Development of zone cooling system for aeroponically grown potato seed production in humid tropical lowland

PENGEMBANGAN ZONE COOLING SYSTEM UNTUK
PRODUKSI BENIH KENTANG SECARA AEROPONIK
DI DATARAN RENDAH TROPIKA BASAH

ENI SUMARNI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan Zone
Cooling System untuk Produksi Benih Kentang Secara Aeroponik di Dataran
Rendah Tropika Basah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013
Eni Sumarni
F164084011

RINGKASAN
ENI SUMARNI. Pengembangan Zone Cooling System untuk Produksi Benih
Kentang Secara Aeroponik di Dataran Rendah Tropika Basah. Dibimbing oleh
HERRY SUHARDIYANTO, KUDANG BORO SEMINAR dan SATYANTO
KRIDO SAPTOMO.
Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu tanaman
pangan utama dunia setelah padi, gandum, dan jagung. Kandungan karbohidrat
kentang sangat tinggi sehingga dapat menjadi subtitusi beras, terigu, dan jagung.
Sebagai salah satu komoditas unggulan, kentang memiliki keunggulan komparatif
dan keunggulan kompetitif serta memiliki potensi pasar domestik dan ekspor yang
cukup baik. Namun di Indonesia, produksi kentang masih lebih rendah daripada
kebutuhan akan kentang. Karena itu, Indonesia masih mengimpor kentang dari
negara lain. Permasalahan utama dalam peningkatan produksi kentang di
Indonesia adalah kesulitan mendapatkan benih kentang bermutu dalam jumlah
cukup, tepat waktu dan tepat varitas. Penggunaan benih yang tidak bermutu oleh
menyebabkan rendahnya produktivitas kentang. Selain itu, peningkatan produksi

kentang menghadapi masalah berkurangnya luas areal tanaman kentang di dataran
tinggi dan adanya serangan hama dan penyakit.
Di Indonesia, tanaman kentang pada umumnya dibudidayakan di dataran
tinggi. Hal ini sering kali diikuti dengan tingginya laju erosi tanah dari lahan
budidaya tanaman kentang. Penggeseran orientasi lokasi penanaman kentang ke
dataran rendah merupakan salah satu alternatif yang prospektif untuk membantu
peningkatan produksi kentang sekaligus mengatasi masalah erosi tanah. Tetapi,
budidaya tanaman kentang di dataran rendah tropika basah menghadapi kendala
tingginya suhu dan kelembaban udara. Kendala tersebut dapat diatasi dengan zone
cooling untuk daerah perakaran pada budidaya tanaman kentang secara aeroponik.
Zone cooling system dapat mendinginkan daerah tertentu tanpa menyebabkan
kenaikan kelembaban udara.
Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah mengembangkan teknologi
produksi benih kentang secara aeroponik di dataran rendah tropika basah dengan
pendinginan terbatas (zone cooling) daerah perakaran. Tujuan tersebut dicapai
melalui tiga tahap penelitian yaitu : (1) mengaplikasikan zone cooling pada sistem
aeroponik untuk produksi benih kentang di dataran rendah tropika basah, (2)
memprediksi sebaran suhu di dalam aeroponic box pada sistem aeroponik dengan
aplikasi zone cooling, (3) menghitung beban panas pada masing-masing
aeroponic box dengan aplikasi zone cooling.

Penelitian tentang aplikasi zone cooling dilaksanakan pada bulan AprilJuli 2012 di greenhouse Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB di ketinggian 250 m dpl. Aeroponic chamber yang
digunakan berukuran 1.5 m x 1 m x 1 m. Bahan chamber terluar adalah kayu
multiplex dengan bagian dalam diinsulasi dengan styrofoam. Sebagai tempat
tanaman juga digunakan styrofoam. Jarak tanam adalah 15 cm x 15 cm. Jadi
dalam satu aeroponic chamber terdapat 45 tanaman. Varietas bibit kentang yang
digunakan adalah Granola, hasil kultur jaringan dari Balai Penelitian Tanaman
Sayuran, Kementerian Pertanian RI, yang telah diaklimatisasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tinggi tanaman dan jumlah
daun kentang yang dibudidayakan dalam sistem aeroponik dengan zone cooling
lebih tinggi dibandingkan tanpa pendinginan. Produksi umbi terbaik diperoleh
pada sistem aeroponik dengan zone cooling 10 °C yaitu meliputi produktifitas
rata-rata (579 umbi/m2), jumlah umbi rata-rata (14.85 umbi/tanaman), dan bobot
umbi rata-rata (409.15 mg/umbi). Zone cooling dengan suhu 15 oC menghasilkan
55 umbi/m2 dengan rata-rata jumlah umbi 1.67 umbi/tanaman, bobot umbi 205.44
mg/umbi. Jumlah umbi/tanaman pada zone cooling 20 °C tidak berbeda nyata
dengan zone cooling 15 oC. Tanaman kentang pada suhu tanpa pendinginan (30.332.6 oC) tidak menghasilkan umbi.
Untuk memperoleh informasi dasar perancangan maka dilakukan simulasi
distribusi suhu udara aeroponic chamber. Simulasi distribusi suhu udara tersebut

dilakukan dengan Computational Fluid Dynamic (CFD) menggunakan software
Solidwork ® Premium 2011. Analisis yang dilakukan adalah analisis tiga dimensi
terhadap aliran fluida dan termal. Komputer dengan spesifikasi CPU Intel ® Core
TM
i7, RAM 8GB, dan sistem operasi 64bit digunakan dalam simulasi tersebut.
Pada simulasi CFD pemecahan aliran fluida digambarkan secara kuantitatif dalam
besaran suhu dan kecepatan dengan bentuk persamaan diferensial yang didasarkan
pada analisis numerik dengan finite volume method khususnya persamaan NavierStokes.
Error maksimum hasil simulasi CFD tercatat sebesar 5.89%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pendefinisian material untuk masukan CFD sudah baik dan
dapat menggambarkan kondisi di dalam aeroponic chamber. Error dapat
diperkecil dengan memasukkan sifat fisik dan kimia larutan nutrisi yang
digunakan untuk simulasi. Perbandingan suhu udara di dalam aeroponic chamber
yang diperoleh dari simulasi CFD dengan hasil pengukuran menghasilkan
kesimpulan bahwa CFD sangat berguna dalam memprediksi distribusi suhu
aeroponic chamber. Hal ini telah ditunjukkan oleh persamaan regresi untuk hasil
simulasi dan hasil pengukuran suhu udara yang mempunyai gradien 0.982 yang
sangat dekat dengan 1 dan intersep 0.189 yang sangat dekat dengan 0.
Dalam sistem aeroponik dengan zone cooling, konsumsi energi menjadi
persoalan penting yang harus dapat dipecahkan. Karena itu, besarnya energi listrik

yang diperlukan dalam zone cooling untuk produksi benih kentang secara
aeroponik di dataran rendah tropika basah dihitung secara akurat untuk menjadi
informasi dasar dalam perancangan sistem. Besarnya energi listrik untuk zone
cooling dihitung berdasarkan prinsip-prinsip perpindahan panas. Pindah panas
terjadi secara radiasi, konduksi, dan konveksi.
Perhitungan kebutuhan energi listrik sistem aeroponik dengan zone
cooling untuk produksi benih kentang di dataran rendah dengan suhu 10 °C
menghasilkan angka sebesar 0.917 kWh/m2. Besarnya kebutuhan energi listrik
rata-rata harian pada aeroponic chamber dengan zone cooling 15 °C, zone cooling
20 °C, dan tanpa pendinginan, masing-masing adalah sebesar 0.590 kWh/m2,
0.439 kWh/m2, 0.132 kWh/m2.
Kata kunci: kentang, dataran rendah tropika basah, aeroponik, zone cooling, CFD

