PENGARUH PERAN PASIEN TERHADAP PENINGKATAN KEPATUHAN TENAGA KESEHATAN DALAM MELAKSANAKAN HAND HYGIENE DI KLINIK HEMODIALISIS

(1)

i

KEPATUHAN TENAGA KESEHATAN DALAM

MELAKSANAKAN HAND HYGIENE DI KLINIK

HEMODIALISIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

KUSUMANINGRUM WIJAYANTI 20130310100

HALAMAN JUDUL

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

i

KEPATUHAN TENAGA KESEHATAN DALAM

MELAKSANAKAN HAND HYGIENE DI KLINIK

HEMODIALISIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

KUSUMANINGRUM WIJAYANTI 20130310100

HALAMAN JUDUL

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

ii

KEPATUHAN TENAGA KESEHATAN DALAM

MELAKSANAKAN HAND HYGIENE DI KLINIK

HEMODIALISIS

Disusun oleh:

KUSUMANINGRUM WIJAYANTI 20130310100

Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal 2 November 2016

Dosen pembimbing Dosen Penguji

Dr. dr. Arlina Dewi, M.Kes dr. Maria Ulfa, MMR

NIK : 173060 NIK : 173193

Mengetahui

Kaprodi Pendidikan Dokter FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

dr. Alfaina Wahyuni, Sp.OG., M.Kes NIK : 173027


(4)

iii

Nama : Kusumaningrum Wijayanti NIM : 20130310100

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 2 November 2016 Yang membuat peryataan,

Tanda tangan


(5)

iv

sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal ini. Tak lupa pula shalawat dan salam penulis panjatkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan pengetahuan yang luar biasa seperti saat ini.

Proposal yang berjudul “Pengaruh Peran Pasien Terhadap Peningkatan Kepatuhan Tenaga Kesehatan Dalam Melaksanakan Hand Hygiene Di Klinik Hemodialisis” ini disusun sebagai salah satu persyaratan guna memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Pada kesempatan ini, izinkan penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua penulis, Ibu Umi Suwarsi dan Bapak Ngatijan A.Md. yang telah memberikan doa, restu dan dukungannnya. Serta seluruh pihak-pihak yang telah berperan serta dalam membantu penyelesaian proposal karya tulis ini. Ucapan terimakasih diberikan kepada:

1. Bapak dr. Ardi Pramono, Sp. An, M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2. Dr. dr. Arlina Dewi M.Kes, selaku pembimbing yang telah meluangkan

waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan petunjuk dan saran dalam penyusunan proposal ini.


(6)

3. Seluruh keluarga besar yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis dalam meyelesaikan pendidikannya.

4. Serta semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan proposal ini.

Penulis mohon maaf jika ada kesalahan dalam penyusunan proposal Karya Tulis Ilmiah ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dan juga mengharapkan proposal Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah ilmu pengetahuan terutama ilmu kedokteran. Terimakasih.

Yogyakarta, 4 April 2016


(7)

vi

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

ABSTRACT ... ix

INTISARI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan ... 5

D. Manfaat ... 5

E. Keaslian penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Tinjauan pustaka ... 7

1. Kepatuhan ... 7

2. Peran pasien ... 26

3. Hand hygiene ... 29

4. Hemodialisis ... 35

B. Kerangka teori ... 41

C. Kerangka konsep ... 42

D. Hipotesis ... 42

BAB III METODE PENELITIAN... 43

A. Desain Penelitian ... 43

B. Populasi dan Sampel penelitian ... 43

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

D. Variabel Penelitian ... 45

E. Definisi Operasional ... 45

F. Instrumen Penelitian ... 47

G. Jalannya Penelitian ... 49

H. Cara Pengumpulan Data ... 50

I. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 50

J. Analisis Data ... 50

K. Etika Penelitian ... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Hasil Penelitian ... 52

B. Pembahasan ... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 68


(8)

vii

Tabel 4. Frekuensi 5 Moment Hand Hygiene Tenaga Kesehatan di Klinik

Hemodialisis Nitipuran Sebelum Diberikan Perlakuan ... 52 Tabel 5. Frekuensi 5 Moment Hand Hygiene Tenaga Kesehatan di Klinik

Hemodialisis Nitipuran Sesudah Diberikan Perlakuan ... 53 Tabel 6. Tingkat Kepatuhan 5 Moment Hand Hygiene Seluruh Tenaga Kesehatan di Klinik Hemodialisis Nitipuran Sebelum dan Sesudah Perlakuan ... 55 Tabel 7. Hasil Uji Hipotesis Paired Sampel t Test ... 56 Tabel 8. Hasil Uji Hipotesis Independent Sample t Test ... 56


(9)

viii

Gambar 4. Teori Social Learning... 21

Gambar 5. Transtheoritical Model of Change ... 22

Gambar 6. Momen pertama cuci tangan ... 33

Gambar 7. Momen kedua cuci tangan... 34

Gambar 8. Momen ketiga cuci tangan ... 34

Gambar 9. Momen keempat cuci tangan... 34

Gambar 10. Momen kelima cuci tangan ... 34

Gambar 11. Prinsip kerja hemodialisis ... 37

Gambar 12. Proses pertukaran ion ... 38

Gambar 13. Kerangka Teori Perilaku Lawrence Green ... 41

Gambar 14. Kerangka konsep ... 42

Gambar 15. Diagram Batang Prosentase Rata-rata Kepatuhan Tenaga Kesehatan di Klinik Hemodialisis Nitipuran Sebelum dan Sesudah Diberikan Perlakuan .... 54

Gambar 16. Diagram Batang Prosentase Rata-rata Kepatuhan Tenaga Kesehatan di Klinik Hemodialisis Nitipuran Terhadap 5 Moment Hand Hygiene Sebelum dan Sesudah Perlakuan ... 54


(10)

ix

pathogen. Although hand hygiene is a important prevention of HAIs, the compliance of healthworkers still low. This study have a purpose to know the influence of patient’s role toward increasing healthworker’s compliance on hand hygiene in hemodialysis clinic.

Method: This study is analytic quantitative study that use quasi-eksperiment pre test dan post test design. Sampling method using total sampling. 11 healthworkers have been enrolled to this study started from August 18th until August 27th in Nitipuran Hemodialysis Clinic. Healthworker’s compliance assessment using 5 Moment Hand Hygiene checklist provided by World Health Organization. Patient’s role is to appraise whether healthworker is compliance or not to do hand hygiene. Every patient are given 5 sets of cards that consist of 2 sets blue cards for physician and 3 sets green cards for nurse. On 1 set of cards consist of 1 obedient card and 1 disobedient card with the same colour

Result: From 247 moment of hand hygiene before patient empowerment and 229 moment after patient empowerment, healthworker’s compliance on hand hygiene increase 19.3%, which is physician increase 11.43% whereas nurse 23.79%. Based on statistical analysis, p value 0.003 (<0.05) means that there is a influence of patient’s role intervention towards healthworker compliance on hand hygiene.

Conclusion: Patient have an influence towards the increasing of healthworker’s

compliance on hand hygiene.


(11)

penyebaran antimicrobial resistant pathogen. Meskipun hand hygiene merupakan tindakan pencegahan HAIs yang penting, kepatuhan tenaga kesehatan masih rendah.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peran pasien terhadap peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan hand hygiene di klinik Hemodialisis.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian quasi-eksperiment pre test dan post test design. Metode pengambilan sampel yang dilakukan adalah dengan total sampling. 11 tenaga kesehatan di teliti mulai dari tanggal 18 Agustus sampai dengan 27 Agustus 2016 di Klinik Hemodialisis Nitipuran. Penilaian kepatuhan petugas kesehatan menggunakan checklist 5 Moment Hand Hygiene World Health Organization. Peran pasien yakni menilai patuh dan tidak patuh tenaga kesehatan melaksanakan hand hygiene. Setiap pasien diberikan 5 paket kartu yang terdiri dari 2 kartu biru dokter dan 3 kartu perawat. Dalam 1 paket kartu terdiri dari 1 kartu patuh dan 1 kartu tidak patuh dengan warna yang sama.

Hasil : Didapatkan 247 momen hand hygiene sebelum perlakuan. Sedangkan momen hand hygiene yang dilakukan setelah perlakuan berjumlah 229 momen. Kepatuhan tenaga kesehatan meningkat 19.3%, dokter mengalami peningkatan 11.43% sedangkan perawat mengalami peningkatan 23.79%. Berdasarkan perhitungan secara statistik, nilai p 0.003 (<0.05) yang berarti bahwa terdapat pengaruh perlakuan peran pasien terhadap kepatuhan tenaga kesehatan.

Kesimpulan : Pasien memiliki pengaruh dalam peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan hand hygiene.


(12)

(13)

ix

pathogen. Although hand hygiene is a important prevention of HAIs, the compliance of healthworkers still low. This study have a purpose to know the influence of patient’s role toward increasing healthworker’s compliance on hand hygiene in hemodialysis clinic.

Method: This study is analytic quantitative study that use quasi-eksperiment pre test dan post test design. Sampling method using total sampling. 11 healthworkers have been enrolled to this study started from August 18th until August 27th in Nitipuran Hemodialysis Clinic. Healthworker’s compliance assessment using 5 Moment Hand Hygiene checklist provided by World Health Organization. Patient’s role is to appraise whether healthworker is compliance or not to do hand hygiene. Every patient are given 5 sets of cards that consist of 2 sets blue cards for physician and 3 sets green cards for nurse. On 1 set of cards consist of 1 obedient card and 1 disobedient card with the same colour

Result: From 247 moment of hand hygiene before patient empowerment and 229 moment after patient empowerment, healthworker’s compliance on hand hygiene increase 19.3%, which is physician increase 11.43% whereas nurse 23.79%. Based on statistical analysis, p value 0.003 (<0.05) means that there is a influence of patient’s role intervention towards healthworker compliance on hand hygiene.

Conclusion: Patient have an influence towards the increasing of healthworker’s

compliance on hand hygiene.


