97
NO PERNYATAAN
BENAR SALAH
TIDAK TAHU
19. Composting merupakan suatu metode
pengelolaan limbah peternakan yang aman, mengurangi bau tidak sedap dan
mencegah polusi air.
20. Pergerakan hewan perlu dibatasi di area
IKH agar meminimalkan risiko penyebaran penyakit.
D. SIKAP ATTITUDE PARAMEDIK TERHADAP BIOSEKURITI
Untuk mengetahui sikap anda mengenai biosekuriti IKH, anda dimohon untuk membaca pernyataan-pernyataan berikut secara hati-hati
. Setelah membaca pernyataan, anda dapat memberikan tanggapan yang paling sesuai menurut pendapat
anda pada kolom yang tersedia disebelah kanan setiap pernyataan. Cara penilaian dilakukan dengan memberikan tanda silang X pada kolom “SETUJU”,
“RAGU-RAGU” atau “TIDAK SETUJU”.
NO PERNYATAAN
SETUJU RAGU-
RAGU TDK
STJ
1. Menurut pendapat saya, biosekuriti
adalah tindakan untuk mencegah tertularnya penyakit diantara hewan
yang merupakan bagian dari manajemen suatu peternakan.
2. Saya yakin bahwa feses merupakan
media yang dapat digunakan untuk dijadikan pupuk sebagai penyubur
pertumbuhan tanaman di IKH.
3. Saya setuju untuk mencegah
masuknya penyakit ke dalam IKH perlu dilakukan disinfeksi terhadap
kandang, peralatan, kendaraan dan pekerja yang ada di dalam maupun
yang keluar masuk IKH.
98
NO PERNYATAAN
SETUJ U
RAGU -
RAGU TDK
STJ
4. Menurut pendapat saya pembersihan
cleaning dan disinfeksi kandang, peralatan dapat dilakukan secara rutin
dengan cara pertama yaitu membersihkan dan mencuci menggunakan detergen
untuk menghilangkan zat non organik dan kemudian menggunakan dengan
disinfektan.
5. Saya setuju menciptakan suatu
lingkungan yang terlindungi dari suatu penyakit yang berasal dari manusia,
hewan lain, fomites, hewan yang terinfeksi, udara, dan air merupakan
tindakan sanitasi.
6. Menurut pendapat saya cara lain dalam
pengelolaan limbah adalah membuat saluran pembuangan limbah yang
langsung di alirkan ke sungaiparitkebun di sekitar IKH yang dapat menurunkan
risiko terhadap penularan penyakit bagi ternak.
7. Saya yakin menjaga jarak lokasi IKH
dengan peternakan sejenis, pemukiman penduduk, lalu lintas sekitar merupakan
tindakan kontrol lalu lintas dalam rangka mencegah penyebaran penyakit.
8. Menurut pendapat saya cara lain untuk
mengontrol lalu lintas agar pergerakan manusia dan hewan lain dapat di
minimalkan adalah pembuatan pagar keliling setinggi 2 meter yang terbuat dari
bahan kuat dan tidak mudah rusak.
9 Saya setuju memisahkan hewan
berdasarkan berat, umur dan memisahkan hewan yang sakit adalah tindakan untuk
kontrol lalu lintas pada saat pengamatan dan pemeriksaan hewan selama masa
karantina.
99
NO PERNYATAAN
SETUJU RAGU-
RAGU TDK
STJ
10. Menurut pendapat saya
mengendalikankontrol pergerakan terhadap manusia, hewan, peralatan
dan kendaraan yang keluar masuk adalah tindakan isolasi yang dilakukan
untuk mencegah penyakit masuk dan menyebar di IKH.
11. Menurut pendapat saya tindakan
isolasi dapat dilakukan dengan tidak mengijinkan pengunjung dan
kendaraan yang tidak berkepentingan masuk ke dalam area IKH sehingga
dapat meminimalkan risiko penularan penyakit.
12. Saya yakin kontrol lalu lintas
dilakukan untuk mencegah tertularnya penyakit pada ternak dengan
melakukan pengamatan dan pemeriksaan dari hewan yang sehat
kemudian yang sakit dan juga dari hewan yang berumur tua ke hewan
yang masih muda.
13. Saya setuju bahwa tanda peringatan
dan pintu gerbang yang dijaga dengan pengawasan ketat adalah salah satu
tindakan biosekuriti untuk mengontrol lalu lintas keluar masuknya manusia
dan hewan.
14. Menurut saya rodensia merupakan
agen pembawa penyakit infeksius seperti salmonella yang dapat
megkontaminasi pakan dan lingkungan yang akan mengakibatkan
kasus diare pada ternak.
100
NO PERNYATAAN
SETUJU RAGU-
RAGU TDK
STJ
15. Menurut saya, pakan tidak dapat
menularkan salmonella akan tetapi memungkinkan perkembangan jamur
dan kapang seperti aspergillus yang dapat mnyebabkan pneumonia pada
ternak dan mikotoksin yang mengandung racun berbahaya.
16. Menurut saya ,Cleaning dan
Disinfeksi merupakan istilah yang mempunyai pengertian sama yaitu
suatu usaha bertujuan untuk menghilangkan debu, tanah, dan bahan
organik seperti darah, sekresi dan mikroorganisme.
17. Saya yakin sumber dan jenis air yang
digunakan untuk keperluan IKH dapat mempengaruhi daya kerja beberapa
zat disinfektan sehingga akan mengurangi kemampuan untuk
membunuh mikroorganisme yang merugikan.
19. Saya percaya bahwa Composting
merupakan suatu metode pengelolaan limbah peternakan yang aman,
mengurangi bau tidak sedap dan mencegah polusi air.
20. Menurut saya pergerakan hewan perlu
dibatasi di area IKH agar meminimalkan risiko penyebaran
penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Ali M. 2003. Pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu bekerja dan ibu tidak bekerja tentang imunisasi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara. Medan: Universitas Sumatra Utara. Barantan [Badan Karantina Pertanian Republik Indonesia]. 2006. Keputusan
Kepala Badan
Karantina Pertanian
Nomor :
348 kpts
PD.670.210L122006 Tentang Pedoman Persyaratan Teknis Instalasi Karantina Hewan Untuk Ruminansia Besar. Jakarta: Barantan RI.
Barantan [Badan Karantina Pertanian Republik Indonesia]. 2011. Tempat pemasukan sapi dari luar negeri. Pusat Karantina Hewan dan Keamanan
Hayati Hewani. Jakarta: Barantan RI. Barrington GM, Allen AJ, Parish SM, Tibary A. 2006. Biosecurity and
biocontainment in alpaca operations. J Small Ruminant Res 6:217–225. Bas M, Ersun AS, Kivanc G. 2006. The evaluation of food hygiene knowledge,
attitude and practices of food handlers in food bussiness in Turkey. J Food Control 17:317-322.
Benjamin et al. 2010. Attitude toward biosecurity practices relevant to Johne’s disease control on beef cattle farm. J Prev Vet Med 94:222-230.
Billaud J, Lesslie T. 2007. Avian influenza knowledge, attitude and practices KAP survey. Kabul: Sayara Media.
Bonanno R. 2011. New disease treathen australian cattle. http:www.
farmbiosecurity.com.au 2011 new-diseases- threaten- australian- cattle [22 Desember 2011].
Bowman GL, Shulaw WP. 2001. On-farm biosecurity: traffic control and sanitation. J Prev Vet Med 6:01-03.
Brennan ML, Kemp R, Christley RM. 2008. Direct and indirect contacts between cattle farms in north-west England. J Prev Vet Med 84:24-260.
Budisuari MA, Oktorina, Hanafi F. 2009. Hubungan antara karakteristik responden, keadaan wilayah, dengan pengetahuan, sikap terhadap
HIVAIDS pada masyarakat Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 12:362-369.
Buhman M, Dewell G, Griffin D. 2007. Biosecurity basic for cattle operations and good management practices GMP for controlling infectious diseases. http
: www. ianrpubs. unl. edu pages publication D.jsp? publicationId=433 [18 Desember 2011].
Casal J, Manu el AD, Mateu E, Martın M. 2007. Biosecurity measures on swine
farms in spain: Perceptions by farmers and their relationship to current on- farm measures. J Prev Vet Med 82:138-150.
Cockram MS. 2007. Criteria and potential reasons for maximum journey times for farm animals destined for slaughter. J Anim Behav Sci 106:234- 243.
CDC [Centre for disease control]. 2003. A guide to selection and use of disinfectants. US: Department of Health and Human Services US.
Deptan [Departemen Pertanian Republik Indonesia]. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Penetapan Instalasi Karantina Hewan. Jakarta: Deptan RI. Ditjenak [Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia]. 2007. Peraturan
Direktur Jenderal Peternkan Tentang Petunjuk Teknis Kesehatan Hewan dan Biosekuriti Pada Unit Pelaksana Teknis Perbibitan.. Jakarta: Ditjenak RI.
Ditjenak [Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia]. 2010. Biosekuriti. Jakarta: Ditjenak RI.
EFSA [European Food Safety Authority]. 2004. The welfare of animal during transport. Scientific report of the scientific panel on animal helth and
welfare on a request from the commission related to the welfare of animals during transport. United Kingdom.
Fisher AD, Colditz IG, Lee C, Ferguson DM. 2009. The influence of land transport on animal welfare in extensive farming systems. J Vet Behav
4:151-162. Gunn GJ, Heffernan C, Hall M, McLeod A, Hovi M. 2008. Measuring and
comparing constraints to improved biosecurity amongst GB farmers, veterinarians and auxiliary industries. J Prev Vet Med 84:310-323.
Handayani DS. 2008. Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan perilaku para wanita dewasa awal dalam melakukan pemeriksaan payudara
sendiri di kelurahan Kalangan kecamatan Pedan Klaten. [skripsi]. Semarang: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Hart MB, Cathy MS, Meumann M, Veltri AT. 2007. Hand injury prevention training: assessing knowledge, attitude, and behaviour. J SHE Research
3:1-23. Kidwell B. 2008. Bovine leukosis virus Here’s how you can dodge the bullet. J
Angus September 2008:76-77. Kristensen E, Jakobsen EB. 2011. Danish dairy farmer’s perception of
biosecurity. J Prev Vet Med 99:122-129.
Larson RL. 2008. Epidemiology and disease control in everyday beef practice. J Theriogen 70:565-568.
Li H, Karney G, O’Toole D, Crawford TB. 2008. Long distance spread of malignant cattarhal fever virus from feedlot lambs to ranch bison. J Can Vet
49:183-185. Manggarsari Y. 2011. Epistomologi. [Makalah Filsafat Ilmu]. Palembang:
Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya. NASDA [National Association of State Departments of Agriculture]. 2001. The
Animal Health Safeguarding Review Result and Recommendation. NASDA: Washington DC.
Negrón MN, Raizman EA, Pogranichniy R, Hilton WM, Léy M. 2011. Survey on management practices related to the prevention and control of bovine viral
diarrhea virus on dairy farm in Indiana, United States. J Prev Vet Med 99: 130-135.
Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
OIE [Office Internasional et Epizootica]. 2009. Animal welfare and beef cattle production systems. www.oie.int.
Palaian S et al. 2006. Knowledge, attitude and practices outcomes: evaluating the impact of counseling in hospitalized diabetic patient in India. J Pharmacol
7:383-396. Parish JA, Rhinehart JD. 2008. Beef cattle water requirements and source
management. Publication 2490. Mississippi State University and U.S. Department of Agriculture.
Randusari P. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya pengendalian penyakit flu burung studi terhadap pemilik unggas
perumahan di kecamatan Bogor Utara. [tesis]. Jakarta. Program Pascasarjana Manajemen Pembangunan Sosial, Universitas Indonesia.
Salam DS. 2005. Peranan pendidikan dan pelatihan dalam meningkatkan kompetensi dan kualitas sumber daya manusia aparatur. Jurnal
Administrasi Publik 1: 01-11. SEERAD [The Scotish Executive Environment Rural Affairs Department. 2006.
Biosecurity : What is it?. http: www. scotland. gov. ukTopic sAgriculture animal-welfare Disease GenControls.15721. [18 Desember
2011]
Siahaan SJ. 2007. Pengaruh tingkat biosekuriti terhadap pemaparan avian influenza pada unggas air studi kasus kontrol di Kabupaten Bogor dan
Sukabumi. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Steenwinkel SV, Ribbens S, Ducheyne E, Goossens E, Dewulf J. 2011. Assessing
biosecurity practices, movements and densities of poultry sites across Belgium, resulting in different farm risk-groups for infectious disease
introduction and spread. J Prev Vet Med 98:259-270.
Wagner B, Traub-Dargatz J, Kopral C. 2011. Relationship of biosecurity practices with the use of antibiotics for the treatment of infectious diseases on U.S.
eguine operations. J Prev Vet Med 10:130-136. Troxel T. 2002. Cattle Biosecurity. University of Arkansas United States
Department of Agriculture and County Governments Cooperating. University of Arkansas Division of Agriculture. Arkansas: University of
Arkansas.
Yustina. 2006. Hubungan pengetahuan dan persepsi, sikap dan minat dalam pengelolaan lingkungan hidup pada guru sekolah dasar di kota Pekanbaru.
J Biogenesis 2:67-71. Zahid A. 1997. Hubungan karakteristik peternak sapi perah dengan sikap dan
perilaku aktual dalam pengelolaan limbah peternakan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
ABSTRACT
GATOT SANTOSO. Study of Biosecurity Implementation in Animal Quarantine Premises for Imported Cattle Across Java Island. Under direction of TRIOSO
PURNAWARMAN and ETIH SUDARNIKA.
Indonesia imports large number of live cattle as breeding cattle or beef cattle to fulfill its demands for protein of animal origin. In order to prevent animal
disease entering and spreading in the country the Government of Indonesia provides animal quarantine premises inside or outside every entryexit point.
Requirements and procedures to establish animal quarantine premises is stated in the Agriculture Minister’s Decree No 342006 regarding Requirements and
Procedures to Establish Animal Quarantine Premises, and in the Head of Agriculture Quarantine Agency’s Decree regarding Technical Guidelines for
Large Ruminant Animal Quarantine Premises. Biosecurity in animal quarantine facilities is one of important factors in preventing spreading of diseases among
animals, transmission from animals to human or vice versa and also preventing disease to enter premises. Biosecurity implementation in animal quarantine
premises depends on the knowledge, attitude and practices conducted by the officers of the premise, both veterinarian officers and paraveterinarian officers.
The aim of this study is to determine the level of biosecurity and the relation among characteristic, knowledge and attitude of veterinarian and paraveterinarian
officers on the biosecurity implementation sanitation, isolation and movement control in a temporary animal quarantine premises. Data were collected from
temporary animal quarantine premises for imported cattle across Java Island. In this study we found that in general the biosecurity implementation in the premises
was adequate 62.6 and good 31.2. We also noticed that the characteristic of veterinarian officers showed no relation to the biosecurity implementation,
while the knowledge and attitude of veterinarian officers showed a strong relation to the biosecurity implementation p0.05 with medium correlation level r =
0.463 and r = 0.524. On the other hand, characteristic of paraveterinarian officers showed no relation to the biosecurity implementation, while the
knowledge and attitude of paraveterinarian officers shows a strong relation to the biosecurity implementation p0.05 with medium correlation level r = 0.410 and
r = 0.427.
Keywords: knowledge, attitude, practice, biosecurity, quarantine premises.
RINGKASAN
GATOT SANTOSO. Kajian Biosekuriti Instalasi Karantina Hewan Sapi Impor di Pulau Jawa. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN dan ETIH
SUDARNIKA.
Indonesia merupakan negara pengimpor sapi dalam jumlah yang cukup besar baik sapi bibit maupun sapi potong untuk memenuhi kebutuhan akan protein
hewani penduduknya. Importasi sapi yang ada saat ini sebagian besar adalah berasal dari negara Australia. Hal ini akan memiliki peluang risiko yang semakin
besar terhadap masuk dan tersebarnya penyakit hewan di negara Indonesia. Berdasarkan World Animal Health Information Database WAHID yang
diterbitkan oleh organisasi kesehatan dunia OIE, Australia merupakan negara yang bebas penyakit mulut dan kuku PMK dan sapi gila bovine spongioform
encephalophatyBSE. Namun demikian prinsip kehati-hatian terhadap adanya penyakit hewan menular lainnya di negara tersebut perlu dicermati. Pada saat ini
Australia masih belum bebas dari penyakit infectious bovine rhinotracheitis IBR, bovine viral diarrhea BVD, paratuberculosisJohne’s disease, enzootic
bovine leucosis EBL, anthrax, bluetongue, Q-fever, tetanus, malignant oedema, blackleg, pulpy kidney, black disease, botulism, actinomicosis, salmonellosis,
leptospirosis, brucellosis dan penyakit parasitik seperti cysticercosis dan penyakit cacing lainnya, sehingga diperlukan persyaratan tertentu agar sapi yang diimpor
merupakan sapi yang sehat.
Untuk mencegah masuk, keluar, dan tersebarnya hama penyakit hewan karantina, pemerintah dan pihak lain swasta wajib menyediakan instalasi
karantina hewan IKH di dalam maupun di luar tempat pemasukan atau pengeluaran. Persyaratan dan tata cara penetapan IKH tertuang dalam Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan IKH dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 348
Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis IKH Untuk Ruminansia Besar.
Instalasi Karantina Hewan IKH merupakan suatu bangunan berikut peralatan dan bahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat
untuk melakukan tindakan karantina. IKH harus memenuhi persyaratan teknis baik lokasi, konstruksi, sistem drainase, kelengkapan sarana dan prasarana.