SUMMARY
ENI SUMARNI. Development of Zone Cooling System for Aeroponically Grown
Potato Seed Production in Humid Tropical Lowland. Supervised by HERRY
SUHARDIYANTO, KUDANG BORO SEMINAR and SATYANTO KRIDO
SAPTOMO
Potato plant (Solanum tuberosum L) is one of the major food crops in the
world after paddy, wheat, and corn. Carbohydrate content of potato is very high;

therefore, it can be used to substitute rice, wheat flour, and maize. As one of the
most important commodities, potato has comparative and competitive advantages,
as well as good domestic and export market. However in Indonesia, the volume of
potato production is lower than the volume of potato consumption. Therefore,
Indonesia is importing potato from other countries. To increase potato production,
Indonesia is facing difficulties in fulfilling the required potato seeds with high
quality, right time and right variety. Using low quality potato seeds causes low
productivity. In addition, increasing potato production is also facing problems
related to the decrease in area for potato plant in highland, pest and plant diseases.
In Indonesia, potato plant is generally cultivated on highland. This is very
often accompanied by high rate in soil erosion. Shifting the orientation for potato
cultivation to lowland is one of the most prospective solutions to increase potato
production while solving the problems related to soil erosion. However, potato
cultivation in humid tropical lowland is facing problems related to high air
temperature and humidity. To overcome these problems, root zone cooling for
aeroponically grown potato cultivation could be used. Zone cooling system could
decrease temperature of certain zone but it also prevents the increase in air
humidity.
The objective of this research in general was to develop technology for
aeroponically grown potato seed production in humid tropical lowland by using

root zone cooling. To achieve the objective, three stages of research were
conducted: (1) to apply zone cooling in aeroponic system for potato seed
production in humid tropical lowland, (2) to predict temperature distribution in the
growth chamber of aeroponic system with root zone cooling, (3) to calculate the
heat load in the growth chamber of aeroponic system with root zone cooling.
The research on zone cooling application was conducted in a greenhouse
at the Department of Mechanical & Bio-system Engineering, Faculty of
Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, at 250
m above the sea level, from April to July, 2012. The size of the aeroponic
chamber used was 1.5 m x 1 m x 1 m. The material used for the outer wall of the
chamber was wooden multiplex board and the inner side was insulated with
styrofoam board. Plant bedding was made of styrofoam board. Plant spacing was
15 cm x 15 cm. Therefore, one chamber consisted of 45 plants. The variety of
potato seedling was Granola, produced by tissue culture laboratory, Vegetable
Research Institute, Indonesian Ministry of Agriculture, after acclimatization.
The research results indicated that the values of average height and
number of leave of the potato plant cultivated in aeroponic system with zone
cooling were higher than that of without cooling. The best tubers were obtained in

aeroponic system with 10 °C zone cooling, i.e., average productivity (579

tubers/m2), average number of tuber (14.85 tubers/plant), and average tuber
weight (409.15 mg/tuber). The 15 °C zone cooling resulted in 55 tubers/m2 with
average number of tuber of 1.67 tubers/plant and average tuber weight of 205.44
mg/tuber, which was not significantly different from that of the 20 °C zone
cooling. The potato plant cultivated at 30.3-32.6 °C did not resulted any tuber.
To obtain basic information for aeroponic chamber design, a series of
simulation was conducted for temperature distribution inside the chamber.
Simulation on the distribution of air temperature was done by using computer
software of Solidwork ® Premium 2011. Three dimensions analysis was used for
predicting fluids and thermal flows. A PC with the specification of CPU Intel ®
Core TM i7, 8GB RAM, and 64bit operation system was used in the simulation
process. In CFD simulation, the solution for flow of fluids was described
quantitatively in terms of temperature and velocity in form of differential equation
based on finite volume method numerical analysis particularly using NavierStokes equation.
Maximum error of the results of CFD simulation was 5.89%. This shown
that the defining of the materials for CFD inputs was good enough and could
illustrate the condition of aeroponic chamber. The error could be reduced by
including physical and chemical properties of the nutrition solution for the
simulation. Comparison between air temperatures in aeroponic chamber obtained
from CFD simulation to that of the measured values resulted in conclusion that

CFD was very useful in predicting temperature distribution in the aeroponic
chamber. This was demonstrated by regression equation for simulated and
measured air temperature in the aeroponic chamber with gradient of 0.982 which
was very close to 1 and intercept of 0.189 which was very close to 0.
In aeroponic system with zone cooling, energy consumption is the most
important problem to be solved. Therefore, heat load of zone cooling in the
aeroponic system for potato seed production on humid tropical lowland it the
subject was calculated using the principles of heat transfer. Heat transfer can take
place through radiation, conduction, and convection. Calculation of electrical
energy required for aeroponic system with zone cooling for seed potato
production in the lowlands found that for 10 °C zone cooling was 0.917 kWh/m2.
The averages of daily electrical energy use in the aeroponic system with 15 °C
zone cooling, 20 °C zone cooling, and without any cooling operation were 0.590
kWh/m2, 0.439 kWh/m2, and 0.0132 kWh/m2, respectively.
Keywords: potato, humid tropical lowland, aeroponics, zone cooling, CFD

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN ZONE COOLING SYSTEM UNTUK
PRODUKSI BENIH KENTANG SECARA AEROPONIK
DI DATARAN RENDAH TROPIKA BASAH

ENI SUMARNI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Dr Ir Y. Aris Purwanto, MSc

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Leopold Oscar Nelwan, STP MSi
Ir Agus Margiwiyatno, MS PhD

Judul Disertasi
Nama
NIM

: Pengembangan Zone Cooling System untuk Produksi Benih
Kentang Secara Aeroponik di Dataran Rendah Tropika Basah
: Eni Sumarni
: F 1640840 11

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc
Ketua

Prof Dr Ir Kudang Boro Seminar, MSc
Anggota

Dr Satyanto K Saptomo, STP MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Keteknikan Pertanian

Tanggal Ujian: 20 September 2013

Tanggal Lulus:

1 8 OCT 2013

Judul Disertasi
Nama
NIM

: Pengembangan Zone Cooling System untuk Produksi Benih
Kentang Secara Aeroponik di Dataran Rendah Tropika Basah
: Eni Sumarni
: F164084011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc
Ketua

