Nutritional Contents and Protein Nutritional Value of Local and Imported Soybean Tempe Flours and Their Antioxidant Activities

KANDUNGAN ZAT GIZI DAN NILAI GIZI PROTEIN
TEPUNG TEMPE KEDELAI LOKAL DAN IMPOR
SERTA AKTIVITAS ANTIOKSIDANNYA

MURSYID

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kandungan Zat Gizi dan
Nilai Gizi Protein Tepung Tempe Kedelai Lokal dan Impor serta Aktivitas
Antioksidannya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Mursyid
NIM F251110361

RINGKASAN
MURSYID. Kandungan Zat Gizi dan Nilai Gizi Protein Tepung Tempe Kedelai
Lokal dan Impor serta Aktivitas Antioksidannya. Dibimbing oleh MADE
ASTAWAN dan DEDDY MUCHTADI.
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sekarang ini meningkat dengan
pesat, akan tetapi kemampuan petani dalam menghasilkan bahan pangan semakin
menurun, termasuk juga produksi kedelai lokal. Badan Pusat Statistik (2013)
mencatat bahwa produksi kedelai pada tahun 2012 hanya sebesar 843.15 ribu ton,
sementara itu kebutuhan secara nasional sebesar 2.3 juta ton. Menyiasati
permasalahan kekurangan ini, pemerintah melakukan proses impor kedelai dari
negara penghasil kedelai lain. Ada banyak produk olahan kedelai, seperti tempe,
tahu, tauco, kecap, susu kedelai, kembang tahu, dan lain sebagainya. Tempe
merupakan produk olahan fermentasi kedelai yang berasal dari Indonesia.
Masalah utama yang dihadapi tempe adalah umur simpannya yang relatif singkat.
Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah membuat

tempe menjadi tepung.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) membandingkan kandungan zat gizi
dan non gizi tepung tempe kedelai lokal (grobogan) dan impor (PRG dan non
PRG), (2) mengevaluasi nilai gizi protein tepung tempe kedelai lokal (grobogan)
dan impor (PRG dan non PRG), dan (3) mengukur aktivitas antioksidan terhadap
radikal DPPH dan kadar malonaldehid (MDA) pada hati tikus. Bahan penelitian
yang digunakan : tepung tempe kedelai lokal grobogan dan impor PRG (Roundup
Ready) dan non PRG. Penelitian ini terdiri dari dua tahap, analisis in vitro dan in
vivo. Analisis in vitro terdiri dari analisis proksimat, asam amino, asam lemak,
serat pangan, isoflavon total, dan vitamin E. Uji biologis dilakukan pada tikus
putih Sprague-Dawley jantan sebanyak 25 ekor sebagai hewan coba, dibagi
menjadi lima kelompok, diberi makan dengan tepung tempe kedelai lokal
grobogan, impor PRG dan non PRG, serta kasein sebagai kontrol. Parameter yang
digunakan pada evaluasi nilai gizi protein adalah nilai protein efficiency ratio
(PER), feed conversion efficiency (FCE), net protein ratio (NPR), true protein
digestibility (TPD), biological value (BV), net protein utilization (NPU), dan
protein digestibility-corrected amino acid score (PDCAAS). Pengukuran aktivitas
antioksidan terdiri dari analisis antioksidan metode DPPH dan pengukuran kadar
MDA di hati tikus.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kandungan zat gizi (proksimat,

asam amino, asam lemak, dan vitamin E) dan non gizi (serat pangan dan isoflavon
total) tepung tempe kedelai lokal grobogan tidak berbeda dengan tepung tempe
kedelai impor PRG dan non PRG. Evaluasi nilai gizi protein menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang nyata pada nilai FCE (rata-rata 20.45%), PER (ratarata 2.04) dan NPR (rata-rata 2.80) dari semua jenis tepung tempe, tetapi nyata
lebih rendah dibandingkan kasien. Nilai TPD tepung tempe kedelai grobogan dan
non PRG tidak berbeda nyata (rata-rata 82.62%), sangat nyata lebih tinggi
dibandingkan tepung tempe kedelai PRG (80.27), dan sangat nyata lebih rendah
dibandingkan kasein (87.33%). Tidak terdapat perbedaan yang nyata nilai BV
(rata-rata 89.59%) dan NPU (rata-rata 74.55%) dari semua sampel. Nilai

PDCAAS tepung tempe kedelai lokal grobogan (61.82) nyata lebih tinggi
dibandingkan tepung tempe kedelai impor PRG (52.1) dan non PRG (56.2), tetapi
nyata lebih rendah dibandingkan kasein (75.1)
Aktivitas penangkapan radikal DPPH (IC50) tepung tempe kedelai lokal
grobogan sebesar 2524.7 ppm, PRG sebesar 3349.3 ppm, dan non PRG sebesar
4049.6 ppm, sedangkan vitamin C sebesar 5.03 ppm. Pembentukan kadar MDA di
hati menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara kelompok
tepung tempe kedelai grobogan (0.290 µg g-1 sampel), PRG (0.268 µg g-1 sampel),
non PRG (0.353 µg g-1 sampel) dan kasein (0.238 µg g-1 sampel) sebagai kontrol.
Kata kunci :


Aktivitas antioksidan, kedelai lokal, kedelai impor, kandungan zat
gizi, tepung tempe

SUMMARY
MURSYID. Nutritional Contents and Protein Nutritional Value of Local and
Imported Soybean Tempe Flours and Their Antioxidant Activities. Supervised by
MADE ASTAWAN and DEDDY MUCHTADI.

The rate of population growth in Indonesia has increased rapidly, but the
ability of farmers to produce foodstuffs has declined, including soybean
production. Central Agency on Statistics (2013) noted that national soybean
production in 2012, only amounted to 843.15 thousand tons, while the national
total requirement was 2.3 million tons. To fulfill this shortage, the government
should import soybean from other countries. There are many kinds of soybean
products, such as tempe, tofu, tauco, soy sauce, soy milk, yuba, etc. Tempe is
Indonesian traditional fermented soybean. The main problem of tempe product is
its short shelf life. An alternative way to solve this problem is making tempe into
flour.
The objectives of this research were (1) to compare the nutritional and nonnutritional contents of local (grobogan) and imported (GMO and non-GMO)

soybean tempe flours, (2) to evaluate the protein nutritional value of local
(grobogan) and imported (GMO and non-GMO) soybean tempe flours, and (3) to
measure antioxidant activities to DPPH radical and malonaldehyde (MDA)
content in rat liver. Experimental material : local grobogan, imported GMO
(Roundup Ready) and non-GMO soybean tempe flours. The research was
conducted in two stages, in vitro and in vivo analysis. In vitro analysis was
consists of proximate, amino acid, fatty acid, dietary fiber, total isoflavones, and
vitamin E analysis. The biological assay was conducted on 25 male albino rats
Sprague-Dawley as an animal model, divided into five groups, fed with imported
GMO and non-GMO soybean tempe flours, local grobogan soybean tempe flours
and casein as control. Parameters that used in the evaluation of protein nutritional
value were protein efficiency ratio (PER), feed conversion efficiency (FCE), net
protein ratio (NPR), true protein digestibility (TPD), biological value (BV), net
protein utilization (NPU) and protein digestibility corrected amino acid score
(PDCAAS) value. The measurement of antioxidant activity consist of DPPH
antioxidant analysis and measure the MDA content in rat liver.
The results showed that the nutritionals (proximate, amino acid, fatty acid,
and vitamin E) and non nutritionals (dietary fiber and total isoflavones) compound
of local grobogan soybean tempe flour were not much different from imported
GMO and non-GMO soybean tempe flours. The evaluations of protein nutritional

