Kerangka Konsepsi Kekuatan Mengikat Klasula Syarat Batal Dalam Kontrak Bisnis Yang Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata

klausula syarat batal yang mengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata pada kontrak bisnis perlu disepakati secara itikad baik dan fair sehingga dalam penentuan dan pelaksanaan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata pada kontrak bisnis ini para pihak terlindungi.

2. Kerangka Konsepsi

Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman dalam penelitian ini, konsepsi diperlukan sehingga secara operasional diperoleh hasil penulisan yang sesuai dengan tujuan yang dicapai dalam penulisan ini : a. Kekuatan mengikat adalah kekuatan mengikat dari kontrak yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. b. Klausula syarat batal adalah klausula yang mencantumkan hal-hal yang menyebabkan batalnya sebuah perjanjian dalam kontrak bisnis. c. Kontrak Bisnis adalah suatu perjanjian dalam bentuk tertulis dimana substansi yang disetujui oleh para pihak yang terkait didalamnya bermuatan bisnis. Adapun bisnis adalah tindakan-tindakan yang mempunyai nilai komersial. 79 d. Pengesampingan atau waiver adalah: “The voluntary relinquishment or abandonment, express or implied of a legal right or advantage. The instrument by which a person relinquishes or abandons a legal right or advantages”. 80 79 Hikmahanto Juwana, “Modul Kontrak Bisnis: Modul I”, http:www.sasmitaconsulting.comArtikel20Bisnis20Kontrak2001.htm, diakses tanggal 5 Februari 2013. 80 Bryan A. Garner ed, Black’s Law Dictionary, 8th Edition, St Paul. Minn.: West Publishing Co, 2004, hal 1611-1622. Universitas Sumatera Utara Jika diterjemahkan secara bebas, pengesampingan adalah pelepasan atau penanggalan hak atau keuntungan secara langsung atau tidak langsung. Atau suatu instrumen yang mana oleh pribadi melepaskan hak atau keuntungannya. Maka pengesampingan pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berarti para pihak telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan kontrak bisnis ke pengadilan dengan menyepakati pembatalan kontrak bisnis dapat dilakukan para pihak bila salah satu pihak melakukan wanprestasi berdasarkan kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. e. Kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian tanpa campur tangan pihak lain ataupun negara. Batas kebebasan berkontrak adalah tidak melanggar hukum dan itikad baik. 81 f. Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. 82 g. Kreditur adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang. 83 h. Debitur adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang. 84 81 Sri Gambir Melati Hatta, Op.cit, hal 25. 82 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung : PT Alumni, 2006, hal 31. 83 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Universitas Sumatera Utara i. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur. 85 j. Kontrak baku adalah syarat-syarat konsep tertulis yang telah disusun terlebih dahulu tanpa perundingan mengenai isi untuk dituangkan ke dalam kontrak yang biasanya jumlahnya tidak tertentu mengenai suatu hal tertentu. 86 k. Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank secara sepihak dalam bentuk bauk mengenai kredit yang memuat hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitur. 87 l. Perikatan bersyarat ialah perikatan yang pemenuhan prestasinya digantungkan pada syarat tertentu yaitu pada peristiwa yang akan datang dan belum pasti terjadi baik syarat yang menangguhkan bermaksud bila syarat itu dipenuhi 84 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 85 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 86 H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Op.cit, hal 51. 87 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Op.cit, hal 33. Universitas Sumatera Utara maka perikatan menjadi berlaku maupun syarat yang memutus membatalkan apabila syarat itu dipenuhi perikatan menjadi putus batal. 88 m. Syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan, hanyalah ia mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi. 89 n. Parate executie adalah menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa perantaraan hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri barang tersebut. 90 o. Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitur tidak telah memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur salah atasnya. 91 88 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1994, hal 26. 89 Pasal 1265 KUH Perdata, Subekti R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004, hal 328. 90 R. Subekti, Pelaksanaan Perikatan, Eksekusi Riil dan Uang Paksa Dalam Penemuan Hukum dan pemecahan Masalah Hukum, Proyek Pengembangan Teknis Yustisial, Jakarta: MARI, 1990, hal 69. 91 J. Satrio, Wanprestasi menurut KUH Perdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012, hal 3. Universitas Sumatera Utara

G. Metode Penelitian

Untuk mendalami suatu pengetahuan, maka diperlukan suatu metode termasuk pendalaman terhadap suatu isu hukum maka diperlukan pemakaian metode penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu proses ilmiah untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang muncul dengan tujuan untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya atas isu hukum yang muncul tersebut. 92 Penelitian hukum merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip- prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 93

1. Tipe dan Sifat Penelitian