Pengaruh Waktu, Suhu Permukaan Laut dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan Pole and line di Perairan Laut Sawu - Nusa Tenggara Timur

PENGARUH WAKTU, SUHU PERMUKAAN LAUT
DAN KECERAHAN PERAIRAN
TERHADAP HASIL TANGKAPAN POLE AND LINE
DI PERAIRAN LAUT SAWU 7 NUSA TENGGARA TIMUR

OLEH :

SRIAWAN

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK
SRIAWAN. Pengaruh Waktu, Suhu Permukaan Laut dan Kecerahan Perairan
Terhadap Hasil Tangkapan Pole and line di Perairan Laut Sawu - Nusa Tenggara
Timilr. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan ANWAR BEY PANE.
Perikanan pole and line adalah penangkapan ikan dengan menggunakan
umpan hidup. Tujuan penangkapan dengan menggunakan alat ini adalah ikan
Cakidang ( K a t m o m s pelamis) yang termasuk ikan pelagis dan aktif mencari
makanan pada siang hari.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu, suhu
perrnukaan laut dan kecerahan perairan terhadap has3 tangkapan yang diarnati
pada. tiga lokasi yang ditentukan secara acak. Dari ketiga perlakuan tersebut dilihat
pengaruhnya masing-masing perlakuan terhadap hasil tangkapan. Untuk suhu
pemlukaan laut (SPL), selain dilakukan pengukuran di lapangan juga dilakukan
pendleteksian citra satelit NOAAIAVHRR.
Penelitian dilakukan selama 6 bulan, yakni pada bulan Juli - Desember 2000.
Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan yakni pada 15 Juli hingga
15 September 2000 di Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Data citra SPL diperoleh
dari LAPAN pada pendeteksian bulan Oktober - Desember 2000.
Pengamatan di lapangan dilakukan dengan mengikuti operasi penangkapan
selarna 30 trip. Setiap trip penangkapan selama satu hari (one +fishing) mulai dari
pagi sampai siang hari dan pengamatan dilakukan setiap dua hari sekali. Untuk
mengetahui pengaruh waktu, dalam satu hari operasi penangkapan dikelompokkan
menjadi 3 periode yakni waktu 1 (06.00-08.00), waktu 2 (08.00-10.00) dan waktu 3
(10.00-12.00). Untuk mengetahui suhu permukaan laut dan kecerahan perairan
dilakukan pengukuran pada saat kapal melakukan operasi pemancingan.
Berdasarkan perhitungan Anava pada General Linear Model dari Program
Minitab versi 13.20 menunjukkan bahwa waktu penangkapan mempunyai pengaruh
yang nyata (signzficant) terhadap hasil tangkapan, sedangkan kecerahan dan suhu

pem~ukaanlaut tidak mempunyai pengaruh yang nyata (non signz~cant)terhadap
hasil tangkapan. Selanjutnya untuk mengetahui waktu penangkapan yang paling baik
dilakukan uji Tuky Test. Dari hasil uji menunjukkan bahwa waktu 2 memberikan
hasil tangkapan yang lebih baik dibanding waktu 1 dan waktu 3, sedangkan hasil
tanglcapan pada waktu 1 dan waktu 3 tidak berbeda nyata.
Dari hasil pendeteksian suhu perrnukaan laut dari satelit NOAAIAVHRR di
perairan Laut Sawu selama bulan Juli - September 2000 diperoleh sebanyak 12 citra,
masing-masing 4 citra pada bulan Juli dan 4 citra pada bulan Agustus yang mewakili
Musjm Timur dan 4 citra pada bulan September yang mewakili Musim Peralihan 11.
Pendeteksian menunjukkan bahwa citra SPL sebagian besar (kecuali citra tanggal 22
Agu!;tus 2000) lebih rendah dari SPL hasil pengukuran di lapangan. Dernikian pula
citra SPL tersebut lebih rendah dari hasil pemantauan satelit GMS pada periode yang
sama tahun-tahun sebelumnya.

SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul : "Pengaruh Waktu, Suhu
Perniukaan Laut dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan Pole and line di
Perairan Laut Sawu

-


Nusa Tengggara Timur7' adalah benar merupakan hasil karya

saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor,

Mei 2002

Sriawan

PENGARUH WAKTU, SUHU PERMUKAAN LAUT
DAN KECERAHAN PERAIRAN
TERHADAP HASIL TANGKAPAN POLE AND LINE
DI PERAIRAN LAUT SAWU - NUSA TENGGARA TIMUR

SRIAWAN


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Kelautan

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Judul Tesis

:Pengaruh Waktu, Suhu Pennukaan Laut dan Kecerahan
Perairan Terhadap Hasil Tangkapan Pole and line di Perairan
Laut Sawu - Nusa Tenggara Timur

Nam~a

:Sriawan

NRP'


: 98391

Progmrn Studi

: Teknologi Kelautan

Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing

M r . Vincentius P. Sirecar. DEA
Ketua

~ r . kAnwar
.
Bey Pane. DEA
Anggota

Mengetahui,


r Program Pascasarjana

. Svafrida Manuwoto. MSc.
---.

-vr

Tanggal Lulus : 27 Mei 2002

." - - 2 9

0 7 JUN 2002

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 18 Januari 1954
sebagai anak bungsu dari pasangan Bapak Karep dan Ibu Pademi. Pendidikan sarjana
diternpuh di Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan UNDIP, lulus pada tahun 1986.
Pada tahun 1998, penulis diterima di Program Studi Teknologi Kelautan pada
Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2002. Beasiswa
pendidikan Pascasarjana diperoleh dari ADB-LOAN.

Penulis bekerja sebagai Dosen tetap di Universitas Muhamrnadiyah Kupang

(UMK) sejak tahun 1993, dan sebelumnya bekerja di beberapa perusahaan perikanan
di Anbon dan Papua.

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehitigga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dipilih ialah
"Pengaruh Waktu, Suhu Permukaan Laut dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil
Tangkapan Pole and line di Perairan Laut Sawu - Nusa Tenggara Timur"
Dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilrniah ini penulis
mentlapat bantuan dari berbagai pihak, maka dengan perasaan tulus ikhlas penulis
sampaikan ucapan terima kasih kepada :

- Bapak Dr. Ir. Vincentius P. Siregar DEA dan Bapak Dr. Ir. Anwar Bey Pane
DEA selaku Dosen Pembimbing;

- Bapak Ketua Program Studi Teknologi Kelautan dan seluruh Staf pengajar
yang telah memberikan bekal ilmu;


- Bapak Rektor UMK dan Bapak Kepala ADB-LOAN yang telah memberikan
dana pendidikan;

- Bapak Kepala Pelabuhan Perikanan Kupang dan Bapak Direktur PT. Timor
Sarana yang telah menyediakan tempat penelitian;
-

Bapak Kepala Matra Laut Pusfatja Lapan Jakarta beserta staf yang telah
membantu pembuatan citra;

- Kakanda Capt. Sri Untung dan ananda Krisna Husada yang telah banyak
membantu penulisan.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari pada sempurna,
kareria itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2002
Sriawan

DAFTAR IS1
Halaman


...