value showed that there were no significantly different of FCE (average 20.45%),
PER (average 2.04) and NPR (average 2.80) values from all of tempe flours but
lower than casein. TPD value of grobogan soybean tempe flour and non-GMO
were not statistically different (average 82.62%), significantly higher than GMO
soybean tempe flour (80.27%), but lower than casein (87.33%). There were no
significantly different of BV (average 89.59%) and NPU (average 74.55%)
values from all of samples. The PDCAAS value from local grobogan soybean

tempe flour (61.82) was higher than imported GMO (52.1) and non-GMO (56.2)
soybean tempe flours, but lower than casein (75.1).
The scavenging activity (IC50) for DPPH radical of local grobogan soybean
tempe flour was 2524.7 ppm, imported GMO was 3349.3 ppm, imported non
GMO was 4049.6 ppm, while vitamin C was 5.03 ppm. MDA forming in liver
showed that there was not difference (p>0.05) between grobogan (0.290 µg/g
sampel), GMO (0.268 µg/g sampel), non-GMO (0.353 µg/g sampel) soybean
tempe flours and casein (0.238 µg/g sampel) as control.
Keyword :

Antioxidant activity, local soybean, imported soybean, nutritional
value, tempe flour.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KANDUNGAN ZAT GIZI DAN NILAI GIZI PROTEIN
TEPUNG TEMPE KEDELAI LOKAL DAN IMPOR
SERTA AKTIVITAS ANTIOKSIDANNYA

MURSYID

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof (R) Dr Ir Sri Widowati, M.APP.Sc

Judul Tesis

:

Nama
NIM

:
:


Kandungan Zat Gizi dan Nilai Gizi Protein Tepung Tempe
Kedelai Lokal dan Impor serta Aktivitas Antioksidannya.
Mursyid
F251110361

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Deddy Muchtadi, MS
Anggota

Prof Dr Ir Made Astawan, MS
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 29 Januari 2014

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis diberi
kemudahan dalam menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang telah dilaksanakan dari bulan April 2013 sampai November 2013 ini ialah
tempe, dengan judul Kandungan Zat Gizi dan Nilai Gizi Protein Tepung Tempe
Kedelai Lokal dan Impor serta Aktivitas Antioksidannya.
Selama penelitian, penulisan tesis, dan masa studi, penulis banyak dibantu
oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada :
1.

Bapak Prof Dr Ir Made Astawan,MS dan Bapak Prof Dr Ir Deddy Muchtadi,
MS selaku dosen pembimbing yang telah memberi banyak saran, arahan,
bimbingan, evaluasi, perhatian, dan motivasi selama perkulihan, penelitian,
hingga penyusunan tesis.
2.
Ibu Prof (R) Dr Ir Sri Widowati, M.APP.Sc dan Ibu Dr Ir Endang
Prangdimurti, MSi selaku dosen penguji pada sidang akhir tesis atas
kesediannya menjadi dosen penguji dan evaluasi serta saran yang diberikan
kepada penulis.
3.
Pemberi dana penelitian yaitu Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Kantor Pusat Jakarta melalui Kerjasama Kemitraan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N) dengan surat perjanjian
pelaksanaan kegiatan No : 709/LB.620/I.I/2/2013 tanggal 25 Februari 2013
an.Made Astawan.
4.
Pemberi dana pendidikan yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES)
Baiturrahim Jambi yang telah membantu membiayai pendidikan melalui
Beasiswa Pendidikan.
5.
KOPTI Kabupaten Bogor dan Rumah Tempe Indonesia, Pak Heri, Pak
Yanto, Mas Abdi, Pak Rikamto, dan Bu Lis, yang telah mengizinkan dan
membantu produksi tempe di Rumah Tempe Indonesia selama penelitian
berlangsung.
6.
Keluarga tercinta, Bapak Zulyadaini, Ibu Rusnah, dan Kedua Abangku,
Muhammad Hidayat dan Ahmad Syafiq atas doa, motivasi, dan kasih
sayang yang diberikan hingga kini.
7.
Semua laboran di laboratorium SEAFAST dan ITP, atas bantuan dan
kerjasamanya selama penelitian.
8.
Segenap rekan-rekan Ilmu Pangan angkatan 2011 dan semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu, atas dukungan, doa dan kerjasamanya
yan diberikan kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan,
khusunya di bidang ilmu dan teknologi pangan. Terima kasih.
Bogor, Januari 2014
Mursyid

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan dan Pendekatan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis

xiii
xiii
xiv
1
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai
Tempe
Radikal Bebas dan Spesies Oksigen Reaktif
Isoflavon
Vitamin E
Teknik Evaluasi Nilai Biologis Protein

3
6
9
9
10
11

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Tahap Uji In Vitro
Proses Pembuatan Tempe
Proses Pembuatan Tepung Tempe
Analisis Proksimat
Analisis Komposisi Asam Amino
Analisis Asam Lemak
Analisis Serat Pangan
Analisis Vitamin E
Analisis Isoflavon
Analisis Aktivitas Antioksidan metode DPPH
Tahap Uji In Vivo
Perancangan Ransum
Tikus Percobaan
Masa Adaptasi
Seleksi dan Pengelompokan Tikus
Masa Pemeliharaan
Analisis Nitrogen Feses danUrin
Pengukuran Nilai Gizi Protein
Pengukuran Kadar MDA Hati
Rancangan Penelitian dan Analisis Data

12
12
12
13
13
13
13
15
16
17
18
19
20
20
20
21
21
21
22
22
23
23
24

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Gizi dan Non Gizi Tepung Tempe
Komposisi Proksimat
Komposisi Asam Amino
Komposisi Asam Lemak
Kadar Serat Pangan
Kadar Vitamin E
Kadar Isoflavon Total
Evaluasi Nilai Gizi Protein Tepung Tempe Secara In Vivo
Konsumsi Ransum Total dan Kenaikan Berat Badan
Nilai Gizi Protein Berdasarkan Metode Pertumbuhan
Nilai Gizi Protein Berdasarkan Metode Keseimbangan Nitrogen
Aktivitas Antioksidan Secara In Vitro dan In Vivo
5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

