MEMAHAMI HAKIKAT TAUHID

Memahami Hakikat Tauhid
SUBHĀNALLĀHI ‘AMMĀ YUSYRIKÛN. Inilah ‘bagian akhir dari

QS Ath-Thûr/52: 43 dan QS Al-Hasyr/59: 23. Dua ayat itu
‘menegaskan’, bahwa Allah tak memiliki sekutu dan tak pantas
disekutukan dengan apa dan siapa pun. Segala pemikiran, sikap dan
perilaku yang mengindikasikan ‘penyekutuan’ terhadap Allah adalah
‘syirik’, dan ketika penyukutuan itu sudah menjadi sebuah ‘keyakinan’,
maka ‘keyakinan’ tiu pun mengakibatkan siapa pun layak disebut
‘musyrik’.

Akhir-akhir ini, di negeri kita tercinta – Indonesia – sangat
marak munculnya gejala pemikiran, sikap dan perilaku yang
terindikasikan sebagai ‘penyekutuan’ terhadap Allah, yang saya ingat
betul, menurut Bang ‘Imad (Dr. ‘Imaduddin ‘Abdurrahim) sangat layak
disebut sebagai ‘fenomena kemusyrikan’. Munculnya beragama aliran
‘antiarus utama’ yang disebut orang dengan sebutan ‘sesat’ dan –
bahkan – ‘menyesatkan’ dewasa ini, hendaknya menjadikan diri kita
‘waspada’ untuk senantiasa membentengi diri dengan pemahaman
akidah tauhid yang benar. Karena, bukan tidak mungkin, aliran-aliran
seperti ini akan menjebak diri kita dalam ‘jebakan syirik’ yang

berkelanjutan. Karena, menurut para ulama, inti tauhid tidak terlepas
dari dua dimensi keimanan: “meyakini bahwa tiada tuhan yang layak
disembah (ilâh) selain Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ dan mengikrarkan
diri – dengan keyakinan utuh -- bahwa Nabi Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya. Konsep tauhid
uluhiyyah selalu berujung pada pemahamam dan keyakinan seperti itu.
Keyakinan terhadap keesaan Allah – dalam konteks tauhid
uluhiyyah -- sesungguhnya bukan sekadar mengakui bahwa Allah
sebagai pencipta langit, bumi, dan seisinya. Ini adalah konsep ‘tauhid
rububiyyah’. Tauhid dalam pengertian ini, sesungguhnya diakui pula
oleh kaum – kafir dan musyrik -- jahiliyah. Hal ini tersebut – misalnya - dalam firman-Nya,

ََ
َ َ ‫َ َهَ َ ه‬
َ َ َ ََ َ ‫َ هَه‬
‫ه‬
َ
َ
َ
َ

َ
‫ضنوسئئر ننا ّئئ نن‬
‫اتنواْر ن‬
‫ولئئ ِ ننسئئَْم نّئئ ننخلئئ ننا ّئئ ناو ِ ن‬
َ َ ‫َ هَ َ َ ََ َ َ ََ َى ه‬
‫وال ننَ ول نن ن‬
‫اّ ۖ فأّننيؤفك ن‬
‫ون‬
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, 'Siapakah yang
menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?'
Tentu mereka akan menjawab, 'Allah.' Maka, betapakah mereka (dapat)
dipalingkan (dari jalan yang benar).” (QS Al-‘Ankabût [29]: 61).
Pengakuan terhadap keesaan Allah, dalam konteks tauhid
uluhiyyah, di samping mengharuskan setiap muslim untuk menjadikan
Al-Quran sebagai pedoman hidup, juga mengharuskan adanya
ketulusan (baca: keikhlasan) bagi setiap muslim untuk dibimbing oleh

‘sunnah’
Risalah’.


Rasulullah

shallallâhu

‘alaihi

wa

sallam,

‘Sang

Pembawa

Untuk memahami pernyataan di atas, simaklah – misalnya -firman Allah berikut ini,

‫ََ ه‬
ََ َ ّ َ َ
‫َ َه‬
َ

َ
‫لنا ِ ي ئ ننحنفئئا ننوي ِ ي ئئوان‬
‫اّنُ ِل ِص ئ نن ن‬
‫َو َّئئانأ ِ ئ وان ِإ ن‬
‫ّن َِعبئئووان ن‬
َ‫ىنذ َنندي نناله َ يّ نة‬฀َ ‫ا َص ََ َنةن َوي هؤتوانا َّ ََ َنة ۚ َو‬
ِ ِ
ِ ِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya guna (menjalankan) agama
yang lurus, supaya mendirikan shalat dan menunaikan zakat; yang
demikian itulah agama lurus.” (QS Al-Bayyinah [98]: 5).