Prof Dr Ir Kudang Boro Seminar, MSc
Anggota

Dr Satyanto K Saptomo, STP MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Keteknikan Pertanian

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Wawan Hermawan, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 20 September 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat,
hidayah dan karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi dengan judul
Pengembangan Zone Cooling System untuk Produksi Benih Kentang secara
Aeroponik di Dataran Rendah Tropika Basah telah berhasil diselesaikan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada
Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc, Prof Dr Ir Kudang Boro Seminar, MSc dan Dr
Satyanto K Saptomo, STP, MSi sebagai komisi pembimbing atas segala motivasi,
ilmu, dan kesabaran dalam memberikan bimbingan selama penelitian sampai
penulisan disertasi ini, kepada Dr Ir Agus Purwito, MScAgr dan Dr Ir Y Aris
Purwanto, MSc sebagai dosen penguji pada ujian tertutup doktor, kepada Dr
Leopold O Nelwan, STP, MSi dan Ir Agus Margiwiyatno, MS, PhD sebagai penguji
pada ujian terbuka doktor atas koreksi dan saran yang diberikan untuk perbaikan
disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas
Jenderal Soedirman dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman
atas ijin yang diberikan untuk menempuh S3 di IPB, kepada Program Hibah
Kompetisi Berbasis Institusi Universitas Jenderal Soedirman (PHKI Unsoed) atas
beasiswa S3 yang diberikan, Kepala Laboratorium Teknik Lingkungan Biosistem
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB atas segala kemudahan dalam
penggunaan alat penelitian sehingga disertasi ini dapat selesai. Kepala Balai
Penelitian Tanaman dan Sayuran (Balitsa) atas segala kemudahan dalam
mendapatkan bibit kentang hasil kultur jaringan, Bapak Soedibyo Karsono, Bapak
Soedarmodjo atas ilmu dan pengalaman di lapangan tentang hidroponik, Bapak
Ahmad, Bapak Darma, Bapak Wana atas segala bantuan dalam pelaksanan
penelitian di greenhouse, Bapak Dr Ir Gardjito (alm), rekan-rekan di Jurusan Teknik
Pertanian Unsoed, rekan-rekan seperjuangan S3 di IPB (Dr Ir Mohammad
Solahudin, MSi, Ir Ahmad Yani, MSi, Dr Ir Dwi Rustam Kendarto, MP, Dr Ir
Lovely Lady, MT, Ir Lady Lengkey, MSi, Bayu Rudiyanto, Kiman Siregar, STP
MSi, Dr Jajang Juansyah, SSi MSi, Dr Siti Nikmatin, SSi MSi), Agus Niam, STP
MSi dan Pandu Gunawan, STP MSi.
Ucapan terima kasih dengan menyampaikan penghargaan yang setinggitingginya, penulis persembahkan untuk suami dan anak penulis, kepada kedua orang
tua atas dukungan semangat, nasihat dan doa. Kepada semua pihak yang telah
banyak membantu, doa yang tulus semoga Allah SWT membalas amal baik yang
telah diberikan dan semoga senantiasa selalu dalam rahmat, karunia dan lindunganNya. Semoga karya ini bermanfaat dan dapat dikembangkan serta diaplikasikan.
Amin.
Bogor, Oktober 2013

Eni Sumarni

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xvi

DAFTAR GAMBAR

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

xviii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Nilai Kebaruan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
5
7
7
10

2 APLIKASI PENDINGINAN ZONA PERAKARAN (ROOT ZONE
COOLING) PADA PRODUKSI BENIH KENTANG MENGGUNAKAN
SISTEM AEROPONIK
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

12
17
19
28

3 DISTRIBUSI SUHU PADA SISTEM AEROPONIK DENGAN
PENDINGINAN DAERAH PERAKARAN (ZONE COOLING) UNTUK
PRODUKSI BENIH KENTANG DATARAN RENDAH TROPIKA
BASAH
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

29
30
45
59

4 PERPINDAHAN PANAS PADA AEROPONIK CHAMBER DENGAN
APLIKASI ZONE COOLING
Pendahuluam
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

60
61
66
68

5 PEMBAHASAN UMUM

69

6 SIMPULAN DAN SARAN

73

DAFTAR PUSTAKA

74

LAMPIRAN

85

RIWAYAT HIDUP

106

DAFTAR TABEL
1.1 Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2009-2012 (Ton)
1.2 Luas panen, produksi dan produktivitas kentang nasional
tahun 2008-2011
2.1 Rata-rata suhu udara dan kelembaban udara di dalam greenhouse
1 sampai 90 HST
2.2 Pengaruh perlakuan pendinginan zona perakaran terhadap
tinggi rata-rata tanaman kentang
2.3 Pengaruh perlakuan pendinginan zona perakaran terhadap rata-rata
jumlah daun tanaman kentang
2.4 Perbandingan respon tanaman pada masing-mamsing perlakuan zone
cooling
2.5 Pengaruh perlakuan pendinginan zona perakaran terhadap rata-rata
jumlah dan bobot umbi
3.1 Sifat fisik material aeroponic chamber
3.2 Daerah perhitungan simulasi CFD
3.3 Input kondisi awal dan kondisi batas
3.4 Konduktivitas panas beberapa jenis bahan
3.5 Perbandingan hasil pengukuran suhu udara di dalam aeroponic
chamber dengan simulasi CFD
4.1 Pindah panas total dan energi listrik dari masing-masing aplikasi zone
cooling

1
3
20
23
24
25
25
38
42
43
51
57
66

DAFTAR GAMBAR
1.1 Kontribusi sentra produksi kentang terhadap total produksi
kentang Indonesia
1.2 Identifikasi permasalahan peningkatan produksi kentang
1.3 Permasalahan dan upaya peningkatan produksi benih kentang
di dataran rendah tropika basah
1.4 Ruang lingkup penelitian
2.1 Morfologi tanaman kentang (Sumber : FAO 2008)
2.2 Fase pertumbuhan tanaman kentang (International of The Potato 2013)
2.3 Sistem aeroponik benih kentang yang dikembangkan di Peru
(Otazu 2010)
2.4 Sistem aeroponik benih kentang dengan zone cooling daerah perakaran
(A), nozzel di dalam box (B), tanaman kentang pada box aeroponik (C)
2.5 Skema set up percobaan sistem aeroponik dengan zone cooling
(ukuran dalam m)
2.6 Radiasi matahari yang diterima lantai di dalam greenhouse selama
pengukuran
2.7 Perubahan suhu udara di dalam aeroponic chamber pada empat
perlakuan percobaan yang dilakukan

