Pembuatan Model Database Register Petak di IUPHHKHA PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua.

(1)

PROVINSI PAPUA

FEBRINA NOVITASARI SILALAHI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(2)

RINGKASAN

FEBRINA NOVITASARI SILALAHI. E14080004. Pembuatan Model

Database Register Petak di IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua. Skripsi. Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh M. BUCE SALEH.

Penataan areal hutan perlu dilakukan sebagai tahap awal dalam pengelolaan hutan yang bertujuan untuk mengatur areal kerja tahunan ke dalam petak-petak kerja. Petak berfungsi dalam pembuatan catatan-catatan (register) tentang sifat-sifat dan karakter hutan dalam basis data petak. Melihat pentingnya data dan informasi yang terdapat dalam petak kerja untuk pengelolaan hutan maka diperlukan adanya suatu model database Sistem Informasi Geografis (SIG) yang merupakan isi dari setiap petak kerja. Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat memberikan informasi yang aktual dan akurat mengenai kondisi hutan yang akan dikelola.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat model database dari setiap petak areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data dasar dari setiap petak kerja oleh IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri untuk mendukung kegiatan manajemen pengelolaan hutan selanjutnya.

Metode yang digunakan adalah pemilihan citra menggunakan Citra Landsat terkoreksi ortho multiwaktu dari tahun 2000-2012 yang bersumber dari LAPAN sebagai base map, pengolahan citra, identifikasi areal non produksi, penataan areal dari bagian hutan, blok RKT, petak hingga anak petak, dan pembuatan model database.

Kawasan PT. Mamberamo Alasmandiri terdiri dari kawasan produksi dan non produksi, pembagian kawasan produksi dan non produksi ditandai sebagai anak petak. Kawasan non produksi yang terdapat di PT. Mamberamo Alasmandiri terdiri dari kawasan lindung, kawasan infrastruktur pengelolaan, daerah larangan dan perkampungan penduduk. Model database SIG yang dihasilkan berisi register tentang informasi pengelolaan yang dilakukan di setiap petak kerja dan informasi mengenai hasil identifikasi kawasan non produksi. Database tersebut dapat digunakan untuk melakukan monitoring dan evaluasi petak kerja.

Kata kunci : kawasan produksi dan non produksi, model database, penataan areal, petak kerja, sistem informasi geografis.


(3)

SUMMARY

FEBRINA NOVITASARI SILALAHI. E14080004. Development of Database Register Compartment Modeling at IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri, Papua Province. Undergraduate Thesis. Forest Management, Bogor Agricultural University. Supervised by M. BUCE SALEH.

The forest area development is necessary for the first step of forest management, this stage was aimed to arrange the annual compartments. The compartment is needed to make a register set containing the forest characteristic database on each compartment. Because of the importance of data and information on the every compartment, a database model for Geographic Information System (GIS) is needed. Geographic Information System (GIS) enables us to provide actual and accurate information on forest condition to manage.

The aim of the research is to develop database modeling from every compartment at IUPHHK-HA of PT. Mamberamo Alasmandiri. The result of this research are expected to be used as database from every compartment by IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri to support further forest management activities.

The method used in this research was image selection the timeseries ortho rectified landsat image from 2000-2012 derived from LAPAN as a base map, non production area identification, forest area management, RKT block management, compartment management to sub-compartment, and database modeling development subsequently.

PT. Mamberamo Alasmandiri consist of production and non production area, this area division was marked as sub-compartment. The non production areaof PT. Mamberamo Alasmandiri consist of conservation area, infrastuctur of management area infrastructur, restricted area, and residental area. The result of GIS database model consist of register about information management conducted in every compartment and information about the identification non production area. The database could be utilized for monitoring and evaluation of compartment.

Keywords : area management, compartment, database modeling, geographic information system, produce and non produce area.


(4)

PROVINSI PAPUA

FEBRINA NOVITASARI SILALAHI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pembuatan Model

DatabaseRegister Petak di IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi

Papua adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

Febrina Novitasari Silalahi NIM E14080004


(6)

Judul Penelitian : Pembuatan Model DatabaseRegister Petak di IUPHHK- HA PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua.

Nama : Febrina Novitasari Silalahi

NRP : E14080004

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS NIP : 19571005 198303 1 002

Mengetahui,

Kepala Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP 19630401 199403 1 001


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serbalawan, Sumatera Utara pada tanggal 12 Februari 1991 sebagai anak ke-dua dari empat bersaudara dari pasangan AIPTU R. Silalahi dan L br Siahaan, BA. Penulis menyelesaikan pendidikan formal pada tahun 1996 di Taman Kanak-Kanak Muhammadiyah Serbalawan, pendidikan dasar di SDN 091588 Dolok Batu Nanggar lulus tahun 2002, pendidikan menegah pertama di SMPN 1 Dolok Batu Nanggar lulus tahun 2005, pendidikan menengah atas di SMAN 1 Dolok Batu Nanggar lulus tahun 2008. Pada tahun 2008 diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), sebagai mahasiswa di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Inventarisasi Sumberdaya Hutan tahun ajaran 2011-2012, Teknik Inventarisasi Sumberdaya Hutan tahun ajaran 2011-2012. Penulis berkesempatan menjadi pengurus Forest Student Management Club (FMSC), Fakultas Kehutanan periode kepengurusan tahun 2010/2011 dan mengikuti Kelompok Studi Hidrologi dan DAS FMSC. Selain itu, penulis aktif dalam kepanitian berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor.

Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Papandayan dan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 2010. Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi dan KPH Cianjur, Jawa Barat pada tahun 2011. Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua pada tahun 2012. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Program Magang Mandiri Fakultas Kehutanan di PT. Inhutani I, Batu Ampar, Kalimantan Timur dan Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (Borneo Orangutan Survival Foundation), Samboja Lestari, Kalimantan Timur pada tahun 2010.

Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Pembuatan Model Database Register Petak di IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri,


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala Berkat dan Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Pembuatan Model Database Register Petak di IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua”.

Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berisi tentang model pencatatan register petak guna membangun database mengenai informasi-informasi yang terdapat dalam petak kerja. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat model database dari setiap petak areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Ayahanda AIPTU R. Silalahi dan Ibunda L br Siahaan, BA atas segala doa, nasihat, motivasi, dukungan dan kasih sayangnya.

2. Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, ilmu, kesabaran, motivasi dan waktu selama penelitian dan penyusunan skripsi. 3. Ir. Deded Sarip Nawawi, MSc sebagai dosen penguji dan Dr. Ir. Muhdin, MSc

sebagai dosen ketua sidang dalam ujian komprehensif.

4. Kakak Ririn Sodora Silalahi, SE, adik Christian Orleansdo Silalahi, Samuel Kalimuda Silalahi atas doa, motivasi, dukungan dan kasih sayangnya.

5. IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri atas segala fasilitas yang diberikan kepada penulis selama penelitian.

6. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) atas penyediaan data citra landsat dalam penelitian.

7. Bapak Uus Saepul atas kesabaran dalam memberikan pengarahan dan ilmu. 8. Bapak Maman, Bapak Guntur, Bapak Sulatko, Bapak Heri, Bapak Wuri, Bapak

Alberto, Bapak Indas, Bapak Ali Maksum, Bapak Syariffudin, Bapak Kahar, Bapak Mujian, Mas Aziz, serta seluruh karyawan PT. Mamberamo Alasmandiri.


(9)

9. M. Yusran, Kak Ikma, Bang Qori, Aryanda atas bantuan, semangat dan dukungan untuk penulis.

10.Ibu Yeni Vetrita, Bapak Sigit dan seluruh karyawan LAPAN

11.Teman-teman PKL dan penelitian di IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri Chatarina Ganis R.W, Yanuarinda Efinosa V, Pamungkas Nurafrizal, Adita Agung P, Dimas D Seputra.

12.Teman-teman Magang Mandiri di PT. Inhutani I dan BOS Foundation Fitta, Ega, Defri.

13.Sahabat Desi Yanti, Evi, Erti, Satriani, Dian, Septi, Riris, Amzyella, Lia, Isa atas semangat, dukungan dan doa kepada penulis.

14.Keluarga besar Laboratorium Remote Sensing dan GIS Ganis, Pem, Riska, Refly, Fajar, Ega, Soleh, Tia, Oje, Gina, Ka Mitha, Ka monik atas segala bantuan dan dukungan kepada penulis.

15.Keluarga Besar Manajemen Hutan angkatan 45 atas segala kebersamaan dan dukungannya.

16.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas semua bantuan dan dukungannya.


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis ... 3

2.2 Penginderaan Jauh ... 4

2.3 Citra Landsat ... 5

2.4 Penataan Areal Hutan ... 8

2.5 Basis Data ... 10

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 13

3.2 Alat dan Data ... 13

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pemilihan Citra ... 14

3.3.2 Pengolahan Citra ... 15

3.3.3 Identifikasi Areal Non Produksi 3.3.3.1 Kawasan Lindung ... 16

3.3.3.2 Pembuatan Skoring ... 17

3.3.3.3 Overlay Kawasan Infrastruktur Pengelolaan ... 17

3.3.3.4 Overlay Daerah Larangan dan Perkampungan Penduduk . 17 3.3.4 Penataan Areal ... 17

3.3.5 Pembuatan Model Database ... 18

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas IUPHHK ... 19


(11)

4.2 Kondisi Topografi dan Kelerengan ... 19

4.3 Kondisi Tanah ... 20

4.4 Kondisi Geologi, Iklim dan Intensitas Hujan ... 20

4.5 Penutupan Lahah dan Fungsi Hutan ... 21

4.6 Sosial dan Ekonomi Masyarakat ... 22

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi dan Analisis Areal Non Produksi ... 24

5.1.1 Kawasan Lindung ... 24

5.1.1.1 Sempadan Sungai ... 25

5.1.1.2 Skoring Kawasan Lindung ... 26

5.1.1.3 Kawasan Sekitar Danau ... 27

5.1.1.4 Kawasan Penyangga (Buffer Zone) ... 27

5.1.1.5 Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) ... 28

5.1.2 Kawasan Infrastruktur Pengelolaan ... 31

5.1.3 Daerah Larangan dan Perkampungan Penduduk ... 32

5.2 Penataan Areal Hutan ... 34

5.3 Penataan Anak Petak dan Informasi untuk Pengelolaan ... 38

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 43

6.2 Saran ... 43 DAFTAR PUSTAKA


(12)

3

DAFTAR TABEL

1. Karakteristik Satelit Landsat 1 hingga 5 dan Landsat 7 ... 7

2. Karakteristik Band pada Landsat-7 ETM+ ... 8

3. Model Database Relasional ... 18

4. Batas Areal Kerja IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri ... 19

5. Kelas Lereng di Areal Kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri 20 6. Penutupan Vegetasi pada Fungsi Hutan PT. Mamberamo Alasmandiri ... 22

7. Kawasan Lindung Lain di PT. Mamberamo Alasmandiri ... 30 Halaman No


(13)

