Spektrofotometri UV–Vis TINJAUAN PUSTAKA

SPF = skin protected - non in skin protected in MED MED Anonim, 1999 Metode in vitro untuk mencari nilai SPF merupakan hubungan antara SPF dan absorbansi yang ditunjukkan pada persamaan berikut : A = – log 10 SPF 1 = log 10 SPF Walters et al., 1997 Produk sunscreen yang telah beredar di pasaran saat ini mengandung sunscreen agent antara lain PABA para amino benzoic acid yang mengabsorbsi pada panjang gelombang 260 – 313 nm, oxybenzone yang mengabsorbsi pada panjang gelombang 270 – 350 nm, octyl methoxycinnamate yang mengabsorbsi pada panjang gelombang 280 – 310 nm, dan octyl salicylate yang mengabsorbsi pada panjang gelombang 260 – 310 nm Anonim, 2007c.

H. Spektrofotometri UV–Vis

Spektrofotometri UV–Vis adalah tehnik analisis fisika-kimia yang mengamati tentang interaksi atom atau molekul yang memakai sumber radiasi elektromagnetik REM UV dekat 200 – 400 nm dan sinar tampak 400 – 750 nm dengan memakai instrumen spektrofotometer. Radiasi ultraviolet jauh 100 – 200 nm tidak dipakai sebab pada daerah radiasi tersebut diabsorpsi oleh udara atmosfer Fessenden dan Fessenden, 1986 ; Mulja dan Suharman, 1995. Absorpsi cahaya UV atau cahaya tampak mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi peningkatan elektron-elektron dari orbital keadaan dasar ground state yang berenergi rendah ke orbital keadaan eksitasi yang berenergi lebih tinggi. Energi yang terserap selanjutnya terbuang sebagai kalor, sebagai cahaya, atau tersalurkan dalam reaksi kimia misalnya isomerisasi atau reaksi-reaksi radikal bebas Fessenden dan Fessenden, 1986. Panjang gelombang dimana terjadinya eksitasi elektronik yang memberikan absorbansi yang maksimum disebut sebagai panjang gelombang maksimum λ maks Mulja dan Suharman, 1995. Keadaan dasar suatu molekul organik mengandung elektron-elektron valensi dalam tiga tipe utama orbital molekul, yaitu orbital sigma σ, orbital pi π, dan orbital terisi tapi tak terikat n. Transisi-transisi elektron mencakup promosi sutau elektron dari salah satu keadaan dasar σ, π, atau n ke salah satu keadaan eksitasi σ atau π. Transisi elektron σ ke σ memberikan energi yang terbesar dan terjadi pada daerah UV jauh yang diberikan oleh ikatan tunggal. Transisi elektron π ke π diberikan oleh ikatan rangkap dua atau tiga yang dapat terjadi pada daerah UV jauh untuk ikatan rangkap menyendiri dan UV dekat untuk senyawa dengan ikatan rangkap terkonjugasi. Transisi elektron n ke σ atau n ke π dapat terjadi pada senyawa yang memiliki gugus dengan satu atau lebih elektron bebas. Transisi elektron n ke π membutuhkan energi yang lebih kecil daripada transisi elektron yang lain Fessenden dan Fessenden, 1986 ; Mulja dan Suharman, 1995 ; Silverstein, Bassler, dan Morril, 1991. Sebelum dikembangkan teori transisi elektron, orang telah mengetahui bahwa beberapa tipe struktur organik menimbulkan warna, sedangkan tipe yang lain tidak. Struktur parsial yang perlu untuk warna gugus tak jenuh yang dapat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menjalani transisi elektron π ke π dan n ke π disebut kromofor, yang dalam bahasa Yunani berarti bertanggung jawab menimbulkan warna, contohnya C ≡C, C=C, C=O, N=N, dan N=O 2 . Disamping itu, pada senyawa organik dikenal juga gugus fungsionil yang mempunyai elektron bebas yang dapat mengintensifkan warna, dikenal sebagai gugus auksokrom, yang dalam bahasa Yunani berarti meningkatkan. Gugus auksokrom tidak dapat menjalani transisi elektron π ke π, tetapi dapat menjalani transisi elektron n. Gugus ini akan meningkatkan panjang gelombang dan intensitas absorpsi, contohnya ―OH, ―OR, ―NH 2 , ―NHR ―NR 2 , dan ―X Fessenden dan Fessenden, 1986 ; Mulja dan Suharman, 1995 ; Silverstein et al., 1991. Analisis dengan spektrofotometri UV–Vis selalu melibatkan pembacaan absorbansi REM oleh molekul atau radiasi elektromagnetik yang diteruskan. Keduanya dikenal sebagai absorbansi A tanpa satuan dan transmitan dengan satuan persen T. Lambert dan Beer membuat formula secara matematik hubungan antara transmitan atau absorbansi terhadap intensitas radiasi sebagai berikut : T 1 log A I I T o t = = Dimana T adalah persen transmitan, I o adalah intensitas radiasi yang datang, I t adalah intensitas radiasi yang diteruskan, dan A adalah absorbansi. Pembacaan A 0,2 – 0,8 atau T 15 - 65 akan memberikan persentase kesalahan analisis yang dapat diterima 0,5 – 1 Mulja dan Suharman, 1995. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Spektrofotometri UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel yang berupa larutan, gas, atau uap. Sampel yang berupa larutan perlu memperhatikan beberapa persyaratan pelarut yang digunakan, yaitu pelarut yang tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada struktur molekulnya, tidak berwarna, tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis, dan memiliki kemurnian atau derajat yang tinggi untuk dianalisis Mulja dan Suharman, 1995.