(14)

penyebaran antimicrobial resistant pathogen. Meskipun hand hygiene merupakan tindakan pencegahan HAIs yang penting, kepatuhan tenaga kesehatan masih rendah.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peran pasien terhadap peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan hand hygiene di klinik Hemodialisis.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian quasi-eksperiment pre test dan post test design. Metode pengambilan sampel yang dilakukan adalah dengan total sampling. 11 tenaga kesehatan di teliti mulai dari tanggal 18 Agustus sampai dengan 27 Agustus 2016 di Klinik Hemodialisis Nitipuran. Penilaian kepatuhan petugas kesehatan menggunakan checklist 5 Moment Hand Hygiene World Health Organization. Peran pasien yakni menilai patuh dan tidak patuh tenaga kesehatan melaksanakan hand hygiene. Setiap pasien diberikan 5 paket kartu yang terdiri dari 2 kartu biru dokter dan 3 kartu perawat. Dalam 1 paket kartu terdiri dari 1 kartu patuh dan 1 kartu tidak patuh dengan warna yang sama.

Hasil : Didapatkan 247 momen hand hygiene sebelum perlakuan. Sedangkan momen hand hygiene yang dilakukan setelah perlakuan berjumlah 229 momen. Kepatuhan tenaga kesehatan meningkat 19.3%, dokter mengalami peningkatan 11.43% sedangkan perawat mengalami peningkatan 23.79%. Berdasarkan perhitungan secara statistik, nilai p 0.003 (<0.05) yang berarti bahwa terdapat pengaruh perlakuan peran pasien terhadap kepatuhan tenaga kesehatan.

Kesimpulan : Pasien memiliki pengaruh dalam peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan hand hygiene.


(15)

Healthcare-Associated Infections (HAIs) atau biasa disebut infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat setelah pasien berada di rumah sakit atau pelayanan kesehatan lain. Oleh karena itu HAIs juga didefinisikan dengan sebutan Healthcare Aquired Infection atau Hospital Infections. Friedman et al. menyatakan bahwa Healthcare-Associated Infections terjadi 48 jam setelah pasien menjalani perawatan seperti terapi intravena dan perawatan luka atau setelah pasien masuk di rumah sakit atau klinik hemodialisis 30 hari sebelum infeksi terjadi. Healthcare-Associated Infections merupakan beban yang berat bagi pasien karena membutuhkan terapi yang rumit dan biaya yang lebih mahal karena pasien harus menjalani perawatan lebih lama (Huis et al., 2012). World Health Organization menyebutkan bahwa seratus juta pasien di dunia setiap tahunnya menderita Healthcare-Associated Infections. Dari 100 pasien, 7 pasien di negara maju dan 10 pasien di negara berkembang menderita Healthcare-Associated Infections. Bahkan menurut Venkatesan et al., prevalensi pasien yang mengalami Healthcare-Associated Infections lebih besar yaitu sebesar 25% di negara berkembang seperti Indonesia.

Pada pasien chronic uremic yang menjalani hemodialisis, infeksi merupakan penyebab utama morbidity, dan penyebab kedua kematian setelah penyakit kardiovascular (National Institutes of Health, National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, 2009). Pasien hemodialisis mudah


(16)

terkena Healthcare-Associated Infections karena kondisi yang multifaktorial termasuk paparan terhadap peralatan medis yang invansif, imunosupresan, kurangnya batas fisik antara pasien rawat jalan dengan lingkungan hemodialisis, serta seringnya kontak pasien dengan petugas kesehatan selama prosedur dan perawatan. Infeksi yang sering menyertai pasien End Stage Renal Disease (ESRD) yang sedang menjalani hemodialisis adalah antimicrobial resistance, Hepatitis B dan Hepatitis C (National Action Plan To Prevent Health Care-Associated Infections: Road Map To Elimination, 2013).

Healthcare-Associated Infections disebabkan oleh agen infeksius yang berasal dari faktor endogen dan eksogen (Horan et al., 2008). Faktor endogen terdiri dari tubuh pasien itu sendiri seperti kulit, hidung, mulut, saluran pencernaan, dan alat kelamin yang memiliki mikroorganisme lokal normal. Mikroorganisme ini dapat menjadi invasif dan patogen apabila memiliki kondisi yang mendukung untuk berkembang dan dapat menyebabkan infeksi saat terkontaminasi pada tempat yang steril. Sedangkan faktor eksogen berasal dari luar pasien seperti petugas kesehatan, penunggu pasien, pengunjung pasien, peralatan medis, maupun kebersihan lingkungan pusat kesehatan. Transmisi mikroorganisme paling sering terjadi melalui tangan petugas kesehatan. Sehingga Healthcare-Associated Infections tidak terbatas hanya menyerang pasien saja namun juga dapat menginfeksi petugas kesehatan itu sendiri, pegawai, dan bahkan pengunjung pasien.

Hand hygiene (mencuci tangan dengan sabun dan air atau desinfeksi menggunakan alkohol) dianggap sebagai salah satu tolak ukur pencegahan


(17)

Healthcare-Associated Infections yang paling penting dan membatasi penyebaran antimicrobial resistant pathogen (Sax et al., 2007). Hand hygiene yang cukup pada hakekatnya dapat mencegah transmisi infeksi yang disebabkan oleh faktor endogen maupun eksogen, kontaminasi lingkungan rumah sakit dengan patogen yang potensial, dan kontaminasi silang (cross-contamination) antar pasien (Longtin et al., 2011). Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kurangnya kesadaran petugas kesehatan dalam mencuci tangan, diantaranya adalah kurangnya pengetahuan petugas kesehatan terhadap pentingnya hand hygiene dalam menurunkan penyebaran infeksi dan bagaimana tangan bisa terkontaminasi, kurangnya pengetahuan tentang cara mencuci tangan dengan benar, kurangnya tenaga medis dan banyaknya pasien, kurangnya fasilitas cuci tangan, dermatitis kontak iritan terhadap paparan sabun dan air, serta kurangnya komitmen dalam menjaga kebersihan tangan (Boyce dan Pittet, 2002).

Pada tahun 2001, Naikoba dan Hayward melakukan 21 studi systematic-review yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan hand hygiene pada petugas kesehatan (Huis et al., 2012). Mereka menyimpulkan bahwa memberi edukasi dan memotivasi para petugas kesehatan lebih efektif dibandingkan hanya menambah fasilitas cuci tangan.

Begitu pentingnya kebersihan menurut islam, sehingga orang yang membersihkan diri atau mengusahakan kebersihan akan dicintai Allah SWT, sebagaimana firmannya dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yang berbunyi :


(18)

Artinya : “...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan / membersihkan diri”.

َفيظ َ اﺍَة جلﺍَلخدياَه افﺍوف ظ تفَفيظ َ اساﺍ

Artinya : “Agama Islam itu adalah agama yang bersih atau suci, maka hendaklah kamu menjaga kebersihan. Sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang suci”. (HR. Baihaqiy)

َ ﺍَ سوَهي عَﷲَى صَّيب لﺍَ عَهيبﺍَ عَصا قوَىبﺍَ بدعسَ ع

َيظ َبّي طلﺍَ ُبحيَبّيطَﷲ

َ ركلﺍَ ُبحيَ يركَةفاظ لﺍَ ُبحيَف

َكتي فﺍﺍوفّظ فدﺍوجلﺍَ ُبحيدﺍوج

Artinya : “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (dan) menyukai kebaikan,

bersih (dan) menyukai kebersihan, mulia (dan) menyukai kemuliaan, bagus (dan) menyukai kebagusan. Oleh sebab itu, bersihkanlah

lingkunganmu”. (HR. At- Turmudzi)

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa terdapat tiga strategi dalam hand hygiene empowerment, yakni motivasi, role modeling, dan patient empowerment. Program multi-modal hand hygiene termasuk patient empowerment telah dipertimbangkan sebagai komponen yang penting dalam kepatuhan hand hygiene (Mcguckin dan Govednik, 2013). Peran pasien dalam menilai tenaga kesehatan di klinik hemodialisis ini akan berpengaruh pada hasil audit profesionalitas kerja yang apabila hasilnya kurang baik maka akan berpengaruh pada gaji dokter dan perawat tersebut. Oleh karena itu sangat penting


(19)

melibatkan pasien dalam meningkatkan kepatuhan hand hygiene pada tenaga kesehatan. Sebelumnya tenaga kesehatan telah di edukasi mengenai hand hygiene melalui training presentasi dan video serta pasien juga telah diedukasi secara singkat tentang hand hygiene.

B. Rumusan Masalah

Apakah pasien memiliki pengaruh dalam peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan hand hygiene di Klinik Hemodialisis?

C. Tujuan

Untuk mengetahui besarnya pengaruh peran pasien terhadap peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan hand hygiene di Klinik Hemodialisis.

D. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pengaruh peran pasien dalam meningkatkan kepatuhan hand hygiene oleh tenaga kesehatan saat melakukan tindakan pelayanan medis di klinik hemodialisis. 2. Manfaat Praktis

a. Bagi Managemen Klinik

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi evaluasi di Klinik Hemodialisis untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan pada pasien.


(20)

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap hand hygiene dengan mengutamakan patient safety dan patient satisfaction.

E. Keaslian penelitian

Tabel 1. Keaslian Penelitian

No. Peneliti Judul Subjek Metode Hasil Tahun

Zulpahiyana (2013)

Efektivitas Simulasi Hand hygiene pada

Handover

Keperawatan dalam Meningkatkan Kepatuhan

Hand hygiene

Perawat

Perawat ICU RS PKU Muhammadiyah Bantul

quasy-experimental

dengan one grup pre-post test design.

Tingkat kepatuhan

hand hygiene

perawat di ICU RS PKU Muhammadiyah Bantul mengalami peningkatan setelah diberikan intervensi berupa simulasi hand hygiene pada

handover

keperawatan. Saragih dan

Rumapea (2012) Hubungan Karakteristik Perawat Dengan Tingkat Kepatuhan Perawat Melakukan Cuci Tangan di Rumah Sakit

Columbia Asia Medan

84 Perawat RS Columbia Asia Medan

Cross-sectional

Deskriptif korelasi

Ada

hubungan yang bermakna antara karakteristik perawat (pengetahuan, pendidikan, umur, lama bekerja) dengan tingkat kepatuhan

perawat

melakukan cuci tangan di Rumah Sakit Columbia Asia Medan. Widyanita (2010) Hubungan Tingkat Pengetahuan

Hand hygiene

Dengan Kepatuhan Pelaksanaan

Hand hygiene

Pada Peserta Program Pendidikan Profesi Dokter.