DAFTAR GAMBAR

No

1. Citra terkoreksi geometri ortho (a) dan Citra belum terkoreksi geometri

ortho (b) ... 14

2. Citra Landsat hasil mosaik (a) dan Citra Landsat hasil croping (b) ... 16

3. Kondisi sempadan sungai di lapangan ... 25

4. Peta penetapan fungsi kawasan hutan dalam format shp yang diperoleh dari PT. Mamberamo Alasmandiri ... 26

5. Kawasan sekitar Danau Bira di lapangan ... 27

6. Buffer zone PT. Mamberamo Alasmandiri ... 28

7. Buffer zone Hutan Lindung Suaka Margasatwa Foja ... 28

8. Papan nama KPPN Bagian Hutan Aja di lapangan (a), jejak kaki Babi di KPPN (b) dan jejak kaki burung Kasuari di KPPN (c) ... 29

9. Jaringan jalan (a), Log pond (b) dan Base camp induk lokasi Aja ... 32

10.Lokasi Hutan Keramat (a) dan Tegakan Pohon Agathis (b) ... 33

11.Perkampungan Penduduk Distrik Kasonaweja ... 33

12.Peta Areal Non Produksi IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri ... 34

13.Petak kerja PT. Mamberamo Alasmandiri ... 36

14.Penomoran petak kerja ... 37

15.Peta Penataan Areal IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri ... 38

16.Layer blok RKT (a) Blok RKT 2009 B (b) ... 38

17.Pembagian anak petak 32AO ... 39

18.Model database relasional yang menjadi data atribut SIG ... 41

19.Cara pemanggilan database petak keseluruhan ... 41

20.Informasi Petak 32 AO ... 42 Halaman


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki banyak manfaat meliputi manfaat produk kayu dan non kayu serta manfaat terhadap lingkungan. Oleh karena itu, harus diakui, dikelola dan dimanfaatkan secara optimal dan kelestariannya harus dijaga untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat baik bagi generasi sekarang dan mendatang. Salah satu tahapan dalam pengelolaan hutan agar tetap lestari adalah penataan areal hutan. Penataan areal hutan perlu dilakukan sebagai tahap awal dalam pengelolaan hutan yang lestari. Penataan areal hutan adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengatur areal kerja tahunan ke dalam petak – petak kerja guna memudahkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam setiap kegiatan pengusahaan yang dilakukan.

Petak merupakan bagian terkecil dari bagian hutan yang berfungsi sebagai wadah pelaksanaan dan penyelesaian tindakan manajemen langsung (kesatuan manajemen), yaitu kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, dan sebagai satu kesatuan administrasi. Menurut Sarbini dan Santoso (2009) petak berfungsi juga dalam pembuatan catatan-catatan (register) tentang sifat-sifat dan karakter hutan dalam basis data petak. Register petak yang dimaksud berupa informasi mengenai petak tersebut seperti peruntukan areal, tutupan lahan, nomor petak, potensi yang ada di petak tersebut baik jenis maupun volume sampai kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan di petak tersebut. Pihak perusahaan perlu mendata informasi-informasi apa saja yang terdapat di dalam petak, baik petak yang telah lama ditinggalkan maupun petak baru yang akan dikelola. Informasi ini digunakan untuk memudahkan pengelolaan hutan selanjutnya.

Data dan informasi yang terdapat dalam petak kerja untuk pengelolaan hutan sangat penting sehingga diperlukan adanya suatu model database yang


(15)

merupakan isi dari setiap petak kerja. Sistem informasi yang dapat memberikan informasi yang aktual dan akurat mengenai kondisi hutan yang akan dikelola diperlukan untuk membuat sebuah model database, sistem yang dimaksud adalah Sistem Informasi Geografis (SIG) dan penginderaan jauh (remote sensing). SIG merupakan suatu sistem informasi yang berbasis pada paduan data spasial dan bukan spasial (non spasial). Paduan data ini dibutuhkan untuk memudahkan manajemen dalam pengelolaan hutan. Penginderaan jauh memiliki kelebihan mampu memberikan data dan informasi secara lengkap, cepat dan akurat. Penginderaan jauh berguna bagi pengamat untuk dapat melakukan analisis-analisis terhadap objek-objek yang ada dipermukaan bumi tanpa bersentuhan langsung dengan objek yang bersangkutan dalam cakupan luas yang cukup besar. PT. Mamberamo Alasmandiri sebagai salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang pengelolaan hutan membutuhkan adanya suatu model database yang akan membantu memberikan informasi mengenai register dalam suatu petak yang dikelola.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membuat model database dari setiap petak areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri.

1.3. Manfaat

Hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar dari setiap petak kerja oleh IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri untuk mendukung kegiatan manajemen pengelolaan hutan selanjutnya.


(16)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Sistem Informasi Geografis

Menurut Foote (1995) dalam Prahasta (2009) Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang tereferensi secara spasial atau koordinat-koordinat geografis. SIG adalah sistem basis data dengan kemampuan-kemampuan khusus (terkait) data yang tereferensi secara geografis berikut sekumpulan operasi-operasi (fungsionalitas) yang terkait dengan pengelolaan data tersebut. Selain itu dalam tulisannya Prahasta menambahkan bahwa SIG merupakan sistem komputer yang sangat

powerful baik dalam menangani masalah basis data spasial maupun non-spasial.

