Dampak Spillover Dan Multipolaritas Pengembangan Wilayah Pusat Pusat Pertumbuhan Di Kalimantan

DAMPAK SPILLOVER DAN MULTIPOLARITAS
PENGEMBANGAN WILAYAH
PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN DI KALIMANTAN

ERNAWATI PASARIBU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Dampak Spillover dan
Multipolaritas Pengembangan Wilayah Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kalimantan
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Ernawati Pasaribu
NRP. H162100111

RINGKASAN
ERNAWATI PASARIBU. Dampak Spillover dan Multipolaritas Pengembangan
Wilayah Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kalimantan. Dibimbing oleh D.S.
PRIYARSONO, HERMANTO SIREGAR dan ERNAN RUSTIADI.
Pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan menjadi salah satu
strategi yang populer digunakan dalam mengatasi permasalahan ketimpangan
antarwilayah. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Perroux pada tahun
1950 dengan istilah Growth Pole (Kutub Pertumbuhan) yang dipercaya akan
dapat memberikan dampak spillover yang positif dalam jangka panjang. Konsep
ini mengalami pengembangan menjadi Growth Center (Pusat Pertumbuhan) agar
lebih konkrit dan mudah diaplikasikan dalam Ilmu Perencanaan Wilayah.
Beberapa peneliti telah melakukan pengujian terhadap dampak yang
ditimbulkan dan menghasilkan temuan yang menimbulkan pro dan kontra akan

keberhasilan strategi ini. Demikian juga terhadap dampak polarisasi yang justru
mengarah pada “bencana migrasi” karena daya tarik yang kuat kearah wilayah
pusat pertumbuhan. Konsep ini masih terus digunakan dan banyak diadopsi
terutama oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Pembentukan pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia baik sebagai Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) maupun sebagai Koridor Ekonomi
Indonesia masih belum mampu mengurangi ketimpangan antarpulau yang justru
belakangan makin membesar. Pulau Kalimantan yang dalam program Master
Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
ditetapkan sebagai lumbung energi nasional diharapkan mampu mengejar
ketertinggalannya baik dari sisi pertumbuhan output, tenaga kerja, maupun
investasi. Disisi lain, penetapan Kalimantan sebagai lumbung energi nasional
dalam jangka panjang dikhawatirkan menimbulkan dampak pengurasan
sumberdaya (backwash effect) yang lebih besar dibanding dampak penyebarannya
(spread effect).
Beragam cara telah digunakan untuk memperhitungkan dampak spillover
pusat-pusat pertumbuhan, baik menggunakan model statis maupun dinamis.
Penggunaan model-model tersebut dinilai belum mampu menangkap besaran
dampak spillover dan multipolaritas. Analisis spasial sangat diperlukan untuk
dikembangkan dalam konsep-konsep ilmu ekonomi, agar dapat memberikan

alternatif sudut pandang baik dalam identifikasi permasalahan maupun
pemecahannya. Disisi lain, dengan memasukkan peubah spasial akan menghindari
terjadinya kesalahan spesifikasi dalam model.
Terkait dengan permasalahan tersebut, maka penelitian ini secara umum
bertujuan untuk : mengeksplorasi dampak spillover dan polarisasi pusat-pusat
pertumbuhan di Kalimantan, dengan tujuan khusus yaitu : (1) Mendeteksi
pengaruh ketergantungan spasial (spatial lag dependent) antara hinterland dengan
pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang
secara simultan mempengaruhi pertumbuhan output, tenaga kerja, dan investasi di
Kalimantan, dan (3) Menguji multipolaritas antar pusat-pusat pertumbuhan di
Kalimantan dan luar Kalimantan.
Dampak spillover pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan yang dideteksi
menggunakan Uji LM Spatial lag secara signifikan membuktikan adanya

ketergantungan wilayah baik terhadap pertumbuhan output, tenaga kerja, dan
investasi. Kedekatan suatu wilayah dengan pusat pertumbuhan akan berdampak
makin baik (positif) manakala diikuti oleh makin besarnya aliran ekonomi yang
terjadi antara pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya. Sayangnya, beberapa
pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan yaitu Kota Palangkaraya, Kota Pontianak,
Kota Singkawang, dan Kabupaten Kapuas Hulu belum dapat memberikan dampak

spillover terhadap wilayah sekitarnya.
Pengujian secara simultan terhadap model pertumbuhan output, tenaga
kerja, dan investasi membuktikan bahwa faktor utama yang mempengaruhi
pertumbuhan ketiganya adalah interaksi spasial dengan pusat-pusat pertumbuhan
terdekat. Pertumbuhan output dan pertumbuhan investasi membuktikan adanya
efek umpan balik, dimana pengaruh pertumbuhan investasi terhadap pertumbuhan
output justru lebih besar dibandingkan sebaliknya. Oleh karenanya,
pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan akan lebih baik
bila fokus utamanya pada peningkatan investasi yang pada gilirannya juga
berdampak pada pertumbuhan output. Peningkatan investasi ini bukan sematamata bersumber dari investasi swasta, akan tetapi lebih menekankan efisiensi
belanja modal yang dalam penelitian ini secara nyata menunjukkan pengaruh yang
negatif terhadap pertumbuhan tenaga kerja. Sayangnya, model pertumbuhan
tenaga kerja di Kalimantan belum dapat membuktikan adanya efek umpan balik
dengan pertumbuhan output.
Hasil uji multipolarisasi antar pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan
luar Kalimantan yang dikonfirmasi dengan uji spatio-temporal terhadap aliran
barang dan aliran penumpang menunjukkan hasil yang signifikan. Polarisasi
masuknya barang di Kalimantan cenderung lebih cepat, berkebalikan hasil untuk
polarisasi arus penumpang ke Kalimantan. Temuan ini menunjukkan bahwa
pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan memiliki tuntutan tinggi untuk barang

dari luar wilayahnya, sementara penduduk yang tinggal pada pusat-pusat
pertumbuhan di Kalimantan lebih cenderung untuk bermigrasi ke pusat-pusat
pertumbuhan di luar Kalimantan.
Temuan-temuan di atas menjadi bahan untuk memberikan saran serta
implikasi kebijakan. Salah satu saran yang diberikan adalah mempercepat
pembangunan jalan trans Kalimantan, sebagai salah satu rencana komprehensif
untuk pembangunan nasional secara terintegrasi. Oleh karenanya, dukungan
pemerintah baik pusat maupun daerah terhadap MP3EI masih sangat diperlukan,
utamanya dalam pembangunan infrastruktur dasar baik secara kuantitas maupun
kualitas.
Kata kunci: pusat pertumbuhan, spatial lag dependent, spatio-temporal,
Kalimantan