2
3
6
11
13
15
17
18
19
21
22

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
2.8 Penampilan tanaman kentang suhu zone cooling 10 °C (A), 15 °C (B),
20 °C (C) dan kontrol (D)
2.9 Penampilan umbi kentang pada saat pertumbuhan pada saat 50 HST
zone cooling 10 °C (A), 15 °C (B), 20 °C (C), dan kontrol (D)
2.10 Umbi kentang dari perlakuan zone cooling 10 °C (A), 15 °C (B),
20 °C (C)
3.1 Sistem aeroponik dengan pendinginan daerah perakaran (A) dan
kontrol (tanpa pendinginan) (B)
3.2 Posisi nozzle di dalam aeroponic chamber (mm)
3.3 Nozzel yang digunakan di dalam penelitian
3.4 Weather station merk Davis tipe 6163 dan Wireless Vantage Pro 2
beserta komputer yang digunakan
3.5 Letak titik pengukuran iklim mikro di dalam aeroponic chamber
tampak depan, ( ) titik pengukuran
3.6 Portable paperless recorder untuk menampilkan suhu yang terukur oleh
termokopel, (A) MV Advance 48 Chanel, (B) MV Advance 24 Chanel
3.7 Geometri aeroponic chamber dan daerah perhitungan CFD
3.8 Tahapan simulasi dengan CFD
3.9 Fasilitas dalam Solid Works untuk melakukan konfigurasi project
3.10 Fasilitas dalam Solid Works untuk penentuan satuan yang digunakan
3.11 Fasilitas di dalam SolidWorks untuk menentukan tipe analisis yang
digunakan pada proses prediksi
3.12 Fasilitas Solid Works untuk memilih jenis fluida yang digunakan
3.13 Bagian Solid Works untuk mendefinisikan kondisi
dinding chamber
3.14 Bagian Solid Works untuk mendefinisikan initial and ambient
conditions
3.15 Bagian Solid Works untuk menentukan resolusi geometri yang akan
diprediksi
3.16 Distribusi suhu udara pada aeroponic chamber tampak depan zone
cooling 10 °C pada iterasi ke 0 (A), iterasi ke 28 (B),
dan iterasi ke 1747 (C)
3.17 Distribusi suhu udara pada aeroponic chamber tampak depan zone
cooling 15 °C pada iterasi ke 0 (A), iterasi ke 28 (B)
3.18 Distribusi suhu udara pada aeroponic chamber tampak depan
zone cooling 15 °C pada iterasi ke 1738
3.19 Distribusi suhu udara pada aeroponic chamber tampak depan
zone cooling 20 °C pada iterasi ke 0
3.20 Distribusi semprotan nutrisi di dalam chamber tampak depan zone
cooling 20 °C pada iterasi ke 36 (A) , iterasi ke 1816 (B)
3.21 Distribusi suhu udara pada aeroponic chamber kontrol tampak depan
iterasi ke 0 (A), iterasi ke 70 (B), dan iterasi ke 1800 (C)
3.22 Distribusi kecepatan di dalam chamber pada suhu 10 °C,
(A) tampak depan, (B) tampak atas
3.23 Distribusi kecepatan di dalam chamber pada suhu 15 °C,
(A) tampak depan, (B) tampak atas

24
26
27
31
31
31
32
33
33
36
37
39
39
40
40
41
41
42`

45
46
47
47
48
49
51
52

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
3.24 Distribusi semprotan nutrisi di dalam chamber pada suhu 20 °C,
(A) tampak depan, (B) tampak atas
3.25 Distribusi kecepatan di dalam chamber pada suhu kontrol,
(A) tampak depan, (B) tampak atas
3.26 Vektor kecepatan dan aliran udara pada zone cooling 10 °C
3.27 Vektor kecepatan dan aliran udara pada zone cooling 15 °C
3.28 Vektor kecepatan dan aliran udara pada zone cooling 20 °C
3.29 Vektor kecepatan dan aliran udara pada aeroponic kontrol
3.30 Hubungan rata-rata suhu udara di dalam aeroponic chamber
hasil pengukuran dan CFD
4.1 Aeroponic chamber tampak atas, depan dan samping yang digunakan
di dalam penelitian
4.2 Proses pindah panas pada aeroponic chamber (A) arah vertikal,
(B) arah horizontal
4.3 Konsumsi energi listrik dari masing-masing suhu zone cooling
tanaman kentang
5.1 Root zone cooling system untuk aeroponik di dataran rendah
(250 m dpl) umur 30 HST

53
54
55
55
56
56
58
61
64
67
70

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Gambar teknik aeroponic chamber
Titik-titik pengukuran pada aeroponic chamber
Sifat fisik udara dan air
Perhitungan beban panas dan energi aplikasi zone cooling

87
88
89
90

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan salah satu pangan utama dunia
setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena 2000). Tanaman Kentang (Solanum
tuberosum L.) memiliki kandungan karbohidrat yang bermanfaat bagi tubuh.
Kandungan karbohidrat pada kentang dapat menjadi subtitusi sumber karbohidrat beras,
jagung dan gandum (FAO 2008; Pitojo 2004). Kentang memiliki kandungan protein, zat
lemak, zat besi, kalium, fosfor, kalori dan karbohidrat, vitamin B, vitamin C dan
vitamin A (Smith 1968). Zat-zat gizi kentang yang terkandung dalam 100 gram bahan
adalah energi sebesar 83.0 kal, protein sebesar 2 gram, lemak 0.1 gram, karbohidrat 19.1
gram, kalsium (Ca) 11.0 mg, fosfor (P) 56 mg, besi (Fe) 0.7 mg, vitamin B1 sebesar
0.09 mg, vitamin B2 sebesar 0.03 mg, vitamin C sebesar 16.0 mg, niasin sebesar 1.40
mg dan serat 0.30 g (Departemen Kesehatan RI 1997).
Tanaman kentang juga menjadi salah satu tanaman penunjang program
diversifikasi pangan (Nurmayulis 2005). Peningkatan permintaan kentang dari tahun ke
tahun dipicu oleh peningkatan industri makanan berbahan baku kentang dan adanya
perubahan pola menu makanan masyarakat yang cenderung mengkonsumsi kentang
sebagai makanan pokok (Wattimena 2000). Hasil analisis menunjukkan bahwa
komoditas kentang memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif (Dewi
2002; Novianto 2012). Keunggulan komparatif adalah suatu ukuran relatif yang
menunjukkan potensi keunggulan komoditas tersebut dalam perdagangan di pasar bebas
(bersaing sempurna). Konsep keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur
kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang
berlaku atau berdasarkan analisis finansial.
Kentang menjadi salah satu komoditas unggulan berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian Nomor: 81/Kpts/SR.120/3/2005 (Varietas Granola). Produksi rata-rata
komoditi kentang relatif besar dibandingkan dengan sayuran lain, seperti bawang merah
dan cabe rawit. Hal ini ditunjukkan dengan data produksi kentang Indonesia pada tahun
2009-2012 (Tabel 1.1) (BPS dan Direktorat Jenderal Hortikultura 2013). Produksi
kentang dari Tabel 1.1 dapat diketahui bahwa tiap tahunnya masih berfluktuatif.
Produksi kentang tahun 2009 sebesar 1 176 304 ton.
Tabel 1.1 Produksi sayuran di Indonesia Tahun 2009-2012 (Ton)
Tahun

