANTY

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Biofisika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Tony Ibnu Sumaryada


Judul Tesis : Enzymatic Fuel Cell (EFC) menggunakan bioanoda komposit
karbon-nanopartikel polianilin dengan Glucose Oxidase (GOD)
teramobilisasi
Nama
: Surianty
NIM
: G751110121

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Akhiruddin Maddu, S.Si, M.Si
Ketua

Dr. dra. Laksmi Ambarsari, M.S
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Biofisika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Agus Kartono, M.Si

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

Tanggal Ujian : 6 Februari 2014

Tanggal Lulus :

Judul Tesis

Nama
NIM

Enzymatic Fuel Cell (EFC) menggunakan bioanoda komposit
karbon-nanopartikel polianilin yang teramobilisasi Glucose

Oxidase (OOD)
: Surianty
: 0751110121

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

./

Dr. Akhiruddin Maddu, S.Si, M.Si
Ketua

Dr. dra. Laksmi Ambarsari, M.S
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biofisika


Dr. Agus Kartono M.Si

Tanggal ujian: 6 Februari 2014

Tanggal Lulus:

0 3 MAR 2014

PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian yang berjudul “Enzymatic Fuel Cell (EFC)
menggunakan bioanoda komposit karbon-nanopartikel polianilin yang
teramobilisasi Glucose oxidase (GOD)”. Penelitian ini merupakan salah satu
persyaratan dalam menyelesaikan studi di Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Akhiruddin Maddu,
SSi, M.Si dan Dr. dra. Laksmi Ambarsari, M.S yang telah membimbing
penulis menyelesaikan penelitian dan karya ilmiah ini. Penulis juga
menyampaikan penghargaan kepada Dr Tony Ibnu Sumaryada selaku dosen
penguji luar komisi pada ujian tesis, dan seluruh staf Program Studi Biofisika.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua staf di Pusat Penelitian dan
Pengembangan Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan Kementerian
Kehutanan RI, yang telah memberikan izin tempat untuk melakukan penelitian,
staf Laboratorium Pusat Studi dan Biofarmaka yang telah membantu dalam
penelitian ini
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah ikut
membantu dan berkontribusi dalam berbagai hal selama penyelesaian
penelitian dan karya ilmiah. Terima kasih pula kepada teman-teman Biofisika
atas bantuan dan kebersamaannya, kepada pihak-pihak lainnya yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyampaikan terima kasih dan
rasa hormat setinggi-tingginya kepada orang tua dan keluarga besar tercinta
atas doa, pengorbanan, pengertian dan dukungan moril yang tidak ternilai
selama ini
Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis,
civitas akdemika, peneliti, pemerintah dan semua pihak yang terkait, sehingga
mampu memperkaya hasanah keilmuan di masa mendatang.
Bogor, Februari 2014
Surianty

DAFTAR ISI
Nomor

Halaman

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujaan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Hipotesa

1
1
2
2

2 SINTESIS NANOPARTIKEL POLIANILIN
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

3
4
5
11

3 PEMBUATAN ELEKTRODA BIOANODA
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

11
13
14
18

4 KINERJA ENZYMATIC FUEL CELL
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

18
21
22
24

5. PEMBAHASAN UMUM

24

6. SIMPULAN DAN SARAN

27

DAFTAR PUSTAKA

27

LAMPIRAN

31

RIWAYAT HIDUP

36

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1 FTIR Polianilin fase garam emeraldine dibandingkan dengan data
referensi (Angelopoulos, 1998)
2 Perbandingan Hasil Penelitian (Yin Song, Florida International
University)

11
26

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1 Reaksi proton-deprotonasi polianilin
2 Proses polimerisasi interfacial polianilin
3 A. Citra SEM polianilin
B. Permukaan nanoserat polianilin (Maddu 2008)
4 A. Citra TEM polianilin
B. Citra TEM polianilin Jiaxing (2003)
5 Pola difraksi polianilin
6 Spektrum FTIR polianilin
7 Skema Pembuatan elektroda pasta karbon
8 Kurva voltamogram EPK dan EPKT
9 Mekanisme pengikatan enzim-substrat (Shelley, 2012)
10 Struktur 3D Glucose Oxidase (sumber. pdb. org)
11 Elektroda bioanoda
12 Prinsip kerja Fuell Cell (Sundmacher, 2007)
13 Prinsip kerja EFC
14 Rangkain alat EFC
15 Kinerja EFC pada variasi konsentrasi glukosa. A Pengukuran arus
listrik, B Pengukuran Tegangan, C Pengukuran power density
16 Pengaruh konsentrasi substrat terhadap arus maksimum yang
dihasilkan

4
6
6
7
8
8
9
10
13
15
16
17
18
19
20
21
22
24

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1.
2.
3.

Data XRD polianilin
Data kuat arus dan tegangan pada variasi konsentrasi
Data siklik voltametrik EPK dan EPKT