Peserta program pendidikan profesi dokter Analitik Observasional dengan pendekatan cross sectional Tingkat

pengetahuan hand hygiene memiliki hubungan yang sedang terhadap kepatuhan

pelaksanaan hand hygiene pada peserta program pendidikan profesi dokter.


(21)

1. KEPATUHAN

a. Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan berasal dari kata patuh yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti kesetiaan, ketaatan, atau loyalitas. Sedangkan menurut Oxford English Dictionary, kepatuhan merupakan sebuah tindakan yang sesuai dengan, atau hasil dari sebuah hasrat, permohonan, kondisi, petunjuk, dan mengabulkan sebuah instruksi. Kepatuhan disebut juga compliance atau adherence yang berasal dari bahasa Latin complire yang bermakna untuk memenuhi dan menyelesaikan sebuah tindakan, transaksi, atau proses, serta untuk memenuhi sebuah janji (Aronson et al., 2007). Efstathiou et al. (2011) menawarkan definisi yang luas dari kepatuhan dalam tatacara pelayanan kesehatan. Berdasarkan definisi tersebut, kepatuhan adalah tingkatan dari perilaku tertentu (contoh: menuruti perintah dokter atau menerapkan gaya hidup sehat) yang sesuai dengan instruksi dokter atau nasehat pelayanan kesehatan.

Teori kepatuhan awalnya diperkenalkan oleh Stanley Milgram yang menyebutkan bahwa kepatuhan merupakan sebagian bentuk dari persesuaian (conformity). Stanley Milgram merupakan psikolog di Universitas Yale, ia meneliti tentang perselisihan antara kepatuhan dan suara hati seseorang. Dalam penelitian tersebut ia menggunakan konsep teacher-learner, dimana ia meneliti seseorang yang berperan sebagai guru yang sedang menguji orang yang


(22)

sebenarnya adalah orang suruhan Milgram. Apabila sang learner tersebut salah dalam menyebutkan kata yang sudah diaajarkan sebelumnya maka ia akan dialiri arus listrik 15-450 volt. Hasilnya sangat mencengangkan yaitu 65% responden dapat melanjutkan untuk menekan tombol hingga 450 volt. Kesimpulannya adalah orang cenderung akan mematuhi perintah orang yang memiliki kekuasaan bahkan apabila harus membunuh manusia yang tidak bersalah. Milgram juga melakukan beberapa variasi dalam penelitiannya, mulai dari lokasi penelitian, penampilan peneliti, status kekuasaan, dll. Dimana semua faktor tersebut mempengaruhi hasil dari kepatuhan responden (Bocchiaro dan Zamperini, 2012). Munro et al. (2007) menyatakan ada 5 teori utama berkaitan dengan kepatuhan, yaitu biomedical, behavioural, communication, cognitive, dan self-regulatory.

1) The Biomedical Perspective

Teori The Biomedical Perspective menjelaskan bahwa pasien diasumsikan sebagai penerima yang pasif instruksi dari dokter. Sehat atau sakit diusut berdasarkan penyebab biomedisnya seperti bacteria atau virus, dan penatalaksanaanya fokus kepada badan pasien. Ketidakpatuhan biasanya timbul berkaitan dengan obat yang diresepkan dokter ke pasien. Hal ini dapat dimengerti dikarenakan adanya perbedaan karakter setiap pasien berbeda, seperti usia dan jenis kelamin pasien. Keterbatasan yang mendasar dari teori ini adalah bahwa teori ini mengabaikan faktor diluar tubuh pasien yang mungkin berpengaruh pada health behavior pasien. Misalnya yaitu pandangan pasien terhadap penyakitnya, pengaruh psycho-social, dan pengaruh dari lingkungan


(23)

sosial ekonomi pasien itu sendiri. Oleh karena itu teori ini telah diintegrasikan dengan “Biopsycho-socio-environmental Theory” dimana dapat mencakup lebih luas tentang lingkungan sosialnya.

2) Behavioural (Learning) Perspective

Teori ini fokus kepada lingkungan dan mengajarkan skill untuk mengatur kepatuhan. Teori ini memiliki karakteristik berupa penggunaan prinsip sebab dan akibat serta pengaruhnya terhadap lingkungan. Sebab adalah dapat berasal dari internal (pikiran) dan eksternal (lingkungan). Sedangkan akibat atau konsekuensi dapat berupa penghargaan dan hukuman atas perilaku seseorang. Teori ini dikritik karena kurangnya pendekatan individu karena tidak mempertimbangkan perilaku masa lalu dan kebiasaan.

3) Communication Perspective

Komunikasi merupakan landasan disetiap hubungan dokter-pasien. Pada teori ini mengemukakan bahwa peningkatan komunikasi provider-client akan meningkatkan kepatuhan dan secara tidak langsung menyatakan bahwa teori ini dapat dicapai melalui edukasi terhadap pasien dan ketrampilan komunikasi yang baik oleh petugas kesehatan.

4) Cognitive Perspective

Teori kognitif mencakup teori Health Belief Model (HBM), Social-Cognitive Theory (SCT), The Theories Of Reasoned Action (TRA) and The Planned Behavior (TPB) and The Protection Motivation


(24)

Theory (PMT). Teori ini fokus kepada variable kognitif sebagai bagian dari perubahan perilaku dan sama-sama diasumsikan sebagai sikap dan kepercayaan.

5) Self-regulation Perspective

Teori ini mengembangkan hal yang berhubungan dengan proses kepatuhan yang fokus terhadap pasien. Teori ini mengemukakan bahwa penting untuk menguji pengalaman subjektif seseorang terhadap ancaman kesehatan yang bertujuan untuk membuatnya mengerti cara untuk menyesuaikan diri dengan ancaman tersebut. Sehingga teori ini berlandaskan asumsi bahwa seseorang termotivasi untuk menghindar dan mengobati ancaman penyakit dan seseorang tersebut aktif dan mengatur dirinya sendiri dalam menyelesaikan masalah.

b. Beberapa faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Cuci Tangan

Menurut Efstathiou et al. (2011) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan tenaga kesehatan terhadap “Standard Precaution” agar supaya menghindari paparan mikroorganisme.

1) Situasi darurat (Emergency situation)

Banyak tenaga kesehatan yang mengeluhkan adanya situasi gawat darurat yang menjadi penghambat dalam melakukan tindakan pencegahan seperti penggunaan alat pelindung diri dan hand hygiene. Mereka memperdebatkan ketika tenaga kesehatan tiba-tiba bertemu situasi antara hidup dan mati pasien, mereka akan


(25)

memakai waktu mereka untuk menangani pasien dibandingkan dengan memakai alat pelindung diri. Mereka tahu bahwa hal ini dapat menyebabkan resiko terinfeksi mikroorganisme, akan tetapi bagi tenaga kesehatan, hal utama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan hidup pasien.

2) Ketersediaan peralatan (Availability of equipment)

Faktor lain yang dirasakan sebagai penghalang adalah kurangnya alat perlindungan diri yang tersedia (masker, sarung tangan) dan jauhnya akses ke tempat penyimpanan alat pelindung diri tersebut dari pasien yang harus segera ditangani. Selain itu, sering kali persediaan alat pelindung diri ada, tetapi ukurannya tidak sesuai dengan petugas medis yang akan memakainya.

3) Pengaruh negatif penggunaan peralatan pelindung (Negative influence of protective equipment)

Beberapa kelompok tenaga kesehatan mengemukakan bahwa penggunaan alat pelindung diri dapat mengurangi ketrampilan tenaga kesehatan. Mereka menyatakan bahwa memakai sarung tangan ketika mengambil darah pasien dapat menurunkan ketangkasan, ia juga tidak dapat meraba vena karena pengaruh dari sarung tangan steril tersebut.

4) Pasien merasa tidak nyaman (Patients’ discomfort)

Tenaga kesehatan mengkhawatirkan bahwa pasien akan merasa tidak nyaman apabila tenaga kesehatan memakai masker dan


(26)

berkali-kali mencuci tangannya pada saat melakukan penatalaksanaan kepada pasien.

5) Terlalu sibuk, kurangnya personil tenaga kesehatan, banyaknya waktu yang dibutuhkan (Too busy, lack of healthcare personnel, implementation of guidelines is time consuming)

Jumlah pasien yang sangat banyak dengan jumlah petugas medis yang terbatas menyebabkan tenaga kesehatan harus menangani banyak pasien. Sehingga penerapan prosedur Standard Precaution berdasarkan panduan adalah tindakan yang banyak memakan waktu.

6) Pengalaman bekerja sudah banyak (Working experience)

Faktor ini dapat terjadi ketika tenaga kesehatan telah mendapat banyak pengalaman kerja, mereka merasa sangat percaya diri dengan kemampuannya sehingga garis pedoman tertentu yang harus dipatuhi malah dilanggar.

c. Pengukuran kepatuhan

Pengukuran kepatuhan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu kuisioner dan survei. Kuisioner dibuat berdasarkan indikator-indikator yang telah dipilih. Indikator tersebut sangat penting untuk menjadi ukuran tentang standar dan penyimpangan dinilai dari ambang batas standar tersebut. Sedangkan survei merupakan pengukuran kepatuhan dengan observasi atau pengamatan terhadap suatu tindakan.


(27)

d. Pengertian Perilaku

Perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007). Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat. Intervensi terhadap faktor perilaku secara garis besar dapat dilakukan melalui dua upaya saling bertentangan. Masing-masing upaya tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kedua upaya tersebut dilakukan melalui :

1)Tekanan (Enforcement)

Upaya agar masyarakat mengubah perilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara-cara tekanan, paksaan, atau koersi (coertion). Upaya enforcement ini bisa dalam bentuk undang-undang atau peraturan-peraturan (law enforcement), instruksi-instruksi, tekanan-tekanan (fisik atau nonfisik), sanksi-sanksi, dan sebagainya. Pendekatan dengan cara ini lebih cepat menimbulkan perubahan perilaku namun umumnya perilaku baru tersebut tidak tahan lama karena tidak didasari oleh kesadaran tinggi mengapa perilaku tersebut harus dilakukan.