25
25
26
28
29
30
31
32
33
35
36
38
41
41
42
47
59

DAFTAR TABEL
1
2
3
4.
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Komposisi kimia kedelai (per 100 g)
Komposisi kimia tempe (per 100 g)
Jumlah asam amino bebas (mg/100 g) pada proses fermentasi
kedelai menggunakan R.oligosporus
Rancangan komposisi ransum percobaan
Pengelompokan dan perlakuan tikus percobaan
Analisis proksimat kasein dan tepung tempe dari tiga jenis
varietas kedelai (bk)
Komposisi asam amino esensial tiga jenis tepung tempe
Skor kimia tiga jenis tepung tempe
Komposisi asam amino non-esensial tiga jenis tepung tempe
Komposisi asam lemak tiga jenis tepung tempe
(% lemak dalam sampel)
Komposisi ransum masing-masing perlakuan
Konsumsi ransum total dan kenaikan berat badan berdasarkan
kelompok perlakuan
Perbandingan nilai FCE, PER, dan NPR tepung tempe dan
kasein
Perbandingan nilai TPD, BV, NPU, dan PDCAAS tepung tempe
dan kasein
Aktivitas antioksidan tiga jenis tepung tempe dan vitamin C

4
7
8
21
22
25
26
27
27
28
33
34
35
37
39

DAFTAR GAMBAR
1

2

3

4
5
6
7

Perbandingan kandungan serat pangan tepung tempe kedelai
grobogan (TT-GR), tepung tempe kedelai PRG (TT-PRG), dan
tepung tempe kedelai non PRG (TT-NPRG)
Perbandingan kandungan vitamin E tepung tempe kedelai
grobogan (TT-GR), tepung tempe kedelai PRG (TT-PRG), dan
tepung tempe kedelai non PRG (TT-NPRG)
Perbandingan kandungan isoflavon total tepung tempe kedelai
grobogan (TT-GR), tepung tempe kedelai PRG (TT-PRG), dan
tepung tempe kedelai non PRG (TT-NPRG)
Kandang metabolik
Perubahan berat badan tikus percobaan selama 28 hari perlakuan
Struktur DPPH dan DPPH-H (Molyneux 2004)
Hasil pengukuran kadar MDA hati kelompok kasein (KAS),
tepung tempe kedelai grobogan (TT-GR), tepung tempe kedelai
PRG (TT-PRG), dan tepung tempe kedelai non PRG (TTNPRG)

29

30

31
33
34
39

40

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

6

7
8
9
10
11

Rekapitulasi data hasil analisis proksimat sampel (% berat kering)
Hasil analisis sidik ragam proksimat menggunakan SPSS versi
16.0.
Hasil analisis sidik ragam total konsumsi tikus percobaan selama
28 hari perlakuan menggunakan SPSS versi 16.0.
Hasil analisis sidik ragam kenaikan berat badan tikus percobaan
selama 28 hari perlakuan menggunakan SPSS versi 16.0.
Rekapitulasi data hasil analisis kenaikan berat badan, total
konsumsi, FCE, PER dan NPR kelompok ransum kasein, tepung
tempe kedelai PRG, non PRG, dan grobogan.
Rekapitulasi data hasil analisis TPD, BV, NPU dan PDCAAS
kelompok ransum kasein, tepung tempe kedelai PRG, non PRG,
dan grobogan.
Hasil analisis sidik ragam FCE, PER, NPR, TPD, BV dan NPU
menggunakan SPSS versi 16.0.
Hasil analisis sidik ragam nilai PDCAAS menggunakan SPSS
versi 16.0.
Rekapitulasi pengukuran aktivitas antioksidan metode DPPH
Rekapitulasi hasil pengukuran kadar MDA hati
Hasil analisis sidik ragam pengukuran kadar MDA hati
menggunakan SPSS versi 16.0.

47
47
48
49

50

51
52
53
54
56
54

1

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tanaman kedelai merupakan tanaman asli dari Asia Timur dan telah
dibudidayakan di Cina sejak 5000 tahun yang lalu. Pada awalnya kedelai ditanam
untuk memberikan hara nitrogen pada tanah, sebagai rotasi tanaman. Di
Indonesia, kedelai merupakan salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan
jagung. Kedelai merupakan bahan pangan sumber protein nabati utama bagi
masyarakat (Muchtadi 2010a).
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sekarang ini meningkat dengan
pesat sehingga kebutuhan akan bahan pangan meningkat pula. Akan tetapi,
kemampuan petani dalam menghasilkan bahan pangan semakin lama semakin
menurun, termasuk juga produksi kedelai lokal. Menurut Badan Pusat Statistik
(2013), produksi kedelai di Indonesia semakin menurun dari tahun ke tahun.
Produksi kedelai nasional pada tahun 2010 sebesar 907.03 ribu ton mengalami
penurunan menjadi 843.15 ribu ton biji kering pada tahun 2012. Kebutuhan akan
kedelai secara nasional selama lima tahun ini (tahun 2010-2014) sebesar 2.3 juta
ton biji kering (Kementerian Pertanian 2013). Menyiasati permasalah tersebut,
pengrajin olahan kedelai banyak yang menggantungkan usahanya dari bahan
impor, sehingga minat akan bahan lokal lama-kelamaan menjadi menurun.
Permasalahan tingginya angka pertumbuhan penduduk tidak hanya dialami
oleh Indonesia, laju pertumbuhan penduduk di dunia pun sekarang ini meningkat
cukup tajam. Berbagai langkah ditempuh oleh negara-negara di dunia dalam
mencukupi kebutuhan pangan akibat lonjakan populasi tersebut, salah satunya
adalah dengan rekayasa genetik di bidang pertanian yang menghasilkan produk
tanaman transgenik atau genetically modified organism (GMO). Tanaman
transgenik adalah tanaman hasil rekayasa genetika dimana gen asing dimasukkan
ke dalam suatu organisme dengan memanfaatkan teknik DNA rekombinan
(rDNA).
Tujuan dari penyisipan gen asing dari spesies yang berbeda ini agar
mendapatkan tanaman dengan sifat-sifat yang diinginkan, seperti membuat
tanaman menjadi tahan terhadap suhu tinggi, suhu rendah, kekeringan, kebal
terhadap organisme pengganggu tanaman, serta mengharapkan kualitas dan
kuantitas yang lebih tinggi dari tanaman alaminya. Celec et al. (2005) menyatakan
bahwa sekarang ini teknologi transgenik telah diaplikasikan pada berbagai bidang
kehidupan seperti kedokteran, pertanian, serta pangan.
Terdapat banyak jenis tanaman pangan produk rekayasa genetika (PRG)
yang tersebar di dunia sekarang ini, salah satunya adalah tanaman kedelai. Jenis
kedelai transgenik saat ini yang paling banyak ditanam dan dipasarkan adalah
jenis kedelai Roundup Ready (RR). Jenis kedelai ini banyak ditanam karena
kemampuan toleran terhadap herbisida Roundup (Hagedorn 2000). Herbisida
Roundup mengandung gliposat yang bekerja dengan cara menghambat biosintesis
asam amino aromatik (fenilalanin, triptofan, dan tirosin) yang penting bagi
pertumbuhan tanaman, sehingga menyebabkan gangguan pada beberapa sistem
metabolik termasuk juga penghambatan biosintesis protein dan biosintesis produk
sekunder sehingga menyebabkan tanaman tersebut mati (Nandula et al. 2005).