SUMMARY
ERNAWATI PASARIBU. Spillover and Multipolarity Effects for Regional
Development of Growth Centers in Kalimantan. Supervised by D.S.
PRIYARSONO, HERMANTO SIREGAR and ERNAN RUSTIADI.
The development of growth centers becomes one of the popular strategies
used in overcoming the problems of inequality among regions. This concept,
known as Growth Pole was first introduced by Perroux in 1950. In the long term it

is believed to be able to give a positive spillover effect. Growth pole was further
developed into Growth Center in a way to be more concrete and applicable in the
field of Regional Planning Science. The effects were tested by several researchers
and the success of this strategy is still arguable due to the research findings. They
also examined the effects of polarization that lead to the "migration disaster"
because of strong attraction towards the growth centers. This concept is still being
used and widely adopted, especially by developing countries including Indonesia.
The growth centers in Indonesia has been established as Integrated
Economic Development Zone (KAPET) and Indonesia Economic Corridor. Yet,
both functions have not been able to reduce the inequality among islands which
even worsened. In Indonesia’s Economic Master Plan (MP3EI), Kalimantan has
been designated as a national energy barn. It is expected to catch the speed of
development in terms of output growth, employment, and investment. In the long
term, the establishment of Kalimantan as a national energy barn may lead to
resources depletion (backwash effect) which is greater than the spread effect.
Various methods have been used to measure the spillover effects of growth
centers, either using static or dynamic models. None of those models considered
been able to capture the magnitude of spillover effects and multipolarity. Spatial
analysis is required to be developed in the concepts of economics, in order to
provide the alternative viewpoints both in the identification of problems and

solutions. The errors specification of the model could be avoided by including
spatial variables.
Related to those problems, this research generally aims to: explore the
spillover effect and polarization in the growth centers of Kalimantan. The specific
objectives are: (1) to detect the effect of spatial lag dependent between the
hinterland and the growth centers in Kalimantan (2) to identify the factors that
simultaneously affect the growth of output, labor and investment in Kalimantan,
and (3) to test the multipolarity between growth centers in Kalimantan and
beyond.
The spillover effects of growth centers in Kalimantan were detected using
Lagrange Multiplier Test Spatial lag. It has been significantly proven the region's
dependence on the growth of output, labor, and investments. Proximity to the
growth center will have a better impact when followed by the growing economic
flow that occurs between growth centers and their hinterland. Unfortunately, some
of the growth centers in Kalimantan namely Palangkaraya, Pontianak,
Singkawang, and Kapuas Hulu Regency have not yet able to provide the spillover
effect towards the hinterland.

Simultaneous test on the model of output growth, labor growth, and
investment growth proved that spatial interaction with the closest growth centers

is the main factor for those growth. Output growth and investment growth create
the feedback effect. It means that the influence of investment growth to output
growth are greater than the opposite. Therefore, regional development of growth
centers in Kalimantan would be better if it focus primarily on increasing
investment, which in turn it has an impact on output growth. Improvement of the
investment is not solely come from private investment, but more emphasis on
efficiency through capital expenditures which in this study clearly shows the
negative influence on the growth of employment. Unfortunately, the model of
labor growth in Kalimantan has not been able to prove the existence of feedback
effects with output growth.
Multipolarization test between growth centers in Kalimantan and outside of
Kalimantan which has been confirmed by spatio-temporal test on flow of goods
and flow of passengers showed significant results. The polarization inward of
goods in Kalimantan tends to be more rapid, while the opposite result has
occurred to the polarization flow of passengers to Kalimantan. These findings
show that growth centers in Kalimantan have high demands for goods from
outside, while the residents of growth centers in Kalimantan tend to migrate to the
growth centers outside of Kalimantan.
Those findings are the materials to provide advice and policy implictations.
Accelerating the development of Trans Kalimantan road is an advice as one of a

comprehensive plan for an integrated national development. Therefore, the
support from central and local government for MP3EI is needed, mainly in basic
infrastructure development in terms of quantity and quality.
Keywords: growth centers, spatial lag dependent, spatio-temporal, Kalimantan

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan
sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk
apa pun tanpa izin IPB

DAMPAK SPILLOVER DAN MULTIPOLARITAS
PENGEMBANGAN WILAYAH
PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN DI KALIMANTAN

ERNAWATI PASARIBU


Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Dr Hamonangan Ritonga, MSc.

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Dr Hamonangan Ritonga, MSc.

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala

kasih dan berkat-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah Dampak Spillover dan Multipolaritas
Pengembangan Wilayah Pusat-pusat Pertumbuhan di Kalimantan. Pusat-pusat
pertumbuhan sangat diharapkan dapat memberikan dampak spillover ke wilayah
sekitarnya. Pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan
diimaksudkan untuk memperkecil ketimpangan dengan pulau-pulau lain utamanya
terhadap Pulau Jawa dan Sumatera. Pengukuran terhadap dampak spillover dan
multipolarisasi pusat-pusat pertumbuhan diharapkan mampu memberikan
gambaran akan pentingnya interaksi antarwilayah dalam meningkatkan
pertumbuhan output, tenaga kerja dan investasi secara simultan tidak hanya bagi
pusat pertumbuhan itu sendiri tetapi juga terhadap wilayah sekitarnya.
Penelitian ini dapat dilakukan berkat dukungan dari berbagai pihak,
terutama dari komisi pembimbing. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada komisi pembimbing Prof. Ir. D.S.Priyarsono, Ph.D., Prof. Dr. Ir.
Hermanto Siregar, M.Ec., dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr., atas bimbingannya,
sejak pembentukan ide, perumusan masalah, membangun pola pikir, mengarahkan
dalam menentukan metode analisis hingga proses sintesis dan analisis.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda selaku ketua program studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) dan penguji pada ujian
preliminasi tahap II, ujian tertutup dan sidang terbuka; Dr. Ir. Setia Hadi, MS
selaku penguji pada ujian preliminasi tahap II; Dr. Hamonangan Ritonga
selaku penguji pada ujian tertutup dan sidang terbuka.
2. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan
BPS atas kesempatan tugas belajar dan dukungan finansial yang diberikan
sehingga penulis dapat menempuh program S-3 ini.
3. Rekan-rekan dari BPS Propinsi Kalimantan Tengah dan BPS-RI yang telah
berpartisipasi dalam penyediaan data dan memberikan masukan berharga
tentang metode dan arahan analisis.
4. Rekan-rekan mahasiswa pada program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan (PWD), khususnya PWD 2010 atas kebersamaan dan
kekompakan yang selalu terjalin.
5. Seluruh staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan
sampai selesainya disertasi ini.
6. Seluruh teman-teman yang tergabung di UKM Center FEUI dan Persekutuan
Doa BPS, atas motivasi dan doa yang diberikan.
7. Sahabat penulis (Bunda Hj. Amalia, Retno, dan Marsono), support kalian
senantiasa mengawal penulisan disertasi ini.
8. Ibunda penulis serta keluarga besar Pasaribu-Manurung atas doa dan
dukungannya selama ini.