SIG mampu mengakomodasi penyimpanan, pemrosesan, dan penayangan data spasial digital bahkan integrasi data yang beragam, mulai dari citra satelit, foto udara, peta bahkan data statistik. SIG akan mampu memproses dan menampilkan data secara cepat dan akurat bila tersedia komputer dengan kecepatan dan kapasitas ruang penyimpanan besar. SIG juga mengakomodasi dinamika data, pemutakhiran data yang akan menjadi lebih mudah (Utami 2012).

Menurut ESRI (1990) dalam Sarbini dan Santoso (2009) beberapa pertanyaan yang dapat dijawab dengan menggunakan SIG antara lain:

a. Menyangkut lokasi : dapat dijelaskan dengan nama tempat, kode pos, atau lokasi geografis seperti latitude dan longitude.

b. Menyangkut keadaan tempat : misalnya bagaimana keadaan lokasi yang disebutkan pada butir a di atas, apakah daerah tidak berhutan, daerah tambang, atau daerah perkotaan.

c. Menyangkut perubahan : misalnya yang berhubungan dengan dua hal tersebut di atas (lokasi dan keadaan), perubahan apa yang terjadi pada kedua hal tersebut pada waktu yang berbeda

d. Menyangkut pola : bagaimana pola terjadinya hutan sekunder berkaitan dengan adanya kampung, jalan, sungai dan lain-lain.

e. Menyangkut pembuatan model dan analisis : apa yang terjadi di daerah hilir bila hutan di daerah hulu luasnya berkurang? Untuk menjawab pertanyaan ini


(17)

diperlukan berbagai data geografis dan data/informasi lainnya serta prosedur dalam analisisnya.

2.2. Penginderaan Jauh

Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi suatu obyek atau fenomena, menggunakan suatu alat perekaman dari suatu kejauhan, dimana pengukuran dilakukan tanpa melakukan kontak langsung secara fisik dengan obyek atau fenomena yang diukur/diamati (American Society of

Photogrammetry 1983 dalam Jaya 2010).

Pengumpulan data penginderaan jarak jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera atau alat pengumpul data yang disebut sensor. Obyek yang diindera adalah obyek yang terletak di permukaan bumi, di atmosfer (dirgantara) dan di antariksa. Pengumpulan data dari jarak jauh tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tenaga yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat berupa variasi distribusi (distribution) daya, distribusi gelombang bunyi, atau distribusi energi elektromagnetik. Data penginderaan jauh dapat berupa citra (imaginery), grafik, dan data numerik. Data tersebut dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah, atau fenomena yang diindera atau diteliti. Proses penerjemahan data menjadi informasi disebut analisis atau interpretasi data. Apabila proses penerjemahan tersebut dilakukan secara digital dengan bantuan komputer disebut interpretasi digital (Purwadhi 2001).

Menurut Sarbini dan Santoso (2009) penggunaan data penginderaan jauh mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan penggunaan potret udara atau peta biasa. Pertama, liputan (coverage), citra penginderaan jauh biasanya mencakup areal cukup luas. Kedua, data digital: citra penginderaan jauh dapat diperoleh dalam bentuk digital sehingga data tersebut dapat diolah secara digital dengan menggunakan komputer. Hal ini akan memberikan hasil yang lebih konsisten dan proses yang lebih efisien. Ketiga, periode tersedianya data, data citra dapat


(18)

diperoleh secara periodik dengan teratur (misalnya: setiap 16 hari untuk Landsat TM), sehingga tersedianya data pada setiap periode dapat terjamin. Disamping itu, dengan tersedianya data secara periodik tersebut, gejala perubahan alam (pola perubahan hutan, terjadinya kerusakan hutan, pertumbuhan hutan, dan sebagainya) dapat dipelajari. Keempat, murah (cost effective), dengan cakupan wilayah yang luas, maka biaya pengadaan citra per satuan luas menjadi lebih murah.

2.3. Citra Landsat

Landsat merupakan Satelit Sumberdaya Bumi yang pada awalnya bernama ERTS-1(Earts Resources Technology Satellite) yang diluncurkan pertama kalinya tanggal 23 Juli 1972 yang mengorbit hingga 6 Januari 1978. Satelit ini mengorbit mengelilingi bumi selaras matahari (sunsynchronous). Tepat sebelum peluncuran ERTS-B tanggal 22 Juli 1975, NASA (National Aeronautic and Space

Administration) secara resmi menangani program ERTS menjadi program Landsat

(untuk membedakan dengan program satelit oseanografi “Seasat” yang telah direncanakan) sehingga ERTS-1 dan ERTS-B menjadi Landsat 1 dan Landsat 2. Peluncuran Landsat 3 pada tanggal 5 Maret 1978. Landsat 1 dan 2 membawa dua sensor, yaitu RBV (Return Beam Vidicon) dan MSS (Multispektral Scanner). Landsat 3 terdapat dua perubahan besar pada rancang bangunnya, yaitu tambahan saluran termal (10,4-12,6) mm pada sensor MSS dan resolusi spasial sistem RBV ditingkatkan dengan menggunakan sistem dua kamera lebar (bukan multispektral) (Purwadhi 2001).

Landsat 4 diluncurkan Juli 1982, Landsat 5 diluncurkan Maret 1984 dan Landsat 6 Februari 1993, tetapi tidak mencapai orbit dan jatuh ke laut. Landsat 4 dan 5 merupakan pengembangan sensor pada sistem Landsat 1, 2 dan 3 dengan peningkatan resolusi spasial, kepekaan radiometrik, laju pengiriman datanya lebih cepat, dan fokus penginderaan informasi yang berkaitan dengan vegetasi. Landsat 1, 2 dan 3 empat saluran sensor MSS tidak ada saluran termal, sedangkan Landsat 4 dan 5 disamping empat sensor MSS ditambah sensor TM (Thematic Mapper), dan ETM (Enhance Thematic Mapper) untuk Landsat 6 dengan menambahkan saluran termal (10,4-12,6) µm (Purwadhi 2001).


