Efisiensi Proses Pemutihan PULP KRAFT RDH (Rapid Displacement Heating Dengan Metode ECF (Elementally Chlorine Free)
Prosiding Semfnor Nosionol Teknologi Inovotif Pascoponen untuk Pengembongonfndustrl Berbmls Pertmion
EFISIENSI PROSES PEMUTINAN PULP KRAFT RI)W
(R4PId)DISPLACEMENT HEA TIN@ DENGAN METODE ECF
( ELEMENTALLY GIMLOHNE FREQ
Mulyana ~ a d i ~ e r n a t aAgus
' , ~ u d i y m o ' ,Sutedja ~iraatmadja*dan Andoyo
/
Balui Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian
'~akultasTeknologi Pertanian, IPB
.'~ulaiBesar Industri Selulosu, Departemen Perindustrian
Pulp dan proses pembuatannya hams memenuhi kriteria : bemutll tinggi, bersahabat dengan
lingkungan dan menguntungkan. Salah satu alternatif pemecahannya adalah dengan modifikasi
proses pemasakan dengan metode RDH dan proses pemutihan dengan metode ECF. Dari teknik
ini diharapkan dapat'denghasilkan pulp dengan rendemen thggi, beban pencemaran rendah, serta
mum Iembaran pulp yang memenuhi standar industri. Rapid Displacement Heating (RDH) adalah
proses pemasakan pulp dengan energi rendah yang dikembmgkan oleh Beloit Corporation. Proses
pemutihan pulp RDH menggunakan metode elementally chlorine free (ECF) dengan empat tahap
delignifikasi (DIED2D3). Proses pemutihan masih menggunakan klordioksida (C102), tetapi
kandungan klorin ditumnkan serendah mungkin. Penarnbahan konsentrasi C102 pada tahap
delignifikasi proses (D,) yang terdiri atas empat taraf. Konsentrasi C1Q2 yang ditambahkan,
dihitung berdasarkan kappa factor (KF) dan bilangan kappa yang dihasilkan pada proses
pemasakan kraft RDH. KF pada percobaan ini ditentukan yaitw sebesar 0,10, 0,16, 0,22 dan
0,28. Pada proses pemasakan pulp krafi RDH Acacia mangium dihasilkan bilangan kappa sebesar
22,77 dan rendemen pemasakan 51,64 persen. Sedangkari pada pemasakan krafi konvensional
dihasilkan bilangan kappa sebesar 37,89 dan rendemen 54,2 persen. Nilai indeks retak, indeks
sobek dan opasitas tidak dipengaruhi oleh perlakuan penambahan C102, sedangkan nilai derajat
putih, indeks tarik dan panjang putus dipengaruhi oleh perfakuan pena~bahanG102. Penambahm
C/O2yang paling optimal pada pemutihan ECF dengan tahapan D1ED2D3adalah pada tingkat KF
0.16. Perlakuan ini menghasilkan pulp putih dengan nilai derajat putih, opasitas, indeks retak,
indeks tarik, panjang putus dan indeks sobek masing-masing 74,26%6S, 76,26 persen, 4,60
kPa.m2/g, 65,94 Nm/g, 6723 m, dan 8,96 ~m'ikg.
Kata kunci : proses pemutihan, pulp kraft RDH, metode ECF
Rapid Displacement Heating (RDH) is a new low energy batch cooking process developed by
Beloit Corporation. The bleaching of RDH pulps use elementally chlorine free (EGF) with four
'stage (DIED2D3)sequences. ECF bleaching still allows the use of chlorine dioxide (ClO,), but the
amount of chlorinated organic produced is dramatically reduced. Four variety of chlorine dioxide
increasing in the first (Dl) stage were studied, i.e., kappa factor (KF) 0.10, KF 0.16, KF 0.22, KF
0.28. The RDH pulping reduced the kappa number to 22.77, compared to the conventional krafl
cooking resulting 37.89 kappa number. RDH yield cooking was 51.64 % and conventional krafi
was 54.52%. Chlorine dioxide increasing in ECF bleaching had no effect on tear index, burst index
and opasitas, but gave significant effect on brightness, tensile index and break length. The
optimum C102 increasing was KF 0.16. The treament resulted bleached pulp brightness
74.26%GE, opacity 76.26%, burst index 4.50 k~a.rn'/g, tensile index 65.94 Nrnlg, break length
6724 m and tear index 8.96 him2/kg.
Keywords : bleaching, acacia mangium RDH krafi pulp, ECF method
772
Bolo1Besor Penelition don Pengembongon Pascopanen Pertonian
Prosiding Semlnar Naslonai Teknologi lnovatif Pascapanen untuk Pengembongan lndustri Berbosis Pertanion
Pada rnasa yang akan datang semua produk pulp beserta proses pembuatannya
harus mernenuhi kriteria : bermutu tinggi, bersahabat dengan lingkungan dan
menguntungkan. Salah satu altematif pemecahannya adalah dengan modifikasi prosits
pernasakan dengan metode iRDW dan modifikasi proses pemutihan dengan metode ECF.
Dari teknik ini diharapkan dapat menghasilkan pulp dengan rendemen tinggi, beban
pencemaran rendah, serta rnutu lembaran pulp yang memenuhi standar industri.
RDW adalah suatu proses pernasakan yang merupakan pengembangan dari sistem
tidak sinambung dengan pemakaian energi yang lebih rendah yang dikembangkan oleh
Beloit Corporation (Swift dan Dayton, 1990). Pemasakan RDH dapat menghemat
pemaicaian steam sarnpai 75 persen, kualitas pulp yang lebih baik, bilangan kappa lebih
rendah antara 15 sarnpai 18 sedmgkan jika dengan proses kraft konvensional dihasilkan
bilangan kappa antara 30 sarnpai 35 (Chang et al, 1992). Pada pemasakan RDH juga
digunakan kembali Iarutan lindi h i m yang merupakan limbah pernasakan pulp.
Untuk menghasilkan mu& pulp putih yang baik diperlukan bahan kimia pemutih
dan beberapa tahapan proses pemutihan sehingga diperoleh derajat putih yang tinggi.
Penggunaan bahan kimia pemutih yang berlebih, selain mendegradasi lignin juga akan
mendegradasi selulosa. Hal ini dapat menyebabkan mutu pulp menjadi turun dan
mencemari lingkungan. Untuk mengatasi ha! tersebut diperlukan suatu modifikasi
teknologi pemutihan yang dapd menghasilkan pulp dengan derajat putih tinggi dan
degradasi terhadap selulosa seminimal mungkin.
Penggunaan klor sebagai bahan pemutih pulp mulai banyak ditinggaikan karena
buangan klor sangat mencemarkan lingkungan. Modifikasi proses pemutihan dilakukan
dengan tujuan untuk mengurangi penggunaan klor, rnisalnya dengan menerapkm konsep
ECF (Elementally Chlorine Free) atau TCF (Totally Chlorine Free) (Cates et al, 1995).
TCF merupakan teknologi pemutihan tanpa menggunakan klor pada setiap tahapan
pemutihannya. Sedangkan ECF sdalah teknologi proses pemutihan pulp,, dimana tidak
digunakan lagi klor bebas (C12) tetapi masih digunakan klor dalam bentuk senyawa
(C102)sebagai bahan kimia pemutih utamanya
Menurut lbnusantosa (1994), pada pemutihan ECF, bahan kimia yang digunakan
adalah klordioksida sebagai pengganti klor. Tahapan pemutihan ECF yang biasa
digunakan adalah DEDED, D(Eop)D(Ep)D, DD(Eop)DD, DEDD, dan DD(Eop)D. Dari
beberapa tahapan tadi terlihat dalam metode EGF, klor tidak digunakan lagi sebagai
bahan kirnia pemutih utama tetapi diganti dengan klordioksida. Substitusi CiOz pada
tahap klorinasi pemutihm sistem ECF merupakan teknologi yang efektif untuk
memperbaiki kineja unit pemutihan. Perbaikan yang dilakukan yaitu dengan efisiensi
delignifikasi, dimana C102 hanya bereaksi dengan lignin sehingga mengurangi kerusakan
yang tejadi pada karbohidrat dan terhindarnya degradasi selulosa. Selain itu CIOr
dipakai untuk rnencapai derajat putih akhir yang tinggi tanpa penurunan kekuatan pulp
yang berarti dan dapat menekan kadar polutan dioxin dan furan sem ininium mungkin.
Klordioksida sudah lama diketahui sebagai bahan untuk mendelegnifikasi dan
pemutihan pulp. Tahap klordioksida ini menggantikan tahap klorin pada tahap pertama
dari pemutihan bertingkat dan juga digunakan pada tahap akhir. Beberapa keuntungan
pemakaian klordioksida dalam pemutihan yaitu kecerahan pulp yang tinggi, menaikkan
sifat kekuatan pufp, konsumsi bahan kimia rendah dan rnenurunkan BOD dalarn larutan
buangannya (Siagian, 1989).
Menurut Siagian (1989), jenis dan jurnlah tahapan yang digunakan dalam proses
pemutihan tergantung nilai bilangan kappa, jenis kayu, brightness yang diinginkan, harga,
tersedianya bahan kimia, dan peralatan yang ada pada pabrik. Pemutihan yang dilakukan
tiga sampai empat tahap akan menghasilkan pulp semiputih dengan niiai sebesar-60%GE
Balal Besar Penelition don Pengembongon Pascapanen Pertonion
773
.
Prosidfng Seminar Nasional Teknologi lnovotif Pascoponen untuk Pengembongon lndustrl Berbasls Pertonfan
sampai 70 %GE. Sedangkan pemutihan yang dilakukan lima tahap atau lebih akan
menghasilkan pulp putih penuh bernilai lebih besar atau sama deogan 80 %GE.
Penelitian .ini bertujuan untuk mengetahui pengamh penambahan el02 pada
proses pemutihan pulp kraft RDW (Rapid Displacement Heating) kayu Acacia mangium
dengan metoda ECF (Elementally Chlorine Free) terhadap mutu pulp putih yang
dihasilkan.
BAHAN DAN METODE
Bahan utama yang digunakan dalarn penelitian ini adalah serpih kayu Acacia
mangium. Bahan kirnia yang digunakan dalarn proses pernasakan kraft RDH adalah
NaOM dan Na2S. Bahan kirnia untuk proses pemutihan metoda ECF adalah G102 dan
NaOH. .Bailan kimia untuk analisis terdiri dari KMnO4, Na2S203,KI, W2S04 4 N, larutan
kanji, BaCI2, formaidehid, WCI, indikator pp, amoniak dan air suling.
Alat yang digunakan terdiri dari neraca analitis, bejana pemasak (digester), mesin
pembuat serpih (chipper), sprout waldron refiner, PFl mill,Ji.eeness tester, penyaring
pulp v a t screener), oven, pH meter, penangas air, desikator, gelas ukur, gelas piala,
temometer dan peralatan pengujian lembaran pulp yang terdiri atas rearing tesrer, tensile
tester, bursting tester dan refectometer.
Tahapan penelitian meliputi pembuatan serpih kayu, penyiapan larutan pemasak,
pemasakan dengan proses Kraft, pemasakan serpih kayu d e n g ~ nrnetode IU3)I-l (Rapid
Displacement Heating), pemutihan dengan sistem ECF (Elementally Chlorine Free),
pembuatan lembaran pulp dan analisis pulp.
Pembuatan serpih
-
Pembuatan serpih dilakukan dengan mesin penyerpih (chipper). Serpih dibuat
dengan ukuran panjang 2,5 - 3,0 crn lebar, lebar 1,s 2,0 cm dan tebal 0,2 0,3 cm.
Serpih kayu dikeringkan di udara terbuka selama I 2 hari. Seteiah itu serpih disimpan
dalarn kantong plastik untuk mempertahankan dan menyeragamkan kadar air serpih.
-
-
Penyiapan larutan pemasak
Larutan pemasak pulp krafi KDM yarlg digunakan terdiri dari lindi hitam hangat,
lindi hitam panas dan lindi putih panas. Lindi hitam diperoleh dari pemasakan pulp kraft
konvensional, sedangkan lindi putih diperoteh dari NaOH, Na2S dan air.
a. Pernbuatan Lindi Putih
Perhitungan kebutuhan NaOH, Na2S dan air untuk larutan pemasak lindi putih
adalah sebagai berikut.