9.

Terima kasih kepada suami tercinta Edison Manurung, untuk kritik dan
support yang diberikan sehingga memotivasi penulis untuk menghasilkan
disertasi ini menjadi lebih baik.
10. Last but not least. Anak-anak tersayang Ega Eugenia Naomi, Edgar
Bennedictus Natama dan Ekklesia Ignatius Najogi, terima kasih atas doa yang
tak pernah putus dan kasih sayang yang tulus. Karya ini kupersembahkan
untuk kalian bertiga.
Penulis menyadari bahwa keterbatasan pemahaman penulis membuat
disertasi ini jauh dari kesempurnaan. Namun penulis tetap berharap semoga karya
ini bermanfaat bagi berbagai pihak.
Bogor, Juli 2015
Ernawati Pasaribu

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
xiii
xv
xvi
xvii

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kebaruan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
6
7
8
8
8

2. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Kajian Pustaka
Teori Kutub/Pusat Pertumbuhan
Kawasan Ekonomi Indonesia
Analisis Spasial
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

9
9
9
13
14
15
17
19

3. METODOLOGI PENELITIAN
Model Ekonometrika Spasial
Model Umum Regresi Spasial (General Spatial Model)
Model Regresi Spasial Data Panel
Kerangka Konseptual Pemilihan Model Spasial
Uji Spatial Dependency
Pengujian Heteroskedastisitas
Pengembangan Model Spillover Pertumbuhan
Rancangan Penelitian
Estimasi Regresi Data Panel
Estimasi Parameter Persamaan Simultan dengan Data Panel
Matriks Pembobot/Penimbang Spasial
Pemilihan Model Terbaik
Model Spasial Temporal
Uji Hipotesis terhadap Efek Jarak antar Pusat-pusat Pertumbuhan
Definisi Variabel dan Sumber Data
Definisi Variabel
Sumber Data

21
21
22
22
23
25
25
25
26
29
29
30
32
33
34
35
35
36

4. GAMBARAN UMUM PUSAT PERTUMBUHAN DI KALIMANTAN
Kondisi Wilayah Kalimantan
Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kalimantan
Tipologi Klassen Pusat-pusat Pertumbuhan di Kalimantan
Sektor Unggulan Pusat-pusat Pertumbuhan di Kalimantan
Spesialisasi Pusat-pusat Pertumbuhan di Kalimantan
5. DETEKSI KETERGANTUNGAN SPASIAL DAN POLA HUBUNGAN
ANTAR VARIABEL
Hasil Uji Spatial Dependency
Pola Hubungan Pertumbuhan Output, Tenaga Kerja dan Investasi di
Kalimantan dengan Variabel-variabel yang diteliti
Scatter Plot Pertumbuhan Output dan Variabel-variabel yang
mempengaruhinya
Scatter Plot Pertumbuhan Tenaga Kerja dan Variabel-variabel yang
mempengaruhinya
Scatter Plot Pertumbuhan Investasi dan Variabel-variabel yang
mempengaruhinya
6. DAMPAK SPILLOVER PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN
Model Pertumbuhan Output, Tenaga Kerja, dan Investasi
Model Pertumbuhan Output Kabupaten/Kota se-Kalimantan
Model Pertumbuhan Tenaga Kerja Kabupaten/Kota se-Kalimantan
Model Pertumbuhan Investasi Kabupaten/Kota se-Kalimantan
Dampak Spillover Pusat-pusat Pertumbuhan di Kalimantan
Sebaran Dampak Spillover Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kalimantan

37
37
38
44
46
47
55
55
58
58
58
59
60
60
60
62
64
66
79

7. UJI MULTIPOLARISASI PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN
82
Distribusi Aliran Barang dan Aliran Penumpang
82
Uji Polarisasi aliran barang antara pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan
dan luar Kalimantan
83
Uji Polarisasi aliran penumpang antara pusat-pusat pertumbuhan di
Kalimantan dan luar Kalimantan
85
Uji Polarisasi aliran barang dan aliran penumpang antar pusat-pusat
pertumbuhan di Kalimantan
87
8. IMPLIKASI STRATEGI PUSAT PERTUMBUHAN
Sektor Basis dan Spillover Pertumbuhan
Ketimpangan dan Polarisasi
Spillover dan Multipolarisasi
Implikasi Kebijakan

88
88
89
89
91

9. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

93
93
94

DAFTAR PUSTAKA

96

LAMPIRAN

99

DAFTAR TABEL
Halaman

1. Perkembangan Pembangunan Wilayah Kalimantan
2. Kondisi Pusat Pertumbuhan di Kalimantan
3. LQ Rata-Rata Pusat Pertumbuhan dan Bukan Pusat Pertumbuhan
di Kalimantan Menurut Sektor, 2007-2011
4. ISR Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kalimantan, 2007-2011
5. Hasil Uji Dependency Y1, Y2, dan Y3 dengan Bobot W-Neighborhood
6. Hasil Uji Dependency Y1, Y2, dan Y3 dengan Bobot W-Customized
7. Hasil Estimasi Parameter Model Spatial Lag Pertumbuhan Output
8. Hasil Estimasi Parameter Model Spatial Lag Pertumbuhan Tenaga Kerja
9. Hasil Estimasi Parameter Model Spatial Lag Pertumbuhan Investasi
10. Dampak Spillover Kabupaten Sambas
11. Dampak Spillover Kabupaten Bengkayang
12. Dampak Spillover Kabupaten Landak
13. Dampak Spillover Kabupaten Sanggau
14. Dampak Spillover Kabupaten Sintang
15. Dampak Spillover Kabupaten Kapuas Hulu
16. Dampak Spillover Kota Pontianak
17. Dampak Spillover Kota Singkawang
18. Dampak Spillover Kabupaten Kapuas
19. Dampak Spillover Kabupaten Barito Selatan
20. Dampak Spillover Kabupaten Pulang Pisau
21. Dampak Spillover Kota Palangkaraya
22. Dampak Spillover Kabupaten Kotabaru
23. Dampak Spillover Kota Banjarmasin
24. Dampak Spillover Kabupaten Kutai Kertanegara
25. Dampak Spillover Kota Balikpapan
26. Dampak Spillover Kota Samarinda

