11 Tabel 1 Persentase Jumlah Piksel Per Rentang Selisih Curah Hujan Musiman
Pada skema MIT, Cloud water dapat dikonversi langsung menjadi presipitasi pada
awan-awan kumulus, sehingga lebih banyak curah hujan yang terjadi, terutama pada daerah
dataran tinggi yang merupakan daerah pemusa- tan awan kumulus oleh efek orografis. Pada
asumsi skema MIT, awan yang terbentuk bercampur dengan lingkungan dan mengikuti
pergerakannya
yang meningkat
maupun menurun. Oleh karena itu, curah hujan
cenderung rendah
pada daerah
pantai. Sebaliknya, Grell tidak terlalu dipengaruhi
oleh topografi dalam pendugaan curah hujan. Skema Grell adalah default di dalam model
iklim regional RegCM4 untuk daerah lintang tengah yang berupa daratan luas dan topografi
yang lebih homogen, sehingga kurang sesuai untuk daratan maritim tropis seperti Indonesia.
Walaupun mempunyai sebaran curah hujan
yang berbeda
dengan observasi,
mempunyai rentang curah hujan yang sangat tinggi, dan sensitif terhadap topografi, skema
MIT lebih mampu menggambarkan keragaman curah hujan musiman di Indonesia dibanding-
kan skema Grell. Pola sebaran curah hujan MIT lebih mendekati pola observasi daripada
Grell terhadap observasi.
Peta musiman curah hujan MAM, JJA, dan SON Lampiran 6 juga memperlihatkan
hasil yang hampir sama dengan musim DJF. Sebaran curah hujan MIT dan Grell berbeda
dengan curah hujan hasil observasi TRMM. MIT sangat sensitif terhadap topografi dan
mempunyai rentang curah hujan yang tinggi. Grell menghasilkan curah hujan yang rendah,
walaupun terdapat variasi curah hujan yang tinggi pada beberapa wilayah.
Perbandingan hasil pendugaan curah hujan model dengan data observasi TRMM
dapat dilihat pada peta sebaran selisih curah hujan musiman Gambar 7. Pendugaan yang
mendekati data observasi atau mempunyai bias yang kecil berada pada selang selisih -250
sampai 250 mm ditunjukkan oleh warna hijau. Nilai selang ini mempunyai tingkat
kesalahan 25 diasumsikan curah hujan musiman di Indonesia rata-rata 1000 mm.
Untuk musim
DJF, skema
MIT cenderung menghasilkan pendugaan curah
hujan yang lebih tinggi dari curah hujan observasi pada beberapa wilayah seperti
dataran tinggi dan pegunungan. Tetapi hasil pendugaan juga lebih rendah pada beberapa
wilayah lain seperti pada pesisir pantai. Selisih yang sangat besar ditemukan pada beberapa
data pencilan. Lebih banyak terdapat warna biru pada peta MIT-TRMM. Warna biru pada
peta sebaran selisih curah hujan menunjukkan pendugaan curah hujan yang lebih tinggi 250
mm sampai 1000 mm, misalnya pada daerah dataran tinggi maupun jajaran pegunungan di
Indonesia, seperti di sebelah Barat Sumatra, Kalimantan,
beberapa daerah
di Jawa,
Sulawesi, dan tengah Papua. Warna kuning yang menunjukkan pendugaan curah hujan
lebih rendah -1000 mm sampai -250 mm tersebar di daerah-daerah pesisir pulau.
Skema Grell berkebalikan dengan MIT, menghasilkan pendugaan curah hujan yang
lebih rendah dari curah hujan observasi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dari lebih banyaknya daerah berwarna kuning pada peta sebaran selisih curah hujan.
Namun,
pada beberapa
daerah, Grell
menghasilkan pendugaan curah hujan yang lebih tinggi, seperti pada kepulauan Nusa
Tenggara. Peta sebaran selisih untuk musim MAM, JJA, dan SON Lampiran 7 juga
memperlihatkan hasil yang tidak berbeda dengan musim DJF.
Sebaran jumlah piksel untuk MIT memusat pada selisih -1000 mm sampai 1000
mm dengan persentase terbesar berada pada selang -250 mm sampai 250 mm Tabel 1.
Skema Grell menduga curah hujan lebih rendah di hampir seluruh wilayah di Indonesia.
Hal ini dibukti-kan dengan persentase jumlah piksel yang memusat pada selisih -1000 mm
sampai 250 mm, tetapi dengan persentase terbanyak pada selang -1000 mm sampai -250
mm Tabel 1.
Pada musim basah DJF persentase jumlah piksel dengan selisih terkecil -250 mm
sampai 250 mm untuk skema MIT sebesar 32.2, 0.5 lebih rendah dari Grell. MIT
memiliki persentase selisih terbesar pada musim kering JJA, yaitu 43. Nilai tersebut
lebih besar 14.6 dari Grell pada musim
DJF MAM
JJA SON
DJF MAM
JJA SON
-1000 1.6
2.2 1.9
1.6 1.4
4.2 3.7
7.6 -1000 sd -250
24.0 25.6
24.7 25.0
61.1 65.9
63.0 72.0
-250 sd 250 32.2
38.7 43.0
39.4 32.7
26.7 28.4
17.1
250 sd 1000 32.6
24.7 23.0
26.7 4.5
2.8 4.4
2.8 1000
9.7 8.9
6.5 7.3
0.4 0.3
0.5 0.4
Rentang Selisih
MIT - TRMM Grell - TRMM
12 kering. Pada musim peralihan, MIT juga
memiliki persentase selisih terkecil yang lebih besar dari Grell.
Berdasarkan sebaran selisih curah hujan kedua model terhadap observasi, skema MIT
memiliki hasil pendugaan yang lebih baik karena
luasan wilayah
dengan tingkat
keakuratan tinggi -250 sampai 250 lebih besar dari skema Grell, yaitu 38 dari 2125
piksel untuk rata-rata keempat musim. Jumlah piksel dengan selang selisih terkecil pada hasil
curah hujan musiman Grell untuk rata-rata keempat musim adalah 26 dari 2125 piksel.
Daerah
pendugaan yang
mempunyai keakuratan tertinggi pada MIT antara lain,
bagian Barat Kalimantan, pantai Barat dan Timur Sumatra, bagian tengah Papua, dan
beberapa daerah di Jawa. Sedangkan pada Grell, tersebar di daerah pesisir Sumatra,
Kalimantan, bagian Utara Sulawesi, bagian Selatan Papua, dan beberapa daerah di Jawa
dan Maluku.
Skema MIT model iklim regional RegCM4 menduga curah hujan dengan lebih
baik pada musim kering JJA dibandingkan musim lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh
persentase piksel dengan keakuratan tertinggi yaitu selang -250 mm sampai 250 mm
mempunyai nilai yang paling besar diantara musim lainnya, yaitu 43. Sedangkan untuk
skema Grell, persentase terbesar untuk keakuratan tertinggi pada musim basah DJF,
diikuti oleh musim kering JJA.
