Otoritarianisme Negara 1 Latar Belakang Masalah 1.1 Perubahan Politik Pasca Pemerintahan Soeharto

b. Gerak kearah sebuah partai tunggal, kearah suatu rezim mobilisasi dengan pendasaran ideologis, atau c. Kelangsungan politik birokratis. Masalah dasar politik birokratis, seperti halnya pada model patrimonial, adalah kemampuannya memenuhi dan memuaskan harapan-harapn material pada tingkat elit, menengah dan rakyat banyak. Oleh sebab itu kontinuitas dan kelangsungan politik birokratis ini sangat tergantung pada keberhasilannya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang dilaksanakan oleh negara. Pentingnya pertumbuhan ekonomi ini dapat dipastikan karena tuntutan pemuasan material telah menyebabkan adanya tekanan-tekanan yang semakin besar lagi. Tekanan-tekanan ini datang dari: Pertama, kalangan elit birokrat yang semakin membesar, perwira militer, dan para pemimpin politik yang kerjasamanya diperlukan oleh pemerintah; Kedua, kelas menengah yang berharap dapat meningkatkan keejahteraan dan kebutuhan material, serta harapan mengenai jaminan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka; Ketiga, rakyat yang juga berharap untuk adanya peningkatan pemenuhan kebutuhan material, sehingga perlu digali lebih banyak sumber daya yang harus disisihkan untuk melunakkan rasa tidak puas yang mungkin mendorong mereka kedalam tindakan kekerasan.

I.1.2 Otoritarianisme Negara

Istilah rezim dirumuskan sebagai prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan dan prosedur pengambilan keputusan yang dianut oleh penguasa sebuah negara. Dengan pengertian ini rezim bisa otoriter bisa juga demokratis. Bila muncul perubahan rezim berarti yang dimaksud adalah perubahan prinsip, norma, aturan dan prosedur pengambilan keputusan. Tentunya pengertian rezim yang kedua tersebut lebih sempit dari pada pengertian negara. Bagi negara, prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan dan prosedur dikaitkan dengan tujuan didirikannya negara tersebut. Tujuan negara jelas lebih luas dibandingkan dengan sekedar pengambilan keputusan. Sedangkan prinsip-prinsip, norma aturan, prosedur yang ada pada rezim hanya terbatas pada cara pengambilan keputusan. Rezim Otoritarian-Birokratik OB sendiri awalnya dimunculkan untuk menjelaskan fenomena otoritarianisme negara-negara berkembang pada konteks historis tertentu yaitu pada saat berlangsungnya proses perluasan dari industrialisasi dan pembangunan ekonomi di negara-negara kapitalis pinggiran seiring dengan munculnya kejenuhan pertumbuhan dan ekspansi ekonomi secara horizontal yang pernah dicapai lewat strategi Industri Substitusi Impor ISI Pada fase deepening perluasan inilah negara terpaksa beralih strategi untuk mengupayakan suatu integrasi vertikal melalui pendekatan Industrialisasi berOrientasi Ekspor IOE dengan menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi ortodoks. Ortodoksi dalam kebijakan tersebut menjadi sangat penting dalam rangka menghadapi krisis ekonomi dan untuk menciptakan stabilitas ekonomi jangka panjang yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang acap kali ditentukan sendiri oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan badan-badan pemberi dana internasional. 7 Sedangkan bentuk politisnya ditandai oleh kekuasaan yang dominan, besar dan meluas untuk meniadakan atau mengecilkan semua pusat potensial kekuatan tandingan. Oleh karena itu untuk mencapai kondisi politik tersebut, rezim ini biasanya akan menciptakan struktur politik ”represif” sebagai berikut: Menurut Herb Feith, Rezim Otoritarian- Birokratik mempunyai bentuk ideologi yang khas dengan tiga unsur karakter penopang yaitu: teknokratis- developmentalis, militeristis dan nasionalistis. Mereka juga mempunyai kecenderungan untuk memperluas dan memperkuat kemampuan aparatur birokrasi mereka. Mereka menggunakan perluasan ini guna memudahkan mobilitas sosial berdasarkan sekolah. 