-
Vol NaOH (V1, ml) = A x (1 S ) x 80/62 x 2 x 1OOO/N1
Vol Na2S (V2, ml) = A x S x 78/62 x Z x 1000N2
Air(ml)=(B x 2 ) - ( V 1 xM1) -(V2x M 2 ) - K
Keterangan :
A = Konsentrasi alkali al:tif (%)
S = sulfiditas (%)
Z = bobot serpih kering tanur (gram)
N = konsentrasi NaOH (g/l)
774
Balal Besor Penelftian don Pengembongan Pacapanen Pertanfan
Prosiding Seminar Nasionol Teknoiogi lnovotif Poscapanen untuk Pengembangon lndustrl Berbasis Pertonian
N2= konsentrasi NazS (dl)
. - .
B = nisbah bobot larutan pemasak terhadap bobot serpih kering tanur
MI= massa jenis NaOH
M2= rnassa jenis Na2S
K = kadar air dalam serpih kayu (ml)
Perhitungan kebutuhan NaOH dan Na2S untuk tingkat alkali yang akan digunakan
adalah sebagai berikut.
NaOH (gram) = WI = A x ( l - S) x 8062 x Z
Na2S (gram) = W2= A x S x 78/62 x Z
Keterangan :
A = konsentrasi alkali aktif (%)
S = sulfiditas (%)
Z = bobot serpih kering tanur (gram)
Lindi hitam ini diperoleh dari limbah pemasakan kayu Acacia mungium dengan
menggunakan proses krafi konvensional. Pemasakan kraft dilakukan pada digester
dengan menggunakan cairan pemasak NaOW dan Na2S. Konsentrasi alkali aktif yang
digunakan adalah 18 persen, sulfiditas 25 persen, dan suhu rnaksimum pemasakan 17$
'C. Lama waktu untuk mencapai suhu maksimum adalah 1,5 jam dan waktu
mernpertahankannya adalah 2 jam.
Pemasakan Serpih Sistem W W
Proses pengoperasian sistem RDH berbeda dengan pemasakan konvensional.
Serpih kayu disteaming teriebih dahulu dengan menggunakan steam selama 7 menit pada
suhu it lO "C. Setelah itu lindi hitarn hangat dimasuWcan kedalam digester, kemudian
dipanaskan menuju suhu maksimum 120 "C selama 20 menit dan dipertahankan selama
20 menit.
Hal ini dimaksudkan untuk pre-impregnasi yaitu memisahkan dan
rnenghilangkan udara yang terdapat dalam serpih. Pada impregnasi yang kedua larutan
lindi hitam panas dimasukkan kedalam digester kemudian dipanaskan pada suhu
m&sirnurn 155 "Cselarna 30 menit kemudian dipertahankan selama 20 menit. Sisa lindi
hitarn kemudian dikeluarkan dari digester dan diganti dengan larutan findi putih sebagai
lmtan pemasakan. Pemasakan dilakukan pada suhu 170 OC selarna 1jam untuk mencapai
suhu maksimum dan dipertahankan sarnpai faktor-H pemasakan tercapai. Faktor-H
adalah suatu variabel tunggal yang digunakan untuk memperkirakan waktu dan suhu
pemasakan dengan tepat(Vroom, 1957).
Pemutihan ECF
Pemutihan pulp dilakukan menurut tahapan (DIED2D3),yaitu tahap delignifikasi
untuk melarutkan atau rnenghilangkan lignin dengan dioksida klorin (Dl),menggunakan
bahan kimia ClO, dan tahap ekstraksi dengan NaOH (E) sebanyak 2 persen. Pemutihan
berikutnya adalah sebagai tahap pencerahan untuk mencapai derajat putih setelah tahap
delignifikasi dengan menggunakan dioksida klorin (Dt) dan (D3). Konsentrasi C/O2
yang digunakan pada tahap Dlterdiri dari 4 taraf, dengan variasi berdasarkan kappa
factor (KF) yang ditetapkan yaitu 0,10, 0,16, 0,22 dan 0,28. sedangkan untuk tahap D2
hanya satu taraf yaitu 1 persen C102 dan D3 digunakan konsentrasi C102 sebanyak 0,5
persen.
Boloi Besar Penelition don Pengembangon Pascoponen Pertonian
775
Prosiding Seminar Nasionol Teknologi Inovotij Pascaponen untuk Pengembangan lndustri Berbosis Pertanton
Pembuatan lernbaran Pulp
Pulp yang bobotnya setara dengan 45 gram pulp kering tanur dicampur dengan
air hingga volume 450 ml dalam gelas piala 500 ml, kemudian digiling sampai mencapai
derajat giling 250 - 300 CSF (canadian standard fineness). Pulp yang telah digiling
selanjutnya dibuat lembaran dengan diameter 15,85 crn dan bobot dasar (gramatur)
sekitar 45 - 55 gram/m2. Kernudian lembaran pulp basah disusun pada rak dan disimpan
dalam ruangan dengan dengan kondisi suhu 23 "C dan kelembaban relatif 60 persen.
Selanjutnya lembaran pulp siap dianalisis sifat fisiknya.
Analisis Pulp
Analisis yang dilakukan meliputi penghitungan rendemen pulp, penentuan
bilangan kappa, kekuatan sobek, kekuatan tarik, kekuatan retak, ketahanan lipat opasitas
dan derajat putih pulp.
Faktor perlakuan yang akan dilihat pengaruhnya yaitu penambahan konsentmsi
C102 pada tahap delignifikasi proses (Dl) yang terdiri atas empat taraf. Konsentrasi Cf02
yang ditambahkan dihitung berdasarkan kappa factor (W) dan biIangan kappa yang
dihasilkan pada proses pemasakan kraft RDH. Kappa factor pada percobaan ini
ditentukan yaitu 0,10, 0,16, 0,22 dan 0,28. Model rancangan percobaan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan dua kali ulangan.
HASIL DAN PEMBAWASAN
Pembuatan Pulp
Hasil pemasakan RGtH $an kraft konvensional dapat dilihat pada TabeB I. Masil
percobaan tersebut menunjukkan bahwa bilangan kappa dan rendemen pemasakan WEI
lebih rendah dibandingkan dengan pemasakan kraft kmvensional.
Tabel 1. Wasil pemasakan pulp kraft RDH dan kraft konvensional.
Jenis Pemasakan
Kraft Konvensional
Kraft RDH
Rendemen Pulp
54,52 %
51,64 %
Bifangan kappa
37,89
22,77
Rendemen Pemasakan
Pada sistem pemasakan RDH, rendemen pulp menunjukkan nilai yang lebih kecii
dibandingkan dengan proses kraft konvensional (Garnbar I). Pada proses kraft dihasilkan
rendemen sebesar 54,52 % sedangkan pada proses RDfI dihasilkan rendemen sebesar
51,64 %. Hal ini dikarenakan adanya perlakuan awal pada proses pemasakan, yaitu proses
pemberian steam, proses perendaman serpih dengan menggunakan lindi hitam hangat dan
perendaman dengan lindi hitam panas.
Mc Donald dan Franklin (1969), menyatakan bahwa bahan lindi hitam
merupakan larutan yang masih bersifat alkali tetapi konsentrasinya rendah. Bahm
anorganik yang terdapat didalamnya yaitu NaOH, Na2S, Na2C03,Na2SO4, NalS203 dan
NaCI.
Perendaman lindi hitam pada awal pemasakan ini membuat alkali aktif yang
terdapat pada pemasakan RDH mempunyai kandungan yang lebih tinggi dibandingkan
pada pemasakan kraft konvensional. Hal ini dikarenakan pada proses RDW, alkali aktif
776
Balai Besor Penelitian don Pengembangon Pascapanen Pertanion
Prosiding Semfnar Naslonal Teknologf lnovatif Pascopanen untuk Pengembangan lndustri Berbosis Pertonion
yang terdapat pada lindi hitam ini ditambah dengan alkali aktif pada lindi putih.
Sedangkan pada pemasakan kraft konvensional, alkali aktif hanya diperoleh dari lindi
putih.
Penjelasan diatas sesuai dengan pendapat Matheison dan Gustafson ( 1 9961, yaitu
konsentrasi alkali lindi putih pada pemasakan R D M lebih tinggi dibandingkan pemasakan
konvensional. Dengan semakin tingginya konsentrasi alkali maka akan menyebabkan
semakin banyaknya xilan yang terlepas dari serat sehingga rendemen pemasakan akan
berkurang. Penempelan kembali xilan pada pulp memberikan sumbangan sebesar 3 %
dari total rendemen pulp.
Penyebab lain dari turumya rendemen pemasakan RDH adalah dikarenakan
lamanya waktu yang diperlukan untuk pemasakan RDW dibandingkan dengan proses
pernasakan kraft konvensional. Walaupun untuk menyesuaikan waktu pemasakan RDH
dan kraft konvensional telah digunakan faktor-H, yaih suatu variabel tunggal yang dapat
mewakili waktu dan suhu pemasakan (Vroom, 1957). Tetapi karena instalasi -perahtan
RDH yang digunakan belum sesuai dengan peralatan RDH yang sesungguhnya, maka
diperlukan waktu total pemasakan yang lebih lama dibandingkan jika peralatan yang
digunakan telah sempurna. Pada instalasi peralatan RDH ini seharusnya ada alat heat
exchanger, accumulators dan tangki-tangki penyimpan lindi hitarn hangat dan panas.
Adanya peralatan diatas tersebut akan lebih memudahkan dan mempersingkat waktu
pengaliran lindi hitam dan lindi putih kedalam digester yang berisi serpih kayu. Pada
penelitian yang dilakukan, untuk pemasakan krafi konvensional dibutuhkan total waktu
selarna 3,5 jam, sedangkan untuk proses RDW dibutuhkan total waktu antara 4 sarnpai 5
jam.
- .
Pasaribu dan Roliadi (1989), mengatakan bahwa suhu dan waktu pemasakan
berpengaruh terhadap nilai rendemen pemasakan. Waktu pemasakan yang terlalu lama
cdari. waktu optimum akan menyebabkan terjadinya degradasj selulosa yang semakin
besar. Semakin lama waktu pemasakan, rendemen pulp yang dihasiikan akan semakin
kecil.
I
1
Kraft
RDH
Jenis Pmasakan
I
I
i
Gambar 1. Rendemen pulp berdasarkan jenis pemasakan
Bilangan kappa
Bilangan Kappa merupakan s u a b parameter yang digunakan untuk mengetah;i
kandungan lignin di dalam pulp dan dipakai untuk menentukan tingkat kematangan atau
daya terputihkan pulp (SNI0494-1989A). Semakin tinggi bilangan kappa maka semakin
tinggi kandungan lignin di dalam pulp dan semakin tinggi pula bahan kimia yang
dibutuhkan untuk pemutihm.
Bilangan kappa pulp yang diperoleh dari hasil pemasakan kayu Acacia niaugium
pada sistern konvensional adalah 37,89 sedangkan pada sistem RDH sebesar 22,77. Pada
Garnbar 2 dapat dilihat grafik besarnya bilangan kappa sistern RDW yang jauh lebih
Bolai Besar Penelltian dan Pengembangan Pascaponen Pertanlan
777
Proslding Seminar Nosionol Teknologi lnovatif Pascoponen untuk Pengembangon lndustrl Berbosis Pertonion
rendah dibandingkan sistem kraft konvensional. Fakta tersebut menunjukkan proses
pembuatan pulp RDH dapat menurunkan bilangan kappa pulp.
Bilangan
Kappa
Kraft
RDH
Jenis Pernasakan
--
-
- . -.