2

Akibat dari berhasilnya teknik rekayasa genetika tersebut menyebabkan
produksi kedelai dunia melimpah dan harga yang ditawarkan juga cukup murah
dibandingkan kedelai non transgenik dan kedelai lokal, sehingga pemerintah
Indonesia tertarik untuk membeli kedelai tersebut guna memenuhi kebutuhan
kedelai nasional. Secara tidak langsung, akibat melimpah dan mudah didapatnya
kedelai impor tersebut, pengrajin olahan kedelai lebih menyukai jenis kedelai
impor daripada jenis kedelai lokal.
Di Indonesia sendiri, kedelai telah dikenal sebagai bahan pangan yang biasa
diolah menjadi tempe, tahu, tauco, kecap, kembang tahu dan susu kedelai. Dari
berbagai jenis olahan kedelai tersebut, tempe merupakan jenis olahan kedelai asli
dari Indonesia. Kandungan zat gizi yang terdapat pada tempe yang lebih baik
dibandingkan kedelai mentah membuat tempe sekarang semakin banyak disukai
oleh konsumen.
Muchtadi (2010a) menjelaskan bahwa proses fermentasi dalam pembuatan
tempe dapat mempertahankan sebagian besar zat-zat gizi yang terkandung dalam
kedelai, meningkatkan daya cerna proteinnya, serta meningkatkan kadar beberapa
macam vitamin B. Penelitian mengenai nilai gizinya menunjukkan bahwa tempe
dapat digunakan sebagai sumber protein yang murah untuk bahan pangan anakanak di negara berkembang. Hal yang senada diutarakan oleh Astawan (2008),
dari berbagai produk olahan kedelai, tempe merupakan produk olahan kedelai
yang sangat terkenal di Indonesia. Kapang yang tumbuh pada tempe mampu
menghasilkan beberapa enzim seperti enzim protease untuk mengurai protein
menjadi peptida yang lebih pendek dan asam amino bebas, enzim lipase untuk
mengurai lemak menjadi asam-asam lemak, dan enzim amilase untuk mengurai
karbohidrat kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Oleh karena itu
tempe sangat baik untuk dikonsumsi oleh berbagai umur (dari bayi hingga lanjut
usia).
Selain kandungan gizi, tempe juga sering mendapat perhatian khusus bagi
para peneliti yang disebabkan aktivitas antioksidan senyawa isoflavon yang
ditemukan pada tempe. Telah diketahui bahwa isoflavon tersebut dapat berperan
sebagai antioksidan dalam tubuh sehingga dapat mencegah kerusakan oleh radikal
bebas dan juga pembentukan senyawa spesies oksigen reaktif (Reactive Oxygen
Species, ROS) secara berlebihan.
Pengukuran radikal bebas secara langsung sulit dilakukan, hal ini
disebabkan radikal bebas tidak menetap lama, mempunyai waktu paruh yang
pendek dan menghilang dalam hitungan detik. Berbagai substansi biologis
dikembangkan sebagai penanda biologis (biomarker) stres oksidatif. Lipid
merupakan biomolekuler yang paling rentan terhadap serangan ROS dan akibat
proses lipoperoksidasi akan dihasilkan pembentukan malonaldehida (MDA).
Masalah utama pada produk tempe adalah umur simpannya yang rendah
akibat kadar airnya yang cukup tinggi (55-65%), serta adanya kapang yang terus
tumbuh dan berkembang biak menyebabkan degradasi protein lebih lanjut
membentuk amoniak. Amoniak yang terbentuk menyebabkan munculnya aroma
busuk (Astawan, 2008; Bastian, et al., 2013). Oleh karena itu, pembuatan tepung
merupakan alternatif pengolahan untuk memperpanjang masa simpan dan daya
guna tempe. Adanya berbagai jenis kedelai yang digunakan pengrajin tempe di
Indonesia juga merupakan hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut, baik
terhadap kandungan gizi maupun terhadap kandungan antioksidannya.

3

Perumusan dan Pendekatan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, terlihat bahwa ada
berbagai jenis kedelai yang digunakan dalam pembuatan tempe di Indonesia.
Akan tetapi, data tentang keseragaman kandungan gizi dari berbagai tepung tempe
sampai sekarang masih belum ada. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang analisis kandungan zat gizi dan non gizi, nilai gizi
protein tepung tempe dari kedelai lokal (grobogan) dan impor (PRG dan non
PRG), serta aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh tepung tempe tersebut
terhadap radikal DPPH dan pengukuran kadar malonaldehida (MDA) hati tikus
percobaan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kesepadanan tepung tempe
kedelai lokal (grobogan) dan impor (PRG dan non PRG). Tujuan khusus dari
penelitian ini adalah :
a.
Membandingkan kandungan zat gizi dan non gizi tepung tempe kedelai
lokal (grobogan) dan impor (PRG dan non PRG).
b.
Mengukur nilai gizi protein tepung tempe kedelai lokal (grobogan) dan
impor (PRG dan non PRG).
c.
Mengukur aktivitas antioksidan tepung tempe terhadap radikal DPPH dan
pengukuran kadar MDA hati tikus percobaan.
Hipotesis
a.
b.

Hipotesis yang diajukan adalah :
Tepung tempe kedelai lokal (grobogan) dan impor (PRG dan non PRG)
memiliki kesamaan dalam hal kandungan zat gizi dan non gizi, maupun
nilai gizi protein.
Ketiga jenis tepung tempe memiliki aktivitas antioksidan yang sepadan,
ditinjau dari aktivitas antioksidan metode DPPH maupun pengukuran kadar
MDA hati.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai

Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak.
Kedelai berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia, kedelai mulai
dibudidayakan pada abad ke-17 sebagai tanaman pangan dan pupuk hijau
(Menegristek 2000). Tanaman kedelai termasuk phylum Magnoliophyta, kelas
Magnoliopsida, ordo Fabales, famili Fabaceae, subfamili Faboideae, genus
Glycine dan spesies G. max.
Di Indonesia, beberapa sebutan lokal untuk kedelai adalah : kacang bulu,
gadela, kacang jepung, atau kedele. Kedelai dibedakan atas dasar umur panen dan

4

warna biji. Berdasarkan umur panen, kedelai dibedakan atas tiga jenis golongan,
yaitu kedelai genjah (umur 78-85 hari), kedelai tengahan (umur 85-95 hari), serta
kedelai dalam (umur lebih dari 95 hari). Berdasarkan warna kulit biji, kedelai
dibedakan atas kedelai kuning, hitam dan hijau. Secara kimia, umumnya tidak ada
perbedaan di antara ke tiga jenis kedelai tersebut (Astawan 2008).
Komposisi kimia kedelai bervariasi tergatung pada varietas dan kondisi
pertumbuhannya. Muchtadi (2010a) menjelaskan bahwa melalui pemuliaan
tanaman, sangat mungkin akan diperoleh biji kedelai dengan kadar protein sekitar
40-45 % dan kadar lemak sekitar 18-20 %. Umumnya untuk setiap 1 % kenaikan
kadar protein, akan diikuti dengan penurunan sekitar 0.5 % kadar lemak. Tabel 1
menunjukkan komposisi kimia kedelai dalam 100 gram bahan.
Komponen
Energi, Kkal
Air, g
Protein, g
Lemak, g

Tabel 1 Komposisi kimia kedelai (per 100 g)