8 1. Menghancurkan pusat kekuasaan dari lawan yang telah terkalahkan yang biasanya merupakan aliansi dan koalisi dari sayap kiri dan nasionalis. 2. Mengenakan kontrol yang ketat terhadap koalisi unsur-unsur pendukung, mengurangi kebebasan kelompok yang berpotensi mengarahkan massa, memperluas peranan perwira militer dalam pemerintahan dan bersihkan angkatan bersenjata dari unsur-unsur yang sangat potensial untuk tidak stabil. 3. Menggunakan siasat represi yang sangat kompleks dan universal dalam menjaga agar kontrol tetap terpelihara dengan mengetahui potensi jaringan yang memungkinkan membangkang. 7 Hasrul Hanif, Op Cit. Hal: 5-6. 8 Ibid, Hal: 8 Dengan demikian, model rezim Otoritarian – Birokratik menurut O’ Donnell mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: a. Pemerintahan dipegang militer, tidak sebagai diktator pribadi, melainkan sebagai lembaga, berkolaborasi dengan teknokrat sipil. b. Didukung oleh enterpreneur oligopolistik yang bersama negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. c. Pengambilan keputusan dalam rezim ini bersifat birokratik-teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan proses bargaining yang lama diantara berbagai kelompok kepentingan. d. Massa didemobilisasi. e. Untuk mengendalikan oposisi, pemerintah melakukan tindakan-tindakan represif. Menatap prospek transformasi kekuasaan dari rezim Otoritarian – Birokratik OB atau rezim non demokratis menjadi penting untuk dibedah. Mengidentifikasi proses transformasi yang sangat heterogen sangat penting untuk memprediksikan konsolidasi rezim baru yang demokratisasi atau rekonsolidasi rezim lama. Krisis legitimasi sering sekali muncul akibat semakin menguatnya tuntutan kelas bawah yang disertai fragmentasi yang terjadi pada elemen pendukung rezim Otoritarian-Birokratik yang sedang berkuasa. Upaya reproduksi ideologi melalui aparatus hegemonik negara harus berhadapan dengan counter-hegemony yang semakin menguat dari kekuatan civil-society. Proses perubahan dan transformasi sebuah rezim tidaklah ditentukan hanya karena faktor pertumbuhan dan pembangunan ekonomi maupun modernisasi semata. Fase yang muncul pasca krisis legitimasi rezim Otoritarian-Birokratik akan ditandai dengan dua fase waktu, yaitu: liberalisasi atau transisi. Fase liberalisasi dan transisi, satu dengan yang lainnya bisa saling mendahului.walaupun liberalisasi sering muncul dalam fase transisi. Fase liberalisasi merupakan fase yang dalam ranah yang tidak demokratis. Membutuhkan campuran antara kebijakan dan perubahan sosial, seperti longgarnya sensor, meluasnya ruang yang memungkinkan adanya ekspresi publik secara meluas, perlindungan hak individu dan lain-lain yang kesemuanya bisa merupakan konsekuensi dari meningkatnya pemerataan pendapatan dan yang paling penting adanya toleransi terhadap oposisi. Liberalisasi juga dapat dimaknai sebagai proses pengefektifan hak-hak politik yang melindungi individu dan kelompok- kelompok sosial dari perbuatan kesewenang-wenangan atau tidak sah dari negara atau pihak ketiga. Adapun yang dimaksud dengan fase transisi adalah titik awal atau interval selang waktu antara rezim otoritarian dengan rezim demokratis. Fase ini dimulai dari kejatuhan rezim otoritarian lama yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan instalasi lembaga-lembaga politik dan aturan-aturan politik baru dibawah payung demokrasi. Jika transisi