Penetapan lokasi berkaitan dengan analisis risiko penyebaran hama penyakit, peta situasi hama penyakit hewan, kesejahteraan hewan, sosial budaya dan lingkungan
serta jauh dari lokasi budidaya hewan lokal. Biosekuriti mempunyai peran yang sangat penting pada IKH antara lain mencegah penyebaran penyakit diantara
hewan, hewan ke petugas, dan dari petugas ke hewan, serta mencegah masuknya agen penyakit yang berasal dari lingkungan sekitar. Penerapan biosekuriti di IKH
tidak terlepas dari tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik dari petugas yang ada di IKH, baik dokter hewan maupun paramedik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa dan menganalisis hubungan karakteristik, pengetahuan, dan
sikap terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik yang bertugas di IKH sapi impor di Pulau Jawa. Penelitian ini dilakukan pada IKH sapi impor
milik pemerintah dan swasta yang terdapat di Pulau Jawa yang menjadi wilayah kerja dari Unit Pelaksana Teknis UPT Balai Besar Karantina Pertanian BBKP
Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Surabaya dan Stasiun Karantina Pertanian SKP Kelas I Cilacap. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan metode wawancara terhadap responden yaitu dokter hewan dan paramedik pemerintah dan swasta yang pernah melakukan tindakan karantina di
IKH sapi impor yang ada di Pulau Jawa dengan menggunakan kuesioner.
Wawancara bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik dan untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik responden terhadap
biosekuriti. Penilaian tingkat biosekuriti terhadap IKH juga dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan checklist. Sebelum dilakukan penelitian terlebih
dahulu dilakukan uji coba pretest kuesioner untuk mengetahui perkiraan waktu pengerjaan pengisian kuesioner dan kesulitan-kesulitan dalam menjawab
pertanyaan yang dihadapi oleh responden. Setelah itu dilakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner untuk menilai kelayakan kuesioner sebagai perangkat
penelitian.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa kategori IKH sapi impor di Pulau Jawa mempunyai tingkat biosekuriti yang baik 31.2 dan cukup 62.6.. Pada
karakterististik responden dokter hewan tidak mempunyai hubungan yang nyata terhadap praktik biosekuriti, sedangkan pengetahuan dan sikap mempunyai
hubungan yang nyata p0.05 terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan mempunyai korelasi dengan tingkat sedang yaitu r = 0.463 dan r = 0.524.
Karakterististik responden paramedik tidak mempunyai hubungan yang nyata terhadap praktik biosekuriti, sedangkan pengetahuan dan sikap mempunyai
hubungan yang nyata p0.05 terhadap praktik biosekuriti paramedik dan mempunyai korelasi dengan tingkat sedang yaitu r = 0.410 dan r = 0.427.
Kata kunci: pengetahuan, sikap, praktik, biosekuriti, instalasi karantina.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara pengimpor khususnya sapi dalam jumlah yang cukup besar baik sapi bibit maupun sapi potong untuk memenuhi kebutuhan akan
protein hewani penduduknya. Importasi sapi yang ada saat ini sebagian besar adalah berasal dari negara Australia. Hal ini akan memiliki peluang risiko yang
semakin besar terhadap masuk dan tersebarnya penyakit hewan di negara Indonesia. Data importasi sapi tahun 2010 yang diambil dari unit pelaksana teknis
UPT karantina pertanian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Data importasi sapi tahun 2010 No.
Unit Pelaksana Teknis Jumlah ekor
1. Balai Besar Karantina Pertanian Belawan
34 870 2.
Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta 1 005
3. Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya
12 660 4.
Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok 273 587
5. Balai Karantina Pertanian Kelas I Jaya Pura
1 415 6.
Balai Karantina Pertanian Kelas I Lampung 200 807
7. Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Cilacap
30 366 8.
Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Pare-pare 2 169
Jumlah Total 556 879
Sumber: Barantan 2011.
Berdasarkan World Animal Health Information Database WAHID yang diterbitkan oleh organisasi kesehatan dunia OIE, Australia merupakan negara
yang bebas penyakit mulut dan kuku PMK dan sapi gila bovine spongioform encephalophatyBSE. Namun demikian prinsip kehati-hatian terhadap adanya
penyakit hewan menular lainnya di negara tersebut perlu dicermati. Pada saat ini Australia masih belum bebas dari penyakit infectious bovine rhinotracheitis
IBR, bovine viral diarrhea BVD, paratuberculosisJohne’s disease, enzootic bovine leucosis EBL, anthrax, bluetongue, Q-fever, tetanus, malignant oedema,
blackleg, pulpy kidney, black disease, botulism, actinomicosis, salmonellosis, leptospirosis, brucellosis dan penyakit parasitik seperti cysticercosis dan penyakit
cacing lainnya, sehingga diperlukan persyaratan tertentu agar sapi yang diimpor merupakan sapi yang sehat.
Untuk mencegah masuk, keluar, dan tersebarnya hama penyakit hewan karantina, pemerintah dan pihak lain dapat menyediakan instalasi karantina hewan
IKH di dalam maupun di luar tempat pemasukan atau pengeluaran. Persyaratan dan tata cara penetapan IKH tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor
34 Tahun 2006 dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 348 Tahun 2006.
Pengamatan dan pengawasan hewan selama masa karantina di IKH sangat penting untuk mendeteksi adanya penyakit hewan menular khususnya penyakit
eksotik. Selain itu penerapan biosekuriti di IKH merupakan suatu tindakan yang perlu dilakukan untuk meminimalkan penyebaran penyakit baik pada hewan,
manusia, dan lingkungan sekitar. Biosekuriti adalah tindakan perlindungan dari efek yang merugikan dari
organisme seperti agen penyakit dan hama yang membahayakan bagi manusia, hewan, tanaman dan lingkungan. Penerapan biosekuriti pada IKH sangat penting
dan perlu dilakukan secara ketat karena hal ini untuk melindungi manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan termasuk industri peternakan dari ancaman masuknya
organisme yang tidak diinginkan dan dapat merugikan. Biosekuriti mempunyai peranan antara lain mencegah penyebaran penyakit antar hewan, hewan ke
petugas, dan petugas ke hewan, serta mencegah masuknya agen penyakit yang berasal dari lingkungan sekitar Bowman Shulaw 2001.
Biosekuriti yang baik dapat mengurangi jumlah kasus penyakit yang terjadi pada peternakan sapi antara lain paratuberculosis, mycoplasmosis, salmonellosis
dan bovine viral diarrhea Troxel 2002. Praktik biosekuriti mencakup sanitasi lingkungan, mengurangi kepadatan ternak di kandang, meminimalkan
kontaminasi kotoran pada pakan dan minum, dan memisahkan ternak muda dengan dewasa, praktik biosekuriti ini dipengaruhi oleh sikap petugas terhadap
program biosekuriti yang sudah ada Benjamin et al. 2010. Penerapan biosekuriti di IKH tidak terlepas dari tingkat pengetahuan, sikap,
dan praktik dari petugas yang ada di IKH, baik dokter hewan maupun paramedik. Tingkat pengetahuan dan sikap yang masih rendah terhadap biosekuriti akan
mempengaruhi perilaku atau praktik biosekuriti petugas di IKH dan merupakan ancaman masuk dan tersebarnya agen penyakit yang dapat merugikan petugas,
hewan dan dapat menimbulkan keluarnya agen penyakit dari instalasi ke lingkungan sekitarnya.
Rumusan Masalah
Karantina pertanian merupakan suatu institusi yang bertujuan untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina HPHK
melalui pengawasan yang ketat di pintu-pintu pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan. Pencegahan masuk dan tersebarnya HPHK ini dilakukan dengan
pelaksanaan tindakan karantina yang terdiri dari pemeriksaaan, pengawasan, pengamatan, perlakuan, penolakan, penahanan, pemusnahan dan pembebasan.
Salah satunya yaitu melakukan tindakan karantina di IKH yang sudah ditetapkan baik milik pemerintah ataupun milik swasta.
Unit pelaksana teknis Badan Karantina Pertanian saat ini memiliki beberapa IKH untuk sapi impor, begitu juga pihak swasta. UPT karantina pertanian yang
memiliki kegiatan importasi sapi, antara lain Balai Besar Karantina Pertanian BBKP Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Belawan, BBKP
Surabaya, BKP Kelas I Lampung, Stasiun Karantina Pertanian SKP Kelas I Cilacap dan SKP Kelas I Pare-pare.
Pendapat bahwa IKH sapi impor yang ada belum maksimal dalam penerapan biosekuriti kemungkinan terkait dengan faktor IKH itu sendiri yang
meliputi bangunan, sarana prasarana, dan fasilitas penunjang lainnya. Faktor lain yang di duga dapat mempengaruhi penerapan biosekuriti di IKH yaitu petugas.
Faktor petugas yang menjadi fokus penelitian ini adalah karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik petugas terhadap penerapan biosekuriti di IKH.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui tingkat biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa. 2.
Menganalisis hubungan karakteristik, pengetahuan, dan sikap terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik yang bertugas di IKH sapi
impor di Pulau Jawa.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai manfaat antara lain: 1.
Penelitian ini dapat dijadikan informasi mengenai penerapan biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa.
2. Memberikan informasi mengenai karakteristik, tingkat pengetahuan, sikap,
dan praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik pada IKH sapi impor di Pulau Jawa.
3. Sebagai masukan dalam rangka peningkatan sumber daya manusia karantina
pertanian khususnya dokter hewan dan paramedik.
Hipotesis Penelitian
Hipotesa dalam penelitian ini adalah:
1.
Instalasi karantina hewan sapi impor di Pulau Jawa mempunyai tingkat biosekuriti dengan baik.
2.
Karakteristik, pengetahuan, dan sikap dokter hewan dan paramedik berpengaruh terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik pada
IKH sapi impor di Pulau Jawa.
TINJAUAN PUSTAKA
Instalasi Karantina Hewan
Instalasi karantina hewan IKH adalah bangunan berikut peralatan, lahan dan sarana pendukung lainnya yang diperlukan sebagai tempat pelaksanaan
tindakan karantina Barantan 2006. Beberapa istilah dalam IKH antara lain: 1.
Kandang adalah tempat atau bangunan berikut sarana penunjang yang ada didalamnya yang berfungsi sebagai tempat pemeliharaan dan tempat
melakukan tindakan pengamatan selama masa karantina yang mampu menampung ternak sesuai dengan kapasitasnya dan dilengkapi dengan tempat
pakan dan minum serta ketinggian kandang yang memadai. 2.
Kandang isolasi adalah kandang yang digunakan untuk melakukan tindakan pengamatan intensif dan tindakan perlakuan khusus terhadap sebagian hewan
selama masa karantina. Kandang ini juga digunakan untuk menempatkan dan menangani ternak yang mengalami gangguan kesehatan.
3. Kandang jepit adalah sarana yang dipergunakan untuk melakukan penjepitan
hewan guna mengurangi risiko cidera terhadap hewan maupun petugas serta memudahkan tindakan pemeriksaan dan perlakuan.
4. Gudang pakan adalah tempat penyimpanan pakan sebelum diberikan kepada
ternak. 5.
Ternak ruminansia besar adalah ternak piara sapi dan kerbau yang kehidupannya, perkembangbiakannya, serta manfaatnya diatur dan diawasi
oleh manusia. 6.
Pakan ternak adalah makanan ternak ruminansia besar yang berupa hijauan, bahan baku, maupun pakan jadi.
7. Paddock atau pen adalah bagian kandang yang dibatasi dengan pagar
pembatas dan luas paddockpen tergantung pada jumlah ternak yang akan
ditempatkan di area tersebut. 8.
Gangway adalah suatu fasilitas berupa lorong atau jalan sempit untuk ternak. Fasilitas ini dibuat untuk memudahkan menggiring ternak ke dalam kandang-
kandang instalasi maupun menggiring ternak yang akan masukdimuat ke dalam truk.
9. Kandang paksa forcing yard adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk
menggiring dan memasukkan ternak ke dalam gang way. 10.
Tempat bongkar dan muat ternak adalah fasilitas untuk menurunkan dan menaikkan ternak dari dan ke alat angkut
11. Alat angkut adalah angkutan darat dan sarana yang dipergunakan untuk
mengangkut yang langsung berhubungan dengan ternak ruminansia besar. 12.
Limbah adalah hasil buangan kandang yang berupa kotoran ternak, sisa pakan, serta kotoran lainnya.
Klasifikasi Instalasi Karantina Hewan IKH
Instalasi karantina hewan berdasarkan kepemilikannya Barantan 2006, yaitu:
1. IKH milik pemerintah yaitu bangunan berikut peralatan, lahan, dan sarana
prasarana yang diperlukan sebagai tempat melaksanakan tindak karantina milik pemerintah.
2. Instalasi karantina hewan milik swasta yaitu bangunan berikut peralatan,
lahan dan sarana prasarana yang diperlukan sebagai tempat melaksanakan tindak karantina milik pihak lainswasta yang ditetapkan oleh Kepala Badan
Karantina Pertanian yang telah memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis sesuai ketentuan
IKH berdasarkan waktu penggunaannya yaitu: 1.
Intalasi karantina hewan permanen adalah instalasi yang dibangun oleh pemerintah atau pihak lain yang penggunaannya bersifat permanen.
2. Instalasi karantina hewan sementara adalah instalasi yang dibangun oleh
pemerintah atau pihak lain yang penggunaannya bersifat sementara.
Biosekuriti
Biosekuriti adalah strategi dan tindakan secara terintegrasi meliputi kebijakan dan kerangka kerja yang menganalisa dan mengendalikan segala akibat
yang merugikan pada sektor keamanan pangan, kesehatan dan kehidupan hewan, kesehatan dan kehidupan tumbuhan termasuk lingkungan. Biosekuriti merupakan
konsep yang menyeluruh dan secara langsung mendukung bidang pertanian, keamanan pangan dan perlindungan terhadap lingkungan, juga meliputi
perlindungan terhadap bahaya pada gangguan yang menyebabkan kerusakan tumbuhan, gangguan, dan penyakit hewan serta zoonosis Ditjenak 2010.
Menurut NASDA 2001, biosekuriti adalah tindakan yang sangat penting berupa strategi, usaha, rencana untuk melindungi kesehatan manusia, hewan dan
lingkungan dari bahaya biologi. Selanjutnya menurut SEERAD 2006, biosekuriti adalah praktik manajemen yang potensial untuk mengurangi masuk
dan menyebarnya penyakit hewan yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen masuk ke peternakan dan mencegah masuk dan tersebarnya penyakit hewan di
antara peternakan. Larson 2008 menyatakan bahwa biosekuriti adalah suatu tindakan untuk
menjaga agar agen infeksius tidak masuk ke dalam suatu peternakan, negara atau wilayah. Tindakan ini juga bertujuan untuk mengendalikan penyebaran agen
infeksius didalam suatu peternakan. Menurut Wagner et al. 2011 tujuan biosekuriti adalah untuk mengurangi risiko exposure pendedahan penyakit dan
meningkatkan kekebalan terhadap penyakit ketika hewan terdedah exposed oleh agen penyakit.
Tujuan utama penerapan biosekuriti adalah untuk menghentikan masuknya penyakit dan penyebaran penyakit dengan cara mencegah, mengurangi atau
mengendalikan kontaminasi silang dari media pembawa yang dapat menularkan agen penyakit feses, urin, saliva, sekresi dari alat pernapasan dan lain-lain.
Praktik manajemen biosekuriti dibuat untuk mencegah penyebaran penyakit dengan meminimalkan perjalanan atau perluasan agen penyakit dan vektor
rodensia, lalat, nyamuk, kutu, caplak dan lain-lain di dalam suatu area peternakan. Biosekuriti merupakan cara yang murah, paling efektif untuk
pengendalian penyakit dan tidak akan ada program pencegahan penyakit yang berjalan dengan baik tanpa adanya penerapan biosekuriti. OIE 2009
menyatakan bahwa program biosekuriti yang baik adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan meminimalkan rute transmisi penyakit oleh agen
patogen diantaranya adalah melalui hewan, hewan lain, manusia, peralatan, alat angkut, udara, sumber air, dan pakan. Menurut Buhman et al. 2007, penyakit
infeksi pada hewan dapat menyebar dalam suatu peternakan melalui berbagai cara, antara lain melalui:
1. Hewan yang terinfeksi atau hewan sehat dalam masa inkubasi suatu penyakit
sehingga tidak memperlihatkan gejala klinis. 2.
Hewan yang sudah sehat setelah sembuh dari penyakit akan tetapi menjadi carriers.
3. Alat angkut, peralatan, pakaian, dan sepatu pengunjung atau pekerja yang
menangani hewan di dalam peternakan. 4.
Kontak dengan benda-benda yang terkontaminasi oleh agen penyakit. 5.
Hewan mati yang tidak ditangani secara benar. 6.
Tempat pakan, khususnya tempat pakan yang berisiko tinggi dapat terkontaminasi oleh feses.
7. Sumber air yang tidak baik.
8. Penanganan limbah kotoran ternak dan debu dari kotoran.
9. Adanya hewan lain kuda, anjing, kucing, hewan liar, rodensia, burung dan
serangga. Buhman et al. 2007 menerangkan bahwa komponen utama biosekuriti
adalah isolasi, kontrol lalu lintas dan sanitasi. 1.