4.1.1 Analisis Pola Curah Hujan Bulanan Pada Tiga Tipe Hujan
Pola musiman
curah hujan mem-
perlihatkan fluktuasi curah hujan dari bulan ke bulan. Fluktuasi tersebut berbeda-beda antar
wilayah berdasarkan tinggi rendahnya curah hujan pada bulan-bulan tertentu. Indonesia
mempunyai 3 jenis pola curah hujan, yaitu pola monsunal, ekuatorial, dan lokal. Wilayah yang
memiliki pola curah hujan monsunal adalah wilayah yang fluktuasi curah hujan bulanannya
sangat dipengaruhi oleh monsun, misalnya daerah-daerah di Jawa, Kalimantan bagian
Selatan, pantai Timur Sumatra, dan Nusa Tenggara daerah berwarna kuning pada
Gambar 8. Wilayah ekuatorial misalnya pada Kalimantan bagian Utara, pantai Barat
Sumatra, Sulawesi, dan sebagian besar Papua daerah berwarna hijau pada Gambar 8.
Sedangkan yang memiliki pola lokal adalah wilayah-wilayah dengan fluktuasi curah hujan
yang unik, sangat berbeda dengan pola monsunal maupun ekuatorial. Wilayah tipe
curah hujan lokal diantaranya Pulau-pulau Arafuru,
Maluku, dan
Sorong daerah
berwarna merah atau coklat pada Gambar 8. Analisis pola musiman curah hujan
mengambil 3 stasiun yang mewakili masing- masing tipe curah hujan. Ketiga stasiun
tersebut Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng 6°
7’ LS dan 106°39’ BT mewakili tipe monsunal, Stasiun Pontianak 3°
5’ LS dan 109°
23’ BT mewakili tipe ekuatorial, dan stasiun Ternate 0°
50’ LS dan 127°25’ BT mewakili tipe lokal. Analisis dilakukan dengan
membanding-kan pola curah hujan bulanan tahun 1998 dan 1999 hasil model MIT dan
Grell dengan pola musiman curah hujan TRMM. Perbandingan pola musiman curah
hujan TRMM, MIT, dan Grell disajikan pada Gambar 9 untuk stasiun Cengkareng, Gambar
10 untuk stasiun Bandara Pontianak, dan Gambar 11 untuk stasiun Ternate.
Pola curah hujan bulanan TRMM stasiun Cengkareng tahun 1998 dan 1999 Gambar 9,
memperlihatkan curah hujan yang tinggi setiap tahun, tidak pernah berada di bawah 50 mm
per bulan. Fluktuasi curah hujan menunjukkan bahwa, pada stasiun Cengkareng curah hujan
cenderung tinggi pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Curah hujan rendah pada
bulan April sampai Agustus, terlihat pada time series tahun 1999. Penurunan curah hujan [ada
pertengahan tahun juga diperlihatkan pada time series tahun 1998, walaupun tidak sejelas pada
tahun 1999. Pola curah hujan bulanan TRMM stasiun Cengkareng sesuai dengan pola
monsunal yang diwakilinya, yaitu tinggi pada awal dan akhir tahun dan rendah pada
pertengahan tahun. Tabel 2 Hasil Analisis Statistik Time Series
Curah Hujan Bulanan Hasil Model terhadap
TRMM pada
Stasiun Cengkareng, Pontianak, dan Ternate
Nilai curah hujan bulanan hasil model MIT dan Grell lebih rendah dari curah hujan
TRMM di seluruh bulan pada tahun 1998 dan 1999 untuk stasiun Cengkareng. Fluktuasi nilai
curah hujan hasil model juga tidak dapat mengikuti fluktuasi curah hujan TRMM.
Cengkareng Pontianak
Ternate Korelasi
0.14 0.22
0.09 P-Value
0.52 0.30
0.68 RMSE
165 163
172 St. Dev
27880 45703
48206 Korelasi
0.38 0.46
0.23 P-Value
0.07 0.03
0.28 RMSE
170 200
179 St. Dev
26677 40638
26849 MIT-
TRMM Grell-
TRMM Stasiun
13 Kedua hasil model memperlihatkan curah
hujan yang rendah pada awal tahun 1998, kemudian meningkat. Kurva MIT mampu
mengikuti sinyal curah hujan tinggi TRMM pada bulan Oktober 1998 dan fluktuasi curah
hujan bulan Mei sampai September 1999. Sementara itu, kurva Grell mampu menangkap
sinyal curah hujan tinggi TRMM pada bulan Januari 1999 dan mampu mengikuti fluktuasi
curah hujan bulan Februari sampai Juni 1999. Hasil analisis statistik Tabel 2 menujukkan
bahwa pada stasiun Cengkareng, Grell memiliki korelasi terhadap TRMM yang lebih
tinggi dibandingkan MIT dan mempunyai P- Value yang lebih rendah lebih nyata. Grell
lebih mampu menggambarkan karakteristik curah hujan monsunal dibandingkan MIT.
MIT yang biasanya menduga curah hujan lebih tinggi, menghasilkan pendugaan curah
hujan yang lebih rendah dari observasi pada stasiun Cengkareng. Hal ini disebabkan oleh
topografi dari lokasi stasiun Cengkareng yang merupakan daerah pesisir. MIT yang sangat
sensitif terhadap topografi, menghasilkan pendugaan curah hujan yang rendah pada
daerah pesisir pantai dan dataran rendah.
Gambar 8 Pola Curah Hujan di Indonesia Sumber: http:www.bmkg.go.id
Gambar 9 Pola Curah Hujan Bulanan mm TRMM, MIT, dan Grell Stasiun Cengkareng
14
Gambar 10 Pola Curah Hujan Bulanan mm TRMM, MIT, dan Grell Stasiun Pontianak
Gambar 11 Pola Curah Hujan Bulanan mm TRMM, MIT, dan Grell Stasiun Ternate Pola curah hujan stasiun observasi
TRMM Pontianak yang mewakili tipe curah hujan ekuatorial menunjukkan nilai curah
hujan yang hampir sama tingginya sepanjang tahun, tidak terdapat fluktuasi yang signifikan.
Nilai curah hujan tahun 1998 dan 1999 di atas 100 mm untuk setiap bulannya. Pola kurva
tersebut sesuai dengan karakteristik curah hujan ekuatorial, yaitu hampir sama tingginya
sepanjang tahun. Hasil curah hujan bulanan MIT dan Grell tidak memeperlihatkan pola
yang seperti pola curah hujan TRMM. MIT menduga curah hujan jauh lebih tinggi pada
bulan Oktober 1998 ketika kurva curah hujan TRMM mengalami penurunan. Hasil curah
hujan MIT juga menunjukkan fluktuasi yang signifikan dengan rentang perbedaan curah
hujan yang tinggi dari bulan ke bulan. Walaupun tidak terlalu mirip, kurva curah
hujan Grell mampu mengikuti fluktuasi kurva curah hujan TRMM.