hanya menghasilkan otoritarianisme baru, maka konsolidasi yang terjadi merupakan pemantapan rezim otoritarian baru itu, begitu juga sebaliknya. Dalam perpolitikan Orde Baru rezim birokratik otoritarian adalah kata yang tepat. Rezim birokratik otoritarian ini bertujuan membuat keputusan yang sederhana, tepat, tidak bertele-tele, dan efisien yang tidak memungkinkan adanya proses bargaining yang lama, melainkan mencukupkan diri pada pendekatan “teknokratik- birokratik” dengan pertimbangan semata-mata “efisiensi”. Rezim seperti ini bangkit karena antara lain adanya semacam keyakinan bagi elit politik meyakini bahwa stabilitas merupakan kunci utama untuk mengejar ketinggalan melalui pembangunan ekonomi yang cepat. Rezim ini didukung oleh unsur koalisinya dari kelompok- kelompok yang paling mungkin dapat mendukung proses pembangunan yang efisien yaitu ‘militer’, teknokrat sipil, dan pemilik modal baik domestik maupun luar negeri. Menurut Mohtar Mas’oed tercatat lima macam karakteristik rezim birokratik otoritarian yang disebutnya juga sebagai hegemonik birokratik, yaitu: 9 1. Pemerintah dipimpin oleh militer sebagai lembaga yang bekerja sama dengan teknokrat sipil. 2. Pemerintah didukung oleh pemilik modal domestik yang bersama-sama pemerintah bekerja sama dengan masyarakat internasional. 3. Pendekatan kebijaksanaannya didominasi oleh pendekatan teknokratik- teknokratik dan menjauhi proses bargaining yang bertele-tele antara kelompok-kelompok kepentingan. 4. Massa dimobilisasi. 5. Pemerintah menggunakan tindakan represif untuk mengontrol oposisi. Dwight Y. King membedakan model perpolitikan birokratik-otoritarian ke dalam empat ciri, yaitu: 9 Moh Mahfud, Op Cit, Hal: 115-116 Pertama, kewenangan tertinggi lebih terletak kepada oligarki atau militer sebagai suatu institusi dari pada suatu penguasa. Bila sekelompok militer sebagai suatu institusi memegang kekuasaan, mereka mengadopsi pendekatan yang teknokratik dan birokratik dalam pembuatan kebijakan. Tekanannya ialah pada proses pembuatan kebijakan yang bersifat konsultatif dan konsensual dikalangan penguasa serta peranan sentral dari struktur birokratik yang lebih besar, dan bukan militer perse. Dengan demikian model birokratik-otoritarian menghindari sikap mensejajarkan tujuan dan cara militer serta teknokratik atau menafsirlebih pada kekuasaan yang bisa dipakai semuanya dari pada seseorang individu. Kedua, mentalitas teknokratik yang merata, sebagai lawan dari bentuk ideologi apapun yang dikembangkan, merupakan kriteria lain yang membedakan suatu rezim birokratik-otoritarian terutama dari suatu rezim totaliter. Usaha-usaha pemerintah Orde Baru untuk mempengaruhi transformasi budaya politik, menurut King umumnya terdiri dari tindakan-tindakan represif, seperti pembungkaman atas kritik-kritik dari pihak radikal maupun media massa, dan usaha-usaha untuk menciptakan mentalitas konformis dengan mewariskan nilai-nilai yang kabur dan bersifat umum atau doktrin-doktrin inklusif serta memanipulasikan simbol-simbol patriotik dan chauvinistik yang mengikat bersama elit penguasa, militer, dan sipil lebih pada Konsensus programatik dari pada ideologi modernisasi. Ketiga, kemauan massa populasi untuk bekerja didalam kerangka acuan penerimaan rezim adalah apatis dan sejalan dengan itu adalah kurangnya perhatian dari sebagian elit penguasa dalam memobilisasikan dukungan massa atas landasan yang berkesinambungan. Keempat, upaya untuk mencapai kemajemukan terbatas dengan menggunakan represi, pemilihan dan yang khas, suatu jaringan organisasi yang korporatis dan dengan demikian mengontrol oposisi terhadap rezim.

I.1.3 Politik Pemerintahan Orde Baru