2) Pendidikan (Education)

Upaya agar masyarakat mengubah perilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, imbauan, ajakan, memberikan informasi, memberikan kesadaran,dan sebagainya melalui kegiatan yang disebut pendidikan atau promosi kesehatan. Promosi kesehatan


(28)

mengupayakan agar perilaku individu, kelompok, atau masyarakat mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.

Menurut Notoatmodjo (2007) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar) sehingga teorinya disebut S-O-R (Stimulus Organisme Respons). Terdapat dua jenis respons yaitu :

1)Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Respondent respons juga mencakup perilaku emosional.

2)Operant Respons atau instrumental respons yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Stimulus ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat respons.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2007) yaitu :

1) Perilaku tertutup (Covert Behaviour)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.


(29)

2) Perilaku terbuka (Overt Behaviour)

Respons seseorang terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati dan dilihat oleh orang lain.

e. Teori Perilaku

1) Precede-Proceed Model : Lawrence Green

Green dalam (Notoatmodjo, 2007) menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behavioural causes) dan faktor di luar perilaku (non-behavioural causes). Sedangkan faktor perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu:

1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor predisposisi mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

2) Faktor-faktor pendukung (enabling factors)

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat cuci tangan, dan sebagainya.


(30)

3) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors)

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, dari pasien, hingga petugas kesehatan itu sendiri.

Berdasarkan teori di atas, intervensi pendidikan (promosi kesehatan) hendaknya dimulai dengan mendiagnosis ketiga faktor penyebab tersebut. Model Green ini dapat digambarkan sebagai berikut (Notoatmodjo, 2007) :

B : Behaviour

PF : predisposing factors EF : enabling factors RF : reinforcing factors f : fungsi

2) Theory of Reasoned Action

Teori ini Azjen dan Fishbein dikemukakan pada tahun 1980. Teori ini kemudian diubah namanya dan dikembangkan oleh Ajzen menjadi The theory of Planned Behavior pada tahun 1985 (Sirur et al., 2009).


(31)

3) The theory of Planned Behavior

The theory of Planned Behavior dikembangkan oleh Ajzen dan timnya (Sirur et al., 2009). Teori ini menekankan tujuan perilaku sebagai luaran dari perpaduan beberapa kepercayaan. Teori ini mengemukakan bahwa tujuan sebaiknya dirumuskan sebagai rencana kegiatan dalam pencarian sebuah tujuan perilaku tertentu. Tujuan tersebut adalah sebuah hasi dari keyakinan berikut ini :

a) Sikap terhadap sebuah perilaku (Attitude towards a behavior) Membentuk penilaian terhadap perilaku tertentu dan yakin terhadap luaran yang dihasilkan. Contoh : Mencuci tangan adalah hal yang menyenangkan dan dapat mencegah saya terserang penyakit.

b) Norma subjektif (Subjective norm)

Hal ini merupakan keyakinan individu bahwa orang lain mengerti pentingnya perilaku yang akan dilakukan, yang merupakan motivasi bagi individu tersebut untuk patuh dalam melakukan perilaku


(32)

tersebut. Contoh : Orang yang penting bagi saya akan menerima saya apabila saya selalu menjaga kebersihan saya, dan saya menginginkan untuk berada di dekat mereka. Sebagai contoh pada penelitian ini pasien akan diikut sertakan untuk mengamati tindakan hand hygiene para petugas kesehatan. Maka tenaga kesehatan akan menganggap peran pasien ini sangat penting, karena pasien akan memberikan nilai baik dan buruk hand hygiene mereka melalui kartu berwarna merah dan biru. Kartu ini yang akan akan dikumpulkan dan akan mempengaruhi besar gaji yang mereka terima. Pada klinik hemodialisis ini, besar gaji ditentukan dengan kinerja tenaga kesehatannya.

c) Kontrol perilaku yang pernah diterima terdahulu (Perceived behavioural control)

Perceived behavioural control berisikan keyakinan bahwa seorang individu dapat memutuskan sebuah perilaku berdasarkan pertimbangan kontrol internal (keahlian, pengetahuan) dan kontrol eksternal (hambatan, kesempatan), dimana kedua kontrol tersebut dipengaruhi oleh perilaku terdahulu.


(33)

4) The Health Belief Model

The health belief model dikemukakan oleh Rosenstock. Berdasarkan model ini tujuan perilaku bergantung pada 4 hal yaitu (1) perceived vulnerability, (2) perceived severity, (3) perceived benefits vs. perceived barriers, (4) stimulants to action (Sirur et al., 2009). Model HBM model merupakan model pertama yang diadaptasi dari ilmu perilaku dan masalah kesehatan yang bertujuan untuk mempelajari dan mempromosikan layanan kesehatan. Anggapan dari teori HBM adalah bahwa seorang individu akan menggunakan tindakan kesehatan yang direkomendasikan jika dia percaya bahwa kondisi kesehatan yang negatif dapat dihindari dan kehadiran penyakit hanya memiliki derajat sedang. (Powers et al., 2016).


(34)

5) Protection Motivation Theory

Teori ini dikemukakan oleh Rogers (Sirur et al, 2009). Berdasarkan teori ini, perubahan perilaku dapat dicapai dengan menarik ketakutan individu. Terdapat tiga komponen untuk menimbulkan rasa takut : besarnya bahaya dari suatu gambaran peristiwa, kemungkinan peristiwa dapat terjadi, dan kemampuan respon perlindungan diri (Munro et al., 2007). Prinsip ini dapat diedukasikan terhadap para tenaga kesehatan di klinik hemodialisis dengan menjelaskan bahaya mematikan dari Healthcare-Associated Infections yang didapat apabila mereka tetap mengabaikan pentingnya hand hygiene untuk mencegah infeksi silang pasien kepada para tenaga kesehatan. Dengan demikian, mereka akan secara sadar merasa melakukan hand hygiene dan memakai alat pelindung diri untuk kebaikan mereka sendiri dan juga pasien mereka.


(35)

6) Social Learning Theory

Prinsip perencanaan dasar dari perubahan perilaku yang dikemukakan oleh teori ini adalah determinisme timbal balik dimana terdapat interaksi yang dinamis, berkelanjutan antara individu, lingkungan, dan perilaku. Teori social-cognitive menyatakan bahwa saat pengetahuan tentang faktor resiko dan manfaat merupakan syarat untuk perubahan, maka pengaruh dari diri sendiri diperlukan untuk perubahan tersebut dapat terjadi. Hasil dari teori perilaku ini dapat berupa penerimaan dari masyarakat atau bahkan celaan. Penilaian terhadap positif maupun negatif pada perilaku hidup sehat dan status kesehatan dirinya sendiri dapat juga mempengaruhi hasil praktek dari teori ini. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku adalah fasilitas dan hambatan. Perubahan perilaku dapat terjadi akibat kurangnya atau tidak adanya hambatan.


(36)

7) Transtheoritical Model of Change

f. Domain Perilaku

Karakteristik atau faktor-faktor dari dalam diri seseorang dapat mempengaruhi perubahan perilaku, meskipun perilaku merupakan bentuk respons terhadap stimulus dari luar. Perilaku disebut juga dengan hasil bersama berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2007) membagi perilaku manusia dalam 3 domain yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.

1) Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu,dan ini teradi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Penelitian


(37)

Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan yaitu :

a) Awareness (kesadaran), artinya bahwa orang tersebut menyadari adanya stimulus.

b) Interest, yakni orang mulai tertarik terhadap stimulus. c) Evaluation, menimbang baik-buruknya stimulus. d) Trial, orang tersebut mencoba perilaku baru.

e) Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Pengetahuan dibagi menjadi 6 tingkatan (Notoatmodjo, 2007), yaitu : a) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pegetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang ia pelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

b) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya.


(38)

c) Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi real (sebenarnya).

d) Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e) Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau mengubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasari oleh kriteria yang dibuat sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang sudah ada.

2) Sikap (Attitude)

Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu (Newcomb dalam Notoatmodjo, 2007). Sikap belum merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku


(39)

yang terbuka. Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok yaitu (1) kepercayaan ide dan konsep terhadap suatu objek, (2) kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek (3) kecenderungan untuk bertindak. Sama halnya dengan pengetahuan, sikap memilki berbagai tingkatan, yakni :

a) Menerima (receiving)

Menerima berarti bahwa subjek atau orang mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek .

b) Merespon (responding)

Merespon berarti memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

c) Menghargai (valuing)

Menghargai berarti mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.

d) Bertanggungjawab (responsible)

Bertanggungjawab memiliki arti bahwa subjek bertanggungjawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala resiko. Tingkatan ini merupakan sikap yang paling tinggi.

3) Praktik atau Tindakan (practice)

Praktik atau tindakan memiliki beberapa tingkatan, yaitu : a) Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.


(40)

b) Respons terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indicator praktik tingkat dua.

c) Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

d) Adopsi (Adoption)

Adaptasi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan tersebut sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2. PERAN PASIEN

Pasien merupakan orang sakit yang dirawat oleh dokter dan petugas kesehatan lainnya seperti perawat. Memahami kebutuhan dan keinginan pasien merupakan hal utama untuk menentukan kepuasan pasien terhadap pelayanan rumah sakit atau pusat pelayanan kesehatan lainnya. Kepuasan adalah perasaan senang seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesenangan terhadap aktivitas dan suatu produk dengan harapannya (Nursalam, 2011).