Kentang

Kubis

2009
2010
2011
2012*)

1 176 304
1 060 805
955 488
1 068 800

1 358 113
1 385 044
1 363 741
1 487 532

Sumber : BPS dan Direktorat Jenderal Hortikultura 2013
*)
Angka sementara

Bawang
Merah
965 164
1 048 934
893 124
960 072

Cabe Rawit
591 294
521 704
594 227
697 274

2

Produksi kentang mengalami penurunan pada tahun 2010 hingga tahun 2011.
Penurunan produksi kentang tahun 2011 sebesar 18.77% dibandingkan tahun 2009.
Namun produksi kentang di Indonesia pada tahun 2012 meningkat menjadi 1 068 800
ton. Menurut data FAO (2007) rata-rata produksi tanaman kentang di Australia
mencapai 35.9 ton per hektar, sedangkan produksi kentang di Indonesia lebih rendah
yaitu 16.9 ton per hektar.
Sentra produksi kentang di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa
Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Utara. Sentra produksi kentang Jawa Barat
memberikan kontribusi 24.51% dari total produksi kentang Indonesia, Jawa Tengah
sebesar 23.63%, Jawa Timur sebesar 15.14%, Sumatera Utara sebesar 12.07% dan
Sulawesi Utara sebesar 8.54% (Gambar 1.1) (BPS dan Direktorat Jenderal Hortikultura
2013).

Gambar 1.1 Kontribusi sentra produksi kentang terhadap total produksi
kentang Indonesia
Luas panen, produksi dan produktivitas kentang nasional dari tahun 2008-2011
cenderung mengalami penurunan (Tabel 1.2). Luas penanaman kentang di Jawa Barat
menurun sebesar 16.42%, di Jawa Tengah sebesar 5.22%, di Jawa Timur sebesar
23.34%, di Sumatera Utara sebesar 9.38%, dan di Sulawesi Utara sebesar 7.60% (BPS
dan Direktorat Jenderal Hortikultura 2013). Luas panen kentang pada tahun 2008
sebesar 64 151 ha, tahun 2009 sebesar 71 238 ha dan terus menurun sampai tahun 2011
menjadi 59 882 ha. Penurunan luas panen kentang dari tahun 2008-2011 memberikan
kontribusi terhadap penurunan produktivitas kentang. Penurunan produktivitas kentang
yang terjadi dapat disebabkan karena beberapa hal, seperti adanya ketidakefisienan
dalam penggunaan faktor produksi, kondisi lahan yang semakin rusak, penggunaan
pestisida dan obat-obatan yang berlebihan, serta rendahnya kualitas benih yang
digunakan. Produksi kentang belum dapat menjamin pemenuhan permintaan kentang di
Indonesia, sehingga Indonesia masih melakukan impor kentang. Volume impor
komoditi kentang tahun 2012 sebesar 100 217 ton dengan nilai mencapai 81 786 981
US$ (Direktorat Jenderal Hortikultura 2012).

3

Tabel 1.2 Luas panen, produksi dan produktivitas kentang nasional
tahun 2008-2011
Tahun
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas
(ton/ha)
2008
64 151
1 071 543
16.70
2009
71 238
1 176 304
16.51
2010
66 508
1 060 579
15.95
2011
59 882
955 488
15.96
Sumber : BPS (2012)
Permasalahan utama peningkatan produksi kentang di Indonesia yaitu masalah
pembibitan. Usaha penyediaan benih benih kentang perlu dilandasi sistem perbenihan
yang mapan, yaitu bagaimana mendapatkan bibit kentang bermutu dalam jumlah cukup,
tepat waktu dan tepat kultivar (Wattimena 2000). Penurunanan produksi kentang
disebabkan antara lain: (1) rendahnya kualitas dan kuantitas benih kentang, (2) faktor
topografi, dimana daerah dengan ketinggian tempat dan suhu yang sesuai untuk
pertanaman kentang di Indonesia sangat terbatas, (3) daerah tropis Indonesia merupakan
tempat yang optimum untuk hama dan penyakit tanaman kentang (Kuntjoro 2000).
Rendahnya produktivitas kentang di Indonesia disebabkan juga dari penggunaan benih
secara terus menerus dari generasi sebelumnya oleh petani, serta adanya serangan hama
dan penyakit. Selain itu lahan pertanian yang semakin tidak subur dan penggunaan
pestisida yang berlebihan menyebabkan pencemaran tanah. Penurunan (degenerasi)
produksi yang terjadi pada setiap generasi benih kentang yang diperbanyak/ditanam
secara terus menerus disebabkan oleh infestasi penyakit yang terakumulasi pada setiap
generasi dan terus terbawa pada regenerasi benih. Penyakit yang timbul dalam
degenerasi produksi ini adalah virus. Semakin panjang generasi benih maka semakin
besar tingkat infestasi virus pada generasi benih tersebut, sehingga produksinya semakin
rendah. Oleh karena itu benih yang sehat memiliki potensi produksi yang baik.
Identifikasi permasalahan peningkatan produksi benih kentang disajikan pada Gambar
1.2.
PRODUKTIVITAS
RENDAH