Gambar 2. Nilai bila~lgankappa berdasarkan jenis pemasakan
Serangkaian perlakuan awal pemasakan dilakukan pada sistem RDM, yaitu proses
pemberian steam, perendaman lindi hitam hangat dan Lindi hitam panas. Matheison dm
Gustafson (1996), mengatakan bahwa penanganan awal lindi hitam ini bertujuan untuk
mehanaskan serpih, menghilangkan udara dalam serpih, menetralisir keasaman kayu dan
mengisi serpih dengan lindi yang mengandung sulfiditas tinggi.
Chang et al (1992), mengatakan pengaturan bahan kimia pemasak gada sistem
RDH menjadikan bahan kimia menjadi selektif, dimana konsentrasi awal alkali aktif febih
rendah dan sulfiditas tinggi. Sedangkan pada sistem kraft konvensional sebaliknya,
konsentrasi awal alkali aktif tinggi dan sulfiditas rendah. Kondisi demikian mernbuat
penghilangan lignin sangat efisien pada pertengahan reaksi pemasakan.
Selama penanganan awal dengan lindi hitarn hangat dan lindi hitam panas, terjadi
peningkatan penyerapan sulfida pada serpih kayu dari 0,1 menjadi 0,2 moaglberat
kering kayu. Hasilnya, serpih kayu akan jenuh dengan sulfida sebelum berhubungan
dengan tahapan lindi putih. Pada pernulam tahap Iindi putih dihasilkan konsentrasi
sulfida yang sangat tinggi sepanjang periode pengumpulan faktor H (Chang et al, 1992).
Menurut Matheison dan Gustafson (1996), admya sirkulasi sulfida yang tinggi
pada sistem RDH mengakibatkan proses delignifikasi menjadi lebih besar. Alasan inilah
yang menyebabkan sistem RD%I menghasilkan pulp dengan bilangan kappa yang lebih
rendah dan kualitas lebih baik dibandingkan pemasakan kraft konvensional
Pemutihan Pulp
Menurut Siagian (1989), proses pemutihan (bleachil7g) adalah proses untuk
menghilangkan lignin dan bahan-bahan lain dari serat untuk rneningkatkan kecerahan
warna pulp dan merupakan kelanjutm dari proses pemasakan pulp. Tujum dari
pemutihan adalah untuk memperbaiki wama pulp yang asli dan untuk mendapatkan
kemurnian serat. Dengan kata lain untuk memproduksi pulp putih yang warnanya stabil.
Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil pengujian sifat optik dan fisik pulp krafi RDH
yang telah diputihkan dengan metode ECF. Tahapan proses pemutihan yang digunakan
dalam metode ECF adalah D1ED2D3 dengan variasi penambahan 6102 pada tahap
delignifikasi. Penambahan C102 pada tahap Dlini didasarkan pada besarnya nilai Kappa
Factor (KF) yaitu 0,l0, 0,6, 0,22 dan 0,28.
778
,
Bdai Besar Penelition don Pengembangon Pascopanen Pertanion
Prasidlng Seminar Nosionol Teknologi lnovatif Pascapanen untuk Pengembongon lndustri Berbosis Pertanion
Tabel 2. Wasil pengujian sifat fisik d m optik pulp putih kraft RDH
Jenis Pengujian
Derajat Putih (%GE)
Opasitas (%)
lndeks Retak ( kPa.m21g)
Indeks Tarik (Nm/g)
Panjang putus (m)
lndeks Sobeks wm2/kg)
Penambahan C102
KF0,lO KF0,16
KF 0,22
70,23
74,26
76,6 1
77,11
76,26
76,70
4,93
4,60
4,42
66,43
65,94
58,01
6774
6723
59 15
9,08
8,96
8,35
KF 0,28
76,74
75,47
4,32
57,63
5 876
7,3 1
Pada tabel di atas dapat ddelaskan bahwa KF 0,10 sebanding dengan
penambahan C1C$ sebanyak 0,87 %, KF 0,15 sebanding dengan 1,39 %, KF 0,22
sebanding dengan 1,91 %, dan ICF 0,28 sebanding dengan 2,42 %. Pada Lampiran 6.
dapat dilihat gambar pulp yang telah diputihkan dengan metode ECF.
Derajat Putih
Derajat putih merupakan perbandingan antara intensitas cahaya biru dengan
panjang gelombang 457 nm yang dipantulkan oleh pemukaan lembaran pulp dengan
cahaya sejenis yang dipantulkan oleh pemukaan magnesium oksida (MgO) pada kondisi
sudut datang cahaya 45 O d m sudut pantul O O (SII, 1984).
Hasil analisa keragaman menunjukkan adanya pengaruh nyata dari periakuan
penambahan C102 atau peningkatan nilai KF terhadap nilai derajat putih pulp yang
dihasilkan. Nilai derajat putih yang diperoleh dari hasil penelitian ini berkisar antara
70,23 - 76,74 % GE. Nilai terendah dihasilkan dari perlakuan KF 0,lO dan nilai tertinggi
dihasilkan dari KF 0,28. Rataan derajat putih yang diperoleh dalam penelitian ini adalah
74,46 %GE.
Nasil uji pengaruh penmbahan G102 terhadap derajat putih dengan uji Duncan
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada perlakuan KF 0,10 dibandingkan
dengan perlakuan KF O,l6, 0,22, dan 0,28. Sedangkan pada KF 0,16 dibandingkan KF
0,22 dan Q,28 tidak berbeda nyata, begitu pula antara KF 0,22 dengan KF 0,28 tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata.
Pada KF 0,10 ini, proses delignifikasi atau degradasi lignin belum seluruhnya
optimal. Penambahan C102 sebagai bahan pemutih masih terlalu sedikit untuk melarutkan
lignin. Menurut Siagian (1989), kondisi umum yang penting yang mempengaruhi
t;ahapan proses pemutihan adalah jumlah bahan kimia pernutih yang digunakan,
konsistensi pemutihan, wakb dan suhu pemutihan.
Menurut Casey (1980), lignin mempunyai pengaruh buruk terhadap sifat kertas
terutama pada ikatan antar serat, kekuatan warna dan kilap kertas. Keberadaan lignin
yang cukup tinggi akan menyulitkan penggilingan, mengganggu terbentuknya bubur dan
mengakibatkan kertas yang dihasilkan bersifat kaku dan berwarna kuning.
Peningkatan kappa factor diharapkan dapat lebih meningkatkan proses
delignifikasi pulp. Hal ini terbukti dengan meningkatnya tingkat kecerahan pulp pada KF
0,16, KF 0,22 dan KF 0,28. Pengaruh negatif dari peningkatan KF adalah semakin
banyaknya jumlah CIOz yang digunakan. Afiinya semakin bsnyak bahan kimia pemutih
yang dipakai dan ini dapat meningkatkan pemborosan biaya pehbtihan dan tingkat
pencemaran lingkungan. Oleh karena itu perlu dicari tingkat KF optimal yang dapat
meningkatkan derajat putih dengan biaya dan limbah pemutihan seminimal mungkin.
Berdasarkan hasil penelitim, penambahan C102 yang paling optimal adalah pada tingkat
KF 0,16. Pada tingkat MF 0,16 digunakan bahan pemutih el02 lebih sedikit
Baloi Besor Penelition don Pengembongan Pascopanen Pertonion
779
'
Prosiding Semlnar Nasional Teknofogl lnovatif Pascaponen untuk Pengembongan lndustri Berbasis Pertanfan
dibandingkan KF 0,22 dan 0,28 tetapi memberikan pengaruh yang sama terhadap nilai
derajat putill pulp,
Menurut Siagian (1989), pemutihan pulp akan merubah sifat optik pulp yaitu
penyerapan cahaya, penyebaran cahaya (light scattering) dan refiektans yang dalarn
Pada
batasan disebut kecerahan (bright~ess),keputihan (whiteness) dan opasitas.
Gambar 3. dapat dilihat grafik pengaruh penambahan ClQ atau peningkatan kappafactor
(KF) terhadap nilai derajat putih pulp krafi RDM kayu Acacia mangium yang telah
diputihkan dengan metode ECF.
Menurut Siagian (1989), karbohidrat kayu seperti selulosa dan hemiselulosaa
adalah tidak be~warnadan kecjl sekali peranannya terhadap w m a kayu. Dalam pulp
putih terdapai gugus kromofor yang dapat menyerap warna, temtama terdiri atas gugusgugus fungsional yang didegradasi dan sebagian dari sisa lignin
Gambar 3. Pengaruh penambahan G102terhadap nilai derajat putih pulp
Menurut Casey 4 19801, gugus kromofor ortoquinon 0,7 % diperkirakan &an
memberi pengaruh warna pada lignin sebesar 35 60 persen. Sedangkan kromofor
hydroxyl~tedstilbene memberikan sumbangan warna maksirnum 5 % dan radikal bebas
Gemberikan pengaruh sebesar 7 %. Kromofor togam komplek dengan catechois
bertanggung jawab terhadap warna lignin suifonat sebesar 65% dan terhadap lignin kraft
sebesar 20 %.
-
Opasitas cetak adalah perbandingan antara faktor pantul pencahayaan (Ro)
dengan faktor pantul pencahayaan intrinsik (Rs). Faktor panhill pencahayaan adalah
faktor pantul selembar kerias dengan alas standar hitam, sedangkan faktor pantul
pencahayaan intrinsik merupakan faktor pencahayaan dengan alas standar putih.
Pengujian opasitas dilakukan dengan menggunakan reflektometer dan dinyatakm
dalam persen pada keadaan standar. Hasil analisis keragaman menunjukkan tidak adanya
pengaruh nyata dari perlakuan penambahan CIOz atau peningkatan KF terhadap niiai
opasitas cetak pulp. Artinya berapapun nilai W: yang ditambahkan akan memberikan
hasil yang sama terhadap nilai opasitas,
Nilai opasitas yang diperoleh dari hasii penelitian ini berkisar antara 75,47 77,11 %. Nilai terendah dihasilkan dari perlakuan KF 0,223 sedangkan nilai tertinggi pada
KF 0,lO. Rataan nilai opasitas cetak pulp yang diperoleh dari penelitan ini adalah 76,38
%.
780
Balai Besor Penelltian don Pengembangon Pascapanen Pertanfan
Prosiding Seminar Nasional Teknolagi lnovatif Pascaponen untuk Pengembongan lndusrri Berbasis Pertanian
Opasitas cetak ditetapkan oleh koefisien absorpsi cahaya, koefisien penyebaran
cahaya dan berdasarkan berat dasar kertas. Kenaikan opasitas cetak akan naik dengan
naiknya ketiga faktor tadi. Koefisien absorpsi cahaya akan menurun dengan adanya
pemutihan dan koefisien penyebaran cahaya praktis tidak berubah. Karena itu opasitas
pulp putih lebih rendah daripada pulp belum putih dengan bobot dasar yang sama
(Siagian, 1989).
Menurut Brandon (19811, semakin sempurna proses delignifikasi, opasitas cetak
lembaran pulp yang dihasilkan cenderung rendah. Lignin merupakan senyawa
penghmbat ikatan antar serat dan dapat mempersulit proses penggilingan. Kadar lignifi
yang rendah menyebabkan pulp bersifat mudah digiling sehingga dihasilkan pulp yang
halus, akibatnya lembaran pulp bersifat transparan dan opasitasnya rendah. Selain kadar
lignin, faktor lain yang mernpengaruhr' adalah celah-celah yang terdapat pada lembaran
pulp, gramatur, densitas, ikatan antar serat, penggilingan, ukuran lumen dan diameter
serat bahan baku yang digunakan,
Indeks sobek adalah ketahanan sobek dalam rni1iNevvton dibagi grarnatur dalam
gram per meter persegi. Ketahanan sobek itu sendiri adalah gaya yang diperlukan untuk
rnenyobek selembar pulp yang dinyatakan dalam gram gaya (gf) atau mitiNek~on(mN)
dm diukur pada kondisi standar.
Wasil analisis keragaman menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata dari
perlakuan penambahan C102 terhadap niIai indeks sobek pulp. Artinya berapapun
penmbahan C102atau peningkatm nilai KF &an memberikan hasil yang sama terhadap
niiai opasitas.