PRPKATA............................................................................

111

DAITTAR TABEL ....................................................................

v

DAI7TAR GAMBAR ................................................................

vi

DAFTAR LAMPIRAN ........................................... ...................

vii

1 . 1 . Latar Belakang Penelitian .............................................

1.2. Perumusan Masalah ...................................................
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................
1.4.Manfaat Penelitian .....................................................
1.5. Hipotesis ................................................................

1
3
4
5
5

2 . TINJAUAN PUSTAKA .........................................................

6

2.1. Perikanan Pole and line ...............................................
2.1.1. Kapal Pole and line ..........................................
2.1.2.Alat Tangkap Pole and line ..............................
2.1.3.Tenaga Kerja .................................................
2.2. Ikan Tujuan Penangkapan Pole and line ............................

2.3. Daerah Penyebaran Ikan Cakalang ..................................
2.4. Pengaruh Beberapa Faktor Oseanografi ............................
2.5. Umpan Hidup ...........................................................
2.6. Teknologi Penginderaan Jauh ........................................
3 . METODOLOGI PENELITIAN .................................................
3.1. Waktu dan Tempat ......................................................
3.2. Unit Percobaan ...........................................................
3.2.1.Kapd Pole and line ...........................................
3.2.2. Alat Tangkap Pole and line .................................
3.2.3. Alat-alat Bantu dalam Pemancingan Pole and line ......
3.2.4.Tenaga Kerja ..................................................
3 2 . 5 . Alat-alat Pengukur dalam Penelitian........................
3.3. Metode Penelitian ........................................................
3.3.1.Pengumpulan Data ............................................
3.3.2. Analisis Data ...................................................

4 . HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................
4.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian ....................................
4.1.1.Letak Geografis................................................
4.1.2.Kondisi Laut ...................................................
4.1.3.Klimatologi.....................................................
4.1.4.Keadaan Perikanan ............................................
4.2. Operasi Penangkapan Pole and line ...................................
4.2.1.Persiapan Sebelum Kapal Berangkat ........................
4.2.2.Pencarian Umpan ..............................................
4.2.3.Cara Penangkapan .............................................
4.2.4.Penanganan Hasil Tangkapan................................
4.3. Pengaruh Waktu Penangkapan Terhadap Hasil Tangkapan.........
4.4. Pengaruh Suhu Perairan Terhadap Hasil Tangkapan ................
4.5. Pengaruh Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan ..........
4.6. Interpretasi Citra Suhu Permukaan Laut Satelit NOMAVHRR ...
4.7. Pembahasan Citra Suhu Permukaan Laut Satelit NOAA/AVHRR....

5. KESIMPULAN DAN SARAN......................................................
5.1. Kesirnpulan ..................................................................
5.2. Saran.........................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kisaran Suhu Optimum dan Lapisan Renang Beberapa Ikan
Pelagis...............................................................

19

2. Alat-alat Pengukur yang Digunakan untuk Mendapatkan
Data Utama .........................................................

39

3. Banyaknya Curah Hujan dan Hari Hujan di Teluk
Kupang Tahun 1999................................................

55

4. Rata-rata Suhu Udara, Kelembaban, Kecepatan Angin dan

Prosentase Penyinaran di Kota Kupang Tahun 1999.........

56

5. Perkembangan Keadaan Perikanan di Perairan Teluk
Kupang Tahun 1997 - 1999......................................

57

6. Perkembangan Produksi Perikanan di Perairan Teluk
Kupang Tahun 1997 -1999. ......................................

58

7. Perkembangan Jumlah Nelayan di Perairan Teluk
Kupang Tahun 1997 - 1999......................................

59

8. Produksi Ikan Tuna dan Cakalang di Pelabuhan Perikanan
Pantai Kupang Tahun 1997 - 1999.................................

60

9. Hubungan Waktu Penangkapan dan Hasil Tangkapan
Pole and line di Perairan Laut Sawu-Nusa Tenggara Timur.. .

75

10. Hubungan Suhu Perairan dan Hasil Tangkapan
Pok and line di Perairan Laut Sawu-Nusa Tenggara Timur.. ..

78

11. Hubungan Kecerahan Perairan dan Hasil Tangkapan
Pole and line di Perairan Laut Sam-Nusa Tenggara Timur.. ..

81

12. Citra Suhu Permukaan Laut di Perairan Laut Sawu Bulan
Juli - September 2000 ................................................

84

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Klasifikasi dari Family Scombridae..................................

2 . Ikan Cakalang (Katsuwormspelamis) ................................
3 . Peta Penyebaran Ikan Cakalang di Perairan Indonesia ............

4 . Konstruksi Kapal Pole and line ......................................
5. Sketsa Alat Tangkap Pole and line ..................................

6 . Alat-alat Bantu Pemancingan Pole and line ........................

.

7. Posisi Anak Buah Kapal (ABK) Saat Pemancingan Pole and line .
8. Peta Lokasi Penelitian - Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur ......

9. Jenis-jenis Ikan Umpan Pole and line ..............................
10. Posisi Kapal Pole and line Terhadap Ikan, Arus dan Angin ......
11. Kegiatan Operasi Penangkapan Pole and lzne .....................

12. Jenis-jenis Ikan Hasil Tangkapan Pole and line ....................
13. Gr&k Hubungan Waktu Penangkapan Dengan Hasil Tangkapan
Pole a d line di Perairan Laut Sawu-Nusa Tenggara Timur.......
14. Grafik Hubungan Suhu Perairan Dengan Hasil Tangkapan

Pole and line di Perairan Laut Saw-Nusa Tenggara Timur ........
15. Grafik Hubungan Kecerahan Perairan Dengan Hasil Tangkapan
Pole anul line di Perairan Laut Saw-Nusa Tmggara Timur.......

16. Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 16 Juli 2000 ...................
17. Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 17 Juli 2000 ..................
18. Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 18 Juli 2000 ............
19. Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 25 Juli 2000 ..................
20 . Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 4 Agustus 2000 ..............
21 . Citra Swhu Permukaan Laut Tanggal 22 Agustus 2000 ............
22. Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 27 Agustus 2000 ............

23 . Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 29 Agustus 2000............

100

24. Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 4 September 2000...........

102

25 . Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 5 September 2000 ..........

104

26. Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 9 September 2000 ...........

106

27. Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 24 September 2000.........

108

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Penelitian Lokasi. Waktu. Suhu. Kecerahan dan Hasil
Tangkapan..........................................................
2. Perhitungan Statistik I Pengaruh Waktu. Suhu dan Kecerahan
Terhadap Hasil Tangkapan .....................................

3 . Perhitungan Statistik I1 Pengaruh Waktu. Suhu d m Kecerahan
Terhadap Hasil Tangkapan .....................................

4. Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Juli 1997.............
5. Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Agustus 1996........

6. Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Agustus 1997.....

7. Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Agustus 1998...
8. Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Agustus 1999.......
9. Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan September 1996.....
10. Suhu Perrnukaan Laut dari GMS. Bulan September 1997.....
11. Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Septembe1998.........