Analisis statistik
memperlihatkan bahwa, Grell mempunyai korelasi yang lebih tinggi terhadap TRMM
dibandingkan MIT terhadap TRMM Tabel 2dap TRMM pada tipe curah hujan
ekuatorial. Selain itu, P-Value Grell-TRMM lebih rendah.
Pada stasiun Ternate yang mewakili tipe lokal, nilai curah hujan TRMM tertinggi yaitu
pada bulan Januari 1999. Curah hujan hampir merata sepanjang tahun dan tidak terdapat
perbedaan peningkatan dan penurunan yang signifikan, kecuali pada bulan Januari dan
Februari 1999. Pola curah hujan TRMM yang ditunjukkan sesuai dengan pola curah hujan
lokal, yaitu berbeda dari tipe monsunal maupun ekuatorial. Hasil analisis statistik
untuk kesesuaian curah hujan bulanan hasil model MIT dan Grell terhadap TRMM
memperlihatkan bahwa, kurva Grell lebih mampu mengikuti fluktuasi kurva TRMM,
dibuktikan dengan nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan MIT terhadap TRMM
Tabel 2. Namun, keduanya mempunyai P- Value yang tidak nyata. Berdasarkan hasil
analisis, dapat dinyatakan bahwa baik MIT
15 maupun Grell tidak mampu menggambarkan
karakteristik curah hujan lokal stasiun Ternate. Berdasarkan analisis ketiga daerah yang
dibandingkan untuk mewakili masing-masing pola tipe curah hujan di Indonesia, skema
Grell lebih
mendekati pola
observasi dibandingkan MIT pada 2 tipe curah hujan
monsunal dan ekuatorial. Analisis pola bulanan curah hujan selama 2 tahun 1998 dan
1999 menunjukkan bahwa, skema Grell lebih merepresentasikan pola curah hujan bulanan
untuk masing-masing wilayah di Indonesia menurut tiga tipe curah hujan, ditunjukkan
oleh nilai korelasi yang tinggi. Akan tetapi nilai
RMSE Grell
lebih tinggi
yang memperlihatkan hasil simulasi Grell yang
cenderung lebih rendah dibanding-kan data observasi dan hasil simulasi MIT.
4.2.
Analisis Keragaman Intra-musiman Curah Hujan Hasil Model
Analisis keragaman intra-musiman curah hujan dilihat melalui kasus MJO. MJO adalah
osilasi atau siklus aliran massa udara yang berulang setiap 30 sampai 60 hari, bahkan
mencapai 90 hari yang terjadi di wilayah tropis. Fenomena MJO mempengaruhi anomali
curah hujan yang lebih tinggi dari normal. Uap air yang dibawa aliran massa udara MJO
meningkatkan keawanan di wilayah yang dilaluinya.
Terjadinya MJO dapat dilihat dari nilai indeks RMM 1 dan 2 yang tanggal kejadian
dan wilayah fasenya dapat dijelaskan dengan roadmap MJO. Selama tahun 1998 dan 1999,
MJO di Indonesia, yaitu pada fase 4 dan 5 kuat pada bulan Mei, September, Oktober, dan
November tahun 1998, Januari, April, dan November tahun 1999 Lampiran 3.
Untuk mendeteksi adanya sinyal MJO pada time series curah hujan model, terlebih
dahulu digunakan data curah hujan observasi TRMM sebagai pembanding untuk nilai indeks
RMM 1. Indeks RMM yang digunakan sebagai pembanding pada analisis korelasi hanya
RMM 1, karena MJO di Indonesia terjadi ketika RMM 1 bernilai positif, sedangkan
RMM 2 menentukan wilayah kejadian MJO untuk fase 4 atau 5. Korelasi antara kejadian
MJO dan peningkatan curah hujan diasumsikan sebagai korelasi spontan, artinya ketika terjadi
MJO seketika itu terjadi peningkatan curah hujan. Tidak terdapat lag antara fenomena
MJO dan anomali curah hujan, karena pengaruh dari MJO adalah adanya peningkatan
keawanan pada wilayah yang dilaluinya.
Time series TRMM diwakili oleh nilai komponen utama PC. Komponen utama
keempat PC 4 dari 5 komponen utama yang dibuat memiliki nilai korelasi yang paling
tinggi terhadap indeks RMM 1 Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis statistik tersebut,
pola data RMM 1 dapat direpresentasikan oleh PC 4 TRMM yang mewakili 16.5 keragaman
curah hujan di Indonesia Gambar 12. RMM 1 positif
digunakan untuk
menjelaskan kemungkinan lokasi MJO pada fase 4 dan 5
yang meliputi wilayah Indonesia di bagian Barat dan Timur.
Tabel 3 Hasil Analisis Statistik PC TRMM
dengan Indeks RMM 1
Gambar 12 Persentase Keragaman PCA TRMM
Ilustrasi kurva perbandingan indeks RMM dengan PC4 TRMM dapat dilihat pada
Gambar 13. Tanda lingkaran menunjukkan kecocokan antara kurva PC4 TRMM dengan
indeks RMM 1 dan 2 yang menunjukkan adanya sinyal MJO. Nilai RMM 1 positif, dan
RMM 2 positif atau negatif. Nilai curah hujan tinggi pada tanggal-tanggal tersebut dan kurva
curah hujan dapat mengikuti naik turunnya siklus MJO.
Tabel 4 Hasil Analisis Statistik PC MIT dan
Grell dengan PC 4 TRMM
PC 1 PC 2
PC 3 PC 4
PC 5 Korelasi
0.12 0.14
0.00 0.37
-0.30 P-Value
0.00 0.00
0.97 0.00
0.00 RMSE
1.32 1.31
1.41 1.12
1.61 Std.Dev
2.44 2.26
3.06 2.29
3.64 RMM 1
TRMM Indeks MJO
PC 1 PC 2
PC 3 PC 4
PC 5 Korelasi
0.44 0.30
0.37 0.37
0.35 P-Value
0.00 0.00
0.00 0.00
0.00 RMSE
1.06 1.19
1.12 1.12
1.14 Std.Dev
1.67 1.79
1.67 1.77
2.46 PC 1
PC 2 PC 3
PC 4 PC 5
Korelasi 0.48
0.08 0.12
0.57 0.24
P-Value 0.00
0.06 0.00
0.00 0.00
RMSE 1.72
1.47 1.50
0.93 1.24
Std.Dev 3.41
4.17 3.19
1.36 2.06
MIT
Grell TRMM
PC4
16
Gambar 13 Hasil Plot Indeks RMM 1, RMM 2, dan PC 4 TRMM
Gambar 14 Hasil Plot PC 4 TRMM dengan PC 1 MIT
Gambar 15 Hasil Plot PC 4 TRMM dengan PC 4 Grell
a b
Gambar 16 Persentase Keragaman PCA MIT a dan Grell b Selanjutnya PC 4 TRMM digunakan
sebagai pembanding PC MIT dan Grell untuk mendeteksi sinyal MJO. Pada skema MIT,
MJO dapat dideteksi dengan baik oleh PC 1, sedangkan pada skema Grell pada PC 4 karena
mempunyai korelasi yang tinggi terhadap PC 4 TRMM Tabel 4. Oleh karena itu, PC 1 MIT
dan PC 4 Grell yang digunakan di dalam analisis MJO.