Pengalaman pasien dengan lingkungan rumah sakit bisa bermacam-macam. Pertama pasien akan menjumpai fasilitas rumah sakit seperti tempat parkir, ruang dokter. Kedua pasien akan menjumpai pelayanan rumah sakit berupa tindakan dokter, tenaga kesehatan, petugas laboratorium, dan bagaimana pembayaran dilakukan. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi


(41)

pasien terhadap penyedia layanan kesehatan. Faktor tersebut terdiri atas kebersihan lingkungan, tampilan fasilitas untuk mempermudah pasien menuju ke lokasi yang spesifik, perhatian yang muncul dari pegawai rumah sakit untuk memberikan secepatnya yang terbaik untuk pasien, biaya rumah sakit, dan lain sebagainya (Powell, 2001).

Program multi-modal hand hygiene termasuk patient empowerment telah dipertimbangkan sebagai komponen yang penting dalam kepatuhan hand hygiene (Mcguckin dan Govednik, 2013). Metode multi-modal ini didukung oleh World Health Organization (WHO) dalam guidelines berjudul WHO Guidelines on Hand hygiene in Health Care. Strategi sistem ini memiliki 5 langkah penting yaitu (1) Perubahan sistem, termasuk akses tenaga kesehatan terhadap alcohol-based handrub, sabun, handuk bersih, air yang mengalir cukup (2) edukasi dan pelatihan terhadap tenaga kesehatan dan staf (3) monitoring dan evaluasi pengetahuan tenaga kesehatan dan menyediakan reward bagi yang patuh melakukan hand hygiene (4) peringatan saat ditempat kerja (5) Iklim yang aman di institusi dengan partisipasi aktif oleh tenaga kesehatan, manajer, dan pasien. Pada tahun 2000, Pittet et al. dalam Mcguckin dan Govednik (2013). melaporkan penelitian pertama mengenai promosi hand hygiene secara luas dengan keterlibatan manajer dan tenaga kesehatan mampu menurunkan prevalensi Healthcare Associated Infections (HAIs) lebih dari beberapa tahun. Sementara itu McGuckin et al. menyatakan bahwa terdapat dampak positif saat melibatkan peran pasien dalam program kepatuhan hand hygiene di United States of America dan United Kingdom, sebuah pendekatan yang dipercaya tidak mungkin pada saat


(42)

itu. Sepuluh tahun kemudian, strategi program multi-modal yang melibatkan patient empowerment telah dipromosikan sebagai komponen penting dalam program hand hygiene.

Istilah ‘empowerment’ dalam patient empowerment dapat memiliki arti dan interpretasi yang berbeda. Pada pelayanan kesehatan, istilah tersebut merujuk kepada proses yang mengijinkan seseorang atau komunitas untuk menambah ilmu, ketrampilan, dan perilaku yang dibutuhkan untuk membuat keputusan dan berpartisipasi di dalam lingkungan itu. Menurut World Health Organization (WHO), empowerment didefinisikan sebagai sebuah proses dimana pasien memahami kesempatan mereka untuk berpartisipasi dan hak untuk diberikan pengetahuan dan ketrampilan oleh tenaga kesehatan dan sumber edukasi lain. Sebuah penelitian di Veterans Affairs hospital di the United States of America Lent et al. mendirikan program berjudul „Partners in Your Care’ menggunakan naskah cetak yang mendorong pasien untuk meminta tenaga kesehatan untuk mencuci tangan mereka, atau, pada kelompok yang terpisah, pasien diminta untuk berterimakasih kepada tenaga kesehatan mereka yang telah mencuci tangan sebelumnya. Peneliti tersebut menggunakan self-reporting untuk mengukur kesuksesan penelitiannya dan menyatakan bahwa tingkat kepatuhan hand hygiene pada petugas kesehatan hanya 3% saat diminta pasien untuk mencuci tangan. Namun kepatuhan tenaga kesehatan mencapai 45% saat pasien berterima kasih pada tenaga kesehatan tersebut sudah mencuci tangannya (Mcguckin dan Govednik, 2013).


(43)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa penelitian menunjukan bahwa pasien berharap untuk dilakukan patient empowerement. Program yang dilaporkan oleh World Health Organization Hand hygiene Guidelines e Programmes for Empowerment dalam konteks peningkatan kepatuhan hand hygiene dapat dikategorikan menjadi (1) edukasi dan motivasi (pengingat/poster), (2) role modelling (3) patient as observers dalam konteks pendekatan multimodal. Pasien sebagai pengamat adalah hal yang disorot pada penelitian ini. Dalam rangka memelihara gagasan dalam menguatkan pasien untuk dapat berperan mengingatkan tenaga kesehatan mereka untuk melakukan hand hygiene, penelitian terakhir penyatakan bahwa pasien mungkin, faktanya, juga dapat menjadi cara untuk memonitor hand hygiene yang sangat cost-effective yaitu dengan cara menjadi observers. (Mcguckin dan Govednik, 2013).

3. HAND HYGIENE

a. Pengertian Hand hygiene

Menurut World Health Organization (2009), hand hygiene merupakan kata yang umum berkenaan dengan semua usaha untuk membersihkan tangan. Hand hygiene merupakan hal utama yang paling penting untuk mencegah infeksi pada petugas kesehatan. Namun, kendala utamanya ada pada kepatuhan.

b. Tujuan Hand hygiene

Tujuan melakukan cuci tangan adalah sebagai berikut : 1) Mengangkat mikroorganisme yang ada di tangan 2) Mencegah infeksi silang (cross infection)


(44)

4) Melindungi diri dan pasien dari infeksi 5) Memberikan perasaan segar dan bersih.

c. Indikasi Hand hygiene

WHO menyatakan indikasi mencuci tangan sebagai berikut :

1)Mencuci tangan dengan sabun dan air ketika terlihat kotor atau terpapar darah atau cairan tubuh lain atau setelah menggunakan toilet. 2)Jika terbukti terpapar pada potensial pathogen, termasuk infeksi oleh

Costridium difficile, mencuci tangan dengan sabun dan air terbukti lebih ampuh.

3)Gunakan alcohol-based handrub secara rutin untuk antiseptik tangan. Apabila tidak terdapat alcohol-based handrub, cuci tanganlah menggunakan air dan sabun.

4)Setelah melepas sarung tangan steril maupun non-steril. 5)Sebelum menyiapkan obat dan makanan

6)Sabun dan alcohol-based handrub tidak boleh dilakukan bersama-sama.

d. Macam-macam Hand hygiene

Mencuci tangan dapat dilakukan dengan berbagai macam. Mulai dari menggunakan alcohol, sabun, cairan antiseptik, dan bahan pembersih lainnya. Menurut WHO (2009), cuci tangan dibedakan menjadi :

1) Alcohol-based (hand) rub

Bahan yang mengandung alkohol yang dapat berupa cairan, gel, atau buih yang dirancang untuk tangan dapat menonaktifkan mikroorganisme dan atau menekan pertumbuhannya sementara waktu.


(45)

2) Antimicrobial (medicated) soap

Sabun atau detergen mengandung sejumlah agen antiseptic untuk menonaktifkan mikroorganisme dan atau menekan pertumbuhannya sementara waktu seperti alcohol. Aktifitas detergen seperti sabun juga dapat mengeluarkan mikroorganisme atau kontaminan yang lain dari kulit setelah itu akan dibersihkan oleh air.

3) Antiseptic agent

Agen antiseptik merupakan suatu zat antimikroba yang menonaktifkan mikroorganisme atau menghambat pertumbuhannya di jaringan hidup. Contoh agen antiseptik adalah alkohol, chlorhexidine gluconate (CHG), chlorine derivatives, iodine, chloroxylenol (PCMX), quaternary ammonium compounds, dan triclosan.

4) Antiseptic hand wipe

Sapu tangan antiseptik merupakan satu lembar kain tipis atau kertas yang sebelumnya dibahasahi dengan antiseptik yang digunakan untuk menyeka tangan untuk menonaktifkan dan atau menghilangkan kontaminan mikroba. Cara ini mungkin bisa dipertimbangkan sebagai alternatif untuk mencuci tangan tanpa sabun dan air, namun cara ini kurang efektif dalam mengurangi jumlah bakteri pada tangan tenaga kesehatan dibandingkan dengan menggunakan handrub alkohol atau mencuci tangan dengan sabun antimikroba dan air.


(46)

5) Detergent (surfactant)

Deterjen merupakan bahan campuran yang memiliki aktivitas membersihkan. Deterjen memiliki dua jenis zat yaitu hidrofilik dan lipofilik. Deterjen juga dibedakan kedalam empat kelompok yaitu anionic, cationic, amphoteric, and non-ionic

6) Plain soap

Sabun sederhana ini tanpa ditambahi dengan zat antimikroba dan semata-mata hanya untuk membersihkan kotoran saja.

7) Waterless antiseptic agent

Agen antiseptik tanpa air ini merupakan agen antiseptic berupa cairan, gel, atau buih yang tidak membutuhkan air. Karena setelah penggunaan, individu harus menggosokan kedua tangan mereka bersamaan sampai kulit terasa kering.

e) Teknik Hand hygiene

1) Antiseptic handwashing

Antiseptic handwashing adalah mencuci tangan dengan menggunakan sabun dan air atau deterjen lain yang mengandung agen antiseptik.

2) Antiseptic handrubbing

Antiseptic handrubbing merupakan teknik mencuci tangan menggunakan antiseptic handrub untuk mengurangi atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme tanpa harus menggunakan air dari luar dan


(47)

tanpa butuh untuk membilas atau mengeringkan dengan handuk atau alat yang lain.

3) Hand antisepsis/decontamination/degerming

Menurunkan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan mengaplikasikan antiseptic handrub atau antiseptic handwash. 4) Hand disinfection

Hand disinfection merupakan teknik mencuci tangan yang telah dipergunakan secara luas dan umum di dunia untuk mengacu pada antiseptic handwash, antiseptic handrubbing, hand antisepsis/decontamination/degerming handwashing dengan menggunakan sabun anti mikroba dan air, hygienic hand antisepsis, atau hygienic handrub.

5) Surgical hand antisepsis/surgical hand preparation/presurgical hand preparation

Teknik ini digunakan sebelum operasi bagi tim bedah untuk mengeliminasi flora dari luar dan menurunkan flora normal kulit. Teknik ini dilakukan baik menggunakan sabun dan air maupun menggosok dengan alkohol.

f. Five MomentHand hygiene

Langkah 1. Sebelum menyentuh pasien


(48)

Langkah 2. Sebelum melakukan prosedur invansif dengan menggunakan sarung tangan atau tidak.