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Parameter oseanografi yang digunakan untuk menggambarkan sifat dan
proses yang terjadi di laut dapat diukur dengan dua cara. Cara pertama adalah
mengukur langsung parameter oseanografi di laut, sedangkan cara kedua adalah
menpkur secara tidak langsung melalui teledeteksi dengan menempatkan suatu
sensor pada platform yang dibawa oleh pesawat terbang atau satelit. Cara yang kedua
ini kurang akurat dibanding dengan cara pertama, namun cara kedua ini mempunyai
beberapa kelebihan yaitu dapat menjangkau wilayah yang lebih luas dalam waktu
yang sama. Hal ini sangat bermanfaat untuk melihat sifat dan proses yang terjadi di
suatu perairan dari waktu ke waktu.
Ikan Cakalang hidup bergerombol dalam jumlah besar sebagai ikan
pem~ukaan(pelagic). Ikan ini termasuk ikan karnivora yang serakah dan bergerak
mencari makan berdasarkan penglihatan. Oleh karena aktivitas makan berdasarkan
penglihatan, maka aktivitas makan ini akan menurun pada saat cahaya berkurang
sepeiti halnya pada waktu subuh dan senja hari (Inoue, 1961).
Gunarso (1978) mengatakan bahwa ikan Cakalang termasuk jenis ikan yang
aktif mencari makan pada siang hari (diurnal). Dalam mencari makanan ikan tersebut
mengalami pergerakan rnigrasi vertikal yakni muncul ke lapisan permukaan sesudah
matahari terbit dan sebelum matahari terbenam, sedangkan pada siang hari mencari

lapisan air yang lebih dalam. Berdasarkan pergerakan rnigrasi vertikal dari pada ikan
tersebut, maka puncak aktivitas makan terjadi pada waktu subuh dan senja hari.
Oseanografi dapat dipakai untuk melihat sifat dan proses yang terjadi di suatu
perairan. Salah satu parameter adalah suhu permukaan laut yang dapat digunakan
untuk melihat proses-proses fisik air laut seperti : upwelling, divergen, konvergen,

oce~micfront dan sebagainya. Daerah-daerah tersebut sangat penting untuk diketahui
lokasinya, karena tempat-tempat tersebut dapat memberi petunjuk tentang tingkat
kesu buran suatu perairan.
Kecerahan perairan mempunyai arti yang penting dalam penyebaran ikan tuna
dan Cakalang. Beberapa bukti menerangkan bahwa tuna dan Cakalang banyak
didapat pada perairan yang jernih. Hal ini erat kaitannya, antara lain karena di air
yang, jernih mangsanya dapat terlihat dengan jelas. Tuna dan Cakalang tidak efisien
dala~n menangkap mangsanya di perairan yang keruh, meskipun secara umum
peran-an yang jernih hanya sedikit mengandung makanan (Blackburn, 1965).

Gunarso (1988) mengatakan bahwa daerah penangkapan ikan Cakalang yang
optimum berada di sepanjang equator antara 10" L.U. sampai 10" L.S. Pada ha1
perairan Laut Sawu terletak di belahan bumi selatan katulistiwa yang berada pada
posiai 09" L.S. sampai 1I" L.S. sebagai tempat penelitian, diharapkan dapat
memberikan hasil tangkapan yang memuaskan.

Pole and line sebagai alat tangkap ikan permukaan (pelugis) yang hidup
bergerombol perlu dipertahankan. Hal ini dikarenakan tertangkapnya ikan dengan alat

tangkap tersebut satu per satu sehingga alat tangkap tersebut termasuk alat tangkap
yang selektif, dengan demikian sumber daya alam dapat terjamin kelestariannya.
Pole and line dalam operasi penangkapan menggunakan umpan hidup, maka
peneingkapan ini sering disebut live bait fishing. Kekurangan umpan didalam
kebutuhan yang diperlukan akan dapat berakibat berkurangnya jumlah hari operasi
dan perluasan daerah penangkapan, maka agar penggunaan umpan dapat lebih efisien
perlu diketahui waktu, suhu permukaan laut dan kecerahan perairan yang tepat.
1.2. Perurnusan Masalah

Ikan Cakalang terrnasuk ikan pelagis bergerak mencari makan berdasarkan
penglihatan. Karena aktivitas makan berdasarkan penglihatan, maka aktivitas makan
ini kkan menurun pada saat cahaya berkurang. Disamping itu ikan Cakalang termasuk
ikan siang hari (diurnal), maka aktivitas makan ikan ini juga dipengaruhi oleh migrasi
vertikal dari ikan tersebut. Berdasarkan tingkah laku ikan tersebut di Indonesia
khususnya di Nusa Tenggara Timur belum diketahui waktu penangkapan ikan
Caktllang yang tepat dengan menggunakan alat tangkap pole and line.
Ikan Cakalang banyak didapat pada perairan yang jernih dimana mangsanya
dapat terlihat dengan jelas dan tidak efisien dalam menangkap mangsanya di perairan
yang keruh, meskipun perairan yang jernih tersebut hanya sedikit mengandung
makanan. Berdasarkan kebiasaan ini perlu diketahui kecerahan perairan yang sesuai,
sehingga hasil tangkapan denganpole a n d line dapat ditingkatkan.

Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga
keberadaan organisme khususnya ikan di suatu perairan. Lokasi ikan dapat diprediksi
salah satunya dengan mengetahui suhu optimum ikan yang menjadi tujuan
penangkapan, maka agar penangkapan ikan dengan pole and line dapat berhasil perlu
diketahui suhu optimum daripada ikan Cakalang.
Untuk menentukan suhu permukaan laut, dapat dilakukan dua cara yakni
pertama metode pengukuran secara langsung (konvensional) dengan menggunakan
alat-idat pengukur temperatur di permukaan laut dan kedua dengan metode perkiraan
(estilnasi)yakni dengan memanfaatkan wahana satelit penginderaan jauh.

Untuk mengetahui pengaruh suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan,
selaill dilakukan pengukuran langsung di lapangan juga akan dilakukan pendeteksian
ciitra satelit dan juga akan dibandingkan dengan hasil pemantauan satelit cuaca GMS
(GeostasionerMeteorology Satellite).

1.3. 'Cujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

- Untuk mengetahui waktu penangkapan ikan Cakalang yang paling tepat di
lokasi penelitian;

- Untuk mengetahui pengaruh suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan;
- Untuk mengetahui kecerahan perairan yang paling sesuai terhadap hasil
tangkapan;

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat :

-

Sebagai bahan informasi kepada nelayan, agar dapat memudahkan dalam
menentukan fishing ground dengan mengetahui suhu dan kecerahan perairan
yang sesuai dari keberadaan ikan, sehingga penangkapan ikan Cakalang dapat
lebih efisien dengan mengetahui waktu penangkapan yang tepat;

-

Sebagai bahan informasi untuk menunjang kemajuan serta perkembangan
ilmu dalam bidang perikanan pole and line dengan memanfaatkan teknologi
penginderaan jauh.