Nilai indeks sobek yang diperoleh dari hasil penelitian ini berkisar antara 7,3 I 9,08 ~ r n ~ l k gNilai
. terendah diperofeh dari perlakuan KF 0,28, sedangkan nilai tertinggi
pada KF 0,10. Ratam nilai indeks sobek pulp yang diperoleh dalarn penelitian ini adalah
8,43 ~rn'ikg. Nilai indeks sobek ini masih di atas standar SNI-14-0698-1989 untuk pulp
putih kayu daun iebar yaitu sebesar 5,0 ~ m ~ i k g .
Menurut Hartoyo (1989), daya tenun serat berpengaruh terhadap kekuatan sobek
kertas. Serat yang mernpunyai dinding sel tipis dan diameter besar akan menjadi tidak
kuat pada pernbentukan lembaran. Serat yang dernikian rnempunyai ikatah antara serat
yang besar sehingga kekuatan retak (bursting strength) dan kekuatan tarik (tensile
dinding sel
sfrenglh) pulp yang dihasilkan tinggi. Sebaliknya serat yang mempu~~yai
tebal dan diameter kecil, cenderung &an mempertahankan bentuknya
selama
pernbentukan lembaran yang tebal $an bentuk seperti pipa yang masih terlipat pada
lembaran pulp. Karena kurangnya luas kontak antar serat tfibercontact) maka pulp yang
dihasilkan relatif mempunyai kekuatan tarik dan sobek yang rendah.
Menurut Haygreen dari Bowyer (1989), indeks sobek dipengaruhi oleh
keterpaduan masing-masing serat dibandingkan dengan besarnya ikatan antar serat.
Bahan yang mengandung selulosa yang lebih banyak akan menghasilkan lembaran pulp
yang rnempunyai indeks sobek yang lebih thggi.
Menurut Casey (19801, faktor utama yang mempengaruhi ketahanan sobek
adalah panjang serat. Ketahanan sobek akan meningkat dengan meningkatnya panjang
serat. Serat yank panjang membutuhkan energi yang lebih banyak untuk memotong serat
dan rnemisahkan serat satu dengan yang lainnya. Dan serat yang mempunyai serat yang
pendek ~nenyebabkan penurunan kekuatan serat secara individu sehingga ketahanan
sobeknya semakin menurun.
Baiai Besclr Penelitian don Pengembanqan Pascaponen Pertanian
781
Prosiding Seminar Nosfanal Teknologi lnovatif Pascapanen untuk Pengembongan lndustri Berbosis Pertanion
Tndeks Tarik
Indeks tarik adalah kebhanan tarik dalam Newton per meter dibagi gramatur
dalam gram per meter persegi. Ketahanan tarik adalah daya tahan lembamn pulp
terhadap gaya tarik yang bekerja pada kedua ujungnya dan diukur pada kondisi standar.
Nilai indeks tarik standar SNI-14-0698-1989 untuk pulp putih kayu daun lebar yaitu
sebesar 30,O Nm/g.
Pada Gambar 4 dapat dilihat grafik pengaruh penambahan CIOz pada pemutihan
metode ECF terhadap nilai indeks tarik pulp kraft RDH kayu Acacia mangium. Hasil
analisis keragaman menunjukkan bahwa ada pengaruh nyata dari perlakuan peningkatan
nilai KF. Nilai indeks tarik pulp berkisar antara 57,63 - 66,43 Nrnlg. Nilai terendah
diperoleh dari perlakuan KF 0,28 sedangkan nilal' tertinggi pada KF 0,10 (Gambar 4).
Rataan nilai indeks tarik pulp putih yang diperoleh dalam peneiitian ini adalah 62,0
Nmlg.
_ __
Gambar 4. Pengaruh penambahan C102terhadap indeks tarik
Panjang Putus
Panjang putus adalah panjang jalur kertas dengan lebar sarna yang bobotnya
dapat memutuskan jalur tersebut apabila digantung pada salah satu ujungnya. Satuannya
dinyatakan dalarn meter atau kilometer.
Hasil analisis keragaman menunjukkan adanya pengwh penambahan C102
terhadap penurunan panjang putus lembaran pulp yang diuji. Nilai panjang putus berkisar
antara -5876 - 6774 m dengan nilai arendah ada pada perlakuan MF 0,28 dan nilai
teeinggi pada KF 0,10. Rataan nilai panjang putus pada penelitian ini adalah 6322 rn
(Gambar 5 ) .
. -
Gambar 5. Pengaruh penambahan C102Terhadap Panjang Putus
. 782
Boloi Besar Penelltion don Pengembongon Pascoponen Pertanion
Prosiding Seminar Nosionol Teknologl lnovotif Pascoponen untuk Pengembangon lndustri Berbasis Pertonion
Hasil uji pengaruh penambahan C102terhadap panjang putus dengan uji Duncan
menunjukkan adanya perbedaan nyata pada perlakuan KF 0,10 dibandingkan dengan KF
0,22 dan 0,28, demikian juga pada KF 0,16 dibandingkan dengan KF 0,22 dan 0,28. Pada
Gambar 8. dapat dilihat grafik penurunan nilai panjang putus yang turun
. . dari KF 0,16 ke
KF 0,22.
Pada KF 0,10 dan KF 0,16 kandungan seluiosa dan hemiselulosanya lebih tinggi
dibandingkan pada KF 0,22 dan I(F 0,28. Artinya telah terjadi degradasi selulosa sebagai
dampak pemutihan DIED2D3diakibatkan penggunaan C102 yang berlebihan pada KF
0,22 dan KF 0,28. Asumsi hi didasarkan pada panjang putus yang mengalami penurunan
Sebagaimana indeks tarik, panjang putus pun dipengaruhi oleh kandungan
selulosa, hemiselulosa dan lignin (Hartoyo, 1989). Kandungan selulosa yang tinggi
sangat diharapkan karena akan meningkatkan mutu pulp, begitu pula dengan kandungan
hemiselulosa yang akan memperkuat ikatan serat pada pulp. Kandungan lignin yang
tinggi saagat tidak diharapkan karena akan mengurangi kekuatan pulp juga panjang
putus. Berdasarkan nilai panjang putus lernbaran pulp yang diperoleh, pulp hasii
penelitim ini dapat diklasifikasikan sebagai pulp kelas I, yaitu pulp dengan dengan
panjang putus lebih dari 5000 meter (Misra, 1973).
Indeks Retak
Indeks retak adalah ketahanan retak dalam kilopascal dibagi gramatur dalam
gram per meter persegi. Ketahanan retak adalah gaya yang diperlukan untuk meretakkan
selembar pulp dan diukur pada kondisi standar. Pengujian pulp dilakukan dengan
menggunakan bursting tester.
Masii analisis keragaman menunjukkan tidak ada pengaruh nyata dari perlakuan
penambahan C102terhadap nilai indeks retak. Artinya berapapun CIOzyang ditambahka'i
atau .nilai KF yang diberikan, akan memberikan hasil sarna terhadap nilai indeks retak.
Nilai indeks retak pada penelitian ini berkisar antara 4, 32 - 4 3 3 kPa.m2/g. Nilai
terendah diperoleh dari perlakuan KF 0,28 edangkan nilai tertinggi pada KF 0,10. Rataan
nilai indeks retak pada penelitim ini adaiah 437 kpa.m2/g. Hasil penelitian ini rnasih
diatas standar SNI-14-0698-1989 untuk pulp putih kayu daun lebar yaitu sebesar 2,0
kpa.m2/g. Menurut Casey (19801, ada dua faktor yang mempengaruhi ketahman retak
yaitu panjang serat dan ikatan antar serat, Peningkatan panjang serat akan meningkatkan
ketahanan retak. Pernutusan ikatan antar serat akan meningkatkan ketahanan retak
sampai batas tertentu, namun apabila berlebihan justru akan menurunkan ketahanan retak.
Pada proses pemasakan pulp kraft RDM Acacia mangium dihasilkan bilangan
kappa sebesar 22,77, dan rendemen pemasakan 5 1,64 persen. Sedangkan pada pemasakan
krafi konvensional dihasilkan bilangan kappa sebesar 37,239 dan rendemen 54,52 persen.
Proses pemutihan metode ECF dengan tahapan DIED2D3untuk pulp krafi RDH
dapat memberikm tingkd kecerafian berkisar 70,23 - 76,74 %GE dan Opasitas berkisar
antara 75,47 - 77,11 %. Sedangkan nilai indeks tarik berkisar antara 57,63 -66,43 Nm/g,
indeks retak berkisar antara 4,32 - 4,93 kPa.m2/g, indeks sobek berkisar antara 7,3 1 9,08 ~ m ~ / kdan
g , panjang putus antara 5876 5774 m,
Nilai indeks retak, indkks sobek dan opasitas tidak dipengaruhi dieh pkrlakuan
penambahan C102 atau peningkatan kappa factor pada pemutihan ECF. Sedangkan nilai
derajat putih, indeks tarik dan panjang putus dipengaruhi oleh perlakuan penambahan
C102pada proses pernutihan.
-
Bdoi Besor Penelition don Pengembongan Pascoponen Pertonion
783
Prosiding Seminar Nosionol Teknologi fnovatif Pascaponen untuk Pengembongon lndustrl Berbosis Pertonion
Penambahan ClOz yang paling optimal pada pernt~tilian ECF dengan tahapan
DfED2D3adalah pada tingkat kappa factor 0,16. Perlakuan ini menghasiikan pulp putih
dengan nilai derajat putih, opasitas, indeks retak, indeks tarik, panjang putus dan indeks
/ ~ , Wmlg, 6723 rn,
sobek masin rnasing 74,26 %CE, 76,26 persen, 4,60 k ~ a . m ~65.94
dan 8,96 Nrn /kg.
F-
Brandon, C.F. 1980. Properties Paper. Di dalaln J.P. Casey. Pulp atld Paper : Chemistry
and Chemical Techt~ology,vol I . John Wiley and Sons, Ncw York.
Casey, J.P. 1980. Pulp and Papcr : Cllcmistry and Cticmical 'I'cchnology, vol 1 . .lo1111
Wiley and Sons, New York.
Cates, D.H., C. Eggert, Jan L. Yang clan K.13.1,. Erickssoll. 1095. Cot'i~pasissonof
effluent from TCF and ECF bleachilig of kraft pulp. Tcrj~pi.Jotrrn~ifvol 78/12.
Chang, H.M., H. Jameel, M.J. Abuhasan dan U.S.Sezgi. 1992. Effect of anthraquinone
in rapid displace~nentheating kraft pulping. Appita Vol 45 No 3.
Hartoyo. 1989. Pengetahuan Dasar Kayu Sebagai Sumber Serat. Pusat Penelitian dan
Pengernbangan Hasil Hutan Dalam Rangka Aiih Ilmil Pei~getal~uar~dan
Teknologi tndustri Pulp Kertas dan Papan Serat, Bogor.
Haygreen, 9.G. dan J.L Bawyer. 1989. Hasil Hutan dan Illnil Kayu, Teriemahan. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Ibnusantosa, 6 . 1994. Teknologi Proses Pemutihan dengan ECF, Dalam Industri Pulp
dan Kertas di Indonesia. Departemen Perindustrian, Baildung.
Matheison, B.A dan R.R. Gustafson. 1996. RDH purping of southern hardwoods. Tappi
Journal Vol 7915.
Misra, N.D. 1973. A Method for grading tropical hardwood. Di dalaln Berita Selulosa
X (4). Desember 1974. BBS, Bandung.
Pasaribu, R.A. dan H. Roliadi. 1989. Pengolahan Pulp secara Kimia. Pusat Peilelitian
dan Pe~~gernbangan
Wasii Wutan dalam rarlgka Alih ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Industri Pulp Kertas dan Papan Serat, Bogor.
Siagian, R.M. 1989. Teknologi Pemutihan Pulp. Pengolallan Pulp secara Kimia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dalam rangka Alih Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi lndustri Pulp Kertas dan Papan Serat, Bogor.
heating in batch digester. Pulp
Swift, L.K. dan J.S. Dayton. 1988. Rapid displace~net~t
and Paper, Canada $95.
/
Vroom,
784
M.E. 1957. The "N" Factor : A mean of expressing cooking times and
temperature as a single variable. Pulp and Paper, Canada.