Gambar 7. Momen kedua cuci tangan (WHO, 2009)

Langkah 3. Setelah kontak dengan cairan tubuh, membran mukosa, atau balutan luka

Gambar 8. Momen ketiga cuci tangan (WHO, 2009)

Langkah 4. Setelah menyentuh pasien.

Gambar 9. Momen keempat cuci tangan (WHO, 2009)

Langkah 5. Setelah menyentuh objek disekitar pasien.


(49)

4. HEMODIALISIS

a. Pengertian Hemodialisis

Hemodialisis adalah metode yang paling sering digunakan untuk mengobati gagal ginjal permanen atau chronic kidney failure. Sejak tahun 1960, ketika hemodialisis pertama menjadi penatalaksanaan untuk gagal ginjal, kita telah belajar banyak bagaimana membuat hemodialisis menjadi lebih efektif dan memiliki efek samping yang minimal. Beberapa tahun terakhir, mesin dialisa menjadi lebih lengkap dan lebih sederhana seperti dengan adanya penemuan

home dialysis’. Meskipun prosedur dan peralatan yang dibutuhkan lebih baik dibandingkan sebelumnya, hemodialisis tetap terapi yang rumit dan merepotkan yang membutuhkan upaya kerjasama dari petugas kesehatan termasuk dokter nephrologist, perawat dialisa, teknisi dialisa, dietitian, dan pekerja sosial (NIDDK, 2006)

Ketika pasien chronic kidney failure mencapai suatu titik dimana ginjalnya tidak dapat menjalankan fungsinya, maka pilihan yang diberikan kepada pasien adalah : (1) dialisis baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal, (2) transplatasi ginjal, (3) kematian. Gagal ginjal dengan sebab apapun, akan didapatkan banyak kekecauan fisiologis. Homeostatis air dan mineral (sodium, potasium, klorid, kalsium, fosfor, magnesium, sulfat), serta pengeluaran beban metabolik menjadi tidak memungkinkan lagi. Sehingga racun hasil dari metabolisme nitrogen (urea, kreatinin, asam urat) terakumulasi di dalam darah dan jaringan. Oleh karena itu ginjal tidak akan bisa lagi berfungsi sebagai organ endokrin yang memproduksi erythropoietin dan 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitriol). Prosedur


(50)

hemodialisis akan membersihkan hasil dari katabolisme nitrogen dan mulai untuk mengkoreksi kekacauan jumlah garam, air, dan asam basa yang berhubungan dengan gagal ginjal. Dialisis merupakan pengobatan yang tidak sempurna untuk mengatasi banyak sekali kelainan pada gagal ginjal, karena dialysis tidak dapat mengkoreksi fungsi endokrin dari ginjal (NIDDK, 2006)

b. Indikasi Dilakukan Hemodialisis

Ginjal yang sehat membersihkan darah dengan cara membuang kelebihan cairan, mineral, dan zat-zat sisa metabolism tubuh. Ginjal juga membuat hormon yang berfungsi menjaga tulang kuat dan darah menjadi sehat. Ketika ginjal gagal menjalankan fungsinya, zat sisa berbahaya akan tertinggal menumpuk didalam tubuh, sehingga tekanan darah mungkin akan naik dan tubuh akan menahan kelebihan cairan dan tidak membuat se darah merah yang cukup. Ketika hal ini terjadi, maka tindakan yang diperlukan adalah hemodialisis untuk menggantikan fungsi ginjal yang telah gagal. Penyesuaian terbesar bagi pasien yang melakukan hemodialisis adalah mengikuti jadwal yang ketat. Kebanyakan pasien datang ke klinik hemodialisis 3 kali dalam seminggu dengan 3-5 jam setiap datang (NIDDK, 2006).

Indikasi memulai dialisis pada pasien gagal ginjal kronis sangat bermacam-macam. Beberapa dokter memulai dialysis apabila residual glomerular filtration rate berada dibawah 10 mL/menit/1,73 m2 area permukaan tubuh (15 mL/menit/1,73 m2 pada pasien diabetes). Selain itu, beberapa institusi lain akan memulai pengobatan hemodialisis saat pasien sudah merasakan kehilangan stamina untuk melakukan pekerjaan dan aktivitas normal sehari-hari. Dalam hal


(51)

ini, banyak pendapat yang menyetujui apabila pasien memiliki gejala (mual, muntah, anoreksia, kelelahan, penurunan sensoris) dan tanda (pericardial friction rub, edema pulmonal, asidosis metabolic, foot/wrist drop) pada uremia, penatalaksanaan dialisis harus dilaksanakan segera (NIDDK, 2006).

c. Prinsip Kerja Hemodialisis

Gambar 11. Prinsip kerja hemodialisis

Pada saat proses hemodialisis, darah pasien akan diijinkan mengalir, beberapa ons sekali waktu, melalui filter penyaring khusus yang mengangkat zat-zat sisa dan kelebihan cairan. Darah yang sudah bersih kembali ke tubuh pasien kembali. Proses penyaringan zat sisa berbahaya dan kelebihan garam dan air untuk membantu mengatur tekanan darah dan menjaga keseimbangan bahan kimia seperti sodium dan potassium (NIDDK, 2006).

Satu langkah penting sebelum memulai hemodialisis adalah menyiapkan VA (Vascular Access), sebuah tempat di bagian tubuh pasien dimana darah akan keluar dan kembali ke tubuh pasien. Vascular Access harus dipersiapkan dalam beberapa minggu atau bulan sebelum pasien memulai hemodialisis. VA akan


(52)

mempermudah dan membuat pembersihan darah menjadi lebih sedikit komplikasinya.

Dialisis merupakan proses memisahkan unsur ke dalam sebuah larutan dengan cara difusi melalui membran semipermeabel ke konsentrasi tinggi ke rendah. Hal ini merupakan proses yang utama untuk membersihkan hasil akhir metabolisme nitrogen seperti urea, kreatinin, dan asam urat serta untuk memenuhi kekurangan bikarbonat pada asidosis metabolic yang berkaitan dengan gagal ginjal.

Gambar 12. Proses pertukaran ion

d. Alat dan Bahan yang digunakan saat hemodialisis

1) Mesin Dialisis

Ukuran mesin dialisis kira-kira sebesar mesin pencuci piring. Mesin ini memiliki 3 tugas yaitu :

a) memompa darah dan menjaga aliran darah untuk keselamatan b) membersihkan zat sisa dari darah

c) menjaga tekanan darah dan kecepatan pembuangan cairan dari dalam tubuh pasien

2) Dialyzer

Dialyzer merupakan canister besar yang berisi ribuan serabut atau serat-serat kecil yang akan dilalui oleh darah. Larutan dialisis dan cairan pembersih akan dipompa melalui serat-serat tersebut. Serat-serat ini akan


(53)

memungkinkan zat sisa dan kelebihan cairan untuk lepas dari darah pasien dan menuju larutan dialisis yang akan membawa zat sisa tersebut keluar dari tubuh. Sehingga dialyzer sering dijuluki ginjal buatan.

3) Dialysis Solution (Larutan dialysis)

Larutan dialisis, juga dikenal sebagai dialisat, merupakan cairan yang berada pada dialyzer yang membantu mengangkat zat sisa dan kelebihan cairan di dalam darah.

4) Jarum

Sebagian besar pusat dialisis akan menggunakan dua jarum, satu untuk membawa darah pada dialyzer dan satu lagi untuk mengembalikan darah bersih ke dalam tubuh pasien. Beberapa jarum di desain khusu dengan dua lubang untuk dua arah aliran darah, namun jarum seperti ini kurang efisien dan membutuhkan waktu yang lebih lama.

e. Tindakan Pencegahan (Standard Precaution) Hemodialisis

Standard Precautions (Universal Precautions) berkenaan dengan praktek yang dibentuk untuk mencegah transmisi infeksi melalui kontak dengan cairan tubuh pasien. Konsep dari Standar Precautions adalah berdasarkan pada prinsip bahwa seluruh darah, cairan tubuh, hasil sekresi maupun ekskresi dari seluruh pasien mungkin mengandung agen infeksi menular. Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan masker, pelindung wajah, jubah/gaun panjang, dan sarung tangan. Di unit hemodialisis, tindakan pencegahan harus ditingkatkan lagi karena tingginya potensi untuk bersentuhan dengan darah dan pathogen di dalamnya seperti Human Imunodeficiency Virus, Hepatitis B Virus, dan Hepatitis C Virus.


(54)

Resiko terpapar meningkat karena petugas kesehatan dalam hal ini tenaga kesehatan harus mengakses aliran darah pasien saat sesi dialisis, begitu dekatnya tenaga kesehatan dengan pasien, tenaga kesehatan sering kontak dengan banyak pasien dan peralatan yang berbeda. Sehingga, petugas hemodialisis harus mengambil langkah teliti untuk melindungi mereka sendiri dan juga pasien tentunya (NIDDK, 2006).

f. Beberapa faktor yang Menyebabkan Healthcare-Associated Infections

saat Hemodialisis

a. Seringnya penggunakan kateter atau penempatan jarum untuk mengakses aliran darah.

b. Penurunan sistem imun pasien


(55)

B. KERANGKA TEORI

Gambar 13. Kerangka Teori Perilaku Lawrence Green Faktor Predisposisi

(Predisposing Factors)  Pengetahuan  Sikap

 Kepercayaan  Keyakinan  Nilai-Nilai 

Faktor Pendukung (Enabling Factors)

 Ketersediaan fasilitas atau sarana-sarana kesehatan seperti air bersih dan tempat cuci tangan, handrub. Faktor Pendorong (Reinforcing Factors)

 Sikap petugas kesehatan

 Sikap para tokoh masyarakat atau tokoh agama

 Sikap pasien

Perubahan perilaku kepatuhan hand hygiene


(56)

C. KERANGKA KONSEP

Gambar 14. Kerangka konsep Keterangan:

= variabel yang diteliti = variabel pengganggu = diteliti

= tidak diteliti

D. HIPOTESIS

Pada penelitian ini terdapat dua hipotesis yaitu :

H0 : Tidak ada perbedaan kepatuhan tenaga kesehatan dalam hand

hygiene sebelum dan sesudah intervensi

H1 : Ada perbedaan kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan

hand hygiene sebelum dan sesudah intervensi Peran Pasien

(Faktor pendorong /

reinforcing factor)

Tingkat Kepatuhan Tenaga kesehatan dalam melaksanakan

hand hygiene

Patuh Tidak Sempurna

Tidak Patuh Karakteristik tenaga kesehatan, usia, pengalaman

kerja, jenis kelamin, tingkat pendidikan,


(57)

Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian quasi-eksperiment pre test dan post test design. Penelitian ini terdiri dari satu kelompok yang diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah intervensi.