Jumlah
446
8.54
36.49
19.94

Mineral
Kalsium, mg
Besi, mg
Magnesium, mg
Fosfor, mg

Jumlah
277
15.70
280
704

Vitamin
Vitamin C, mg
Tiamin, mg
Riboflavin, mg
Niasin, mg
Asam
pantotenat, mg
Vitamin
B6,mg

Jumlah
6
0.87
0.87
1.62

Abu, g

4.87

Kalium, mg

1797

Serat, g

9.3

Natrium, mg

2

2.88

Seng, mg

4.89

Total folat,

0

4.40

Tembaga, mg

1.65

Vitamin
B12,µg

0

11.25

Mangan, mg

2.51

Vitamin A,IU

1

Asam lemak
jenuh, g
Asam lemak
tidak jenuh
tunggal, g
Asam lemak
tidak jenuh
jamak, g

0.79
0.37

Sumber : USDA Nutrient Database for Standard Reference.
Muchtadi (2010a) menyatakan bahwa kedelai merupakan salah satu
komoditi pangan utama setelah padi dan jagung. Kedelai merupakan bahan
pangan sumber protein nabati utama bagi masyarakat. Sejalan dengan
bertambahnya jumlah penduduk, maka permintaan akan kedelai juga semakin
meningkat. Menurut Badan Pusat Statistik (2013), produksi kedelai pada tahun
2012 sebesar 843.15 ribu ton biji kering atau mengalami penurunan sebesar 8.13
ribu ton (0.96 persen) dibandingkan tahun 2011 yaitu sebesar 851.29 ribu ton biji
kering. Kebutuhan akan kedelai secara nasional selama lima tahun ini (tahun
2010-2014) sebesar 2.3 juta ton biji kering (Kementerian Pertanian 2013).
Masalah kekurangan bahan pangan tidak hanya dialami oleh Indonesia,
akan tetapi juga merupakan masalah bagi seluruh negara di dunia. Hal ini
disebabkan laju pertumbuhan manusia di dunia meningkat dengan tajam. Akan
tetapi, kemampuan petani dalam menghasilkan bahan pangan semakin lama
semakin menurun. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan pangan
tersebut adalah dengan menerapkan bioteknologi pertanian (Karmana 2009).
Teknik bioteknologi pertanian yang sedang berkembang saat ini adalah
teknologi rekayasa genetik atau dikenal dengan istilah Genetically Modified
Organism (GMO). Menurut WHO, Genetically Modified Organism (GMO)

5

adalah organisme dimana materi genetiknya (DNA) telah mengalami perubahan
yang tidak terjadi secara alami. Celec et al. (2005) menyatakan bahwa jenis
organisme yang bisa dimodifikasi genetiknya dapat berupa mikroorganisme,
tanaman, maupun hewan. Isu tentang transgenik dewasa ini sedang menarik
perhatian banyak pihak di dunia, dimana transgenik diyakini dapat memecahkan
masalah gizi. Halford dan Shewry, (2000) menyatakan modifikasi tanaman
bertujuan untuk membuat tanaman tahan terhadap hama atau pestisida sehingga
mengurangi kerugian panen.
Klasifikasi pangan transgenik menurut Celec et al. (2005) dibagi menjadi
dua generasi, yaitu pertama berorientasi pada produser (Producer Oriented) yang
menawarkan keuntungan bagi petani seperti dapat menurunkan penggunaan bahan
kimia sehingga dapat menurunkan biaya produksi. Selain bermanfaat bagi
tanaman, hasil dari tanaman transgenik ini juga bermanfaat bagi lingkungan
karena dipercaya dapat mengurangi penggunaan pestisida. Generasi kedua, dibuat
berorietasi pada konsumen (Consumer Oriented). Generasi kedua lebih bertujuan
agar bahan pangan transgenik dapat bermanfaat bagi konsumen, seperti dapat
meningkatkan kadar protein, memodifikasi lemak menjadi lebih sehat, modifikasi
karbohidrat, meningkatkan karakteristik flavor, dan meningkatkan kadar fitokimia
yang diinginkan.
Azeez dan Nunan (2008) menjelaskan bahwa teknik modifikasi genetik
biasanya dilakukan dengan cara memasukkan DNA asing ke dalam DNA
tanaman, baik dengan cara proses infeksi bakteri atau dengan cara pengikatan
dengan DNA asing. Teknik penyisipan DNA buatan ini dapat menggangu
mekanisme biologis alami tanaman tersebut. Gen yang biasanya dimasukkan dari
organisme lain seperti bakteri atau produk sintetik, akan menghasilkan protein
jenis baru bagi manusia atau hewan. Produksi protein baru tersebut dapat juga
menyebabkan jalur biokimia baru pada tanaman itu sendiri.
Proses modifikasi genetik pada kedelai yaitu dengan memasukkan gen
Agrobacterium sp strain CP4 ke dalam kedelai yang berikatan dengan 5-enol
pyruvylshikimate-3-phosphate synthase (EPSPS) membentuk gen CP4-EPSPS
(Chang et al. 2002 dan Wu et al. 2012). Enzim EPSPS merupakan enzim yang
terdapat pada tanaman, alga, bakteri, dan fungi yang berfungsi mensintesis asam
amino aromatik (Schonbrunn et al. 2001). Nandula et al. (2005) menyatakan
bahwa asam amino aromatik merupakan jenis asam amino yang penting untuk
pertumbuhan tanaman.
Gliposat merupakan jenis bahan aktif yang terdapat pada herbisida roundup
(Schonbrunn et al. 2001). Kemampuan gliposat dalam menghambat sintesis enzim
EPSPS sehingga proses pembentukan asam amino aromatik menjadi terhambat
telah dimanfaatkan pada proses modifikasi genetik. Nandula et al. (2005)
menyatakan bahwa ketika metabolisme asam amino aromatik dihambat, akan
menyebabkan gangguan pada beberapa sistem metabolik termasuk juga
penghambatan biosintesis protein dan biosintesis produk sekunder sehingga
menyebabkan tanaman tersebut mati. Modifikasi genetik pada kedelai membentuk
CP4-EPSPS menyebabkan kedelai menjadi resisten terhadap gliposat sehingga
ketika terpapar oleh herbisida roundup, tanaman kedelai tersebut tetap mampu
menghasilkan asam amino aromatik yang penting untuk pertumbuhan tanaman
kedelai, sedangkan gulma yang berada disekitar tanaman kedelai tersebut akan
mati.