I. Metode Desain Faktorial

Desain faktorial adalah pendekatan eksperimental kuno yang dilakukan dengan meneliti efek dari suatu variabel eksperimental dengan menjaga variabel lain konstan. Desain faktorial digunakan dalam percobaan untuk menentukan secara simulasi efek dari beberapa faktor dan interaksinya secara signifikan. Signifikan ini berarti adanya perubahan dari level rendah ke level tinggi pada faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan yang besar pada respon Bolton, 1990. Desain faktorial ini mengandung beberapa pengertian, yaitu faktor, level, efek, dan respon. Faktor adalah setiap besaran yang mempengaruhi respon Voigt, 1994. Level merupakan nilai atau tetapan untuk faktor. Pada percobaan dengan desain faktorial perlu ditetapkan level yang diteliti meliputi level rendah dan level tinggi. Efek adalah perubahan respon yang disebabkan variasi tingkat dari faktor. Efek faktor atau interaksi merupakan rata-rata respon pada level tinggi dikurangi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI rata-rata respon pada level rendah. Respon merupakan sifat atau hasil percobaan yang diamati. Respon yang diukur harus dapat dikuantitatifkan Bolton, 1990. Desain faktorial merupakan pilihan aplikasi persamaan regresi, yaitu teknik untuk memberikan model hubungan antara variabel respon dengan satu atau lebih variabel bebas. Model yang diperoleh dari analisis tersebut berupa persamaan matematika Bolton, 1990. Desain faktorial dua faktor dan dua level berarti ada dua faktor misal sifat alir dan viskositas yang masing-masing faktor diuji pada level yang berbeda, yaitu level rendah dan level tinggi. Dengan desain faktorial dapat didesain percobaan untuk mengetahui faktor yang dominan berpengaruh secara signifikan terhadap suatu respon. Desain faktorial dalam suatu percobaan dengan dua faktor memberikan pertanyaan sebagai berikut : a. Apakah faktor A memiliki pengaruh signifikan terhadap suatu respon ? b. Apakah faktor B memiliki pengaruh signifikan terhadap suatu respon ? c. Apakah interaksi faktor A dan B memiliki pengaruh signifikan terhadap suatu respon? Bolton, 1990. Optimasi campuran dua bahan berarti ada dua faktor dengan dua level desain faktorial two level factorial design dilakukan berdasarkan rumus : Y = b + b 1 A + b 2 B + b 12 AB ... 1 Keterangan : Y = respon hasil yang diamati A, B = level bagian A dan B, yang nilainya tertentu dari minimum sampai maksimum b = rata-rata dari semua percobaan b 1 , b 2 , b 12 = koefisien, dapat dihitung dari hasil percobaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pada desain faktorial dua level dan dua faktor diperlukan empat percobaan 2 n = 4, dengan 2 menunjukkan level dan n menunjukkan faktor, yaitu 1 A dan B masing-masing pada level rendah, a A pada level tinggi dan B pada level rendah, b A pada level rendah dan B pada level tinggi, serta ab A dan B masing-masing pada level tinggi Bolton, 1990. Tabel I. Desain faktorial dengan dua level dan dua faktor Formula Faktor A Faktor B Interaksi 1 – – + a + – – b – + – ab + + + Keterangan : – = level rendah + = level tinggi Formula 1 = faktor A pada level rendah, faktor B pada level rendah Formula a = faktor A pada level tinggi, faktor B pada level rendah Formula b = faktor A pada level rendah, faktor B pada level tinggi Formula ab = faktor A pada level tinggi, faktor B pada level tinggi Dari persamaan 1 dan data yang diperoleh dapat dibuat contour plot suatu respon tertentu yang sangat berguna dalam memilih komposisi campuran yang optimum Bolton, 1990. Besarnya efek masing-masing faktor, maupun efek interaksinya dapat diperoleh dengan menghitung selisih antara rata-rata respon pada level tinggi dan rata-rata respon pada level rendah. Konsep perhitungan efek sebagai berikut : { } { } 2 b - ab 1 - a A faktor Efek + = { } { } 2 a - ab 1 - b B faktor Efek + = { } { } 2 a - 1 b - ab interaksi Efek + = Bolton, 1990

J. Iritasi Primer