(19)

Sistem RBV terdiri atas kamera televisi seperti yang ditunjukkan untuk mengindera daerah seluas 185 km x 185 km secara serentak. Resolusi medan nominal kamera ini kurang lebih 80 m dan kepekaan spektral masing-masing kamera pada dasarnya sama dengan suatu lapis film inframerah berwarna dengan susunan : 0,475 µm – 0,575 µm (hijau), 0,580 µm – 0,680 µm (merah), dan 0,690 µm – 0,830 µm (inframerah pantulan). Sistem MSS meliputi lebar sapuan sebesar 185 km dalam empat saluran panjang gelombang dua pada spektrum tampak pada 0,5 µm – 0,6 µm (hijau) dan 0,6 µm – 0,7 µm (merah), dan dua pada spektrum inframerah pantulan pada 0,7 µm – 0,8 µm dan 0,9 µm – 1,1 µm. (Lillesand dan Kiefer, 1990)

Menurut Purwadhi (2001) sistem TM meliputi lebar sapuan (scanning) sebesar 185 km, direkam dengan menggunakan tujuh saluran panjang gelombang, yaiutu tiga saluran panjang gelombang tampak, tiga saluran panjang gelombang inframerah dekat, dan satu saluran panjang gelombang inframerah termal. Panjang gelombang yang digunakan pada setiap saluran Landsat TM adalah saluran 1 gelombang biru (0,45-0,52) µm, saluran 2 gelombang hijau (0,52-0,60) µm, saluran gelombang merah (0,63-0,69) µm, saluran 4 gelombang inframerah dekat (0,76-0,90) µm, saluran 5 gelombang inframerah pendek (1,55-1,75) µm, saluran 6 gelombang inframerah termal (10,40-12,50) µm, dan saluran 7 gelombang inframerah pendek (2,08-2,35) µm. Sensor ETM merupakan pengembangan dari sensor TM dengan menambahkan saluran pankromatik (0,50-0,90) µm, yang didesain mempunyai resolusi spasial 15 x 15 m. Sensor ETM juga didesain dapat merekam citra multispektral dengan enam saluran seperti pada sensor TM, yaitu menggunakan panjang gelombang tampak (visible), inframerah dekat, inframerah pendek dengan resolusi 30 m, sedangkan satu saluran termal dengan resolusi diperbaiki menjadi 60 m.


(20)

Landsat 7 adalah satelit yang diluncurkan oleh Amerika Serikat pada tahun 1999, satelit ini merupakan satelit sumberdaya alam dengan kisaran panjang gelombang meliputi daerah sinar tampak dan inframerah. Karakteristik dari Landsat 1, 2, 3; Landsat 4, 5; dan Landsat 7 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik satelit landsat 1 hingga 5 dan Landsat 7

Karakteristik Landsat 1,2,3 Landsat 4, 5 Landsat 7 Orbit Sinkron matahari Sinkron matahari Sinkron matahari Ketinggian (880-940) km 705 km

Sudut inklinasi 99,1˚ 98,2˚ Sensor/ saluran spektral (band/µm) RBV Band 1:0,475-0,575 MSS

Band 4:0,50-0,60 TM dan ETM+ Band 2:0,58-0,68 Band 5:0,60-0,70 Band 1 : 0,45 - 0,52 Band 3:0,69-0,89 Band 6:0,70-0,80 Band 2 : 0,52 - 0,61

Band 7:0,80-1,10 Band 3 : 0,63 - 0,69

Sensor/ saluran spektral (band/µm)

MSS TM

Band 1:0,45-0,52 Band 4 : 0,78 - 0,90 Band 4 Band 2:0,52-0,60 Band 5 : 1,55 - 1,75 Band 5 Band 3:0,63-0,69 Band 6 : 10,4 - 12,5 Band 6 Band 4:0,76-0,90 Band 7 : 2,08 - 2,35 Band 7 Band 5:1,55-1,75 Band 8 : 0,52 - 0,90

Band 6:10,4-12,5 (Pankromatik) Band 7:2,08-2, 35 Resolusi

spasial 80 m 30 m dan 120 m (band 6)

30 m dan 15 m (band 8) Cakupan 185 km x 185 km 185 km x 185 km 185 km x 185 km Pengulangan

rekaman 18 hari 16 hari


(21)

Landsat 7 memiliki sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus), yang terdiri bari 8 band. Karakteristik band pada Landsat 7 ETM+ dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik Band pada Landsat 7 ETM+

Band Panjang gelombang (µm)

Resolusi

spasial (m) Aplikasi

1 0,450 - 0,515 30 x 30 Untuk pemetaan perairan pantai, pembedaan tanah dan vegetasi, analisa tanah dan air, dan pembedaan tumbuhan berdaun lebar dengan konifer.

2 0,525 - 0,605 30 x 30 Untuk inventarisasi vegetasi dan penilaian kesuburan.

3 0,630 - 0,690 30 x 30 Untuk pemisahan kelas vegetasi, dan memperkuat kontras antara penampakan vegetasi dengan non vegetasi.