Kurva perbandingan PC4 TRMM dengan PC 1 MIT dan PC 4 Grell dapat dilihat pada
Gambar 14 dan 15. Pola time series MIT mampu mengikuti fluktuasi kurva TRMM pada
bulan-bulan peralihan dan bulan-bulan kering, tetapi tidak dapat menangkap curah hujan yang
tinggi pada bulan basah bulan November sampai Januari 1999, ditandai dengan
lingkaran terputus. Sedangkan time series Grell mampu menangkap curah hujan tinggi pada
bulan-bulan basah.
Kedua kurva time series MIT dan Grell dapat mengikuti pola fluktuasi kurva TRMM
dan dapat mendeteksi adanya sinyal MJO ditandai dengan nilai curah hujan yang tinggi
pada saat kejadian MJO. Skema MIT lebih dominan dalam merepresentasikan keragaman
curah hujan intramusiman dilihat dari besarnya nilai persentase keragaman PCA MIT yang
lebih tinggi dibandingkan PCA Grell Gambar 16. MIT pada PC 1 dapat merepresentasikan
29,8 keragaman intramusiman curah hujan, sedangkan Grell pada PC 5 dapat meng-
gambarkan 10.7 keragaman curah hujan intramusiman.
4.2.1 Analisis MJO Fase 4 dan 5
Selain fase MJO untuk keseluruhan wilayah di Indonesia, juga dianalisis untuk
masing-masing fase, yaitu fase 4 fase 5. Pembagian fase 4 dan 5 ini dengan membagi
dua meridional wilayah Indonesia, bagian Barat 95° BT sampai 118° BT dan Timur
118° BT sampai 141° BT. Komponen utama dibuat masing-masing untuk MJO fase 4, yaitu
menggunakan data pada wilayah Indonesia Barat, kemudian untuk MJO fase 5 mengguna-
kan data pada wilayah Indonesia Timur. Analisis dilakukan untuk masing-masing
wilayah fase MJO 4 dan 5 secara terpisah.
Pada analisis fase 4 dan 5 MJO, RMM 2 juga digunakan sebagai pembanding terhadap
PC TRMM. RMM 2 menjelaskan kejadian MJO pada fase 4 atau 5. Fase 4 MJO terjadi
apabila indeks RMM 1 bernilai positif dan indeks RMM 2 bernilai negatif. Hasil analisis
statistik untuk MJO fase 4 menunjukkan bahwa PC 2 TRMM dapat merepresentasikan
kejadian MJO, karena memiliki nilai korelasi yang cukup tinggi, terhadap indeks RMM 1
dan RMM 2 Tabel 5. PC 2 TRMM dapat menjelaskan 21.3 keragaman curah hujan
Gambar 17. Plot indeks RMM 1, RMM 2 dan PC 2 TRMM dapat dilihat pada Gambar 19.
Kejadian MJO fase 4 misalnya ditunjukkan oleh lingkaran terputus pada akhir bulan Juni
1998. Kurva memperlihatkan bahwa pada saat tersebut, indeks RMM 1 bernilai positif dan
indeks RMM 2 bernilai negatif. Kurva curah hujan tinggi, menunjukkan adanya peningkatan
jumlah curah hujan oleh pengaruh MJO pada bulan Juni yang seharusnya memiliki curah
hujan rendah. Tabel 5 Hasil Analisis Statistik PC TRMM
dengan Indeks RMM 1 Pada MJO Fase 4
Gambar 17 Persentase Keragaman PCA TRMM Pada MJO Fase 4
Tabel 6 Hasil Analisis Statistik PC 2 TRMM dengan PC MIT dan Grell Pada MJO
Fase 4
MJO fase 4 pada skema MIT dan Grell, dapat dideteksi dengan baik oleh PC 1 MIT
dan PC 2 Grell, berdasarkan kesesuaiannya dengan PC 2 TRMM Tabel 6. Plot kurva PC
1 MIT dan PC 2 Grell dengan PC 2 TRMM pada MJO fase 4 disajikan pada Lampiran 10.
PC 1 MIT lebih dominan dalam menjelaskan keragaman curah hujan intra-musiman, karena
dapat menjelaskan 36 keragaman curah hujan intramusiman pada time series PCA nya,
sedangkan PC 2 Grell dapat menjelaskan 20.7 keragaman curah hujan intra musiman
Lampiran 11.
PC1 PC2
PC3 PC4
PC5 Korelasi
-0.04 0.31
-0.09 -0.33
-0.25 P-Value
0.37 0.00
0.02 0.00
0.00 RMSE
1.44 1.17
1.48 1.63
1.58 St. Dev
2.44 2.47
3.35 2.93
3.03 Korelasi
-0.47 0.18
0.17 0.01
-0.16 P-Value
0.00 0.00
0.00 0.75
0.00 RMSE
1.71 1.28
1.29 1.40
1.52 St. Dev
3.31 2.62
2.10 2.38
2.61 Indeks MJO
TRMM RMM1
RMM2
PC1 PC2
PC3 PC4
PC5 Korelasi
0.47 -0.16
0.18 0.35
0.08 P-Value
0.00 0.00
0.00 0.00
0.06 RMSE
1.03 1.52
1.28 1.14
1.36 St. Dev
1.54 2.46
1.97 1.62
2.65 PC1
PC2 PC3
PC4 PC5
Korelasi -0.03
0.29 -0.03
0.12 -0.28
P-Value 0.40
0.00 0.50
0.00 0.00
RMSE 1.44
1.60 1.43
1.33 1.60
St. Dev 5.11
3.07 2.44
2.51 4.58
MIT
Grell TRMM
PC2
Tabel 7 Hasil Analisis Statistik PC TRMM dengan Indeks RMM 1 Pada MJO
Fase 5
Gambar 18 Persentase Keragaman PCA TRMM Pada MJO Fase 5
Tabel 8 Hasil Analisis Statistik PC 4 TRMM dengan PC MIT dan Grell Pada MJO
Fase 5 MJO fase 5 ditunjukkan oleh nilai indeks
RMM 1 positif dan indeks RMM 2 positif. Pada MJO fase 5 yaitu wilayah Indonesia
bagian tengah sampai ujung Timur, MJO dapat direpresentasikan oleh PC 4 TRMM karena
memiliki nilai korelasi yang tinggi terhadap indeks RMM 1 dan 2 Tabel 7. PC 4 TRMM
mampu menjelaskan 14.1 keragaman curah hujan intra-musiman pada fase 5 MJO
Gambar 18. Plot indeks RMM dan PC 4 TRMM dapat dilihat pada Gambar 20.