37
43
46
54
56
57
62
64
65
66
67
68
68
69
70
71
71
72
73
74
74
75
76
77
78
78

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1. Proporsi jumlah penduduk, PDRB, PMTDB dan Tenaga Kerja
Pulau-pulau di Indonesia, 1990, 2000 & 2011
2. Indeks Entropy Indonesia, 2001-2010
3. Koefisien Gini, Persentase Pencemaran lingkungan Desa,
dan Indeks Eksploitasi Ekonomi : Kalimantan dan Indonesia, 2011
4. Empat tahapan Friedmann Model Pengembangan Tata Ruang
5. Kerangka Pemikiran Penelitian
6. Skema Prosedur Pembuatan Model Regresi Spasial
7. Diagram Keterkaitan Variabel Model Spillover Pertumbuhan di
Kalimantan
8. Ilustasi Contiguity dan Customized
9. Peta Daya Saing Posisi Strategis Wilayah Pulau Kalimantan
di Koridor Nasional, Regional, dan Global
10. Peta Persbaran Daerah Tertinggal, Kawasan Perbatasan, dan
Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Wilayah Kalimantan
11. Peta Koridor Ekonomi Kalimantan
12. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Kalimantan, 2008-2011
13. Sebaran ISR dan Persentase Pertumbuhan per Tahun, 2007-2011
14. Scatter Plot Pertumbuhan Output dengan Variabel yang diteliti
15. Scatter Plot Pertumbuhan Tenaga Kerja dengan Variabel yang
diteliti
16. Scatter Plot Pertumbuhan Investasi dengan Variabel yang diteliti
17. Dampak Spilover yang diberikan oleh Pusat-Pusat Pertumbuhan di
Kalimantan
18. Dampak Spilover yang diterima dari Pusat-Pusat Pertumbuhan di
Kalimantan
19. Persentase Aliran Barang (a) dan Aliran Penumpang (b), 2011
20. Hasil Test Multipolaritas terhadap Aliran Barang yang keluar dari
Kalimantan (a) dan yang masuk ke Kalimantan (b)
21. Hasil Test Multipolaritas terhadap Aliran Penumpang yang keluar
dari Kalimantan (a) dan yang masuk ke Kalimantan (b)
22. Hipotesis Polarisasi dan Spread Effect (a) Polarisasi, Spread dan
Upgrading (b)

4
5
6
11
20
24
28
31
39
40
41
45
48
58
59
59
80
81
82
84
86
90

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1. Bobot Spasial Ketetanggaan dengan Pusat Pertumbuhan (W-Neighborhood)101
2. Bobot Spasial Berdasarkan Jarak Ekonomi dengan Pusat Pertumbuhan
(W-Customized)
103
3. Output Estimasi , , dan
105
4. Output Estimasi Persamaan Struktural Y1, Y2, dan Y3
106
5. Spatial Fixed Effect Model Pertumbuhan Output Menurut
Kabupaten/Kota se-Kalimantan
107
6. Spatial Fixed Effect Model Pertumbuhan Tenaga Kerja
Menurut Kabupaten/Kota se-Kalimantan
108
7. Spatial Fixed Effect Model Pertumbuhan Investasi
Menurut Kabupaten/Kota se-Kalimantan
109
8. Model Pertumbuhan Output Kabupaten/Kota se-Kalimanta dengan
Bobot W-Customized
110
9. Model Pertumbuhan Tenaga Kerja Kabupaten/Kota se-Kalimantan
dengan Bobot W-Customized
115
10. Model Pertumbuhan Investasi Kabupaten/Kota se-Kalimantan
dengan Bobot W-Customized
120
11. Uji Heteroskedastisitas Pada Residual Model Pertumbuhan Output
125
12. Uji Heteroskedastisitas Pada Residual Model Pertumbuhan Tenaga Kerja 127
13. Uji Heteroskedastisitas Pada Residual Model Pertumbuhan Investasi
129

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak diperkenalkannya model Economic Space oleh Perroux (1950),
banyak negara-negara di dunia mengadopsi model ini sebagai salah satu strategi
dalam mengatasi permasalahan ketimpangan pertumbuhan antarwilayah. Perroux
mendefinisikan Growth Pole (kutub pertumbuhan) sebagai struktur yang memiliki
kapasitas untuk mendorong pertumbuhan struktur ekonomi yang lain. Struktur ini
dipahami sebagai kelompok perusahaan-perusahaan besar yang mampu
mempromosikan keunggulan kompetitif dan daya saing nasional. Meskipun ruang
ekonomi tidak diidentifikasi sebagai suatu wilayah, namun dalam prakteknya
kutub pertumbuhan seperti yang dianjurkan dalam model tersebut mulai
diterapkan dan dikembangkan dalam studi-studi pembangunan daerah. Kutub
pertumbuhan pada akhirnya berkembang menjadi pusat pertumbuhan dengan
konsep keruangan yang konkrit dan diharapkan dapat menjadi prime mover bagi
wilayah sekitarnya.
Secara teori, pusat-pusat pertumbuhan pada awalnya akan banyak menyerap
sumber daya wilayah sekitarnya (terjadi backwash effect), tetapi dalam jangka
panjang penyerapannya makin berkurang seiring makin besarnya penyebaran
sumber daya ke wilayah sekitarnya (spread efffect) sehingga dikatakan terjadi net
spillover effect (Capello, 2009). Interaksi yang tinggi antara pusat pertumbuhan
dengan hinterland pada akhirnya akan membawa kemajuan pada kedua wilayah
tersebut manakala diikuti oleh penguatan infrastruktur serta transfer teknologi ke
wilayah pendukungnya. Hal ini penting mengingat interaksi pusat pertumbuhan
dengan hinterland akan berdampak pada berpindahnya sumberdaya potensial ke
pusat pertumbuhan sehingga tanpa dukungan infrastruktur dan teknologi yang
memadai lambat laun akan menurunkan aktivitas ekonomi wilayah
pendukungnya. Pemikiran tersebut menjadi pijakan penting bagi para perencana
wilayah dalam merancang strategi penguatan pusat pertumbuhan sehingga pada
gilirannya membawa strategi ini dapat memberikan dampak positif seperti yang
diharapkan dan tidak menimbulkan dampak pengurasan sumber daya (backwash
effect) ke wilayah sekitarnya.
Growth Center (Pusat pertumbuhan) ditafsirkan dalam beragam konsep
sehingga upaya untuk mengidentifikasi pusat pertumbuhan dalam dunia nyata
masih menimbulkan keraguan. Demikian juga dalam menentukan seberapa
banyak pusat pertumbuhan tersebut ditempatkan untuk memaksimalkan dampak
positif yang ditimbulkan. Tafsiran yang berbeda ini menyebabkan pusat
pertumbuhan dihadirkan dalam berbagai bentuk atau dapat berbeda antarwilayah.
Hal ini menimbulkan kebingungan dan berkontribusi terhadap kesulitan dalam
membangun hipotesis untuk diuji secara empiris. (Moseley, 1973). Teori Kutub
Pertumbuhan yang dikembangkan oleh Perroux masih dianggap kurang ampuh
bila diterapkan untuk pembahasan pengelompokan tata ruang geografis.
Sebaliknya, teori Tempat Sentral (Central Place) oleh Walter Christaler (1966),
dikategorikan sebagai teori statis karena hanya menjelaskan pengelompokan tata
ruang secara geografis dan tidak membahas adanya perubahan pola-pola tertentu.
Menjembatani kedua teori tersebut, Boudeville (1966) sebagai penganjur
teori kutub pembangunan yang terlokalisasikan menekankan pada tata ruang

