SIKAP ATTITUDE PARAMEDIK TERHADAP BIOSEKURITI

97 NO PERNYATAAN BENAR SALAH TIDAK TAHU 19. Composting merupakan suatu metode pengelolaan limbah peternakan yang aman, mengurangi bau tidak sedap dan mencegah polusi air. 20. Pergerakan hewan perlu dibatasi di area IKH agar meminimalkan risiko penyebaran penyakit.

D. SIKAP ATTITUDE PARAMEDIK TERHADAP BIOSEKURITI

Untuk mengetahui sikap anda mengenai biosekuriti IKH, anda dimohon untuk membaca pernyataan-pernyataan berikut secara hati-hati . Setelah membaca pernyataan, anda dapat memberikan tanggapan yang paling sesuai menurut pendapat anda pada kolom yang tersedia disebelah kanan setiap pernyataan. Cara penilaian dilakukan dengan memberikan tanda silang X pada kolom “SETUJU”, “RAGU-RAGU” atau “TIDAK SETUJU”. NO PERNYATAAN SETUJU RAGU- RAGU TDK STJ 1. Menurut pendapat saya, biosekuriti adalah tindakan untuk mencegah tertularnya penyakit diantara hewan yang merupakan bagian dari manajemen suatu peternakan. 2. Saya yakin bahwa feses merupakan media yang dapat digunakan untuk dijadikan pupuk sebagai penyubur pertumbuhan tanaman di IKH. 3. Saya setuju untuk mencegah masuknya penyakit ke dalam IKH perlu dilakukan disinfeksi terhadap kandang, peralatan, kendaraan dan pekerja yang ada di dalam maupun yang keluar masuk IKH. 98 NO PERNYATAAN SETUJ U RAGU - RAGU TDK STJ 4. Menurut pendapat saya pembersihan cleaning dan disinfeksi kandang, peralatan dapat dilakukan secara rutin dengan cara pertama yaitu membersihkan dan mencuci menggunakan detergen untuk menghilangkan zat non organik dan kemudian menggunakan dengan disinfektan. 5. Saya setuju menciptakan suatu lingkungan yang terlindungi dari suatu penyakit yang berasal dari manusia, hewan lain, fomites, hewan yang terinfeksi, udara, dan air merupakan tindakan sanitasi. 6. Menurut pendapat saya cara lain dalam pengelolaan limbah adalah membuat saluran pembuangan limbah yang langsung di alirkan ke sungaiparitkebun di sekitar IKH yang dapat menurunkan risiko terhadap penularan penyakit bagi ternak. 7. Saya yakin menjaga jarak lokasi IKH dengan peternakan sejenis, pemukiman penduduk, lalu lintas sekitar merupakan tindakan kontrol lalu lintas dalam rangka mencegah penyebaran penyakit. 8. Menurut pendapat saya cara lain untuk mengontrol lalu lintas agar pergerakan manusia dan hewan lain dapat di minimalkan adalah pembuatan pagar keliling setinggi 2 meter yang terbuat dari bahan kuat dan tidak mudah rusak. 9 Saya setuju memisahkan hewan berdasarkan berat, umur dan memisahkan hewan yang sakit adalah tindakan untuk kontrol lalu lintas pada saat pengamatan dan pemeriksaan hewan selama masa karantina. 99 NO PERNYATAAN SETUJU RAGU- RAGU TDK STJ 10. Menurut pendapat saya mengendalikankontrol pergerakan terhadap manusia, hewan, peralatan dan kendaraan yang keluar masuk adalah tindakan isolasi yang dilakukan untuk mencegah penyakit masuk dan menyebar di IKH. 11. Menurut pendapat saya tindakan isolasi dapat dilakukan dengan tidak mengijinkan pengunjung dan kendaraan yang tidak berkepentingan masuk ke dalam area IKH sehingga dapat meminimalkan risiko penularan penyakit. 12. Saya yakin kontrol lalu lintas dilakukan untuk mencegah tertularnya penyakit pada ternak dengan melakukan pengamatan dan pemeriksaan dari hewan yang sehat kemudian yang sakit dan juga dari hewan yang berumur tua ke hewan yang masih muda. 13. Saya setuju bahwa tanda peringatan dan pintu gerbang yang dijaga dengan pengawasan ketat adalah salah satu tindakan biosekuriti untuk mengontrol lalu lintas keluar masuknya manusia dan hewan. 14. Menurut saya rodensia merupakan agen pembawa penyakit infeksius seperti salmonella yang dapat megkontaminasi pakan dan lingkungan yang akan mengakibatkan kasus diare pada ternak. 100 NO PERNYATAAN SETUJU RAGU- RAGU TDK STJ 15. Menurut saya, pakan tidak dapat menularkan salmonella akan tetapi memungkinkan perkembangan jamur dan kapang seperti aspergillus yang dapat mnyebabkan pneumonia pada ternak dan mikotoksin yang mengandung racun berbahaya. 16. Menurut saya ,Cleaning dan Disinfeksi merupakan istilah yang mempunyai pengertian sama yaitu suatu usaha bertujuan untuk menghilangkan debu, tanah, dan bahan organik seperti darah, sekresi dan mikroorganisme. 17. Saya yakin sumber dan jenis air yang digunakan untuk keperluan IKH dapat mempengaruhi daya kerja beberapa zat disinfektan sehingga akan mengurangi kemampuan untuk membunuh mikroorganisme yang merugikan. 19. Saya percaya bahwa Composting merupakan suatu metode pengelolaan limbah peternakan yang aman, mengurangi bau tidak sedap dan mencegah polusi air. 20. Menurut saya pergerakan hewan perlu dibatasi di area IKH agar meminimalkan risiko penyebaran penyakit. DAFTAR PUSTAKA Ali M. 2003. Pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu bekerja dan ibu tidak bekerja tentang imunisasi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan: Universitas Sumatra Utara. Barantan [Badan Karantina Pertanian Republik Indonesia]. 2006. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor : 348 kpts PD.670.210L122006 Tentang Pedoman Persyaratan Teknis Instalasi Karantina Hewan Untuk Ruminansia Besar. Jakarta: Barantan RI. Barantan [Badan Karantina Pertanian Republik Indonesia]. 2011. Tempat pemasukan sapi dari luar negeri. Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani. Jakarta: Barantan RI. Barrington GM, Allen AJ, Parish SM, Tibary A. 2006. Biosecurity and biocontainment in alpaca operations. J Small Ruminant Res 6:217–225. Bas M, Ersun AS, Kivanc G. 2006. The evaluation of food hygiene knowledge, attitude and practices of food handlers in food bussiness in Turkey. J Food Control 17:317-322. Benjamin et al. 2010. Attitude toward biosecurity practices relevant to Johne’s disease control on beef cattle farm. J Prev Vet Med 94:222-230. Billaud J, Lesslie T. 2007. Avian influenza knowledge, attitude and practices KAP survey. Kabul: Sayara Media. Bonanno R. 2011. New disease treathen australian cattle. http:www. farmbiosecurity.com.au 2011 new-diseases- threaten- australian- cattle [22 Desember 2011]. Bowman GL, Shulaw WP. 2001. On-farm biosecurity: traffic control and sanitation. J Prev Vet Med 6:01-03. Brennan ML, Kemp R, Christley RM. 2008. Direct and indirect contacts between cattle farms in north-west England. J Prev Vet Med 84:24-260. Budisuari MA, Oktorina, Hanafi F. 2009. Hubungan antara karakteristik responden, keadaan wilayah, dengan pengetahuan, sikap terhadap HIVAIDS pada masyarakat Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 12:362-369. Buhman M, Dewell G, Griffin D. 2007. Biosecurity basic for cattle operations and good management practices GMP for controlling infectious diseases. http : www. ianrpubs. unl. edu pages publication D.jsp? publicationId=433 [18 Desember 2011]. Casal J, Manu el AD, Mateu E, Martın M. 2007. Biosecurity measures on swine farms in spain: Perceptions by farmers and their relationship to current on- farm measures. J Prev Vet Med 82:138-150. Cockram MS. 2007. Criteria and potential reasons for maximum journey times for farm animals destined for slaughter. J Anim Behav Sci 106:234- 243. CDC [Centre for disease control]. 2003. A guide to selection and use of disinfectants. US: Department of Health and Human Services US. Deptan [Departemen Pertanian Republik Indonesia]. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan Instalasi Karantina Hewan. Jakarta: Deptan RI. Ditjenak [Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia]. 2007. Peraturan Direktur Jenderal Peternkan Tentang Petunjuk Teknis Kesehatan Hewan dan Biosekuriti Pada Unit Pelaksana Teknis Perbibitan.. Jakarta: Ditjenak RI. Ditjenak [Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia]. 2010. Biosekuriti. Jakarta: Ditjenak RI. EFSA [European Food Safety Authority]. 2004. The welfare of animal during transport. Scientific report of the scientific panel on animal helth and welfare on a request from the commission related to the welfare of animals during transport. United Kingdom. Fisher AD, Colditz IG, Lee C, Ferguson DM. 2009. The influence of land transport on animal welfare in extensive farming systems. J Vet Behav 4:151-162. Gunn GJ, Heffernan C, Hall M, McLeod A, Hovi M. 2008. Measuring and comparing constraints to improved biosecurity amongst GB farmers, veterinarians and auxiliary industries. J Prev Vet Med 84:310-323. Handayani DS. 2008. Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan perilaku para wanita dewasa awal dalam melakukan pemeriksaan payudara sendiri di kelurahan Kalangan kecamatan Pedan Klaten. [skripsi]. Semarang: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro. Hart MB, Cathy MS, Meumann M, Veltri AT. 2007. Hand injury prevention training: assessing knowledge, attitude, and behaviour. J SHE Research 3:1-23. Kidwell B. 2008. Bovine leukosis virus Here’s how you can dodge the bullet. J Angus September 2008:76-77. Kristensen E, Jakobsen EB. 2011. Danish dairy farmer’s perception of biosecurity. J Prev Vet Med 99:122-129. Larson RL. 2008. Epidemiology and disease control in everyday beef practice. J Theriogen 70:565-568. Li H, Karney G, O’Toole D, Crawford TB. 2008. Long distance spread of malignant cattarhal fever virus from feedlot lambs to ranch bison. J Can Vet 49:183-185. Manggarsari Y. 2011. Epistomologi. [Makalah Filsafat Ilmu]. Palembang: Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya. NASDA [National Association of State Departments of Agriculture]. 2001. The Animal Health Safeguarding Review Result and Recommendation. NASDA: Washington DC. Negrón MN, Raizman EA, Pogranichniy R, Hilton WM, Léy M. 2011. Survey on management practices related to the prevention and control of bovine viral diarrhea virus on dairy farm in Indiana, United States. J Prev Vet Med 99: 130-135. Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. OIE [Office Internasional et Epizootica]. 2009. Animal welfare and beef cattle production systems. www.oie.int. Palaian S et al. 2006. Knowledge, attitude and practices outcomes: evaluating the impact of counseling in hospitalized diabetic patient in India. J Pharmacol 7:383-396. Parish JA, Rhinehart JD. 2008. Beef cattle water requirements and source management. Publication 2490. Mississippi State University and U.S. Department of Agriculture. Randusari P. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya pengendalian penyakit flu burung studi terhadap pemilik unggas perumahan di kecamatan Bogor Utara. [tesis]. Jakarta. Program Pascasarjana Manajemen Pembangunan Sosial, Universitas Indonesia. Salam DS. 2005. Peranan pendidikan dan pelatihan dalam meningkatkan kompetensi dan kualitas sumber daya manusia aparatur. Jurnal Administrasi Publik 1: 01-11. SEERAD [The Scotish Executive Environment Rural Affairs Department. 2006. Biosecurity : What is it?. http: www. scotland. gov. ukTopic sAgriculture animal-welfare Disease GenControls.15721. [18 Desember 2011] Siahaan SJ. 2007. Pengaruh tingkat biosekuriti terhadap pemaparan avian influenza pada unggas air studi kasus kontrol di Kabupaten Bogor dan Sukabumi. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Steenwinkel SV, Ribbens S, Ducheyne E, Goossens E, Dewulf J. 2011. Assessing biosecurity practices, movements and densities of poultry sites across Belgium, resulting in different farm risk-groups for infectious disease introduction and spread. J Prev Vet Med 98:259-270. Wagner B, Traub-Dargatz J, Kopral C. 2011. Relationship of biosecurity practices with the use of antibiotics for the treatment of infectious diseases on U.S. eguine operations. J Prev Vet Med 10:130-136. Troxel T. 2002. Cattle Biosecurity. University of Arkansas United States Department of Agriculture and County Governments Cooperating. University of Arkansas Division of Agriculture. Arkansas: University of Arkansas. Yustina. 2006. Hubungan pengetahuan dan persepsi, sikap dan minat dalam pengelolaan lingkungan hidup pada guru sekolah dasar di kota Pekanbaru. J Biogenesis 2:67-71. Zahid A. 1997. Hubungan karakteristik peternak sapi perah dengan sikap dan perilaku aktual dalam pengelolaan limbah peternakan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. ABSTRACT GATOT SANTOSO. Study of Biosecurity Implementation in Animal Quarantine Premises for Imported Cattle Across Java Island. Under direction of TRIOSO PURNAWARMAN and ETIH SUDARNIKA. Indonesia imports large number of live cattle as breeding cattle or beef cattle to fulfill its demands for protein of animal origin. In order to prevent animal disease entering and spreading in the country the Government of Indonesia provides animal quarantine premises inside or outside every entryexit point. Requirements and procedures to establish animal quarantine premises is stated in the Agriculture Minister’s Decree No 342006 regarding Requirements and Procedures to Establish Animal Quarantine Premises, and in the Head of Agriculture Quarantine Agency’s Decree regarding Technical Guidelines for Large Ruminant Animal Quarantine Premises. Biosecurity in animal quarantine facilities is one of important factors in preventing spreading of diseases among animals, transmission from animals to human or vice versa and also preventing disease to enter premises. Biosecurity implementation in animal quarantine premises depends on the knowledge, attitude and practices conducted by the officers of the premise, both veterinarian officers and paraveterinarian officers. The aim of this study is to determine the level of biosecurity and the relation among characteristic, knowledge and attitude of veterinarian and paraveterinarian officers on the biosecurity implementation sanitation, isolation and movement control in a temporary animal quarantine premises. Data were collected from temporary animal quarantine premises for imported cattle across Java Island. In this study we found that in general the biosecurity implementation in the premises was adequate 62.6 and good 31.2. We also noticed that the characteristic of veterinarian officers showed no relation to the biosecurity implementation, while the knowledge and attitude of veterinarian officers showed a strong relation to the biosecurity implementation p0.05 with medium correlation level r = 0.463 and r = 0.524. On the other hand, characteristic of paraveterinarian officers showed no relation to the biosecurity implementation, while the knowledge and attitude of paraveterinarian officers shows a strong relation to the biosecurity implementation p0.05 with medium correlation level r = 0.410 and r = 0.427. Keywords: knowledge, attitude, practice, biosecurity, quarantine premises. RINGKASAN GATOT SANTOSO. Kajian Biosekuriti Instalasi Karantina Hewan Sapi Impor di Pulau Jawa. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN dan ETIH SUDARNIKA. Indonesia merupakan negara pengimpor sapi dalam jumlah yang cukup besar baik sapi bibit maupun sapi potong untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani penduduknya. Importasi sapi yang ada saat ini sebagian besar adalah berasal dari negara Australia. Hal ini akan memiliki peluang risiko yang semakin besar terhadap masuk dan tersebarnya penyakit hewan di negara Indonesia. Berdasarkan World Animal Health Information Database WAHID yang diterbitkan oleh organisasi kesehatan dunia OIE, Australia merupakan negara yang bebas penyakit mulut dan kuku PMK dan sapi gila bovine spongioform encephalophatyBSE. Namun demikian prinsip kehati-hatian terhadap adanya penyakit hewan menular lainnya di negara tersebut perlu dicermati. Pada saat ini Australia masih belum bebas dari penyakit infectious bovine rhinotracheitis IBR, bovine viral diarrhea BVD, paratuberculosisJohne’s disease, enzootic bovine leucosis EBL, anthrax, bluetongue, Q-fever, tetanus, malignant oedema, blackleg, pulpy kidney, black disease, botulism, actinomicosis, salmonellosis, leptospirosis, brucellosis dan penyakit parasitik seperti cysticercosis dan penyakit cacing lainnya, sehingga diperlukan persyaratan tertentu agar sapi yang diimpor merupakan sapi yang sehat. Untuk mencegah masuk, keluar, dan tersebarnya hama penyakit hewan karantina, pemerintah dan pihak lain swasta wajib menyediakan instalasi karantina hewan IKH di dalam maupun di luar tempat pemasukan atau pengeluaran. Persyaratan dan tata cara penetapan IKH tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan IKH dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 348 Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis IKH Untuk Ruminansia Besar. Instalasi Karantina Hewan IKH merupakan suatu bangunan berikut peralatan dan bahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina. IKH harus memenuhi persyaratan teknis baik lokasi, konstruksi, sistem drainase, kelengkapan sarana dan prasarana. Penetapan lokasi berkaitan dengan analisis risiko penyebaran hama penyakit, peta situasi hama penyakit hewan, kesejahteraan hewan, sosial budaya dan lingkungan serta jauh dari lokasi budidaya hewan lokal. Biosekuriti mempunyai peran yang sangat penting pada IKH antara lain mencegah penyebaran penyakit diantara hewan, hewan ke petugas, dan dari petugas ke hewan, serta mencegah masuknya agen penyakit yang berasal dari lingkungan sekitar. Penerapan biosekuriti di IKH tidak terlepas dari tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik dari petugas yang ada di IKH, baik dokter hewan maupun paramedik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa dan menganalisis hubungan karakteristik, pengetahuan, dan sikap terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik yang bertugas di IKH sapi impor di Pulau Jawa. Penelitian ini dilakukan pada IKH sapi impor milik pemerintah dan swasta yang terdapat di Pulau Jawa yang menjadi wilayah kerja dari Unit Pelaksana Teknis UPT Balai Besar Karantina Pertanian BBKP Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Surabaya dan Stasiun Karantina Pertanian SKP Kelas I Cilacap. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara terhadap responden yaitu dokter hewan dan paramedik pemerintah dan swasta yang pernah melakukan tindakan karantina di IKH sapi impor yang ada di Pulau Jawa dengan menggunakan kuesioner. Wawancara bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik dan untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik responden terhadap biosekuriti. Penilaian tingkat biosekuriti terhadap IKH juga dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan checklist. Sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu dilakukan uji coba pretest kuesioner untuk mengetahui perkiraan waktu pengerjaan pengisian kuesioner dan kesulitan-kesulitan dalam menjawab pertanyaan yang dihadapi oleh responden. Setelah itu dilakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner untuk menilai kelayakan kuesioner sebagai perangkat penelitian. Hasil penelitian menggambarkan bahwa kategori IKH sapi impor di Pulau Jawa mempunyai tingkat biosekuriti yang baik 31.2 dan cukup 62.6.. Pada karakterististik responden dokter hewan tidak mempunyai hubungan yang nyata terhadap praktik biosekuriti, sedangkan pengetahuan dan sikap mempunyai hubungan yang nyata p0.05 terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan mempunyai korelasi dengan tingkat sedang yaitu r = 0.463 dan r = 0.524. Karakterististik responden paramedik tidak mempunyai hubungan yang nyata terhadap praktik biosekuriti, sedangkan pengetahuan dan sikap mempunyai hubungan yang nyata p0.05 terhadap praktik biosekuriti paramedik dan mempunyai korelasi dengan tingkat sedang yaitu r = 0.410 dan r = 0.427. Kata kunci: pengetahuan, sikap, praktik, biosekuriti, instalasi karantina. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara pengimpor khususnya sapi dalam jumlah yang cukup besar baik sapi bibit maupun sapi potong untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani penduduknya. Importasi sapi yang ada saat ini sebagian besar adalah berasal dari negara Australia. Hal ini akan memiliki peluang risiko yang semakin besar terhadap masuk dan tersebarnya penyakit hewan di negara Indonesia. Data importasi sapi tahun 2010 yang diambil dari unit pelaksana teknis UPT karantina pertanian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Data importasi sapi tahun 2010 No. Unit Pelaksana Teknis Jumlah ekor 1. Balai Besar Karantina Pertanian Belawan 34 870 2. Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta 1 005 3. Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya 12 660 4. Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok 273 587 5. Balai Karantina Pertanian Kelas I Jaya Pura 1 415 6. Balai Karantina Pertanian Kelas I Lampung 200 807 7. Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Cilacap 30 366 8. Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Pare-pare 2 169 Jumlah Total 556 879 Sumber: Barantan 2011. Berdasarkan World Animal Health Information Database WAHID yang diterbitkan oleh organisasi kesehatan dunia OIE, Australia merupakan negara yang bebas penyakit mulut dan kuku PMK dan sapi gila bovine spongioform encephalophatyBSE. Namun demikian prinsip kehati-hatian terhadap adanya penyakit hewan menular lainnya di negara tersebut perlu dicermati. Pada saat ini Australia masih belum bebas dari penyakit infectious bovine rhinotracheitis IBR, bovine viral diarrhea BVD, paratuberculosisJohne’s disease, enzootic bovine leucosis EBL, anthrax, bluetongue, Q-fever, tetanus, malignant oedema, blackleg, pulpy kidney, black disease, botulism, actinomicosis, salmonellosis, leptospirosis, brucellosis dan penyakit parasitik seperti cysticercosis dan penyakit cacing lainnya, sehingga diperlukan persyaratan tertentu agar sapi yang diimpor merupakan sapi yang sehat. Untuk mencegah masuk, keluar, dan tersebarnya hama penyakit hewan karantina, pemerintah dan pihak lain dapat menyediakan instalasi karantina hewan IKH di dalam maupun di luar tempat pemasukan atau pengeluaran. Persyaratan dan tata cara penetapan IKH tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 348 Tahun 2006. Pengamatan dan pengawasan hewan selama masa karantina di IKH sangat penting untuk mendeteksi adanya penyakit hewan menular khususnya penyakit eksotik. Selain itu penerapan biosekuriti di IKH merupakan suatu tindakan yang perlu dilakukan untuk meminimalkan penyebaran penyakit baik pada hewan, manusia, dan lingkungan sekitar. Biosekuriti adalah tindakan perlindungan dari efek yang merugikan dari organisme seperti agen penyakit dan hama yang membahayakan bagi manusia, hewan, tanaman dan lingkungan. Penerapan biosekuriti pada IKH sangat penting dan perlu dilakukan secara ketat karena hal ini untuk melindungi manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan termasuk industri peternakan dari ancaman masuknya organisme yang tidak diinginkan dan dapat merugikan. Biosekuriti mempunyai peranan antara lain mencegah penyebaran penyakit antar hewan, hewan ke petugas, dan petugas ke hewan, serta mencegah masuknya agen penyakit yang berasal dari lingkungan sekitar Bowman Shulaw 2001. Biosekuriti yang baik dapat mengurangi jumlah kasus penyakit yang terjadi pada peternakan sapi antara lain paratuberculosis, mycoplasmosis, salmonellosis dan bovine viral diarrhea Troxel 2002. Praktik biosekuriti mencakup sanitasi lingkungan, mengurangi kepadatan ternak di kandang, meminimalkan kontaminasi kotoran pada pakan dan minum, dan memisahkan ternak muda dengan dewasa, praktik biosekuriti ini dipengaruhi oleh sikap petugas terhadap program biosekuriti yang sudah ada Benjamin et al. 2010. Penerapan biosekuriti di IKH tidak terlepas dari tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik dari petugas yang ada di IKH, baik dokter hewan maupun paramedik. Tingkat pengetahuan dan sikap yang masih rendah terhadap biosekuriti akan mempengaruhi perilaku atau praktik biosekuriti petugas di IKH dan merupakan ancaman masuk dan tersebarnya agen penyakit yang dapat merugikan petugas, hewan dan dapat menimbulkan keluarnya agen penyakit dari instalasi ke lingkungan sekitarnya. Rumusan Masalah Karantina pertanian merupakan suatu institusi yang bertujuan untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina HPHK melalui pengawasan yang ketat di pintu-pintu pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan. Pencegahan masuk dan tersebarnya HPHK ini dilakukan dengan pelaksanaan tindakan karantina yang terdiri dari pemeriksaaan, pengawasan, pengamatan, perlakuan, penolakan, penahanan, pemusnahan dan pembebasan. Salah satunya yaitu melakukan tindakan karantina di IKH yang sudah ditetapkan baik milik pemerintah ataupun milik swasta. Unit pelaksana teknis Badan Karantina Pertanian saat ini memiliki beberapa IKH untuk sapi impor, begitu juga pihak swasta. UPT karantina pertanian yang memiliki kegiatan importasi sapi, antara lain Balai Besar Karantina Pertanian BBKP Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Belawan, BBKP Surabaya, BKP Kelas I Lampung, Stasiun Karantina Pertanian SKP Kelas I Cilacap dan SKP Kelas I Pare-pare. Pendapat bahwa IKH sapi impor yang ada belum maksimal dalam penerapan biosekuriti kemungkinan terkait dengan faktor IKH itu sendiri yang meliputi bangunan, sarana prasarana, dan fasilitas penunjang lainnya. Faktor lain yang di duga dapat mempengaruhi penerapan biosekuriti di IKH yaitu petugas. Faktor petugas yang menjadi fokus penelitian ini adalah karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik petugas terhadap penerapan biosekuriti di IKH. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui tingkat biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa. 2. Menganalisis hubungan karakteristik, pengetahuan, dan sikap terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik yang bertugas di IKH sapi impor di Pulau Jawa. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat antara lain: 1. Penelitian ini dapat dijadikan informasi mengenai penerapan biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa. 2. Memberikan informasi mengenai karakteristik, tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik pada IKH sapi impor di Pulau Jawa. 3. Sebagai masukan dalam rangka peningkatan sumber daya manusia karantina pertanian khususnya dokter hewan dan paramedik. Hipotesis Penelitian Hipotesa dalam penelitian ini adalah: 1. Instalasi karantina hewan sapi impor di Pulau Jawa mempunyai tingkat biosekuriti dengan baik. 2. Karakteristik, pengetahuan, dan sikap dokter hewan dan paramedik berpengaruh terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik pada IKH sapi impor di Pulau Jawa. TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan Instalasi karantina hewan IKH adalah bangunan berikut peralatan, lahan dan sarana pendukung lainnya yang diperlukan sebagai tempat pelaksanaan tindakan karantina Barantan 2006. Beberapa istilah dalam IKH antara lain: 1. Kandang adalah tempat atau bangunan berikut sarana penunjang yang ada didalamnya yang berfungsi sebagai tempat pemeliharaan dan tempat melakukan tindakan pengamatan selama masa karantina yang mampu menampung ternak sesuai dengan kapasitasnya dan dilengkapi dengan tempat pakan dan minum serta ketinggian kandang yang memadai. 2. Kandang isolasi adalah kandang yang digunakan untuk melakukan tindakan pengamatan intensif dan tindakan perlakuan khusus terhadap sebagian hewan selama masa karantina. Kandang ini juga digunakan untuk menempatkan dan menangani ternak yang mengalami gangguan kesehatan. 3. Kandang jepit adalah sarana yang dipergunakan untuk melakukan penjepitan hewan guna mengurangi risiko cidera terhadap hewan maupun petugas serta memudahkan tindakan pemeriksaan dan perlakuan. 4. Gudang pakan adalah tempat penyimpanan pakan sebelum diberikan kepada ternak. 5. Ternak ruminansia besar adalah ternak piara sapi dan kerbau yang kehidupannya, perkembangbiakannya, serta manfaatnya diatur dan diawasi oleh manusia. 6. Pakan ternak adalah makanan ternak ruminansia besar yang berupa hijauan, bahan baku, maupun pakan jadi. 7. Paddock atau pen adalah bagian kandang yang dibatasi dengan pagar pembatas dan luas paddockpen tergantung pada jumlah ternak yang akan ditempatkan di area tersebut. 8. Gangway adalah suatu fasilitas berupa lorong atau jalan sempit untuk ternak. Fasilitas ini dibuat untuk memudahkan menggiring ternak ke dalam kandang- kandang instalasi maupun menggiring ternak yang akan masukdimuat ke dalam truk. 9. Kandang paksa forcing yard adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk menggiring dan memasukkan ternak ke dalam gang way. 10. Tempat bongkar dan muat ternak adalah fasilitas untuk menurunkan dan menaikkan ternak dari dan ke alat angkut 11. Alat angkut adalah angkutan darat dan sarana yang dipergunakan untuk mengangkut yang langsung berhubungan dengan ternak ruminansia besar. 12. Limbah adalah hasil buangan kandang yang berupa kotoran ternak, sisa pakan, serta kotoran lainnya. Klasifikasi Instalasi Karantina Hewan IKH Instalasi karantina hewan berdasarkan kepemilikannya Barantan 2006, yaitu: 1. IKH milik pemerintah yaitu bangunan berikut peralatan, lahan, dan sarana prasarana yang diperlukan sebagai tempat melaksanakan tindak karantina milik pemerintah. 2. Instalasi karantina hewan milik swasta yaitu bangunan berikut peralatan, lahan dan sarana prasarana yang diperlukan sebagai tempat melaksanakan tindak karantina milik pihak lainswasta yang ditetapkan oleh Kepala Badan Karantina Pertanian yang telah memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis sesuai ketentuan IKH berdasarkan waktu penggunaannya yaitu: 1. Intalasi karantina hewan permanen adalah instalasi yang dibangun oleh pemerintah atau pihak lain yang penggunaannya bersifat permanen. 2. Instalasi karantina hewan sementara adalah instalasi yang dibangun oleh pemerintah atau pihak lain yang penggunaannya bersifat sementara. Biosekuriti Biosekuriti adalah strategi dan tindakan secara terintegrasi meliputi kebijakan dan kerangka kerja yang menganalisa dan mengendalikan segala akibat yang merugikan pada sektor keamanan pangan, kesehatan dan kehidupan hewan, kesehatan dan kehidupan tumbuhan termasuk lingkungan. Biosekuriti merupakan konsep yang menyeluruh dan secara langsung mendukung bidang pertanian, keamanan pangan dan perlindungan terhadap lingkungan, juga meliputi perlindungan terhadap bahaya pada gangguan yang menyebabkan kerusakan tumbuhan, gangguan, dan penyakit hewan serta zoonosis Ditjenak 2010. Menurut NASDA 2001, biosekuriti adalah tindakan yang sangat penting berupa strategi, usaha, rencana untuk melindungi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan dari bahaya biologi. Selanjutnya menurut SEERAD 2006, biosekuriti adalah praktik manajemen yang potensial untuk mengurangi masuk dan menyebarnya penyakit hewan yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen masuk ke peternakan dan mencegah masuk dan tersebarnya penyakit hewan di antara peternakan. Larson 2008 menyatakan bahwa biosekuriti adalah suatu tindakan untuk menjaga agar agen infeksius tidak masuk ke dalam suatu peternakan, negara atau wilayah. Tindakan ini juga bertujuan untuk mengendalikan penyebaran agen infeksius didalam suatu peternakan. Menurut Wagner et al. 2011 tujuan biosekuriti adalah untuk mengurangi risiko exposure pendedahan penyakit dan meningkatkan kekebalan terhadap penyakit ketika hewan terdedah exposed oleh agen penyakit. Tujuan utama penerapan biosekuriti adalah untuk menghentikan masuknya penyakit dan penyebaran penyakit dengan cara mencegah, mengurangi atau mengendalikan kontaminasi silang dari media pembawa yang dapat menularkan agen penyakit feses, urin, saliva, sekresi dari alat pernapasan dan lain-lain. Praktik manajemen biosekuriti dibuat untuk mencegah penyebaran penyakit dengan meminimalkan perjalanan atau perluasan agen penyakit dan vektor rodensia, lalat, nyamuk, kutu, caplak dan lain-lain di dalam suatu area peternakan. Biosekuriti merupakan cara yang murah, paling efektif untuk pengendalian penyakit dan tidak akan ada program pencegahan penyakit yang berjalan dengan baik tanpa adanya penerapan biosekuriti. OIE 2009 menyatakan bahwa program biosekuriti yang baik adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan meminimalkan rute transmisi penyakit oleh agen patogen diantaranya adalah melalui hewan, hewan lain, manusia, peralatan, alat angkut, udara, sumber air, dan pakan. Menurut Buhman et al. 2007, penyakit infeksi pada hewan dapat menyebar dalam suatu peternakan melalui berbagai cara, antara lain melalui: 1. Hewan yang terinfeksi atau hewan sehat dalam masa inkubasi suatu penyakit sehingga tidak memperlihatkan gejala klinis. 