KENTANG

PRODUKSI
RENDAH

BUDIDAYA
KONVENSIONAL

PROD. BENIH
rendah; sering
terjadi infeksi

penyakit benih
KEBUTUHAN
TINGGI
HAMA
PENYAKIT

Gambar 1.2 Identifikasi permasalahan peningkatan produksi kentang

4

Prediksi kebutuhan kentang di dalam negeri sekitar 8.9 juta ton/tahun. Selama
ini produksi kentang nasional masih ± 1.1 juta ton/tahun. Potensi ini masih perlu
dikembangkan, karena lahan di Indonesia masih sangat luas (Wattimena 2006). Selama
ini benih diperoleh dari hasil yang turun temurun, ketersediaan benih kentang bermutu
di Indonesia hanya mencapai 7.4 % jauh dari kebutuhan 140.000 ton per tahun
(Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi 2007). Rendahnya ketersediaan benih
menyebabkan mahalnya harga benih (Rp. 20.000/kg benih dengan kebutuhan 1.5 ton/ha
atau Rp. 30jt/ha atau 60 % dari biaya produksi) (Baharudin et al. 2012).
Benih kentang impor juga terbatas dan mahal (Armini et al. 1992). Volume
impor benih kentang dari tahun 2011-2012 terus meningkat. Impor bibit kentang tahun
2011 mencapai 2 382 000 kg (3 575 000 US$), dan pada tahun 2012 meningkat menjadi
2 574 000 kg (3 346 200 US$). Volume impor kentang lebih tinggi dibandingkan
dengan ekspornya yang hanya sebesar 50 000 kg pada tahun 2011 (Dirjen Hortikultura
2013). Oleh karena itu penanaman benih bermutu merupakan salah satu penentu
keberhasilan produksi kentang (Wattimena 2000).
Perbanyakan benih kentang bebas penyakit telah dilakukan di Jawa Barat sejak
tahun 1991 melalui program kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dan
Jepang melalui Japan Internasional Corporation Agency (JICA). Kerjasama ini telah
menghasilkan: standar minimum virus dan sistem perbanyakan benih secara bertahap
mulai dari plantlet/hasil kultur jaringan, G-0, G-1, G-2, G-3, dan G-4. Penangkaran
benih kentang dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, badan hukum, lembaga
swasta maupun pemerintah yang telah memenuhi persyaratan, antara lain mempunyai
pengetahuan dan kemampuan dalam perbenihan, mempunyai benih sumber yang jelas
kualitasnya serta memiliki atau menguasai lahan dan gudang yang memenuhi
persyaratan untuk sertifikasi (Wattimena 2000).
Di Indonesia kentang pada umumnya dibudidayakan di dataran tinggi, hal ini
menjadi permasalahan dalam menjaga kelestarian alam. Pengusahaan kentang di dataran
tinggi terus-menerus dapat merusak lingkungan, terutama penurunan produktivitas tanah
(Baharudin 2005). Hasil penelitian pada beberapa sentra produksi kentang di dataran
tinggi menunjukkan bahwa penanaman kentang belum memperhatikan konservasi
lahan, sehingga meningkatkan laju erosi dan kehilangan hara pada tanaman kentang
(Henny et al. 2011). Dampak dari kegiatan tersebut adalah penurunan produksi kentang.
Kekurangan benih bermutu di negara berkembang, seperti Indonesia umumnya karena
kelemahan dalam hal penyediaan varietas unggul, teknologi dan produksi benih. Pada
umumnya petani menggunakan benih yang dihasilkan sendiri karena benih komersial
tidak tersedia atau bukan varietas yang tepat sesuai kebutuhan (Sayaka dan Hestina
2011).
Hasil analisis finansial usaha penangkaran benih kentang cukup menguntungkan
dengan nilai R/C Ratio sebesar 2.38, sedangkan hasil yang diperoleh dari petani
penangkar nilai R/C Ratio sebesar 2.08 (Tedy et al. 2011). Oleh karena itu ekspansi
penanaman kentang ke dataran rendah merupakan salah satu alternatif yang perlu
diupayakan untuk membantu peningkatan produksi benih kentang (Subhan dan Asandhi
1998). Kendala budidaya kentang di dataran rendah adalah suhu yang tinggi, sehingga
tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman kentang. Hal tersebut dapat diupayakan
dengan sistem aeroponik dan aplikasi pendinginan terbatas (zone cooling) daerah
perakaran.

5

Konsep pendinginan terbatas (zone cooling) adalah mendinginkan zona terbatas
daerah pertumbuhan tanaman (akar tanaman), metode pendinginan ini tidak ditujukan
untuk mendinginkan seluruh volume udara di dalam rumah tanaman (Suhardiyanto
2009). Teknologi aeroponik pada produksi benih kentang merupakan terobosan
peningkatan benih dari hasil kultur jaringan. Aeroponik memiliki kelebihan jika
dibandingkan dengan sistem konvensional (media tanah). Teknologi tersebut dapat
meningkatkan kualitas benih kentang yang menggunakan bibit dari hasil kultur jaringan
(plantlet) sehingga benih kentang yang dihasilkan baik dan sehat (Gunawan 2009). Di
Indonesia teknologi aeroponik sudah mulai dikembangkan. Penelitian lebih lanjut dan
pengembangan dari teknologi aeroponik ini masih diperlukan (Gunawan dan Afrizal
2009). Teknologi aeroponik dapat menghasilkan umbi kentang yang tinggi
dibandingkan media tanah dan pupuk kandang (Baharudin 2005). Keuntungan sistem
produksi benih dengan sistem aeroponik untuk luasan 100 m2 diperoleh keuntungan
mencapai 33%/m2, dan dengan modifikasi instalasi menggunakan bahan yang lebih
sederhana diperoleh keuntungan mencapai 67%/m2 (Gunawan dan Afrizal 2009).
Produksi benih kentang untuk komersial di negara subtropik dengan sistem aeroponik
telah dikembangkan. Produksi umbi dari sistem tersebut mencapai 100 umbi/tanaman
(Otazu 2010).
Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi desain sistem zone
cooling. Faktor iklim tersebut diantaranya adalah suhu udara. Bagaimana pengaruh suhu
udara terhadap sistem zone cooling perlu diteliti untuk mendapatkan kondisi lingkungan
di dalam aeroponic chamber yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
kentang. Salah satu metode untuk mensimulasikan pola aliran udara, suhu dan tekanan
dalam suatu ruang adalah dengan analisis CFD (Computational Fluid Dynamics). CFD
adalah suatu analisis sistem yang meliputi aliran fluida, pindah panas dan fenomena
lainnya seperti reaksi kimia yang menggunakan simulasi berbasis Komputer (Versteeg
dan Malalasekera 1995). Computational Fluid Dynamic (CFD) mencakup berbagai
disiplin ilmu termasuk matematika, ilmu komputer, fisika dan teknik. Analisis
menggunakan CFD memungkinkan dapat diperolehnya informasi secara detail pola
dinamika fluida. CFD telah banyak digunakan untuk menganalisis iklim mikro rumah
tanaman (Bartzanas et al. 2002) dan tanaman (Dupont et al. 2006). Dari hal-hal tersebut
penelitian ini perlu dilakukan dalam rangka memperoleh teknologi peningkatan
produksi benih kentang secara aeroponik dengan penanaman secara zone cooling di
dataran rendah tropika. Permasalahan dan upaya peningkatan produksi benih kentang di
dataran rendah tropika basah disajikan pada Gambar 1.3

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengembangkan teknologi
peningkatan produksi benih kentang secara aeroponik dengan penanaman secara zone
cooling di dataran rendah tropika basah. Tujuan tersebut dilakukan dalam beberapa
tahap penelitian yang memiliki tujuan khusus sebagai berikut:
1. Mengaplikasikan zone cooling yang sesuai pada sistem aeroponik untuk produksi
benih kentang di dataran rendah tropika basah.

6

2. Memprediksi sebaran suhu di aeroponic chamber pada sistem aeroponik dengan
aplikasi zone cooling.
3. Menghitung beban panas pada masing-masing aeroponic chamber dengan aplikasi
zone cooling.