Balal Besor Penelltlon don Pengembangon Pascoponen PertonIan
EFISIENSI PROSES PEMUTINAN PULP KRAFT RI)W
(R4PId)DISPLACEMENT HEA TIN@ DENGAN METODE ECF
( ELEMENTALLY GIMLOHNE FREQ
Mulyana ~ a d i ~ e r n a t aAgus
' , ~ u d i y m o ' ,Sutedja ~iraatmadja*dan Andoyo
/
Balui Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian
'~akultasTeknologi Pertanian, IPB
.'~ulaiBesar Industri Selulosu, Departemen Perindustrian
Pulp dan proses pembuatannya hams memenuhi kriteria : bemutll tinggi, bersahabat dengan
lingkungan dan menguntungkan. Salah satu alternatif pemecahannya adalah dengan modifikasi
proses pemasakan dengan metode RDH dan proses pemutihan dengan metode ECF. Dari teknik
ini diharapkan dapat'denghasilkan pulp dengan rendemen thggi, beban pencemaran rendah, serta
mum Iembaran pulp yang memenuhi standar industri. Rapid Displacement Heating (RDH) adalah
proses pemasakan pulp dengan energi rendah yang dikembmgkan oleh Beloit Corporation. Proses
pemutihan pulp RDH menggunakan metode elementally chlorine free (ECF) dengan empat tahap
delignifikasi (DIED2D3). Proses pemutihan masih menggunakan klordioksida (C102), tetapi
kandungan klorin ditumnkan serendah mungkin. Penarnbahan konsentrasi C102 pada tahap
delignifikasi proses (D,) yang terdiri atas empat taraf. Konsentrasi C1Q2 yang ditambahkan,
dihitung berdasarkan kappa factor (KF) dan bilangan kappa yang dihasilkan pada proses
pemasakan kraft RDH. KF pada percobaan ini ditentukan yaitw sebesar 0,10, 0,16, 0,22 dan
0,28. Pada proses pemasakan pulp krafi RDH Acacia mangium dihasilkan bilangan kappa sebesar
22,77 dan rendemen pemasakan 51,64 persen. Sedangkari pada pemasakan krafi konvensional
dihasilkan bilangan kappa sebesar 37,89 dan rendemen 54,2 persen. Nilai indeks retak, indeks
sobek dan opasitas tidak dipengaruhi oleh perlakuan penambahan C102, sedangkan nilai derajat
putih, indeks tarik dan panjang putus dipengaruhi oleh perfakuan pena~bahanG102. Penambahm
C/O2yang paling optimal pada pemutihan ECF dengan tahapan D1ED2D3adalah pada tingkat KF
0.16. Perlakuan ini menghasilkan pulp putih dengan nilai derajat putih, opasitas, indeks retak,
indeks tarik, panjang putus dan indeks sobek masing-masing 74,26%6S, 76,26 persen, 4,60
kPa.m2/g, 65,94 Nm/g, 6723 m, dan 8,96 ~m'ikg.
Kata kunci : proses pemutihan, pulp kraft RDH, metode ECF
Rapid Displacement Heating (RDH) is a new low energy batch cooking process developed by
Beloit Corporation. The bleaching of RDH pulps use elementally chlorine free (EGF) with four
'stage (DIED2D3)sequences. ECF bleaching still allows the use of chlorine dioxide (ClO,), but the
amount of chlorinated organic produced is dramatically reduced. Four variety of chlorine dioxide
increasing in the first (Dl) stage were studied, i.e., kappa factor (KF) 0.10, KF 0.16, KF 0.22, KF
0.28. The RDH pulping reduced the kappa number to 22.77, compared to the conventional krafl
cooking resulting 37.89 kappa number. RDH yield cooking was 51.64 % and conventional krafi
was 54.52%. Chlorine dioxide increasing in ECF bleaching had no effect on tear index, burst index
and opasitas, but gave significant effect on brightness, tensile index and break length. The
optimum C102 increasing was KF 0.16. The treament resulted bleached pulp brightness
74.26%GE, opacity 76.26%, burst index 4.50 k~a.rn'/g, tensile index 65.94 Nrnlg, break length
6724 m and tear index 8.96 him2/kg.
Keywords : bleaching, acacia mangium RDH krafi pulp, ECF method
772
Bolo1Besor Penelition don Pengembongon Pascopanen Pertonian
Prosiding Semlnar Naslonai Teknologi lnovatif Pascapanen untuk Pengembongan lndustri Berbosis Pertanion
Pada rnasa yang akan datang semua produk pulp beserta proses pembuatannya
harus mernenuhi kriteria : bermutu tinggi, bersahabat dengan lingkungan dan
menguntungkan. Salah satu altematif pemecahannya adalah dengan modifikasi prosits
pernasakan dengan metode iRDW dan modifikasi proses pemutihan dengan metode ECF.
Dari teknik ini diharapkan dapat menghasilkan pulp dengan rendemen tinggi, beban
pencemaran rendah, serta rnutu lembaran pulp yang memenuhi standar industri.
RDW adalah suatu proses pernasakan yang merupakan pengembangan dari sistem
tidak sinambung dengan pemakaian energi yang lebih rendah yang dikembangkan oleh
Beloit Corporation (Swift dan Dayton, 1990). Pemasakan RDH dapat menghemat
pemaicaian steam sarnpai 75 persen, kualitas pulp yang lebih baik, bilangan kappa lebih
rendah antara 15 sarnpai 18 sedmgkan jika dengan proses kraft konvensional dihasilkan
bilangan kappa antara 30 sarnpai 35 (Chang et al, 1992). Pada pemasakan RDH juga
digunakan kembali Iarutan lindi h i m yang merupakan limbah pernasakan pulp.
Untuk menghasilkan mu& pulp putih yang baik diperlukan bahan kimia pemutih
dan beberapa tahapan proses pemutihan sehingga diperoleh derajat putih yang tinggi.
Penggunaan bahan kimia pemutih yang berlebih, selain mendegradasi lignin juga akan
mendegradasi selulosa. Hal ini dapat menyebabkan mutu pulp menjadi turun dan
mencemari lingkungan. Untuk mengatasi ha! tersebut diperlukan suatu modifikasi
teknologi pemutihan yang dapd menghasilkan pulp dengan derajat putih tinggi dan
degradasi terhadap selulosa seminimal mungkin.
Penggunaan klor sebagai bahan pemutih pulp mulai banyak ditinggaikan karena
buangan klor sangat mencemarkan lingkungan. Modifikasi proses pemutihan dilakukan
dengan tujuan untuk mengurangi penggunaan klor, rnisalnya dengan menerapkm konsep
ECF (Elementally Chlorine Free) atau TCF (Totally Chlorine Free) (Cates et al, 1995).
TCF merupakan teknologi pemutihan tanpa menggunakan klor pada setiap tahapan
pemutihannya. Sedangkan ECF sdalah teknologi proses pemutihan pulp,, dimana tidak
digunakan lagi klor bebas (C12) tetapi masih digunakan klor dalam bentuk senyawa
(C102)sebagai bahan kimia pemutih utamanya
Menurut lbnusantosa (1994), pada pemutihan ECF, bahan kimia yang digunakan
adalah klordioksida sebagai pengganti klor. Tahapan pemutihan ECF yang biasa
digunakan adalah DEDED, D(Eop)D(Ep)D, DD(Eop)DD, DEDD, dan DD(Eop)D. Dari
beberapa tahapan tadi terlihat dalam metode EGF, klor tidak digunakan lagi sebagai
bahan kirnia pemutih utama tetapi diganti dengan klordioksida. Substitusi CiOz pada
tahap klorinasi pemutihm sistem ECF merupakan teknologi yang efektif untuk
memperbaiki kineja unit pemutihan. Perbaikan yang dilakukan yaitu dengan efisiensi
delignifikasi, dimana C102 hanya bereaksi dengan lignin sehingga mengurangi kerusakan
yang tejadi pada karbohidrat dan terhindarnya degradasi selulosa. Selain itu CIOr
dipakai untuk rnencapai derajat putih akhir yang tinggi tanpa penurunan kekuatan pulp
yang berarti dan dapat menekan kadar polutan dioxin dan furan sem ininium mungkin.
Klordioksida sudah lama diketahui sebagai bahan untuk mendelegnifikasi dan
pemutihan pulp. Tahap klordioksida ini menggantikan tahap klorin pada tahap pertama
dari pemutihan bertingkat dan juga digunakan pada tahap akhir. Beberapa keuntungan
pemakaian klordioksida dalam pemutihan yaitu kecerahan pulp yang tinggi, menaikkan
sifat kekuatan pufp, konsumsi bahan kimia rendah dan rnenurunkan BOD dalarn larutan
buangannya (Siagian, 1989).
Menurut Siagian (1989), jenis dan jurnlah tahapan yang digunakan dalam proses
pemutihan tergantung nilai bilangan kappa, jenis kayu, brightness yang diinginkan, harga,
tersedianya bahan kimia, dan peralatan yang ada pada pabrik. Pemutihan yang dilakukan
tiga sampai empat tahap akan menghasilkan pulp semiputih dengan niiai sebesar-60%GE
Balal Besar Penelition don Pengembongon Pascapanen Pertonion
773
.
Prosidfng Seminar Nasional Teknologi lnovotif Pascoponen untuk Pengembongon lndustrl Berbasls Pertonfan
sampai 70 %GE. Sedangkan pemutihan yang dilakukan lima tahap atau lebih akan
menghasilkan pulp putih penuh bernilai lebih besar atau sama deogan 80 %GE.
Penelitian .ini bertujuan untuk mengetahui pengamh penambahan el02 pada
proses pemutihan pulp kraft RDW (Rapid Displacement Heating) kayu Acacia mangium
dengan metoda ECF (Elementally Chlorine Free) terhadap mutu pulp putih yang
dihasilkan.
BAHAN DAN METODE
Bahan utama yang digunakan dalarn penelitian ini adalah serpih kayu Acacia
mangium. Bahan kirnia yang digunakan dalarn proses pernasakan kraft RDH adalah
NaOM dan Na2S. Bahan kirnia untuk proses pemutihan metoda ECF adalah G102 dan
NaOH. .Bailan kimia untuk analisis terdiri dari KMnO4, Na2S203,KI, W2S04 4 N, larutan
kanji, BaCI2, formaidehid, WCI, indikator pp, amoniak dan air suling.
Alat yang digunakan terdiri dari neraca analitis, bejana pemasak (digester), mesin
pembuat serpih (chipper), sprout waldron refiner, PFl mill,Ji.eeness tester, penyaring
pulp v a t screener), oven, pH meter, penangas air, desikator, gelas ukur, gelas piala,
temometer dan peralatan pengujian lembaran pulp yang terdiri atas rearing tesrer, tensile
tester, bursting tester dan refectometer.
Tahapan penelitian meliputi pembuatan serpih kayu, penyiapan larutan pemasak,
pemasakan dengan proses Kraft, pemasakan serpih kayu d e n g ~ nrnetode IU3)I-l (Rapid
Displacement Heating), pemutihan dengan sistem ECF (Elementally Chlorine Free),
pembuatan lembaran pulp dan analisis pulp.
Pembuatan serpih
-
Pembuatan serpih dilakukan dengan mesin penyerpih (chipper). Serpih dibuat
dengan ukuran panjang 2,5 - 3,0 crn lebar, lebar 1,s 2,0 cm dan tebal 0,2 0,3 cm.
Serpih kayu dikeringkan di udara terbuka selama I 2 hari. Seteiah itu serpih disimpan
dalarn kantong plastik untuk mempertahankan dan menyeragamkan kadar air serpih.
-
-
Penyiapan larutan pemasak
Larutan pemasak pulp krafi KDM yarlg digunakan terdiri dari lindi hitam hangat,
lindi hitam panas dan lindi putih panas. Lindi hitam diperoleh dari pemasakan pulp kraft
konvensional, sedangkan lindi putih diperoteh dari NaOH, Na2S dan air.
a. Pernbuatan Lindi Putih
Perhitungan kebutuhan NaOH, Na2S dan air untuk larutan pemasak lindi putih
adalah sebagai berikut.