4 0,750 - 0,900 30 x 30 Untuk deteksi akumulasi biomassa vegetasi, identifikasi jenis tanaman, dan memudahkan pembedaan tanah dan tanaman, serta lahan dan air. 5 1,550 - 1,750 30 x 30 Untuk menunjukkan kandungan air

pada tanaman, kondisi kelembaban tanah dan berguna untuk membedakan awan dengan salju. 6 10,400 - 12,500 60 x 60 Untuk analisa stress vegetasi,

pembedaan kelembaban tanah, klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi dan pemetaan suhu.

7 2,090 - 2,35 30 x 30 Untuk pemetaan formasi geologi dan pemetaan hidrothermal.

8 0,520 - 0,900 15 x 15 Untuk peningkatan resolusi spasial. Sumber : Humaidi (2005)

2.4. Penataan Areal Hutan

Penataan areal hutan adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, mencakup kegiatan pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung di dalamnya dengan tujuan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari (Sarbini dan Santoso 2009). Menurut Rahmawati (2006) penataan areal hutan adalah kegiatan


(22)

penataan ruang hutan sebagaimana dipersyaratkan oleh prinsip pengelolaan hutan lestari didasarkan atas identifikasi areal dan kualitas lahan dari suatu areal kerja pengusahaan hutan agar terselenggara kegiatan pengelolaan hutan yang lestari, efisien dan berwawasan lingkungan. Tujuan Penataan areal hutan adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang potensi dan keadaan hutan serta menentukan cara pengaturan pemanfaatan dan pembinaannya untuk menjamin azas kelestarian dan hasil optimum.

Pasal 12 PP No. 6 tahun 2007 menyatakan bahwa kegiatan penataan areal hutan pada suatu KPH mencakup : a. Tata batas, b. Inventarisasi hutan, c. Pembagian ke dalam blok atau zona, d. Pembagian petak dan anak petak, e. Pemetaan. Hasil kegiatan-kegiatan tersebut adalah kesatuan pengelolaan hutan yang sudah tertata dengan ciri-ciri (Tim Penyusun Manual Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) (1997) dalam Sarbini dan Santoso (2009)) :

1. Memiliki batas-batas luar yang jelas dan permanen 2. Terbagi ke dalam petak-petak dengan batas permanen

3. Mempunyai sarana dan prasarana pengelolaan hutan yang memadai

4. Setiap petak memiliki identitas dan informasi yang jelas di peta dan di lapangan 5. Seluruh batas, fasilitas dan hal-hal lain yang diperlukan dalam pengelolaan

hutan telah dipetakan.

Menurut Sarbini dan Santoso (2009) batas-batas dalam satu KPHP terdiri atas batas luar dan batas dalam. Batas luar KPHP memisahkan areal kerja KPHK dengan areal di luarnya yang berupa kawasan hutan produksi yang termasuk KPHP lain, kawasan hutan fungsi lain selain kawasan hutan produksi yaitu kawasan hutan lindung dan atau kawasan hutan konservasi, dan lahan bukan kawasan hutan yang dapat berupa pemukiman, pertanian, perkebunan dan lain-lain. Batas dalam KPHP terdiri atas batas-batas antar petak (compartment) dalam KPHP, dan batas-batas dengan kawasan hutan dengan fungsi lain (konservasi dan lindung) yang ada di dalam KPHP.

KPHP dibagi menjadi kesatuan pengelolaan yang lebih kecil yang disebut blok, kemudian blok dibagi-bagi lagi menjadi petak (compartment), kemudian petak dibagi-bagi lagi menjadi anak petak (sub compartment). Blok adalah bagian dari KPHP yang merupakan satu kesatuan eksploitasi dimana arah pengeluaran


(23)

kayu baik melalui jalan dan atau sungai merupakan satu kesatuan yang hampir sama, dengan batas-batas berupa DAS atau Sub DAS dan topografi lapangan yang umumnya seragam. Petak adalah bagian terkecil dari KPHP yang bersifat permanen, berfungsi sebagai suatu kesatuan pengelolaan dan satu kesatuan administrasi dan memiliki luas minimal tertentu yang ditetapkan. Petak merupakan kesatuan terkecil yang dipergunakan bagi kegiatan-kegiatan pembuatan catatan-catatan (register) tentang sifat-sifat dan karakter hutan dalam basis data petak, penggunaan model-model pertumbuhan pada blok hutan yang heterogen, perkiraan potensi produksi untuk masa yang akan datang dan tahun kapan penebangan dapat dilaksanakan, serta perencanaan dan pengawasan pemanenan, pemeliharaan dan kegiatan-kegiatan perbaikan (rehabilitasi) lainnya. Anak petak adalah bagian dari petak yang bersifat sementara yang akan dibuat apabila karena berbagai faktor, terutama yang berupa gangguan terhadap tumbuhan, terjadi perubahan dalam bagian tertentu dari petak sehingga keadaan bagian ini berbeda dari keadaan umum dari petaknya yang dapat diukur oleh ciri-ciri fisik, ciri-ciri vegetasi dan ciri-ciri fasilitas pengembangan (Sarbini dan Santoso 2009).

2.5. Basis Data

Model data dalam SIG terdiri dari dua macam, yaitu data spasial dan data non spasial. Data spasial merupakan data yang mempunyai dimensi ruang/space yang menerapkan tentang lokasi geografi (posisi, koordinat) di suatu obyek baik berupa titik, garis maupun area. Data non spasial merupakan data yang mempunyai deskripsi dan menjelaskan identifikasi suatu obyek spasial yang bersangkutan dan berbentuk tabular (Dephut 2012).