Halaman
32
32
33

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini kehidupan manusia tidak pernah lepas dari kebutuhan
energi. Di Indonesia penggunaan energi terus mengalami lonjakan hebat,
apabila hal ini tidak diiringi oleh usaha peningkatan produksi energi
dikhawatirkan Indonesia akan mengalami krisis energi. Kebutuhan energi
listrik diperkirakan terus bertambah sebesar 4,6 % setiap tahunnya, dan akan
mencapai tiga kali lipat pada tahun 2030 (Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral, 2010). Fakta menunjukkan bahwa pemanfaatan minyak bumi
dan bahan bakar fosil lainnya masih mendominasi sebagai penghasil energi.
Sedangkan cadangan minyak bumi di Indonesia hanya sekitar 3,7 miliar
barel dan diperkirakan akan habis dalam waktu 24 tahun, oleh karena itu
perlu dikembangkan upaya untuk menghasilkan sumber energi alternatif
yang berkesinambungan.
Biofuel cell merupakan salah satu teknologi alternatif yang
prospektif untuk dikembangkan. Biofuell cell terbagi atas Microbial Fuel
cell (MFC) dan Enzymatic Fuel Cell (EFC) dengan mikroba dan enzim
sebagai biokatalis, menarik minat banyak peneliti digunakan untuk
mengoksidasi bahan bakar dengan glukosa dan pati sebagai sumber
hidrokarbon. Enzymatic fuel cell (EFC) menggunakan sistem elektrokimia
yang bekerja dengan mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik. EFC
memiliki komponen yang tersusun atas anoda, katoda, dan elektrolit
menggunakan enzim sebagai katalisnya yang dapat menghasilkan efisiensi
tinggi dan emisi polutan yang rendah (Neto et al. 2011; Steele 2001).
Saat ini pengembangan EFC banyak ditujukan untuk penggunaan
khusus seperti perangkat implan, sensor, penghantaran obat, keping mikro,
dan cadangan listrik portabel (Kim et al. 2006). Penggunaan pati dalam EFC
dapat dipasangkan pada perangkat elektronik, menghasilkan power density
sebesar 50 W/cm2 pada suhu 25oC, (Chung-Mu et al.2009). Kinerja
elektroda pada EFC bergantung pada transfer pergerakan elektron, stabilitas
dan produk (elektron yang dihasilkan). Elektroda sebagian besar terbuat dari
emas, tembaga, platina ataupun karbon. Meskipun elektroda emas pada
struktur berlapis telah menunjukkan transfer elektron yang efisien dalam
berbagai aplikasi, tetapi ada beberapa keterbatasan antara lain jumlah enzim
pada elektroda dibatasi hanya pada permukaan (Katz & Willner, 2003).
Kitosan memiliki ikatan yang sangat kuat, tetapi memiliki waktu respon
yang lambat, membatasi penerapannya dalam perangkat bioelektronika
(Subhan et al. 1996).
Matriks polimer konduktif dapat menjadi solusi mengatasi
keterbatasan ini, untuk memaksimalkan kinerja sel banyak upaya dilakukan
dengan menggunakan struktur nano seperti nanopartikel, nanofibers, dan
nanokomposit sebagai bahan elektroda untuk EFC. Luas permukaan yang
besar memungkinkan banyak enzim yang terjerap (teramobil), sehingga bisa
meningkatkan kerapatan daya dari sel EFC (Nagel et al. 2007).

2
PANI sebagai matriks pendukung dapat digunakan pada proses
amobilisasi dari enzim seperti glucose oxidase (Xian. Y 2006). PANI
merupakan polimer konduktif yang sangat menjanjikan karena mudah
disintesis, monomernya murah dan memiliki stabilitas yang lebih baik
dibandingkan polimer konduktif yang lain seperti polipirol (PPy),
politiofena dan poli (p-fenilena) (Vebrian, 2011). Pengembangan bahan
polimer konduktif nanostruktur sangat intensif dilakukan dengan tujuan
untuk meningkatkan kinerjanya dalam berbagai aplikasi. Polianilin
nanostruktur merupakan bahan polimer konduktif yang dapat digunakan
sebagai sensor gas dan biosensor (Maddu 2008). Matriks yang digunakan
diharapkan dapat mengikat enzim bebas dan mampu menjaga stabilitas
aktivitas katalitik enzim dengan lebih baik sehingga dapat digunakan
sebagai bahan elektroda yang akan digunakan pada proses reaksi anoda pada
EFC.
Amobilisasi enzim dilakukan pada elektroda anoda sebagai media
transfer produk (elektron) dari permukaan enzim ke permukaan elektroda.
Salah satu metode imobilisasi enzim adalah dengan pengikatan silang (cross
linking) menggunakan matriks penyangga, pereaksi bifungsional
glutaraldehid .
Pada penelitian ini akan dibuat Enzymatic Fuel Cell (EFC)
menggunakan bioanoda komposit karbon-nanopartikel polianilin yang
teramobilisasi Glucosa Oxidase (GOD) sehingga dapat membangkitkan
listrik.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan membuat Enzymatic Fuel Cell (EFC)
menggunakan bioanoda komposit karbon-nanopartikel polianilin yang
teramobilisasi Glucosa Oxidase (GOD) sehingga dapat membangkitkan
listrik.
Ruang lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Sintesis nanopartikel polianilin
2. Pembuatan elektroda bioanoda
3. Fabrikasi Enzymatic Fuel Cell (EFC)

Hipotesis
Enzymatic Fuel Cell (EFC) menggunakan bioanoda komposit
karbon-nanopartikel polianilin yang teramobilisasi Glucosa Oxidase (GOD)
dapat membangkitkan listrik.

3

1 SINTESIS NANOPARTIKEL POLIANILIN
Pendahuluan
Polianilin (PANI) adalah salah satu bahan polimer konduktif, sangat
unik yaitu dapat mengalami perubahan sifat listrik dan optik yang dapat
balik (reversible) melalui reaksi redoks dan doping-dedoping atau protonasideprotonasi sehingga sangat potensial dimanfaatkan pada berbagai aplikasi
seperti sensor kimia khususnya sensor gas, piranti elektrokromik, sel
fotovoltaik, polimer dan baterai sekunder. Nanoserat polianilin, misalnya,
sangat efektif sebagai sensor kimia (gas) karena memiliki luas permukaan
terekspose jauh lebih besar sehingga proses difusi molekul gas ke dalam
struktur nanoserat polianilin berlangsung lebih cepat dan kedalaman
penetrasi molekul gas atau uap kimia ke dalam nanoserat jauh lebih besar
yang akan meningkatkan sensitivitas dan responsivitas sensor.
Berdasarkan tingkat oksidasinya, polianilin dapat disintesis dalam
beberapa bentuk isolatifnya yaitu leucomeraldine base (LB) yang tereduksi
penuh, emeraldine base (EB) yang teroksidasi setengah dan pernigraniline
base (PB) yang teroksidasi penuh. Dari tiga bentuk ini, EB yang paling
stabil dan juga paling luas diteliti karena konduktivitasnya dapat diatur dari
10-10 S/cm hingga 100 S/cm melalui doping, sedangkan bentuk LB dan PB
tidak dapat dibuat konduktif. Bentuk EB dapat dibuat konduktif dengan
doping asam protonik seperti HCl, dimana proton-proton ditambahkan ke
situs-situs –N=, sementara jumlah elektron pada rantai tetap. Bentuk
konduktif dari EB disebut emeraldine salt (ES).
Bentuk dasar EB berubah menjadi ES melalui reaksi oksidasi dengan
asam-asam protonik seperti HCl, sebaliknya bentuk ES dapat dikembalikan
menjadi bentuk EB melalui reaksi reduksi dengan agen reduktan seperti
NH4OH, seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Kedua proses ini disebut juga
proses protonasi-deprotonasi atau doping-dedoping. Kedua bentuk
emeraldine memiliki sifat listrik yang berkebalikan, EB yang isolatif dan ES
yang konduktif atau semikonduktif. Derajat konduktivitas emeraldine ini
bergantung pada tingkat doping yang diberikan, yaitu jumlah proton (H+)
yang didopingkan ke dalam struktur emeraldine. Sifat optiknya juga berbeda
untuk kedua bentuk emeraldine, yaitu EB berwarna biru sedangkan ES
berwarna hijau sehingga karakteristik absorpsi optiknya berbeda. Sifat
listrik (konduktivitas) dan optik (indeks bias dan absorpsivitas) emeraldine
dapat divariasikan melalui reaksi oksidasireduksi oleh agen-agen oksidan
dan reduktan. Karakteristik ini dapat dimanfaatkan untuk sensor kimia
(Maddu 2008).
Akhir-akhir ini pengembangan bahan polimer konduktif
nanostruktur (nanoparticle, nanowire, nanotube, nanofiber) sangat intensif
dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerjanya dalam berbagai
aplikasi. Polianilin nanostruktur adalah salah satu yang luas diteliti,
khususnya bentuk nanoserat (nanofiber) yang banyak dikembangkan
sebagai sensor kimia khususnya sensor gas.