- Dengan membandingkan hasil tangkapan pada pagi (06.00-08.00), menjelang
siang (08.00- 10.00) dan siang hari (10.00- 12.00), diduga hasil tangkapan
menjelang siang hari akan lebih baik dari pada waktu pagi atau siang hari;

- Dengan membandingkan hasil tangkapan pada suhu perairan yang berbeda,
diduga hasil tangkapan pada suhu perairan tinggi akan lebih baik dari pada
suhu yang lebih rendah;

- Dengan membandingkan hasil tangkapan pada kecerahan perairan yang
berbeda, diduga hasil tangkapan pada kecerahan perairan tinggi akan lebih
baik dari pada kecerahan yang lebih rendah.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perikanan Pole and line

Takayarna (1962) mengatakan bahwa pada umumnya untuk menangkap ikan
Cakadang digunakan dua jenis alat tangkap yaitu pancing dan jaring. Pancing sendiri
dari cara penangkapan terdiri dari : pancing tonda (trolling),pancing rawai (long line)
dan 1)ancing huhate (pole and line).
Menurut Anderson (1953), pole and line Jishing adalah cara penangkapan
ikan dengan menggunakan umpan hidup. Oleh sebab itu maka penangkapan ini sering
disek~utlive bait fishing. Penangkapan ikan dengan pole and line ini digolongkan
kedalam surface Jishing dan paling banyak menangkap jenis ikan Cakalang

(Kat,~uwonuspelamis)
dari pada spesies-species lainnya (Schaeffer, 1961).
Maelissa (1978) menyatakan bahwa faktor pembatas yang memerlukan
pemecahan lebih lanjut dalam usaha perikanan Cakalang dengan metode pole and

line imtara lain adanya sumber-sumber umpan yang mencukupi.
Menurut Cleaver and Shimada (1950), pole and line telah berkembang di
Jepang sejak tahun 1919 dan kemudian terus berkembang ke Amerika, Philipina,
India. dan Indonesia. Alat tangkap ini di Indonesia diperkenalkan oleh nelayan
Jepa~igpada tahun 1939.
Unit penangkapan adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan,
yang biasanya terdiri dari perahukapal penangkap, alat penangkap dan nelayan.

Berclasarkan hal ini maka unit penangkapan pole and line terdiri dari : kapal pole and

line, pancing pole and line dan tenaga kerja (crew) yang mengoperasikannya.
2.1.11. Kapal Pole and line
Muranto (1973) berpendapat bahwa dalarn perencanaan pembuatan kapal
penaflgkapan yang baik perlulah diperhatikan beberapa pertimbangan yakni : ukuran
dan kecepatannya sehingga seimbang antara besar kapal dan jenis alat-alat
tangkapnya, mempunyai ketahanan yang besar, mempunyai daya jelajah yang cukup
besar, konstruksinya cukup h a t serta adanya perlengkapan penangkapan dan alat-alat
navigasi yang cukup memadai.
Menurut Malangjoedo (1978), letak dan kayanya Jishing ground yang akan
dijadikan daerah operasi penangkapan akan menentukan pula jenis dan ukuran kapal
yang akan dipergunakan. Selanjutnya dikatakan bahwa ada tiga ukuran kapal pole

and line yakni :

-

Kapal ukuran kecil yakni 7 - 15 GT, jarak operasinya kurang dari 30 mil dan
tanpa pengawetan;

- Kapal ukuran sedang yakni 15 - 30 GT, jarak operasinya 30 - 50 mil dengan
pengawetan es dan lama operasinya kurang dari 5 hari;

-

Kapal ukuran besar yakni 100 GT keatas, lama operasinya bisa sampai 40 hari
atau lebih.
Simpson (1979), membagi perkembangan motorisasi perikanan pole and line

di Indonesia menjadi tiga tingkatan yakni :

- Kapal skala kecil merupakan milik pribadi yang berukuran 5 - 20 GT, dimulai
tahun 196211963;

- Perusahaan perikanan dengan ukuran kapal 15 - 30 GT, dimulai pada tahun
1951;

- Joint venture dengan menggunakan kapal berukuran 85

- 95 GT, dimulai

sejak tahun 1973.
Ayodhyoa (2972) menyatakan bahwa bahan pembuat kapal penangkap ikan

dapat terbuat dari bahan kayu, baja atau fiberglas. Kapal tersebut dapat berbeda
dalmn ukuran, tenaga penggerak dan perlengkapannya. Bahan yang digunakan dalam
peml~uatannya harus disesuaikan dengan keadaan daerah dimana kapal tersebut
diopierasikan serta biaya yang tersedia. Selanjutnya dikatakan bahwa kapal baja bila
dibandingkan dengan kapal kayu terlihat bahwa kapal baja tersebut ketahanan
terpakainya akan lebih lama, namun demikian kapal kayu lebih murah dan apabila
perawatannya lebih baik maka sering umur kapal kayu tidak jauh berbeda dibanding
dengan umur kapal baja.
Bentuk kapal motor pole and line adalah bentuk kapal motor biasa dan
ditarnbah dengan beberapa konstruksi khusus, antara lain : tempat pemancingan

wiyj'ng deck), sayap (platform), pipa penyemprot air (water sprayer) dan adanya bak
umpan hidup (Monintja, 1968").
Ayodhyoa (1972) menyatakan bahwa kapal pole and line pada saat operasi

dilakskan, awak kapal (crew) dalam memancing akan mengumpul pada salah satu
bagi,m kapal sehingga kapal diperlukan stabilitas yang tinggi. Selain itu kapal juga

harut; mempunyai kecepatan yang tinggi karena ikan yang menjadi tujuan

penangkapan merupakan ikan perenang cepat.
2.1.2. Alat Tangkap Pole and line

Monintja (196Sa) mengatakan bahwa pada prinsipnya alat tangkap pole and
line ~erdiridari tiga bagian yakni : tangkai pancing (pole), tali pancing (line) dan mata
panci ng (hookless).
Pole atau tangkai pancing dibuat dari bambu yang mas-ruasnya banyak
sehingga banyak buku-buku yang memperkuatnya atau dibuat dari fiberglass. Line
atau tali pancing yang dibuat dari nylon mztltifilament biasanya panjangnya 213 dari
pada panjang tangkai pancing. Hookless atau mata pancing terdiri dari timah
pemt~erat,pembungkus, bulu ayarn dan mata pancing yang tidak berkait balik.
2.1.3. Tenaga Kerja

Menurut Tagaki (1969), jumlah awak kapal yang dibutuhkan untuk
mengoperasikan unit pole and line di Jepang adalah kira-kira dua kali lipat dari awak
kapali yang dibutuhkan untuk mengoperasikan unit long line.
Muramatsu (1967) mengatakan bahwa karena terbatasnya saat pemancingan

makal pole a d line perlu mempunyai jumlah awak kapal yang banyak. Selanjutnya
dikatakan bahwa untuk kapal berukuran 20-50 GT mempunyai 30 orang awak kapal,
kapali berukuran 50-100 GT mempunyai 45 orang awak kapal dan kapal yang lebih
besar dari 100 GT dengan 55 orang awak kapal.