2. Hewan yang sudah sehat setelah sembuh dari penyakit akan tetapi menjadi carriers. 3. Alat angkut, peralatan, pakaian, dan sepatu pengunjung atau pekerja yang menangani hewan di dalam peternakan. 4. Kontak dengan benda-benda yang terkontaminasi oleh agen penyakit. 5. Hewan mati yang tidak ditangani secara benar. 6. Tempat pakan, khususnya tempat pakan yang berisiko tinggi dapat terkontaminasi oleh feses. 7. Sumber air yang tidak baik. 8. Penanganan limbah kotoran ternak dan debu dari kotoran. 9. Adanya hewan lain kuda, anjing, kucing, hewan liar, rodensia, burung dan serangga. Buhman et al. 2007 menerangkan bahwa komponen utama biosekuriti adalah isolasi, kontrol lalu lintas dan sanitasi. 1. Isolasi merupakan suatu tindakan untuk mencegah kontak diantara hewan pada suatu area atau lingkungan. Tindakan yang paling penting dalam pengendalian penyakit adalah meminimalkan pergerakan hewan dan kontak dengan hewan yang baru datang. Tindakan lain yaitu memisahkan ternak berdasarkan kelompok umur atau kelompok produksi. Fasilitas yang digunakan untuk tindakan isolasi harus dalam keadaan bersih dan didisinfeksi. 2. Kontrol lalu lintas merupakan tindakan pencegahan penularan penyakit yang dibawa oleh alat angkut, hewan selain ternak kuda, anjing, kucing, hewan liar, rodensia, dan burung, dan pengunjung. Hewan yang baru datang sebaiknya diketahui status vaksinasinya, hal ini merupakan tindakan untuk memaksimalkan biosekuriti. Oleh sebab itu, mengetahui status kesehatan hewan yang baru datang sangat penting. Kontrol lalu lintas di peternakan harus dibuat dengan baik untuk menghentikan atau meminimalkan kontaminasi pada hewan, pakan, dan peralatan yang digunakan. Alat angkut dan petugas tidak boleh keluar dari area penanganan hewan yang mati tanpa melakukan pembersihan cleaning dan disinfeksi terlebih dahulu. 3. Sanitasi merupakan tindakan pencegahan terhadap kontaminasi yang disebabkan oleh feses. Kontaminasi feses dapat masuk melalui oral pada hewan fecal-oral cross contamination. Kontaminasi ini dapat terjadi pada peralatan yang digunakan seperti tempat pakan dan minum. Langkah pertama tindakan sanitasi adalah untuk menghilangkan bahan organik terutama feses. Bahan organik lain yaitu darah, saliva, sekresi dari saluran pernafasan, dan urin dari hewan yang sakit atau hewan yang mati. Semua peralatan yang digunakan khususnya tempat pakan dan minum harus di bersihkan dan didesinfeksi untuk mencegah kontaminasi. Menurut Barrington et al. 2006, tindakan umum yang dilakukan dalam program biosekuriti adalah: 1. Mengawasi keluar masuknya hewan. 2. Mencegah kontak dengan hewan atau hewan liar. 3. Secara rutin membersihkan dan mendisinfeksi sepatu, pakaian, dan peralatan yang dipakai ketika menangani hewan. 4. Mencatat pengunjung, hewan, dan peralatan yang masuk dan keluar. Pada suatu peternakan penyebaran penyakit dapat terjadi sangat komplek hal ini dapat disebabkan akibat kepadatan populasi dalam suatu kandang, spesies atau bangsa hewan, dan sistem sanitasi pada peternakan tersebut, sehingga pengembangan biosekuriti sangat penting guna mencegah masuk dan tersebarnya penyakit yang merugikan Steenwinkel et al. 2011. Biosekuriti pada peternakan dapat meliputi sanitasi peternakan, pagar pelindung, pengawasan yang ketat lalu lintas pengunjung dan kendaraan, menghindari kontak dengan hewan liar, mempunyai fasilitas bangunan yang memadai, penerapan karantina dan menerapkan sistem tata cara penggantian stok hewan Casal et al. 2007. Menurut laporan Bonanno 2011, pernah ditemukan kasus penyakit pada suatu peternakan sapi akibat biosekuriti yang buruk. Penyakit ini antara lain digital dermatitis hairy heel wrats, haemorrhagic bowel syndrome HBS, dan acute bovine liver disease ABLD. Penyakit ini disebabkan oleh sistem drainase yang buruk, sanitasi dan higiene yang buruk, kondisi pakan yang tidak baik, serta kondisi kelembaban di dalam peternakan yang buruk. Pengetahuan Pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu mengetahui, memahami, menggunakan, menguraikan, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Ciri pokok pengetahuan adalah ingatan tentang sesuatu yang diketahui baik melalui pengalaman, belajar, maupun berupa informasi yang didapat dari orang lain Manggarsari 2011. Menurut Notoatmodjo 2007, pengetahuan terdiri dari berbagai jenis yaitu: 1 pengetahuan umum atau biasa, 2 pengetahuan ilmu, 3 pengetahuan agama, 4 pengetahuan filsafat, dan 5 pengetahuan seni. Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga Notoatmodjo 2007. Pengetahuan bukanlah fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami perubahan karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut. Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain pendidikan, informasimedia massa, sosial budaya, ekonomi, lingkungan, pengalaman, dan usia. Pengetahuan merupakan faktor utama perubahan perilaku Bas et al. 2006. Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakanpraktik atau perilaku. Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyatapraktik diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas Ali 2003. Sikap dan praktik dari seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki orang tersebut. Dalam hal ini adanya informasi dapat mengubah sikap dan pada akhirnya akan menyebabkan perubahan dalam perilaku. Praktik Praktik atau tindakan atau disebut juga perilaku, merupakan reaksi nyata seseorang terhadap objek, misalnya mencuci tangan sebelum dan sesudah menangani hewan yang sakit. Zahid 1997 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara sikap dan perilaku, namun keberadaan hubungan ini ditentukan oleh kespesifikan sikap, kekuatan sikap, kesadaran pribadi, dan norma-norma subyektif yang mendukung. Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik. Hasil penelitian Randusari 2007, menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap mempunyai pengaruh terhadap perilaku. Selain itu perilaku dapat dipengaruhi oleh tingkat penghasilan. Menurut Budisuari et al. 2009, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan diantaranya adalah lingkungan, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Handayani 2008, dalam penelitiannya tentang hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku. Yustina 2006 menyatakan bahwa adanya peningkatan pengetahuan berhubungan positif dengan sikap dan minat, selain itu pengetahuan tidak berhubungan positif dengan persepsi seseorang terhadap suatu objek. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2011 sampai dengan Maret 2012. Penelitian dilakukan pada IKH sapi impor milik pemerintah dan swasta yang berada di Pulau Jawa yaitu BBKP Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Surabaya, dan SKP Kelas I Cilacap. Perancangan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Epidemiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Kerangka Konsep Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa peubah penelitian antara lain karakteristik, pengetahuan, dan sikap petugas IKH dokter hewan dan paramedik terhadap sanitasi, isolasi, dan lalu lintas di IKH yang dapat mempengaruhi praktik biosekuriti petugas IKH selama melakukan tindakan karantina. Selain itu kondisi IKH yang meliputi lokasi dan fasilitas dapat juga mempengaruhi tingkat biosekuriti di IKH. Kerangka konsep penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1. Pada penelitian ini akan dilihat hubungan antara karakteristik responden, pengetahuan, dan sikap terhadap praktik mengenai biosekuriti di IKH. Karakteristik responden ini meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, lama bekerja, pelatihanseminar yang berhubungan dengan IKH dan biosekuriti, dan keterlibatan menjadi tim studi kelayakan IKH. Untuk pengetahuan dan sikap responden dokter hewan meliputi cara penularan penyakit di IKH yang dapat ditularkan oleh sapi impor asal Australia dan pertanyaan yang berhubungan dengan biosekuriti IKH. Pengetahuan dan sikap responden paramedik pada penelitian ini meliputi penerapan biosekuriti IKH yang meliputi sanitasi, isolasi, dan lalu lintas. Praktik dalam penelitian ini adalah praktik mengenai penerapan biosekuriti di IKH sapi impor selama petugas melakukan tindakan karantina. Gambar 1 Kerangka konsep penelitian. Untuk praktik biosekuriti baik responden dokter hewan dan paramedik terdiri dari tiga komponen yaitu sanitasi, isolasi, dan lalu lintas. Komponen tersebut meliputi: 1. Sanitasi a Melakukan cuci tangan sebelum dan setelah menangani hewan yang sakit menggunakan disinfektan. b Memakai sepatu khususbot pada saat masuk kandang dan melakukan dipping sepatu pada disinfektan. c Penggunaan disinfektan. d Memakai pakaian khusus cattle pack pada saat masuk ke kandang. e Menggunakan peralatan yang steril selama melakukan tindakan karantina. f Kandang senantiasa dibersihkan dengan disinfektan. g Tempat pakan senantiasa dibersihkan dengan disinfektan. h Tempat minum senantiasa dibersihkan dengan disinfektan. KONDISI IKH LOKASI, FASILITAS BIOSEKURITI IKH KARAKTERISTIK PETUGAS IKH:  UMUR  JENIS KELAMIN  PENDIDIKAN FORMAL  LAMA BEKERJA  PELATIHAN PENGETAHUAN PETUGAS IKH SIKAP PETUGAS IKH PRAKTIK PETUGAS IKH i Peralatan kandang senantiasa dibersihkan dengan disinfektan. j Tempat penyimpanan pakan yang senantiasa dibersihkan secara rutin. 2. Isolasi a Perlakuan terhadap hewan yang sakit. b Tindakan terhadap hewan yang baru masuk. c Tindakan terhadap hewan yang sehat. d Perlakuan terhadap hewan yang mati. e Penanganan terhadap kotoran hewan. 3. Lalu lintas a Tindakan terhadap lalu lintas kendaraan dan pengunjung. b Perlakuan terhadap lalu lintas peralatan. c Perlakuan terhadap lalu lintas pakan. d Tindakan terhadap rodensia, serangga, burung liar, dan hewan lain. Disain Penelitian Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara terhadap petugas IKH dokter hewan dan paramedik yang pernah melakukan tindakan karantina terhadap sapi impor di IKH dan observasi pada IKH pemerintah dan swasta. Wawancara dilakukan menggunakan kuesioner dan observasi dilakukan menggunakan checklist. Kuesioner digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan praktik dari responden. Pada penelitian ini dilakukan dua penilaian yaitu: 1. Penilaian IKH. Penilaian ini dilakukan dengan cara mengukur tingkat biosekuriti IKH yang dilihat dari lokasi, sarana dan prasarana yang terdapat di IKH sapi impor di Pulau Jawa sebagai penunjang penerapan biosekuriti. Penilaian ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan checklist. 2. Penilaian tentang Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Petugas IKH. Penilaian ini dilakukan dengan cara mengukur tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik petugas di IKH sapi impor yaitu dokter hewan dan paramedik mengenai biosekuriti. Sebelum digunakan dalam penelitian, kuesioner terlebih dahulu di uji melalui pre-test kuesioner yang bertujuan untuk menghitung estimasi waktu wawancara dan melihat tingkat kesulitan dari pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner. Setelah itu dilakukan validasi kuesioner untuk melihat kelayakan kuesioner sebagai alat untuk penelitian. Sampel Penelitian Kriteria sampel IKH pada penelitian ini adalah IKH sapi impor yang berada di Pulau Jawa dan masih digunakan baik milik pemerintah maupun milik swasta. Sedangkan untuk kriteria sampel responden adalah dokter hewan dan paramedik yang pernah melakukan tindakan karantina di IKH sapi impor baik milik pemerintah dan juga milik swasta. Tindakan karantina adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama penyakit hewan karantina masuk, tersebar dan atau keluar dari IKH. Pada penelitian ini sampel yang digunakan yaitu: 1. Untuk menilai IKH diambil dari IKH sapi impor yang ada di pulau Jawa baik milik pemerintah maupun milik swasta. Jumlah IKH yang diambil pada penelitian ini yaitu 2 IKH milik pemerintah dan 14 IKH milik swasta yang terdapat di Pulau Jawa. 2. Untuk menilai tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik petugas IKH, jumlah responden yang diambil yaitu dokter hewan pemerintah berjumlah 40 dan paramedik pemerintah berjumlah 58 yang berasal dari empat Unit Pelaksana Teknis UPT Karantina Pertanian yang memiliki IKH sapi impor di Pulau Jawa. Sedangkan jumlah responden dokter hewan dan paramedik swasta masing-masing berjumlah 14. Untuk dokter hewan dan paramedik pemerintah diambil dari data distribusi pegawai dokter hewan dan paramedik yang sudah fungsional pada unit kerja Badan Karantina Pertanian Tahun 2011. Jumlah responden dipilih secara acak di setiap UPT dan besaran sampel yang diambil pada setiap UPT adalah proporsional terhadap jumlah petugas yang ada di setiap masing-masing UPT. Pembagian besaran sampel responden dokter hewan dan paramedik pemerintah dihitung menggunakan software WinEpiscope 2.0 dengan tingkat kepercayaan 95, prevalensi dugaan 50 dan tingkat kesalahan 10 Billaud Leslie 2007. Prevalensi pada penelitian ini merupakan prevalensi dugaan responden yang mempunyai tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap biosekuriti yang baik. Besaran sampel dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2 Jumlah besaran sampel dokter hewan pemerintah No Unit Pelaksana Teknis Besaran Sampel 1 BBKP Tanjung Priok 14 2 BBKP Soekarno-Hatta 10 3 BBKP Surabaya 12 4 SKP Kelas I Cilacap 4 Jumlah 40 Tabel 3 Jumlah besaran sampel paramedik pemerintah No Unit Pelaksana Teknis Besaran Sampel 1 BBKP Tanjung Priok 13 2 BBKP Soekarno-Hatta 13 3 BBKP Surabaya 25 4 SKP Kelas I Cilacap 7 Jumlah 58 Pembobotan dan Penilaian Kuesioner Pembobotan dan penilaian kuesioner pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penilaian Tingkat Pengetahuan Penilaian tingkat pengetahuan petugas IKH dilakukan dengan membuat 20 pertanyaan mengenai biosekuriti di IKH. Responden diberikan pilihan “benar”, “salah”, dan “tidak tahu” Hart et al. 2007. Setiap jawaban yang benar diberikan nilai “1” dan jawaban yang salah serta tidak tahu diberikan nilai “0” Palaian et al. 2006. Skor nilai dari pengetahuan ini mempunyai kisaran nilai 0-20. Pembagian kategori tingkat pengetahuan yaitu dilakukan dengan membagi tiga selisih antara skor total maksimal dengan skor minimal. Hasil pembagian tersebut kemudian dijadikan selang untuk kategori tingkat pengetahuan. Penilaian skor pengetahuan = Nilai maksimum - Nilai minimum 3 = 20 - 0 = 6,67 3 Tingkat pengetahuan “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih besar dari 14, tingkat pengetahuan “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dan tingkat pengetahuan “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 7 Siahaan 2007. Penilaian pengetahuan biosekuriti responden juga dilakukan dengan menggunakan rataan persentase skor pengetahuan yang diperoleh. Pengetahuan “baik” jika rataan persentase skor pengetahuan responden lebih besar sama dengan 50 dan pengetahuan “kurang” jika rataan persentase skor pengetahuan responden lebih kecil dari 50 Bas et al. 2006. 2. Penilaian Tingkat Sikap Penilaian tingkat sikap responden dilakukan dengan membuat sebanyak 20 pertanyaan mengenai biosekuriti di IKH. Responden diberikan pilihan “Tidak Setuju”, “Ragu-ragu” dan “Setuju” Bas et al. 2006. Nilai untuk jawaban tidak setuju=1, ragu-ragu=2, dan setuju=3. Skor nilai dari sikap ini mempunyai kisaran nilai 20-60. Pembagian kategori tingkat sikap yaitu dilakukan dengan membagi 3 selisih antara skor total maksimal dengan skor minimal. Hasil pembagian tersebut kemudian dijadikan selang untuk menentukan kategori tingkat sikap. Penilaian skor pengetahuan = Nilai maksimum - Nilai minimum 3 = 60 - 20 = 13,33 3 Tingkat sikap “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih besar dari 46, tingkat sikap “cukup” bila skor jawaban responden antara 33-46 dan tingkat sikap “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 33. 