Sekilas Berdirinya Mathla’ul Anwar Tahun 1916 Di Menes
mendatangkan hal yang dianggap positif bagi masyarakat Menes terhadap segala macam kejahatan dan kenaasan.
13
Kemudian, kondisi masyarakat di daerah Menes diperparah dengan situasi penuh kekacauan dan kerusuhan, dimana para jawara
14
atau bandit sosial
15
yang mempunyai ilmu-ilmu hitam pada saat itu telah menguasai daerah Menes
seringkali membuat kekacauan, kemaksiatan, perjudian, pelacuran, pencurian, perampokan dan menindas masyarakat dan akhirnya mematikan kehidupan ruh
keagamaan.
16
Atas keprihatinan tersebut, para ulama atau kyai meresponnya dengan mengadakan musyawarah yang bertempat di Kampung Kananga-Menes,
dipimpin oleh KH. Entol Mohammad Yasin dan KH. Tb. Mohammad Soleh serta ulama-ulama lainnya di sekitar Menes. Akhirnya musyawarah tersebut mengambil
keputusan untuk mendirikan pendidikan formal yaitu berbentuk madrasah sebagai bentuk perjuangan untuk membawa umat keluar dari keterpurukan.
Pendirian madrasah atau pendidikan formal selain untuk memberikan kesempatan belajar bagi masyarakat Menes, juga karena gagalnya sistem
pendidikan Islam lama pesantren untuk menarik minat anak muda sebagai generasi penerus untuk masuk pesantren. Sehingga, pesantren tidak mampu untuk
“mencetak” calon-calon pemimpin umat yang sadar akan tantangan zaman. Faktor
13
Wawancara Pribadi dengan Asep Saepudin Jahar, Ciputat, 17 Mei 2010.
14
Jawara menurut orang Banten adalah istilah orang-orang yang mempunyai ilmu kesaktian.
15
Bandit sosial Istilah lain Jawara, yaitu suatu golongan sosial yang terdiri dari orang- orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan seringkali melakukan tindakan kriminal. Lihat.
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, Cet I, h. 83. Selanjutnya lihat. Mohammad Hudaeri, ed., Tasbih dan Golok Kedudukan, Peran dan
Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten Serang: Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2007, h. 13
16
Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” Skripsi S1 Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006, h. 25
lainnya adalah intensifnya gerakan pemerintah kolonial Belanda dalam mendirikan sekolah-sekolah rakyat di pedesaan dengan materi umum sebagai
objek pelajarannya yang dinilai oleh para Kiyai Menes akan menghilangkan syariat Islam. Kedua faktor inilah yang diantaranya memainkan peranan penting
dalam proses penerimaan sistem pendidikan madrasah oleh para Kiyai.
17
Namun, rencana pendirian madrasah terhambat oleh ketidaktahuan dan keterbatasan keilmuan para ulama dalam mengelola sistem pendidikan modern
kurikulum madrasah. Kemudian, KH. Entol Mohammad Yasin dan ulama lainnya berinisiatif mengundang seorang pemuda bernama KH. Mas Abdurahman
yang sedang menuntut ilmu di Mekkah selama 10 tahun pada seorang guru besar yang berasal dari Banten Syeh Mohammad Nawawi Al-Bantani. Tujuan
diundangnya KH. Mas Abdurrahman untuk merumuskan dan mengelola sistem pendidikan modern madarasah yang akan dibangun di Menes.
Pada tahun 1910 M, KH. Mas Abdurahman 42 tahun datang di Menes, kemudian segera bergabung dengan para ulama lainnya untuk membantu
mengintensifkan kembali gerakan dakwahnya dengan membentuk pengajian- pengajian diberbagai tempat di Banten. Kemudian pada perkembangannya mereka
mendirikan lembaga pendidikan yang kemudian diberi nama Mathla’ul Anwar tempat terbitnya cahaya yang berdiri pada tanggal 09 Agustus 191610 Syawal
17
Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007, h. 2-3. Menurut Karel A. Steenbrink bahwa,
faktor pertumbuhan gerakan Islam di Indonesia melalui pendirian madrasah, pertama, faktor keinginan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah, kedua, semangat nasionalisme melawan penguasa
kolonial Belanda, ketiga, untuk memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik, keempat, faktor untuk melakukan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Abuddin Nata,
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: PT Grasindo, 2001, h. 196
1334 H tahun 1916 M. Lembaga pendidikan MA untuk sementara beroperasi di sebuah rumah KH. Mustahgfiri di Menes yang dijadikan tempat belajar dan
mengajar.
18
Setelah beberapa bulan madrasah dioperasikannya, situasi kehidupan masyarakatpun mulai pulih dari kekacauan, dan masyarakat merespon sangat baik
dengan banyaknya para orang tua mengirim anak-anaknya sekolah di madrasah. Kemudian, untuk mendukung kemajuan lembaga pendidikan MA, Ki Demang
Entol Djasudin seorang tokoh priyayi desa Menes menghibahkan tanahnya untuk membangun gedung dengan biaya atau dana diperoleh dari bantuan swadaya
masyarakat dan donasi. Sehingga pada akhirnya, gedung pertama madrasah tahun 1920 terbangun berukuran seluas 1000 m2 20 m x 50 m yang dilengkapi dengan
fasilitas seperti papan tulis, meja, kursi dan lain sebagainya, walaupun siswa- siswinya saat itu tidak menggunakan seragam khusus, karena mereka masih
menggunakan sarung, tetapi tidak mengurangi atau menggangu proses pendidikan. Gedung madrasah inilah kemudian menjadi pusat kegiatan pendidikan
Islam dengan nama Mathla’ul Anwar Pusat mulai dari TK sampai Madrasah Aliyah yang terletak di Jl. Raya Labuan-Menes, Pandeglang Banten.