PC 4 TRMM selanjutnya digunakan sebagai referensi untuk PC MIT dan Grell
dalam kesesuaiannya menangkap sinyal MJO. PC 5 MIT dapat dengan baik menangkap
sinyal MJO, dilihat dari nilai korelasinya yang tinggi terhadap PC 4 TRMM dibandingkan PC
MIT lainnya. Sedangkan pada skema Grell, PC 3 yang paling sesuai dengan PC 4 TRMM
Tabel 8.
Kejadian MJO fase 5 pada Gambar 20 ditunjukkan oleh lingkaran terputus. Nilai
curah hujan observasi TRMM meningkat ketika terjadi MJO, yaitu indeks RMM 1
positif dan indeks RMM 2 positif, seperti pada bulan April tahun 1998, bulan Februari, dan
bulan
Agustus tahun
1999. Keawanan
meningkat di bagian Timur Indonesia karena penambahan uap air yang dibawa oleh aliran
massa udara MJO, sehingga meningkatkan jumlah presipitasi yang terjadi.
Plot PC 4 TRMM dengan PC 1 MIT dan PC 3 Grell diperlihatkan pada Lampiran 12.
Hasil curah hujan model MIT dan Grell mampu mengikuti fluktuasi curah hujan
observasi TRMM. Namun, pada time series PC 4 TRMM tahun 1999 yang mempunyai
simpangan tinggi-rendah curah hujan yang cukup besar, kurang dapat diikuti oleh MIT
maupun Grell.
Gambar 19 Hasil Plot Indeks RMM 1, RMM 2, dan PC 2 TRMM Pada MJO Fase 4
PC1 PC2
PC3 PC4
PC5 Korelasi
0.16 -0.28
0.21 0.33
-0.07 P-Value
0.00 0.00
0.00 0.00
0.10 RMSE
1.29 1.60
1.25 1.63
1.46 St. Dev
2.75 3.86
2.30 3.53
2.91 Korelasi
-0.16 0.04
0.17 0.15
0.04 P-Value
0.00 0.32
0.00 0.00
0.35 RMSE
1.52 1.38
1.29 1.52
1.39 St. Dev
2.73 3.02
2.45 3.01
2.83 Indeks MJO
TRMM RMM1
RMM2
PC1 PC2
PC3 PC4
PC5 Korelasi
0.54 -0.06
0.17 0.24
0.38 P-Value
0.00 0.16
0.00 0.00
0.00 RMSE
1.75 1.45
1.29 1.23
1.12 St. Dev
4.58 3.17
3.33 2.54
2.06 PC1
PC2 PC3
PC4 PC5
Korelasi 0.09
-0.14 0.47
-0.01 0.21
P-Value 0.03
0.00 0.00
0.77 0.00
RMSE 1.35
1.51 1.03
1.42 1.26
St. Dev 2.94
5.36 1.75
3.17 2.61
MIT
Grell TRMM
PC4
19
Gambar 20 Hasil Plot Indeks RMM 1, RMM 2, dan PC 4 TRMM Pada MJO Fase 5 PC 1 MIT yang mewakili MJO fase 5,
mampu menjelaskan 35.2 keragaman curah hujan intra-musiman. Sementara itu, PC 3
Grell mampu menjelaskan 10 keragaman curah hujan intra-musiman pada fase 5 MJO
Lampiran 13. Berdasarkan hasil analisis fase 4 dan 5 MJO, MIT dianggap lebih dominan
menggambarkan keragaman curah hujan intra- musiman di Indonesia dibanding Grell dilihat
dari persentase keragaman PC yang lebih tinggi.
4.2.2 Analisis Sebaran Komposit Curah Hujan Fase 4 dan 5 MJO
Selain analisis kesesuaian time series curah hujan MIT dan Grell terhadap indeks
RMM, untuk mengetahui kemampuan model menggambarkan keragaman curah hujan intra-
musiman, yaitu kasus MJO, juga dilakukan analisis sebaran komposit curah hujan. Analisis
dilakukan menggunakan peta komposit yang dibuat dari rata-rata curah hujan harian pada
fase kejadian MJO. seperti yang telah dilakukan oleh Hidayat dan Kizu 2010
mengenai pengaruh MJO di Indonesia pada musim hujan.
Peta sebaran komposit curah hujan memperlihatkan sebaran curah hujan pada tiap-
tiap fase MJO. Nilai curah hujan tinggi dan terpusat pada wilayah fase MJO. Komposit
curah hujan dibuat dengan merata-ratakan curah hujan pada saat terjadinya fase MJO
yang dilihat dari roadmap MJO Tabel 9. Ketika MJO berada pada fase 4, anomali angin
zonal terpusat pada bagian Barat Indonesia, sehingga kewanan cenderung tinggi diikuti
dengan curah hujan yang juga tinggi. Sementara itu, ketika terjadi fase 5 MJO, maka
curah hujan cenderung tinggi dan terpusat di bagian Timur Indonesia.
Tabel 9 Tanggal Kejadian Fase MJO di Indonesia Tahun 1998 dan 1999
4 5
13 -16 Apr 16 - 24 Mei 10 - 15 Mei
1 - 8 Okt 6 - 10 Jun
9 - 15 Nov 20 - 30 Sep
10 -12 Des 24 -25 Jan
26 - 28 Jan 12 - 15 Apr
31 Okt 21 - 22 Jul
1 - 5 Nov 27 - 30 Okt 10 - 16 Des
1 - 9 Des Fase MJO di Indonesia
1998
1999
20
Gambar 21 Sebaran Curah Hujan Komposit TRMM, MIT, dan Grell Pada MJO Fase 4
i
EVALUASI SKEMA KONVEKSI DALAM MODEL IKLIM REGIONAL REGCM4 UNTUK SIMULASI KERAGAMAN CURAH HUJAN
MUSIMAN DAN INTRA MUSIMAN DI INDONESIA
SWARI FARKHAH MUFIDA
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
22 bulanan, hasil curah hujan Grell dapat
merepresentasikan pola curah hujan observasi di daerah bertipe monsunal dan ekuatorial
lebih baik dibandingkan MIT, walaupun memiliki nilai curah hujan yang cenderung
rendah. Baik skema MIT maupun Grell dapat mendeteksi adanya sinyal MJO pada analisis
keragaman
curah hujan
intra-musiman, sehingga belum dapat disimpulkan skema yang
lebih mampu meng-gambarkan keragaman curah hujan intra-musiman diantara MIT dan
Grell, walaupun MIT memperlihatkan hasil yang lebih baik pada analisis sebaran komposit
curah hujan. Kesimpulan yang dapat diberikan adalah bahwa MIT lebih dominan dalam
menggambarkan keragaman curah hujan intra- musiman berdasarkan persentase keragaman
PCA yang lebih tinggi. Namun, secara umum, MIT menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
merepresentasikan keragaman curah hujan di Indonesia.