Ayodhyoa (1975) mengatakan bahwa umur awak kapal pole and line sampai

dengan 5 1 tahun masih dapat dipakai, karena saat-saat pemancingan dilakukan
sewaktu-waktu. Sedangkan umur awak kapal long line sebaiknya 80 persen terdiri
dari yang muda-muda antara 20 - 30 tahun.
2.2. I[kan Tujuan Penangkapan Pole and line

Malangjoedo (1978) mengatakan bahwa ikan yang menjadi tujuan

penaiigkapan dengan menggunakan alat tangkap pole and line adalah jenis ikan
Caka lang (Katswonuspelamis).
Menurut Uktolseja et a1 (1984), ikan Cakalang termasuk dalam golongan
tuna kecil. Tuna kecil mempunyai ukuran antara 20 - 80 centimeter dengan panjang
maximum 105 centimeter. Jenis-jenis ikan yang termasuk tuna besar diantaranya
adalah Madidihang (lic2unnus albacares), Albacore (lic2unnu.s alalunga) dan Tuna
Mata besar (Thunnus obesus). Ikan tuna besar ini mempunyai ukuran antara 40

- 180

centimeter dengan panjang maximum 236 centimeter.
Matsumoto et al. (1984) mengatakan bahwa Katswonus lebih mirip atau

dekal, dengan Euthynnus dibandingkan dengan Thunnus. Sedangkan nama pelamis
ditetiipkan oleh Linnaeus pada tahun 1758, dan sekarang hampir semua peneliti
menggunakan nama tersebut.

Klasifikasikan ikan Cakalang menurut Matsumoto et al. (1984) adalah
seba~zaiberikut :
Vertebrata

Phylum

Craniata

Subphylum

Gnathostomata

Superclass

Pisces

Series

Teleostorni

Class
Subclass

Actinopterygii
Perciformes

Order
Suborder
Family
Subfamili
Tribe
Genus
Species

Scombroidei
Scombridae
Scombrinae
Thunnini
Katsuwonus
pelamis

Matsumoto et al. (1984), mengatakan bahwa berdasarkan deskripsi morfologi
dan meristik ikan Cakalang dari berbagai Samudera, serta hasil studi biokimia dan
genetika menunjukkan bahwa hanya ada satu spesies yang tersebar di seluruh dunia,
yaitu Katmonus pelamis. (Gambar 1 )

I

Subf amSy

Tribo

Cenue

Sumber :Ayodhyoa, 1998
Garnbar 1, Klasifikasi dari Family Scombridae

Ciri-ciri khusus ikan Cakalang yang dikemukakan dalam FA0 (1974) yaitu
tubuh berbentuk torpedo @siforrn) memanjang dan bulat, memiliki tapis insang (gill
rakers) 53 - 62 buah. Terdapat dua sirip punggung yang terpisah, pada sirip punggung
pertama terdapat 14 - 16 jari-jari keras, pada sirip kedua diikuti oleh 7

-

8 finlet.

Terdapat rigi-rigi @lets) yang lebih kecil pada masing-masing sisi dorsal dan ventral
tubuh bagian belakang dan sirip ekor.
Warna tubuh pada saat ikan masih hidup adalah biru baja (steel blue), tingled
dengan lustrous violet di sepanjang permukaan punggungnya dan intensitasnya
menjvsut di sisi tubuh hingga ketinggian pada pangkal sirip dada. Sebagian dari
bada~mya,termasuk bagian abdomen berwarna putih hingga kuning muda. Garisgaris vertikal evanescent muda tampak di bagian sisi tubuhnya pada saat baru saja
tertangkap. Warna abu-abu di sebelah bawah mandible bersatu dengan warna putih
bagian tubuh dibelakangnya di bagian bawah setengah tubuh. Di setiap sisi tubuh,
empa,t hingga enam garis melintang terlihat nyata di bawah lateral line di setiap sisi
tubuli (Matsumoto et al. 1984). (Gambar 2)
Menurut Gunarso (1988), ikan menerima berbagai informasi mengenai
keadizan sekelilingnya melalui beberapa inderanya, seperti indera penglihat,
pendl~ngar, pencium, linea lateralis dan sebagainya. Cakalang terrnasuk ikan yang
aktif mencari makan pada siang hari (diurnal) dan banyak dijumpai pada lapisan
pelag,is yang banyak menerima sinar matahari, maka alat indera yang utama adalah
mata nya.

Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, 1993

Gambar 2. Ikan Cakalang (Katsuwonuspelamis)

2.3. :Daerah Penyebaran Ikan Cakalang

Menurut Maelissa (1978), perikanan Cakalang atau slnpjackfishing dikenal di
seluruh bagian tropis dan sub tropis. Penyebaran Cakalang ini dipengaruhi oleh
perbt:daan garis lintang (latitude) dan tidak dipengaruhi perbedaan garis bujur
(longitude) (Murphy and Shomura, 1958).
Menurut Forsberg (1964), daerah penyebaran ikan Cakalang terletak antara
40" L.U. sampai dengan 30" L.S., sedangkan daerah penangkapan yang optimum
beratla disepanjang equator antara 10" L.U. sampai dengan 10" L.S.
Gunarso (1988) mengatakan bahwa sebagian dari perairan Indonesia
merupakan lintasan ikan Cakalang yang bergerak menuju ke Kepulauan Philipina dan
Jepang. Di perairan Indonesia bagian barat, ikan Cakalang dapat ditangkap di
separljang pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Penyebaran
di perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda, Laut Flores, Laut Arafhra,
Laut Halmahera, Laut Maluku, Laut Sulawesi, Laut Aru dan sebelah utara Irian Jaya.
(Garr~bar3)
Matsumoto et al. (1984), menyatakan bahwa berdasarkan penelitian terhadap
hasil tangkapan long line, tuna tersebar menurut lapisan air, dengan Cakalang
(Katswonus pelamis) menempati lapisan teratas (permukaan) diikuti dengan Bluefin
tuna (Thunnus thynnus) di lapisan bawahnya, kemudian berturut-turut Yellowfin tuna
(Thu~musalbacares), Bigeye tuna (Thunnus obesus) dan Albacore tuna (Thunnus
alalunga) .