6

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Padgette et al. (1996)
yang melakukan penelitian tentang uji kesepadanan kandungan gizi kedelai
transgenik dengan kedelai non transgenik memperlihatkan bahwa secara umum
kandungan gizi yang terkandung dalam kedelai transgenik tersebut tidak berbeda
secara signifikan dibandingkan kedelai non transgenik. Kedelai transgenik yang
digunakan adalah kedelai transgenik lines 40-3-2 dan lines 61-67-1. Kedelai
transgenik lines 61-67-1 mendapat tambahan gen pengkodean dari protein βglucuroni-dase yang berasal dari Escherichia coli, sedangkan kedelai transgenik
lines 40-4-2 tidak mendapat tambahan gen pengkodean tersebut. Hasil penelitian
tersebut memperlihatkan bahwa berdasarkan hasil analisis proksimat diketahui
bahwa terdapat perbedaan yang nyata dari kedelai yang ditanam secara tradisional
dibandingkan kedelai transgenik. Kedelai transgenik lines 40-3-2 mengandung
kadar abu 5.24 g/100 g, sedangkan kontrol 5.04 g/100 g, kadar lemak 16.28 g/100
g, sedangkan kontrol yaitu 15.52 g/100g dan karbohidrat 37.1 g/100 g, sedangkan
kontrol 38.1 g/100g. Analisis proksimat pada kedelai transgenik lines 61-67-1
menunjukkan perbedaan secara nyata hanyalah pada kadar abu yaitu 5.17 g/100 g,
sedangkan kontrol 5.04 g /100g.
Hasil pengukuran kadar asam amino dari kedua sampel tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dibandingkan kontrol.
Hasil pengukuran kadar asam lemak pada kedua jenis kedelai tersebut
menunjukkan bahwa kadar asam lemak kedelai transgenik lines 40-3-2 yaitu asam
lemak 22:0 (0.53 %) berbeda nyata dibandingkan kontrol (0.50%). Hasil
pengukuran kandungan tripsin inhibitor, aktivitas urease, dan kadar isoflavon
memperlihatkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kedelai transgenik
tersebut dibandingkan kedelai non transgenik. Dari hasil penelitian tersebut
disimpulkan bahwa kandungan gizi kedelai transgenik memiliki kesepadanan
dibandingkan kedelai non transgenik.
Tempe
Di Indonesia, kedelai biasanya diolah menjadi tempe, tauco, tahu, kecap,
kembang tahu, dan susu kedelai. Dari semua jenis pangan olahan tersebut, tempe
merupakan jenis pangan fermentasi kedelai yang berasal dari Indonesia. Secara
umum, tempe diartikan sebagai bahan pangan yang dihasilkan melalui proses
fermentasi kedelai rebus, dalam waktu tertentu menggunakan kapang (jamur)
Rhizopus sp. Pada proses pertumbuhannya, kapang tersebut menghasilkan
beberapa enzim yang mampu menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi
senyawa yang lebih sederhana, sehingga lebih mudah dicerna dan diserap tubuh.
Proses hidrolisis tersebut juga menghasilkan senyawa-senyawa tertentu, penimbul
cita rasa tempe yang sangat enak (Astawan 2008).
Selama proses fermentasi, kapang akan tumbuh membentuk miselium
berwarna putih yang menutupi permukaan kedelai. Miselium tersebut
menghubungkan antar biji kedelai, membentuk massa yang padat, kompak, dan
bertekstur lembut. Kondisi lingkungan Indonesia dengan suhu rata-rata 30oC dan
kelembaban relatif sekitar 75 persen sepanjang tahun, memungkinkan untuk
pembuatan tempe setiap saat tanpa membutuhkan ruang dan peralatan khusus
(Astawan 2008).

7

Telah diketahui bahwa nilai gizi protein kedelai mentah sangat rendah yang
disebabkan adanya antitripsin, antikimotripsin dan hemaglutinin. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kedelai yang diolah dengan cara fermentasi menjadi lebih
tinggi nilai gizinya karena daya cerna protein dan ketersediaan dari semua zat gizi
dalam kedelai menjadi lebih baik. Selama proses fermentasi, sebagian dari
karbohidrat dan protein dipecah menjadi fragmen-fragmen yang lebih mudah
dicerna dan diserap oleh usus, sedangkan faktor antitripsin aktivitasnya menjadi
hilang (Muchtadi 2010a). Tabel 2 menunjukkan komposisi kimia tempe dalam
100 gram bahan.
Komponen
Energi, Kkal
Air, g

Tabel 2 Komposisi kimia tempe (per 100 g)

Protein, g

18.54

Lemak, g

10.80

Mineral
Kalsium, mg
Besi, mg
Magnesium,
mg
Fosfor, mg

Abu, g

1.62

Kalium, mg

412

9.39

Natrium, mg

9

2.22

Seng, mg

1.14

Total folat,

3.00

Tembaga, mg

0.56

Vitamin
B12,µg

3.82

Mangan,mg

1.3

Vitamin A,IU

Karbohhidrat,
g
Asam lemak
jenuh, g
Asam lemak
tidak jenuh
tunggal, g
Asam lemak
tidak jenuh
jamak, g

Jumlah
193
59.65

Jumlah
111
2.70
81
266

Vitamin
Vitamin C, mg
Tiamin, mg
Riboflavin,
mg
Niasin, mg
Asam
pantotenat, mg
Vitamin
B6,mg

Jumlah
0
0.07
0.35
2.64
0.27
0.21
24
0.08
0

Sumber : USDA Nutrient Database for Standard Reference.
Nout dan Kiers (2005) juga menjelaskan bahwa keberadaan asam lemak
dalam gliserida menurun selama proses fermentasi. Produksi asam lemak bebas
terjadi dari awal proses fermentasi. Jika produksi gliserol bebas hanya sedikit, ini
mengindikasikan bahwa trigliserida telah terhidrolisis secara parsial menjadi
gliserida. Selain itu pula, selama proses fermentasi, jumlah kandungan vitamin E
tetap konstan, namun kandungan tokoferol bebas mengalami penurunan.
Kandungan vitamin K pada kedelai tidak mengalami perubahan selama proses
fermentasi tempe oleh Rhizopus sp.
Handoyo dan Morita (2006) menjelaskan bahwa lamanya waktu fermentasi
akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar asam amino bebas yang terdapat
pada tempe. Peningkatan kadar asam amino bebas tersebut disebabkan aktivitas
kapang yang terus menghidrolisis protein hingga membentuk asam amino dan
peptida-peptida kecil. Tabel 3 menunjukkan pengaruh lamanya proses fermentasi
terhadap kadar asam amino yang terdapat pada tempe dalam 100 gram bahan.