4

Gambar 1 Reaksi protonasi-deprotonasi polianilin
Metode polimerisasi interfasial merupakan metode kimia yang relatif
sangat sederhana dan lebih murah. Dalam penelitian ini nanoserat polianilin
disintesis dengan metode polimerisasi interfasial karena mudah dilakukan
dan relatif murah.
Bahan dan Metode
Bahan

Bahan-bahan yang digunakan untuk sintesis nanoserat polianilin
adalah monomer anilin, ammonium peroxydisulphide (NH)4S2O8 sebagai
oksidan atau inisiator polimerisasi, HCl sebagai doping sumber proton (H+),
toluena sebagai fasa organik dan akuades sebagai fasa air (aquoeus).
Metode
Dalam penelitian ini, nanopartikel polianilin disintesis dengan
metode polimerisasi interfasial sistem dua fasa larutan organik/air (aqueous)
dengan mengadopsi metode yang telah dikembangkan oleh Maddu (2008).
Langkah-langkah yang dilakukan dijelaskan berikut ini. Pertama, dibuat dua
larutan secara terpisah, yaitu larutan toluena 50 ml yang ditambahkan 1 ml
monomer anilin 1 M sebagai fasa organik dan larutan HCl 1 M sebanyak 50
ml yang ditambahkan 0,6 g oksidan (NH)4S2O8 sebagai fasa air (aqueous).
Kedua larutan dicampurkan ke dalam satu wadah kimia tanpa diaduk, kedua
larutan terpisah karena berbeda fasa, larutan toluena-anilin berada di atas
dan larutan HCl-(NH)4S2O8 berada di sebelah bawah. Sesaat setelah
pencampuran, dengan cepat polimerisasi mulai berlangsung pada batas
(interface) fasa organik dan fasa air. Proses ini dibiarkan sepanjang malam
untuk memberikan waktu terjadi polimerisasi lengkap. Produk berupa
endapan polianilin dikumpulkan dan dimurnikan melalui filtrasi, kemudian
dibilas dengan akuades beberapa kali. Selanjutnya dikeringkan hingga
akhirnya diperoleh bubuk polanilin.
Karakterisasi
Karakterisasi yang dilakukan meliputi uji morfologi luas permukaan
dengan SEM (scanning elektron mikroskopi), melihat citra ukuran bentuk

5
morfologi lapisan paling tipis sampel dengan Transmission Electron
Microscopy (TEM), uji kristalografi dengan XRD (X-ray diffraction), uji
gugus fungsional polianilin dengan spektroskopi FTIR.
Diagram alir sintesis nanopartikel PANI sebagai berikut:
Sintesis Polianilin

1 ml anilin

0,6 gr (NH4)2S2O8
+50 mL aquades dan
dibiarkan 1 jam

+ 50 mL larutan HCL 1 M
dibiarkan 1 jam

Diaduk sebentar dibiarkan selama 1
hari kemudian disaring
Endapan PANI

Hasil dan Pembahasan

Proses Polimerisasi
Proses polimerisasi terbentuk pada batas antaramuka (interface)
antara fasa organik yang mengandung anilin dan fasa air yang mengandung
oksidan dan dopan proton. Saat kedua larutan anilin toluena dan HCl(NH)4S2O8 dicampurkan ke dalam satu wadah gelas kimia, kedua larutan
terpisah karena berbeda fasa, larutan anilin-toluena berada di atas dan
larutan HCl-(NH)4S2O8 berada di sebelah bawah. Sesaat setelah
pencampuran, dengan cepat berlangsung polimerisasi anilin pada batas
kedua fasa larutan dan berdifusi ke sebelah bawah (fasa air) seperti terlihat
pada Gambar 2A. Mula-mula terbentuk polianilin berwarna biru karena
belum terprotonisasi dan berubah menjadi hijau setelah bereaksi dengan
HCl sehingga polianilin terprotoniasi di dalam fasa air. Pada saat yang sama,
warna lapisan organik di sebelah atas berubah warna menjadi oranye
kemerahan akibat pembentukan oligomer anilin. Proses ini dibiarkan
sepanjang malam untuk memberikan waktu terjadi polimerisasi lengkap.
Produk berupa endapan polianilin berwarna hijau gelap terkumpul pada
bagian bawah wadah, dikumpulkan dan dimurnikan melalui filtrasi,
kemudian dibilas dengan akuades beberapa kali. Selanjutnya dikeringkan
hingga akhirnya diperoleh bubuk polanilin, seperti terlihat pada Gambar 2B.