Isolasi merupakan suatu tindakan untuk mencegah kontak diantara hewan pada suatu area atau lingkungan. Tindakan yang paling penting dalam
pengendalian penyakit adalah meminimalkan pergerakan hewan dan kontak dengan hewan yang baru datang. Tindakan lain yaitu memisahkan ternak
berdasarkan kelompok umur atau kelompok produksi. Fasilitas yang digunakan untuk tindakan isolasi harus dalam keadaan bersih dan
didisinfeksi. 2.
Kontrol lalu lintas merupakan tindakan pencegahan penularan penyakit yang dibawa oleh alat angkut, hewan selain ternak kuda, anjing, kucing, hewan
liar, rodensia, dan burung, dan pengunjung. Hewan yang baru datang sebaiknya diketahui status vaksinasinya, hal ini merupakan tindakan untuk
memaksimalkan biosekuriti. Oleh sebab itu, mengetahui status kesehatan hewan yang baru datang sangat penting. Kontrol lalu lintas di peternakan
harus dibuat dengan baik untuk menghentikan atau meminimalkan
kontaminasi pada hewan, pakan, dan peralatan yang digunakan. Alat angkut dan petugas tidak boleh keluar dari area penanganan hewan yang mati tanpa
melakukan pembersihan cleaning dan disinfeksi terlebih dahulu. 3.
Sanitasi merupakan tindakan pencegahan terhadap kontaminasi yang disebabkan oleh feses. Kontaminasi feses dapat masuk melalui oral pada
hewan fecal-oral cross contamination. Kontaminasi ini dapat terjadi pada peralatan yang digunakan seperti tempat pakan dan minum. Langkah pertama
tindakan sanitasi adalah untuk menghilangkan bahan organik terutama feses. Bahan organik lain yaitu darah, saliva, sekresi dari saluran pernafasan, dan
urin dari hewan yang sakit atau hewan yang mati. Semua peralatan yang digunakan khususnya tempat pakan dan minum harus di bersihkan dan
didesinfeksi untuk mencegah kontaminasi. Menurut Barrington et al. 2006, tindakan umum yang dilakukan dalam
program biosekuriti adalah: 1.
Mengawasi keluar masuknya hewan. 2.
Mencegah kontak dengan hewan atau hewan liar. 3.
Secara rutin membersihkan dan mendisinfeksi sepatu, pakaian, dan peralatan yang dipakai ketika menangani hewan.
4. Mencatat pengunjung, hewan, dan peralatan yang masuk dan keluar.
Pada suatu peternakan penyebaran penyakit dapat terjadi sangat komplek hal ini dapat disebabkan akibat kepadatan populasi dalam suatu kandang, spesies
atau bangsa hewan, dan sistem sanitasi pada peternakan tersebut, sehingga pengembangan biosekuriti sangat penting guna mencegah masuk dan tersebarnya
penyakit yang merugikan Steenwinkel et al. 2011. Biosekuriti pada peternakan dapat meliputi sanitasi peternakan, pagar pelindung, pengawasan yang ketat lalu
lintas pengunjung dan kendaraan, menghindari kontak dengan hewan liar, mempunyai fasilitas bangunan yang memadai, penerapan karantina dan
menerapkan sistem tata cara penggantian stok hewan Casal et al. 2007. Menurut laporan Bonanno 2011, pernah ditemukan kasus penyakit pada
suatu peternakan sapi akibat biosekuriti yang buruk. Penyakit ini antara lain digital dermatitis hairy heel wrats, haemorrhagic bowel syndrome HBS, dan
acute bovine liver disease ABLD. Penyakit ini disebabkan oleh sistem drainase
yang buruk, sanitasi dan higiene yang buruk, kondisi pakan yang tidak baik, serta kondisi kelembaban di dalam peternakan yang buruk.
Pengetahuan
Pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu mengetahui, memahami, menggunakan, menguraikan, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Ciri pokok
pengetahuan adalah ingatan tentang sesuatu yang diketahui baik melalui pengalaman, belajar, maupun berupa informasi yang didapat dari orang lain
Manggarsari 2011. Menurut Notoatmodjo 2007, pengetahuan terdiri dari berbagai jenis yaitu: 1 pengetahuan umum atau biasa, 2 pengetahuan ilmu, 3
pengetahuan agama, 4 pengetahuan filsafat, dan 5 pengetahuan seni. Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang
melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa,
dan peraba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga Notoatmodjo 2007.
Pengetahuan bukanlah fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman,
maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah
sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami perubahan karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Dalam
pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang
menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya misalnya ketika seseorang
mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut. Pengetahuan dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain pendidikan, informasimedia massa, sosial budaya, ekonomi, lingkungan, pengalaman, dan usia. Pengetahuan
merupakan faktor utama perubahan perilaku Bas et al. 2006.
Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk
bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi
tindakanpraktik atau perilaku. Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyatapraktik
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas Ali 2003. Sikap dan praktik dari seseorang dipengaruhi oleh
pengetahuan yang dimiliki orang tersebut. Dalam hal ini adanya informasi dapat mengubah sikap dan pada akhirnya akan menyebabkan perubahan dalam perilaku.
Praktik
Praktik atau tindakan atau disebut juga perilaku, merupakan reaksi nyata seseorang terhadap objek, misalnya mencuci tangan sebelum dan sesudah
menangani hewan yang sakit. Zahid 1997 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara sikap dan perilaku, namun keberadaan hubungan ini ditentukan
oleh kespesifikan sikap, kekuatan sikap, kesadaran pribadi, dan norma-norma subyektif yang mendukung.
Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap, dan Praktik
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik. Hasil penelitian Randusari 2007, menyatakan
bahwa pengetahuan dan sikap mempunyai pengaruh terhadap perilaku. Selain itu perilaku dapat dipengaruhi oleh tingkat penghasilan. Menurut Budisuari et al.
2009, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan diantaranya adalah lingkungan, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Handayani 2008,
dalam penelitiannya tentang hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan dan sikap
terhadap perilaku. Yustina 2006 menyatakan bahwa adanya peningkatan pengetahuan berhubungan positif dengan sikap dan minat, selain itu pengetahuan
tidak berhubungan positif dengan persepsi seseorang terhadap suatu objek.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2011 sampai dengan Maret 2012. Penelitian dilakukan pada IKH sapi impor milik pemerintah dan swasta yang
berada di Pulau Jawa yaitu BBKP Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Surabaya, dan SKP Kelas I Cilacap. Perancangan dan analisis data dilakukan di
Laboratorium Epidemiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Kerangka Konsep Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa peubah penelitian antara lain karakteristik, pengetahuan, dan sikap petugas IKH dokter hewan dan paramedik terhadap
sanitasi, isolasi, dan lalu lintas di IKH yang dapat mempengaruhi praktik biosekuriti petugas IKH selama melakukan tindakan karantina. Selain itu kondisi
IKH yang meliputi lokasi dan fasilitas dapat juga mempengaruhi tingkat biosekuriti di IKH. Kerangka konsep penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat
pada Gambar 1. Pada penelitian ini akan dilihat hubungan antara karakteristik responden,
pengetahuan, dan sikap terhadap praktik mengenai biosekuriti di IKH. Karakteristik responden ini meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, lama
bekerja, pelatihanseminar yang berhubungan dengan IKH dan biosekuriti, dan keterlibatan menjadi tim studi kelayakan IKH. Untuk pengetahuan dan sikap
responden dokter hewan meliputi cara penularan penyakit di IKH yang dapat ditularkan oleh sapi impor asal Australia dan pertanyaan yang berhubungan
dengan biosekuriti IKH. Pengetahuan dan sikap responden paramedik pada penelitian ini meliputi penerapan biosekuriti IKH yang meliputi sanitasi, isolasi,
dan lalu lintas. Praktik dalam penelitian ini adalah praktik mengenai penerapan biosekuriti di IKH sapi impor selama petugas melakukan tindakan karantina.
Gambar 1 Kerangka konsep penelitian.
Untuk praktik biosekuriti baik responden dokter hewan dan paramedik terdiri dari tiga komponen yaitu sanitasi, isolasi, dan lalu lintas. Komponen
tersebut meliputi: 1.
Sanitasi a
Melakukan cuci tangan sebelum dan setelah menangani hewan yang sakit menggunakan disinfektan.
b Memakai sepatu khususbot pada saat masuk kandang dan
melakukan dipping sepatu pada disinfektan. c
Penggunaan disinfektan. d
Memakai pakaian khusus cattle pack pada saat masuk ke kandang. e
Menggunakan peralatan yang steril selama melakukan tindakan karantina.
f Kandang senantiasa dibersihkan dengan disinfektan.
g Tempat pakan senantiasa dibersihkan dengan disinfektan.
h Tempat minum senantiasa dibersihkan dengan disinfektan.
KONDISI IKH LOKASI, FASILITAS
BIOSEKURITI IKH
KARAKTERISTIK PETUGAS IKH:
UMUR JENIS KELAMIN
PENDIDIKAN FORMAL
LAMA BEKERJA PELATIHAN
PENGETAHUAN PETUGAS IKH
SIKAP PETUGAS IKH PRAKTIK
PETUGAS IKH
i Peralatan kandang senantiasa dibersihkan dengan disinfektan.
j Tempat penyimpanan pakan yang senantiasa dibersihkan secara
rutin. 2.
Isolasi a
Perlakuan terhadap hewan yang sakit. b
Tindakan terhadap hewan yang baru masuk. c
Tindakan terhadap hewan yang sehat. d
Perlakuan terhadap hewan yang mati. e
Penanganan terhadap kotoran hewan. 3.
Lalu lintas a
Tindakan terhadap lalu lintas kendaraan dan pengunjung. b
Perlakuan terhadap lalu lintas peralatan. c
Perlakuan terhadap lalu lintas pakan. d
Tindakan terhadap rodensia, serangga, burung liar, dan hewan lain.
Disain Penelitian
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara terhadap petugas IKH dokter hewan dan paramedik yang pernah
melakukan tindakan karantina terhadap sapi impor di IKH dan observasi pada IKH pemerintah dan swasta. Wawancara dilakukan menggunakan kuesioner dan
observasi dilakukan menggunakan checklist. Kuesioner digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan praktik dari responden. Pada penelitian
ini dilakukan dua penilaian yaitu: 1.
Penilaian IKH. Penilaian ini dilakukan dengan cara mengukur tingkat biosekuriti IKH yang
dilihat dari lokasi, sarana dan prasarana yang terdapat di IKH sapi impor di Pulau Jawa sebagai penunjang penerapan biosekuriti. Penilaian ini dilakukan
dengan menggunakan kuesioner dan checklist. 2.
Penilaian tentang Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Petugas IKH. Penilaian ini dilakukan dengan cara mengukur tingkat pengetahuan, sikap,
dan praktik petugas di IKH sapi impor yaitu dokter hewan dan paramedik mengenai biosekuriti.
Sebelum digunakan dalam penelitian, kuesioner terlebih dahulu di uji melalui pre-test kuesioner yang bertujuan untuk menghitung estimasi waktu
wawancara dan melihat tingkat kesulitan dari pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner. Setelah itu dilakukan validasi kuesioner untuk melihat kelayakan
kuesioner sebagai alat untuk penelitian.
Sampel Penelitian
Kriteria sampel IKH pada penelitian ini adalah IKH sapi impor yang berada di Pulau Jawa dan masih digunakan baik milik pemerintah maupun milik swasta.
Sedangkan untuk kriteria sampel responden adalah dokter hewan dan paramedik yang pernah melakukan tindakan karantina di IKH sapi impor baik milik
pemerintah dan juga milik swasta. Tindakan karantina adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama penyakit hewan karantina masuk, tersebar dan
atau keluar dari IKH. Pada penelitian ini sampel yang digunakan yaitu: 1.
Untuk menilai IKH diambil dari IKH sapi impor yang ada di pulau Jawa baik milik pemerintah maupun milik swasta. Jumlah IKH yang diambil pada
penelitian ini yaitu 2 IKH milik pemerintah dan 14 IKH milik swasta yang terdapat di Pulau Jawa.
2. Untuk menilai tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik petugas IKH, jumlah
responden yang diambil yaitu dokter hewan pemerintah berjumlah 40 dan paramedik pemerintah berjumlah 58 yang berasal dari empat Unit Pelaksana
Teknis UPT Karantina Pertanian yang memiliki IKH sapi impor di Pulau Jawa. Sedangkan jumlah responden dokter hewan dan paramedik swasta
masing-masing berjumlah 14. Untuk dokter hewan dan paramedik pemerintah diambil dari data distribusi pegawai dokter hewan dan paramedik
yang sudah fungsional pada unit kerja Badan Karantina Pertanian Tahun 2011. Jumlah responden dipilih secara acak di setiap UPT dan besaran
sampel yang diambil pada setiap UPT adalah proporsional terhadap jumlah petugas yang ada di setiap masing-masing UPT.
Pembagian besaran sampel responden dokter hewan dan paramedik pemerintah dihitung menggunakan software WinEpiscope 2.0 dengan tingkat
kepercayaan 95, prevalensi dugaan 50 dan tingkat kesalahan 10 Billaud
Leslie 2007. Prevalensi pada penelitian ini merupakan prevalensi dugaan responden yang mempunyai tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap
biosekuriti yang baik. Besaran sampel dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2 Jumlah besaran sampel dokter hewan pemerintah No Unit Pelaksana Teknis
Besaran Sampel 1
BBKP Tanjung Priok 14
2 BBKP Soekarno-Hatta
10 3
BBKP Surabaya 12
4 SKP Kelas I Cilacap
4 Jumlah
40 Tabel 3 Jumlah besaran sampel paramedik pemerintah
No Unit Pelaksana Teknis Besaran Sampel
1 BBKP Tanjung Priok
13 2
BBKP Soekarno-Hatta 13
3 BBKP Surabaya
25 4
SKP Kelas I Cilacap 7
Jumlah 58
Pembobotan dan Penilaian Kuesioner
Pembobotan dan penilaian kuesioner pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penilaian Tingkat Pengetahuan
Penilaian tingkat pengetahuan petugas IKH dilakukan dengan membuat 20 pertanyaan mengenai biosekuriti di IKH. Responden diberikan pilihan
“benar”, “salah”, dan “tidak tahu” Hart et al. 2007. Setiap jawaban yang benar diberikan nilai “1” dan jawaban yang salah serta tidak tahu diberikan
nilai “0” Palaian et al. 2006. Skor nilai dari pengetahuan ini mempunyai kisaran nilai 0-20. Pembagian kategori tingkat pengetahuan yaitu dilakukan
dengan membagi tiga selisih antara skor total maksimal dengan skor minimal. Hasil pembagian tersebut kemudian dijadikan selang untuk kategori tingkat
pengetahuan.
Penilaian skor pengetahuan = Nilai maksimum - Nilai minimum 3
= 20 - 0 = 6,67
3 Tingkat pengetahuan “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih
besar dari 14, tingkat pengetahuan “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dan tingkat pengetahuan “kurang” bila skor jawaban lebih kecil
dari 7 Siahaan 2007. Penilaian pengetahuan biosekuriti responden juga dilakukan dengan menggunakan rataan persentase skor pengetahuan yang
diperoleh. Pengetahuan “baik” jika rataan persentase skor pengetahuan responden lebih besar sama dengan 50 dan pengetahuan “kurang” jika
rataan persentase skor pengetahuan responden lebih kecil dari 50 Bas et al. 2006.
2. Penilaian Tingkat Sikap
Penilaian tingkat sikap responden dilakukan dengan membuat sebanyak 20 pertanyaan mengenai biosekuriti di IKH. Responden diberikan pilihan
“Tidak Setuju”, “Ragu-ragu” dan “Setuju” Bas et al. 2006. Nilai untuk jawaban tidak setuju=1, ragu-ragu=2, dan setuju=3. Skor nilai dari sikap ini
mempunyai kisaran nilai 20-60. Pembagian kategori tingkat sikap yaitu dilakukan dengan membagi 3 selisih antara skor total maksimal dengan skor
minimal. Hasil pembagian tersebut kemudian dijadikan selang untuk menentukan kategori tingkat sikap.
Penilaian skor pengetahuan = Nilai maksimum - Nilai minimum 3
= 60 - 20 = 13,33
3 Tingkat sikap “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih besar dari
46, tingkat sikap “cukup” bila skor jawaban responden antara 33-46 dan tingkat sikap “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 33.
3. Penilaian Tingkat Praktik
Penilaian tingkat praktik responden terhadap biosekuriti di IKH dilakukan dengan membuat 14 pertanyaan mengenai praktik biosekuriti untuk dokter
hewan dan 22 pertanyaan untuk paramedik. Pembobotan diberikan pada jawaban yang sesuai diberi nilai “1” dan yang kurang sesuai diberi nilai “0”.
Sehingga kisaran nilai untuk praktik biosekuriti dokter hewan ini antara 0-14 dan kisaran nilai untuk paramedik antara 0-22. Pembagian kategori tingkat
praktik dokter hewan dilakukan dengan membagi 3 selisih antara skor total maksimal dengan skor minimal. Tingkat praktik “baik” bila skor jawaban
responden mencapai lebih besar dari 10, tingkat praktik “cukup” bila skor jawaban responden antara 5-10 dan tingkat praktik “kurang” bila skor
jawaban lebih kecil dari 5. Pembagian kategori tingkat praktik paramedik juga dilakukan dengan membagi 3 selisih antara skor total maksimal dengan
skor minimal. Tingkat praktik “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih besar dari 14, tingkat praktik “cukup” bila skor jawaban responden
antara 7-14 dan tingkat praktik “kurang” bila skor jawaban lebih kecil 7. 4.