Berdasarkan simulasi curah hujan dari kedua skema konveksi yang digunakan dalam
penelitian ini, skema MIT memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan skema Grell dalam
menggambarkan karakteristik iklik Indonesia, khususnya curah hujan. Untuk simulasi model
RegCM4 pada penelitian yang lain, dapat digunakan skema konveksi MIT.
5.2. Saran
Time series yang digunakan pada analisis MJO untuk dibandingkan dengan indeks RMM
adalah hasil PCA yang kemudian difilter mengikuti metode band-pass filter indeks
RMM. Nilai korelasi yang diperoleh tidak terlalu tinggi dan tidak berada pada peringkat
PC awal, karena hasil komponen utama diduga masih memiliki keragaman selain siklus MJO.
Filter data sebaiknya dilakukan pada awal pengolahan data sebelum pembuatan PCA.
Jadi, PCA dibuat dari data yang telah difilter, sehingga
hanya tersisa
pengaruh dari
keragaman intramusiman MJO, seperti yang dilakukan pada penyusunan indeks RMM 1
dan 2. Hasil simulasi tidak dapat menduga curah
hujan yang terjadi di atas lautan. Hal ini berkaitan dengan parameterisasi skema transfer
fluks lautan dan atmosfer yang digunakan, yaitu Zeng Zeng et al. 1998. Masing-masing
skema memiliki parameterisasi yang berbeda- beda simulasi yang dijalankan, sehingga
pengaruh-nya juga berbeda-beda terhadap hasil simulasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan
kajian mengenai
pengaruh skema-skema
lainnya pada hasil simulasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anthes RA. 1977. A Cumulus Parameteriza- tion
Scheme utilising
A One-
dimensional Cloud Model. Monthly Weather Review, 105:270-286
Arakawa A dan Schubert WH. 1974. Interac- tion of A Cumulus Cloud Ensemble
with The Large Scale Environment, Part 1. Journal of Atmospheric Science,
American Meteorological
Society, 31:674-701.
Dool HVD. 2007. Empirical Methods in Short Term Climate Prediction. New York:
Oxford University Press. Emmanuel KA dan Zivkovic RM. 1999.
Development and Evaluation of a Convective Scheme for Use in Climate
Models. Journal of Atmospheric Science,
American Meteorological
Society, 56:1766-1782. Fritsch JM dan Chappel CF. 1980. Numerical
Prediction of Convectively Driven Mesoscale Pressure System, Part 1:
Convective Parameterization. Journal of Atmospheric Science, American
Meteorological Society, 37:1722-1733.
Giorgi F, Pal JS, Bi X, Sloan L, Elguindi N, dan Solmon F. 2006. Introduction to
The TAC Special Issue: The RegCNET Network. Journal of Theory and
Application Climatology.
Giorgi F, Elguindi N, Cozzini S, dan Giuliani G. 2011. Regional Climatic Model
RegCM User Manual Version 4.2. International Centre for Theoretical
Physics, Italia.
Giorgi F, Hewitson B, Christensen J, Fu C, Jones R, Hulme M, Mearns L, Storch
HV, dan Whetton P. 2001. Regional Climate Information
– Evaluation and Projections, in Climate Change 2001:
The Scientific Basis, p.944pp, J.T. Houghton et al., Eds., Cambridge
University Press.
Gottschalk J, Wheeler M, Weickmann K, Vitart F, Savage N, Lin H, Hendon H,
Waliser D, Sperber K, Nakagawa M, Prestrelo C, Flatau M, dan Higgins W.
2010. A Framework for Assessing Operational Madden-Julian Oscillation
Forecasts A Clivar MJO Working Group Project. Bulletin American
Meteorological Society.
Grell GA. 1993. Prognostic Evaluation of Assumptions
Used by
Cumulus Parameterization.
Journal of
23 Atmospheric
Science, American
Meteorological Society. 121:764-787. Hidayat R, dan Kizu S. 2009. Influence of
Madden Julian
Oscillation on
Indonesian Rainfall Variability in Austral Summer. International Journal
of Climatology, Royal Meteorological Society, 30:1816-1825.
Huffman GF, Adler RF, Bolvin DT, Gu Guojun, Nelkin EJ, Bowman KP, Hong
Yang, Stocker EF, dan Wolf DB. 2007. The TRMM Multisatellite Precipitaion
Analysis TMPA : Quasi-Global, Multiyear Combined-Sensor Precipi
tation Estimates at Fine Scales. Journal of Hydrometeorology, American Meteo
rological Society, 8:38-55
Jiang X, Waliser DE, Olson WS, Tao W, L’ecuyer TS, Li J, Tian B, Yung YK,
Tompkins AM, Lang SE, dan Grecu M. 2009.
Vertical Heating
Structures Associated
with the
MJO as
Characterized by TRMM Estimates, ECMWF Reanalyses, and Forecasts: A
Case Study during 199899 Winter. Journal
of Climate,
American Meteorological Society, 22:6001-6020.
Jie C, Zhang X, You Y, dan Yang R. 2007. Applicability of Cumulus Convective
Parameter Scheme in RegCM3 to The Rainfall Over The Longitudinal Range
Gorge Region.
Chinese Science
Bulletin, Springer, 52:115-121. Johnson RA dan Wichern DW. 2002. Applied
Multivariate Statistical Analysis, 5
th
Edition. New Jersey: Prentice Hall. Kalnay E, Kanamitsu M, Kistler R, Collins W,
Deaven D, Gandin L, Iredell M, Saha S, White G, Woollen J, Zhu Y, Chelliah
M, Ebisuzaki W, Higgins W, Janowiak J, MO KC, Ropelewski C, Wang J,
Leetmaa A, Reynolds R, Jenne Roy, dan
Dennis Joseph.
1996. The
NCEPNCAR 40-Year
Re-analysis Project. Bulletin American Meteorologi-
cal Society 77 3. Kim D, Sperber K, Stern W, Waliser D, Kang
IS. Maloney E, Wang W, Weickman K, Benedict J, Khairoutdinov M, Lee MI,
Neale E, Suarez M, Thayer-Calder K, dan Zhang G. 2009. Application of
MJO Simulation Diagnostics to Climate Models. Journal of Climate, American
Meteorological Society, 22: 6413-6436.
Madden RA dan Julian PR. 1994. Observation of 40-50 Day Tropical Oscillation
– A Review.