6

Gambar 2A. Proses polimerisasi interfasial polianilin pada (a)
5s; (b) 10s; (c) 20s; (d) 1min; (d) 5min; (e) 1h, B. Polianilin
bubuk
Dalam polimerisasi interfasial, PANI terbentuk di lapisan antarmuka
lalu berimigrasi ke lapisan air. Saat PANI mulai berimigrasi ke lapisan air,
polimerisasi mengalami terminasi. Oleh karena itu, PANI yang terbentuk
lebih berupa nanoserat. Hal ini berlawanan dengan sintesis PANI dengan
metode pencampuran langsung dimana PANI yang terbentuk masih
dikelilingi oleh jenis monomer dan oksidan. Bahkan bila dengan proses
polimerisasi metode standar, nanoserat yang awal terbentuk bisa menjadi
pusat nukleasi, yang akan mengalami pertumbuhan menjadi partikel
granular yang tidak teratur, sehingga sulit untuk mengamati partikel
nanoserat bila ada yang terbentuk. Oleh karena itu polimerisasi interfasial
merupakan metode yang efektif untuk menekan pertumbuhan sekunder
PANI (Jiaxing dan Kaner, 2003)

Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM merupakan suatu mikroskop elektron yang mampu
menghasilkan gambar beresolusi tinggi dengan perbesaran 20 sampai
100.000 kali dari sebuah permukaan sampel. Gambar yang dihasilkan SEM
memiliki karakteristik penampilan tiga dimensi, dan dapat digunakan untuk
menentukan struktur permukaan dari sampel.

Gambar 3A. Citra SEM permukaan polianilin
Citra SEM permukaan polianilin ditunjukan pada Gambar 3A.
dengan perbesaran 40000 kali menunjukkan bahwa PANI memiliki struktur

7
nano, dengan diameter partikel sekitar 60 nm. Pada gambar juga tampak
bahwa PANI berpori atau berongga. Pori-pori PANI yang berukuran nano
memberikan luas permukaan yang memungkinkan untuk bereaksi lebih
cepat dengan senyawa lain (Virji, 2004), Sebagai material konduktif dengan
ukuran partikel kecil dan luas permukaan yang besar bisa menfasilitasi
transfer elektron dalam bahan elektroda.
Gambar 3B ini memperlihatkan struktur nano polianilin berbentuk
serat dengan diamater beberapa puluh nanometer dan panjang beberapa
ratus nanometer serta sangat berpori (highly porous). Pada gambar ini juga
dapat diamati dengan jelas nanoserat-nanoserat ini saling bersilangan
membentuk struktur yang sangat berpori yang memungkinkan molekulmolekul gas dapat menembus lebih dalam dan berinteraksi dengan hampir
seluruh serat-serat polianilin. Akibatnya, semua serat polianilin dapat
berkontribusi terhadap proses sensing dengan sensitivitas yang lebih baik
(Maddu, 2008).

Gambar 3B Permukaan nanoserat polianilin, Maddu (2008)

Transmission Electron Microscopy (TEM)
Transmission Electron Microscopy (TEM) merupakan suatu tehnik
mikroskopi yang bekerja dengan prinsip menembakkan elektron ke lapisan
tipis sampel, yang selanjutnya informasi tentang komposisi struktur dalam
sampel tersebut dapat terdeteksi dari analisa sifat tumbukan, pantulan
maupun fase sinar elektron yang menembus lapisan tipis tersebut. TEM
merupakan instrumen mikroskopi elektron yang memiliki resolusi
perbesaran paling tinggi yaitu hingga perbesaran 106. Instrumen ini
digunakan untuk mengkarakterisasi nanomaterial sehingga diperoleh
tampilan gambaran dalam skala nanometer dan juga dapat menentukan
lokasi atom–atom dalam sampel.

8

Gambar 4A. Citra TEM polianilin
Citra TEM (Gambar 4A) memberikan informasi visual dari ukuran,
bentuk, dispersitas, struktur, dan morfologi nanopartikel polianilin (PANI)
yang dibuat. Karakterisitik kualitatif nanopartikel PANI tampak membentuk
kelompok atau agregasi dengan distribusi yang ukurannya relatif seragam
yang terlihat seperti serat yang bergerombol. Tampak ukuran agregasi
terkecil sekitar 70,5 nm atau dengan diameter rata-rata antara 60-80 nm
Dalam polimerisasi interfasial ada beberapa faktor yang mempengaruhi
ukuran partikel PANI yang dihasilkan yaitu konsentrasi dopan, jenis dopan,
konsentrasi monomer, dan jumlah inisiator (Bitao Su et al. 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jiaxing dan Kaner (2003)
dengan menggunakan larutan asam HCL menghasilkan diameter nanoserat
sekitar 30 nm Gambar 4B.

Gambar 4B. Citra TEM polianilin Jiaxing (2003)

9
Karakterisasi XRD (X-Ray Diffraction)
Karakterisasi XRD dilakukan untuk mengetahui apakah polianilin
yang terbentuk kristalin atau tidak Pola difraksi (difraktogram) sampel
nanopartikel polianilin pada Gambar 5 memperlihatkan puncak tajam
difraksi pada dua puncak 20,08o dan 25,62o. Pola difraksi sinar X ini
menunjukkan bahwa struktur semi kristal polianilin memiliki 2 puncak yang
tajam muncul pada sudut 2θ=20,08o dan 2θ= 25,62o yang bersesuaian
dengan bidang kristal PANI (020), (200), ini diakibatkan oleh periodisitas
yang sejajar dan tegak lurus terhadap cincin benzoid dan quinoid rantai
polimer polianilin. Umumnya pola difraksi yang melebar mengindikasikan
urutan struktur kristalinitas polianilin nanokristal (Rahy et al. 2008). Ukuran
kristal rata-rata PANI pada penelitian ini adalah 10,4 nm. Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan analisis XRD PANI, Srinivas et al. (2012) dengan 2
puncak tajam yang muncul pada sudut 2θ=21,10o dan 2θ=23,59o
mendapatkan ukuran rata-rata kristal PANI 8,67 nm.
Ukuran kristal dihitung dengan persamaan Debye-Scherrer :

dengan σ adalah ukuran kristal, adalah panjang gelombang sumber sinar–
X (Cu K adalah 0,154059). Nilai yang digunakan adalah setengah nilai
puncak difraksi (dalam radian), nilai puncak maksimum disebut FWHM
(full width at half maximum) dan adalah sudut difraksi Bragg.