TERBATAS

DATARAN
TINGGI

UPAYA
PENINGKATAN
PRODUKSI
BENIH KENTANG

Kajian
penelitian

EROSI,
KERUSAKAN
POLA TANAM

EKSTENSIFIKASI

DATARAN
RENDAH

KELESTARIAN

SUHU
TINGGI

Root zone
Cooling

MODIFIKASI
IKLIM MIKRO

AEROPONIK

TEKNOLOGI PRODUKSI
BENIH KENTANG
DATARAN RENDAH
TROPIKA BASAH

Gambar 1.3 Permasalahan dan upaya peningkatan produksi benih di dataran rendah
tropika basah

7

Manfaat Penelitian

Kajian pengembangan zone cooling system untuk produksi benih kentang
secara aeroponik di dataran rendah tropika basah diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut:
1. Negara beriklim tropika basah seperti Indonesia memiliki iklim yang berbeda
dengan negara beriklim subtropika. Indonesia merupakan salah satu Negara
tropika basah dengan radiasi matahari dan curah hujan yang tinggi sepanjang
tahun. Penelitian ini dapat membantu petani mengatasi pengaruh cuaca yang
kurang menguntungkan, serta hama dan penyakit pada produksi benih kentang.
2. Sistem aeroponik di dalam greenhouse dengan aplikasi zone cooling ini dapat
diarahkan menjadi pertanian masa depan (modern) dengan mengurangi
pestisida ataupun insektisida bagi tanaman, sehingga diperoleh bibit kentang
dengan hasil dan kualitas yang lebih baik, sehat, serta dapat berproduksi secara
kontinyu.
3. Pengembangan dataran rendah untuk produksi benih kentang, sebagai upaya
menjaga kelestarian alam dan mengurangi erosi lahan pada dataran tinggi.
Selanjutnya dapat diterapkan aplikasi-aplikasi di bidang teknologi kontrol
otomatik, komputer dan lain sebagainya untuk pengendalian proses
metabolisme tanaman sehingga tercipta industri tanaman (plant factory).

Nilai Kebaruan Penelitian

Pengembangan zone cooling system untuk produksi benih kentang secara
aeroponik di dataran rendah tropika basah perlu untuk dieksplorasi dalam riset
doktoral ini, dapat dijelaskan melalui penelusuran ilmiah yang sudah dilakukan
sebagai berikut :
Aeroponik pertama kali digunakan untuk produksi sayuran. Teknik
aeroponik untuk produksi benih kentang adalah relatif baru. Aeroponik memiliki
potensi untuk peningkatan produksi benih kentang dan mengurangi biaya
dibandingkan metode konvensional atau metode hidroponik. Aeroponik efektif
memanfaatkan ruang dalam greenhouse dan kelembaban untuk mengoptimalkan
perkembangan akar, umbi-umbian, dan dedaunan. Produksi komersial benih
kentang menggunakan aeroponik telah dikembangkan di Korea dan Cina. Di
Amerika Selatan, teknologi ini telah digunakan dengan sukses sejak tahun 2006
(Otazu 2010). Sistem aeroponik di International Potato Center (CIP) Peru,
menghasilkan lebih dari 100 umbi mini per tanaman dengan menggunakan bahan
instalasi yang sederhana. Produksi umbi kentang dengan aeroponik mencapai
1340 umbi dari 100 tanaman/m2 (Farran et al. 2008).
Upaya pendinginan daerah perakaran dengan penggunaan mulsa telah
digunakan untuk mendapatkan pengaruh pendinginan akar pada kandungan
hormon, konduktansi dan konduktivitas hidrolik daun pada tanaman gandum
(Vesselova et al. 2004), pada tanaman lecy (Ohare 2004), pendinginan akar pada
tanaman Prunus (Malcolm et al. 2008), pendinginan akar untuk pengendalian N

8

pada tanaman tomat (Ren et al. 2010), pendinginan akar melalui pemberian air
dengan drip irigasi pada tanaman anggur (Du et al. 2008), pengaruh suhu akar
terhadap pembibitan kacang (Vicia faba L. minor) (Filek dan Koscielnikab 1997),
pendinginan suhu daerah perakaran tanaman tomat yang dibudidayakan secara
hidroponik sistem Nutrient Film Technique (NFT) (Matsuoka et al. 1992),
pendinginan dengan mengalirkan suhu udara dingin melalui pipa distribusi ke
zona tanaman bayam dengan spot cooler (Suhardiyanto dan Matsuoka 1992).
Kentang merupakan tanaman dataran tinggi dengan suhu rendah (dingin).
Oleh karena itu permasalahan yang muncul bila ditanam di dataran rendah sampai
medium adalah suhu udara yang panas. Suhu udara yang panas mempengaruhi
suhu media tanam dan selanjutnya menghambat peningkatan produksi.
Beberapa kajian budidaya kentang di dataran medium adalah sebagai
berikut :
1. Studi karakteristik biologi/agronomi tanaman kentang dalam sistem
tumpangsari kentang dan jagung dengan berbagai waktu tanam di dataran
medium (Syarif 2005).
2. Efek Mulsa terhadap penampilan fenotipik dan parameter genetik pada 13
Genotip Kentang di Lahan Sawah Dataran Medium Jatinangor
(Ruchjaniningsih 2006).
3. Modifikasi iklim mikro tanaman kentang pada penanaman di dataran rendah
(ketinggian 400 m dpl di daerah Bogor) dan dataran tinggi pacet (ketinggian
1100 m dpl) (Sutater 1986). Hasil modifikasi iklim mikro pada penanaman
kentang di dataran rendah menunjukkan terdapat kolinieritas antara cuaca dan
hasil tanaman, keragaman cuaca sebagian besar disebabkan oleh radiasi
matahari dengan proporsi lebih dari 48 persen.
4. Pengujian sifat tumbuh dan hasil biji botanis dari beberapa nomor pemuliaan
kentang di dataran rendah dan dataran tinggi. Dari kajian tersebut diperoleh
hasil bahwa kultivar Granola yang ditanam di dataran rendah tidak
menghasilkan umbi (Dermawan 1985).
Zone cooling di daerah tropika basah seperti di Indonesia belum banyak
menjadi bahan kajian dalam pengendalian suhu tanaman. Beberapa kajian tentang
zone cooling di daerah tropika basah, yaitu pendinginan larutan nutrisi sebelum
dialirkan ke daerah perakaran tanaman (Suhardiyanto et al. 2007) dan
pendinginan larutan nutrisi pada selada sistem NFT ( Chadirin 1991; Randiniaty
2007).
Dari penelurusan pustaka hasil penelitian diatas maka dapat disampaikan
bahwa kajian Pengembangan Zone Cooling System untuk Produksi Benih Kentang
secara Aeroponik di Dataran Rendah Tropika Basah mengandung unsur kebaruan
(novelty), hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kajian ini dilakukan di daerah tropika basah yang mempunyai iklim berbeda
dengan negara subtropika dimana awal berkembang teknik budidaya
hidroponik, aeroponik dan penggunaan zone cooling. Kondisi lingkungan
pertumbuhan di dalam rumah tanaman daerah subtropika dengan di daerah
tropika basahpun berbeda. Penggunaan evaporative cooling yang efektif untuk
iklim panas dan kering tidak efektif untuk iklim lembab panas, karena sistem
pendinginan ini mengandalkan perbedaan suhu bola kering dan bola basah,
sementara kondisi di daerah tropika basah perbedaan bola basah dan bola
kering sangat kecil. Pendinginan udara melalui peningkatan kelembaban udara