Keterangan :

P1 : Pre-test untuk mengetahui tingkat kepatuhan tenaga kesehatan

dalam hand hygiene sebelum diberikan intervensi

P2 : Post-test untuk mengetahui tingkat kepatuhan tenaga kesehatan

dalam hand hygiene setelah diberikan intervensi

X1 : Pemberian sosialisasi kepada tenaga kesehatan bahwa pasien akan

berperan sebagai penilai dalam melaksanakan hand hygiene dan juga pemberian edukasi kepada pasien mengenai prosedur hand hygiene yang benar saat dilakukan hemodialisis

B. Populasi dan Sampel penelitian

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah semua tenaga kesehatan yang ada di Klinik Hemodialisis.

2. Sampel

a. Besarnya sampel penelitian


(58)

Sampel pada penelitian ini adalah semua tenaga kesehatan di klinik Hemodialisis Nitipuran yang berjumlah 11 orang terdiri atas 4 dokter dan 7 perawat. Masing-masing dokter melakukan 2 momen yakni sebelum menyentuh pasien dan sesudah menyentuh pasien. Sedangkan perawat melakukan 4 momen saja kecuali setelah menyentuh cairan tubuh pasien. Sehingga 2 momen dikali 4 jumlah dokter didapatkan 8 momen dokter. Sedangkan 4 momen dikali 7 jumlah perawat didapatkan 28 momen perawat. Sehingga total momen berjumlah 36 momen per hari. Penelitian ini pada pengambilan data dilakukan 3 hari sehingga 36 momen dikali 3 hari sehingga momen total keseluruhan baik sebelum dan sesudah intervensi minimal 108 momen.

b. Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan total sampling. Metode pengambilan sampel yang dilakukan adalah dengan non-probability sampling yaitu tidak mengacak sample dikarenakan sampe sudah berjatah jumlahnya. Teknik dari metode non-probability sampling yang dipilih oleh peneliti adalah teknik purposive sampling, yaitu penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai yang dikehendaki peneliti berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang ditetapkan peneliti.

1)Kriteria inklusi :

Tenaga kesehatan klinik hemodialisis Nitipuran yang bersedia untuk menjadi responden penelitian.


(59)

2) Kriteria Eksklusi

Pada saat periode penelitian, tenaga kesehatan yang menjadi responden sudah tidak bekerja di klinik hemodialisis Nitipuran.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Klinik Hemodialisis Nitipuran, Jalan Nitipuran 183B Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Waktu penelitian adalah 18-27 Agustus 2016.

D. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat 2 variabel, yaitu : 1. Variabel Bebas (Independent Variables)

Variabel bebas adalah variabel yang nilainya mempengaruhi variabel lainnya, yaitu variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel bebasnya ada peran pasien.

2. Variabel Terikat (Dependent Variables)

Variabel terikat merupakan variabel yang nilainya tergantung dari nilai variabel lainnya. Dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan hand hygiene.

E. Definisi Operasional

1. Peran pasien merupakan intervensi yang diberikan untuk meningkatkan kepatuhan petugas kesehatan di klinik Hemodialisis secara tidak langsung. Pasien akan diberikan edukasi tentang langkah-langkah dan prosedur hand hygiene yang baik dan benar melalui teknik edukasi secara langsung dan juga video tenaga kesehatan yang akan ditampilkan melalui layar televisi


(60)

di depan tempat tidur pasien. Pasien berperan sebagai faktor pendorong (reinforcing factors) bagi tenaga kesehatan dalam melakukan hand hygiene. Alat ukur yang digunakan berupa kertas berwarna hijau dan biru. Kertas berwarna hijau digunakan pasien untuk menilai perawat. Sedangkan kertas berwarna biru digunakan pasien untuk menilai dokter. Masing-masing pasien diberikan 1 paket kartu biru dan 1 paket kartu hijau. 1 paket kartu terdiri dari 2 kartu bertuliskan patuh dan tidak patuh dengan warna yang sama. Tiap pasien akan menerima paket kartu sejumlah dengan dokter dan perawat yang berjaga pada shift tersebut. Secara umum pasien mendapatkan 5 paket kartu kepatuhan yang terdiri dari 2 paket kartu biru untuk dokter dan 3 paket kartu hijau untuk perawat. Kartu ini akan digunakan sebagai indikator profesionalitas kerja yang akan berpengaruh terhadap penilaian kerja tenaga kesehatan di klinik hemodialisis. Hasil kartu ini tidak akan dimasukan dalam analisis SPSS. 2. Kepatuhan didefinisikan apabila tenaga kesehatan di klinik hemodialisis

Nitipuran melakukan 5 langkah Hand hygiene dengan benar dan urut, sesuai dengan waktu yang ditentukan, dan dapat memilih dengan benar antara menggunakan handrub atau handwash. Waktu yang ditentukan menurut WHO (2009) untuk handwash adalah 40-60 detik sedangkan untuk handrub 20-30 detik. Kepatuhan pelayanan hemodialisis dinilai dari seluruh aktivitas pelayanan hemodialisis mulai dari sebelum memasang alat kepada pasien sampai dengan ending yaitu melepas alat hemodialisis pada pasien. Kepatuhan dinilai dengan cara observasi menggunakan daftar


(61)

tilik kepatuhan hand hygiene. Hasilnya dapat dikategorikan sebagai patuh dan tidak patuh dengan skala nominal.

a. Patuh

Patuh apabila tenaga kesehatan melakukan hand hygiene, benar tidaknya langkah-langkah hand hygiene, memilih antara handrub dan handwash, dan waktu hand hygiene yaitu untuk handwash adalah 40-60 detik sedangkan untuk handrub 20-30 detik diabaikan dalam penelitian ini karena observasi menggunakan CCTV (Closed Circuit Television) sehingga tidak dapat diamati secara jelas mengenai benar tidaknya langkah dan waktu hand hygiene yang dilakukan tenaga kesehatan.

b. Tidak Patuh

Tidak patuh apabila tenaga kesehatan tidak melakukan hand hygiene.

3. Five moment hand hygiene didefinisikan sebagai lima momen cuci tangan yang harus dilakukan pada saat penanganan pasien yaitu : (1) Sebelum menyentuh pasien (2) Sebelum melakukan prosedur invansif dengan menggunakan sarung tangan atau tidak (3) Setelah kontak dengan cairan tubuh, membran mukosa, atau balutan luka (4) Setelah menyentuh pasien (5) Setelah menyentuh objek disekitar pasien.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian berupa daftar tilik yang dibuat oleh peneliti sendiri dan juga kartu berwarna hijau dan biru.


(62)

Tabel 2. Daftar Tilik Hand hygiene

Tenaga Kesehatan yang

diamati

Dokter A Dokter B Dokter C Perawat 1 dst.

Kriteria observasi

YA TIDAK YA TIDAK YA TIDAK YA TIDAK

A. SAAT HAND HYGIENE 1. Sebelum menyentuh pasien 2. Sebelum melakukan prosedur invansif dengan menggunakan sarung tangan atau tidak. 3. Setelah kontak dengan cairan tubuh, membran mukosa, atau balutan luka . 4. Setelah menyentuh pasien. 5. Setelah menyentuh objek disekitar pasien. B. PROSEDUR CUCI TANGAN 1. Mencuci tangan dengan air mengalir 2. 6 langkah cuci tangan terlaksana 3. Membilas dengan air sampai bersih 4.Mengeringkan dengan handuk atau tisu 5. Waktu


(1)

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Mcguckin dan Govednik (2013) menyatakan bahwa terdapat dua kategori kepatuhan tenaga kesehatan yang melibatkan pasien yakni kesediaan pasien untuk diberi pengertian (willingness of patients to be empowered) dan hambatan dalam pemberdayaan pasien (barriers to empowerment)9. Dalam penelitian di USA dan UK, pasien diedukasi untuk meminta kepada dokter dan perawat untuk mencuci tangan. Mereka melaporkan bahwa 80%-90% pasien setuju untuk meminta petugas kesehatan mereka untuk cuci tangan, apabila tenaga kesehatan telah diberikan edukasi tentang pentingnya hand hygiene maka mereka akan memberikan ijin kepada pasien untuk bebas bertanya. Namun meskipun 90% pasien percaya akan pentingnya hand hygiene dan berkata mereka akan meminta dokter dan

perawat untuk mencuci tangan, hanya 40% yang dilaporkan bahwa mereka benar-benar melakukan. Hal ini menunjukkan bahwa pasien mengerti akan pentingnya hand hygiene untuk mencegah HAIs, namun kesediaan pasien untuk meminta petugas kesehatan untuk melakukan hand hygiene bervariasi pada seluruh pasien bergantung dengan tingkat pengetahuan atau ada anggota keluarganya yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan8.

Pada penelitian yang lain membahas alasan mengapa pasien tidak akan meminta untuk petugas kesehatan melakukan hand hygiene, berdasarkan pertanyaan terbuka kuisioner yang diberikan pada 194 pasien. Hasilnya alasan utamanya adalah sebuah presepsi bahwa tenaga kesehatan sudah tahu atau seharusnya tahu kapan akan melakukan hand hygiene. Sehingga


(2)

pasien dan keluarga pasien merasa tidak harus mengingatkan dan memberi tahu dokter dan perawat. Alasan lain yakni kepercayaan pasien bahwa meminta dokter atau perawat untuk cuci tangan bukan bagian dari peran pasien. Selain itu alasan lain yang disebutkan adalah perasaan malu atau kikuk sehubungan dengan permintaan untuk hand hygiene pada dokter dan perawat5.