Ikan Cakalang mempunyai tingkah laku (behaviour) sebagai ikan pelagis
yarg hidup bergerombol dalam jurnlah yang besar (schooling). Pengertian schooling

disini ialah pengelompokan ikan yang ter-polarismi ataupun ter-orientasi satu sama
lairlnya baik jarak maupun kecepatan renangnya (Gunarso, 1978).
Nakamura (1969) mengatakan bahwa tuna biasanya terdiri dari ikan yang

berukuran sama, walaupun terdapat dalarn suatu gerombolan campuran antara dua
species atau lebih. Hal ini mungkin disebabkan karena kecepatan berenangnya ikan
yang berukuran lebih kecil tidak dapat mengikuti ikan-ikan yang lebih besar.
Radakov (1969) ddam Gunarso (1988) mengatakan bahwa pengetahuan

meingenai kebiasaan ikan berkelompok erat hubungannya dengan peningkatan
kecnampuan penangkapan dari sesuatu jenis alat penangkap dan perkembangan
efisiensi dari sesuatu metode penangkapan. Selanjutnya dikatakan bahwa hal-hal
yang menyebabkan ilcan-ikan berada dalarn suatu gerombolan antara lain adalah :
sebagai perlindu~gan diri dari predator, mencari dan menangkap mangsanya,
pen~ijahan,pada waktu musim dingin, beruaya dan pergerakan serta adanya pengaruh
faktor sekeliling.
Ayodhyoa (1975) mengatakan bahwa untuk menemukan gerombolan

Cd;alang ada beberapa petunjuk misalnya : adanya burung yang menukik dan
menyambar permukaan laut, adanya ikan-ikan yang meloncat ke atas permukaan air,
mengikuti gerakan dari kayu hanyut, beruaya bersama ikan paus dan sebagainya.

Gunarso (1978) mengatakan bahwa ikan dapat tertarik dan dapat dipikat
dengan menggunakan benda-benda terapung dimana mereka akan bergabung dan
berkt:lompok. Tertariknya terhadap benda terapung serta mengelompoknya ikan ini
diseblabkan oleh karena adanya respon ikan berdasarkan pada penglihatannya.
Menurut Soepanto dan Sujastani (1978), Cakalang akan berkumpul di
sekitar rakit-rakit yang diberi jangkar (payos). Benda-benda terapung bebas yang
terbawa hanyut arus laut mempunyai daya tarik yang lebih baik dari pada payos.
Apatlila ada benda terapung yang terbawa arus laut melewati payos, maka akan ada
tendensi ikan yang tadinya berkumpul di sekitar payos akan berpindah ke benda
terapung dan mengikutinya.
2.4. IPengaruh Beberapa Faktor Oceanografi

Penyebaran ikan Cakalang mempunyai hubungan erat dengan penyebaran
suhu, salinitas dan kecerahan perairan.
Matsumoto et al. (1984) mengatakan bahwa penyebaran ikan Cakalang
mempunyai hubungan dengan penyebaran suhu di dam. Batas dan kisaran suhu
dimaina ikan Cakalang tertangkap bervariasi di beberapa wilayah perairan. Cakalang
tertarigkap di perairan lepas pantai Jepang pada suhu berkisar antara 17.5' - 30' C, di
Samudera Pasifik antara 17' - 30' C, di perairan lepas pantai India antara 27'
di New Zealand antara 16'

- 22'

C dan di perairan Tasmania antara 14.7'

- 30'

C,

- 20.8'

C.

Deng,an demikian, secara keseluruhan suhu penyebaran Cakalang berkisar antara
14.7'- 3 0 ' ~ .

Menurut hasil penelitian Darongke (1975), hasil tangkapan pole and line
yang paling besar di perairan Sulawesi Utara dicapai pada pemancingan dengan
temperatw 29' C, sedangkan di perairan Sorong penangkapan Cakalang dicapai pada
penlancingan dengail temperatur rata-rata 29,6' C (Surono, 1982).
Laevastu (1993) mengatakan bahwa pengaruh suhu terhadap ikan adalah
dalsun proses metabolisme seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas
tubilh seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf.
Menurut Hela and Laevastu (1970), let& kedalaman kelompok ikan pelagis
banyak ditentukan oleh distribusi suhu secara vertikal. Hal ini berarti bahwa ikan
pelslgis &an berenang menghindari .suhu yang lebih tinggi dan menuju ke sebelah
dalsun pada waktu suhu permukaan lebih tinggi dari biasanya.
Tabel 1 : Kisaran Suhu Optimum dan Lapisan Renang Beberapa Ikan Pelagis
Jenis Tuna

Suhu Optimum
(OC)

Lapisan Renang
(meter)

Bl!~efintuna

14 - 21

50 -300

Bigeye tuna

17-23

50 - 400

Yellowfin tuna

20 - 28

0 - 200

Aldbacoretuna

14 - 22

20 - 300

Skipjack tuna

20 - 24

0-40

Sunlber : Hela and Laevastu (1970)

Menurut Soegiarto dan Birowo (1975), pelapisan suhu secara menegak di
perairan tropis dapat dibagi menjadi tiga lapisan, yakni lapisan panas (homogen),
lapisim termoklin dan lapisan dingin (dalam). Secara umum lapisan panas ditandai
oleh penyebaran vertikal parameter hidrologis yang homogen, yang disebabkan
proscs pengadukan oleh angin, arus dan pasang surut. Ketebalan lapisan ini di
perairan dalam berkisar antara 50 meter sampai dengan 100 meter, tergantung dengan
perkisaran musim dan suhunya berkisar antara 26'

- 30'

C.

Salinitas juga merupakan faktor penting yang dapat digunakan untuk meramal
adanya Cakalang di suatu perairan.
Menurut Blackburn (1965), pengukuran salinitas adalah penting dalam
mene:ntukan dan mengenali ciri-ciri perairan yang berhubungan dengan keberadaan
ikan tuna, tetapi salinitas itu sendiri tidak diketahui mempunyai pengaruh langsung
terhadap penyebaran ikan tuna.
Cleaver and Shimada (1950) mengatakan bahwa Cakalang hidup pada
perairan dengan kadar salinitas antara 33

-

35 permil. Hal ini mengakibatkan

Cakalang di Indonesia banyak terdapat pada perairan yang berhubungan dengan
Lautim Pasifik seperti Indonesia Bagian Timur yang mempunyai salinitas 33

-

35 per

mil (,Jones and Silaas, 1962).
Menurut hasil penelitian Surono (1982), penyebaran salinitas permukaan laut
dalani hubungannya dengan hasil tangkapan Cakalang dengan pole and line di
perairan Sorong adalah sebesar 33 - 34 permil.

Blackburn (1965) mengatakan bahwa kecerahan mempunyai arti yang
penting dalam penyebaran Cakalang. Beberapa bukti menerangkan bahwa Cakalang
banyak didapat pada perairan yang jernih, ha1 ini erat kaitannya karena di air yang
jernili mangsanya dapat terlihat dengan jelas. Cakalang tidak efisien dalam
menzmngkap mangsanya di perairan yang keruh, meskipun secara umum perairan yang
jernili

hanya

sedikit mengandung makanan.