3. Penilaian Tingkat Praktik Penilaian tingkat praktik responden terhadap biosekuriti di IKH dilakukan dengan membuat 14 pertanyaan mengenai praktik biosekuriti untuk dokter hewan dan 22 pertanyaan untuk paramedik. Pembobotan diberikan pada jawaban yang sesuai diberi nilai “1” dan yang kurang sesuai diberi nilai “0”. Sehingga kisaran nilai untuk praktik biosekuriti dokter hewan ini antara 0-14 dan kisaran nilai untuk paramedik antara 0-22. Pembagian kategori tingkat praktik dokter hewan dilakukan dengan membagi 3 selisih antara skor total maksimal dengan skor minimal. Tingkat praktik “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih besar dari 10, tingkat praktik “cukup” bila skor jawaban responden antara 5-10 dan tingkat praktik “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 5. Pembagian kategori tingkat praktik paramedik juga dilakukan dengan membagi 3 selisih antara skor total maksimal dengan skor minimal. Tingkat praktik “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih besar dari 14, tingkat praktik “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dan tingkat praktik “kurang” bila skor jawaban lebih kecil 7. 4. Penilaian Biosekuriti IKH Penilaian ini dilakukan dengan cara mengukur tingkat biosekuriti IKH baik milik pemerintah maupun milik swasta. Penilaian IKH dilakukan dengan menggunakan 33 pertanyaan mengenai biosekuriti yang meliputi lokasi dan tindakan biosekuriti di IKH yang tertuang dalam kuesioner. Penilaian juga dilakukan dengan observasi langsung menggunakan checklist yang terdiri dari 51 pertanyaan. Checklist yang dibuat berisi tentang kondisi saat ini mengenai tindakan biosekuriti, sarana dan prasarana penunjang penerapan biosekuriti di IKH. Penilaian yang dilakukan dengan memberikan nilai “1” pada IKH yang melakukan tindakan biosekuriti dan nilai “0” yang tidak melakukan tindakan biosekuriti. Hasil penilaian total untuk praktik biosekuriti di IKH adalah penjumlahan kuisioner praktik bioskuriti di IKH skor 33 dengan hasil observasi skor 51. Dengan demikian nilai total nilai maksimum diperoleh untuk tingkat biosekuriti IKH adalah “84” dan nilai total minimum adalah “0”. Pembuatan kategori biosekuriti IKH dilakukan dengan cara selisih nilai total maksimum dan minimum dibagi 3, kemudian hasil pembagian ini dijadikan selang untuk membagi kategori tingkat biosekuriti. Hasil pembagian kategori tersebut yaitu: 1 biosekuriti baik jika skor lebih besar dari 56, 2 biosekuriti cukup jika skor antara 28–56, dan 3 biosekuriti kurang jika skor lebih kecil dari 28. Definisi Operasional Penelitian ini memiliki beberapa peubah yang didefinisikan dalan definisi operasinal yang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Definisi operasioanal peubah penelitian Peubah Penelitian Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran Skala Pengukuran Umur Usia responden yaitu dokter hewan dan paramedik yang pernah melakukan tindakan karantina sapi impor di IKH. Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = 30 tahun, 2 = 30-40 tahun, 3 = 40 tahun Jenis kelamin Jenis kelamin responden dokter hewan dan paramedik yang terdiri dari laki- laki dan perempuan. Kuesioner Wawancara Nominal 1 = Laki- laki, 2 = Perempuan Lama bekerja Masa kerja responden dokter hewan dan paramedik dimana institusi responden bekerja. Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = 1` tahun, 2 = 1 - 2 tahun, 3 = 3 – 5 tahun, 4 = 5 tahun Pendidikan Pendidikan formal responden paramedik yang pernah diikuti. Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = SMU, 2 = STPP, 3 = SPP, 4 = Lain-lain D3, S1, S2 Pelatihan Pelatihan yang pernah diikuti mengenai IKH dan biosekuriti. Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Peubah Penelitian Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran Skala Pengukuran Tim studi kelayakan IKH Responden dokter hewan dan paramedik pernah ikut terlibat dalam tim studi penilaian kelayakan IKH. Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Pengetahuan dokter hewan Pengetahuan dokter hewan tentang teori biosekuriti yang terdiri dari sanitasi, isolasi, kontrol lalu lintas dan penularan penyakit yang mungkin bisa masuk akibat importasi sapi. Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Benar 0 = Salah dan tidak tahu Pengetahuan paramedik Pengetahuan paramedik tentang teori biosekuriti yang terdiri dari sanitasi, isolasi dan kontrol lalu lintas pada IKH sapi impor. Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Benar 0 = Salah dan tidak tahu Sikap dokter hewan Sikap dokter hewan tentang biosekuriti yang terdiri dari sanitasi, isolasi, kontrol lalu lintas dan penularan penyakit yang mungkin bisa masuk akibat importasi sapi. Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Tidak setuju, 2 = Ragu-ragu, 3 = Setuju Sikap paramedik Sikap paramedik tentang biosekuriti yang terdiri dari sanitasi, isolasi dan kontrol lalu lintas pada IKH sapi impor. Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Tidak setuju 2 = Ragu- ragu 3 = Setuju Praktik dokter hewan Praktik aktual biosekuriti dokter hewan pada IKH sapi impor. Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Melakukan praktik biosekuriti 0 = tidak melakukan praktik biosekuriti Peubah Penelitian Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran Skala Pengukuran Praktik paramedik Praktik aktual biosekuriti paramedik pada IKH sapi impor. Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Melakukan praktik biosekuriti 0 = tidak melakukan praktik biosekuriti Mencuci tangan Tindakan mencuci tangan dengan air bersih dan menggunakan desinfektan yang bertujuan untuk meminimalkan kontaminasi dan mencegah penyebaran penyakit. Kuesioner Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Peralatan steril Peralatan yang digunakan selama tindakan karantina. Peralatan ini sebelum digunakan dalam keadaan steril. Hal ini dapat dilakukan dengan mencuci menggunakan desinfektan sebelum dan setelah digunakan, disterilkan menggunakan alat sterilisasi dan atau menggunakan peralatan steril sekali pakai. Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Kandang isolasi Kandang khusus yang digunakan untuk hewan yang sakit dan berjarak minimal 25 meter dari kandang ternak yang sehatkandang pemeliharaan. Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Peubah Penelitian Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran Skala Pengukuran Penanganan hewan yang sakit Pemisahan hewan yang sakit dengan yang sehat sesegera mungkin dan dimasukkan ke dalam kandang isolasi. Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Pengawasan lalu lintas kendaraan dan pengunjung IKH Setiap kendaraan dan pengunjung IKH harus dilakukan desinfeksi menggunakan dippersprayer untuk kendaraan dan dipping sepatu. Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Tindakan terhadap hewan lain di IKH Petugas harus menjaga agar tidak ada hewan lain anjing, kucing, kambing, domba, unggas, burung dan dengan cara mengeluarkan hewan dari area IKH. Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Tindakan terhadap rodensia di IKH Petugas harus mengendalikan adanya rodensia dengan menggunakan perangkap atau racun. Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Tindakan terhadap serangga di IKH Petugas harus mengendalikan adanya serangga dengan menggunakan perangkap atau racun insektisida. Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Tindakan terhadap burung liar di IKH Petugas harus mengendalikan adanya burung liar dengan menjaga sanitasi yaitu tidak membiarkan pakan berceceran di area kandang. Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Peubah Penelitian Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran Skala Pengukuran Perlakuan hewan yang mati Kegiatan penanganan hewan yang matibangkai dengan cara dibakar atau dikubur. IKH harus menyediakan tempat khusus untuk penanganan hewan yang mati ini. Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Pengawasan lalu lintas pakan Mengawasi kendaraan yang membawa pakan dari luar IKH tidak boleh memasuki ke area kandang Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Penanganan limbah Perlakuan yang dilakukan di IKH terhadap limbah kotoran ternakfeses seperti pengeringan, ditampung atau dijadikan pupuk. Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Pengamatan hewan di IKH Tindakan yang dilakukan untuk mengamati kondisi kesehatan hewan yang dilakukan dengan cara menangani hewan sehat terlebih dahulu sebelum menangani hewan yang sakit. Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak Analisis Data Penilaian kondisi IKH dilakukan secara deskriptif, sedangkan hubungan karakteristik umur, jenis kelamin, pendidikan, lama bekerja, pelatihan biosekuriti dan IKH, dan keterlibatan dalam tim penilaian IKH terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik dianalisis menggunakan Uji Korelasi Spearman. Hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik dianalisis menggunakan Uji Korelasi Pearson. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Instalasi Karantina Hewan Sapi Impor Instalasi karantina hewan IKH merupakan suatu bangunan berikut peralatan dan bahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina. Instalasi karantina hewan harus memenuhi persyaratan teknis baik lokasi, konstruksi, sistem drainase, kelengkapan sarana dan prasarana. Penetapan lokasi berkaitan dengan analisis risiko penyebaran hama penyakit, peta situasi hama penyakit hewan, kesejahteraan hewan, sosial budaya dan lingkungan serta jauh dari lokasi budidaya hewan lokal. Kontruksi bangunan instalasi harus kuat dan memenuhi persyaratan sehingga dapat menjamin keamanan media pembawa, petugas ataupun pekerja. IKH harus dilengkapi dengan sarana penunjang yang mudah dibersihkan dan disucihamakan serta memiliki sistem drainase dan sarana pembuangan limbah yang baik. Hal ini untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan oleh limbah dan menghindari kemungkinan penyebaran hama penyakit hewan karantina. Persyaratan dan tata cara penetapan IKH tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan IKH dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 348 Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis IKH Untuk Ruminansia Besar. Pada Tabel 5 dapat dilihat IKH milik pemerintah dan swasta yang terdapat di Pulau Jawa. IKH di Pulau Jawa yang masih digunakan terdapat di wilayah kerja BBKP Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Surabaya dan SKP Kelas I Cilacap. Instalasi Karantina Hewan milik swasta mempunyai jumlah lebih banyak dibandingkan dengan IKH milik pemerintah Tabel 5. Kondisi IKH mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini terletak pada lokasi, fasilitas, sarana dan prasarana yang tersedia pada IKH tersebut. Penerapan tindakan biosekuriti dapat dipengaruhi oleh faktor pendukung diantaranya fasilitas, sarana dan prasarana yang tersedia, sehingga tindakan biosekuriti dapat diterapkan secara maksimal dengan adanya faktor pendukung tersebut. Tabel 5 Instalasi karantina hewan sapi impor di Pulau Jawa yang masih digunakan untuk melakukan tindakan karantina tahun 2010-2011 No. Unit Pelaksana Teknis IKH Pemerintah IKH Swasta 1. BBKP Tanjung Priok Tidak ada 8 2. BBKP Soekarno-Hatta Tidak ada 4 3. BBKP Surabaya 1 1 6. SKP Kelas I Cilacap 1 1 Jumlah 2 14 Penilaian Kondisi IKH Penilaian IKH pada penelitian ini antara lain mencakup lokasi dan tindakan biosekuriti yang dilakukan di IKH. Penilaian lokasi meliputi: 1 jarak IKH dari pelabuhan pemasukan, 2 jarak lalu lintas umum dengan IKH, 3 jarak IKH dengan peternakan sejenis, 4 jarak IKH dengan pemukiman penduduk, dan 5 tinggi pagar keliling IKH. Untuk penilaian biosekuriti aspek yang dilihat adalah: 1 tempat pembuangan akhir limbah, 2 fasilitas kandang isolasi khusus, 3 jarak kandang isolasi dengan kandang pemeliharaanpengamatan, 4 sumber air untuk keperluan IKH, 5 desinfeksi kendaraan yang keluar masuk IKH, 6 desinfeksi pengunjung yang keluar masuk IKH, 7 sarana alat angkut dan peralatan, 8 pengendalian rodensia, 9 pengendalian serangga, 10 pengendalian burung liar, dan 11 pengendalian hewan lain. Penilaian lainnya yang dilakukan yaitu: 1 fasilitas tempat khusus pembuangan sisa peralatan medis, 2 penyakit yang pernah terdeteksi di IKH, dan 3 keluhan masyarakat tentang keberadaan IKH. Pada penelitian ini telah dilakukan penilaian terhadap 16 IKH yang terdiri dari 2 IKH milik pemerintah dan 14 IKH milik swasta. IKH yang digunakan untuk penilaian adalah IKH yang masih layak sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina terhadap sapi impor. Hasil penilaian kondisi IKH dapat dilihat dibawah ini: Lokasi Lokasi merupakan aspek penting dalam penetapan pendirian IKH. Lokasi berhubungan dengan transportasi dan jarak tempuh dengan melihat risiko terhadap penyebaran penyakit dan aspek kesejahteraan hewan. Transportasi hewan dari tempat pemasukan pelabuhan atau bandar udara sampai tempat tujuan yaitu IKH akan mempengaruhi aspek kesejahteraan hewan. Menurut Fisher et al. 2009, transportasi dapat mempengaruhi kesejahteraan hewan diantaranya adalah: 1. Penanganan handling, bongkar muat loading, kenyamanan alat angkut, dan pengalaman petugas dapat mempengaruhi respon psikologi stres hewan. 2. Ketersediaan pakan dan minum selama transportasi dengan memperhitungkan jarak tempuh, ruang gerak berdiri, berbaring, menjaga keseimbangan tubuh dapat mempengaruhi psikologi dan kondisi hewan kelelahan. 3. Suhu dan kondisi alat angkut selama perjalanan serta kondisi jalan. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa sebanyak 56,2 IKH mempunyai jarak kurang dari 100 km, namun masih terdapat IKH yang berjarak lebih dari 100 km 43,8. Menurut pedoman yang ada bahwa jarak IKH maksimal adalah 100 km atau menempuh jarak kurang lebih 3 jam perjalanan dari pelabuhan pemasukan Barantan 2006. Aspek jarak ini sangat penting, karena jika dalam importasi sapi tidak terdeteksi penyakit atau hewan sehat namun dalam keadaan subklinis terhadap suatu penyakit atau hewan bersifat carrier penyakit tertentu, risiko masuk dan penyebaran penyakit akan semakin besar. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi sepanjang perjalanan dari pelabuhan pemasukan sampai ke IKH. Tabel 6 Kondisi jarak IKH dari pelabuhan pemasukan, lalu lintas umum, peternakan sejenis, dan pemukiman penduduk Lokasi IKH Jumlah Jarak IKH dari pelabuhan pemasukan 100 km 9 56,2 Jarak IKH dari lalu lintas umum 100 m 14 87,5 Jarak IKH dari peternakan sejenis 500 m 7 43,8 Jarak IKH dari pemukiman penduduk 500 m 8 50,0 Ketika ternak ditransportasikan terdapat kemungkinan risiko kontak dengan hewan atau material yang terinfeksi agen patogen, misalnya alat angkut yang digunakan tidak dibersihkan dan didisinfeksi secara baik. Hal ini juga meningkatkan kemungkinan kerentanan hewan terinfeksi dan terkena penyakit jika dalam perjalanan hewan menjadi stres Cockram 2007. Pergerakan hewan dari suatu tempat akan menimbulkan risiko penyebaran penyakit, beberapa penyakit seperti bovine tuberculosis dan penyakit mulut dan kuku PMK merupakan penyakit yang penyebarannya dapat disebabkan oleh pergerakan hewan dari satu tempat ke tempat lain. Wabah penyakit PMK pernah terjadi pada awal tahun 2001 di United Kingdom akibat pergerakan hewan dari suatu tempat ke tempat lain Brennan et al. 2008. Kondisi selama perjalanan akan mempengaruhi respon psikologi hewan. Jika kondisi selama perjalanan dapat dijaga dengan baik dan optimal, seperti: cara mengemudi, kondisi jalan, kelayakan alat transportasi, jarak antar hewan, kondisi suhu dan ventilasi, kondisi hewan tidak ada gejala klinis penyakit, luka, atau kondisi psikologi hewan yang dapat mempengaruhi hewan selama perjalanan, dan penanganan hewan sebelum dan sesudah ditransportasikan, dapat memungkinkan hewan ditransportasikan dalam jarak jauh. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi transportasi hewan antara lain: jarak antar hewan didalam alat angkut, cara mengemudi frekuensi mengerem, banyaknya belokan yang dilalui selama perjalanan, dan kondisi jalan yang dilalui. Kondisi tersebut akan mempengaruhi kemampuan hewan untuk menjaga keseimbangan dan posisi berbaring Cockram 2007. Jarak lalu lintas umum dengan lokasi IKH sesuai pedoman yang ada yaitu minimal 100 meter. Pada Tabel 6 dapat dilihat sebanyak 87,5 jarak IKH dengan lalu lintas umum sudah sesuai pedoman yang ada, namun masih terdapat 2 IKH 12,5 yang mempunyai jarak dengan lalu lintas umum kurang dari 100 meter. Jarak merupakan faktor risiko penyebaran penyakit yang perlu diperhatikan. Lokasi IKH yang berdekatan dengan lalu lintas umum akan meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit akibat adanya lalu lintas hewan yang akan melewati IKH tersebut. Hal ini meningkatkan risiko adanya penyebaran penyakit ke area IKH jika hewan yang melewati IKH tersebut ada yang terinfeksi penyakit menular. Penyebaran penyakit juga dapat disebabkan oleh alat angkut yang terkontaminasi oleh agen penyakit. Instalasi karantina hewan harus didirikan jauh dari peternakan sejenis yaitu minimal berjarak 500 meter. Tabel 6 menunjukkan bahwa sebanyak 43,8 IKH mempunyai jarak dengan peternakan sejenis lebih dari 500 meter, namun masih ada IKH yang berjarak kurang dari 500 meter yaitu sebanyak 56,2. Dari hasil observasi terdapat IKH yang didirikan berdekatan dengan peternakan sejenis yaitu peternakan untuk penggemukan dan pembibitan. Selain itu ada juga IKH yang disatukan dengan kandang penggemukan dan pembibitan. Hal ini dikarenakan terbatasnya lahan dan anggaran untuk mendirikan IKH sedangkan importir sudah memiliki fasilitas kandang permanen untuk penggemukan maupun pembibitan. Jarak IKH yang berdekatan dengan peternakan sejenis memungkinkan terjadinya penularan penyakit akibat pergerakan hewan yang terdapat di area IKH. Pergerakan hewan dan kontak dengan agen penyakit ini tergantung dari jenis peternakan, luas peternakan, dan populasi hewan di dalam peternakan Brennan et al. 2008. Jarak yang berdekatan dengan lokasi peternakan lain akan berpeluang terjadinya penyebaran penyakit. Menurut Le et al. 2008, satu peternakan dengan peternakan sejenis dan peternakan lain jenis perlu dipisahkan dan dibuat jarak untuk mengendalikan penyebaran penyakit, seperti malignant cattarhal fever MCV. Jarak IKH dengan pemukiman penduduk harus lebih dari 500 meter. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa IKH yang ada sebanyak 50 sudah berjarak lebih dari 500 meter dari pemukiman penduduk, namun demikian masih terdapat IKH yang lokasinya berdekatan dengan pemukiman penduduk yaitu kurang dari 500 meter sebanyak 50. Instalasi karantina hewan merupakan tempat pengasingan dan pengamatan hewan terhadap kondisi kesehatan hewan dan mencegah penyakit menyebar diantara hewan dan ke lingkungan sekitar. Biosekuriti yang tidak maksimal pada IKH akan berisiko menyebarkan penyakit ke lingkungan sekitar. Jarak IKH yang berdekatan dengan pemukiman penduduk akan menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran air, bau, lalat dan gangguan kesehatan masyarakat khususnya penyakit zoonotik. Risiko penyebaran penyakit dapat terjadi akibat lokasi IKH dengan pemukiman penduduk yang berdekatan. Risiko ini dapat berupa penularan penyakit yang berasal dari feses ternak dan vektor lalat dan nyamuk yang bisa bertindak sebagai pembawa penyakit yang dapat ditularkan diantara hewan dan manusia. Penyebaran penyakit infeksi hewan dapat terjadi dengan berbagai cara antara lain melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi, feses, insekta, atau vektor pembawa penyakit, partikel aerosol, dan melalui cara venereal route saat kawin. Penyebaran lain yaitu melalui kontak tidak langsung diantaranya terdedah oleh peralatan yang terkontaminasi, kendaraan, alat angkut hewan, pakaian, sepatu bot atau tangan Wagner et al. 2011. Permasalahan akan timbul akibat adanya lokasi IKH yang berdekatan dengan lokasi penduduk, diantaranya adalah bau, lalat dan pencemaran air. Permasalahan ini timbul akibat limbah kotoran hewan yang tidak ditangani secara baik. Kotoran hewan feses merupakan media yang dapat menularkan penyakit. Paratuberkulosis merupakan penyakit zoonotik yang dapat ditularkan melalui feses. Di dalam feses terutama yang cair, bakteri ini dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang relatif lama tergantung dengan kondisi lingkungan. Pakan dan air yang tercemar oleh feses merupakan sumber infeksi bagi ternak yang lain, terutama ternak–ternak yang masih muda. Susu dari induk yang terinfeksi oleh M. paratuberculosis akan semakin banyak mensekresikan bakteri ini seiring dengan tingkat keparahan penyakit atau dapat juga melalui puting yang tercemar feses yang mengandung bakteri ini, sehingga ternak yang menyusu akan terinfeksi. Padang pengembalaan atau padang rumput juga bisa tercemar dan dapat sebagai sumber infeksi, hal ini bisa terjadi jika dialiri dengan air yang telah tercampur dan terkontaminasi oleh feses hewan terinfeksi. Praktik manajemen yang perlu dilakukan untuk mengendalikan Paratuberkulosis diantaranya sanitasi area peternakan, mengurangi kepadatan ternak, meminimalkan kontaminasi kotoran feses pada pakan dan sumber air minum, dan memisahkan hewan yang muda dengan hewan yang tua Benjamin et al. 2010. Insekta dapat terlibat dalam transmisi virus penyebab enzootic bovine leucosis EBL, transmisi alami tergantung sel yang terinfeksi masuk kedalam tubuh misalnya selama proses kelahiran parturition, potong tanduk, pemasangan eartag, inseminasi buatan, jarum suntik yang terkontaminasi, peralatan bedah, dan sarung tangan yang dipakai pada saat pemeriksaan rektal. Pada daerah dengan populasi lalat yang banyak, transmisi dapat terjadi secara mekanik, dimana virus dapat dipindahkan oleh lalat Tabanidae. Penularan penyakit ini melalui darah dan sering juga akibat praktik manajemen di peternakan injection, dehorning, tattooing, tagging dan pregnancy checking Kidwell 2008. Observasi yang dilakukan selama penelitian didapatkan bahwa pada umumnya 75 pagar IKH sapi impor yang terdapat di Pulau Jawa mempunyai tinggi lebih dari 2 meter. Pagar merupakan pelindung terhadap lingkungan luar. Pagar IKH didirikan sebagai tindakan isolasi agar penyebaran penyakit tidak dapat masuk ke dalam IKH dan sebaliknya agen penyakit tidak dapat keluar IKH. Pagar juga berfungsi sebagai sarana kontrol lalu lintas hewan dan pengunjung supaya tidak bebas keluar masuk ke dalam area IKH. Lokasi IKH yang akan didirikan harus dikoordinasikan dengan pemerintah daerah setempat untuk mendapatkan ijin rekomendasi pendirian IKH. Sebelum IKH didirikan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: status penyakit daerah setempat, letak geografis, iklim, air, tanah dan lingkungan sekitar. Instalasi karantina hewan yang akan didirikan harus memperhatikan jarak dari pelabuhan pemasukan, hal ini berhubungan dengan kesejahteraan hewan pada saat hewan ditransportasikan dari pelabuhan tempat pemasukan ke IKH. Lokasi IKH yang jauh akan menyebabkan perjalanan memakan waktu tempuh yang panjang sehingga akan mempengaruhi kondisi hewan. Penyakit akan muncul akibat adanya transportasi hewan. Munculnya penyakit ini ditunjang oleh kesejahteraan hewan yang kurang mendapat perhatian selama perjalanan. Kesejahteraan hewan yang kurang mendapat perhatian selama perjalanan akan menurunkan sistem kekebalan tubuh hewan yang akan berakibat terpaparnya hewan oleh agen infeksius. Kondisi stres pada hewan selama dalam perjalanan akan meningkatkan pengeluaran agen patogen oleh hewan yang terinfeksi melalui sekresi hidung, aerosol sistem pernafasan dan feses. Pengeluaran agen patogen ini shedding dapat mengkontaminasi alat angkut, peralatan, dan daerah yang dilewati sepanjang perjalanan EFSA 2004. Transportasi hewan dapat menjadi sumber penularan penyakit infeksi pada hewan dan dapat bersifat zoonotik. Karantina pertanian sebagai institusi yang bertugas melakukan tindakan pencegahan masuk dan menyebarnya penyakit perlu meningkatkan pengawasan diantaranya: 1 mengetahui status penyakit hewan daerah asal, 2 hanya hewan yang sehat yang diijinkan melakukan perjalanan, 3 melakukan pengujian klinis terhadap hewan yang akan ditransportasikan dan 4 melakukan tindakan biosekuriti yaitu cleaning dan disinfeksi alat angkut dan peralatan yang digunakan. Tindakan Biosekuriti di IKH Biosekuriti adalah semua tindakan yang merupakan pertahanan pertama untuk pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah semua kemungkinan kontakpenularan dengan peternakan tertular dan penyebaran penyakit Ditjenak 2007. Tujuan utama penerapan biosekuriti adalah untuk menghentikan masuknya penyakit dan penyebaran penyakit dengan cara mencegah, mengurangi atau mengendalikan kontaminasi silang dari media pembawa yang dapat menularkan agen penyakit feses, urine, saliva, sekresi dari alat pernapasan dan lain-lain. Praktik manajemen biosekuriti dibuat untuk mencegah penyebaran penyakit dengan meminimalkan perjalanan atau perluasan agen penyakit dan vektor rodensia, lalat, nyamuk, kutu, caplak dan lain-lain di dalam suatu area peternakan. Biosekuriti merupakan cara yang murah, paling efektif untuk pengendalian penyakit dan tidak akan ada program pencegahan penyakit yang berjalan dengan baik tanpa adanya penerapan biosekuriti. Tabel 7 memperlihatkan bahwa sebanyak 43,8 IKH sudah memiliki fasilitas kandang isolasi, namun masih ada IKH yang tidak menyediakan fasilitas kandang isolasi khusus yaitu sebanyak 56,2. Hal ini dikarenakan keterbatasan anggaran yang tersedia. Hasil observasi diperoleh bahwa IKH yang tidak memiliki kandang isolasi khusus menggunakan kandang pemeliharaan sebagai kandang isolasi sehingga menghemat anggaran yang ada. Kondisi ini menyebabkan jarak antara kandang isolasi dengan kandang pemeliharaan di IKH masih ada yang kurang dari 25 meter 18,8. Isolasi hewan merupakan tindakan biosekuriti untuk mencegah penyebaran agen penyakit dari hewan yang terinfeksi. Ketersediaan kandang isolasi khusus sangat penting sebagai tindakan untuk meminimalkan dan mencegah kontaminasi penyakit yang terjangkit di IKH, sehingga penerapan biosekuriti menjadi maksimal. Tabel 7 Penerapan biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa Penerapan biosekuriti Jumlah Tersedianya fasilitas kandang isolasi 7 43,8 Jarak kandang isolasi dengan kandang pemeliharaan 25 m 13 81,2 Tersedianya tempatpenampungan pembuangan akhir limbah 15 93,8 Sumber air IKH berasal dari air sumur 12 75,0 Perlakuan desinfeksi kendaraan yang keluar masuk IKH 6 37,5 Perlakuan desinfeksi pengunjung yang keluar masuk IKH 14 87,5 Tersedianya fasilitas sarana alat angkut pakan 15 93,8 Terdapat pengendalian rodensia di IKH 10 62,5 Terdapat pengendalian serangga di IKH 12 75,0 Terdapat pengendalian burung liar di IKH 0,00 Terdapat pengendalian hewan lain di IKH 13 81,2 Tindakan isolasi terhadap hewan sakit merupakan tindakan biosekuriti yang dapat mengurangi risiko penyebaran penyakit diantara hewan. Kandang isolasi harus dibuat terpisah dari kandang pemeliharaan. Pakaian cattle packcoveralls dan sepatu bot yang dipakai untuk menangani hewan di kandang isolasi tidak boleh dipakai pada saat menangani hewan sehat. Jika fasilitas kandang isolasi tidak memungkinkan dibuat, dapat digunakan pen kandang pemeliharaan terpisah dari kandang hewan sehat. Selain itu pakan yang digunakan tidak boleh kontak dengan hidung nose-to-nose contact dan pakan serta air minum yang digunakan harus terpisah dengan hewan yang sehat Bowman Shulaw 2001. Penempatan hewan pada kandang isolasi khusus juga bertujuan untuk meminimalkan pergerakan hewan sakit sehingga meminimalkan penyebaran penyakit Buhman et al. 2007. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa IKH yang ada sudah mempunyai tempat penampungan limbah kotoran ternak 93,8, namun demikian masih terdapat IKH yang masih membuang limbah kotoran hewan ke parit atau sungai 6,2. Keadaan ini sangat berbahaya terhadap lingkungan karena bisa berpotensi menjadi sumber penularan penyakit dan pencemaran air. Kotoran ternak merupakan media yang potensial untuk menularkan penyakit. Banyak penyakit yang bisa ditularkan akibat kontaminasi feses antara lain salmonellosis, paratuberculosis, bovine viral diarrhea BVD dan lain-lain. Risiko penularan penyakit ke manusia akan semakin tinggi jika kotoran ternak ini tidak dikelola dengan baik dan benar. Sumber air merupakan kebutuhan yang harus tersedia dengan cukup. Sumber air yang digunakan untuk keperluan IKH harus bersih dan bebas dari kontaminasi agen penyakit dan bahan-bahan yang berbahaya khususnya untuk hewan. Media yang mungkin dapat menyebarkan penyakit melalui air adalah feses, oleh sebab itu, tindakan sanitasi harus terus ditingkatkan guna memaksimalkan tindakan biosekuriti. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa IKH pada umumnya menggunakan air sumur sebagai sumber air untuk kebutuhan kegiatan IKH 75, air ledengPAM sekitar 6,2, namun demikian masih ada IKH yang menjadikan sungai sebagai sumber air 18,8. Hal ini tidak menutup kemungkinan air sungai tersebut terkontaminasi oleh agen penyakit dan bahan- bahan yang berbahaya. Sumber air mempunyai pengaruh terhadap kualitas air yang digunakan pada suatu peternakan. Masalah kualitas air diantaranya yaitu konsentrasi mineral dan garam yang tinggi, kandungan nitrogen yang tinggi, kontaminasi bahan kimia, kontaminasi bakteri dan perkembangan alga. Bakteri, virus, dan parasit pada unumnya dapat ditemukan pada kolam dan air permukaan yang memungkinkan terkontaminasi feses dan mudah dijangkau oleh hewan. Agen patogen sangat berbahaya jika mengkontaminasi persediaan air pada suatu peternakan. Agen patogen ini akan menimbulkan masalah kesehatan dan menurunkan produktivitas hewan. Sumber air yang terkontaminasi akan dapat menyebarkan agen patogen di area peternakan dengan cepat disease-causing agent. Leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang dapat menginfeksi hewan dan menyebar dengan cepat akibat sumber air yang terkontaminasi. Selain itu kandungan coliform akan banyak ditemukan pada air kolam yang dapat di jangkau oleh hewan. coliform merupakan bakteri normal yang ada didalam saluran pencernaan hewan dan manusia yang dapat mencemari sumber air Parish Rhinehart 2008. Sebanyak 37,5 IKH melakukan disinfeksi terhadap lalu lintas kendaraan dan 87,5 melakukan disinfeksi terhadap lalu lintas pengunjung di IKH. Tabel 7 diatas memperlihatkan juga bahwa sebagian besar IKH 62,5 tidak melakukan disinfeksi terhadap lalu lintas kendaraan dan sebanyak 12,5 tidak melakukan disinfeksi terhadap lalu lintas pengunjung. Disinfeksi merupakan salah satu tindakan sanitasi untuk meminimalkan dan mencegah kontaminasi terutama feses terhadap alat angkut, peralatan, pakaian pengunjung agar penyebaran penyakit dapat dicegah. Lalu lintas keluar masuk kendaraan dan pengunjung merupakan salah satu risiko penyebaran penyakit di area peternakan. Risiko penyebaran penyakit akan lebih tinggi terhadap pengunjung yang berasal dari peternakan lain yang terinfeksi suatu penyakit. Lalu lintas yang mempunyai risiko tinggi yang dapat menyebarkan penyakit pada peternakan yaitu: inseminator, pekerja di peternakan atau pengolahan produk hewan, dokter hewan, kendaraan yang digunakan untuk mengangkut ternak dan pengunjung yang berasal dari area peternakan lain Bowman Shulaw 2001. Tindakan cleaning dan disinfeksi sebagai tindakan sanitasi untuk lalu lintas kendaraan dan pengunjung yang keluar masuk area IKH sangat perlu diterapkan sebagai tindakan untuk memaksimalkan penerapan biosekuriti. Daya kerja disinfektan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain spektrum disinfektan, kadar kontaminasi, kandungan protein, bahan organik dan adanya kandungan sabun dapat menetralkan beberapa disinfektan, konsentrasi disinfektan, waktu kontak, temperatur, memiliki stabilitas dalam jangka waktu lama residual yang lama, dan efektif pada berbagai temperatur. Disinfektan yang digunakan harus mempunyai sifat antara lain aman tidak berbahaya dan mengiritasi jaringan hewan dan manusia, tidak toksik bagi lingkungan, tidak merusak peralatan, dan efektif pada berbagai temperatur CDC 2003. Penyebaran kotoran feses sebagai salah satu media penularan penyakit dapat terjadi akibat adanya petugaspengunjung dalam satu hari melakukan pengawasan lebih dari setengah area peternakan dan tidak melakukan disinfeksi terhadap peralatan dan kendaraan yang digunakan. Risiko juga dapat terjadi pada pengunjung dengan frekuensi kunjungan ke peternakan lebih dari satu dalam sehari, selain itu penyebaran agen patogen pada area peternakan dapat terjadi melalui fomite Brennan et al. 2008. Alat angkut pakan merupakan salah satu media pembawa penyakit masuk ke IKH. Penggunaan alat angkut pakan milik sendiri dapat meminimalkan risiko penularan penyakit yang mungkin terbawa melalui alat angkut dan pakan. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada umumnya IKH memiliki alat angkut pakan sendiri 93,8, sehingga dapat disimpulkan bahwa penularan penyakit melalui alat angkut pakan dapat diminimalkan risikonya. Selain alat angkut, peralatan juga dapat menjadi media penularan penyakit secara tidak langsung. Penularan ini terjadi akibat adanya kontaminasi agen penyakit pada peralatan dan penggunaan peralatan yang tidak steril. Hasil observasi yang diperoleh, pada umumnya peralatan medis yang digunakan untuk perlakuan tindakan karantina menggunakan peralatan yang steril dan sekali pakai. Peralatan penunjang lainnya tidak pernah meminjam dari IKH lain ataupun peternakan lain yang terdekat. Peminjaman peralatan berpeluang menularkan dan menyebarkan penyakit jika tidak diawasi secara ketat dan dilakukan sterilisasi peralatan sebelum digunakan. Pengendalian terhadap rodensia, serangga, dan hewan lain pada IKH telah dilakukan Tabel 7, namun demikian, pengendalian terhadap burung liar belum dilakukan pada IKH sapi impor yang terdapat di Pulau Jawa. Pengendalian burung liar pada IKH sapi impor belum dilakukan karena konstruksi dan bangunan IKH pada umumnya dapat dimasuki oleh burung liar. Pengendalian terhadap burung liar di IKH dapat dilakukan dengan pengendalian habitat dari burung liar tersebut. Rodensia dan serangga merupakan vektor yang dapat membawa penyakit menular, selain itu rodensia juga dapat menyebabkan kontaminasi terhadap sumber air dan pakan pada IKH. Adanya hewan lain didalam area peternakan dapat menjadi risiko penularan penyakit pada ternak. Beberapa penyakit seperti rabies, leptospirosis, dan salmonellosis dapat dibawa dan ditularkan oleh beberapa spesies hewan liar dan hama seperti tikus. Meskipun kita ketahui bahwa sulit melakukan tindakan pencegahan secara maksimal terhadap kemungkinan adanya kontak antara hewan liar dengan ternak. Tindakan yang dapat dilakukan adalah menjaga agar peternakan dan sekitarnya tidak menarik kehadiran hewan liar tersebut. Menjaga lingkungan peternakan agar tidak terdapat sisa pakan yang berceceran dan meningkatkan sanitasi kandang dapat meminimalkan adanya hewan liar. Tindakan lain yang dapat dilakukan yaitu tidak membiarkan banyak tumpukan kayu dan papan di area sekitar kandang, memeriksa kandang dan bangunan dari kemungkinan tempat persembunyian atau sarang hewan liar. Pengendalian yang lain adalah dengan senantiasa melakukan pemeriksaan terhadap tempat penyimpanan pakan dan tempat kemungkinan hewan seperti kucing, anjing dan hewan lain yang menggunakan pakan sebagai tempat untuk membuat sarang atau tempat untuk defekasi Bowman Shulaw 2001. Aspek Lain-lain Ketersediaan fasilitas tempat pembuangan khusus untuk sisa peralatan medis sangat penting. Sisa peralatan medis jarum suntik, tabung penyimpanan serumdarah, sarung tangan, dan lain-lain dapat menjadi sumber penularan penyakit jika tidak dikelola secara baik dan benar. Instalasi karantina hewan yang ada belum semuanya menangani limbah sisa peralatan medis, hal ini dapat menjadi risiko adanya penularan penyakit di IKH akibat pengelolaan limbah sisa peralatan medis yang tidak ditangani dengan baik. Ketersediaan sarana tempat pembuangan khusus untuk sisa peralatan medis perlu disediakan di IKH. Sarana ini merupakan salah satu pencegahan kontaminasi agen penyakit, sebagai contoh penyakit BLV dapat ditularkan melalui darah yang terdapat pada jarum suntik yang sudah tidak terpakai setelah digunakan untuk pengambilan darah dan pada saat perlakuan pengobatan Kidwell 2008. Tabel 8 memperlihatkan adanya keluhan masyarakat 37,5 mengenai keberadaan IKH yang berlokasi didekat pemukiman penduduk. Dari hasil observasi, keluhan masyarakat terhadap IKH yang lokasinya berdekatan dengan pemukiman penduduk yaitu terhadap bau, adanya lalat, dan pencemaran air. Tabel 8 Aspek lain-lain yang menggambarkan keadaan IKH sapi impor di Pulau Jawa Aspek lain-lain Jumlah Tersedianya fasilitas pembuangan sisa peralatan medis 6 37,5 Adanya keluhan masyarakat sekitar dengan adanya IKH 6 37,5 Hasil wawancara didapatkan bahwa pernah terdeteksi penyakit pada IKH sapi impor 12,2. Dari hasil wawancara, penyakit yang terdeteksi yaitu paratuberkulosis akibat importasi sapi dari Australia pada tahun 2008. Tindakan pemusnahan telah dilakukan terhadap hewan-hewan yang positif penyakit ini yang dilakukan didalam area IKH. Pengendalian paratuberkulosis dapat dilakukan dengan test and slaughter, vaksinasi dan eliminasi atau meminimalkan faktor risiko penyakit ini. Vaksinasi merupakan salah satu pilihan untuk mengendalikan penyakit paratuberkulosis, akan tetapi vaksinasi hanya mengurangi prevalensi shedders dari bakteri dan mengurangi kasus klinis pada peternakan Benjamin et al. 2010. Dari hasil observasi di lapangan tindakan pemeriksaan terhadap penyakit hewan masih terkendala dengan anggaran yang ada. Kondisi ini menyebabkan pemeriksaan hanya terbatas dari keterangan kesehatan yang terdapat pada dokumen surat keterangan kesehatan hewan dari negara asal, tanpa adanya keterangan vaksinasi dan hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan selama masa karantina adalah brucellosis dan paratuberkulosis hasil observasi IKH. Hal ini merupakan risiko yang cukup tinggi terhadap masuk dan menyebarnya penyakit eksotik di Indonesia, karena Australia merupakan negara yang belum bebas penyakit BLV, Q-fever, IBR, BVD, paratuberkulosis, dan penyakit-penyakit lainnya. Menurut Negrón et al. 2011, risiko utama penularan virus BVD pada peternakan sapi yaitu memasukkan ternak sapi baru dengan status BVD yang tidak diketahui. Penularan penyakit ini terjadi akibat sifat penyakit persistently infectedPI dan juga hewan yang baru masuk peternakan dalam keadaan infeksi akut sehingga dapat mengeluarkan virus. Oleh sebab itu, pemeriksaaan laboratorium untuk mendiagnosa penyakit eksotik sangat penting dilakukan. Pemeriksaan laboratorium untuk deteksi dini penyakit merupakan tindakan untuk memaksimalkan biosekuriti. Penerapan biosekuriti pada IKH perlu dilakukan secara maksimal. Karantina pertanian merupakan institusi yang mempunyai tugas melakukan tindakan karantina terhadap sapi impor dalam rangka pencegahan penyakit di pintu pemasukan sebelum dilakukan pembebasan memerlukan petugas yaitu dokter hewan dan paramedik yang profesional. Petugas karantina perlu dibekali pengetahuan dan ketrampilan yang dapat mendukung tugas mereka dalam melakukan pencegahan penyakit, oleh sebab itu peningkatan sumber daya manusia SDM karantina pertanian perlu terus dilakukan secara berkelanjutan. Evaluasi terhadap IKH harus terus dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian dan memberikan peringatan serta sanksi yang tegas terhadap IKH yang tidak mengikuti persyaratan yang telah ditetapkan. Evaluasi ini dilakukan terhadap persyaratan lokasi, kelengkapan fasilitas, sarana dan prasarana yang dapat menunjang penerapan praktik biosekuriti. Pada penelitian ini dilakukan penilaian terhadap kategori tingkat biosekuriti IKH berdasarkan hasil skoring penilaian IKH dan checklist yang telah dilakukan. Hasil kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Kategori tingkat biosekuriti IKH sapi impor di Pulau Jawa Kategori tingkat biosekuriti IKH Jumlah Baik 5 31,2 Cukup 10 62,6 Kurang 1 6,2 Penilaian kategori IKH didapatkan 31,2 IKH yang ada di Pulau Jawa masuk kategori “baik” dan 62,6 masuk kedalam kategori “cukup” serta 6,2 masuk kategori ”kurang”. Dapat diambil kesimpulan bahwa IKH yang sudah ada masuk kedalam kategori “baik” dan “cukup”. Dari hasil observasi dan wawancara permasalahan IKH sapi impor di Pulau Jawa diantaranya adalah: 1 anggaran pemeliharaan yang kurang memadai, 2 tanah yang digunakan untuk pembangunan IKH bukan tanah milik sendiri, sehingga untuk pengembangan dan pemeliharaan mengalami hambatan karena sewaktu-waktu tanah tersebut dapat dipakai untuk kepentingan pemilik lahan, 3 terbatasnya petugas untuk pemeliharaan dan menjaga kebersihan IKH, dan 4 penurunan frekuensi tindakan karantina yang dilakukan di IKH menyebabkan fasilitas sarana dan prasarana jarang digunakan sehingga menjadi rusak dan tidak terpelihara. Keberadaan IKH mempunyai hubungan yang erat dengan aspek kesehatan masyarakat, diantaranya adalah penyakit zoonosis terhadap petugas dan pekerja yang menangani hewan secara langsung di IKH. Selain itu, keberadaan IKH akan berpengaruh terhadap masyarakat dan lingkungan disekitarnya. Keberadaan IKH yang tidak menerapkan tindakan biosekuriti yang baik akan menimbulkan permasalahan terhadap kesehatan masyarakat antara lain adanya bau dan lalat dari limbah kotoran ternak yang tidak ditangani dengan baik, selain itu dampak pencemaran yang timbul akibat adanya IKH terhadap lingkungan sekitar. Tindakan biosekuriti di IKH yang masih belum maksimal disebabkan karena IKH tidak mengikuti persyaratan yang telah ditetapkan oleh Badan Karantina Pertanian. Kondisi ini disebabkan IKH yang ada lebih dulu dibuat dari pedoman persyaratan yang dikeluarkan oleh Badan Karantina Pertanian. Permasalahan sampai saat ini masih belum teratasi terutama penyediaan fasilitas sarana penunjang untuk penerapan biosekuriti karena membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Pendirian IKH saat ini harus memenuhi persyaratan teknis dan administrasi yang sudah ditetapkan. Penerapan law-enforcement perlu dilakukan terhadap pendirian IKH yang tidak sesuai dengan pedoman yang sudah dibuat. Pemerintah dalam hal ini Badan Karantina Pertanian perlu membantu memfasilitasi IKH yang belum memenuhi persyaratan yang dibuat sebelum pedoman IKH ditetapkan. Instalasi karantina hewan sapi impor perlu ditingkatkan dan diperbaiki terhadap sistem yang sudah ada, salah satunya dengan membuat sistem operasional prosedur SOP khusus mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor. Sistem operasional prosedur ini dapat dibuat dari pedoman dan persyaratan yang ada dan telah ditetapkan oleh Kementerian Pertanian ataupun oleh Badan Karantina Pertanian. Selain SOP, audit internal pada IKH terhadap biosekuriti harus dilakukan untuk mengevaluasi IKH yang sudah ada dan perlu dilakukan sertifikasi terhadap penerapan biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa. Penerapan biosekuriti di peternakan memerlukan kerja sama dan dukungan oleh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan peternakan tersebut. Tantangan utama pada kemajuan penerapan biosekuriti di peternakan adalah tingkatan peternakan tersebut, pemilik peternakan dan dokter hewan yang bertugas pada peternakan tersebut sebagai pihak yang memahami kesehatan hewan Gunn et al. 2008. Penerapan biosekuriti pada tingkat peternakan dilakukan untuk mengatasi adanya penyakit baru dan kerugian akibat penyakit yang tidak dapat diprediksi. Penerapan biosekuriti bagi peternak dapat menguntungkan dari risiko penyakit zoonotik, perdagangan internasional dan dari segi biaya sehingga meningkatkan kesejahteraan. Sebuah dilema sosial dapat timbul dan menjadi tantangan dalam penerapan biosekuriti dengan adanya kepentingan bersama yang tidak sejalan dengan kepentingan individu. Untuk meningkatkan biosekuriti di peternakan harus dimotivasi oleh perubahan perilaku ke arah yang positif terhadap biosekuriti. Hambatan akan muncul dengan adanya individu yang tidak mendukung terhadap penerapan biosekuriti pada suatu peternakan Kristensen Jakobsen 2011. Karakteristik Dokter Hewan Responden yang diwawancarai untuk mengetahui karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik tentang biosekuriti sebanyak 54 dokter hewan. Responden ini terdiri dari 40 dokter hewan pemerintah dan 14 dokter hewan swasta. Karakteristik dokter hewan hasil wawancara dapat dilihat pada Tabel 10. Pada umumnya dokter hewan berusia antara 30-40 tahun 48,1 dengan jenis kelamin perempuan 61,9. Dokter hewan pada penelitian ini telah bekerja antara 1-2 tahun 31,5 dan pernah terlibat menjadi tim penilai IKH 24,1 serta pernah mengikuti pelatihanseminar mengenai IKH 29,6. Pada Tabel 10 dapat dilihat juga bahwa sebanyak 53,7 dokter hewan pernah mengikuti pelatihanseminar mengenai biosekuriti. Umur dokter hewan pada umumnya masih termasuk pada usia produktif, dimana usia ini masih mampu bekerja secara maksimal dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk institusinya. Umur dokter hewan yang masih produktif mempunyai kelebihan stamina fisik yang lebih baik dan lebih produktif dalam bekerja. Sedangkan dokter hewan yang berumur lebih tua memiliki kelebihan dari segi pengalaman dan wawasan karena masa kerja yang lebih lama. Karakteristik dokter hewan yang ada masih belum pernah terlibat dalam tim penilai IKH 75,9 dan mengikuti pelatihan mengenai IKH 70,4 serta masih banyak yang belum mengikuti pelatihan biosekuriti 46,3. Kondisi ini akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia SDM responden. Kualitas SDM yang tidak baik akan berdampak pada kinerja institusi tersebut. Dokter hewan karantina merupakan profesi yang mempunyai tanggung jawab penting dalam penentuan keputusan status kesehatan hewan yang dilalu- lintaskan baik antar area maupun antar negara. Oleh sebab itu kualitas dokter hewan yang baik sangat dibutuhkan agar keputusan yang diambil tepat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tabel 10 Karakteristik dokter hewan menurut umur, jenis kelamin, lama bekerja, pernah menjadi tim studi kelayakan IKH, dan pelatihan yang pernah diikuti Karakteristik Dokter Hewan Jumlah Umur Tahun 30 30 - 40 40 20 26 8 37,0 48,1 14,8 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 21 33 38,9 61,1 Lama Bekerja Tahun 1 1 - 2 3 - 5 5 12 17 13 12 22,2 31,5 24,1 22,2 Pernah Menjadi Tim Penilai IKH 13 24,1 Pernah Mengikuti PelatihanSeminar IKH 16 29,6 Pernah Mengikuti PelatihanSeminar Biosekuriti 29 53,7 Peningkatan SDM dapat dilakukan dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan sebagai sarana pembinaan dan pengembangan karir untuk meningkatkan kemampuan dan mutu pekerjaan yang dihasilkan Salam 2005. Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Dokter Hewan Rataan persentase pengetahuan dokter hewan mengenai sanitasi, isolasi, kontrol lalu lintas dan penularan penyakit hewan dapat dilihat pada Gambar 2, sedangkan rataan persentase skor pengetahuan, sikap dan praktik dokter hewan dapat dilihat pada Gambar 3. Rataan persentase skor pengetahuan adalah merupakan rataan persentase total skor jawaban yang benar dari total skor pertanyaan mengenai biosekuriti yang diberikan. 