Basis data adalah himpunan/kumpulan data/file yang saling berhubungan yang disimpan dalam suatu media (elektronis) secara rupa terorganisir sehingga dapat diakses dengan mudah dan cepat. Keuntungan dari adanya basis data adalah pengendalian terpusat (centralized control), dapat di-share (shareable) sehingga pengelolaan data menjadi lebih efisien, setiap tipe data menjadi independen (data independence), implementasi menjadi lebih mudah (easier to implement), akses data langsung (direct user access), meminimalkan pengulangan data (minimizing


(24)

data redudancy), dan dapat dilihat oleh pengguna. Kelemahan dari basis data adalah biaya awal (overhead) pembangunan basis data cukup mahal, teknologi lebih kompleks dan resiko terpusat. Ciri-ciri basis data yang baik adalah struktur basis data (tabel-tabel dan relasinya) kompak, struktur tabel efisien dan sistematis,

space (memori) penyimpanan yang kompak, ukuran tabel efisien untuk

mempercepat proses pengolahan, sedikit/tidak ada redudancy (pengulangan), dan tidak ada ambiguitas data dari semua tabel yang ada (Jaya 2009).

Model data adalah organisasi konsepsual dari suatu basis data, yang dapat dikatakan sebagai suatu gaya/cara menggambarkan dan memanipulasi data dalam basis data. Menurut Fatan (1999) dalam Prahasta (2009) model data merupakan kumpulan perangkat konseptual yang digunakan untuk mendeskripsikan (menggambarkan) data, hubungan antar (relasi) data, semantik (makna) data, dan batasan mengenai data yang bersangkutan.

Menurut Jaya (2009) terdapat tiga jenis model data:

1. Model hirarki dengan ciri-ciri: macam hubungan : many – to one atau one to many dan informasi diperoleh dengan mengikuti struktur pohon,

2. Model jaringan dengan ciri-ciri: boleh ada “multiple parents” dan “multiple child”, data search bisa dilakukan tanpa mengikuti hirarki, relasi tidak boleh

ada mant to many, dibandingkan dengan model hirarki mampu mengurangi

penyimpangan data tapi harus ditambah informasi linkage lebih ekstensif dan disimpan sehingga menambah ukuran dan kompleksitas data.

3. Model data relasional dengan ciri-ciri: tidak ada hirarki pada field pada setiap rekord, setiap field dapat digunakan sebagai “key”, data disimpan sebagai sekumpulan nilai dalam suatu bentuk rekord yang sederhana yang disebut dengan “tuples”, setiap “tuple” menyatakan nilai-nilai yang berhubungan secara permanen, “tuples” dikelompokkan ke dalam tabel 2-dimensi dimana masing-masing tabel disimpan dalam file-file terpisah, tabel-tabel tersebut mempresentasikan hubungan semua atribut yang disebut sebagai relasi (relational).


(25)

Menurut Prahasta (2009) faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih salah satu basis data yang sesuai dengan kebutuhan setelah memilih model data yang akan digunakan adalah:

a. Pengendalian dan akusisi data. b. Struktur data.

c. Penyimpanan data.

d. Perubahan dan updating data.

e. Manajemen data dan eksport-import data. f. Pemrosesan data.

g. Pemanggilan dan presentasi data. h. Analisis data.


(26)

13

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri (PT. MAM), Papua pada bulan Juni – Juli 2012 untuk mendapatkan data lapangan dan data atribut lainnya. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan GIS, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

3.2.Alat dan Data

Alat yang digunakan adalah alat tulis, kamera digital, seperangkat komputer dengan kelengkapan Microsoft Word 2007, Microsoft Excel 2007, ArcView GIS

3.2., ArcMap 9.3., dan ERDAS Imagine 9.1.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Citra Landsat TM multiwaktu path 102 row 62, path 103 row 61 dan path 103 row 62 yang telah terkoreksi ortho tahun perekaman 2000-2012, diperoleh dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

2. Data hasil Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) berupa Laporan Hasil Cruising (LHC) tahun 2009 - 2012, data Laporan Hasil Produksi (LHP) tahun 2009 - 2012, dari Bagian Perencanaan PT. MAM. 3. Data pembinaan hutan seperti Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT) tahun

2009 - 2012, pemeliharaan, penanaman dan perapihan, dari Bagian Pembinaan Hutan PT. MAM.

4. Data ekologi, dari Bagian Ekologi, Penelitian dan Pengembangan PT. MAM. 5. Peta tematik berupa peta Rencana Kerja Usaha (RKU), peta iklim, peta jenis

tanah, peta kelas lereng, peta penutupan lahan, jaringan jalan, jaringan sungai, batas wilayah pengelolaan, blok RKT, petak kerja, Danau Bira, buffer zone danau dan hutan lindung, daerah larangan dan daerah perkampungan penduduk dari Bagian Perencanaan PT. MAM.


(27)

3.3.Prosedur Penelitian 3.3.1. Pemilihan Citra

Citra yang digunakan adalah Citra Landsat antara path 102 row 62, path 103 row 61 dan path 103 row 62 multiwaktu dari tahun 2000 hingga 2012. Data Citra Landsat di koreksi terlebih dahulu dengan menggunakan koreksi Geometri Ortho (Orthorektifikasi). Kondisi riil data citra satelit tidak memungkinkan adanya pencitraan secara tegak pada setiap piksel citra, sehingga diperlukan transformasi koordinat atau koreksi geometri dari perekaman non-ortho menjadi ortho. Pergeseran koordinat dari transformasi ortho selain dipengaruhi oleh sudut pengambilan objek juga dipengaruhi oleh tinggi objek yang ada di permukaan bumi (Kustiyo 2010). Data yang dibutuhkan dalam koreksi geometri ortho adalah citra ortho referensi GLS 2000, titik Ground Control Point (GCP), dan Digital

Elevation Model (DEM). Proses koreksi geometri ortho ini dilakukan oleh

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Perbedaan citra yang terkoreksi geometri ortho dan citra yang belum terkoreksi geometri ortho dapat dilihat pada Gambar 1.