2

terpolarisasi. Tata ruang polarisasi dikaji dalam pengertian ketergantungan antara
berbagai elemen yang terdapat di dalamnya. Konsep ini berkaitan dengan
pengertian hirarki, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan untuk studi
pusat-pusat kota dan saling ketergantungannya, salah satunya dalam mengarahkan
proses urbanisasi sehingga tercipta distribusi geografis yang mampu mendorong
pembangunan selanjutnya.
Bagaimanapun, proses pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat erat
kaitannya dengan posisi geografis antardaerah satu dengan daerah yang lain.
Hipotesis dampak tetesan ke bawah (trickle down effect) dan dampak polarisasi
(polarization effect) oleh Hirschman (1958), serta dampak penyebaran-pengurasan
sumber daya (spread-backwash effect) oleh Myrdal (1957) terhadap peristiwaperistiwa geografis dan penyebaran pertumbuhan ekonomi memberikan
sumbangan yang bermanfaat bagi pengembangan studi ekonomi regional, karena
keduanya berusaha menjelaskan pengaruh penyebaran pertumbuhan dilihat dari
aspek ekonomi. Beberapa tahun belakangan ini, telah banyak pustaka yang
mengembangkan teori ekonomi geografis dan pertumbuhan endogen (Romer,
1989) yang berfokus pada model yang dikembangkan oleh Solow (1956, 1957).
Solow memasukkan unsur kapital dan tenaga kerja sebagai faktor eksogen dan
mengasumsikan unsur kemajuan teknologi sebagai faktor eksogen yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan. Analisis spasial makin diperlukan terutama
untuk menjelaskan dampak spillover suatu pusat pertumbuhan agar tidak terjadi
model yang salah spesifikasi. Di sisi lain, dengan memasukkan peubah-peubah
spasial bukan saja konsep-konsep dalam ilmu ekonomi menjadi berkembang
tetapi juga memberikan alternatif sudut pandang dalam identifikasi permasalahan
maupun pemecahannya (Anselin & Getis, 2010).
Beberapa peneliti telah melakukan pengujian terhadap dampak yang
ditimbulkan oleh keberadaan pusat pertumbuhan dan menghasilkan temuan yang
menimbulkan pro dan kontra akan keberhasilan strategi ini. Dampak polarisasi
pusat pertumbuhan pada kota-kota di Mid Western misalnya membuktikan adanya
pengaruh jarak kedekatan dengan pusat pertumbuhan. Kota-kota besar yang
bertindak sebagai pusat pertumbuhan mengerahkan efek positif pada pertumbuhan
penjualan retail kota-kota kecil selama periode 1945-1967. Proses perkembangan
ekonomi kota-kota kecil memunculkan ketergantungan dan menjadikan kota-kota
besar sebagai konsentrasi aktivitas ekonomi (Casetti, 1973). Polaritas
pertumbuhan lintas negara yang diamati oleh World Bank (Adams-Kane, 2011)
menyimpulkan bahwa pusat pertumbuhan mendorong pertumbuhan global baik
melalui polaritas ekonomi, perdagangan, finansial, migrasi serta spillover
teknologi.
Pusat Pertumbuhan secara resmi ditolak sebagai basis regional planning di
beberapa negara antara lain di Amerika Latin dengan beberapa pertimbangan
antara lain karena efek polarisasi justru mengarah pada “bencana migrasi” karena
daya tarik tenaga kerja yang kuat ke arah wilayah pusat pertumbuhan dan
dorongan investasi asing sebagai satu-satunya cara dalam memperoleh skala
industri besar yang diperlukan (Conroy, 1973). Pusat pertumbuhan dirasakan
gagal dalam merangsang pembangunan daerah secara luas dikarenakan spread
effect yang tidak menyebar secara merata, dengan kata lain kedekatan dengan
pusat pertumbuhan tidak selalu menghasilkan keuntungan bagi wilayah
sekitarnya. Penelitian terhadap dampak penyebaran pusat pertumbuhan di sekitar

3

wilayah Appalachia pada periode 1960-1990 menghasilkan temuan bahwa kondisi
ekonomi sebagian besar wilayahnya ditentukan di luar pengaruh pusat
pertumbuhan (Wood, 1999).
Berbagai kritik serta kecaman juga muncul berkenaan dengan hadirnya
pusat-pusat pertumbuhan khususnya di negara-negara berkembang. Beberapa
diantaranya menyebutkan bahwa kutub pertumbuhan adalah konsep barat yang
menekankan pembangunan industri padat modal dan berskala besar yang justru
menjadi kendala utama bagi negara-negara berkembang, serta kebijakan yang
memprioritaskan pada strategi industri perkotaan, yang menunjukkan adanya
gejala bias perkotaan dalam perencanaan pembangunan (Richardson, 1978). Agar
proses pemerataan pertumbuhan ekonomi antarwilayah semakin cepat
berlangsung, Rustiadi, et al (2010) melakukan penelitian untuk menentukan calon
lokasi pusat-pusat pertumbuhan baru dan kawasan hinterland-nya di luar Jawa
yang memiliki kelimpahan sumber daya tetapi perkembangan wilayahnya belum
optimal.
Beragam cara telah dilakukan untuk mengukur kinerja pusat-pusat
pertumbuhan di suatu wilayah, antara lain oleh Conroy (1973) yang secara teoritis
mengamati penyebab penolakan strategi pusat pertumbuhan sebagai perencanaan
pembangunan di Amerika Latin selama pertengahan sampai akhir tahun 1960-an.
Penolakan ini didasarkan pada pertimbangan ideologis, teoritis, politis, dan praktis
yang memunculkan pendekatan alternatif menggunakan strategi gabungan antara
industrialiasi, urbanisasi, dan polarisasi untuk menggantikan strategi pusat
pertumbuhan sebagai basis perencanaan pembangunan.
Analisis yang dilakukan oleh Wood (1999) terhadap keefektifan spasial dari
pemanfaatan pusat pertumbuhan dengan menggunakan pendekatan ArcView GIS
menghasilkan kesimpulan bahwa spread effect tidak menyebar secara merata, dan
daerah yang dekat dengan pusat perkotaan tidak selalu memperoleh keuntungan.
Penyebab tidak meratanya keuntungan dari keberadaan pusat pertumbuhan
dianggap karena adanya pengaruh globalisasi ekonomi dimana daerah perkotaan
sering berbagi konektivitas dengan daerah-daerah diluar batas wilayah bahkan
batas negara.
Shanzi dan Feser (2010) melakukan eksplorasi terhadap dampak penyebaran
dan pengurasan (spread-backwash effect) yang ditimbulkan oleh keberadaan
pusat-pusat pertumbuhan di wilayah Greater Central China. Berbeda dengan
penelitian-penelitian terkait sebelumnya, ukuran yang dipakai untuk menghitung
spread-backwash effect adalah dengan memasukkan peran wilayah di sekitar
pusat pertumbuhan menurut jarak rentang tertentu. Memanfaatkan model
pertumbuhan Solow (1956, 1957) dan menggabungkan dengan model spatial lag,
menghasilkan temuan bahwa spread effect terjadi hanya pada level daerah yang
lebih tinggi seperti provinsi sedangkan backwash effect terjadi pada level daerah
yang lebih rendah.
Model Shanzi-Feser mengasumsikan output dan tenaga kerja sebagai faktor
endogen, sedangkan investasi diasumsikan sebagai faktor eksogen. Pada beberapa
penelitian, investasi tidak hanya menjadi faktor penentu pertumbuhan output
tetapi terjadi efek umpan balik dimana pertumbuhan investasi juga dipengaruhi
oleh pertumbuhan output (Gebremariam, 2008). Peranan investasi justru
merupakan injeksi bagi perluasan penyebaran pertumbuhan di suatu wilayah
melalui pembangunan infrastruktur dan belanja modal lainnya.