Menurut pendapat Syekh Shalih bin Fauzan -- Anggota Dewan
Istimewa di Al- Lajnah Ad-Dâimah Lil Buhûts Wal Iftâ’ dan Hai’ah
Kibaril ‘Ulamâ’, Saudi Arabia, sejak 15 Rajab 1412 H.-- konsekuensi
pengakuan terhadap Nabi Muhammad sebagai utusan Allah Subhânahu
Wa Ta’âlâ yaitu dengan menaatinya, membenarkannya, meninggalkan
apa yang dilarangnya, mencukupkan diri dengan mengamalkan
bid'ah

(kebalikan
sunah),
dan
sunnahnya,
meninggalkan
mendahulukan sabdanya daripada seluruh pendapat manusia.
Mengesampingkan peran Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam pada saat memahami risalah Islam dalam kitab suci Al-Quran
merupakan ketimpangan mendasar yang tidak bisa ditoleransi. Terlebih
banyak ayat Al-Quran membutuhkan rincian dan pembatasan baik
menyangkut lafazh dan kandungan maknanya. Inilah salah satu misi
penting Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam diutus ke bumi,

َ َ ّ َ َ ‫ََ َ هَ َه َ ّ ه‬
‫ئّ َ ننإ ََهم ئ هنن َولَ َعلَم ئ ننه‬
ّ ‫لنئئا ِ نن َّئئاننئ‬
ِ ‫ وأنّْئئان ِإَ ئ ننا ِ ك ئ نن َِب ئ ِ نن‬...
ِ ِ ِ
َ َ َََ
‫يتفك ن‬

‫ون‬
“... Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran agar engkau jelaskan
kepada manusia apa yang turun kepada mereka.” (QS An-Nahl [16]:
44).
Para ulama -- salafus shâlih -- telah menggariskan ketegasan
benderang, “Sesungguhnya firman paling benar adalah Kitâbullâh, dan
petunjuk terbaik petunjuk Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Perkara paling jelek ialah yang diada-adakan, semua yang diadaadakan adalah bid'ah, semua bid'ah sesat, dan semua yang sesat itu di
neraka.” Pernyataan ini sangat penting dalam rangka untuk menjadi

sikap tauhid uluhiyyah kita, terlepas dari pro-kontra atas pemahaman
orang terhadap konsep bid’ah, yang hingga kini tak berujung-pangkal.

Ketegasan di atas bukan sekadar sebuah ‘penyederhanaan’,
melainkan betapa kita (umat Islam) seharusnya sadar bahwa konsep
‘akidah Islam’ tidak mengenal relativitas kebenaran, karena telah
dibatasi penjelasan otoritatif (dari) Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam. Dan, tanpa batasan itu, maka ‘kebenaran’ hanya akan menjadi
sesuatu yang bernilai gamang (abu-abu) tanpa akhir.
Nah, sekali lagi saya tegaskan: “Bila kita telah bersyahadat

dengan benar, maka tidak ada lagi kata yang terucap selain kalimat
sami’nâ wa atha’nâ.” Buktikan bahwa kita adalah ‘muslim yang kâffah’,
yang senantisa bersedia menjaga ketauhidan kita, dengan satu-satunya
cara: “hanya berilâh kepada Allah saja, di mana pun, kapan pun dan
dalam urusan apa pun, termasuk di dalam urusan politik, yang hingga
saat ini masih banyak dipersoalkan, karena ketidak jujuran kita.
Semoga kita Allah senantiasa berkenan memberikan hidayah dan
taufiq-Nya kepada diri kita, sehingga kita – umat Islam -- tetap bersedia
untuk bersikap teguh dalam keimanan yang lurus, sampai diri kita
menghadap ke hadirat Allah .
Āmîn Yâ Rabbal ‘Ālamîn.
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Yusuf
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia
islam/hikmah/16/07/26/oaxdw0394-hakikat-tauhid,
November 2007)

Burhanudin,

dalam


Jumat, 16