Selanjutnya dikatakan bahwa

pen~ngkapanCakalang sangat baik dilakukan pada perairan dengan kecerahan antara
15 - 35 meter.
Menurut Soegiarto dan Birowo (1965), perairan di Indonesia Bagian Timur
mempunyai kecerahan perairan antara 10

-

30 meter. Hal ini mengakibatkan di

perairan Indonesia Timur sangat baik dilakukan penangkapan Cakalang.
Matsumoto et al. (1984) mengatakan bahwa ikan Cakalang mempunyai
kebiasaan makan yang cukup teratur atau memiliki pola makan. Penelitian terhadap
isi lambung dapat menentukan bahwa kegiatan makan Cakalang memuncak pada
awal pagi mulai kira-kira pukul 08.00-12.00, dan berkurang antara pukul 13.0016.00, kemudian akan memuncak lagi akhir sore hari mulai pukul 16.00 hingga
matalhari terbenam.
Makanan utama ikan Cakalang dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori
yakni : ikan, krustasea dan moluska. Walaupun ikan merupakan komponen utama

2.5. Umpan Hidup

Umpan hidup merupakm kebutuhan mutlak yang liarus ada dalam setiap
operasi penangkapan dengan menggunakan pole and line, disamping penyediaannya
hartis cukup dan jenisnya tetap. Kekurangan didalam kebutuhan umpan yang
diperlukan akan dapat berakibat terbatasnya jumlah hari operasi dan perluasan daerah
penmgkapan (Maelissa, 1978).
Soepanto ilan Sujastani (1978) mengatakan bahwa kendala utama dalam
pengembangan perikanan pole and line ialah kelimpahan ikan umpan hidup. Agar
opelrasi penangkapan dapat berlangsung dengan baik, maka persediaan umpan hams
c u b ~ pdan terjamin kelangsungannya.
Operasi penangkapan dengan pole and line tergantung sekali pada kondisi dan
berapa lama ikan umpan hidup tersebut dapat disimpan dan bertahan hidup di dalam
bak umpan. Menurut Brock and Uchida (1968), angka kematian atau tingkat
mortalitas umpan hidup rata-rata sekitar 25 % setiap hari setelah ditangkap. Hal ini

men~pakankendala untuk mempertahankan agar sejumlah besar umpan untuk tetap
hidup atau untuk berhasilnya penangkapan selama lebih tiga hari.
Monintja (19683 menyatakan bahwa ikan umpan hidup yang baik hams
menliliki syarat-syarat sebagai berikut :
-!

Disukai Cakalang dan sejenisnya;

-.

Bila dilemparkan tetap di permukaan dan mendekati kapal;

-

Ukuran cocok dengan kemauan Cakalang dan sejenisnya;

- Tahan hidup selama mungkin dalam keadaan berdesak-desakan serta aktif
dalam bak-bak umpan;

- Warna putih keperak-perakan serta mengkilat bila terkena sinar matahari;

-

Tidak mempunyai dat yang tajam karena dapat melukai Cakalang;

-

Mudah didapatkan dgam jurnlah yang cukup banyak.
Selanjutnya dikatakan bahwa ikan teri (Stolephorus purporeus) adalah jenis

ikar;~umpan hidup yang hampir memenuhi syarat-syarat tersebut, sehingga dapat
dikatakan ikan tersebut sebagai ikan umpan yang terbaik.
Cleaver and Shimada (1950) menyatakan bahwa ikan anchovy (Stolephorus

purpureus) dan sardine (Sardinops melanosticta) adalah umpan hidup yang paling
efektif Disamping kedua jenis tersebut di atas, sering pula digunakan anchoveta

(Cei'engraulismysticus) yang dapat dikurung selarna 2 sampai 3 bulan, serta dapat
hidup dalam kisaran suhu yang besar.
Subani (1969) menyatakan bahwa ukuran umpan hidup yang banyak

digunakan dalam penangkapan dengan pole and line di Indonesia adalah sebagai
berilcut : Stolephorus sp. berukuran lebih kecil dari 10 cm, untuk Caesiodae,
Carangidae dan Clupeidae berukuran 10 - 12 cm, sedangkan ikan PetekPeperek

(Leiognatus sp) berukuran 3 cm.
Yuen (19583 menyatakan bahwa ada dua faktor yang dapat mempengaruhi

reaksi Cakalang terhadap umpan yaitu :

-

Faktor alam yakni persediaan makanan alarni, kejernihan air dan ams;

-

Faktor fisiologis yakni tingkat kelaparan dan tingkat peeumbuhan gonade.

Menurut Monintja (196sb), beberapa faktor utama yang menjadi syarat
berliasilnya penangkapan umpan hidup adalah : keadaan tanpa bulan, tidak terjadi
hujiin dan angin, serta ombak dan arus tidak terlalu h a t .
Maelissa (1978) menyatakan bahwa dewasa ini hampir semua kegiatan usaha

penangkapan Cakalang y q g menggunakan pole and line sering mengalami
keterlambatan dalam penyediaan umpan. Hal ini dikarenakan sebagaian besar daerahdaerah umpan yang semula merupakan daerah sumber yang cukup, sekarang secara
beriahap mengalami kemunduran dalam produksi. Selanjutnya dikatakan bahwa
keniunduran ini mungkin disebabkan beberapa hal antara lain :

-

Bertambahnya alat-alat penangkapan;

-

Pengotoran atau pencemaran lingkungan akibat pengaruh industri;

Perluasan penggunaan alat-alat penangkapan yang tidak selektit

- Pengaruh berkembangnya kota yang berada disekitarnya;
- Kurangnya perhatian dalam penanganan umpan oleh para nelayan.
Monintja ( 1 ~ 6 8 menyatakan
~)
bahwa untuk mengatasi kesulitan umpan dapat

dilakukan beberapa cara yakni :

- Pemakaian alat tangkap umpan yang lebih efektic
- Transportasi umpan dari daerah surplus ke daerah yang kekurangan umpan;
- Perlakuan yang sebaik mungkin terhadap umpan sehingga mengurangi
kernatian selama dalarn perjalanan;

- Pemakaian umpan tiruan (urtzficial live bait).

2.6. Teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja)

Inderaja (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah dan fenomena yang
dikaji (Lillesand and Kiefer,'1990).
Pemanfaatan te!inologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis
(SIC;) hingga saat ini telah banyak dikaji dan dimanfaatkan untuk beberapa bidang
pekt:rjaan, antara lain : geologi, geohidrologi, pertanian, kehutanan, pemantauan
parameter lingkungan dan potensi sumberdaya dam dalam skala global. Dimasa
mendatang, teknologi inderaja juga telah digunakan dalam pendugaan lokasi
penangkapan ikan di beberapa negara.
Metoda penginderaan jauh untuk kelautan lebih praktis dan ekonomis
digunakan dibandingkan dengan penelitian langsung di lapangan. Suhu permukaan
laut dari citra satelit NOAA-AVHRR dapat menggambarkan adanya thermal front di
suatu lokasi penelitian. Di sisi lain analisis sebaran parameter oseanografi merupakan
salall satu parameter yang dapat digunakan untuk menduga terjadinya upwelling di
suatu perairan.
Citra suhu permukaan laut telah banyak diaplikasikan untuk perikanan dan
pemiinfaatan sumberdaya hayati laut. Sebagai contoh penelitian perikanan yang
memanfaatkan citra suhu permukaan laut adalah untuk mempelajari penyebaran telur
dan larva yang terjadi pada daerah upwelling. Daerah upwelling ini dapat dikenali