Penilaian Biosekuriti IKH Penilaian ini dilakukan dengan cara mengukur tingkat biosekuriti IKH baik
milik pemerintah maupun milik swasta. Penilaian IKH dilakukan dengan menggunakan 33 pertanyaan mengenai biosekuriti yang meliputi lokasi dan
tindakan biosekuriti di IKH yang tertuang dalam kuesioner. Penilaian juga dilakukan dengan observasi langsung menggunakan checklist yang terdiri dari
51 pertanyaan. Checklist yang dibuat berisi tentang kondisi saat ini mengenai tindakan biosekuriti, sarana dan prasarana penunjang penerapan biosekuriti di
IKH. Penilaian yang dilakukan dengan memberikan nilai “1” pada IKH yang melakukan tindakan biosekuriti dan nilai “0” yang tidak melakukan tindakan
biosekuriti. Hasil penilaian total untuk praktik biosekuriti di IKH adalah penjumlahan kuisioner praktik bioskuriti di IKH skor 33 dengan hasil
observasi skor 51. Dengan demikian nilai total nilai maksimum diperoleh untuk tingkat biosekuriti IKH adalah “84” dan nilai total minimum adalah
“0”. Pembuatan kategori biosekuriti IKH dilakukan dengan cara selisih nilai total maksimum dan minimum dibagi 3, kemudian hasil pembagian ini
dijadikan selang untuk membagi kategori tingkat biosekuriti. Hasil pembagian kategori tersebut yaitu: 1 biosekuriti baik jika skor lebih besar
dari 56, 2 biosekuriti cukup jika skor antara 28–56, dan 3 biosekuriti kurang jika skor lebih kecil dari 28.
Definisi Operasional
Penelitian ini memiliki beberapa peubah yang didefinisikan dalan definisi operasinal yang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Definisi operasioanal peubah penelitian Peubah
Penelitian Definisi Operasional
Alat Ukur Cara
Pengukuran Skala
Pengukuran Umur
Usia responden yaitu dokter hewan dan
paramedik yang pernah melakukan
tindakan karantina sapi impor di IKH.
Kuesioner Wawancara
Ordinal 1 = 30
tahun, 2 = 30-40
tahun, 3 = 40 tahun
Jenis kelamin
Jenis kelamin responden dokter
hewan dan paramedik yang terdiri dari laki-
laki dan perempuan. Kuesioner
Wawancara Nominal
1 = Laki- laki, 2 =
Perempuan
Lama bekerja
Masa kerja responden dokter hewan dan
paramedik dimana institusi responden
bekerja. Kuesioner
Wawancara Ordinal
1 = 1` tahun, 2 = 1
- 2 tahun, 3 = 3 – 5
tahun, 4 = 5 tahun
Pendidikan Pendidikan formal
responden paramedik yang pernah diikuti.
Kuesioner Wawancara
Ordinal 1 = SMU, 2
= STPP, 3 = SPP, 4 =
Lain-lain D3, S1, S2
Pelatihan Pelatihan yang pernah
diikuti mengenai IKH dan biosekuriti.
Kuesioner Wawancara
Ordinal 1 = Ya
0 = Tidak
Peubah Penelitian
Definisi Operasional Alat Ukur
Cara Pengukuran
Skala Pengukuran
Tim studi kelayakan
IKH Responden dokter
hewan dan paramedik pernah ikut terlibat
dalam tim studi penilaian kelayakan
IKH. Kuesioner
Wawancara Ordinal
1 = Ya 0 = Tidak
Pengetahuan dokter
hewan Pengetahuan dokter
hewan tentang teori biosekuriti yang
terdiri dari sanitasi, isolasi, kontrol lalu
lintas dan penularan penyakit yang
mungkin bisa masuk akibat importasi sapi.
Kuesioner Wawancara
Ordinal 1 = Benar
0 = Salah dan tidak
tahu
Pengetahuan paramedik
Pengetahuan paramedik tentang
teori biosekuriti yang terdiri dari sanitasi,
isolasi dan kontrol lalu lintas pada IKH
sapi impor. Kuesioner
Wawancara Ordinal
1 = Benar 0 = Salah
dan tidak tahu
Sikap dokter hewan
Sikap dokter hewan tentang biosekuriti
yang terdiri dari sanitasi, isolasi,
kontrol lalu lintas dan penularan penyakit
yang mungkin bisa masuk akibat
importasi sapi. Kuesioner
Wawancara Ordinal
1 = Tidak setuju, 2 =
Ragu-ragu, 3 = Setuju
Sikap paramedik
Sikap paramedik tentang biosekuriti
yang terdiri dari sanitasi, isolasi dan
kontrol lalu lintas pada IKH sapi impor.
Kuesioner Wawancara
Ordinal 1 = Tidak
setuju 2 = Ragu-
ragu 3 = Setuju
Praktik dokter
hewan Praktik aktual
biosekuriti dokter hewan pada IKH sapi
impor. Kuesioner
Wawancara Ordinal
1 = Melakukan
praktik biosekuriti
0 = tidak melakukan
praktik biosekuriti
Peubah Penelitian
Definisi Operasional Alat Ukur
Cara Pengukuran
Skala Pengukuran
Praktik paramedik
Praktik aktual biosekuriti paramedik
pada IKH sapi impor. Kuesioner
Wawancara Ordinal
1 = Melakukan
praktik biosekuriti
0 = tidak melakukan
praktik biosekuriti
Mencuci tangan
Tindakan mencuci tangan dengan air
bersih dan menggunakan
desinfektan yang bertujuan untuk
meminimalkan kontaminasi dan
mencegah penyebaran penyakit.
Kuesioner Wawancara
dan observasi
Ordinal 1 = Ya
0 = Tidak
Peralatan steril
Peralatan yang digunakan selama
tindakan karantina. Peralatan ini sebelum
digunakan dalam keadaan steril. Hal ini
dapat dilakukan dengan mencuci
menggunakan desinfektan sebelum
dan setelah digunakan, disterilkan
menggunakan alat sterilisasi dan atau
menggunakan peralatan steril sekali
pakai. Kuesioner
dan checklist
Wawancara dan
observasi Ordinal
1 = Ya 0 = Tidak
Kandang isolasi
Kandang khusus yang digunakan untuk
hewan yang sakit dan berjarak minimal 25
meter dari kandang ternak yang
sehatkandang pemeliharaan.
Kuesioner dan
checklist Wawancara
dan observasi
Ordinal 1 = Ya
0 = Tidak
Peubah Penelitian
Definisi Operasional Alat Ukur
Cara Pengukuran
Skala Pengukuran
Penanganan hewan yang
sakit Pemisahan hewan
yang sakit dengan yang sehat sesegera
mungkin dan dimasukkan ke dalam
kandang isolasi. Kuesioner
Wawancara Ordinal
1 = Ya 0 = Tidak
Pengawasan lalu lintas
kendaraan dan
pengunjung IKH
Setiap kendaraan dan pengunjung IKH
harus dilakukan desinfeksi
menggunakan dippersprayer untuk
kendaraan dan dipping sepatu.
Kuesioner dan
checklist Wawancara
dan observasi
Ordinal 1 = Ya
0 = Tidak
Tindakan terhadap
hewan lain di IKH
Petugas harus menjaga agar tidak
ada hewan lain anjing, kucing,
kambing, domba, unggas, burung dan
dengan cara mengeluarkan hewan
dari area IKH. Kuesioner
dan checklist
Wawancara dan
observasi Ordinal
1 = Ya 0 = Tidak
Tindakan terhadap
rodensia di IKH
Petugas harus mengendalikan
adanya rodensia dengan menggunakan
perangkap atau racun. Kuesioner
dan checklist
Wawancara dan
observasi Ordinal
1 = Ya 0 = Tidak
Tindakan terhadap
serangga di IKH
Petugas harus mengendalikan
adanya serangga dengan menggunakan
perangkap atau racun insektisida.
Kuesioner dan
checklist Wawancara
dan observasi
Ordinal 1 = Ya
0 = Tidak
Tindakan terhadap
burung liar di IKH
Petugas harus mengendalikan
adanya burung liar dengan menjaga
sanitasi yaitu tidak membiarkan pakan
berceceran di area kandang.
Kuesioner dan
checklist Wawancara
dan observasi
Ordinal 1 = Ya
0 = Tidak
Peubah Penelitian
Definisi Operasional Alat Ukur
Cara Pengukuran
Skala Pengukuran
Perlakuan hewan yang
mati Kegiatan penanganan
hewan yang matibangkai dengan
cara dibakar atau dikubur. IKH harus
menyediakan tempat khusus untuk
penanganan hewan yang mati ini.
Kuesioner dan
checklist Wawancara
dan observasi
Ordinal 1 = Ya
0 = Tidak
Pengawasan lalu lintas
pakan Mengawasi kendaraan
yang membawa pakan dari luar IKH tidak
boleh memasuki ke area kandang
Kuesioner Wawancara
Ordinal 1 = Ya
0 = Tidak
Penanganan limbah
Perlakuan yang dilakukan di IKH
terhadap limbah kotoran ternakfeses
seperti pengeringan, ditampung atau
dijadikan pupuk. Kuesioner
dan checklist
Wawancara dan
observasi Ordinal
1 = Ya 0 = Tidak
Pengamatan hewan di
IKH Tindakan yang
dilakukan untuk mengamati kondisi
kesehatan hewan yang dilakukan dengan cara
menangani hewan sehat terlebih dahulu
sebelum menangani hewan yang sakit.
Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Ya
0 = Tidak
Analisis Data
Penilaian kondisi IKH dilakukan secara deskriptif, sedangkan hubungan karakteristik umur, jenis kelamin, pendidikan, lama bekerja, pelatihan biosekuriti
dan IKH, dan keterlibatan dalam tim penilaian IKH terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik dianalisis menggunakan Uji Korelasi Spearman.
Hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik dianalisis menggunakan Uji Korelasi Pearson.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Instalasi Karantina Hewan Sapi Impor
Instalasi karantina hewan IKH merupakan suatu bangunan berikut peralatan dan bahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat
untuk melakukan tindakan karantina. Instalasi karantina hewan harus memenuhi persyaratan teknis baik lokasi, konstruksi, sistem drainase, kelengkapan sarana
dan prasarana. Penetapan lokasi berkaitan dengan analisis risiko penyebaran hama penyakit, peta situasi hama penyakit hewan, kesejahteraan hewan, sosial
budaya dan lingkungan serta jauh dari lokasi budidaya hewan lokal. Kontruksi bangunan instalasi harus kuat dan memenuhi persyaratan
sehingga dapat menjamin keamanan media pembawa, petugas ataupun pekerja. IKH harus dilengkapi dengan sarana penunjang yang mudah dibersihkan dan
disucihamakan serta memiliki sistem drainase dan sarana pembuangan limbah yang baik. Hal ini untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan oleh
limbah dan menghindari kemungkinan penyebaran hama penyakit hewan karantina. Persyaratan dan tata cara penetapan IKH tertuang dalam Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan IKH dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 348
Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis IKH Untuk Ruminansia Besar.
Pada Tabel 5 dapat dilihat IKH milik pemerintah dan swasta yang terdapat di Pulau Jawa. IKH di Pulau Jawa yang masih digunakan terdapat di wilayah
kerja BBKP Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Surabaya dan SKP Kelas I Cilacap. Instalasi Karantina Hewan milik swasta mempunyai jumlah lebih
banyak dibandingkan dengan IKH milik pemerintah Tabel 5.
Kondisi IKH mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini terletak pada lokasi, fasilitas, sarana dan prasarana yang tersedia
pada IKH tersebut. Penerapan tindakan biosekuriti dapat dipengaruhi oleh faktor pendukung diantaranya fasilitas, sarana dan prasarana yang tersedia, sehingga
tindakan biosekuriti dapat diterapkan secara maksimal dengan adanya faktor pendukung tersebut.
Tabel 5 Instalasi karantina hewan sapi impor di Pulau Jawa yang masih digunakan untuk melakukan tindakan karantina tahun 2010-2011
No. Unit Pelaksana Teknis
IKH Pemerintah IKH Swasta
1. BBKP Tanjung Priok
Tidak ada 8
2. BBKP Soekarno-Hatta
Tidak ada 4
3. BBKP Surabaya
1 1
6. SKP Kelas I Cilacap
1 1
Jumlah 2
14
Penilaian Kondisi IKH
Penilaian IKH pada penelitian ini antara lain mencakup lokasi dan tindakan biosekuriti yang dilakukan di IKH. Penilaian lokasi meliputi: 1 jarak IKH dari
pelabuhan pemasukan, 2 jarak lalu lintas umum dengan IKH, 3 jarak IKH dengan peternakan sejenis, 4 jarak IKH dengan pemukiman penduduk, dan 5
tinggi pagar keliling IKH. Untuk penilaian biosekuriti aspek yang dilihat adalah: 1 tempat pembuangan akhir limbah, 2 fasilitas kandang isolasi khusus, 3
jarak kandang isolasi dengan kandang pemeliharaanpengamatan, 4 sumber air untuk keperluan IKH, 5 desinfeksi kendaraan yang keluar masuk IKH, 6
desinfeksi pengunjung yang keluar masuk IKH, 7 sarana alat angkut dan peralatan, 8 pengendalian rodensia, 9 pengendalian serangga, 10
pengendalian burung liar, dan 11 pengendalian hewan lain. Penilaian lainnya yang dilakukan yaitu: 1 fasilitas tempat khusus pembuangan sisa peralatan
medis, 2 penyakit yang pernah terdeteksi di IKH, dan 3 keluhan masyarakat tentang keberadaan IKH. Pada penelitian ini telah dilakukan penilaian terhadap
16 IKH yang terdiri dari 2 IKH milik pemerintah dan 14 IKH milik swasta. IKH yang digunakan untuk penilaian adalah IKH yang masih layak sebagai tempat
untuk melakukan tindakan karantina terhadap sapi impor. Hasil penilaian kondisi IKH dapat dilihat dibawah ini:
Lokasi
Lokasi merupakan aspek penting dalam penetapan pendirian IKH. Lokasi berhubungan dengan transportasi dan jarak tempuh dengan melihat risiko terhadap
penyebaran penyakit dan aspek kesejahteraan hewan. Transportasi hewan dari tempat pemasukan pelabuhan atau bandar udara sampai tempat tujuan yaitu IKH
akan mempengaruhi aspek kesejahteraan hewan. Menurut Fisher et al. 2009, transportasi dapat mempengaruhi kesejahteraan hewan diantaranya adalah:
1. Penanganan handling, bongkar muat loading, kenyamanan alat angkut,
dan pengalaman petugas dapat mempengaruhi respon psikologi stres hewan. 2.
Ketersediaan pakan
dan minum
selama transportasi
dengan memperhitungkan jarak tempuh, ruang gerak berdiri, berbaring, menjaga
keseimbangan tubuh dapat mempengaruhi psikologi dan kondisi hewan kelelahan.
3. Suhu dan kondisi alat angkut selama perjalanan serta kondisi jalan.
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa sebanyak 56,2 IKH mempunyai jarak kurang dari 100 km, namun masih terdapat IKH yang berjarak lebih dari 100 km
43,8. Menurut pedoman yang ada bahwa jarak IKH maksimal adalah 100 km atau menempuh jarak kurang lebih 3 jam perjalanan dari pelabuhan pemasukan
Barantan 2006. Aspek jarak ini sangat penting, karena jika dalam importasi sapi tidak terdeteksi penyakit atau hewan sehat namun dalam keadaan subklinis
terhadap suatu penyakit atau hewan bersifat carrier penyakit tertentu, risiko masuk dan penyebaran penyakit akan semakin besar. Penyebaran penyakit ini
dapat terjadi sepanjang perjalanan dari pelabuhan pemasukan sampai ke IKH.
Tabel 6 Kondisi jarak IKH dari pelabuhan pemasukan, lalu lintas umum, peternakan sejenis, dan pemukiman penduduk
Lokasi IKH Jumlah
Jarak IKH dari pelabuhan pemasukan 100 km 9
56,2 Jarak IKH dari lalu lintas umum 100 m
14 87,5
Jarak IKH dari peternakan sejenis 500 m 7
43,8 Jarak IKH dari pemukiman penduduk 500 m
8 50,0
Ketika ternak ditransportasikan terdapat kemungkinan risiko kontak dengan hewan atau material yang terinfeksi agen patogen, misalnya alat angkut yang
digunakan tidak dibersihkan dan didisinfeksi secara baik. Hal ini juga meningkatkan kemungkinan kerentanan hewan terinfeksi dan terkena penyakit
jika dalam perjalanan hewan menjadi stres Cockram 2007.
Pergerakan hewan dari suatu tempat akan menimbulkan risiko penyebaran penyakit, beberapa penyakit seperti bovine tuberculosis dan penyakit mulut dan
kuku PMK merupakan penyakit yang penyebarannya dapat disebabkan oleh pergerakan hewan dari satu tempat ke tempat lain. Wabah penyakit PMK pernah
terjadi pada awal tahun 2001 di United Kingdom akibat pergerakan hewan dari suatu tempat ke tempat lain Brennan et al. 2008.