Journal of
Atmospheric Science,
American Meteorological
Society, 122:814-837 Nicholson SE, Some B, Mc Collum J, Nelkin
E, Berte Y, Diallo BM, Gaye I, Kpabeba G, Ndiaye O, Noukpozzoun-
kou JN, Tanu MM, Thiam A, Toure AA, dan Traore AK. 2003. Validation
of TRMM and Other Rainfall Estimates with a High-Density Gauge Dataset for
West Africa. Part II: Validation of TRMM Rainfall Products. Journal of
Applied
Meteorology, American
Meteorological Society, 42:1355-1368. Reynolds RW, Rayner NA, Smith TM, Stokes
DC, dan Wang Wanqiu. 2002. An Improved In Situ and Satellite SST
Analysis for Climate. Journal of Climae, 15:1609-1625.
Subrahmanian AC, Jochum M, Miller AJ, Mortugudde R, Neale RB, dan Waliser
DE. 2011. The Madden-Julian Oscilla- tion in CCSM4. Journal of Climate,
American Meteorological
Society, 24:6261-6282.
Wheeler M dan Hendon H. 2004. An All- Season Real-Time Multivariate MJO
Index: Development of an Index for Monitoring and Prediction. Journal of
Atmospheric Science,
American Meteorological Society, 132:1917-1932.
Wilks DS. 2006. Statistical Methods in The Atmospheric Science, 2
nd
Edition. USA: Elsevier Inc.
Zanis P, Douvis C, Kapsomenakis I, Kioutsioukis I, Melas D, dan Pal JS.
2008. A Sensitivity Study of The Regional Climate Model RegCM3 to
The Convective Scheme with Emphasis in Central Eastern and Southeastern
Europe. Journal of Theory and Application Climatology, Springer.
Zeng X, Zhao M, dan Dickinson RE. 1998. Intercomparison of Bulk Aerodynamic
Algoryths for The Computation of Sea Surface Fluxes Using Toga Coare and
Tao Data. Journal of Climate, 11:2628- 2644.
Zhang C. 2005. Madden Julian Oscillation. Review
of Geophysics,
American Geophysical Union 43.
Zhang L, Wang B, dan Zeng Q. 2009. Impact of The Madden-Julian Oscillation on
Summer Rainfall in Southeast China. Journal
of Climate,
American Meteorological Society, 22:201-216.
24
LAMPIRAN
25 Lampiran 1 Skrip Simulasi
Simulasi RegCM4 untuk Domain Indonesia Skema Konveksi dimparam
iy = 104, jumlah grid lintang UtaraSelatan
jx = 224, jumlah grid bujur BaratTimur
kz = 18, jumlah grid vertikal
nsg = 1, jumlah sub-grid, nsg=1, tanpa sub-grid
geoparam iproj = NORMER,
jenis proyeksi yang digunakan Normal Mercator ds = 30.0,
resolusi grid dalam km ptop = 5.0,
nilai tekanan lapisan teratas dalam cbar centi bar clat = -2.5,
lintang pusat domain clon = 118.5,
meridian pusat domain plat = 45.39,
lintang kutub untuk proyeksi Rotated Mercator plon = 13.48,
meridian kutub untuk proyeksi Rotated Mercator truelatl = 30.0,
sisi lintang rendah untuk proyeksi Lambert truelath = 60.0,
sisi lintang tinggi untuk proyeksi Lambert i_band = 0,
opsi band non aktif terrainparam
domname = grellFC_30, awalan nama file
ntypec = 10 resolusi data landuse dan global terrain 10 menit
ntypec_s = 10, untuk sub-grid
smthbdy = .false., smoothing control
lakedpth = .false., domain bathymetry
fudge_lnd = .false., fudging control, untuk landuse grid
fudge_lnd_s = .false., fudging control, untuk landuse sub-grid
fudge_tex = .false., fudging control, untuk texture grid
fudge_tex_s = .false., fudging control, untuk texture sub-grid
h2opct = 75., persen H
2
O minimum permukaan dirter = input,
direktori hasil terrain inpter = homefidafida-dataREGCM_GLOBEDAT, direktori input data permukaan
ioparam ibyte = 4,
debugparam debug_level = 1,
dbgfrq = 3, boundaryparam
nspgx = 12, nspgd = 12,
modesparam nsplit = 2,
26 globdatparam
ibdyfrq = 6, resolusi waktu data ICBC 6 jam
ssttyp = OI_WK, tipe data SST mingguan
dattyp = NNRP1, tipe data atmosfer global
gdate1 = 1997122800, tanggal awal data ICBC
gdate2 = 2011010100, tanggal akhir data ICBC
dirglob = input, letak direktori data ICBC
inpglob = homefidafida-dataREGCM_GLOBEDAT, letak direktori data input global globwindow
lat0 = 0.0 lat1 = 0.0
lon0 = 0.0 lon1 = 0.0
aerosolparam aertyp = AER00D0
menonaktifkan model aerosol default ntr = 10,
nbin = 4, restartparam
ifrest = .false. , simulasi awal, true untuk me-restart
mdate0 = 1998010100, tanggal awal simulasi
mdate1 = 1998010100, tanggal awal simulasirestart
mdate2 = 2011010100, tanggal akhir simulasirestart
timeparam dtrad = 30.,
time step dalam detik dtabem = 18.,
interval perhitungan radiasi menit dtsrf = 300.,
interval perhitungan absorbsi-emisi jam dt = 100.,
interval pemanggilan land model detik outparam
ifsave = .true. , savfrq = 7200.,
ifatm = .true. , atmfrq = 6.,
ifrad = .true. , radfrq = 6.,
ifsrf = .true. , ifsub = .true. ,
srffrq = 3., ifchem = .false.,
chemfrq = 6., dirout=output
physicsparam Inisialisasi parameter fisika
27 iboudy = 5,
skema kondisi lateral boundary layer relaxation, teknik eksponensial
ibltyp = 1, skema boundary layer Holstlag PBL 1990
icup = 2, tipe skema konveksi 4=MIT, 2=Grell
igcc = 2, tipe skema konveksi Grell 1=AS, 2=FC
ipptls = 1, skema kelembaban explicit moisture
iocnflx = 2, skema fluks lautan Zeng et al. 1998
ipgf = 0, skema PGF Pressure Gradient Force, full fields
iemiss = 0, perhitungan emisi tidak dilakukan
lakemod = 0, lake model non aktif
ichem = 0, aerosol chemical model non aktif
scenario = A1B, skenario IPCC yang digunakan
idcsst = 0, skema sst diurnal cycle non aktif
iseaice = 0, model sea-ice effect non aktif
idesseas = 1, model dessert seasonal albedo variability
iconvlwp = 1, menggunakan liquid water path
subexparam qck1land = .250E-03,
rataan autokonversi untuk daratan qck1oce = .250E-03,
rataan autokonversi untuk lautan cevap = .100E-02,
koefisien evaporasi butir hujan caccr = 3.000,
accretion arate butir hujan m
3
kgs cftotmax = 0.75,
total fraksi penutupan awan maksimum radiasi grellparam
inisialisasi parameter skema Grell emanparam
inisialisasi parameter skema MIT elcrit = 0.0011D0,
coeffr = 1.0D0, chemparam
inisialisasi skema aerosol idirect = 1,
inpchtrname = , inpchtrsol = .00,
inpchtrdpv = .00000, .00000, inpdustbsiz = .00, .00,
clmparam dirclm = homefidafida-dataREGCM_GLOBEDAT,
imask = 1, clmfrq = 12.,
28 Lampiran 2 Cakupan Wilayah MJO sumber: http:esrl.noaa.gov
Lampiran 3 Roadmap MJO Per Tiga Bulan Tahun 1998 dan 1999 Sumber: http:www.bom.gov.auclimatemjo
29
Lampiran 4 Wilayah Pengukuran Citra TRMM
30 Lampiran 5 Domain Simulasi
Lampiran 6 Peta Sebaran Curah Hujan Musiman MAM, JJA, SON TRMM, MIT, dan Grell 1.