pada suatu citra suhu permukaan laut berupa thermalJi.ont (pertemuan dua massa air
yang berbeda suhunya).
Aplikasi citra suhu permukaan laut untuk studi kelimpahan populasi ikan di
sekitar thermalJLon't telah banyak dilakukan. Hasil studi demikian akan dimanfaatkan
dalaun penentuan lokasi penmgkapan ikan sehingga pemanfaatan sumberdaya hayati
laut dapat ditingkatkan.
Imron (1990), menyatakan bahwa hasil analisis parameter oseanografi di sisi
selatan Kepulauan Solor dan di sisi utara Pulau Timor digunakan untuk menganalisis
mekanisme gerak air yang menyebabkan tejadinya thermal front di lokasi massa air
dingin di wilayah Laut Sawu. Dari analisis parameter-parameter oseanografi yang
terdiri dari suhu, salinitas, oksigen terlarut dan kandungan zat hara tersebut tidak
didapatkan adanya indikasi upwelling di daerah thermalfront di wilayah tersebut.
Dernikian halnya Pranoto (1995), dalam pendugaan zcpwellzng di Laut Flores
den,gan memanfaatkan data suhu permukaan laut dari satelit NOAA-AVHRR,
merlyatakan adanya intrusi massa air dingin disisi timur dan cenderung lebih hangat
ke iuah barat. Tetapi rendahnya suhu permukaan laut di lokasi tersebut disebabkan
oleh intrusi massa air dingin dari arah timur dan sesungguhnya upwelling tidak terjadi
di lokasi penelitian.

3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. 'Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan yakni pada bulan Juli

-

Desember

Tahun 2000. Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan yakni pada
15 Juli - 15 September 2000 di Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur.

Pengarnbilan dan pengolahan data citra suhu permukaan laut dilaksanakan
pada bulan Oktober

-

Desember 2000 di Laboratorium Pusat Pemanfaatan

Penginderaan Jauh (PUSFATJA) - LAPAN Pekayon, Jakarta Timur.
3.2. Unit Percobaan

Unit Percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah satu unit
penangkapan pole and line yang terdiri dari kapal pole and line, alat tangkap pole
and line dan tenaga kerja (crew) yang mengoperasikannya.
3.2.1. Kapal Pole and line

Kapal yang digunakan dalam penelitian ini terbuat dari kayu resak, ukuran
30 (3T dengan menggunakan mesin induk 165 HP milik PT. Timor Sarana
Pemtmgunan Nekmese (TSPN). Kapal ini dilengkapi dengan beberapa peralatan
yang sesuai dengan fbngsinya sebagai kapal pole and line.

Peralatan-peralatan tersebut meliputi : bak umpan hidup, palkah ikan, tempat
pemiincingan Vlying deck), sayap @latfom), pipa penyemprot (water sprayer) dan
peral atan navigasi. (Gambar 4)
- B:tk Umpan Hidup

Jumlah bak umpan hidup sebanyak dua unit, dengan ukuran bak panjang 190
cm, lebar 140 cm dan tingginya 140 cm. Pada setiap bak terdapat enam buah lubang
dengan diameter 10 cm. Dinding bak umpan kedap air, sistem sirkulasi dalam bak
umpan diatur dengan menggunakan belahan bambu yang dimasukkan ke dalam salah
satu lubang, sedangkan lubang yang lain dalam keadaan terbuka. Dengan gerakan
maju dari kapal, maka air laut akan masuk melalui lubang yang ada belahan bambu
tersebut dan keluar melalui lima lubang lainnya yang yang ditutup dengan jaring agar
umprun tidak ikut keluar.
- Palkah lkan

Palkah ikan ini berfungsi untuk menyimpan hasil tangkapan selama operasi
penai~gkapan.Alat ini juga berfbngsi untuk membawa perbekalan es balok selama
operilsi penangkapan. Palkah tersebut mempunyai ukuran panjang 190 cm, lebar 90
cm dan tingginya 130 cm. Jumlah palkah ikan setiap kapal terdapat dua unit yang
terletak diatas deck kapal bagian tengah.

- l'empat Pemancingan (Flying Deck)
Flying deck adalah semacam deck yang diiebihkan dari bagian haluan kapal.
Alat tersebut mempunyai bentuk jajaran genjang dengan alasnya 330 cm, bagian
atasnya 190 cm dan tingginya 300 cm. Deck ini dilengkapi tempat duduk para
penlancing dengan kapasitas '10 orang bagian depan, satu orang pada sisi sebelah kiri
dan satu orang pada sisi sebelah kanan. Pada sisi sebelah kanan terdapat papan
setiinggi 80 cm yang disebut pele-pele. Alat ini berfbngsi untuk melindungi ikan agar
tidak jatuh ke laut pada waktu pemancingan.

-

P'ipa Penyemprat (Water Sprayer)
Pipa penyemprot ini bermuara pada sisi kapal di pinggirflying deck. Air yang

digunakan untuk menyemprot adalah air dari laut yang diserap oleh mesin pembantu.
Pipa-pipa yang digunakan berdiarneter 2 cm terbuat dari besi, disarnbung dengan
slang plastik dan bambu. Ujung barnbu tersebut dibelah sedikit agar pancaran air
dapat jatuh ke permukaan laut secara meluas.

-

Sayap (Platform)

Platform merupakan penonjolan dari deck kesisi kapal pada sekeliling badan
kapal, Alat ini mempunyai lebar 50 cm yang berguna sebagai tempat boy-boy dalam
melempar umpan agar dapat jatuh sejauh-jauhnya dari badan kapal.

- Peralatan Navigasi
Alat-alat navigasi yang dimiliki oleh kapal pole and line ini masih sangat
sederhana yakni : kompas basah, larnpu penerangan, teropong binoculer, single side

band (SSB) dan peta perairan.

I

?-I -

panjang I(apa1seluruhnya 23,15meter

II
'I
I

I

.Keteran~an: A. Anjungan
B. Kamar Mesin
C. Kamar Tiduk
D. W.C.
E. Dapur

F. P a l U Ikan
G. Bak Umpan Hidup
K Tempat Pemancingan
I. Pele-pele
J. Platform

Gambar 4. Konstruksi Kapal Pole and line

3.2.2. Alat Tangkap Pole and line

Pada prinsipnya alat tangkap pole and line di perairan Laut S a w tidak
banyak berbeda dari alat tangkap pole and line yang umum digunakan di tempat lain.
Alat tangkap tersebut terdiri dari : tangkai pancing, tali pancing dan mata pancing.
(Ganibar 5.I)

- Tangkai Pancing
Tangkai pancing yang digunakan sebagian besar masih menggunakan bahan
dari bambu yang beruas-ruas yang mudah didapat dari daerah setempat. Ukuran
panjang tangkai 280 cm, diameter pangkalnya 3 cm dan ujungnya 0,6 cm. Pada ujung
tangkai ini diberi lilitan tali nylon multzfilament untuk memudahkan dihubungkannya
dengan tali pancing.

- Tadi Pancing
Tali pancing yang digunakan terbuat dari nylon multzfilament dengan panjang
bervariasi antara 1,5

-

2,O meter dan diameter 3 rnm. Panjang tali ini hams lebih

pendek dari tangkai agar memudahkan dala