-
Vol NaOH (V1, ml) = A x (1 S ) x 80/62 x 2 x 1OOO/N1
Vol Na2S (V2, ml) = A x S x 78/62 x Z x 1000N2
Air(ml)=(B x 2 ) - ( V 1 xM1) -(V2x M 2 ) - K
Keterangan :
A = Konsentrasi alkali al:tif (%)
S = sulfiditas (%)
Z = bobot serpih kering tanur (gram)
N = konsentrasi NaOH (g/l)
774
Balal Besor Penelftian don Pengembongan Pacapanen Pertanfan
Prosiding Seminar Nasionol Teknoiogi lnovotif Poscapanen untuk Pengembangon lndustrl Berbasis Pertonian
N2= konsentrasi NazS (dl)
. - .
B = nisbah bobot larutan pemasak terhadap bobot serpih kering tanur
MI= massa jenis NaOH
M2= rnassa jenis Na2S
K = kadar air dalam serpih kayu (ml)
Perhitungan kebutuhan NaOH dan Na2S untuk tingkat alkali yang akan digunakan
adalah sebagai berikut.
NaOH (gram) = WI = A x ( l - S) x 8062 x Z
Na2S (gram) = W2= A x S x 78/62 x Z
Keterangan :
A = konsentrasi alkali aktif (%)
S = sulfiditas (%)
Z = bobot serpih kering tanur (gram)
Lindi hitam ini diperoleh dari limbah pemasakan kayu Acacia mungium dengan
menggunakan proses krafi konvensional. Pemasakan kraft dilakukan pada digester
dengan menggunakan cairan pemasak NaOW dan Na2S. Konsentrasi alkali aktif yang
digunakan adalah 18 persen, sulfiditas 25 persen, dan suhu rnaksimum pemasakan 17$
'C. Lama waktu untuk mencapai suhu maksimum adalah 1,5 jam dan waktu
mernpertahankannya adalah 2 jam.
Pemasakan Serpih Sistem W W
Proses pengoperasian sistem RDH berbeda dengan pemasakan konvensional.
Serpih kayu disteaming teriebih dahulu dengan menggunakan steam selama 7 menit pada
suhu it lO "C. Setelah itu lindi hitarn hangat dimasuWcan kedalam digester, kemudian
dipanaskan menuju suhu maksimum 120 "C selama 20 menit dan dipertahankan selama
20 menit.
Hal ini dimaksudkan untuk pre-impregnasi yaitu memisahkan dan
rnenghilangkan udara yang terdapat dalam serpih. Pada impregnasi yang kedua larutan
lindi hitam panas dimasukkan kedalam digester kemudian dipanaskan pada suhu
m&sirnurn 155 "Cselarna 30 menit kemudian dipertahankan selama 20 menit. Sisa lindi
hitarn kemudian dikeluarkan dari digester dan diganti dengan larutan findi putih sebagai
lmtan pemasakan. Pemasakan dilakukan pada suhu 170 OC selarna 1jam untuk mencapai
suhu maksimum dan dipertahankan sarnpai faktor-H pemasakan tercapai. Faktor-H
adalah suatu variabel tunggal yang digunakan untuk memperkirakan waktu dan suhu
pemasakan dengan tepat(Vroom, 1957).
Pemutihan ECF
Pemutihan pulp dilakukan menurut tahapan (DIED2D3),yaitu tahap delignifikasi
untuk melarutkan atau rnenghilangkan lignin dengan dioksida klorin (Dl),menggunakan
bahan kimia ClO, dan tahap ekstraksi dengan NaOH (E) sebanyak 2 persen. Pemutihan
berikutnya adalah sebagai tahap pencerahan untuk mencapai derajat putih setelah tahap
delignifikasi dengan menggunakan dioksida klorin (Dt) dan (D3). Konsentrasi C/O2
yang digunakan pada tahap Dlterdiri dari 4 taraf, dengan variasi berdasarkan kappa
factor (KF) yang ditetapkan yaitu 0,10, 0,16, 0,22 dan 0,28. sedangkan untuk tahap D2
hanya satu taraf yaitu 1 persen C102 dan D3 digunakan konsentrasi C102 sebanyak 0,5
persen.
Boloi Besar Penelition don Pengembangon Pascoponen Pertonian
775
Prosiding Seminar Nasionol Teknologi Inovotij Pascaponen untuk Pengembangan lndustri Berbosis Pertanton
Pembuatan lernbaran Pulp
Pulp yang bobotnya setara dengan 45 gram pulp kering tanur dicampur dengan
air hingga volume 450 ml dalam gelas piala 500 ml, kemudian digiling sampai mencapai
derajat giling 250 - 300 CSF (canadian standard fineness). Pulp yang telah digiling
selanjutnya dibuat lembaran dengan diameter 15,85 crn dan bobot dasar (gramatur)
sekitar 45 - 55 gram/m2. Kernudian lembaran pulp basah disusun pada rak dan disimpan
dalam ruangan dengan dengan kondisi suhu 23 "C dan kelembaban relatif 60 persen.
Selanjutnya lembaran pulp siap dianalisis sifat fisiknya.
Analisis Pulp
Analisis yang dilakukan meliputi penghitungan rendemen pulp, penentuan
bilangan kappa, kekuatan sobek, kekuatan tarik, kekuatan retak, ketahanan lipat opasitas
dan derajat putih pulp.
Faktor perlakuan yang akan dilihat pengaruhnya yaitu penambahan konsentmsi
C102 pada tahap delignifikasi proses (Dl) yang terdiri atas empat taraf. Konsentrasi Cf02
yang ditambahkan dihitung berdasarkan kappa factor (W) dan biIangan kappa yang
dihasilkan pada proses pemasakan kraft RDH. Kappa factor pada percobaan ini
ditentukan yaitu 0,10, 0,16, 0,22 dan 0,28. Model rancangan percobaan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan dua kali ulangan.
HASIL DAN PEMBAWASAN
Pembuatan Pulp
Hasil pemasakan RGtH $an kraft konvensional dapat dilihat pada TabeB I. Masil
percobaan tersebut menunjukkan bahwa bilangan kappa dan rendemen pemasakan WEI
lebih rendah dibandingkan dengan pemasakan kraft kmvensional.
Tabel 1. Wasil pemasakan pulp kraft RDH dan kraft konvensional.
Jenis Pemasakan
Kraft Konvensional
Kraft RDH
Rendemen Pulp
54,52 %
51,64 %
Bifangan kappa
37,89
22,77
Rendemen Pemasakan
Pada sistem pemasakan RDH, rendemen pulp menunjukkan nilai yang lebih kecii
dibandingkan dengan proses kraft konvensional (Garnbar I). Pada proses kraft dihasilkan
rendemen sebesar 54,52 % sedangkan pada proses RDfI dihasilkan rendemen sebesar
51,64 %. Hal ini dikarenakan adanya perlakuan awal pada proses pemasakan, yaitu proses
pemberian steam, proses perendaman serpih dengan menggunakan lindi hitam hangat dan
perendaman dengan lindi hitam panas.
Mc Donald dan Franklin (1969), menyatakan bahwa bahan lindi hitam
merupakan larutan yang masih bersifat alkali tetapi konsentrasinya rendah. Bahm
anorganik yang terdapat didalamnya yaitu NaOH, Na2S, Na2C03,Na2SO4, NalS203 dan
NaCI.
Perendaman lindi hitam pada awal pemasakan ini membuat alkali aktif yang
terdapat pada pemasakan RDH mempunyai kandungan yang lebih tinggi dibandingkan
pada pemasakan kraft konvensional. Hal ini dikarenakan pada proses RDW, alkali aktif
776
Balai Besor Penelitian don Pengembangon Pascapanen Pertanion
Prosiding Semfnar Naslonal Teknologf lnovatif Pascopanen untuk Pengembangan lndustri Berbosis Pertonion
yang terdapat pada lindi hitam ini ditambah dengan alkali aktif pada lindi putih.
Sedangkan pada pemasakan kraft konvensional, alkali aktif hanya diperoleh dari lindi
putih.
Penjelasan diatas sesuai dengan pendapat Matheison dan Gustafson ( 1 9961, yaitu
konsentrasi alkali lindi putih pada pemasakan R D M lebih tinggi dibandingkan pemasakan
konvensional. Dengan semakin tingginya konsentrasi alkali maka akan menyebabkan
semakin banyaknya xilan yang terlepas dari serat sehingga rendemen pemasakan akan
berkurang. Penempelan kembali xilan pada pulp memberikan sumbangan sebesar 3 %
dari total rendemen pulp.
Penyebab lain dari turumya rendemen pemasakan RDH adalah dikarenakan
lamanya waktu yang diperlukan untuk pemasakan RDW dibandingkan dengan proses
pernasakan kraft konvensional. Walaupun untuk menyesuaikan waktu pemasakan RDH
dan kraft konvensional telah digunakan faktor-H, yaih suatu variabel tunggal yang dapat
mewakili waktu dan suhu pemasakan (Vroom, 1957). Tetapi karena instalasi -perahtan
RDH yang digunakan belum sesuai dengan peralatan RDH yang sesungguhnya, maka
diperlukan waktu total pemasakan yang lebih lama dibandingkan jika peralatan yang
digunakan telah sempurna. Pada instalasi peralatan RDH ini seharusnya ada alat heat
exchanger, accumulators dan tangki-tangki penyimpan lindi hitarn hangat dan panas.
Adanya peralatan diatas tersebut akan lebih memudahkan dan mempersingkat waktu
pengaliran lindi hitam dan lindi putih kedalam digester yang berisi serpih kayu. Pada
penelitian yang dilakukan, untuk pemasakan krafi konvensional dibutuhkan total waktu
selarna 3,5 jam, sedangkan untuk proses RDW dibutuhkan total waktu antara 4 sarnpai 5
jam.
- .
Pasaribu dan Roliadi (1989), mengatakan bahwa suhu dan waktu pemasakan
berpengaruh terhadap nilai rendemen pemasakan. Waktu pemasakan yang terlalu lama
cdari. waktu optimum akan menyebabkan terjadinya degradasj selulosa yang semakin
besar. Semakin lama waktu pemasakan, rendemen pulp yang dihasiikan akan semakin
kecil.
I
1
Kraft
RDH
Jenis Pmasakan
I
I
i
Gambar 1. Rendemen pulp berdasarkan jenis pemasakan
Bilangan kappa
Bilangan Kappa merupakan s u a b parameter yang digunakan untuk mengetah;i
kandungan lignin di dalam pulp dan dipakai untuk menentukan tingkat kematangan atau
daya terputihkan pulp (SNI0494-1989A). Semakin tinggi bilangan kappa maka semakin
tinggi kandungan lignin di dalam pulp dan semakin tinggi pula bahan kimia yang
dibutuhkan untuk pemutihm.
Bilangan kappa pulp yang diperoleh dari hasil pemasakan kayu Acacia niaugium
pada sistern konvensional adalah 37,89 sedangkan pada sistem RDH sebesar 22,77. Pada
Garnbar 2 dapat dilihat grafik besarnya bilangan kappa sistern RDW yang jauh lebih
Bolai Besar Penelltian dan Pengembangan Pascaponen Pertanlan
777
Proslding Seminar Nosionol Teknologi lnovatif Pascoponen untuk Pengembangon lndustrl Berbosis Pertonion
rendah dibandingkan sistem kraft konvensional. Fakta tersebut menunjukkan proses
pembuatan pulp RDH dapat menurunkan bilangan kappa pulp.
Bilangan
Kappa
Kraft
RDH
Jenis Pernasakan
--
-
- . -.
Gambar 2. Nilai bila~lgankappa berdasarkan jenis pemasakan
Serangkaian perlakuan awal pemasakan dilakukan pada sistem RDM, yaitu proses
pemberian steam, perendaman lindi hitam hangat dan Lindi hitam panas. Matheison dm
Gustafson (1996), mengatakan bahwa penanganan awal lindi hitam ini bertujuan untuk
mehanaskan serpih, menghilangkan udara dalam serpih, menetralisir keasaman kayu dan
mengisi serpih dengan lindi yang mengandung sulfiditas tinggi.