8

Tabel 3

Jumlah asam amino bebas (mg/100 g) pada proses fermentasi kedelai
menggunakan R.oligosporus
Waktu Fermentasi (Jam)
Asam amino
0
24
48
72
Isoleusin
4.6
5.2
9.5
55
Leusin
4.2
6.6
10.1
81.7
Lisin
5.1
52.6
3.3
194.9
Metionin
2.1
0.7
1.3
6.3
Fenilalanin
1.4
5.6
6.2
63.4
Treonin
0.2
0.2
0.4
0.1
Valin
3.8
2.8
6.1
59.7
Arginin
26.7
32.4
7.6
21.5
Glisin
2.7
5.2
21.4
61.3
Histidin
1.7
26.4
2.0
50.6
Tirosin
1.3
13.1
4.6
38.1
Alanin
11.2
104.2
229.7
229.8
Asparagin
1.5
22.5
20.1
54.6
Aspartat
3.6
5.4
17.1
28.9
Sistein
0.9
4.5
6.4
15
Glutamat
42.1
16.7
140
147
Prolin
1.0
6.8
20.7
63
Serin
0.1
1.5
3.6
11.2
Ornitin
1.4
5.1
0.0
8.9
Handoyo dan Morita (2006)
Menurut Cahyadi (2007), kandungan vitamin pada tempe khususnya
vitamin B komplek seperti riboflavin, niasin, biotin, asam pantotenat, dan vitamin
B6 meningkat jumlahnya selama fermentasi, kecuali vitamin B1 karena digunakan
oleh kapang tempe sebagai sumber nutrisi pertumbuhan. Kandungan vitamin B12
di dalam tempe berkisar antara 1.5-6.3 mikrogram per 100 gram tempe kering
yang dapat mencukupi kebutuhan harian seseorang. Dibandingkan kedelai
mentah, nilai gizi tempe lebih baik karena pada kedelai mentah, nilai gizi tempe
lebih baik karena pada kedelai mentah terdapat zat-zat antinutrisi seperti
antitripsin dan oligosakarida penyebab kelebihan gas dalam lambung (flatulensi).
Fermentasi kapang menghilangkan kedua senyawa tersebut dan meningkatkan
daya cerna kedelai. Di samping itu, terjadi pula perbaikan tekstur dan flavor
sehingga menjadi lebih disukai.
Selain meningkatkan nilai gizi, proses fermentasi kedelai menjadi tempe
juga mengubah aroma kedelai yang berbau langu menjadi beraroma khas tempe.
Tempe segar memiliki aroma lembut seperti jamur. Aroma ini berasal dari aroma
miselium kapang yang bercampur dengan aroma lezat dari asam amino bebas,
serta aroma yang timbul akibat penguraian lemak. Semakin lama proses
fermentasinya, maka aroma lembut akan berubah jadi tajam karena terjadi
pelepasan amoniak (Astawan 2008). Hal senada juga diutarakan oleh Nout dan
Kiers (2005) yang menyatakan bahwa manfaat utama dari proses fermentasi
kedelai adalah meningkatnya kualitas organoleptik dan kandungan gizi
dibandingkan bahan mentah.

9

Radikal Bebas dan Spesies Oksigen Reaktif
Radikal bebas didefinisikan sebagai suatu molekul, atom atau beberapa grup
atom yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital
terluarnya. Molekul atau atom tersebut sangat labil dan mudah membentuk
senyawa baru. Radikal bebas yang terdapat dalam tubuh dapat berasal dari dalam
(endogen) atau dari luar tubuh (eksogen). Secara endogen, radikal bebas terbentuk
sebagai respon normal dari rantai peristiwa biokimia dalam tubuh (Muchtadi
2013).
Zadak et al. (2009) menyatakan bahwa target utama serangan radikal di
dalam tubuh dapat berupa lipid, protein, karbohidrat, dan DNA sehingga dapat
menyebabkan gangguan pada berbagai bagian tubuh. Selain radikal bebas, dikenal
juga dengan istilah spesies oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species, ROS).
Muchtadi (2013) menyatakan bahwa ROS adalah sebutan bagi bermacam-macam
molekul dan radikal bebas yang berasal dari molekul oksigen. Lee et al. (2004)
menyatakan bahwa baik radikal bebas maupun senyawa ROS di dalam tubuh
dapat menyebabkan oksidasi lipid, oksidasi protein, DNA strand break,
modifikasi basa DNA, dan modulasi ekspresi genetik.
Devasagayam et al. (2004) menjelaskan bahwa aktivitas antioksidan dalam
menetralkan radikal bebas dalam tubuh dapat berupa pencegahan terbentuknya
ROS, penangkapan radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh, serta perbaikan
akibat kerusakan tersebut. Mekanisme pencegahan ini melibatkan enzim
superoksida dismutase (SOD) yang dapat mengkatalisis dismutasi (proses oksidasi
sekaligus reduksi) superoksida menjadi H2O2 serta dapat mengkatalisis dan juga
dapat melarutkannya ke dalam air sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh.
Siswonoto (2008) dan Asni et al. (2009) menyatakan bahwa pengukuran
radikal bebas secara langsung sangat sulit dilakukan, oleh karena radikal bebas
tidak menetap lama, mempunyai waktu paruh yang pendek dan menghilang dalam
hitungan detik. Berbagai substansi biologis dikembangkan sebagai penanda
biologis (biomarker) stres oksidatif. Substansi yang sudah dikenal dan banyak
dipakai sebagai penanda biologis peroksidasi lipid dan stres oksidatif adalah
malonaldehid (MDA).
Malonaldehid (MDA) merupakan salah satu produk akhir peroksidasi lipid
yang terbentuk setelah aksi senyawa radikal, sehingga digunakan sebagai
indikator keberadaan radikal bebas dalam tubuh dan juga indikator kerusakan
oksidatif membran sel (Astuti 2009). MDA banyak didapatkan dalam sirkulasi
dan merupakan produk utama hasil reaksi radikal bebas dengan fosfolipid,
diproduksi secara konstan sesuai dengan proporsi peroksidasi lipid yang terjadi,
sehingga merupakan indikator yang baik untuk melihat kecepatan (rate)
peroksidasi lipid in vivo (Asni, et al 2009). Vizuet et al. (2009) menyatakan
bahwa lipid merupakan biomolekuler yang paling rentan terhadap serangan ROS
dan akibat proses lipoperoksidasi akan dihasilkan pembentukan melonaldehida
(MDA).
Isoflavon
Flavonoid adalah suatu golongan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
tanaman. Isoflavon termasuk dalam golongan flavonoid dan merupakan bagian