9

sampai mendekati jenuh sekalipun hanya menurunkan suhu sangat kecil
(Suhardiyanto 2009). Pendinginan evaporative cooling kurang efektif
diterapkan di daerah tropika basah. Zone cooling dipilih sebagai alternatif
untuk menjaga suhu pada perakaran tanaman kentang.
2. Berdasarkan penelusuran ilmiah diperoleh informasi bahwa zone cooling lebih
banyak diaplikasikan untuk pengendalian lingkungan tanaman pada sayuran
daun dan buah (hasil tanaman berada di atas media tanam), sedangkan
bagaimana pengaruh pengendalian zone cooling pada sayuran umbi (hasil
tanaman berada di dalam media tanam) di daerah tropika basah belum
diperoleh informasi.
3. Penggunaan zone cooling lebih banyak diterapkan pada sistem budidaya
hidroponik model NFT (Nutrient Film Technique) untuk sayuran daun ataupun
buah (tomat), dimana akar tanaman terendam dalam larutan nutrisi dengan
ketebalan tipis yang mengalir. Pada sistem NFT kondisi akar sudah berada
dilingkungan yang terus menerus dapat dipertahankan dingin (di dalam air)
dari lingkungan sekitar (mendinginkan air lebih cepat dibandingkan
mendinginkan udara). Penelitian ini adalah penggunaan zone cooling pada
sistem aeroponik (dimana akar menggantung di udara), ketika tidak ada
penyiraman nutrisi secara zone cooling maka kondisi akar ini akan mudah
terpengaruh dengan kondisi luar yang panas.
4. Publikasi zone cooling pada sistem aeroponik untuk produksi benih kentang di
dataran rendah tropika basah juga belum diperoleh dari penelusuran pustaka di
atas. Varietas kentang yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang sesuai
ditanam untuk daerah tropika basah, sehingga ada perbedaan genetik antara
yang digunakan dengan di daerah subtropika.
Dari uraian tersebut di atas maka dapat disampaikan bahwa penelitian
disertasi Pengembangan Zone Cooling System untuk Produksi Benih Kentang
secara Aeroponik di Dataran Rendah Tropika Basah merupakan novelty
(kebaruan). Dari penelitian ini diharapkan diperoleh suhu pendinginan daerah
perakaran yang sesuai untuk teknik budidaya aeroponik di dataran rendah
beriklim tropika basah, sehingga dapat menjadi bahan informasi untuk solusi
peningkatan produksi kentang di Indonesia, dimana luas dataran tinggi sebagai
sentra produksi kentang semakin menurun.
Kebaruan ini tertuang dalam eksperimen, hasil dan pembahasan. Paper
tentang aplikasi pendinginan zona perakaran (root zone cooling) pada produksi
benih kentang menggunakan sistem aeroponik telah di-accepted di Jurnal
Agronomi Indonesia terakreditasi A dengan SK Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional No 56/DIKTI/Kep/2012. Paper tersebut
akan diterbitkan pada Vol. XLI, No. 2, Agustus tahun 2013. Publikasi
internasional dengan judul temperature distribution in aeroponics system with
root zone cooling for the production of potato seed in tropical lowland telah diaccepted di International Journal of Scientific & Engineering Research (IJSER),
Volume 4, Isue 6: 779-884.

10

Ruang Lingkup Penelitian

Percobaan penananaman benih kentang secara aeroponik dengan zone
cooling dilakukan di dalam greenhouse. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap.
Tahap pertama mempersiapkan sistem aeroponik dengan zone cooling, kemudian
melakukan penanaman benih kentang. Data Pertumbuhan dan hasil yang meliputi
tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah umbi dan ukuran umbi digunakan untuk
analisis aplikasi sistem aeroponik dengan zone cooling pada produksi benih
kentang di dataran rendah beriklim tropika basah terhadap pertumbuhan dan hasil
umbi kentang. Pengendalian suhu tidak diberikan pada bagian luar aeroponic
chamber (mengikuti suhu udara di dalam greenhouse) melainkan hanya di dalam
aeroponic chamber.
Data iklim mikro di dalam dan di luar greenhouse dicatat selama
penelitian berlangsung. Suhu udara di dalam dan di luar aeroponic chamber di
rekam selama penelitian berlangsung. Data pengukuran suhu udara di aeroponic
chamber digunakan untuk validasi suhu udara hasil prediksi menggunakan CFD
(Computational Fluid Dynamic). Tahap ke dua dilakukan prediksi distribusi suhu
udara di dalam aeroponic chamber menggunakan software CFD. Simulasi CFD
ini dibatasi pada aeroponic chamber dengan asumsi tidak ada pengaruh radiasi
permukaan atau pola aliran udara akibat adanya bangunan disekitar chamber dan
peralatan lainya di dalam greenhouse. Geometri yang disimulasikan diasumsikan
sebagai geometri tunggal tanpa adanya geometri lain yang dapat mempengaruhi
variabel fisik aeroponic chamber. Tahap ke tiga dilakukan perhitungan beban
panas dan energi dari masing-masing sistem aeroponik dengan aplikasi suhu zone
cooling pada produksi benih kentang di dataran rendah beriklim tropika basah.
Oleh karena itu di dalam disertasi ini, sistematika penulisan dibagi dalam
beberapa sub judul. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan keterkaitan
antara bagian satu dengan bagian lainnya. Bab 1 memberikan pendahuluan, latar
belakang penelitian ini dan menjelaskan tujuan, manfaat, kebaharuan (novelty)
serta ruang lingkup penelitian. Bab 2 menjelaskan aplikasi pendinginan zona
perakaran (root zone cooling) pada produksi benih kentang menggunakan sistem
aeroponik. Bab 3 Distribusi suhu pada sistem aeroponik dengan pendinginan
daerah perakaran (zone cooling) untuk produksi benih kentang ditaran rendah.
Bab 4 Menghitung beban panas pada sistem aeroponik dengan zone cooling dan
tanpa pendinginan (kontrol). Bab 5 memberikan penjelasan umum, simpulan
saran dan daftar pustaka. Kegiatan penelitian dalam disertasi ini dirangkum dalam
alur penelitian yang disajikan pada Gambar 1.4.

11

PRODUKSI BENIH KENTANG DATARAN
RENDAH

STRESS SUHU
TINGGI

GREENHOUSE +AEROPONIK +
ZONE COOLING

PERTUMBUHAN
TANAMAN DAN
PRODUKSI UMBI

DISTRIBUSI SUHU
DI AEROPONIK
CHAMBER

BEBAN PANAS
DAN ENERGI
AEROPONIK
CHAMBER

TEKNOLOGI
PRODUKSI
BIBIT
KENTANG
DATARAN
RENDAH

Gambar 1.4 Ruang lingkup penelitian

12

2 APLIKASI PENDINGINAN ZONA PERAKARAN (ROOT ZONE
COOLING) PADA PRODUKSI BENIH KENTANG
MENGGUNAKAN SISTEM AEROPONIK

Pendahulu