Apabila hasil peningkatan kepatuhan pada penelitian ini dibagi berdasarkan profesi maka secara khusus dokter hanya mengalami peningkatan sebesar 11.43% sedangkan perawat mengalami peningkatan lebih tinggi yakni sebesar 23.79%. Banyak penelitian literature, kepatuhan pada perawat lebih baik dibandingkan dengan dokter. Audit data hand hygiene di Australia pada 2013 menyebutkan

bahwa rata-rata kepatuhan hand hygiene pada perawat sebesar 83% dan pada dokter hanya 66%. Hal ini disebabkan karena dokter lebih sedikit kontak dengan pasien dibandingkan perawat. Sedangkan perawat menemui pasien secara lebih sering, melakukan prosedur invansif lebih sering, yang membuat timbulnya infeksi dan transmisi pathogen5.

Penelitian lainnya menurut Erasmus menemukan bahwa kepatuhan hand hygiene oleh dokter dan perawat dipengaruhi oleh faktor yang berbeda. Pakar menyatakan opini bahwa perubahan lingkungan fisik seperti meningkatkan akses handrub, akan efektif untuk perawat, tetapi tidak untuk dokter. Hal ini sesuai dengan penemuan dari prakarsa Geneva, yang menemukan sebuah pengaruh dukungan positif (dikombinasikan dengan fasilitas dan


(3)

komitmen institusi) pada perilaku hand hygiene dari perawat, dimana kepatuhan dari dokter tetap rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa strategi peningkatan hand hygiene pada dokter harus ditentukan. Pada penelitian tersebut menunjukkan hipotesa kunci untuk meningkatkan kepatuhan hand hygiene dokter adalah dengan cara meningkatkan pengetahuan dan budaya sosial10. Berdasarkan 5 Moment Hand Hygiene, peningkatan kepatuhan terendah berada pada momen 4 yaitu momen setelah menyentuh pasien. Sedangkan peningkatan kepatuhan tertinggi terjadi pada momen 2 yakni sebelum melakukan prosedur tindakan invansif. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, cuci tangan pada momen setelah menyentuh pasien jarang dilakukan dikarenakan petugas kesehatan menganggap apabila

mereka sudah memakai handscoon maka ia tidak perlu lagi untuk mencuci tangan11. Kedua, angka kepatuhan momen 4 yakni setelah menyentuh pasien sudah lebih tinggi yakni sebesar 52.52% dibandingkan pada momen 2 yang hanya 50% pada saat sebelum diberi perlakuan. Selain itu banyak dokter dan perawat mencuci tangan setelah selesai menyentuh 7 pasien di tempat tidur yang berbeda.Hal ini tentu juga tidak dapat dibenarkan karena memicu adanya infeksi silang antar pasien hemodialis. Sehingga situasi tersebut termasuk dalam kategori tidak patuh. Sedangkan peningkatan kepatuhan tertinggi terjadi pada momen 2 yakni sebelum melakukan prosedur invansif yaitu memasang peralatan hemodialisis. Hal tersebut mungkindikarenakan petugas kesehatan telah memahami edukasi dengan baik dan telah melekat kuat


(4)

menjadi kebiasaan sebelum melakukan prosedur invansif maka harus melakukan hand hygiene terlebih dahulu.

Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pasien memiliki pengaruh dalam peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan hand hygiene di Klinik Hemodialisis Nitipuran. Besar pengaruh tersebut apabila diukur secara statistik menghasilkan nilai p 0.003 (<0.05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan kepatuhan sebelum dan sesudah diberikan perlakuan berupa edukasi kepada pasien.

B. Saran

1.Managemen Klinik Hemodialisis Bagi managemen klinik unit hemodialisis seharusnya dapat memberikan pelatihan dan edukasi

secara kontinu bagi tenaga kesehatan maupun karyawan di kliniknya. Sehingga pola kepatuhan hand hygiene dapat selalu dipertahankan atau bahkan dapat meningkat ke arah yang lebih baik yaitu sangat patuh. Selain itu managemen klinik dapat menambahkan aspek kepatuhan terhadap penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) atau hand hygiene dalam catatan performa kinerja tenaga kesehatan dan karyawan. Sehingga memotivasi mereka dalam kepatuhan hand hygiene maupun standard precautions. Managemen Klinik juga diharapkan dapat menambah fasilitas hand hygiene terutama handrub yang dipasang di setiap tempat tidur pasien.

2. Tenaga Kesehatan

Bagi tenaga kesehatan diharapkan dapat terus termotivasi untuk selalu patuh meskipun tidak sedang dinilai oleh pasien. Tenaga


(5)

kesehatan juga sebaiknya menjadikan tindakan pencegahan untuk senantiasa melindungi pasien maupun dirinya sendiri.

3. Penelitian Selanjutnya

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti dalam lingkup yang lebih luas lagi. Selain itu edukasi terhadap pasien dapat ditambah dengan menggunakan media yang edukatif selain video seperti pamflet atau poster supaya dapat dibawa ke rumah.

Daftar Pustaka

Friedman, N., Kaye, K., Stout, J., McGarry, S., Trivette, S., &Briggs, J. (2002). Health care-associated bloodstream infections in adults:a reason to change the accepted defi nition of community-acquired infections. Ann Intern Med (137), 791-797.

Huis, A., Achterberg, T. v., Bruin, M. d., Grol, R., Schoonhoven, L., & Hulscher, M. (2012). A systematic review of hand hygiene improvement strategies: a

behavioural approach.

Implementation Science, 7 (92), 1-14.

World Health Organization. (2011). Report on the Burden of

Endemic Health

Care-Associated Infection Worldwide. A systematic review of the literature . Sax, H., Allegranzi, B., Uckay, I., Larson, E., Boyce, J., & Pittet, D.

(2007). ‘My five moments for

hand hygiene’:a user-centred design approach to understand,train, monitor and report hand hygiene. Journal of Hospital Infection (67), 9-21.

Longtin, Y., Sax, H., Allegranzi, B., Schneider, F., & Pittet, D. (2011). Hand Hygiene. The new england journal of medicine, 364 (e24).

Boyce JM, Pittet D; Healthcare Infection Control Practices Advisory Committee;HICPAC/SHEA/APIC/I DSA Hand hygiene Task Force. Guideline for Hand hygiene in

Health-Care Settings.

Recommendations of the Healthcare Infection Control Practices Advisory Committee and the HICPAC/ SHEA/APIC/IDSA Hand hygiene Task Force. Society for Healthcare

Epidemiology of

America/Association for Professionals in Infection Control/Infectious Diseases Society of America. MMWR Recomm Rep 2002; 51: 1-45.

Naikoba S, Hayward A: The effectiveness of interventions aimed at increasing handwashing in healthcare workers - a systematic review. J Hosp Infect 2001, 47:173– 180.

McGuckin, M., & Govednik, J. (2013). Patient empowerment and hand hygiene, 1997-2012. Journal of Hospital Infection , 84, 191-199.


(6)

McGuckin, Maryanne; Storr, Julie; Longtin, Yves; Allegranzi, Benedetta; and Pittet, Didier. (2011). Patient empowerment and multimodal hand hygiene promotion: a win-win strategy. College of Population Health Faculty

Papers. Paper 49.

Erasmus V, Daha T.J., Brug, J., Richardus, J.H., Behdrendt, M.D. , Vos. M.C. , van Beeck, E.F. A systematic review of studies on compliance to hand hygiene

guidelines in health care. Infection Control & Hospital Epidemiology 2010; 31(3): 283-94.

World Health Organization. (2009). Hand hygiene: Why, How & When?


Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PEMBERIAN SIMULASI HAND HYGIENE TERHADAP KEPATUHAN HAND HYGIENE PETUGAS NON MEDIS DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II

0 3 26

HUBUNGAN PERAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP KEPATUHAN IBU HAMIL DALAM MENGKONSUMSI TABLET Fe

2 9 134

PENGARUH EDUKASI MEDIA VIDEO TERHADAP PENINGKATAN KEPATUHAN TENAGA KESEHATAN DALAM MELAKSANAKAN HAND HYGIENE DI KLINIK HEMODIALISIS

3 8 118

PENGARUH EDUKASI MELALUI MEDIA SLIDE TERHADAP PENINGKATAN KEPATUHAN TENAGA KESEHATAN DALAM MELAKSANAKAN HAND HYGIENE DI KLINIK HEMODIALISIS

0 2 97

Hubungan Kepatuhan Hand Hygiene Tenaga Kesehatan dan Kejadian Sepsis Neonatorum di HCU Neonatus RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

0 3 9

KEPATUHAN PELAKSANAAN KEGIATAN HAND HYGIENE PADA TENAGA KESEHATAN DI RUMAH SAKIT X SURABAYA COMPLIANCE IMPLEMENTATION HAND HYGIENE TO HEALTH CARE WORKERS IN X HOSPITAL SURABAYA Dwi Bagus Susilo

0 1 5

Pengaruh Faktor Individu, Organisasi dan Perilaku terhadap Kepatuhan Perawat dalam Melaksanakan Hand Hygiene di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit

1 1 9

HUBUNGAN KEPATUHAN PERAWAT DALAM MELAKUKAN HAND HYGIENE DENGAN KEJADIAN FLEBITIS DI RSUD WONOSARI NASKAH PUBLIKASI - HUBUNGAN KEPATUHAN PERAWAT DALAM MELAKUKAN HAND HYGIENE DENGAN KEJADIAN FLEBITIS DI RSUD WONOSARI - DIGILIB UNISAYOGYA

0 3 14

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN HAND HYGIENE TERHADAP KEPATUHAN PROSEDUR 6 LANGKAH HAND HYGIENE PADA KELUARGA PASIEN DI ICU RSUD PROF DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN HAND HYGIENE TERHADAP KEPATUHAN PROSEDUR 6 LANGKAH HAND HYGIENE PADA KELUARGA PASIEN DI ICU RSUD PROF DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 2 11