10

dari kelompok terbesar dalam golongan tersebut. Muchtadi (2012) menyatakan
bahwa isoflavon merupakan senyawa polifenol yang dapat memperlihatkan
peranan seperti estrogen, sehingga seringkali disebut sebagai “fitoestrogen”, yaitu
senyawa yang mempunyai aktivitas estrogenik tetapi berasal dari tanaman.
Isoflavon juga mempunyai kemampuan sebagai antioksidan. Kacang-kacangan,
khususnya kedelai, merupakan sumber utama isoflavon bagi manusia. Kedelai
mengandung 12 macam isoflavon, yang terdapat dalam bentuk glukosida (terikat
pada molekul gula) dan bentuk aglikon (tidak mengikat gula). Proses pencernaan
atau fermentasi kedelai atau hidrolisis enzimatis akan melepaskan molekul gula
dari isoflavon glukosida, menghasilkan isoflavon aglikon.
Muchtadi (2012) menjelaskan bahwa kedelai mengandung dua jenis
isoflavon utama yaitu genistein dan daidzein, ditambah satu jenis isoflavon minor
yaitu glisitein. Kandungan isoflavon produk olahan kedelai bervariasi dan
dipengaruhi bukan saja oleh jenis (kultivar) kedelai yang digunakan, tetapi juga
oleh proses pengolahannya. Kemungkinan selama pengolahan kedelai ada
beberapa bagian isoflavon yang hilang (terbuang) atau rusak akibat proses
pemanasan.
Astawan (2008) menyatakan bahwa pada tempe, selain terdapat ketiga jenis
isoflavon tersebut, terdapat juga antioksidan faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon)
yang mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat dibandingkan isoflavon lain
dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi
kedelai menjadi tempe oleh bakteri Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium.
Isoflavon pada olahan kedelai non fermentasi umumnya berada dalam bentuk
glikosida, yaitu 64 persen genistin, 23 persen daidzin, dan 13 persen glisetin. Pada
produk fermentasi kedelai, seperti tempe dan miso, isoflavon umumnya berbentuk
bebas (aglikon), yaitu genistein, daidzein, dan glisetein.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti (1999) dan Unitly
(2008), kandungan isoflavon tepung tempe lebih tinggi dibandingkan tepung
kedelai. Isoflavon yang dominan yang terdapat pada tepung kedelai dan tepung
tempe adalah jenis daidzein dan genistein. Terjadinya proses hidrolisis enzimatis
pada saat perendaman kedelai dan hidrolisis enzimatik pada saat perendaman dan
fermentasi kedelai dalam proses pembuatan tempe diduga mengubah distribusi
isomer aglikon daidzein dan genistein, sehingga menyebabkan perbedaan
kandungan isoflavon aglikon yang terdapat di dalamnya.
Astawan (2008) menyatakan bahwa berdasarkan data penelitian pada hewan
coba menunjukkan bahwa konsumsi isoflavon yang berlebihan juga tidak
disarankan pada manusia, karena berpengaruh negatif terhadap kesuburan.
Kelebihan konsumsi umumnya akan terjadi ketika mengonsumsi isolat isoflavon
murni. Jika konsumsi isoflavon dilakukan secara alami, maka kecil kemungkinan
untuk terjadi kelebihan konsumsi. Oleh karena itu tidak ada yang perlu
dikhawatirkan dari konsumsi kedelai dan produk olahannya. Data konsumsi
isoflavon untuk penduduk indonesia belum pernah dipublikasi. Beberapa ahli
menyarankan agar konsumsi isoflavon per hari adalah 30 – 40 mg/hari.
Vitamin E
Vitamin E adalah salah satu vitamin larut lemak yang memiliki kemampuan
sebagai antioksidan. Devasagayam et al. (2004) menyatakan bahwa peranan

11

antioksidan vitamin E dalam tubuh dapat bertindak sebagai pencegah reaksi
pembentukan radikal bebas pada semua membran sel pada tubuh manusia. Vizuet
et al. (2009) menyatakan peranan utama antioksidan vitamin E pada membran
yaitu sebagai antioksidan larut lemak yang dapat mencegah kerusakan ROS pada
asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA), dan juga sebagai agen penstabil membran
yang berperan dalam pencegahan kerusakan yang disebabkan oleh fosfolipid.
Keberadaan radikal bebas di dalam tubuh dapat dinetralkan oleh berbagai
sistem. Zadak et al. (2009) menjelaskan bahwa ada berbagai jenis enzim yang
dapat menurunkan konsentrasi oksidan yang berbahaya pada jaringan tubuh
seperti glutathione peroxidase, superoxide dismutases dan catalase. Ada pula
beberapa jenis mineral esensial seperti selenium, tembaga, mangan dan zinc
dibutuhkan untuk pembentukan atau aktivitas enzim tersebut. Selain itu pula, ada
beberapa unsur dari sistem pertahanan yang merupakan antioksidan seperti
glutation, ubiquinon dan asam urat yang diproduksi selama proses metabolisme
normal dalam tubuh. Ada juga antioksidan yang terdapat dari bahan makanan.
Vitamin E bukan merupakan senyawa tunggal, melainkan campuran dari
sediktinya delapan macam tokoferol dan tokotrienol. Terdapat empat jenis
tokoferol, yaitu α-, β-, γ-, dan δ tokoferol, tetapi yang paling aktif secara biologis
adalah alfa-tokoferol. Demikian juga dengan empat macam tokotrienol, dan
seperti halnya tokoferol, yang paling aktif secara biologis adalah alfa-tokotrienol
(Muchtadi 2013). Devasagayam et al. (2004) menyatakan bahwa asupan harian
vitamin E yang dianjurkan adalah sekitar 400-800 IU.
Teknik Evaluasi Nilai Biologis Protein
Nilai gizi protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang
dikandungnya. Almatsier (2004) menjelaskan bahwa protein dengan nilai biologis
tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam
amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan. Ada
beberapa jenis protein mengandung semua jenis asam amino esensial, tetapi
dalam jumlah terbatas yang hanya cukup untuk perbaikan jaringan tubuh, akan
tetapi tidak cukup untuk pertumbuhan.
Winarno (2002) menyatakan bahwa asam-asam amino yang biasanya sangat
kurang dalam bahan makanan disebut dengan asam amino pembatas. Kalau
protein dengan mutu rendah terlalu banyak dikonsumsi dan menunya tidak
beraneka ragam, akan berakibat kurangnya asam amino pembatas dan orang akan
menderita gejala-gejala yang tidak dikehendaki. Ada banyak sekali cara yang
dapat digunakan untuk mengukur mutu protein secara kualitatif, tetapi nampaknya
tidak satupun sepenuhnya yang memuaskan. Cara analisis ini dapat dilakukan
secara biologis maupun secara kimia.
Suatu cara penilaian untuk mengetahui ketersediaan protein dalam tubuh
disebut teknik evaluasi protein. Secara garis besar, metode evaluasi nilai gizi
protein digolongkan menjadi dua macam, yaitu metode in vitro (secara kimia,
mikrobiologis, atau enzimatis) dan in vivo (secara biologis menggunakan hewan
percobaan secara utuh, termasuk manusia) (Muchtadi 2010b). Teknik evaluasi
yang mendekati pada keadaan yang sebenarnya dilakukan secara in vivo dengan
menggunakan hewan percobaan, yang pada penelitian ini menggunakan tikus
putih. Metode yang digunakan tentu harus dapat mengevaluasi kemampuan

12

metabolisme suatu protein sebagaimana fungsinya, yaitu dapat meningkatkan
sintesis jaringan tubuh serta memelihara jaringan dan fungsi tubuh. Nilai gizi
protein dapat diukur dengan berbagai cara, protein efficiency ratio (PER), net
protein ratio (NPR), true digestibility (TD), biological value (BV), dan net
protein utilizaton (NPU).

3

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama delapan bulan (April s.d. November
2013). Penelitian dilaksanakan di beberapa tempat yaitu di Rumah Tempe
Indonesia (RTI) Bogor, Laboratorium Pilot Plant Laboratorium Southeast Asean
Food Agricultural Science Technology
Center
(SEAFAST Center),
Laboratorium Hewan, dan Laboratorium Biokimia Pangan Institut Pertanian
Bogor.
Bahan dan Alat
Penelitian ini menggunakan tikus putih galur Sprague Dawley (sebagai
hewan percobaan) dan tepung tempe sebagai bahan penelitian. Komposisi
penyusun ransum tikus terdiri atas pati jagung, campuran mineral, campuran
vitamin (merk ‘Fitkom’), minyak jagung, carboximethylcelulose (CMC), kasein,
dan beberapa sampel protein uji yaitu tepung tempe kedelai lokal (grobogan) dan
impor (PRG dan non PRG). Bahan-bahan untuk keperluan analisis proksimat,
analisis kandungan asam amino, analisis kandungan serat pangan, analisis
kandungan asam lemak, analisis kandungan isoflav