4

Hingga saat ini, investasi di Indonesia masih bertumpu di Pulau Jawa dan
Sumatera. Dalam rangka mengatasi ketertinggalan pembangunan utamanya antara
Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), pemerintah
membentuk kawasan-kawasan yang memiliki wilayah yang ditetapkan sebagai
pusat pertumbuhan antara lain Kawasan Andalan, Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan Koridor
Ekonomi (MP3EI). RPJMN 2010-2014 dalam Bappenas (2010) menempatkan
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan potensial di luar Jawa sebagai salah satu
skala prioritas untuk menurunkan kesenjangan kesejahteraan antarindividu,
masyarakat dan antarwilayah.
Beberapa isu strategis berkaitan dengan permasalahan ketimpangan
antarpulau di Indonesia terlihat dari perkembangan kondisi sosial ekonomi
antarpulau di Indonesia menurut Penduduk, Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB), dan Tenaga
Kerja (Tenaker) yang sampai tahun 2011 belum menunjukkan adanya perubahan
dominasi Kawasan Barat Indonesia utamanya Pulau Jawa terhadap Kawasan
Timur Indonesia (Gambar 1). Penyebab masih besarnya ketimpangan antarpulau
di Indonesia antara lain dikarenakan masih rendahnya kualitas dan ketersediaan
dukungan sistem transportasi baik darat, udara, laut dan sungai serta tingginya
persentase kondisi jalan yang rusak berat di Kawasan Timur Indonesia sehingga
konektivitas antarpusat pertumbuhan belum berjalan dengan baik (Bahan
Rakernas KAPET 2011).

Sumber : Statistik Indonesia-BPS, 1991, 2001, 2012 (Diolah)

Gambar 1. Proporsi jumlah penduduk, PDRB, PMTDB dan Tenaga Kerja
Pulau-pulau di Indonesia, 1990, 2000 & 2011
Ketimpangan baik antar pulau dan di dalam pulau di Indonesia yang diukur
melalui Indeks Entropy Theil menunjukkan bahwa ketimpangan di dalam pulau di
Indonesia cenderung menurun, namun pada saat yang sama, ketimpangan

5

antarpulau justru semakin lama semakin membesar (Gambar 2). Konsentrasi
spasial antarpulau yang terus meningkat ini menandai belum meratanya
pembangunan antarpulau khususnya antara Kawasan Barat dan Kawasan Timur
Indonesia, yang menunjukkan bahwa konektivitas serta interaksi antarpulau belum
berjalan dengan baik.

Sumber : Statistik Indonesia-BPS, 2002-2011 (Diolah)

Gambar 2. Indeks Entropy Indonesia, 2001-2010
Berbeda dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia, kondisi ketimpangan
pendapatan yang diukur dengan koefisien Gini pada keempat propinsi di
Kalimantan nyatanya lebih rendah dibandingkan Koefisien Gini Indonesia
(nasional) yang sudah melampaui level 0,4. Kondisi kesenjangan yang lebih
rendah di Kalimantan mungkin saja dihasilkan melalui kinerja pusat-pusat
pertumbuhan yang ada. Di saat yang sama, persentase pencemaran lingkungan
desa dan indeks eksploitasi ekonomi di Kalimantan berada pada posisi diatas
nasional (Gambar 3). Hal ini yang kemudian menimbulkan keraguan atas
keberhasilan pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan
terhadap wilayah sekitarnya dalam jangka panjang. Oleh karenanya, kajian yang
lebih mendalam untuk mengukur dampak spillover pusat-pusat pertumbuhan di
Kalimantan merupakan hal penting dan mendesak untuk dilakukan.

6

Sumber : Statistik Indonesia-BPS dan Podes-BPS, 2011 (Diolah)

Gambar 3. Koefisien Gini, Persentase pencemaran lingkungan desa, dan
Indeks Eksploitasi Ekonomi : Kalimantan dan Indonesia, Tahun 2011
Perumusan Masalah
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dipertahankan dengan laju yang
relatif tinggi apabila pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang baru dikembangkan
secara terus menerus. Hal ini sekaligus untuk menghindari masuknya Indonesia ke
dalam ”middle income trap” (Aviliani, et al., 2014). Kebijakan pembangunan
pusat-pusat pertumbuhaan yang baru tidak hanya dipercayai sebagai strategi
dalam mempercepat pembangunan daerah akan tetapi cukup dominan dipakai
dalam perencanaan regional baik di negara maju maupun di negara berkembang
termasuk Indonesia. Pada kenyataannya, ketimpangan antarwilayah masih
membesar terutama antarpulau di Indonesia.
Kalimantan yang ditetapkan sebagai lumbung energi nasional memiliki
indeks ketimpangan pendapatan (Gini Index) yang lebih rendah dari rata-rata
nasional, namun sejalan dengan kondisi nasional, ketimpangan pendapatan di
Kalimantan cenderung terus meningkat. Meskipun memiliki kekayaan
sumberdaya alam, Kalimantan mengalami ketertinggalan utamanya dari sisi
output, tenaga kerja, dan investasi. Hasil perkebunan, hutan dan tambang di
ekspor berupa bahan mentah, tanpa melalui proses produksi, sehingga tidak dapat
memberikan nilai tambah terhadap output.
Indeks eksploitasi ekonomi ke-empat propinsi di Kalimantan pada
gilirannya menjadi lebih tinggi dibanding nasional. Kondisi ini menunjukkan
besarnya sumberdaya yang harus disediakan, yang nyatanya lebih banyak
dikonsumsi oleh penduduk yang tinggal diluar wilayahnya. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran akan terjadinya dampak spillover negatif (backwash effect) pusat-