Kondisi selama perjalanan akan mempengaruhi respon psikologi hewan. Jika kondisi selama perjalanan dapat dijaga dengan baik dan optimal, seperti: cara
mengemudi, kondisi jalan, kelayakan alat transportasi, jarak antar hewan, kondisi suhu dan ventilasi, kondisi hewan tidak ada gejala klinis penyakit, luka, atau
kondisi psikologi hewan yang dapat mempengaruhi hewan selama perjalanan, dan penanganan hewan sebelum dan sesudah ditransportasikan, dapat
memungkinkan hewan ditransportasikan dalam jarak jauh. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi transportasi hewan antara lain: jarak antar hewan didalam
alat angkut, cara mengemudi frekuensi mengerem, banyaknya belokan yang dilalui selama perjalanan, dan kondisi jalan yang dilalui. Kondisi tersebut akan
mempengaruhi kemampuan hewan untuk menjaga keseimbangan dan posisi berbaring Cockram 2007.
Jarak lalu lintas umum dengan lokasi IKH sesuai pedoman yang ada yaitu minimal 100 meter. Pada Tabel 6 dapat dilihat sebanyak 87,5 jarak IKH
dengan lalu lintas umum sudah sesuai pedoman yang ada, namun masih terdapat 2 IKH 12,5 yang mempunyai jarak dengan lalu lintas umum kurang dari 100
meter. Jarak merupakan faktor risiko penyebaran penyakit yang perlu diperhatikan. Lokasi IKH yang berdekatan dengan lalu lintas umum akan
meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit akibat adanya lalu lintas hewan yang akan melewati IKH tersebut. Hal ini meningkatkan risiko adanya
penyebaran penyakit ke area IKH jika hewan yang melewati IKH tersebut ada yang terinfeksi penyakit menular. Penyebaran penyakit juga dapat disebabkan
oleh alat angkut yang terkontaminasi oleh agen penyakit. Instalasi karantina hewan harus didirikan jauh dari peternakan sejenis yaitu
minimal berjarak 500 meter. Tabel 6 menunjukkan bahwa sebanyak 43,8 IKH mempunyai jarak dengan peternakan sejenis lebih dari 500 meter, namun masih
ada IKH yang berjarak kurang dari 500 meter yaitu sebanyak 56,2. Dari hasil observasi terdapat IKH yang didirikan berdekatan dengan peternakan sejenis yaitu
peternakan untuk penggemukan dan pembibitan. Selain itu ada juga IKH yang disatukan dengan kandang penggemukan dan pembibitan. Hal ini dikarenakan
terbatasnya lahan dan anggaran untuk mendirikan IKH sedangkan importir sudah memiliki fasilitas kandang permanen untuk penggemukan maupun pembibitan.
Jarak IKH yang berdekatan dengan peternakan sejenis memungkinkan terjadinya penularan penyakit akibat pergerakan hewan yang terdapat di area IKH.
Pergerakan hewan dan kontak dengan agen penyakit ini tergantung dari jenis peternakan, luas peternakan, dan populasi hewan di dalam peternakan Brennan et
al. 2008. Jarak yang berdekatan dengan lokasi peternakan lain akan berpeluang
terjadinya penyebaran penyakit. Menurut Le et al. 2008, satu peternakan dengan peternakan sejenis dan peternakan lain jenis perlu dipisahkan dan dibuat
jarak untuk mengendalikan penyebaran penyakit, seperti malignant cattarhal fever MCV.
Jarak IKH dengan pemukiman penduduk harus lebih dari 500 meter. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa IKH yang ada sebanyak 50 sudah berjarak lebih
dari 500 meter dari pemukiman penduduk, namun demikian masih terdapat IKH yang lokasinya berdekatan dengan pemukiman penduduk yaitu kurang dari 500
meter sebanyak 50. Instalasi karantina hewan merupakan tempat pengasingan dan pengamatan hewan terhadap kondisi kesehatan hewan dan mencegah penyakit
menyebar diantara hewan dan ke lingkungan sekitar. Biosekuriti yang tidak maksimal pada IKH akan berisiko menyebarkan penyakit ke lingkungan sekitar.
Jarak IKH yang berdekatan dengan pemukiman penduduk akan menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran air, bau, lalat dan gangguan kesehatan
masyarakat khususnya penyakit zoonotik. Risiko penyebaran penyakit dapat terjadi akibat lokasi IKH dengan
pemukiman penduduk yang berdekatan. Risiko ini dapat berupa penularan penyakit yang berasal dari feses ternak dan vektor lalat dan nyamuk yang bisa
bertindak sebagai pembawa penyakit yang dapat ditularkan diantara hewan dan manusia.
Penyebaran penyakit infeksi hewan dapat terjadi dengan berbagai cara antara lain melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi, feses, insekta, atau
vektor pembawa penyakit, partikel aerosol, dan melalui cara venereal route saat kawin. Penyebaran lain yaitu melalui kontak tidak langsung diantaranya
terdedah oleh peralatan yang terkontaminasi, kendaraan, alat angkut hewan, pakaian, sepatu bot atau tangan Wagner et al. 2011.
Permasalahan akan timbul akibat adanya lokasi IKH yang berdekatan dengan lokasi penduduk, diantaranya adalah bau, lalat dan pencemaran air.
Permasalahan ini timbul akibat limbah kotoran hewan yang tidak ditangani secara baik. Kotoran hewan feses merupakan media yang dapat menularkan penyakit.
Paratuberkulosis merupakan penyakit zoonotik yang dapat ditularkan melalui feses. Di dalam feses terutama yang cair, bakteri ini dapat bertahan hidup dalam
jangka waktu yang relatif lama tergantung dengan kondisi lingkungan. Pakan dan air yang tercemar oleh feses merupakan sumber infeksi bagi ternak yang lain,
terutama ternak–ternak yang masih muda. Susu dari induk yang terinfeksi oleh M. paratuberculosis akan semakin
banyak mensekresikan bakteri ini seiring dengan tingkat keparahan penyakit atau dapat juga melalui puting yang tercemar feses yang mengandung bakteri ini,
sehingga ternak yang menyusu akan terinfeksi. Padang pengembalaan atau padang rumput juga bisa tercemar dan dapat sebagai sumber infeksi, hal ini bisa
terjadi jika dialiri dengan air yang telah tercampur dan terkontaminasi oleh feses hewan terinfeksi. Praktik manajemen yang perlu dilakukan untuk mengendalikan
Paratuberkulosis diantaranya sanitasi area peternakan, mengurangi kepadatan ternak, meminimalkan kontaminasi kotoran feses pada pakan dan sumber air
minum, dan memisahkan hewan yang muda dengan hewan yang tua Benjamin et al. 2010.
Insekta dapat terlibat dalam transmisi virus penyebab enzootic bovine leucosis EBL, transmisi alami tergantung sel yang terinfeksi masuk kedalam
tubuh misalnya selama proses kelahiran parturition, potong tanduk, pemasangan eartag, inseminasi buatan, jarum suntik yang terkontaminasi, peralatan bedah, dan
sarung tangan yang dipakai pada saat pemeriksaan rektal. Pada daerah dengan populasi lalat yang banyak, transmisi dapat terjadi secara mekanik, dimana virus
dapat dipindahkan oleh lalat Tabanidae. Penularan penyakit ini melalui darah dan sering juga akibat praktik manajemen di peternakan injection, dehorning,
tattooing, tagging dan pregnancy checking Kidwell 2008. Observasi yang dilakukan selama penelitian didapatkan bahwa pada
umumnya 75 pagar IKH sapi impor yang terdapat di Pulau Jawa mempunyai tinggi lebih dari 2 meter. Pagar merupakan pelindung terhadap lingkungan luar.
Pagar IKH didirikan sebagai tindakan isolasi agar penyebaran penyakit tidak dapat masuk ke dalam IKH dan sebaliknya agen penyakit tidak dapat keluar IKH.
Pagar juga berfungsi sebagai sarana kontrol lalu lintas hewan dan pengunjung supaya tidak bebas keluar masuk ke dalam area IKH.
Lokasi IKH yang akan didirikan harus dikoordinasikan dengan pemerintah daerah setempat untuk mendapatkan ijin rekomendasi pendirian IKH. Sebelum
IKH didirikan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: status penyakit daerah setempat, letak geografis, iklim, air, tanah dan lingkungan sekitar.
Instalasi karantina hewan yang akan didirikan harus memperhatikan jarak dari pelabuhan pemasukan, hal ini berhubungan dengan kesejahteraan hewan pada saat
hewan ditransportasikan dari pelabuhan tempat pemasukan ke IKH. Lokasi IKH yang jauh akan menyebabkan perjalanan memakan waktu tempuh yang panjang
sehingga akan mempengaruhi kondisi hewan. Penyakit akan muncul akibat adanya transportasi hewan. Munculnya penyakit ini ditunjang oleh kesejahteraan
hewan yang kurang mendapat perhatian selama perjalanan. Kesejahteraan hewan yang kurang mendapat perhatian selama perjalanan akan menurunkan sistem
kekebalan tubuh hewan yang akan berakibat terpaparnya hewan oleh agen infeksius. Kondisi stres pada hewan selama dalam perjalanan akan meningkatkan
pengeluaran agen patogen oleh hewan yang terinfeksi melalui sekresi hidung, aerosol sistem pernafasan dan feses. Pengeluaran agen patogen ini shedding
dapat mengkontaminasi alat angkut, peralatan, dan daerah yang dilewati sepanjang perjalanan EFSA 2004.
Transportasi hewan dapat menjadi sumber penularan penyakit infeksi pada hewan dan dapat bersifat zoonotik. Karantina pertanian sebagai institusi yang
bertugas melakukan tindakan pencegahan masuk dan menyebarnya penyakit perlu meningkatkan pengawasan diantaranya: 1 mengetahui status penyakit hewan
daerah asal, 2 hanya hewan yang sehat yang diijinkan melakukan perjalanan, 3 melakukan pengujian klinis terhadap hewan yang akan ditransportasikan dan 4
melakukan tindakan biosekuriti yaitu cleaning dan disinfeksi alat angkut dan peralatan yang digunakan.
Tindakan Biosekuriti di IKH
Biosekuriti adalah semua tindakan yang merupakan pertahanan pertama untuk pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah semua kemungkinan
kontakpenularan dengan peternakan tertular dan penyebaran penyakit Ditjenak 2007. Tujuan utama penerapan biosekuriti adalah untuk menghentikan
masuknya penyakit dan penyebaran penyakit dengan cara mencegah, mengurangi atau mengendalikan kontaminasi silang dari media pembawa yang dapat
menularkan agen penyakit feses, urine, saliva, sekresi dari alat pernapasan dan lain-lain.
Praktik manajemen biosekuriti dibuat untuk mencegah penyebaran penyakit dengan meminimalkan perjalanan atau perluasan agen penyakit dan vektor
rodensia, lalat, nyamuk, kutu, caplak dan lain-lain di dalam suatu area peternakan. Biosekuriti merupakan cara yang murah, paling efektif untuk
pengendalian penyakit dan tidak akan ada program pencegahan penyakit yang berjalan dengan baik tanpa adanya penerapan biosekuriti.
Tabel 7 memperlihatkan bahwa sebanyak 43,8 IKH sudah memiliki fasilitas kandang isolasi, namun masih ada IKH yang tidak menyediakan fasilitas
kandang isolasi khusus yaitu sebanyak 56,2. Hal ini dikarenakan keterbatasan anggaran yang tersedia. Hasil observasi diperoleh bahwa IKH yang tidak
memiliki kandang isolasi khusus menggunakan kandang pemeliharaan sebagai kandang isolasi sehingga menghemat anggaran yang ada.
Kondisi ini menyebabkan jarak antara kandang isolasi dengan kandang pemeliharaan di IKH masih ada yang kurang dari 25 meter 18,8. Isolasi
hewan merupakan tindakan biosekuriti untuk mencegah penyebaran agen penyakit dari hewan yang terinfeksi. Ketersediaan kandang isolasi khusus sangat penting
sebagai tindakan untuk meminimalkan dan mencegah kontaminasi penyakit yang terjangkit di IKH, sehingga penerapan biosekuriti menjadi maksimal.
Tabel 7 Penerapan biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa Penerapan biosekuriti
Jumlah Tersedianya fasilitas kandang isolasi
7 43,8
Jarak kandang isolasi dengan kandang pemeliharaan 25 m 13
81,2 Tersedianya tempatpenampungan pembuangan akhir limbah
15 93,8
Sumber air IKH berasal dari air sumur 12
75,0 Perlakuan desinfeksi kendaraan yang keluar masuk IKH
6 37,5
Perlakuan desinfeksi pengunjung yang keluar masuk IKH 14
87,5 Tersedianya fasilitas sarana alat angkut pakan
15 93,8
Terdapat pengendalian rodensia di IKH 10
62,5 Terdapat pengendalian serangga di IKH
12 75,0
Terdapat pengendalian burung liar di IKH 0,00
Terdapat pengendalian hewan lain di IKH 13
81,2 Tindakan isolasi terhadap hewan sakit merupakan tindakan biosekuriti yang
dapat mengurangi risiko penyebaran penyakit diantara hewan. Kandang isolasi harus dibuat terpisah dari kandang pemeliharaan. Pakaian cattle packcoveralls
dan sepatu bot yang dipakai untuk menangani hewan di kandang isolasi tidak boleh dipakai pada saat menangani hewan sehat. Jika fasilitas kandang isolasi
tidak memungkinkan dibuat, dapat digunakan pen kandang pemeliharaan terpisah dari kandang hewan sehat. Selain itu pakan yang digunakan tidak boleh
kontak dengan hidung nose-to-nose contact dan pakan serta air minum yang digunakan harus terpisah dengan hewan yang sehat Bowman Shulaw 2001.
Penempatan hewan pada kandang isolasi khusus juga bertujuan untuk meminimalkan pergerakan hewan sakit sehingga meminimalkan penyebaran
penyakit Buhman et al. 2007. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa IKH yang ada sudah mempunyai tempat
penampungan limbah kotoran ternak 93,8, namun demikian masih terdapat IKH yang masih membuang limbah kotoran hewan ke parit atau sungai 6,2.
Keadaan ini sangat berbahaya terhadap lingkungan karena bisa berpotensi menjadi sumber penularan penyakit dan pencemaran air. Kotoran ternak merupakan media
yang potensial untuk menularkan penyakit. Banyak penyakit yang bisa ditularkan akibat kontaminasi feses antara lain salmonellosis, paratuberculosis, bovine viral
diarrhea BVD dan lain-lain. Risiko penularan penyakit ke manusia akan semakin tinggi jika kotoran ternak ini tidak dikelola dengan baik dan benar.
Sumber air merupakan kebutuhan yang harus tersedia dengan cukup. Sumber air yang digunakan untuk keperluan IKH harus bersih dan bebas dari
kontaminasi agen penyakit dan bahan-bahan yang berbahaya khususnya untuk hewan. Media yang mungkin dapat menyebarkan penyakit melalui air adalah
feses, oleh sebab itu, tindakan sanitasi harus terus ditingkatkan guna memaksimalkan tindakan biosekuriti. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa IKH pada
umumnya menggunakan air sumur sebagai sumber air untuk kebutuhan kegiatan IKH 75, air ledengPAM sekitar 6,2, namun demikian masih ada IKH yang
menjadikan sungai sebagai sumber air 18,8. Hal ini tidak menutup kemungkinan air sungai tersebut terkontaminasi oleh agen penyakit dan bahan-
bahan yang berbahaya. Sumber air mempunyai pengaruh terhadap kualitas air yang digunakan pada
suatu peternakan. Masalah kualitas air diantaranya yaitu konsentrasi mineral dan garam yang tinggi, kandungan nitrogen yang tinggi, kontaminasi bahan kimia,
kontaminasi bakteri dan perkembangan alga. Bakteri, virus, dan parasit pada unumnya dapat ditemukan pada kolam dan air permukaan yang memungkinkan
terkontaminasi feses dan mudah dijangkau oleh hewan. Agen patogen sangat berbahaya jika mengkontaminasi persediaan air pada suatu peternakan. Agen
patogen ini akan menimbulkan masalah kesehatan dan menurunkan produktivitas hewan. Sumber air yang terkontaminasi akan dapat menyebarkan agen patogen di
area peternakan dengan cepat disease-causing agent. Leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang dapat menginfeksi hewan dan menyebar dengan cepat
akibat sumber air yang terkontaminasi. Selain itu kandungan coliform akan banyak ditemukan pada air kolam yang dapat di jangkau oleh hewan. coliform
merupakan bakteri normal yang ada didalam saluran pencernaan hewan dan manusia yang dapat mencemari sumber air Parish Rhinehart 2008.
Sebanyak 37,5 IKH melakukan disinfeksi terhadap lalu lintas kendaraan dan 87,5 melakukan disinfeksi terhadap lalu lintas pengunjung di IKH. Tabel 7
diatas memperlihatkan juga bahwa sebagian besar IKH 62,5 tidak melakukan disinfeksi terhadap lalu lintas kendaraan dan sebanyak 12,5 tidak melakukan
disinfeksi terhadap lalu lintas pengunjung.
Disinfeksi merupakan salah satu tindakan sanitasi untuk meminimalkan dan mencegah kontaminasi terutama feses terhadap alat angkut, peralatan, pakaian
pengunjung agar penyebaran penyakit dapat dicegah. Lalu lintas keluar masuk kendaraan dan pengunjung merupakan salah satu risiko penyebaran penyakit di
area peternakan. Risiko penyebaran penyakit akan lebih tinggi terhadap pengunjung yang berasal dari peternakan lain yang terinfeksi suatu penyakit. Lalu
lintas yang mempunyai risiko tinggi yang dapat menyebarkan penyakit pada peternakan yaitu: inseminator, pekerja di peternakan atau pengolahan produk
hewan, dokter hewan, kendaraan yang digunakan untuk mengangkut ternak dan pengunjung yang berasal dari area peternakan lain Bowman Shulaw 2001.