140
25,62

120

Intensitas (a.u)

100

20,08

80
60
40
20
0
0

20

40

60

2

80

100

derajat)

Gambar 5 Pola difraksi polianilin
Spektum Inframerah
Karakterisasi FTIR dilakukan dengan menggunakan alat Shimadzu Ir
Perstige-21. FTIR (Fourier Transform Infra Red) spektrometer merupakan
alat yang digunakan untuk analisis berdasarkan pengukuran intensitas infra

10
merah terhadap bilangan gelombang. Korelasi antara posisi serapan panjang
gelombang dengan struktur kimia digunakan untuk mengidentifikasi gugus
fungsi pada sampel. Atom-atom dalam molekul selalu mengalami vibrasi.
Getaran atom dalam molekul (frekuensi getaran) dapat digambarkan dalam
tingkat energi vibrasi. Jika suatu molekul menyerap radiasi inframerah,
maka molekul tersebut akan tereksitasi ke tingkatan yang lebih tinggi,
sehingga frekuensi radiasi yang diserap haruslah sama dengan frekuensi
molekul atau atom bergetar.Ada dua jenis getaran yang terjadi yaitu getaran
ulur (stretching vibration) dan getaran tekuk (bending vibration). Stretching
vibration adalah atom-atom berisolasi pada arah sumbu ikatan tanpa
mengubah sudut ikatan, sedangkan bending vibration getaran atom
menghasilkan perubahan sudut ikatan.

Gambar 6. Spektrum FTIR Polianilin
Berdasarkan hasil karakterisasi dengan FTIR terlihat bahwa PANI
yang dihasilkan merupakan PANI bentuk emeraldine salt atau emeraldine
terprotonasi. Spektrum FTIR polianilin dapat dilihat pada Gambar 6.
Spektrum FTIR polianilin disajikan pada daerah 500 cm-1 sampai dengan
4000 cm-1. Berdasarkan data FTIR tersebut, terlihat munculnya puncak
serapan pada 1489 cm-1 dengan intensitas 93,5 % memperlihatkan adanya
cincin-cincin benzoid sebagai backbone PANI. Pita serapan pada 1296 cm-1
menandakan terjadinya stretching (vibrasi ulur) dari C-N aromatik kedua
dengan intensitas 94%. Munculnya out of plane bending C-H pada bilangan
gelombang 818 dengan intensitas 96,1% menunjukkan adanya para-subtitusi
yang mengindikasikan telah terjadi kopling kepala-ekor selama polimerisasi
anilin (Maddu, 2008). Adanya puncak tajam serapan yang muncul pada
1134 cm-1 dengan intensitas 91%, dikarenakan terjadinya deformasi benzene
juga mengidentifikasikan terbentuknya emeraldine salt pada daerah ini,
diyakini sebagai puncak karakteristik kondisi ES yang menandakan bahwa
PANI telah didoping dengan HCL sebagai sumber proton. Pada bentuk
leucomeraldine, semua nitrogen berbentuk amina. polianilin dalam bentuk
emeraldine terdiri dari cincin benzoin dan quinoin.

11
Tabel 1 FTIR Polianilin fase garam emeraldine dibandingkan
dengan data referensi (Ibrahim et all, 2005)
Eksperimen
(cm-1 )

Referensi (cm-1 )

Vibrasi
(cm-1 )

818

800,53

C-H bending

1134

1122,67

C-H bending

1242

1236

C-N streching

1296

1290,49

C-N streching

1489

1473,75

C=C benzoid

1558

1560

C=C kuinoid

Simpulan
Nanopartikel polianilin telah berhasil dibuat melalui metode
interfacial polymerization. PANI dikarakterisasi dengan menggunakan,
Scanning Electron Microscopy ( SEM ), Transmission Electron Microscopy
(TEM) menunjukkan morfologi nanostruktur dengan pori-pori ukuran nano
antara 60-80 nm. Hasil difraksi sinar-X memperlihatkan struktur kristal
parsial atau semikristalin dari polianilin dengan rata-rata ukuran kristal 10,4
nm. Hasil uji FTIR mengindikasikan bahwa sampel polianilin yang
diperoleh merupakan bentuk polianilin konduktif atau emeraldine salt (ES).

2 PEMBUATAN ELEKTRODA BIOANODA
Pendahuluan
Berbagai upaya dilakukan untuk mengembangkan pembuatan
elektroda sebagai biosensor ataupun biofuel cell dengan respon yang cepat
dan akurat dengan memperhatikan sifat kedua material komposit. Bahan dan
luas permukaan elektroda mampu mempengaruhi jumlah tegangan yang