7

pusat pertumbuhan di Kalimantan terhadap wilayah sekitar dalam jangka panjang.
Demikian juga halnya dengan dampak multipolarisasi antara pusat-pusat
pertumbuhan di Kalimantan dan luar Kalimantan yang dikhawatirkan justru akan
mengarah pada bencana migrasi.
Sampai saat ini, evaluasi terhadap kinerja pusat-pusat pertumbuhan di
Kalimantan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah dan berlokasi pada 17
Kabupaten/Kota dari 52 Kabupaten/Kota yang ada di Kalimantan belum cukup
mendalam dilakukan dan masih bersifat parsial. Interaksi antara pusat
pertumbuhan dan hinterland di Kalimantan seharusnya menjadi hal penting untuk
diteliti khususnya terhadap dampak spillover dan multipolarisasi yang diberikan
mengingat tiap-tiap wilayah sudah menjadi bagian dari Koridor Ekonomi
Kalimantan.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi permasalahan yang dihadapi
oleh pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah dampak penyebaran (spread effect) dan penyerapan
(backwash effect) pusat pertumbuhan terhadap hinterland terkait
pertumbuhan output, tenaga kerja dan investasi di Kalimantan?;
2.
Apakah terjadi efek umpan balik antara pertumbuhan output, tenaga kerja
dan investasi secara simultan di Kalimantan?;
3.
Apakah multipolarisasi akan memberikan dampak positif bagi aliran barang
dan aliran penumpang antar pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan di
luar Kalimantan?.
Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi efek spillover
dan polarisasi pusat pertumbuhan (growth centre) di Kalimantan dengan
menggunakan perspektif spasial. Alasan di balik studi ini adalah menguji
pendapat para ahli ekonomi regional yang meragukan keberhasilan pusat-pusat
pertumbuhan khususnya yang ada di negara-negara berkembang yang bahkan
mulai meninggalkan konsep ini karena spread effect yang dihasilkan dan yang
diharapkan mampu untuk mengembangkan daerah sekitarnya ternyata tidak
pernah terwujud bahkan menimbulkan backwash effect terhadap daerah sekitar
(Richardson, 1968).
1.

2.

3.

Penelitian ini disusun dalam tiga tujuan penelitian khusus yaitu :
Mendeteksi pengaruh spasial lag dependent untuk mengetahui apakah
kedekatan pusat pertumbuhan di Kalimantan dengan hinterland dapat
memberikan pengaruh spillover yang positif (spread effect) baik terhadap
pertumbuhan output, tenaga kerja dan investasi;
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan output,
tenaga kerja, dan investasi di Kalimantan secara simultan untuk menangkap
efek umpan balik yang ditimbulkan oleh ketiganya;
Menguji multipolarisasi antar pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan
di luar Kalimantan sehingga dapat diketahui apakah dampak polarisasi
positif memang terjadi seperti yang diharapkan.

8

Kebaruan Penelitian
Kebaruan atau keunggulan penelitian ini secara eksplisit adalah sebagai
berikut :
1.
Penelitian ini menggunakan pendekatan spasial yang bertolak dari
ketergantungan spasial. Suatu pendekatan kuantitatif yang tergolong
langka dan relatif baru minimal untuk level di Indonesia.
2.
Penelitian ini mampu memaparkan interaksi atau interplay antara spatio
(tata ruang) dan temporal (waktu) untuk analisis regional growth
(pertumbuhan ekonomi wilayah) yang didekati melalui pertumbuhan
output (tingkat kegiatan ekonomi wilayah), ketenagakerjaan dan investasi.
Hal ini juga merupakan penelitian yang relatif baru minimal untuk level
nasional.
3.
Penelitian ini secara spesifik mengkaji permasalahan yang disebut spatial
inequality (ketimpangan spasial). Hal yang sangat penting sekali untuk
konteks perekonomian Indonesia dan secara eksplisit dikaji dengan
mendalam dan hasilnya diuraikan pada disertasi ini.
4.
Penelitian ini memiliki keunggulan dalam metodologi yaitu pemodelan
dengan menggunakan ekonometrika tata ruang (spatial econometrics
modelling). Hal yang sangat langka di Indonesia, mengingat tingkat
kesulitannya yang tinggi. Penelitian ini mampu menunjukkan hal-hal yang
tidak akan terungkap apabila menggunakan metodologi yang berbeda.
5.
Dengan alat analisis yang digunakan, penelitian ini berhasil menunjukkan
cara pendekatan/metodologi untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi
pusat-pusat pertumbuhan, suatu strategi pembangunan yang sangat penting
untuk konteks Indonesia. Selama ini belum ada metodologi yang formal
yang diterapkan untuk mengidentifikasi maupun mengevaluasi peranan
pusat-pusat pertumbuhan bagi perekonomian regional.
Manfaat Penelitian
1

2

Bahan masukan bagi pemerintah dalam hal mengukur efek spillover dan
multipolaritas yang ditimbulkan dengan adanya pusat-pusat pertumbuhan
khususnya terhadap Kawasan Ekonomi Kalimantan.
Sumbangan pemikiran bagi seluruh pihak terutama berkaitan dengan
perencanaan wilayah yang mengedepankan konsep spasial dalam rangka
pengembangan kawasan secara holistis.
Ruang Lingkup Penelitian

Pusat-pusat pertumbuhan yang diteliti adalah berdasarkan wilayah-wilayah
yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai pusat kegiatan ekonomi (Keppres
RI No. 150 Tahun 2000 dan Perpres RI No. 32 Tahun 2011). Untuk Kalimantan,
dari 52 Kabupaten/Kota, terdapat 17 Kabupaten/Kota yang ditetapkan sebagai
pusat pertumbuhan, yang terdiri dari 8 Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat, 4
Kabupaten/Kota di Kalimantan Tengah, 2 Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan,
dan 3 Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur.

2. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Kajian Pustaka
Teori Kutub/Pusat Pertumbuhan
Perkembangan modern dari konsep-konsep kutub pertumbuhan terutama
berasal dari karya ahli-ahli teori ekonomi regional Perancis, diantaranya Francois
Perroux (1950) yang berpendapat bahwa “Growth does not appear everywhere
and all at once, it appears in points or development poles, with variable
intensities, it spreads along diverse channels and with varying terminal effects to
the whole of the economy”, yang artinya: ”pertumbuhan tidak terjadi di sembarang
tempat dan juga tidak terjadi secara serentak; pertumbuhan terjadi pada titik-titik
atau kutub-kutub perkembangan dengan intensitas yang berubah-ubah;
perkembangan itu menyebar sepanjang saluran-saluran dan dengan efek yang
beraneka ragam terhadap keseluruhan perekonomian”.
Beberapa penulis melihat perbedaan skala antara kutub pertumbuhan dan
pusat pertumbuhan (Perroux, 1969; Kuklinski, 1972; Parr, 1973), di mana kutub
pertumbuhan adalah berkenaan dengan skala nasional dan pusat pertumbuhan
adalah berkenaan dengan skala regional. Perbedaan penting antara kebijakan
kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan, adalah bahwa kebijakan kutub
pertumbuhan menuntut pengembangan suatu fokus industri pilihan yang terdiri
dari perusahaan-perusahaan besar (propulsive) sebagai ”leading effects”, dan
berupaya mengembangkan keuntungan-keuntungan lokalisasi. Kebijakan pusat
pertumbuhan tidak berkenaan dengan pemilihan industri-industri yang saling
berhubungan, tetapi bermaksud untuk menimbulkan pemusatan investasi melalui
penyediaan berbagai keuntungan-keuntungan (Adisasmita, 2008).
Mengikuti pendapat Perroux, Hirschman (1958) mengatakan bahwa untuk
mencapai tingkat pendapatan yang lebih tinggi harus dibangun sebuah atau
beberapa buah pusat kekuatan ekonomi dalam wilayah suatu negara atau yang
disebut sebagai pusat-pusat pertumbuhan (growth point atau growth pole).
Menurut Perroux terdapat elemen yang sangat menentukan dalam konsep kutub
pertumbuhan yaitu pengaruh yang tidak dapat dielakkan dari suatu unit ekonomi
terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Pengaruh tersebut semata-mata adalah
dominasi ekonomi yang terlepas dari pengaruh tata ruang geografis dan dimensi
tata ruang. Perusahaan-perusahaan yang menguasai dominasi ekonomi tersebut
pada umumnya adalah industri besar yang mempunyai kedudukan oligopolistis
dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kegiatan para langganannya.
Pandangan Perroux (1950) mengenai proses pertumbuhan adalah konsisten
dengan teori tata ruang ekonomi (economic space theory), dimana industri
pendorong dianggap sebagai titik awal dan merupakan elemen esensial untuk
pembangunan selanjutnya. Perroux lebih menekankan pada aspek pemusatan
pertumbuhan. Meskipun ada beberapa perbedaan penekanan arti industri
pendorong akan tetapi ada tiga ciri dasar yang dapat disebutkan yaitu :
1.
Industri pendorong harus relatif besar kapasitasnya agar mempunyai
pengaruh kuat baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan
ekonomi.
2.
Industri pendorong harus merupakan sektor yang berkembang dengan cepat.

10

3.

Jumlah dan intensitas hubungannya dengan sektor-sektor lainnya harus
penting sehingga besarnya pengaruh yang ditimbulkan dapat diterapkan
kepada unit-unit ekonomi lainnya.
Dari sisi tata ruang geografis, industri-industri pendorong dan industriindustri yang dominan akan mendorong terjadinya aglomerasi-aglormerasi pada
kutub-kutub pertumbuhan di mana pun mereka berada. Jelaslah bahwa industri
pendorong mempunyai peranan penting dalam proses pertumbuhan ekonomi.
Daerah-daerah yang menjadi kutub/pusat pertumbuhan tidak hanya terkait dengan
keberadaan dan interaksi antara industri-industri inti, tetapi juga memperhatikan
faktor-faktor lain. Pada daerah-daerah tersebut terdapat beberapa keuntungan yang
menjadikannya lebih cepat berkembang dan diminati daripada daerah-daerah lain.
Keuntungan-keuntungan tersebut antara lain, kemudahan memperoleh sumber
daya alam, keuntungan-keuntungan yang berkenaan dengan pusat transportasi,
prasarana yang sudah berkembang serta daerah-daerah yang memiliki potensi
untuk mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat, karena pusat-pusat
penduduk yang besar memiliki potensi pasar yang tinggi. Dengan kata lain, kutub
pertumbuhan merupakan suatu konsentrasi industri atau kegiatan ekonomi tertentu
yang kesemuanya saling berkaitan melalui hubungan input-output dengan industri
utama.
Dari berbagai tulisan mengenai kutub pertumbuhan (pole de croissance) dan
pusat pertumbuhan diantaranya dalam Cappelo (2007, 2009), konsep-konsep
ekonomi dasar dan perkembangan geografiknya dapat didefinisikan sebagai
berikut:
a.
Kutub Pertumbuhan (Growth Poles) adalah pusat-pusat dalam arti
keruangan yang abstrak, sebagai tempat kekuatan-kekuatan sentrifugal
(memencar) dan kekuatan sentripetal (menarik). Growth Poles bukan kota
atau wilayah, melainkan suatu kegiatan ekonomi yang dinamis (industri)
dan hubungan kegiatan ekonomi yang dinamis tersebut tercipta di dalam
dan di antara sektor-sektor ekonomi.
b.
Pusat Pertumbuhan (Growth Centers) merupakan konsep kutub
pertumbuhan yang dijadikan konsep keruangan yang konkrit. Pusat
Pertumbuhan adalah sekumpulan (geografis) semua kegiatan. Pusat
pertumbuhan adalah kota-kota atau wilayah perkotaan yang memiliki suatu
industri propulsive yang komplek. Pertumbuhan pembangunannya sangat
pesat jika dibandingkan dengan wilayah lainnya sehingga dapat dijadikan
sebagai pusat pembangunan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
perkembangan wilayah lain di sekitarnya.
c.
Konsep ”leading industries” (industrie motrice) dan perusahaan-perusahaan
propulsive, menyatakan pada pusat pertumbuhan terdapat perusahaanperusahaan propulsive yang besar, yang termasuk dalam ”leading
industries” yang mendominasi unit-unit ekonomi lainnya. Ada
kemungkinan bahwa suatu kompleks industri hanya terdiri dari satu atau
segelintir perusahaan propulsip yang dominan. Lokasi geografik dari
industri-industri seperti itu pada titik-titik tertentu dalam suatu daerah
mungkin disebabkan oleh beberapa faktor: lokalisasi sumberdaya alam
(air/perlindungan/bahan bakar), lokalisasi manfaat-manfaat buatan manusia
(komunikasi atau tempat-tempat sentral yang berlandaskan kegiatan jasa

11

d.

e.

yang sudah ada, dimana terdapat keuntungan-keuntungan karena prasarana
dan penawaran tenaga kerja) dan hal lainnya.
Pada tahun 1950 Myrdal (1957) dan Hirshman (1958) menciptakan istilah
polarisasi sebagai sinonim untuk backwash effect, yaitu konsentrasi spasial
sumber daya dan kekayaan kedalam inti, dengan mengorbankan pinggiran.
Deskripsi Hirschman dari proses p