Musim Maret-April-Mei MAM
31
2. Musim Juni-Juli-Agustus JJA
32
3. Musim September-Oktober-November SON
33
Lampiran 7 Peta Sebaran Selisih Curah Hujan Musiman MAM, JJA, SON TRMM-MIT dan TRMM-Grell
1. Musim Maret-April-Mei MAM
34 2. Musim Juni-Juli-Agusttus JJA
3. Musim September-Oktober-November SON
35
Lampiran 8 Jumlah Piksel Per Rentang Selisih Curah Hujan Musiman
Lampiran 9 Plot Nilai RMM 1 dan RMM 2
Lampiran 10 Plot TRMM PC 2 dengan MIT PC 1 dan Grell PC 2 Pada MJO Fase 4
DJF MAM
JJA SON
DJF MAM
JJA SON
-1000 33
46 40
33 29
89 78
162 -1000 sd -250
509 543
524 532
1299 1401
1339 1531
-250 sd 250 684
823 913
837 694
568 604
364 250 sd 1000
693 524
489 567
95 60
94 59
1000 206
189 139
156 8
7 10
9
MIT - TRMM Grell - TRMM
Rentang Selisih
36 Lampiran 11 Persentase Keragaman PCA MIT Kiri dan Grell Kanan Pada MJO Fase 4
Lampiran 12 Plot TRMM PC4 dengan MIT PC1 dan Grell PC3 Pada MJO Fase 5
Lampiran 13 Persentase Keragaman PCA MIT Kiri dan Grell Kanan Pada MJO Fase 5
21
Gambar 22 Sebaran Curah Hujan Komposit TRMM, MIT, dan Grell Pada MJO Fase 5 Berdasarkan peta sebaran komposit curah
hujan, MIT dan Grell hanya mampu meliputi wilayah daratan, sementara curah hujan di atas
lautan tidak dapat diduga nilainya rendah atau 0 mm karena skema parameterisasi transfer
fluks antara lautan dan atmosfer yang digunakan, yaitu Zeng Zeng et al. 1998.
Parameterisasi tiap skema berdampak pada hasil yang berbeda-beda dalam simulasi.
Peta komposit curah hujan memperlihat- kan bahwa sebaran curah hujan tinggi pada
data observasi TRMM memusat di bagian Barat Indonesia Sumatra, dan Kalimantan
bagian Barat untuk fase 4 Gambar 21 dan bagian Timur Indonesia Sulawesi, Maluku,
dan Papua Barat untuk fase 5 Gambar 22. Sebaran curah hujan ini sesuai dengan
pengaruh MJO yaitu berada pada wilayah Barat ketika MJO berada pada fase 4 dan
memusat di wilayah Timur ketika siklus MJO berada pada fase 5, ditandai oleh lingkaran
hitam dengan garis terputus.
Hasil peta komposit curah hujan MIT mengikuti sebaran komposit curah hujan
TRMM pada fase 4 MJO Gambar 21, yaitu memusat pada wilayah Indonesia bagian Barat,
seperti Kalimantan Barat dan sebagian Sumatra. Tetapi, curah hujan juga tinggi pada
daerah dataran tinggi di Sulawesi, Jawa, dan Papua. Sebaran komposit curah hujan Grell
memperlihatkan hasil yang berbeda, tidak tampak pemusatan curah hujan tinggi pada
bagian Barat Indonesia, bahkan curah hujan rendah merata hampir di seluruh wilayah
Indonesia. Sesuai pada tanggal kejadian MJO pada Tabel 8, pada tahun 1998 dan 1999, MJO
di Indonesia untuk fase 4 lebih sering terjadi pada bulan-bulan peralihan dan bulan-bulan
kering, dimana pendugaan curah hujan skema Grell kurang baik berdasarkan analisis
musiman curah hujan. Sebaran komposit curah hujan MIT pada
fase 5 MJO Gambar 22 tidak memusat pada bagian Timur Indonesia untuk nilai curah
hujan tinggi. Curah hujan tinggi berada pada daerah dataran tinggi dan pegunungan, seperti
yang telihat di daerah Sulawesi dan Papua. Sebaran komposit curah hujan Grell juga
berbeda dengan sebaran komposit curah hujan TRMM, tidak terdapat pemusatan curah hujan
tinggi pada bagian Timur dan cenderung rendah merata di seluruh wilayah Indonesia,
seperti pada MJO fase 4.
Analisis sebaran komposit curah hujan menunjukkan bahwa MIT lebih mampu
mengikuti sebaran komposit curah hujan TRMM dibandingkan Grell, walaupun tidak
terlalu sama. Nilai curah hujan MIT jauh lebih tinggi pada beberapa wilayah, dan lebih rendah
pada wilayah lainnya. Sebaliknya Grell, seperti yang dijelaskan pada analisis musiman curah
hujan, menduga curah hujan lebih rendah hampir di seluruh wilayah Indonesia.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Simpulan
Analisis keragaman musiman curah hujan menunjukkan bahwa sebaran curah hujan MIT
dan Grell berbeda dengan observasi. Skema MIT menduga curah hujan dengan rentang
nilai yang sangat tinggi dan jauh melebihi curah hujan yang sebenarnya pada beberapa
wilayah
serta sangat
sensitif terhadap
topografi. Sebaliknya, skema Grell menduga curah hujan lebih rendah dari curah hujan
sebenarnya hampir di seluruh wilayah kajian. MIT lebih akurat dibanding Grell dan lebih
mampu menggambarkan keragaman curah hujan musiman di Indonesia karena memiliki
lebih banyak piksel dengan rentang selisih kecil daripada Grell. Pada analisis curah hujan