Tindakan cleaning dan disinfeksi sebagai tindakan sanitasi untuk lalu lintas kendaraan dan pengunjung yang keluar masuk area IKH sangat perlu diterapkan
sebagai tindakan untuk memaksimalkan penerapan biosekuriti. Daya kerja disinfektan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain spektrum disinfektan,
kadar kontaminasi, kandungan protein, bahan organik dan adanya kandungan sabun dapat menetralkan beberapa disinfektan, konsentrasi disinfektan, waktu
kontak, temperatur, memiliki stabilitas dalam jangka waktu lama residual yang lama, dan efektif pada berbagai temperatur. Disinfektan yang digunakan harus
mempunyai sifat antara lain aman tidak berbahaya dan mengiritasi jaringan hewan dan manusia, tidak toksik bagi lingkungan, tidak merusak peralatan, dan
efektif pada berbagai temperatur CDC 2003. Penyebaran kotoran feses sebagai salah satu media penularan penyakit
dapat terjadi akibat adanya petugaspengunjung dalam satu hari melakukan pengawasan lebih dari setengah area peternakan dan tidak melakukan disinfeksi
terhadap peralatan dan kendaraan yang digunakan. Risiko juga dapat terjadi pada pengunjung dengan frekuensi kunjungan ke peternakan lebih dari satu dalam
sehari, selain itu penyebaran agen patogen pada area peternakan dapat terjadi melalui fomite Brennan et al. 2008.
Alat angkut pakan merupakan salah satu media pembawa penyakit masuk ke IKH. Penggunaan alat angkut pakan milik sendiri dapat meminimalkan risiko
penularan penyakit yang mungkin terbawa melalui alat angkut dan pakan. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada umumnya IKH memiliki alat angkut pakan
sendiri 93,8, sehingga dapat disimpulkan bahwa penularan penyakit melalui alat angkut pakan dapat diminimalkan risikonya. Selain alat angkut, peralatan
juga dapat menjadi media penularan penyakit secara tidak langsung. Penularan ini terjadi akibat adanya kontaminasi agen penyakit pada peralatan dan
penggunaan peralatan yang tidak steril. Hasil observasi yang diperoleh, pada umumnya peralatan medis yang
digunakan untuk perlakuan tindakan karantina menggunakan peralatan yang steril dan sekali pakai. Peralatan penunjang lainnya tidak pernah meminjam dari IKH
lain ataupun peternakan lain yang terdekat. Peminjaman peralatan berpeluang menularkan dan menyebarkan penyakit jika tidak diawasi secara ketat dan
dilakukan sterilisasi peralatan sebelum digunakan. Pengendalian terhadap rodensia, serangga, dan hewan lain pada IKH telah
dilakukan Tabel 7, namun demikian, pengendalian terhadap burung liar belum dilakukan pada IKH sapi impor yang terdapat di Pulau Jawa. Pengendalian
burung liar pada IKH sapi impor belum dilakukan karena konstruksi dan bangunan IKH pada umumnya dapat dimasuki oleh burung liar. Pengendalian
terhadap burung liar di IKH dapat dilakukan dengan pengendalian habitat dari burung liar tersebut. Rodensia dan serangga merupakan vektor yang dapat
membawa penyakit menular, selain itu rodensia juga dapat menyebabkan kontaminasi terhadap sumber air dan pakan pada IKH.
Adanya hewan lain didalam area peternakan dapat menjadi risiko penularan penyakit pada ternak. Beberapa penyakit seperti rabies, leptospirosis, dan
salmonellosis dapat dibawa dan ditularkan oleh beberapa spesies hewan liar dan hama seperti tikus. Meskipun kita ketahui bahwa sulit melakukan tindakan
pencegahan secara maksimal terhadap kemungkinan adanya kontak antara hewan liar dengan ternak. Tindakan yang dapat dilakukan adalah menjaga agar
peternakan dan sekitarnya tidak menarik kehadiran hewan liar tersebut. Menjaga lingkungan peternakan agar tidak terdapat sisa pakan yang berceceran dan
meningkatkan sanitasi kandang dapat meminimalkan adanya hewan liar. Tindakan lain yang dapat dilakukan yaitu tidak membiarkan banyak tumpukan
kayu dan papan di area sekitar kandang, memeriksa kandang dan bangunan dari kemungkinan tempat persembunyian atau sarang hewan liar. Pengendalian yang
lain adalah dengan senantiasa melakukan pemeriksaan terhadap tempat penyimpanan pakan dan tempat kemungkinan hewan seperti kucing, anjing dan
hewan lain yang menggunakan pakan sebagai tempat untuk membuat sarang atau tempat untuk defekasi Bowman Shulaw 2001.
Aspek Lain-lain
Ketersediaan fasilitas tempat pembuangan khusus untuk sisa peralatan medis sangat penting. Sisa peralatan medis jarum suntik, tabung penyimpanan
serumdarah, sarung tangan, dan lain-lain dapat menjadi sumber penularan penyakit jika tidak dikelola secara baik dan benar. Instalasi karantina hewan yang
ada belum semuanya menangani limbah sisa peralatan medis, hal ini dapat menjadi risiko adanya penularan penyakit di IKH akibat pengelolaan limbah sisa
peralatan medis yang tidak ditangani dengan baik. Ketersediaan sarana tempat pembuangan khusus untuk sisa peralatan medis
perlu disediakan di IKH. Sarana ini merupakan salah satu pencegahan kontaminasi agen penyakit, sebagai contoh penyakit BLV dapat ditularkan
melalui darah yang terdapat pada jarum suntik yang sudah tidak terpakai setelah digunakan untuk pengambilan darah dan pada saat perlakuan pengobatan Kidwell
2008. Tabel 8 memperlihatkan adanya keluhan masyarakat 37,5 mengenai
keberadaan IKH yang berlokasi didekat pemukiman penduduk. Dari hasil observasi, keluhan masyarakat terhadap IKH yang lokasinya berdekatan dengan
pemukiman penduduk yaitu terhadap bau, adanya lalat, dan pencemaran air.
Tabel 8 Aspek lain-lain yang menggambarkan keadaan IKH sapi impor di Pulau Jawa
Aspek lain-lain Jumlah
Tersedianya fasilitas pembuangan sisa peralatan medis 6
37,5 Adanya keluhan masyarakat sekitar dengan adanya IKH
6 37,5
Hasil wawancara didapatkan bahwa pernah terdeteksi penyakit pada IKH sapi impor 12,2. Dari hasil wawancara, penyakit yang terdeteksi yaitu
paratuberkulosis akibat importasi sapi dari Australia pada tahun 2008. Tindakan
pemusnahan telah dilakukan terhadap hewan-hewan yang positif penyakit ini yang dilakukan didalam area IKH. Pengendalian paratuberkulosis dapat dilakukan
dengan test and slaughter, vaksinasi dan eliminasi atau meminimalkan faktor risiko penyakit ini. Vaksinasi merupakan salah satu pilihan untuk mengendalikan
penyakit paratuberkulosis, akan tetapi vaksinasi hanya mengurangi prevalensi shedders dari bakteri dan mengurangi kasus klinis pada peternakan Benjamin et
al. 2010. Dari hasil observasi di lapangan tindakan pemeriksaan terhadap penyakit
hewan masih terkendala dengan anggaran yang ada. Kondisi ini menyebabkan pemeriksaan hanya terbatas dari keterangan kesehatan yang terdapat pada
dokumen surat keterangan kesehatan hewan dari negara asal, tanpa adanya keterangan vaksinasi dan hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
laboratorium yang rutin dilakukan selama masa karantina adalah brucellosis dan paratuberkulosis hasil observasi IKH. Hal ini merupakan risiko yang cukup
tinggi terhadap masuk dan menyebarnya penyakit eksotik di Indonesia, karena Australia merupakan negara yang belum bebas penyakit BLV, Q-fever, IBR,
BVD, paratuberkulosis, dan penyakit-penyakit lainnya. Menurut Negrón et al. 2011, risiko utama penularan virus BVD pada
peternakan sapi yaitu memasukkan ternak sapi baru dengan status BVD yang tidak diketahui. Penularan penyakit ini terjadi akibat sifat penyakit persistently
infectedPI dan juga hewan yang baru masuk peternakan dalam keadaan infeksi akut sehingga dapat mengeluarkan virus. Oleh sebab itu, pemeriksaaan
laboratorium untuk mendiagnosa penyakit eksotik sangat penting dilakukan. Pemeriksaan laboratorium untuk deteksi dini penyakit merupakan tindakan untuk
memaksimalkan biosekuriti. Penerapan biosekuriti pada IKH perlu dilakukan secara maksimal.
Karantina pertanian merupakan institusi yang mempunyai tugas melakukan tindakan karantina terhadap sapi impor dalam rangka pencegahan penyakit di
pintu pemasukan sebelum dilakukan pembebasan memerlukan petugas yaitu dokter hewan dan paramedik yang profesional. Petugas karantina perlu dibekali
pengetahuan dan ketrampilan yang dapat mendukung tugas mereka dalam
melakukan pencegahan penyakit, oleh sebab itu peningkatan sumber daya manusia SDM karantina pertanian perlu terus dilakukan secara berkelanjutan.
Evaluasi terhadap IKH harus terus dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian dan memberikan peringatan serta sanksi yang tegas terhadap IKH yang
tidak mengikuti persyaratan yang telah ditetapkan. Evaluasi ini dilakukan terhadap persyaratan lokasi, kelengkapan fasilitas, sarana dan prasarana yang
dapat menunjang penerapan praktik biosekuriti. Pada penelitian ini dilakukan penilaian terhadap kategori tingkat biosekuriti
IKH berdasarkan hasil skoring penilaian IKH dan checklist yang telah dilakukan. Hasil kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Kategori tingkat biosekuriti IKH sapi impor di Pulau Jawa Kategori tingkat biosekuriti IKH
Jumlah Baik
5 31,2
Cukup 10
62,6 Kurang
1 6,2
Penilaian kategori IKH didapatkan 31,2 IKH yang ada di Pulau Jawa masuk kategori “baik” dan 62,6 masuk kedalam kategori “cukup” serta 6,2 masuk
kategori ”kurang”. Dapat diambil kesimpulan bahwa IKH yang sudah ada masuk kedalam kategori “baik” dan “cukup”.
Dari hasil observasi dan wawancara permasalahan IKH sapi impor di Pulau Jawa diantaranya adalah: 1 anggaran pemeliharaan yang kurang memadai, 2
tanah yang digunakan untuk pembangunan IKH bukan tanah milik sendiri, sehingga untuk pengembangan dan pemeliharaan mengalami hambatan karena
sewaktu-waktu tanah tersebut dapat dipakai untuk kepentingan pemilik lahan, 3 terbatasnya petugas untuk pemeliharaan dan menjaga kebersihan IKH, dan 4
penurunan frekuensi tindakan karantina yang dilakukan di IKH menyebabkan fasilitas sarana dan prasarana jarang digunakan sehingga menjadi rusak dan tidak
terpelihara. Keberadaan IKH mempunyai hubungan yang erat dengan aspek kesehatan
masyarakat, diantaranya adalah penyakit zoonosis terhadap petugas dan pekerja yang menangani hewan secara langsung di IKH. Selain itu, keberadaan IKH akan
berpengaruh terhadap masyarakat dan lingkungan disekitarnya. Keberadaan IKH yang tidak menerapkan tindakan biosekuriti yang baik akan menimbulkan
permasalahan terhadap kesehatan masyarakat antara lain adanya bau dan lalat dari limbah kotoran ternak yang tidak ditangani dengan baik, selain itu dampak
pencemaran yang timbul akibat adanya IKH terhadap lingkungan sekitar. Tindakan biosekuriti di IKH yang masih belum maksimal disebabkan
karena IKH tidak mengikuti persyaratan yang telah ditetapkan oleh Badan Karantina Pertanian. Kondisi ini disebabkan IKH yang ada lebih dulu dibuat dari
pedoman persyaratan yang dikeluarkan oleh Badan Karantina Pertanian. Permasalahan sampai saat ini masih belum teratasi terutama penyediaan fasilitas
sarana penunjang untuk penerapan biosekuriti karena membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Pendirian IKH saat ini harus memenuhi persyaratan teknis dan
administrasi yang sudah ditetapkan. Penerapan law-enforcement perlu dilakukan terhadap pendirian IKH yang tidak sesuai dengan pedoman yang sudah dibuat.
Pemerintah dalam hal ini Badan Karantina Pertanian perlu membantu memfasilitasi IKH yang belum memenuhi persyaratan yang dibuat sebelum
pedoman IKH ditetapkan. Instalasi karantina hewan sapi impor perlu ditingkatkan dan diperbaiki
terhadap sistem yang sudah ada, salah satunya dengan membuat sistem operasional prosedur SOP khusus mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor.
Sistem operasional prosedur ini dapat dibuat dari pedoman dan persyaratan yang ada dan telah ditetapkan oleh Kementerian Pertanian ataupun oleh Badan
Karantina Pertanian. Selain SOP, audit internal pada IKH terhadap biosekuriti harus dilakukan untuk mengevaluasi IKH yang sudah ada dan perlu dilakukan
sertifikasi terhadap penerapan biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa. Penerapan biosekuriti di peternakan memerlukan kerja sama dan dukungan
oleh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan peternakan tersebut. Tantangan utama pada kemajuan penerapan biosekuriti di peternakan adalah tingkatan
peternakan tersebut, pemilik peternakan dan dokter hewan yang bertugas pada peternakan tersebut sebagai pihak yang memahami kesehatan hewan Gunn et al.
2008. Penerapan biosekuriti pada tingkat peternakan dilakukan untuk mengatasi adanya penyakit baru dan kerugian akibat penyakit yang tidak dapat diprediksi.
Penerapan biosekuriti bagi peternak dapat menguntungkan dari risiko penyakit zoonotik, perdagangan internasional dan dari segi biaya sehingga meningkatkan
kesejahteraan. Sebuah dilema sosial dapat timbul dan menjadi tantangan dalam penerapan biosekuriti dengan adanya kepentingan bersama yang tidak sejalan
dengan kepentingan individu. Untuk meningkatkan biosekuriti di peternakan harus dimotivasi oleh perubahan perilaku ke arah yang positif terhadap
biosekuriti. Hambatan akan muncul dengan adanya individu yang tidak mendukung terhadap penerapan biosekuriti pada suatu peternakan Kristensen
Jakobsen 2011.
Karakteristik Dokter Hewan
Responden yang
diwawancarai untuk
mengetahui karakteristik,
pengetahuan, sikap, dan praktik tentang biosekuriti sebanyak 54 dokter hewan. Responden ini terdiri dari 40 dokter hewan pemerintah dan 14 dokter hewan
swasta. Karakteristik dokter hewan hasil wawancara dapat dilihat pada Tabel 10. Pada umumnya dokter hewan berusia antara 30-40 tahun 48,1 dengan
jenis kelamin perempuan 61,9. Dokter hewan pada penelitian ini telah bekerja antara 1-2 tahun 31,5 dan pernah terlibat menjadi tim penilai IKH 24,1
serta pernah mengikuti pelatihanseminar mengenai IKH 29,6. Pada Tabel 10 dapat dilihat juga bahwa sebanyak 53,7 dokter hewan pernah mengikuti
pelatihanseminar mengenai biosekuriti. Umur dokter hewan pada umumnya masih termasuk pada usia produktif,
dimana usia ini masih mampu bekerja secara maksimal dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk institusinya. Umur dokter hewan yang masih produktif
mempunyai kelebihan stamina fisik yang lebih baik dan lebih produktif dalam bekerja. Sedangkan dokter hewan yang berumur lebih tua memiliki kelebihan
dari segi pengalaman dan wawasan karena masa kerja yang lebih lama. Karakteristik dokter hewan yang ada masih belum pernah terlibat dalam tim
penilai IKH 75,9 dan mengikuti pelatihan mengenai IKH 70,4 serta masih banyak yang belum mengikuti pelatihan biosekuriti 46,3. Kondisi ini akan
mempengaruhi kualitas sumber daya manusia SDM responden. Kualitas SDM yang tidak baik akan berdampak pada kinerja institusi tersebut.
Dokter hewan karantina merupakan profesi yang mempunyai tanggung jawab penting dalam penentuan keputusan status kesehatan hewan yang dilalu-
lintaskan baik antar area maupun antar negara. Oleh sebab itu kualitas dokter hewan yang baik sangat dibutuhkan agar keputusan yang diambil tepat dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tabel 10 Karakteristik dokter hewan menurut umur, jenis kelamin,
lama bekerja, pernah menjadi tim studi kelayakan IKH, dan pelatihan yang pernah diikuti
Karakteristik Dokter Hewan Jumlah
Umur Tahun 30
30 - 40 40
20 26
8 37,0
48,1 14,8
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan 21
33 38,9
61,1 Lama Bekerja Tahun
1 1 - 2
3 - 5 5
12 17
13 12
22,2 31,5
24,1 22,2
Pernah Menjadi Tim Penilai IKH 13
24,1 Pernah Mengikuti PelatihanSeminar IKH
16 29,6
Pernah Mengikuti PelatihanSeminar Biosekuriti 29
53,7 Peningkatan SDM dapat dilakukan dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan
sebagai sarana pembinaan dan pengembangan karir untuk meningkatkan kemampuan dan mutu pekerjaan yang dihasilkan Salam 2005.
Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Dokter Hewan
Rataan persentase pengetahuan dokter hewan mengenai sanitasi, isolasi, kontrol lalu lintas dan penularan penyakit hewan dapat dilihat pada Gambar 2,
sedangkan rataan persentase skor pengetahuan, sikap dan praktik dokter hewan dapat dilihat pada Gambar 3. Rataan persentase skor pengetahuan adalah
merupakan rataan persentase total skor jawaban yang benar dari total skor pertanyaan mengenai biosekuriti yang diberikan.
40 45
64 47
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Sanitasi Isolasi
Lalu lintas Penularan
Penyakit
S k
o r
Pengetahuan mengenai sanitasi dijawab dengan benar adalah 40 Gambar 2. Skor ini menunjukkan bahwa dokter hewan menjawab dengan benar
pertanyaan mengenai sanitasi adalah sebesar 40. Pengetahuan mengenai isolasi dijawab benar oleh dokter hewan yaitu sebesar 45 dan pengetahuan mengenai
lalu lintas dijawab dengan benar oleh dokter hewan yaitu sebesar 64, sedangkan pengetahuan mengenai penularan penyakit dijawab dengan benar oleh dokter
hewan yaitu sebesar 47. Gambar 2 menunjukkan bahwa pengetahuan dokter hewan mengenai lalu
lintas sudah baik 50. Dokter hewan merupakan profesi yang memegang peranan penting dalam pencegahan dan pengendalian penyakit. Dokter hewan
karantina harus mempunyai pengetahuan yang baik mengenai kontrol lalu lintas. Kontrol lalu lintas merupakan tindakan biosekuriti yang sangat penting untuk
mencegah penularan penyakit terutama penyakit eksotik dan penyebaran penyakit yang semakin luas. Pengetahuan responden mengenai sanitasi, isolasi
dan penularan penyakit masih kurang 50. Pengetahuan yang kurang tersebut mempunyai peluang risiko masuk dan menyebarnya penyakit khususnya di IKH
sapi impor.
Gambar 2 Rataan persentase skor pengetahuan dokter hewan mengenai biosekuriti.
46 64
68
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Pengetahuan Sikap
Praktik
S k
o r
Pengetahuan yang kurang mengenai penularan penyakit hewan penyakit eksotik kemungkinan karena informasi yang sangat minim diterima oleh dokter
hewan dan pengalaman dilapangan yang belum pernah dan jarang menemukan kasus kejadian penyakit eksotik ini. Kita ketahui bahwa Indonesia masih bebas
dari beberapa penyakit antara lain BLV, BVD dan Q fever, sedangkan paratuberkulosis sudah terdeteksi di beberapa tempat di Indonesia dari hasil
pengujian serologis. Oleh sebab itu pengetahuan mengenai penyakit khususnya mengenai penularan penyakit sangat diperlukan oleh dokter hewan.
Gambar 3 menunjukkan rataan persentase skor total pengetahuan, sikap dan praktik dokter hewan mengenai biosekuriti. Rataan persentase skor ini adalah
rataan persentase total skor jawaban dokter hewan dari total skor pertanyaan- pertanyaan yang terdapat pada kuesioner. Rataan persentase skor pengetahuan
dokter hewan terhadap biosekuriti yaitu 46, rataan persentase skor sikap dokter hewan terhadap biosekuriti yaitu 64 dan rataan persentase skor praktik dokter
hewan terhadap biosekuriti yaitu 68.
Gambar 3 Rataan persentase skor total pengetahuan, sikap, dan praktik dokter hewan mengenai biosekuriti.
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa masih terdapat dokter hewan yang menjawab kurang tepat pertanyaan pengetahuan mengenai biosekuriti yang
terdapat dalam kuesioner, sehingga rataan persentase skor total dokter hewan yang
menjawab benar pertanyaan pengetahuan ini hanya sebesar 46. Skor sikap sebesar 64 menggambarkan bahwa dokter hewan memiliki sikap positif
terhadap biosekuriti yaitu 64, sedangkan pada skor praktik, yaitu sebanyak 68 dokter hewan sudah menerapkan praktik biosekuriti dengan baik.
Rataan persentase skor total pengetahuan yang kurang 46 dibandingkan dengan skor sikap 64 dan skor praktik 68, kemungkinan disebabkan oleh
faktor penunjang yang mendukung adanya praktik yang positif terhadap biosekuriti. Faktor ini adalah adanya kesempatan, fasilitas dan prosedur standar
kerja SOP yang terdapat pada IKH. Pengetahuan yang kurang dengan adanya prosedur kerja dan fasilitas yang memadai akan meningkatkan sikap dan praktik
yang positif. Menurut Ali 2003, untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatanpraktik yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi
yang memungkinkan dalam hal ini adanya kesempatan, antara lain fasilitas. Pengetahuan yang kurang dapat dikaitkan dengan karakteristik umur dokter
hewan yaitu pada umumnya sekitar 48,1 berumur 30-40 tahun dan lama bekerja dokter hewan 1-2 tahun 31,5. Dari karakteristik lama bekerja, dapat diketahui
bahwa dokter hewan masih mempunyai masa kerja yang belum lama sehingga mempunyai pengalaman dan penerimaan informasi yang masih kurang khususnya
mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor. Umur dokter hewan yang masih usia produktif sangat perlu dilakukan pembinaan melalui pendidikan dan pelatihan
untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan terutama mengenai biosekuriti. Pada penelitian ini dilakukan kategorisasi terhadap tingkat pengetahuan,
sikap, dan praktik dokter hewan. Kategorisasi ini mempunyai kriteria sebagai berikut:
1. Tingkat pengetahuan “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 14
dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada, tingkat pengetahuan “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dari nilai skor maksimal 20
dari 20 pertanyaan yang ada dan tingkat pengetahuan “kurang” bila skor jawaban kurang dari 7 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang
ada. 2.
Tingkat sikap “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 46 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada, tingkat sikap “cukup”
20 19
31 43
61 65
37 20
4 10
20 30
40 50
60 70
80 90
100
Pengetahuan Sikap
Praktik Ju
m la
h R
es p
o n
d en
Baik Cukup
Kurang
bila skor jawaban responden antara 33-46 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada dan tingkat sikap “kurang” bila skor jawaban lebih kecil
dari 33 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada. 3.
Tingkat praktik “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 10 dari nilai skor maksimal 14 dari 14 pertanyaan yang ada, tingkat praktik “cukup”
bila skor jawaban responden antara 5-10 dari nilai skor maksimal 14 dari 14 pertanyaan yang ada dan tingkat praktik “kurang” bila skor jawaban lebih
kecil dari 5 dari nilai skor maksimal 14 dari 14 pertanyaan yang ada. Dari kategorisasi pengetahuan, sikap, dan praktik dokter hewan terhadap
biosekuriti, dapat disimpulkan bahwa dokter hewan pada umumnya memiliki pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap biosekuriti yang baik yaitu sebanyak
20, 19, 31 responden dan kategori cukup yaitu sebanyak 43, 61 dan 65 responden.
Gambar 4 Kategori tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik dokter hewan terhadap biosekuriti.
Pengetahuan dan sikap seseorang dipengaruhi oleh latar belakangnya seperti umur, status perkawinan, pendidikan, lingkungan sosial yang meliputi lingkungan
tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan. Pengetahuan seseorang dapat berubah dan berkembang sesuai kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi
rendahnya terhadap penerimaan informasi yang ada dilingkungan sekitarnya. Akses untuk mendapatkan informasi juga merupakan aspek yang penting untuk
meningkatkan pengetahuan. Selain itu pengetahuan juga dapat diperoleh dari proses belajar yang dilakukan oleh seseorang selama hidupnya Budisuari 2009.
Hubungan Antara Karakteristik, Pengetahuan, dan Sikap Dokter Hewan terhadap Praktik Biosekuriti
Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap dokter hewan terhadap praktik biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa dapat dilihat pada
Tabel 11. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa karakteristik dokter hewan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap praktik biosekuriti. Pada Tabel
11 dapat dilihat bahwa pengetahuan dan sikap dokter hewan memberikan pengaruh yang nyata terhadap praktik biosekurit p0.05.
Tabel 11 Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap dokter hewan terhadap praktik mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau
Jawa
Peubah Nilai Korelasi
Karakteristik Responden : Umur
Jenis Kelamin Lama Bekerja
Sebagai Tim Studi IKH PelatihanSeminar IKH
PelatihanSeminar Biosekuriti 0.097
0.022 0.141
0.042 0.143
0.275
Pengetahuan 0.463
Sikap 0.524
Keterangan: menunjukkan hubungan yang nyata pada nilai p0.05
Hubungan pengetahuan dokter hewan dengan praktik terhadap biosekuriti mempunyai nilai korelasi sedang yaitu 0.463. Nilai ini menunjukkan hubungan
yang positif yaitu semakin baik pengetahuan maka semakin baik pula praktik yang dilakukan. Hasil analisis statistik juga menunjukkan nilai korelasi yang sedang
antara sikap dan praktik dokter hewan yaitu 0.524. Nilai ini menunjukkan adanya hubungan yang positif yaitu semakin baik sikap maka semakin baik pula praktik
yang dilakukan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
pengetahuan, sikap, dan praktik. Zahid 1997 menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara sikap dan perilaku, namun keberadaan hubungan ini ditentukan oleh kespesifikan sikap, kekuatan sikap, kesadaran pribadi, dan norma-norma
subjektif yang mendukung. Hasil penelitian Randusari 2007, menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap mempunyai pengaruh terhadap perilaku seseorang
dan perilaku tersebut dapat dipengaruhi oleh tingkat penghasilan dari responden. Handayani 2008 dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang nyata antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku. Penelitian Yustina 2006 menyatakan bahwa adanya peningkatan pengetahuan berhubungan
positif dengan sikap dan minat. Selain itu, pengetahuan tidak berhubungan positif dengan persepsi seseorang terhadap suatu objek.
Karakteristik Paramedik
Responden yang diwawancarai untuk mengetahui karakteristik pengetahuan, sikap, dan praktik tentang biosekuriti sebanyak 72 paramedik. Karakteristik
paramedik hasil wawancara dapat dilihat pada Tabel 12. Pada umumnya paramedik berusia dibawah 30 tahun 45,8 dengan jenis
kelamin laki-laki 70,8. Tingkat pendidikan paramedik pada umumnya adalah lulusan Diploma D3 yaitu 47,2. Paramedik pada penelitian ini umumnya telah
bekerja diatas 5 tahun 40,3, pernah terlibat menjadi tim penilai IKH 31,9, dan pernah mengikuti pelatihan atau seminar mengenai IKH 16,7, serta sekitar
31,9 sudah pernah mengikuti pelatihan atau seminar mengenai biosekuriti. Umur paramedik pada umumnya masuk dalam umur produktif dan
merupakan aset yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan yang akan berdampak positif terhadap kualitas kinerja institusi
khususnya Badan Karantina Pertanian. Peningkatan ini dapat dilakukan dengan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi tupoksi
responden.
Tabel 12 Karakteristik paramedik menurut umur, jenis kelamin, pendidikan formal, lama bekerja, pernah menjadi tim studi kelayakan IKH,
dan pelatihan yang pernah diikuti
Karakteristik Jumlah
Umur Tahun 30
30 - 40 40
33 19
20 45,8
26,4 27,8
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan 51
21 70,8
29,2 Pendidikan Formal
SMA STPP
SNAKMA D3
S1 S2
20 1
14 34
2 1
27,8 1,4
19,4 47,2
2,8 1,4
Lama Bekerja Tahun 1
1 - 2 3 - 5
5 15
16 12
29 20,8
22,2 16,7
40,3
Pernah Menjadi Tim Penilai IKH 23
31,9 Pernah Mengikuti PelatihanSeminar IKH
12 16,7
Pernah Mengikuti PelatihanSeminar Biosekuriti 23
31,9
Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Paramedik
Rataan persentase skor pengetahuan paramedik mengenai sanitasi, isolasi, dan kontrol lalu lintas dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan rataan persentase
total skor pengetahuan, sikap, dan praktik paramedik dapat dilihat pada Gambar 6. Rataan persentase skor pengetahuan adalah merupakan rataan persentase total
skor jawaban yang benar dari total skor pertanyaan mengenai pengetahuan biosekuriti yang diberikan. Gambar 5 menunjukkan bahwa pengetahuan
paramedik mengenai sanitasi adalah 51. Skor ini menunjukkan bahwa paramedik menjawab dengan benar pertanyaan mengenai sanitasi adalah sebesar
51. Pengetahuan mengenai isolasi dijawab benar oleh paramedik yaitu sebesar 50 dan pengetahuan mengenai kontrol lalu lintas dijawab dengan benar oleh
paramedik yaitu sebesar 30.
51 50
30
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Sanitasi Isolasi
Lalu lintas
S k
o r
Biosekuriti merupakan tindakan dalam meminimalkan penyebaran penyakit yang terdiri dari sanitasi, isolasi, dan kontrol lalu lintas Buhman et al. 2007.
Pengetahuan paramedik mengenai sanitasi dan isolasi sudah baik yaitu 51 dan 50
≥50. Sebagai paramedik yang bertugas di IKH sapi impor harus mempunyai pengetahuan mengenai biosekuriti sanitasi, isolasi, dan kontrol lalu
lintas yang baik. Hal ini dikarenakan pengetahuan yang baik akan memberikan sikap dan praktik yang baik pula. Menurut Al Bathi et al. 2010, pengetahuan
yang baik mengenai suatu penyakit akan meningkatkan perlakuan yang baik dalam menangani penyakit tersebut dan dapat mengurangi akibat kurang baik
yang akan timbul dari penyakit tersebut. Menurut Bas et al. 2006, sikap dan praktik seseorang tergantung pada pengetahuan orang tersebut. Adanya informasi
dapat merubah sikap yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku. Informasi ini adalah merupakan pengetahuan, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan
adalah faktor utama dari perubahan perilaku.
Gambar 5 Rataan persentase skor pengetahuan paramedik mengenai biosekuriti.
Pengetahuan paramedik mengenai kontrol lalu lintas masih kurang yaitu 30 50. Kontrol lalu lintas merupakan salah satu tindakan biosekuriti yang
bertujuan untuk mencegah penularan penyakit yang dibawa oleh alat angkut, hewan selain ternak kuda, anjing, kucing, hewan liar, rodensia, dan burung dan
45 64
57
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Pengetahuan Sikap
Praktik
S k
o r
pengunjung Buhman et al. 2007. Penyebaran penyakit hewan dapat terjadi melalui kontak tidak langsung diantaranya terdedah oleh peralatan yang
terkontaminasi, kendaraan, alat angkut hewan, pakaian, sepatu bot dan tangan
Wagner et al. 2011. Oleh sebab itu, pengetahuan mengenai kontrol lalu lintas
sangat penting dimiliki oleh paramedik khususnya paramedik karantina. Tindakan kontrol lalu lintas lain yang penting adalah mengetahui status kesehatan
hewan yang akan masuk ke IKH sehingga pencegahan penularan dan penyebaran penyakit dapat diminimalkan. Pengetahuan paramedik yang kurang mengenai
biosekuriti tidak menutup kemungkinan akan meningkatkan risiko terhadap masuk dan tersebarnya penyakit hewan akibat importasi sapi.
Gambar 6 menunjukkan rataan persentase skor total pengetahuan, sikap, dan praktik paramedik terhadap biosekuriti. Rataan persentase skor ini adalah rataan
persentase total skor jawaban paramedik dari total skor pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada kuesioner. Rataan persentase skor pengetahuan paramedik
terhadap biosekuriti yaitu 45, rataan persentase skor sikap paramedik terhadap biosekuriti yaitu 64, dan rataan persentase skor praktik paramedik terhadap
biosekuriti yaitu 57.
Gambar 6 Rataan persentase skor total pengetahuan, sikap, dan praktik paramedik mengenai biosekuriti.
Pada umumnya skor sikap dan praktik paramedik sudah baik. Paramedik karantina yang handal memerlukan pengetahuan, sikap, dan praktik yang baik
terhadap biosekuriti. Hal ini untuk memaksimalkan tindakan biosekuriti dalam rangka mencegah masuk dan tersebarnya penyakit hewan. Praktik biosekuriti
paramedik pada IKH sapi impor dapat dipengaruhi oleh kelengkapan sarana dan prasarana yang terdapat di IKH tersebut. Pengetahuan dan sikap yang positif
tidak akan menghasilkan praktik yang positif tanpa adanya faktor pendukung yaitu fasilitas yang memadai yang terdapat di IKH.
Praktik biosekuriti pada IKH sangat penting untuk meminimalkan penyebaran penyakit. Menurut Bonanno 2011, biosekuriti yang buruk pada
suatu peternakan sapi akan menimbulkan kasus penyakit, antara lain digital dermatitis hairy heel wrats, haemorrhagic bowel syndrome HBS, dan acute
bovine liver disease ABLD. Penyakit ini disebabkan oleh sistem drainase yang kurang baik, sanitasi dan higiene yang buruk, kondisi pakan yang tidak baik serta
kondisi kelembaban di dalam peternakan yang buruk. Pada penelitian ini dilakukan kategorisasi terhadap tingkat pengetahuan,
sikap, dan praktik responden. Kategorisasi mempunyai kriteria sebagai berikut: 1.