12
dihasilkan karena setiap bahan elektroda memiliki tingkat potensial
elektroda (E°) yang berbeda-beda, kombinasi bahan anoda dan katoda akan
menghasilkan beda potensial. Elektroda alternatif yang biasa digunakan
adalah elektroda padat yang dimodifikasi dengan senyawa pengompleks.
Elektroda padat memiliki rentang potensial anoda yang lebih luas. Elektroda
berbasis karbon sekarang ini sangat berkembang dalam bidang
elektroanalisis karena memiliki beberapa keunggulan, yaitu rentang
potensial yang luas, arus latar rendah, murah, inert, dan cocok digunakan
untuk bermacam-macam sensor (Wang, 1994).
Pasta karbon merupakan elektroda murah, permukaannya dapat
diperbaharui, permukaannya berpori dan dapat dibuat dalam bentuk yang
kecil, sehingga modifikasi elektroda pasta karbon banyak dipilih sebagai
elektroda pengganti raksa (Wang, 1994; Raoof, et al., 2004). Elektroda pasta
karbon dapat dimodifikasi dengan mencampurkan modifier sebagai salah
satu bahan elektroda (bulk modified). Salah satu elektroda pasta karbon yang
telah dimodifikasi secara kimia di antaranya adalah elektroda pasta karbon
termodifikasi polianilin sebagai penyimpan energi secara elektrokimia (Zhu
J 2012).
Kombinasi polianilin (PANI) dengan bahan organik atau anorganik
lain dapat menghasilkan material baru yang tidak hanya meningkatkan sifat
mekanik tetapi juga sifat lain tergantung material yang ditambahkan (Phang
2008). Penambahan PANI pada karbon dilakukan agar tidak ada ruang
kosong antara partikel grafit yang satu dengan yang lainnya, sehingga PANI
yang ditambahkan masuk dalam rongga kosong antara partikel grafit, hal ini
meningkatkan konduktivitas listrik pada elektroda yang dibuat karena
jalannya elektron tidak terputus. Grafit pada komposit berfungsi sebagai
penguat dan memperkecil gesekan serta meningkatkan ketahanan aus
(Gradiniar 2013). Komposit elektroda pasta karbon telah banyak digunakan
untuk aplikasi elektroanalitik sejak diperkenalkan oleh Adams pada tahun
1958, karena sifat konduktif, terbarukan dan untuk fabrikasi secara
elektrokimia sangat sederhana dan murah (Colak 2012).
Teknologi amobilisasi enzim dalam matriks polimer (polianilin)
dengan polimerisasi pada elektrokimia merupakan suatu langkah yang
menjanjikan dalam ilmu pengetahuan, karena sederhana, cepat, handal dan
murah. Ammobilisasi hanya melibatkan penerapan potensial yang sesuai
pada elektroda dalam pelarut yang cocok terhadap monomer dan enzim.
Polimer konduktif memiliki kemampuan untuk mentransfer elektron yang
dihasilkan oleh reaksi reduksi oksidasi dari analat sehingga dapat terbaca di
potensiostat (Vebrian, 2011).
Glukosa oksidase merupakan salah satu enzim yang dapat digunakan
sebagai katalis dalam enzymatic fuel cell. Glukosaoksidase juga memiliki
spesifitas tinggi terhadap glukosa (Ahmad et al. 2007). Ada beberapa
keuntungan dari elektroda enzim, seperti penentuan analit secara mudah
dalam campuran yang kompleks, penggunaan volume sample yang kecil
dan pemulihan enzim untuk penggunaan berulang kali (Ozdemir, 2010).

13
Bahan dan Metode
Bahan
Alat dan instrumen yang akan digunakan adalah eDAQ Potensiostat –
Galvanostat yang dilengkapi perangkat lunak Echem v2.1.0. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah enzim glucose oxidase, bovine serum
albumin (BSA), larutan buffer fosfat pH 5 dan glutaraldehide (2% b/v),
KCL, grafit, nujol, tabung kaca (diameter 1 cm dan panjang 3 cm) dan
kawat tembaga.
Metode
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap percobaan yaitu: pembuatan
elektroda pasta karbon (EPK), pembuatan elektroda pasta karbon termodifikasi
(EPKT) polianilin, pengukuran elektrokimia (EPK dan EPKT) secara
voltametrik siklik dan amobilisasi enzim.

Pembuatan Elektroda Pasta Karbon (EPK)
Pembuatan elektoda ini mengacu pada Ozlem Colak et al (2012). EPK
dibuat dengan mencampurkan 0.6 g grafit dan 400 L nujol lalu dicampur
dengan mortar dan diaduk selama 30 menit hingga membentuk pasta yang
homogen. Sebuah tabung gelas yang terbuat dari kaca dengan diameter 1 cm
dan panjang 3 cm digunakan sebagai badan elektroda, selanjutnya di
sambungkan dengan kawat tembaga sebagai penghubung elektroda ke
sumber listrik dimasukkan ke dalam tabung hingga tersisa ruang kosong
sekitar 0,7 cm pada ujung tabung.
Pasta dimasukkan ke ujung tabung hingga penuh dan padat.
Permukaan elektroda dihaluskan menggunakan ampelas halus dan kertas
minyak hingga licin dan berkilau. (Gambar 7).

Gambar 7 Skema pembuatan elektroda pasta karbon

14
Pembuatan Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi (EPKT) Polianilin
Polianilin, serbuk grafit dan nujol dicampur hingga membentuk pasta
homogeny. Sebuah tabung gelas dengan diameter 1 cm dan panjang 3 cm
digunakan sebagai badan elektroda. Kawat tembaga sebagai penghubung
electroda ke sumber listrik dimasukkan ke dalam tabung hingga tersisa
ruang kosong sekitar 0,7 cm pada ujung tabung hingga padat. Permukaan
elektroda dihaluskan menggunakan ampelas halus dan kertas minyak hingga
licin dan berkilau.
Pengukuran Elektrokimia
Karakterisasi dilakukan dengan menggunakan alat potensiostat
/galvanostat eDAQ potensiostat dan computer beserta perangkat lunak
pengolah data E.chem.untuk melihat voltametri siklik bentuk kurva
voltamogram dari EPK dan EPKT. Voltametri merupakan salah satu metode
elektroanalitik yang didasarkan oksidasi-reduksi pada permukaan elektroda.
Percobaan voltametri siklik dilakukan dalam larutan elektrolit KCL 3 M.
Respon arus diamati pada selang potensial -5-10 V dengan scan rate 100
mV/s menggunakan platina sebagai elektroda bantu dan Ag/AgCl sebagai
elektodra refensi dan elektroda kerja dari elektroda EPK dan EPKT yang
dibuat.
Amobilisasi Enzim
Amobilisasi dilakukan berdasarkan metode Ozlem Colak et al (2012)
dengan cara crosslinking dengan menggunakan pereaksi glutaraldehid.
Amobilisasi enzim dilakukan dengan mencampurkan 37 L enzim glucose
oxidase, I mg bovine serum albumin (BSA), 63 L larutan buffer fosfat pH
5 dan 30 L glutaraldehide (2%b/v). Semua larutan dicampur dalam tabung
Eppendorf sampai homogen dengan total volume larutan sebanyak 130 L.
Kemudian larutan tersebut diteteskan ke elektoda pasta karbon termodifikasi
(EPKT), dibiarkan hingga larutan enzim yang teramobil dipastikan terjerap
(teramobil) pada pasta karbon-polianilin. Elektroda ini yang disebut
bioanoda, kemudian elektroda ini dikeringkan dan disimpan di suhu ruang
dan dicuci dengan larutan buffer fosfat (0,1 M) pH 5 sebanyak 3 kali untuk
menghilangkan kelebihan enzim yang tidak teramobil.