Chang et al (1992), mengatakan pengaturan bahan kimia pemasak gada sistem
RDH menjadikan bahan kimia menjadi selektif, dimana konsentrasi awal alkali aktif febih
rendah dan sulfiditas tinggi. Sedangkan pada sistem kraft konvensional sebaliknya,
konsentrasi awal alkali aktif tinggi dan sulfiditas rendah. Kondisi demikian mernbuat
penghilangan lignin sangat efisien pada pertengahan reaksi pemasakan.
Selama penanganan awal dengan lindi hitarn hangat dan lindi hitam panas, terjadi
peningkatan penyerapan sulfida pada serpih kayu dari 0,1 menjadi 0,2 moaglberat
kering kayu. Hasilnya, serpih kayu akan jenuh dengan sulfida sebelum berhubungan
dengan tahapan lindi putih. Pada pernulam tahap Iindi putih dihasilkan konsentrasi
sulfida yang sangat tinggi sepanjang periode pengumpulan faktor H (Chang et al, 1992).
Menurut Matheison dan Gustafson (1996), admya sirkulasi sulfida yang tinggi
pada sistem RDH mengakibatkan proses delignifikasi menjadi lebih besar. Alasan inilah
yang menyebabkan sistem RD%I menghasilkan pulp dengan bilangan kappa yang lebih
rendah dan kualitas lebih baik dibandingkan pemasakan kraft konvensional
Pemutihan Pulp
Menurut Siagian (1989), proses pemutihan (bleachil7g) adalah proses untuk
menghilangkan lignin dan bahan-bahan lain dari serat untuk rneningkatkan kecerahan
warna pulp dan merupakan kelanjutm dari proses pemasakan pulp. Tujum dari
pemutihan adalah untuk memperbaiki wama pulp yang asli dan untuk mendapatkan
kemurnian serat. Dengan kata lain untuk memproduksi pulp putih yang warnanya stabil.
Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil pengujian sifat optik dan fisik pulp krafi RDH
yang telah diputihkan dengan metode ECF. Tahapan proses pemutihan yang digunakan
dalam metode ECF adalah D1ED2D3 dengan variasi penambahan 6102 pada tahap
delignifikasi. Penambahan C102 pada tahap Dlini didasarkan pada besarnya nilai Kappa
Factor (KF) yaitu 0,l0, 0,6, 0,22 dan 0,28.
778
,
Bdai Besar Penelition don Pengembangon Pascopanen Pertanion
Prasidlng Seminar Nosionol Teknologi lnovatif Pascapanen untuk Pengembongon lndustri Berbosis Pertanion
Tabel 2. Wasil pengujian sifat fisik d m optik pulp putih kraft RDH
Jenis Pengujian
Derajat Putih (%GE)
Opasitas (%)
lndeks Retak ( kPa.m21g)
Indeks Tarik (Nm/g)
Panjang putus (m)
lndeks Sobeks wm2/kg)
Penambahan C102
KF0,lO KF0,16
KF 0,22
70,23
74,26
76,6 1
77,11
76,26
76,70
4,93
4,60
4,42
66,43
65,94
58,01
6774
6723
59 15
9,08
8,96
8,35
KF 0,28
76,74
75,47
4,32
57,63
5 876
7,3 1
Pada tabel di atas dapat ddelaskan bahwa KF 0,10 sebanding dengan
penambahan C1C$ sebanyak 0,87 %, KF 0,15 sebanding dengan 1,39 %, KF 0,22
sebanding dengan 1,91 %, dan ICF 0,28 sebanding dengan 2,42 %. Pada Lampiran 6.
dapat dilihat gambar pulp yang telah diputihkan dengan metode ECF.
Derajat Putih
Derajat putih merupakan perbandingan antara intensitas cahaya biru dengan
panjang gelombang 457 nm yang dipantulkan oleh pemukaan lembaran pulp dengan
cahaya sejenis yang dipantulkan oleh pemukaan magnesium oksida (MgO) pada kondisi
sudut datang cahaya 45 O d m sudut pantul O O (SII, 1984).
Hasil analisa keragaman menunjukkan adanya pengaruh nyata dari periakuan
penambahan C102 atau peningkatan nilai KF terhadap nilai derajat putih pulp yang
dihasilkan. Nilai derajat putih yang diperoleh dari hasil penelitian ini berkisar antara
70,23 - 76,74 % GE. Nilai terendah dihasilkan dari perlakuan KF 0,lO dan nilai tertinggi
dihasilkan dari KF 0,28. Rataan derajat putih yang diperoleh dalam penelitian ini adalah
74,46 %GE.
Nasil uji pengaruh penmbahan G102 terhadap derajat putih dengan uji Duncan
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada perlakuan KF 0,10 dibandingkan
dengan perlakuan KF O,l6, 0,22, dan 0,28. Sedangkan pada KF 0,16 dibandingkan KF
0,22 dan Q,28 tidak berbeda nyata, begitu pula antara KF 0,22 dengan KF 0,28 tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata.
Pada KF 0,10 ini, proses delignifikasi atau degradasi lignin belum seluruhnya
optimal. Penambahan C102 sebagai bahan pemutih masih terlalu sedikit untuk melarutkan
lignin. Menurut Siagian (1989), kondisi umum yang penting yang mempengaruhi
t;ahapan proses pemutihan adalah jumlah bahan kimia pernutih yang digunakan,
konsistensi pemutihan, wakb dan suhu pemutihan.
Menurut Casey (1980), lignin mempunyai pengaruh buruk terhadap sifat kertas
terutama pada ikatan antar serat, kekuatan warna dan kilap kertas. Keberadaan lignin
yang cukup tinggi akan menyulitkan penggilingan, mengganggu terbentuknya bubur dan
mengakibatkan kertas yang dihasilkan bersifat kaku dan berwarna kuning.
Peningkatan kappa factor diharapkan dapat lebih meningkatkan proses
delignifikasi pulp. Hal ini terbukti dengan meningkatnya tingkat kecerahan pulp pada KF
0,16, KF 0,22 dan KF 0,28. Pengaruh negatif dari peningkatan KF adalah semakin
banyaknya jumlah CIOz yang digunakan. Afiinya semakin bsnyak bahan kimia pemutih
yang dipakai dan ini dapat meningkatkan pemborosan biaya pehbtihan dan tingkat
pencemaran lingkungan. Oleh karena itu perlu dicari tingkat KF optimal yang dapat
meningkatkan derajat putih dengan biaya dan limbah pemutihan seminimal mungkin.
Berdasarkan hasil penelitim, penambahan C102 yang paling optimal adalah pada tingkat
KF 0,16. Pada tingkat MF 0,16 digunakan bahan pemutih el02 lebih sedikit
Baloi Besor Penelition don Pengembongan Pascopanen Pertonion
779
'
Prosiding Semlnar Nasional Teknofogl lnovatif Pascaponen untuk Pengembongan lndustri Berbasis Pertanfan
dibandingkan KF 0,22 dan 0,28 tetapi memberikan pengaruh yang sama terhadap nilai
derajat putill pulp,
Menurut Siagian (1989), pemutihan pulp akan merubah sifat optik pulp yaitu
penyerapan cahaya, penyebaran cahaya (light scattering) dan refiektans yang dalarn
Pada
batasan disebut kecerahan (bright~ess),keputihan (whiteness) dan opasitas.
Gambar 3. dapat dilihat grafik pengaruh penambahan ClQ atau peningkatan kappafactor
(KF) terhadap nilai derajat putih pulp krafi RDM kayu Acacia mangium yang telah
diputihkan dengan metode ECF.
Menurut Siagian (1989), karbohidrat kayu seperti selulosa dan hemiselulosaa
adalah tidak be~warnadan kecjl sekali peranannya terhadap w m a kayu. Dalam pulp
putih terdapai gugus kromofor yang dapat menyerap warna, temtama terdiri atas gugusgugus fungsional yang didegradasi dan sebagian dari sisa lignin
Gambar 3. Pengaruh penambahan G102terhadap nilai derajat putih pulp
Menurut Casey 4 19801, gugus kromofor ortoquinon 0,7 % diperkirakan &an
memberi pengaruh warna pada lignin sebesar 35 60 persen. Sedangkan kromofor
hydroxyl~tedstilbene memberikan sumbangan warna maksirnum 5 % dan radikal bebas
Gemberikan pengaruh sebesar 7 %. Kromofor togam komplek dengan catechois
bertanggung jawab terhadap warna lignin suifonat sebesar 65% dan terhadap lignin kraft
sebesar 20 %.
-
Opasitas cetak adalah perbandingan antara faktor pantul pencahayaan (Ro)
dengan faktor pantul pencahayaan intrinsik (Rs). Faktor panhill pencahayaan adalah
faktor pantul selembar kerias dengan alas standar hitam, sedangkan faktor pantul
pencahayaan intrinsik merupakan faktor pencahayaan dengan alas standar putih.
Pengujian opasitas dilakukan dengan menggunakan reflektometer dan dinyatakm
dalam persen pada keadaan standar. Hasil analisis keragaman menunjukkan tidak adanya
pengaruh nyata dari perlakuan penambahan CIOz atau peningkatan KF terhadap niiai
opasitas cetak pulp. Artinya berapapun nilai W: yang ditambahkan akan memberikan
hasil yang sama terhadap nilai opasitas,
Nilai opasitas yang diperoleh dari hasii penelitian ini berkisar antara 75,47 77,11 %. Nilai terendah dihasilkan dari perlakuan KF 0,223 sedangkan nilai tertinggi pada
KF 0,lO. Rataan nilai opasitas cetak pulp yang diperoleh dari penelitan ini adalah 76,38
%.
780
Balai Besor Penelltian don Pengembangon Pascapanen Pertanfan
Prosiding Seminar Nasional Teknolagi lnovatif Pascaponen untuk Pengembongan lndusrri Berbasis Pertanian
Opasitas cetak ditetapkan oleh koefisien absorpsi cahaya, koefisien penyebaran
cahaya dan berdasarkan berat dasar kertas. Kenaikan opasitas cetak akan naik dengan
naiknya ketiga faktor tadi. Koefisien absorpsi cahaya akan menurun dengan adanya
pemutihan dan koefisien penyebaran cahaya praktis tidak berubah. Karena itu opasitas
pulp putih lebih rendah daripada pulp belum putih dengan bobot dasar yang sama
(Siagian, 1989).
Menurut Brandon (19811, semakin sempurna proses delignifikasi, opasitas cetak
lembaran pulp yang dihasilkan cenderung rendah. Lignin merupakan senyawa
penghmbat ikatan antar serat dan dapat mempersulit proses penggilingan. Kadar lignifi
yang rendah menyebabkan pulp bersifat mudah digiling sehingga dihasilkan pulp yang
halus, akibatnya lembaran pulp bersifat transparan dan opasitasnya rendah. Selain kadar
lignin, faktor lain yang mernpengaruhr' adalah celah-celah yang terdapat pada lembaran
pulp, gramatur, densitas, ikatan antar serat, penggilingan, ukuran lumen dan diameter
serat bahan baku yang digunakan,
Indeks sobek adalah ketahanan sobek dalam rni1iNevvton dibagi grarnatur dalam
gram per meter persegi. Ketahanan sobek itu sendiri adalah gaya yang diperlukan untuk
rnenyobek selembar pulp yang dinyatakan dalam gram gaya (gf) atau mitiNek~on(mN)
dm diukur pada kondisi standar.
Wasil analisis keragaman menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata dari
perlakuan penambahan C102 terhadap niIai indeks sobek pulp. Artinya berapapun
penmbahan C102atau peningkatm nilai KF &an memberikan hasil yang sama terhadap
niiai opasitas.