Tingkat pengetahuan “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 14 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada, tingkat pengetahuan
“cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada, dan tingkat pengetahuan “kurang” bila skor
jawaban lebih kecil dari 7 dari nilai skor maksimal 20 dari 20 pertanyaan yang ada.
2. Tingkat sikap “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 46 dari
nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada, tingkat sikap “cukup” bila skor jawaban responden antara 33-46 dari nilai skor maksimal 60 dari 20
pertanyaan yang ada, dan tingkat sikap “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 33 dari nilai skor maksimal 60 dari 20 pertanyaan yang ada.
3. Tingkat praktik “baik” bila skor jawaban responden lebih besar dari 14 dari
nilai skor maksimal 22 dari 22 pertanyaan yang ada, tingkat praktik “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dari nilai skor maksimal 22 dari 22
pertanyaan yang ada, dan tingkat praktik “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 7 dari nilai skor maksimal 22 dari 22 pertanyaan yang ada.
19 21
26 42
57 64
39 22
10 10
20 30
40 50
60 70
80 90
100
Pengetahuan Sikap
Praktik Ju
m la
h R
es p
o n
d en
Baik Cukup
Kurang
Dari kategorisasi ini dapat disimpulkan bahwa paramedik pada umumnya sudah memiliki pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap biosekuriti yang baik
yaitu sebanyak 19, 21, 26 responden dan cukup yaitu sebanyak 42, 57 dan 64 responden. Pada Gambar 7 dapat dilihat sebanyak 39 paramedik
masih memiliki pengetahuan yang kurang mengenai biosekuriti. Karakteristik paramedik menunjukkan bahwa 68,1 responden belum
pernah mengikuti pelatihan atau seminar mengenai biosekuriti dan 83,3 belum pernah mengikuti pelatihan atau seminar mengenai IKH. Sebagai paramedik
karantina yang bertugas menjaga pintu pemasukan dan pengeluaran harus memiliki pengetahuan khususnya mengenai biosekuriti yang baik. Hal ini untuk
menunjang sikap dan praktik paramedik terhadap biosekuriti. Pengetahuan biosekuriti paramedik yang kurang dapat membuka peluang terhadap pengawasan
yang lemah yang dilakukan dilapangan, sehingga akan memperbesar risiko masuk dan menyebarnya penyakit hewan khususnya di IKH.
Gambar 7 Kategori tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik paramedik terhadap biosekuriti.
Pengetahuan yang baik akan dapat meningkatkan profesionalisme petugas dalam melakukan tindakan pencegahan masuk dan tersebarnya penyakit hewan
terutama akibat importasi sapi dari luar negeri. Pelatihan atau seminar akan menambah informasi dan pengetahuan responden yang dapat meningkatkan
praktik atau perilaku positif seseorang. Pengalaman yang didapat selama bekerja
mungkin mempunyai pengaruh pada sikap dan praktik seseorang terhadap sesuatu, hal ini ditentukan oleh kemampuan orang tersebut untuk menguasai
pengalaman yang didapat dan frekuensi pengalaman tersebut di implementasikan dalam pekerjaannya. Menurut Budisuari 2003, pelatihan atau pendidikan
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa responden sangat memerlukan pelatihan-
pelatihan dan seminar untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan menambah wawasan serta informasi khususnya mengenai biosekuriti.
Hubungan Antara Karakteristik, Pengetahuan, dan Sikap Paramedik Terhadap Praktik Biosekuriti
Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap paramedik terhadap praktik dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
karakteristik paramedik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap praktik biosekuriti, sedangkan pada pengetahuan dan sikap paramedik memberikan
pengaruh yang nyata terhadap praktik biosekuriti paramedik p0.05. Hubungan pengetahuan paramedik dengan praktik terhadap biosekuriti mempunyai nilai
korelasi sedang yaitu 0.410. Nilai ini menunjukkan hubungan yang positif yaitu semakin baik pengetahuan maka semakin baik pula praktik yang dilakukan. Hasil
analisis statistik juga menunjukkan nilai korelasi yang sedang antara sikap dan praktik paramedik yaitu 0.427. Nilai ini menunjukkan adanya hubungan yang
positif yaitu semakin baik sikap maka semakin baik pula praktik yang dilakukan. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa paramedik pada umumnya
termasuk dalam usia produktif. Keadaan ini merupakan aset yang sangat bermanfaat untuk institusi khususnya Badan Karantina Pertanian jika dikelola
dengan baik. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan sangat berguna untuk menghasilkan suatu tindakan dan keputusan yang profesional yang berbasis
ilmiah. Menurut Notoatmodjo 2007, pendidikan dan pelatihan adalah merupakan upaya untuk mengembangkan SDM terutama untuk mengembangkan
intelektual dan kepribadian manusia. Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah: 1 pendidikan, 2 informasi, 3 sosial
budaya dan ekonomi, 4 lingkungan, 5 pengalaman, dan 6 usia.
Tabel 13 Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap paramedik terhadap praktik mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor
di Pulau Jawa Peubah
Nilai Korelasi Karakteristik Responden :
Umur Jenis Kelamin
Pendidikan Lama Bekerja
Sebagai Tim Studi IKH PelatihanSeminar IKH
PelatihanSeminar Biosekuriti 0.156
0.124 0.093
0.122 0.075
0.127 0.193
Pengetahuan 0.410
Sikap 0.427
Keterangan: menunjukkan hubungan yang nyata pada nilai p0.05
Pendidikan dan pelatihan sangat penting untuk suatu organisasi atau institusi dalam hal ini Badan Karantina Pertanian, diantaranya: 1 adanya karyawan baru,
2 kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, 3 adanya mutasi, dan 4 adanya promosi. Agar pendidikan dan pelatihan dapat berjalan sesuai dengan tujuan
perlu strategi yang tepat dalam memberikan dan menyampaikan informasi sehingga pengetahuan dapat diterima dengan baik.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Simpulan yang diperoleh pada penelitian ini antara lain adalah: 1.
Kategori IKH sapi impor di Pulau Jawa mempunyai tingkat biosekuriti yang baik 31,2 dan cukup 62,6.
2. Pengetahuan, sikap, dan praktik biosekuriti dokter hewan pada umumnya
mempunyai kategori cukup yaitu sebanyak 43, 61, dan 65 responden. 3.
Pengetahuan sanitasi, isolasi, dan penularan penyakit dokter hewan masih kurang yaitu 40, 45 dan 47 50, sedangkan pengetahuan mengenai
lalu lintas sudah baik yaitu 64 ≥50.
4. Sebanyak 46,3 dokter hewan belum pernah mengikuti pelatihanseminar
mengenai biosekuriti dan 70,4 belum pernah mengikuti pelatihanseminar mengenai IKH serta 75,9 belum pernah terlibat menjadi tim studi kelayakan
IKH. 5.
Karakteristik dokter hewan tidak mempunyai hubungan yang nyata terhadap praktik biosekuriti, sedangkan pengetahuan dan sikap mempunyai hubungan
yang nyata p0,05 terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan mempunyai korelasi dengan tingkat sedang yaitu r = 0,463 dan r = 0,524.
6. Pengetahuan, sikap, dan praktik biosekuriti paramedik pada umumnya
mempunyai kategori cukup yaitu sebanyak 42, 57 dan 64 responden. 7.
Pengetahuan sanitasi dan isolasi paramedik sudah baik yaitu 51 dan 50 ≥50, sedangkan pengetahuan mengenai kontrol lalu lintas paramedik
masih kurang yaitu 30 50. 8.
Sebanyak 68,1 paramedik belum pernah mengikuti pelatihanseminar mengenai biosekuriti dan 83,3 belum pernah mengikuti pelatihanseminar
mengenai IKH serta 68,1 belum pernah terlibat menjadi tim studi kelayakan IKH.
9. Karakterististik paramedik tidak mempunyai hubungan yang nyata terhadap
praktik biosekuriti, sedangkan pengetahuan dan sikap mempunyai hubungan yang nyata p0,05 terhadap praktik biosekuriti paramedik dan mempunyai
korelasi dengan tingkat sedang yaitu r = 0,410 dan r = 0,427.
Saran
Adapun beberapa saran yang dapat disampaikan adalah: 1.
Perlu dilakukan standarisasi kelengkapan fasilitas sarana dan prasarana yang ada di IKH sapi impor agar penerapanpraktik biosekuriti di IKH dapat
maksimal. 2.
Perlu dikembangkan sistem audit internal dan sertifikasi terhadap biosekuriti pada IKH sapi impor.
3. Perlu adanya pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan khususnya
mengenai biosekuriti IKH sapi impor untuk menambah pengetahuan petugas karantina yaitu dokter hewan dan paramedik mengenai biosekuriti, sehingga
akan dapat meningkatkan kemampuan sumber daya manusia karantina pertanian.
4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan
praktik dokter hewan dan paramedik terhadap biosekuriti IKH sapi impor dan IKH antar area yang terdapat di Indonesia.
GATOT SANTOSO KAJIAN BIOSEKURITI
INSTALASI KARANTINA HEWAN SAPI IMPOR DI PULAU JAWA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
DAFTAR PUSTAKA
Ali M. 2003. Pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu bekerja dan ibu tidak bekerja tentang imunisasi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara. Medan: Universitas Sumatra Utara. Barantan [Badan Karantina Pertanian Republik Indonesia]. 2006. Keputusan
Kepala Badan
Karantina Pertanian
Nomor :
348 kpts
PD.670.210L122006 Tentang Pedoman Persyaratan Teknis Instalasi Karantina Hewan Untuk Ruminansia Besar. Jakarta: Barantan RI.
Barantan [Badan Karantina Pertanian Republik Indonesia]. 2011. Tempat pemasukan sapi dari luar negeri. Pusat Karantina Hewan dan Keamanan
Hayati Hewani. Jakarta: Barantan RI. Barrington GM, Allen AJ, Parish SM, Tibary A. 2006. Biosecurity and
biocontainment in alpaca operations. J Small Ruminant Res 6:217–225. Bas M, Ersun AS, Kivanc G. 2006. The evaluation of food hygiene knowledge,
attitude and practices of food handlers in food bussiness in Turkey. J Food Control 17:317-322.
Benjamin et al. 2010. Attitude toward biosecurity practices relevant to Johne’s disease control on beef cattle farm. J Prev Vet Med 94:222-230.
Billaud J, Lesslie T. 2007. Avian influenza knowledge, attitude and practices KAP survey. Kabul: Sayara Media.
Bonanno R. 2011. New disease treathen australian cattle. http:www.
farmbiosecurity.com.au 2011 new-diseases- threaten- australian- cattle [22 Desember 2011].
Bowman GL, Shulaw WP. 2001. On-farm biosecurity: traffic control and sanitation. J Prev Vet Med 6:01-03.
Brennan ML, Kemp R, Christley RM. 2008. Direct and indirect contacts between cattle farms in north-west England. J Prev Vet Med 84:24-260.
Budisuari MA, Oktorina, Hanafi F. 2009. Hubungan antara karakteristik responden, keadaan wilayah, dengan pengetahuan, sikap terhadap
HIVAIDS pada masyarakat Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 12:362-369.
Buhman M, Dewell G, Griffin D. 2007. Biosecurity basic for cattle operations and good management practices GMP for controlling infectious diseases. http
: www. ianrpubs. unl. edu pages publication D.jsp? publicationId=433 [18 Desember 2011].
Casal J, Manu el AD, Mateu E, Martın M. 2007. Biosecurity measures on swine
farms in spain: Perceptions by farmers and their relationship to current on- farm measures. J Prev Vet Med 82:138-150.
Cockram MS. 2007. Criteria and potential reasons for maximum journey times for farm animals destined for slaughter. J Anim Behav Sci 106:234- 243.
CDC [Centre for disease control]. 2003. A guide to selection and use of disinfectants. US: Department of Health and Human Services US.
Deptan [Departemen Pertanian Republik Indonesia]. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Penetapan Instalasi Karantina Hewan. Jakarta: Deptan RI. Ditjenak [Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia]. 2007. Peraturan
Direktur Jenderal Peternkan Tentang Petunjuk Teknis Kesehatan Hewan dan Biosekuriti Pada Unit Pelaksana Teknis Perbibitan.. Jakarta: Ditjenak RI.
Ditjenak [Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia]. 2010. Biosekuriti. Jakarta: Ditjenak RI.
EFSA [European Food Safety Authority]. 2004. The welfare of animal during transport. Scientific report of the scientific panel on animal helth and
welfare on a request from the commission related to the welfare of animals during transport. United Kingdom.
Fisher AD, Colditz IG, Lee C, Ferguson DM. 2009. The influence of land transport on animal welfare in extensive farming systems. J Vet Behav
4:151-162. Gunn GJ, Heffernan C, Hall M, McLeod A, Hovi M. 2008. Measuring and
comparing constraints to improved biosecurity amongst GB farmers, veterinarians and auxiliary industries. J Prev Vet Med 84:310-323.
Handayani DS. 2008. Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan perilaku para wanita dewasa awal dalam melakukan pemeriksaan payudara
sendiri di kelurahan Kalangan kecamatan Pedan Klaten. [skripsi]. Semarang: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Hart MB, Cathy MS, Meumann M, Veltri AT. 2007. Hand injury prevention training: assessing knowledge, attitude, and behaviour. J SHE Research
3:1-23. Kidwell B. 2008. Bovine leukosis virus Here’s how you can dodge the bullet. J
Angus September 2008:76-77. Kristensen E, Jakobsen EB. 2011. Danish dairy farmer’s perception of
biosecurity. J Prev Vet Med 99:122-129.
Larson RL. 2008. Epidemiology and disease control in everyday beef practice. J Theriogen 70:565-568.
Li H, Karney G, O’Toole D, Crawford TB. 2008. Long distance spread of malignant cattarhal fever virus from feedlot lambs to ranch bison. J Can Vet
49:183-185. Manggarsari Y. 2011. Epistomologi. [Makalah Filsafat Ilmu]. Palembang:
Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya. NASDA [National Association of State Departments of Agriculture]. 2001. The
Animal Health Safeguarding Review Result and Recommendation. NASDA: Washington DC.
Negrón MN, Raizman EA, Pogranichniy R, Hilton WM, Léy M. 2011. Survey on management practices related to the prevention and control of bovine viral
diarrhea virus on dairy farm in Indiana, United States. J Prev Vet Med 99: 130-135.
Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
OIE [Office Internasional et Epizootica]. 2009. Animal welfare and beef cattle production systems. www.oie.int.
Palaian S et al. 2006. Knowledge, attitude and practices outcomes: evaluating the impact of counseling in hospitalized diabetic patient in India. J Pharmacol
7:383-396. Parish JA, Rhinehart JD. 2008. Beef cattle water requirements and source
management. Publication 2490. Mississippi State University and U.S. Department of Agriculture.
Randusari P. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya pengendalian penyakit flu burung studi terhadap pemilik unggas
perumahan di kecamatan Bogor Utara. [tesis]. Jakarta. Program Pascasarjana Manajemen Pembangunan Sosial, Universitas Indonesia.
Salam DS. 2005. Peranan pendidikan dan pelatihan dalam meningkatkan kompetensi dan kualitas sumber daya manusia aparatur. Jurnal
Administrasi Publik 1: 01-11. SEERAD [The Scotish Executive Environment Rural Affairs Department. 2006.
Biosecurity : What is it?. http: www. scotland. gov. ukTopic sAgriculture animal-welfare Disease GenControls.15721. [18 Desember
2011]
Siahaan SJ. 2007. Pengaruh tingkat biosekuriti terhadap pemaparan avian influenza pada unggas air studi kasus kontrol di Kabupaten Bogor dan
Sukabumi. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Steenwinkel SV, Ribbens S, Ducheyne E, Goossens E, Dewulf J. 2011. Assessing
biosecurity practices, movements and densities of poultry sites across Belgium, resulting in different farm risk-groups for infectious disease
introduction and spread. J Prev Vet Med 98:259-270.
Wagner B, Traub-Dargatz J, Kopral C. 2011. Relationship of biosecurity practices with the use of antibiotics for the treatment of infectious diseases on U.S.
eguine operations. J Prev Vet Med 10:130-136. Troxel T. 2002. Cattle Biosecurity. University of Arkansas United States
Department of Agriculture and County Governments Cooperating. University of Arkansas Division of Agriculture. Arkansas: University of
Arkansas.
Yustina. 2006. Hubungan pengetahuan dan persepsi, sikap dan minat dalam pengelolaan lingkungan hidup pada guru sekolah dasar di kota Pekanbaru.
J Biogenesis 2:67-71. Zahid A. 1997. Hubungan karakteristik peternak sapi perah dengan sikap dan
perilaku aktual dalam pengelolaan limbah peternakan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
61
Lampiran 1 Kuesioner untuk penilaian IKH A. LOKASI IKH
A.1. Berapa jarak IKH dari pelabuhan pemasukan? □ 50 km
□ 50 – 100 km □ 100 km
A.2. Berapa jarak lalu lintas umum dengan IKH? □ 100 m
□ 100 - 500 m □ 500 m
A.3. Apakah terdapat peternakan yang sejenis disekitar IKH? □ Ada
□ Tidak ada A.4. Berapa jarak IKH dengan peternakan sejenis?
□ 500 m □ 500 – 1000 m
□ 1000 m A.5. Berapa jarak IKH dengan pemukiman penduduk?
□ 500 m □ 500 – 1000 m
□ 1000 km A.6. Berapa tinggi pagar keliling yang terdapat di IKH?
□ 1 meter □ 1 – 2 meter
□ 2 meter
B. KANDANG IKH