Hasil dan Pembahasan
Karakteristik Elektrokimia
Cyclic voltammetry adalah suatu teknik analisis kualitatif dan
kuantitatif yang dapat memberikan informasi dengan cepat dalam
mengkarakterisasi reaksi yang terjadi di dalam sel elektrokimia. Pada cyclic
voltammetry respon arus diukur sebagai fungsi potensial (voltase), dimana
pemberian potensial dilakukan secara bolak-balik, sehingga informasi

15
reduksi dan oksidasi dapat teramati dengan baik. Karakteristik cyclic
voltammetry tergantung beberapa faktor yaitu laju reaksi transfer elektron,
kereaktifan spesi elektroaktif, dan scan rate voltase (Wijaya, 2008). Spesi
yang semula dioksidasi pada sapuan potensial awal (forward scan) akan
direduksi setelah sapuan potensial balik (reverse scan).
Besarnya potensial puncak yang dihasilkan dipengaruhi oleh
kinetika transfer elektron. Jika kinetika transfer elektron berlangsung lambat
maka besarnya pemisahan potensial puncak akan lebih besar dan akan
meningkat sesuai dengan peningkatan scan rate. Apabila potensial puncak
yang dihasilkan tidak berubah dengan bertambahnya scan rate, reaksi
reduksi oksidasi tersebut bersifat reversible. Sebaliknya jika potensialnya
berubah dengan perubahan scan rate maka reaksi redoks tersebut bersifat
irreversible.
Gambar 8 memperlihatkan kurva voltamogram dari EPK dan EPKT
dengan scan rate 100 mV/s dalam larutan KCL 3 M dengan rentang
potensial yang digunakan -5–10 V menggunakan Pt sebagai elektroda bantu
dan Ag/AgCl sebagai elektroda refensi dan elektroda kerja dari elektroda
EPK dan EPKT. Terlihat bahwa terdapat dua puncak oksidasi pada EPK
yaitu puncak oksidasi pertama pada potensial -0,2 V, puncak oksidasi ke
dua tidak jelas terlihat karena puncak arus yang ditunjukkan terlalu kecil
yaitu pada potensial 0,38 V sedangkan pada puncak reduksi terlihat pada
potensial -0,5 V dan 0,3 V. Untuk EPKT terlihat pada potensial 0,5 V
puncak oksidasi dan puncak reduksi terlihat pada -0,1 V walaupun tidak
terlihat begitu tajam. Terlihat bahwa kurva yang di tampilkan lebih luas dan
lebih miring.

120
100
80
60

Arus (A)

40
20
0
-20
-40
-60
-80

EPK
EPKT

-100
-120
-0,6

-0,4

-0,2

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

1,2

Tegangan (V)

Gambar 8. Voltamogram EPK dan EPKT
Hasil pengukuran secara cyclic voltammetry berupa voltamogram.
Bentuk yang spesifik dan dipengaruhi oleh variabel analit pada potensiostat
yang digunakan sebagai dasar analisis. Puncak arus yang terbentuk pada

16
voltamogram adalah representatif pergerakan elektron yang berkala dari
reaksi yang terjadi di permukaan elektroda (Zhang , 2014).
Menurut Jiahua Zhu (2012) pada elektroda grafit menunjukkan nilai
densitas arus sangat rendah karena sifat non konduktif dan luas permukaan
yang rendah (16,30 m2/g). Setelah ditambahkan dengan polianilin luas
permukaan secara signifikan meningkat menjadi 29,26 m2/g dengan puncak
pada kedua kurva oksidasi dan reduksi tidak teramati dan malah menjadi
lebih luas dan lebih miring. Ini dimungkin karena aglomerasi polianilin
yang secara signifikan meningkatkan ketahanan difusi ion elektrolit ke
dalam bahan elektroda
PANI sebagai material konduktif bisa menfasilitasi transfer elektron
dalam bahan elektroda dan dapat mengurangi hambatan internal untuk
mendapatkan kinerja lebih tinggi. Dengan struktur lebih luas dan lebih
miring elektroda komposit PANI dan karbon bisa meningkatkan difusi ion
dari elektrolit ke elektroda sehingga bisa meningkatkan efisiensi transfer ion
dalam elektroda komposit.
Elektroda Bioanoda
Enzim secara biokimia merupakan suatu kelompok protein yang
berperan sangat penting dalam proses aktivitas biologis. Berperan sebagai
biokatalisator di dalam sel dan bersifat khas (spesifik). Bagian enzim
terpenting adalah sisi aktif dari enzim yang akan mengikat substrat spesifik
membentuk kompleks enzim-substrat. Selama reaksi katalisis berlangsung,
struktur enzim tidak berubah baik sebelum dan sesudah reaksi (Gambar 9),
(Shelley, 2012)

Gambar 9 mekanisme pengikatan enzim-substrat (Shelley, 2012)
Glukosa oksidase merupakan salah satu enzim yang dapat digunakan
sebagai katalis dalam enzymatic fuel cell. Lee et al. (2011) menyatakan
bahwa daya yang dapat dihasilkan oleh glukosa oksidase dalam sistem fuel
cell mencapai 1λ0 W/cm2. Angka ini cukup tinggi dibandingkan daya
yang dihasilkan oleh enzim lain, misalnya glukosa dehidrogenase yang
hanya menghasilkan 9.3 W/cm2. Glukosa oksidase juga memiliki
spesifitas tinggi terhadap glukosa (Restu, 2007). Hal ini sangat
menguntungkan karena glukosa merupakan substrat yang jumlahnya
melimpah serta aman untuk digunakan. Glukosa oksidase diproduksi oleh

17
banyak mikroorganisme salah satunya Aspergillus niger. Glucose oxidase
(β-D-glukosa: oxygen 1-oxidoreductase, EC 1.1.3.4) adalah enzim yang
mengkatalisis oksidasi ß-D-glukosa menjadi D-glukonolakton oleh Flavin
Adenine Dinucleotide (FAD) sebagai gugus prostetiknya. FAD selanjutnya
memindahkan elektron yang berasal dari glukosa menuju molekul oksigen,
dan mereduksi hidrogen peroksida. D-glukonolakton yang dihasilkan
kemudian dihidrolisis secara non enzimatik menjadi asam glukonat.
(gambar 10) (Yamaguchi et al, 2007).