40 45 64 47 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Sanitasi Isolasi Lalu lintas Penularan Penyakit S k o r Pengetahuan mengenai sanitasi dijawab dengan benar adalah 40 Gambar 2. Skor ini menunjukkan bahwa dokter hewan menjawab dengan benar pertanyaan mengenai sanitasi adalah sebesar 40. Pengetahuan mengenai isolasi dijawab benar oleh dokter hewan yaitu sebesar 45 dan pengetahuan mengenai lalu lintas dijawab dengan benar oleh dokter hewan yaitu sebesar 64, sedangkan pengetahuan mengenai penularan penyakit dijawab dengan benar oleh dokter hewan yaitu sebesar 47. Gambar 2 menunjukkan bahwa pengetahuan dokter hewan mengenai lalu lintas sudah baik 50. Dokter hewan merupakan profesi yang memegang peranan penting dalam pencegahan dan pengendalian penyakit. Dokter hewan karantina harus mempunyai pengetahuan yang baik mengenai kontrol lalu lintas. Kontrol lalu lintas merupakan tindakan biosekuriti yang sangat penting untuk mencegah penularan penyakit terutama penyakit eksotik dan penyebaran penyakit yang semakin luas. Pengetahuan responden mengenai sanitasi, isolasi dan penularan penyakit masih kurang 50. Pengetahuan yang kurang tersebut mempunyai peluang risiko masuk dan menyebarnya penyakit khususnya di IKH sapi impor. Gambar 2 Rataan persentase skor pengetahuan dokter hewan mengenai biosekuriti. 46 64 68 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Pengetahuan Sikap Praktik S k o r Pengetahuan yang kurang mengenai penularan penyakit hewan penyakit eksotik kemungkinan karena informasi yang sangat minim diterima oleh dokter hewan dan pengalaman dilapangan yang belum pernah dan jarang menemukan kasus kejadian penyakit eksotik ini. Kita ketahui bahwa Indonesia masih bebas dari beberapa penyakit antara lain BLV, BVD dan Q fever, sedangkan paratuberkulosis sudah terdeteksi di beberapa tempat di Indonesia dari hasil pengujian serologis. Oleh sebab itu pengetahuan mengenai penyakit khususnya mengenai penularan penyakit sangat diperlukan oleh dokter hewan. Gambar 3 menunjukkan rataan persentase skor total pengetahuan, sikap dan praktik dokter hewan mengenai biosekuriti. Rataan persentase skor ini adalah rataan persentase total skor jawaban dokter hewan dari total skor pertanyaan- pertanyaan yang terdapat pada kuesioner. Rataan persentase skor pengetahuan dokter hewan terhadap biosekuriti yaitu 46, rataan persentase skor sikap dokter hewan terhadap biosekuriti yaitu 64 dan rataan persentase skor praktik dokter hewan terhadap biosekuriti yaitu 68. Gambar 3 Rataan persentase skor total pengetahuan, sikap, dan praktik dokter hewan mengenai biosekuriti. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa masih terdapat dokter hewan yang menjawab kurang tepat pertanyaan pengetahuan mengenai biosekuriti yang terdapat dalam kuesioner, sehingga rataan persentase skor total dokter hewan yang menjawab benar pertanyaan pengetahuan ini hanya sebesar 46. Skor sikap sebesar 64 menggambarkan bahwa dokter hewan memiliki sikap positif terhadap biosekuriti yaitu 64, sedangkan pada skor praktik, yaitu sebanyak 68 dokter hewan sudah menerapkan praktik biosekuriti dengan baik. Rataan persentase skor total pengetahuan yang kurang 46 dibandingkan dengan skor sikap 64 dan skor praktik 68, kemungkinan disebabkan oleh faktor penunjang yang mendukung adanya praktik yang positif terhadap biosekuriti. Faktor ini adalah adanya kesempatan, fasilitas dan prosedur standar kerja SOP yang terdapat pada IKH. Pengetahuan yang kurang dengan adanya prosedur kerja dan fasilitas yang memadai akan meningkatkan sikap dan praktik yang positif. Menurut Ali 2003, untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatanpraktik yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan dalam hal ini adanya kesempatan, antara lain fasilitas. Pengetahuan yang kurang dapat dikaitkan dengan karakteristik umur dokter hewan yaitu pada umumnya sekitar 48,1 berumur 30-40 tahun dan lama bekerja dokter hewan 1-2 tahun 31,5. Dari karakteristik lama bekerja, dapat diketahui bahwa dokter hewan masih mempunyai masa kerja yang belum lama sehingga mempunyai pengalaman dan penerimaan informasi yang masih kurang khususnya mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor. Umur dokter hewan yang masih usia produktif sangat perlu dilakukan pembinaan melalui pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan terutama mengenai biosekuriti. Pada penelitian ini dilakukan kategorisasi terhadap tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik dokter hewan. Kategorisasi ini mempunyai kriteria sebagai berikut: 1. Tingkat pengetahuan “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 14 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada, tingkat pengetahuan “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada dan tingkat pengetahuan “kurang” bila skor jawaban kurang dari 7 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada. 2. Tingkat sikap “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 46 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada, tingkat sikap “cukup” 20 19 31 43 61 65 37 20 4 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Pengetahuan Sikap Praktik Ju m la h R es p o n d en Baik Cukup Kurang bila skor jawaban responden antara 33-46 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada dan tingkat sikap “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 33 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada. 3. Tingkat praktik “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 10 dari nilai skor maksimal 14 dari 14 pertanyaan yang ada, tingkat praktik “cukup” bila skor jawaban responden antara 5-10 dari nilai skor maksimal 14 dari 14 pertanyaan yang ada dan tingkat praktik “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 5 dari nilai skor maksimal 14 dari 14 pertanyaan yang ada. Dari kategorisasi pengetahuan, sikap, dan praktik dokter hewan terhadap biosekuriti, dapat disimpulkan bahwa dokter hewan pada umumnya memiliki pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap biosekuriti yang baik yaitu sebanyak 20, 19, 31 responden dan kategori cukup yaitu sebanyak 43, 61 dan 65 responden. Gambar 4 Kategori tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik dokter hewan terhadap biosekuriti. Pengetahuan dan sikap seseorang dipengaruhi oleh latar belakangnya seperti umur, status perkawinan, pendidikan, lingkungan sosial yang meliputi lingkungan tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan. Pengetahuan seseorang dapat berubah dan berkembang sesuai kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi rendahnya terhadap penerimaan informasi yang ada dilingkungan sekitarnya. Akses untuk mendapatkan informasi juga merupakan aspek yang penting untuk meningkatkan pengetahuan. Selain itu pengetahuan juga dapat diperoleh dari proses belajar yang dilakukan oleh seseorang selama hidupnya Budisuari 2009. Hubungan Antara Karakteristik, Pengetahuan, dan Sikap Dokter Hewan terhadap Praktik Biosekuriti Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap dokter hewan terhadap praktik biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa karakteristik dokter hewan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap praktik biosekuriti. Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa pengetahuan dan sikap dokter hewan memberikan pengaruh yang nyata terhadap praktik biosekurit p0.05. Tabel 11 Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap dokter hewan terhadap praktik mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa Peubah Nilai Korelasi Karakteristik Responden : Umur Jenis Kelamin Lama Bekerja Sebagai Tim Studi IKH PelatihanSeminar IKH PelatihanSeminar Biosekuriti 0.097 0.022 0.141 0.042 0.143 0.275 Pengetahuan 0.463 Sikap 0.524 Keterangan: menunjukkan hubungan yang nyata pada nilai p0.05 Hubungan pengetahuan dokter hewan dengan praktik terhadap biosekuriti mempunyai nilai korelasi sedang yaitu 0.463. Nilai ini menunjukkan hubungan yang positif yaitu semakin baik pengetahuan maka semakin baik pula praktik yang dilakukan. Hasil analisis statistik juga menunjukkan nilai korelasi yang sedang antara sikap dan praktik dokter hewan yaitu 0.524. Nilai ini menunjukkan adanya hubungan yang positif yaitu semakin baik sikap maka semakin baik pula praktik yang dilakukan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik. Zahid 1997 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara sikap dan perilaku, namun keberadaan hubungan ini ditentukan oleh kespesifikan sikap, kekuatan sikap, kesadaran pribadi, dan norma-norma subjektif yang mendukung. Hasil penelitian Randusari 2007, menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap mempunyai pengaruh terhadap perilaku seseorang dan perilaku tersebut dapat dipengaruhi oleh tingkat penghasilan dari responden. Handayani 2008 dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku. Penelitian Yustina 2006 menyatakan bahwa adanya peningkatan pengetahuan berhubungan positif dengan sikap dan minat. Selain itu, pengetahuan tidak berhubungan positif dengan persepsi seseorang terhadap suatu objek. Karakteristik Paramedik Responden yang diwawancarai untuk mengetahui karakteristik pengetahuan, sikap, dan praktik tentang biosekuriti sebanyak 72 paramedik. Karakteristik paramedik hasil wawancara dapat dilihat pada Tabel 12. Pada umumnya paramedik berusia dibawah 30 tahun 45,8 dengan jenis kelamin laki-laki 70,8. Tingkat pendidikan paramedik pada umumnya adalah lulusan Diploma D3 yaitu 47,2. Paramedik pada penelitian ini umumnya telah bekerja diatas 5 tahun 40,3, pernah terlibat menjadi tim penilai IKH 31,9, dan pernah mengikuti pelatihan atau seminar mengenai IKH 16,7, serta sekitar 31,9 sudah pernah mengikuti pelatihan atau seminar mengenai biosekuriti. Umur paramedik pada umumnya masuk dalam umur produktif dan merupakan aset yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan yang akan berdampak positif terhadap kualitas kinerja institusi khususnya Badan Karantina Pertanian. Peningkatan ini dapat dilakukan dengan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi tupoksi responden. Tabel 12 Karakteristik paramedik menurut umur, jenis kelamin, pendidikan formal, lama bekerja, pernah menjadi tim studi kelayakan IKH, dan pelatihan yang pernah diikuti Karakteristik Jumlah Umur Tahun 30 30 - 40 40 33 19 20 45,8 26,4 27,8 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 51 21 70,8 29,2 Pendidikan Formal SMA STPP SNAKMA D3 S1 S2 20 1 14 34 2 1 27,8 1,4 19,4 47,2 2,8 1,4 Lama Bekerja Tahun 1 1 - 2 3 - 5 5 15 16 12 29 20,8 22,2 16,7 40,3 Pernah Menjadi Tim Penilai IKH 23 31,9 Pernah Mengikuti PelatihanSeminar IKH 12 16,7 Pernah Mengikuti PelatihanSeminar Biosekuriti 23 31,9 Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Paramedik Rataan persentase skor pengetahuan paramedik mengenai sanitasi, isolasi, dan kontrol lalu lintas dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan rataan persentase total skor pengetahuan, sikap, dan praktik paramedik dapat dilihat pada Gambar 6. Rataan persentase skor pengetahuan adalah merupakan rataan persentase total skor jawaban yang benar dari total skor pertanyaan mengenai pengetahuan biosekuriti yang diberikan. Gambar 5 menunjukkan bahwa pengetahuan paramedik mengenai sanitasi adalah 51. Skor ini menunjukkan bahwa paramedik menjawab dengan benar pertanyaan mengenai sanitasi adalah sebesar 51. Pengetahuan mengenai isolasi dijawab benar oleh paramedik yaitu sebesar 50 dan pengetahuan mengenai kontrol lalu lintas dijawab dengan benar oleh paramedik yaitu sebesar 30. 51 50 30 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Sanitasi Isolasi Lalu lintas S k o r Biosekuriti merupakan tindakan dalam meminimalkan penyebaran penyakit yang terdiri dari sanitasi, isolasi, dan kontrol lalu lintas Buhman et al. 2007. Pengetahuan paramedik mengenai sanitasi dan isolasi sudah baik yaitu 51 dan 50 ≥50. Sebagai paramedik yang bertugas di IKH sapi impor harus mempunyai pengetahuan mengenai biosekuriti sanitasi, isolasi, dan kontrol lalu lintas yang baik. Hal ini dikarenakan pengetahuan yang baik akan memberikan sikap dan praktik yang baik pula. Menurut Al Bathi et al. 2010, pengetahuan yang baik mengenai suatu penyakit akan meningkatkan perlakuan yang baik dalam menangani penyakit tersebut dan dapat mengurangi akibat kurang baik yang akan timbul dari penyakit tersebut. Menurut Bas et al. 2006, sikap dan praktik seseorang tergantung pada pengetahuan orang tersebut. Adanya informasi dapat merubah sikap yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku. Informasi ini adalah merupakan pengetahuan, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan adalah faktor utama dari perubahan perilaku. Gambar 5 Rataan persentase skor pengetahuan paramedik mengenai biosekuriti. Pengetahuan paramedik mengenai kontrol lalu lintas masih kurang yaitu 30 50. Kontrol lalu lintas merupakan salah satu tindakan biosekuriti yang bertujuan untuk mencegah penularan penyakit yang dibawa oleh alat angkut, hewan selain ternak kuda, anjing, kucing, hewan liar, rodensia, dan burung dan 45 64 57 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Pengetahuan Sikap Praktik S k o r pengunjung Buhman et al. 2007. Penyebaran penyakit hewan dapat terjadi melalui kontak tidak langsung diantaranya terdedah oleh peralatan yang terkontaminasi, kendaraan, alat angkut hewan, pakaian, sepatu bot dan tangan Wagner et al. 2011. Oleh sebab itu, pengetahuan mengenai kontrol lalu lintas sangat penting dimiliki oleh paramedik khususnya paramedik karantina. Tindakan kontrol lalu lintas lain yang penting adalah mengetahui status kesehatan hewan yang akan masuk ke IKH sehingga pencegahan penularan dan penyebaran penyakit dapat diminimalkan. Pengetahuan paramedik yang kurang mengenai biosekuriti tidak menutup kemungkinan akan meningkatkan risiko terhadap masuk dan tersebarnya penyakit hewan akibat importasi sapi. Gambar 6 menunjukkan rataan persentase skor total pengetahuan, sikap, dan praktik paramedik terhadap biosekuriti. Rataan persentase skor ini adalah rataan persentase total skor jawaban paramedik dari total skor pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada kuesioner. Rataan persentase skor pengetahuan paramedik terhadap biosekuriti yaitu 45, rataan persentase skor sikap paramedik terhadap biosekuriti yaitu 64, dan rataan persentase skor praktik paramedik terhadap biosekuriti yaitu 57. Gambar 6 Rataan persentase skor total pengetahuan, sikap, dan praktik paramedik mengenai biosekuriti. Pada umumnya skor sikap dan praktik paramedik sudah baik. Paramedik karantina yang handal memerlukan pengetahuan, sikap, dan praktik yang baik terhadap biosekuriti. Hal ini untuk memaksimalkan tindakan biosekuriti dalam rangka mencegah masuk dan tersebarnya penyakit hewan. Praktik biosekuriti paramedik pada IKH sapi impor dapat dipengaruhi oleh kelengkapan sarana dan prasarana yang terdapat di IKH tersebut. Pengetahuan dan sikap yang positif tidak akan menghasilkan praktik yang positif tanpa adanya faktor pendukung yaitu fasilitas yang memadai yang terdapat di IKH. Praktik biosekuriti pada IKH sangat penting untuk meminimalkan penyebaran penyakit. Menurut Bonanno 2011, biosekuriti yang buruk pada suatu peternakan sapi akan menimbulkan kasus penyakit, antara lain digital dermatitis hairy heel wrats, haemorrhagic bowel syndrome HBS, dan acute bovine liver disease ABLD. Penyakit ini disebabkan oleh sistem drainase yang kurang baik, sanitasi dan higiene yang buruk, kondisi pakan yang tidak baik serta kondisi kelembaban di dalam peternakan yang buruk. Pada penelitian ini dilakukan kategorisasi terhadap tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik responden. Kategorisasi mempunyai kriteria sebagai berikut: 1. Tingkat pengetahuan “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 14 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada, tingkat pengetahuan “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada, dan tingkat pengetahuan “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 7 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada. 2. Tingkat sikap “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 46 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada, tingkat sikap “cukup” bila skor jawaban responden antara 33-46 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada, dan tingkat sikap “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 33 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada. 3. Tingkat praktik “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 14 dari nilai skor maksimal 22 dari 22 pertanyaan yang ada, tingkat praktik “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dari nilai skor maksimal 22 dari 22 pertanyaan yang ada, dan tingkat praktik “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 7 dari nilai skor maksimal 22 dari 22 pertanyaan yang ada. 19 21 26 42 57 64 39 22 10 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Pengetahuan Sikap Praktik Ju m la h R es p o n d en Baik Cukup Kurang Dari kategorisasi ini dapat disimpulkan bahwa paramedik pada umumnya sudah memiliki pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap biosekuriti yang baik yaitu sebanyak 19, 21, 26 responden dan cukup yaitu sebanyak 42, 57 dan 64 responden. Pada Gambar 7 dapat dilihat sebanyak 39 paramedik masih memiliki pengetahuan yang kurang mengenai biosekuriti. Karakteristik paramedik menunjukkan bahwa 68,1 responden belum pernah mengikuti pelatihan atau seminar mengenai biosekuriti dan 83,3 belum pernah mengikuti pelatihan atau seminar mengenai IKH. Sebagai paramedik karantina yang bertugas menjaga pintu pemasukan dan pengeluaran harus memiliki pengetahuan khususnya mengenai biosekuriti yang baik. Hal ini untuk menunjang sikap dan praktik paramedik terhadap biosekuriti. Pengetahuan biosekuriti paramedik yang kurang dapat membuka peluang terhadap pengawasan yang lemah yang dilakukan dilapangan, sehingga akan memperbesar risiko masuk dan menyebarnya penyakit hewan khususnya di IKH. Gambar 7 Kategori tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik paramedik terhadap biosekuriti. Pengetahuan yang baik akan dapat meningkatkan profesionalisme petugas dalam melakukan tindakan pencegahan masuk dan tersebarnya penyakit hewan terutama akibat importasi sapi dari luar negeri. Pelatihan atau seminar akan menambah informasi dan pengetahuan responden yang dapat meningkatkan praktik atau perilaku positif seseorang. Pengalaman yang didapat selama bekerja mungkin mempunyai pengaruh pada sikap dan praktik seseorang terhadap sesuatu, hal ini ditentukan oleh kemampuan orang tersebut untuk menguasai pengalaman yang didapat dan frekuensi pengalaman tersebut di implementasikan dalam pekerjaannya. Menurut Budisuari 2003, pelatihan atau pendidikan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa responden sangat memerlukan pelatihan- pelatihan dan seminar untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan menambah wawasan serta informasi khususnya mengenai biosekuriti. Hubungan Antara Karakteristik, Pengetahuan, dan Sikap Paramedik Terhadap Praktik Biosekuriti Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap paramedik terhadap praktik dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa karakteristik paramedik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap praktik biosekuriti, sedangkan pada pengetahuan dan sikap paramedik memberikan pengaruh yang nyata terhadap praktik biosekuriti paramedik p0.05. Hubungan pengetahuan paramedik dengan praktik terhadap biosekuriti mempunyai nilai korelasi sedang yaitu 0.410. Nilai ini menunjukkan hubungan yang positif yaitu semakin baik pengetahuan maka semakin baik pula praktik yang dilakukan. Hasil analisis statistik juga menunjukkan nilai korelasi yang sedang antara sikap dan praktik paramedik yaitu 0.427. Nilai ini menunjukkan adanya hubungan yang positif yaitu semakin baik sikap maka semakin baik pula praktik yang dilakukan. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa paramedik pada umumnya termasuk dalam usia produktif. Keadaan ini merupakan aset yang sangat bermanfaat untuk institusi khususnya Badan Karantina Pertanian jika dikelola dengan baik. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan sangat berguna untuk menghasilkan suatu tindakan dan keputusan yang profesional yang berbasis ilmiah. Menurut Notoatmodjo 2007, pendidikan dan pelatihan adalah merupakan upaya untuk mengembangkan SDM terutama untuk mengembangkan intelektual dan kepribadian manusia. Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah: 1 pendidikan, 2 informasi, 3 sosial budaya dan ekonomi, 4 lingkungan, 5 pengalaman, dan 6 usia. Tabel 13 Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap paramedik terhadap praktik mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa Peubah Nilai Korelasi Karakteristik Responden : Umur Jenis Kelamin Pendidikan Lama Bekerja Sebagai Tim Studi IKH PelatihanSeminar IKH PelatihanSeminar Biosekuriti 0.156 0.124 0.093 0.122 0.075 0.127 0.193 Pengetahuan 0.410 Sikap 0.427 Keterangan: menunjukkan hubungan yang nyata pada nilai p0.05 Pendidikan dan pelatihan sangat penting untuk suatu organisasi atau institusi dalam hal ini Badan Karantina Pertanian, diantaranya: 1 adanya karyawan baru, 2 kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, 3 adanya mutasi, dan 4 adanya promosi. Agar pendidikan dan pelatihan dapat berjalan sesuai dengan tujuan perlu strategi yang tepat dalam memberikan dan menyampaikan informasi sehingga pengetahuan dapat diterima dengan baik. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan yang diperoleh pada penelitian ini antara lain adalah: 1. Kategori IKH sapi impor di Pulau Jawa mempunyai tingkat biosekuriti yang baik 31,2 dan cukup 62,6. 2. Pengetahuan, sikap, dan praktik biosekuriti dokter hewan pada umumnya mempunyai kategori cukup yaitu sebanyak 43, 61, dan 65 responden. 3. Pengetahuan sanitasi, isolasi, dan penularan penyakit dokter hewan masih kurang yaitu 40, 45 dan 47 50, sedangkan pengetahuan mengenai lalu lintas sudah baik yaitu 64 ≥50. 4. Sebanyak 46,3 dokter hewan belum pernah mengikuti pelatihanseminar mengenai biosekuriti dan 70,4 belum pernah mengikuti pelatihanseminar mengenai IKH serta 75,9 belum pernah terlibat menjadi tim studi kelayakan IKH. 5. Karakteristik dokter hewan tidak mempunyai hubungan yang nyata terhadap praktik biosekuriti, sedangkan pengetahuan dan sikap mempunyai hubungan yang nyata p0,05 terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan mempunyai korelasi dengan tingkat sedang yaitu r = 0,463 dan r = 0,524. 6. Pengetahuan, sikap, dan praktik biosekuriti paramedik pada umumnya mempunyai kategori cukup yaitu sebanyak 42, 57 dan 64 responden. 7. Pengetahuan sanitasi dan isolasi paramedik sudah baik yaitu 51 dan 50 ≥50, sedangkan pengetahuan mengenai kontrol lalu lintas paramedik masih kurang yaitu 30 50. 8. Sebanyak 68,1 paramedik belum pernah mengikuti pelatihanseminar mengenai biosekuriti dan 83,3 belum pernah mengikuti pelatihanseminar mengenai IKH serta 68,1 belum pernah terlibat menjadi tim studi kelayakan IKH. 9. Karakterististik paramedik tidak mempunyai hubungan yang nyata terhadap praktik biosekuriti, sedangkan pengetahuan dan sikap mempunyai hubungan yang nyata p0,05 terhadap praktik biosekuriti paramedik dan mempunyai korelasi dengan tingkat sedang yaitu r = 0,410 dan r = 0,427. Saran Adapun beberapa saran yang dapat disampaikan adalah: 1. Perlu dilakukan standarisasi kelengkapan fasilitas sarana dan prasarana yang ada di IKH sapi impor agar penerapanpraktik biosekuriti di IKH dapat maksimal. 2. Perlu dikembangkan sistem audit internal dan sertifikasi terhadap biosekuriti pada IKH sapi impor. 3. Perlu adanya pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan khususnya mengenai biosekuriti IKH sapi impor untuk menambah pengetahuan petugas karantina yaitu dokter hewan dan paramedik mengenai biosekuriti, sehingga akan dapat meningkatkan kemampuan sumber daya manusia karantina pertanian. 4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan praktik dokter hewan dan paramedik terhadap biosekuriti IKH sapi impor dan IKH antar area yang terdapat di Indonesia. GATOT SANTOSO KAJIAN BIOSEKURITI INSTALASI KARANTINA HEWAN SAPI IMPOR DI PULAU JAWA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 DAFTAR PUSTAKA Ali M. 2003. Pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu bekerja dan ibu tidak bekerja tentang imunisasi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan: Universitas Sumatra Utara. Barantan [Badan Karantina Pertanian Republik Indonesia]. 2006. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor : 348 kpts PD.670.210L122006 Tentang Pedoman Persyaratan Teknis Instalasi Karantina Hewan Untuk Ruminansia Besar. Jakarta: Barantan RI. Barantan [Badan Karantina Pertanian Republik Indonesia]. 2011. Tempat pemasukan sapi dari luar negeri. Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani. Jakarta: Barantan RI. Barrington GM, Allen AJ, Parish SM, Tibary A. 2006. Biosecurity and biocontainment in alpaca operations. J Small Ruminant Res 6:217–225. Bas M, Ersun AS, Kivanc G. 2006. The evaluation of food hygiene knowledge, attitude and practices of food handlers in food bussiness in Turkey. J Food Control 17:317-322. Benjamin et al. 2010. Attitude toward biosecurity practices relevant to Johne’s disease control on beef cattle farm. J Prev Vet Med 94:222-230. Billaud J, Lesslie T. 2007. Avian influenza knowledge, attitude and practices KAP survey. Kabul: Sayara Media. Bonanno R. 2011. New disease treathen australian cattle. http:www. farmbiosecurity.com.au 2011 new-diseases- threaten- australian- cattle [22 Desember 2011]. Bowman GL, Shulaw WP. 2001. On-farm biosecurity: traffic control and sanitation. J Prev Vet Med 6:01-03. Brennan ML, Kemp R, Christley RM. 2008. Direct and indirect contacts between cattle farms in north-west England. J Prev Vet Med 84:24-260. Budisuari MA, Oktorina, Hanafi F. 2009. Hubungan antara karakteristik responden, keadaan wilayah, dengan pengetahuan, sikap terhadap HIVAIDS pada masyarakat Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 12:362-369. Buhman M, Dewell G, Griffin D. 2007. Biosecurity basic for cattle operations and good management practices GMP for controlling infectious diseases. http : www. ianrpubs. unl. edu pages publication D.jsp? publicationId=433 [18 Desember 2011]. Casal J, Manu el AD, Mateu E, Martın M. 2007. Biosecurity measures on swine farms in spain: Perceptions by farmers and their relationship to current on- farm measures. J Prev Vet Med 82:138-150. Cockram MS. 2007. Criteria and potential reasons for maximum journey times for farm animals destined for slaughter. J Anim Behav Sci 106:234- 243. CDC [Centre for disease control]. 2003. A guide to selection and use of disinfectants. US: Department of Health and Human Services US. Deptan [Departemen Pertanian Republik Indonesia]. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan Instalasi Karantina Hewan. Jakarta: Deptan RI. Ditjenak [Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia]. 2007. Peraturan Direktur Jenderal Peternkan Tentang Petunjuk Teknis Kesehatan Hewan dan Biosekuriti Pada Unit Pelaksana Teknis Perbibitan.. Jakarta: Ditjenak RI. Ditjenak [Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia]. 2010. Biosekuriti. Jakarta: Ditjenak RI. EFSA [European Food Safety Authority]. 2004. The welfare of animal during transport. Scientific report of the scientific panel on animal helth and welfare on a request from the commission related to the welfare of animals during transport. United Kingdom. Fisher AD, Colditz IG, Lee C, Ferguson DM. 2009. The influence of land transport on animal welfare in extensive farming systems. J Vet Behav 4:151-162. Gunn GJ, Heffernan C, Hall M, McLeod A, Hovi M. 2008. Measuring and comparing constraints to improved biosecurity amongst GB farmers, veterinarians and auxiliary industries. J Prev Vet Med 84:310-323. Handayani DS. 2008. Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan perilaku para wanita dewasa awal dalam melakukan pemeriksaan payudara sendiri di kelurahan Kalangan kecamatan Pedan Klaten. [skripsi]. Semarang: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro. Hart MB, Cathy MS, Meumann M, Veltri AT. 2007. Hand injury prevention training: assessing knowledge, attitude, and behaviour. J SHE Research 3:1-23. Kidwell B. 2008. Bovine leukosis virus Here’s how you can dodge the bullet. J Angus September 2008:76-77. Kristensen E, Jakobsen EB. 2011. Danish dairy farmer’s perception of biosecurity. J Prev Vet Med 99:122-129. Larson RL. 2008. Epidemiology and disease control in everyday beef practice. J Theriogen 70:565-568. Li H, Karney G, O’Toole D, Crawford TB. 2008. Long distance spread of malignant cattarhal fever virus from feedlot lambs to ranch bison. J Can Vet 49:183-185. Manggarsari Y. 2011. Epistomologi. [Makalah Filsafat Ilmu]. Palembang: Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya. NASDA [National Association of State Departments of Agriculture]. 2001. The Animal Health Safeguarding Review Result and Recommendation. NASDA: Washington DC. Negrón MN, Raizman EA, Pogranichniy R, Hilton WM, Léy M. 2011. Survey on management practices related to the prevention and control of bovine viral diarrhea virus on dairy farm in Indiana, United States. J Prev Vet Med 99: 130-135. Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. OIE [Office Internasional et Epizootica]. 2009. Animal welfare and beef cattle production systems. www.oie.int. Palaian S et al. 2006. Knowledge, attitude and practices outcomes: evaluating the impact of counseling in hospitalized diabetic patient in India. J Pharmacol 7:383-396. Parish JA, Rhinehart JD. 2008. Beef cattle water requirements and source management. Publication 2490. Mississippi State University and U.S. Department of Agriculture. Randusari P. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya pengendalian penyakit flu burung studi terhadap pemilik unggas perumahan di kecamatan Bogor Utara. [tesis]. Jakarta. Program Pascasarjana Manajemen Pembangunan Sosial, Universitas Indonesia. Salam DS. 2005. Peranan pendidikan dan pelatihan dalam meningkatkan kompetensi dan kualitas sumber daya manusia aparatur. Jurnal Administrasi Publik 1: 01-11. SEERAD [The Scotish Executive Environment Rural Affairs Department. 2006. Biosecurity : What is it?. http: www. scotland. gov. ukTopic sAgriculture animal-welfare Disease GenControls.15721. [18 Desember 2011] Siahaan SJ. 2007. Pengaruh tingkat biosekuriti terhadap pemaparan avian influenza pada unggas air studi kasus kontrol di Kabupaten Bogor dan Sukabumi. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Steenwinkel SV, Ribbens S, Ducheyne E, Goossens E, Dewulf J. 2011. Assessing biosecurity practices, movements and densities of poultry sites across Belgium, resulting in different farm risk-groups for infectious disease introduction and spread. J Prev Vet Med 98:259-270. Wagner B, Traub-Dargatz J, Kopral C. 2011. Relationship of biosecurity practices with the use of antibiotics for the treatment of infectious diseases on U.S. eguine operations. J Prev Vet Med 10:130-136. Troxel T. 2002. Cattle Biosecurity. University of Arkansas United States Department of Agriculture and County Governments Cooperating. University of Arkansas Division of Agriculture. Arkansas: University of Arkansas. Yustina. 2006. Hubungan pengetahuan dan persepsi, sikap dan minat dalam pengelolaan lingkungan hidup pada guru sekolah dasar di kota Pekanbaru. J Biogenesis 2:67-71. Zahid A. 1997. Hubungan karakteristik peternak sapi perah dengan sikap dan perilaku aktual dalam pengelolaan limbah peternakan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 61 Lampiran 1 Kuesioner untuk penilaian IKH A. LOKASI IKH A.1. Berapa jarak IKH dari pelabuhan pemasukan? □ 50 km □ 50 – 100 km □ 100 km A.2. Berapa jarak lalu lintas umum dengan IKH? □ 100 m □ 100 - 500 m □ 500 m A.3. Apakah terdapat peternakan yang sejenis disekitar IKH? □ Ada □ Tidak ada A.4. Berapa jarak IKH dengan peternakan sejenis? □ 500 m □ 500 – 1000 m □ 1000 m A.5. Berapa jarak IKH dengan pemukiman penduduk? □ 500 m □ 500 – 1000 m □ 1000 km A.6. Berapa tinggi pagar keliling yang terdapat di IKH? □ 1 meter □ 1 – 2 meter □ 2 meter

B. KANDANG IKH