Nilai indeks sobek yang diperoleh dari hasil penelitian ini berkisar antara 7,3 I 9,08 ~ r n ~ l k gNilai
. terendah diperofeh dari perlakuan KF 0,28, sedangkan nilai tertinggi
pada KF 0,10. Ratam nilai indeks sobek pulp yang diperoleh dalarn penelitian ini adalah
8,43 ~rn'ikg. Nilai indeks sobek ini masih di atas standar SNI-14-0698-1989 untuk pulp
putih kayu daun iebar yaitu sebesar 5,0 ~ m ~ i k g .
Menurut Hartoyo (1989), daya tenun serat berpengaruh terhadap kekuatan sobek
kertas. Serat yang mernpunyai dinding sel tipis dan diameter besar akan menjadi tidak
kuat pada pernbentukan lembaran. Serat yang dernikian rnempunyai ikatah antara serat
yang besar sehingga kekuatan retak (bursting strength) dan kekuatan tarik (tensile
dinding sel
sfrenglh) pulp yang dihasilkan tinggi. Sebaliknya serat yang mempu~~yai
tebal dan diameter kecil, cenderung &an mempertahankan bentuknya
selama
pernbentukan lembaran yang tebal $an bentuk seperti pipa yang masih terlipat pada
lembaran pulp. Karena kurangnya luas kontak antar serat tfibercontact) maka pulp yang
dihasilkan relatif mempunyai kekuatan tarik dan sobek yang rendah.
Menurut Haygreen dari Bowyer (1989), indeks sobek dipengaruhi oleh
keterpaduan masing-masing serat dibandingkan dengan besarnya ikatan antar serat.
Bahan yang mengandung selulosa yang lebih banyak akan menghasilkan lembaran pulp
yang rnempunyai indeks sobek yang lebih thggi.
Menurut Casey (19801, faktor utama yang mempengaruhi ketahanan sobek
adalah panjang serat. Ketahanan sobek akan meningkat dengan meningkatnya panjang
serat. Serat yank panjang membutuhkan energi yang lebih banyak untuk memotong serat
dan rnemisahkan serat satu dengan yang lainnya. Dan serat yang mempunyai serat yang
pendek ~nenyebabkan penurunan kekuatan serat secara individu sehingga ketahanan
sobeknya semakin menurun.
Baiai Besclr Penelitian don Pengembanqan Pascaponen Pertanian
781
Prosiding Seminar Nosfanal Teknologi lnovatif Pascapanen untuk Pengembongan lndustri Berbosis Pertanion
Tndeks Tarik
Indeks tarik adalah kebhanan tarik dalam Newton per meter dibagi gramatur
dalam gram per meter persegi. Ketahanan tarik adalah daya tahan lembamn pulp
terhadap gaya tarik yang bekerja pada kedua ujungnya dan diukur pada kondisi standar.
Nilai indeks tarik standar SNI-14-0698-1989 untuk pulp putih kayu daun lebar yaitu
sebesar 30,O Nm/g.
Pada Gambar 4 dapat dilihat grafik pengaruh penambahan CIOz pada pemutihan
metode ECF terhadap nilai indeks tarik pulp kraft RDH kayu Acacia mangium. Hasil
analisis keragaman menunjukkan bahwa ada pengaruh nyata dari perlakuan peningkatan
nilai KF. Nilai indeks tarik pulp berkisar antara 57,63 - 66,43 Nrnlg. Nilai terendah
diperoleh dari perlakuan KF 0,28 sedangkan nilal' tertinggi pada KF 0,10 (Gambar 4).
Rataan nilai indeks tarik pulp putih yang diperoleh dalam peneiitian ini adalah 62,0
Nmlg.
_ __
Gambar 4. Pengaruh penambahan C102terhadap indeks tarik
Panjang Putus
Panjang putus adalah panjang jalur kertas dengan lebar sarna yang bobotnya
dapat memutuskan jalur tersebut apabila digantung pada salah satu ujungnya. Satuannya
dinyatakan dalarn meter atau kilometer.
Hasil analisis keragaman menunjukkan adanya pengwh penambahan C102
terhadap penurunan panjang putus lembaran pulp yang diuji. Nilai panjang putus berkisar
antara -5876 - 6774 m dengan nilai arendah ada pada perlakuan MF 0,28 dan nilai
teeinggi pada KF 0,10. Rataan nilai panjang putus pada penelitian ini adalah 6322 rn
(Gambar 5 ) .
. -
Gambar 5. Pengaruh penambahan C102Terhadap Panjang Putus
. 782
Boloi Besar Penelltion don Pengembongon Pascoponen Pertanion
Prosiding Seminar Nosionol Teknologl lnovotif Pascoponen untuk Pengembangon lndustri Berbasis Pertonion
Hasil uji pengaruh penambahan C102terhadap panjang putus dengan uji Duncan
menunjukkan adanya perbedaan nyata pada perlakuan KF 0,10 dibandingkan dengan KF
0,22 dan 0,28, demikian juga pada KF 0,16 dibandingkan dengan KF 0,22 dan 0,28. Pada
Gambar 8. dapat dilihat grafik penurunan nilai panjang putus yang turun
. . dari KF 0,16 ke
KF 0,22.
Pada KF 0,10 dan KF 0,16 kandungan seluiosa dan hemiselulosanya lebih tinggi
dibandingkan pada KF 0,22 dan I(F 0,28. Artinya telah terjadi degradasi selulosa sebagai
dampak pemutihan DIED2D3diakibatkan penggunaan C102 yang berlebihan pada KF
0,22 dan KF 0,28. Asumsi hi didasarkan pada panjang putus yang mengalami penurunan
Sebagaimana indeks tarik, panjang putus pun dipengaruhi oleh kandungan
selulosa, hemiselulosa dan lignin (Hartoyo, 1989). Kandungan selulosa yang tinggi
sangat diharapkan karena akan meningkatkan mutu pulp, begitu pula dengan kandungan
hemiselulosa yang akan memperkuat ikatan serat pada pulp. Kandungan lignin yang
tinggi saagat tidak diharapkan karena akan mengurangi kekuatan pulp juga panjang
putus. Berdasarkan nilai panjang putus lernbaran pulp yang diperoleh, pulp hasii
penelitim ini dapat diklasifikasikan sebagai pulp kelas I, yaitu pulp dengan dengan
panjang putus lebih dari 5000 meter (Misra, 1973).
Indeks Retak
Indeks retak adalah ketahanan retak dalam kilopascal dibagi gramatur dalam
gram per meter persegi. Ketahanan retak adalah gaya yang diperlukan untuk meretakkan
selembar pulp dan diukur pada kondisi standar. Pengujian pulp dilakukan dengan
menggunakan bursting tester.
Masii analisis keragaman menunjukkan tidak ada pengaruh nyata dari perlakuan
penambahan C102terhadap nilai indeks retak. Artinya berapapun CIOzyang ditambahka'i
atau .nilai KF yang diberikan, akan memberikan hasil sarna terhadap nilai indeks retak.
Nilai indeks retak pada penelitian ini berkisar antara 4, 32 - 4 3 3 kPa.m2/g. Nilai
terendah diperoleh dari perlakuan KF 0,28 edangkan nilai tertinggi pada KF 0,10. Rataan
nilai indeks retak pada penelitim ini adaiah 437 kpa.m2/g. Hasil penelitian ini rnasih
diatas standar SNI-14-0698-1989 untuk pulp putih kayu daun lebar yaitu sebesar 2,0
kpa.m2/g. Menurut Casey (19801, ada dua faktor yang mempengaruhi ketahman retak
yaitu panjang serat dan ikatan antar serat, Peningkatan panjang serat akan meningkatkan
ketahanan retak. Pernutusan ikatan antar serat akan meningkatkan ketahanan retak
sampai batas tertentu, namun apabila berlebihan justru akan menurunkan ketahanan retak.
Pada proses pemasakan pulp kraft RDM Acacia mangium dihasilkan bilangan
kappa sebesar 22,77, dan rendemen pemasakan 5 1,64 persen. Sedangkan pada pemasakan
krafi konvensional dihasilkan bilangan kappa sebesar 37,239 dan rendemen 54,52 persen.
Proses pemutihan metode ECF dengan tahapan DIED2D3untuk pulp krafi RDH
dapat memberikm tingkd kecerafian berkisar 70,23 - 76,74 %GE dan Opasitas berkisar
antara 75,47 - 77,11 %. Sedangkan nilai indeks tarik berkisar antara 57,63 -66,43 Nm/g,
indeks retak berkisar antara 4,32 - 4,93 kPa.m2/g, indeks sobek berkisar antara 7,3 1 9,08 ~ m ~ / kdan
g , panjang putus antara 5876 5774 m,
Nilai indeks retak, indkks sobek dan opasitas tidak dipengaruhi dieh pkrlakuan
penambahan C102 atau peningkatan kappa factor pada pemutihan ECF. Sedangkan nilai
derajat putih, indeks tarik dan panjang putus dipengaruhi oleh perlakuan penambahan
C102pada proses pernutihan.
-
Bdoi Besor Penelition don Pengembongan Pascoponen Pertonion
783
Prosiding Seminar Nosionol Teknologi fnovatif Pascaponen untuk Pengembongon lndustrl Berbosis Pertonion
Penambahan ClOz yang paling optimal pada pernt~tilian ECF dengan tahapan
DfED2D3adalah pada tingkat kappa factor 0,16. Perlakuan ini menghasiikan pulp putih
dengan nilai derajat putih, opasitas, indeks retak, indeks tarik, panjang putus dan indeks
/ ~ , Wmlg, 6723 rn,
sobek masin rnasing 74,26 %CE, 76,26 persen, 4,60 k ~ a . m ~65.94
dan 8,96 Nrn /kg.
F-
Brandon, C.F. 1980. Properties Paper. Di dalaln J.P. Casey. Pulp atld Paper : Chemistry
and Chemical Techt~ology,vol I . John Wiley and Sons, Ncw York.
Casey, J.P. 1980. Pulp and Papcr : Cllcmistry and Cticmical 'I'cchnology, vol 1 . .lo1111
Wiley and Sons, New York.
Cates, D.H., C. Eggert, Jan L. Yang clan K.13.1,. Erickssoll. 1095. Cot'i~pasissonof
effluent from TCF and ECF bleachilig of kraft pulp. Tcrj~pi.Jotrrn~ifvol 78/12.
Chang, H.M., H. Jameel, M.J. Abuhasan dan U.S.Sezgi. 1992. Effect of anthraquinone
in rapid displace~nentheating kraft pulping. Appita Vol 45 No 3.
Hartoyo. 1989. Pengetahuan Dasar Kayu Sebagai Sumber Serat. Pusat Penelitian dan
Pengernbangan Hasil Hutan Dalam Rangka Aiih Ilmil Pei~getal~uar~dan
Teknologi tndustri Pulp Kertas dan Papan Serat, Bogor.
Haygreen, 9.G. dan J.L Bawyer. 1989. Hasil Hutan dan Illnil Kayu, Teriemahan. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Ibnusantosa, 6 . 1994. Teknologi Proses Pemutihan dengan ECF, Dalam Industri Pulp
dan Kertas di Indonesia. Departemen Perindustrian, Baildung.
Matheison, B.A dan R.R. Gustafson. 1996. RDH purping of southern hardwoods. Tappi
Journal Vol 7915.
Misra, N.D. 1973. A Method for grading tropical hardwood. Di dalaln Berita Selulosa
X (4). Desember 1974. BBS, Bandung.
Pasaribu, R.A. dan H. Roliadi. 1989. Pengolahan Pulp secara Kimia. Pusat Peilelitian
dan Pe~~gernbangan
Wasii Wutan dalam rarlgka Alih ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Industri Pulp Kertas dan Papan Serat, Bogor.
Siagian, R.M. 1989. Teknologi Pemutihan Pulp. Pengolallan Pulp secara Kimia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dalam rangka Alih Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi lndustri Pulp Kertas dan Papan Serat, Bogor.
heating in batch digester. Pulp
Swift, L.K. dan J.S. Dayton. 1988. Rapid displace~net~t
and Paper, Canada $95.
/
Vroom,
784
M.E. 1957. The "N" Factor : A mean of expressing cooking times and
temperature as a single variable. Pulp and Paper, Canada.
Balal Besor Penelltlon don Pengembangon Pascoponen PertonIan