Gambar 10 struktur 3D Glukosa Oksidase
(sumber: pdb.org)
Kelemahan dari enzim adalah sifat enzim yang tidak stabil (rentan
terhadap pH dan suhu ekstrem), biaya isolasi maupun pemurnian yang
tinggi dan penggunaan enzim kembali terutama enzim (soluble/enzim dalam
bentuk larutan). Untuk mengatasi kekurangan dalam hal penggunaan enzim
maka dilakukan teknik amobilisasi enzim yaitu enzim yang secara fisik
dibuat menjadi tidak bebas bergerak (amobil), sehingga enzim dapat
digunakan secara berulang dan dapat dikendalikan kapan enzim harus
kontak dengan substrat (Harlander, 2000).
Metode amobilisasi diketahui sangat beragam. Pemilihan metode
amobilisasi bergantung pada sifat-sifat enzim yang digunakan. Salah satu
metode yang telah banyak digunakan adalah pengikatan silang yang
didasarkan pada pembentukan ikatan intermolekuler/kovalen antar molekul
enzim dengan menggunakan pereaksi multi atau bifungsional
(glutaraldehid), sehingga menghasilkan jaringan protein tiga dimensi yang
stabil dan tidak larut dalam air. Amobilisasi enzim ini dapat dipakai
berulang dan stabilitasnya lebih terjaga, mudah dipisahkan dari produk
karena enzimnya tidak larut/teramobil.
Pembuatan elektroda bioanoda komposit karbon-nanopartikel
polianilin yang teramobilisasi glucose oxidase dilakukan pada EPKT yang
telah siap digunakan. Selanjutnya enzim glucose oxidase yang di amobil
dalam matriks pengikat silang glutaraldehid diteteskan pada permukaan
EPKT (Gambar 11). Pencucian dilakukan setelah semua enzim teramobil
terserap dalam EPKT. Agar penyerapan sempurna maka tetesan enzim
teramobil dibiarkan 12-16 jam dalam lemari es (suhu 4oC). Setelah semua
enzim teramobil teserap dan bioanoda dalam keadaan kering, selanjutnya
dilakukan pencucian pada permukaan bioanoda, dengan tujuan untuk

18
menghilangkan sisa enzim teramobil yang tidak terserap pada EPKT.
Bioanoda tersebut dapat disimpan dalam buffer fosfat pH 5 dalam lemari
pendingin suhu 40C dan siap untuk digunakan dalam percobaan selanjutnya.

Gambar 11 Elektroda bioanoda
Simpulan
Telah dibuat elektroda bioanoda komposit karbon-nanopartikel
Polianilin yang teramobilisasi Glucose oxidase (GOD) yang akan digunakan
pada sistem EFC. Studi elektrokimia menunjukkan bahwa elektroda
nanokomposit polianilin pasta karbon bisa meningkatkan efisiensi transfer
ion dalam elektroda komposit. Voltamogram yang didapat elektroda
nanokomposit PANI-pasta karbon terlihat pada potensial 0,5 V puncak
oksidasi dari anilin, dan pada puncak reduksi terlihat pada -0,1 V. Puncak
pada kedua kurva oksidasi dan reduksi hampir tidak teramati dengan jelas.

4 KINERJA ENZYMATIC FUEL CELL
Pendahuluan

Fuel cell merupakan teknologi elektrokimia yang secara kontinu
mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik dan menggunakan suatu
substrat sebagai bahan bakarnya. Prinsip keja fuel cell adalah suatu sel
dengan dua elektroda yang dipisahkan oleh elektrolit dan dihubungkan
melalui sirkuit eksternal. Untuk menghasilkan energi listrik maka perlu
perancangan alat pendukung yang terditi atas: dua buah elektroda, yaitu
anoda dan katoda yang dipisahkan oleh Proton Exchange Membran (PEM)
sebuah polimer yang permeable yang hanya meloloskan ion proton. Anoda
berperan sebagai tempat terjadinya pemecahan hidrogen (H2) menjadi

19
proton dan elektron (listrik). Katoda berperan sebagai tempat terjadinya
reaksi penggabungan proton, elektron dan oksigen untuk membentuk air.
Elektrolit adalah media untuk mengalirkan ion (Gambar 12).

Gambar 12 Prinsip kerja fuel cell (Sundmacher, 2007)

Biofuel cell atau fuel cell berbasis biologi memiliki konsep yang
sangat berbeda dengan fuel cell pada umumnya. Fuel cell berbasis biologi
menggunakan biokatalis untuk mengkonversi bahan kimia menjadi energi
listrik. Prinsip kerjanya mengubah sumber bahan bakar dengan
mengkonversi energi biokimia menjadi energi listrik melalui proses
metabolisme mikroba yang melibatkan sistem enzim. Energi penggerak
biofuel cell adalah reaksi redoks dari substrat glukosa. Energi kimia dapat
diubah menjadi energi listrik dengan adanya pasangan reaksi oksidasi
substrat dengan reaksi reduksi suatu oksidator pada permukaan antara anoda
dan katoda. Adanya perbedaan potensial oksidasi pada kedua elektroda
menyebabkan elektron dapat mengalir dari anoda ke katoda (gambar 13)
(Logan, 2006).
Secara ekonomis biofuel cell merupakan sistem yang relatif lebih
murah dan ramah lingkungan. Keunggulan sistem ini dibandingkan dengan
fuel cell kimia lain meliputi temperature operasional yang sedang, tidak
memerlukan katalis yang mahal. Pada perkembangan selanjutnya, biofuel
cell dibagi menjadi dua macam yaitu Microbial Fuel Cell (MFC) dan
Enzymatic Fuel Cell (EFC). MFC memanfaatkan sel mikroorganisme
sedangkan EFC memanfaatkan biomolekul enzim pada proses konversi
bahan bakar menjadi energi listrik. MFC menggunakan sel utuh
mikroorganisme tanpa harus mengisolasi enzim terlebih dahulu (Shukla et
al, 2004).
Enzymatic Fuel Cell (EFC) prinsip kerjanya mirip dengan fuel cell.
Repres