(a) (b)

Gambar 1 Citra terkoreksi geometri ortho (a) dan Citra belum terkoreksi geometri Ortho (b).

Citra yang terkoreksi geometri ortho digunakan karena mempunyai kualitas geometri yang akurat dengan mempunyai absis (sumbu x), ordinat (sumbu y) dan proyeksi koordinat tegak (sumbu z). Berbeda dengan koreksi geometri biasa yang hanya mempunyai absis (sumbu x) dan ordinat (sumbu y). PT. Mamberamo Alasmandiri didominasi oleh kelerengan yang agak curam seluas 215.920 Ha atau


(28)

sekitar 31,9 % dari luas keseluruhan areal. Kelerengan yang agak curam membuat pergeseran posisi pada citra dapat terjadi akibat pengaruh ketinggian. Koordinat tegak yang terkoreksi akan membantu dalam mengurangi adanya pergeseran posisi pada daerah yang berlereng agak curam dan curam atau daerah bergunung.

3.3.2. Pengolahan Citra

Citra yang terpilih selanjutnya di-reproject pada setiap scene yang digunakan. Reproject dilakukan untuk menyamakan proyeksi peta yang digunakan. Sistem proyeksi yang digunakan untuk kawasan PT. MAM adalah UTM zone 53 di bagian selatan khatulistiwa dan sistem koordinat Datum WGS 84 (WGS_1984_UTM_Zone_53S). Setelah citra di-reproject langkah selanjutnya adalah melakukan Layer stacking. Menurut Jaya (2010) Layer stacking dilakukan untuk membuat citra komposit berwarna, karena dengan hanya satu band (saluran) yang umumnya ditampilkan dengan ”grayscale/hitam putih”, identifikasi obyek pada citra umumnya lebih sulit jika dibandingkan dengan intepretasi pada citra berwarna. Band yang digunakan pada proses ini adalah kombinasi band yang merupakan standar Departemen Kehutanan. Kombinasi band tersebut adalah RGB 5-4-3. Kombinasi band ini menampilkan kombinasi warna yang mendekati warna alami dan mempunyai informasi lebih banyak.

Citra yang telah di-layer stack kemudian di mosaik. Mosaik citra adalah proses menggabungkan tumpang tindih (overlapping) dua citra atau lebih sehingga menghasilkan citra representatif dan kontinu (Purwadhi dan Santoso 2010). Menurut Jaya (2010) proses mosaik adalah proses menggabungkan citra secara bersama membentuk satu kesatuan (satu lembar) peta atau citra yang kohesif. Citra yang dimosaik terdiri dari path 102 row 62, path 103 row 61 dan path 103 row 62 dari setiap tahun. Setelah dilakukan mosaik kemudian dilakukan pemotongan citra sesuai batas areal PT. Mamberamo alasmandiri. Pemotongan citra ditujukan untuk menunjukkan areal yang menjadi fokus penelitian. Hasil dari Citra Landsat mosaik dan Citra Landsat hasil croping dapat dilihat pada Gambar 2.


(29)

(a) (b)

Gambar 2 Citra Landsat hasil mosaik (a) dan Citra Landsat hasil croping (b).

3.3.3. Identifikasi Areal Non Produksi 3.3.3.1. Kawasan Lindung

Jenis kawasan lindung yang ada di areal hutan produksi PT. Mamberamo Alasmandiri ditentukan berdasarkan buku Pedoman Penyusunan Dokumen AMDAL Bidang Kehutanan yang diterbitkan oleh Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan yang sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.3/Menhut-II/2008 tentang Deliniasi Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman dalam Hutan Tanaman. Jenis kawasan lindung tersebut adalah hutan lindung, kawasan hutan dengan skoring faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah dan curah hujan > 175 (SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980), dengan lereng lapangan > 40%, dengan ketinggian > 2000 m, dan dengan lereng lapangan > 15% untuk jenis tanah sangat peka erosi, kawasan bergambut di hulu sungai dan rawa, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, buffer zone hutan lindung, buffer zone kawasan suaka alam/kawasan pelestarian alam, kawasan pelestarian plasma nutfah (KPPN), kawasan pengungsian/perlindungan satwa liar, kawasan pantai berhutan mangrove, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, kawasan rawan bencana alam dan hutan produksi alam yang masih tetap dipertahankan keberadaannya dalam areal kerja. Kawasan lindung ini di deliniasi sesuai kriteria dan data yang diperoleh dari perusahaan.


(30)

3.3.3.2. Pembuatan Skoring

Skoring dilakukan untuk mengetahui penetapan fungsi hutan. Sesuai SK

Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan

Lindung skor untuk hutan lindung adalah ≥175. Skor tersebut diperoleh dari penjumlahan nilai skor dari tiga kriteria yakni kelas lereng, kelas jenis tanah dan kelas intensitas hujan dengan nilai timbangan 20 untuk lereng, 15 untuk jenis tanah dan 10 untuk intensitas curah hujan.

3.3.3.3. Overlay Kawasan Infrastruktur Pengelolaan

Kawasan infrastruktur pengelolaan yang di-overlay adalah jaringan jalan,

base camp, log pond, dan persemaian. Overlay adalah pertampalan atau tumpang

tindih pada citra atau foto udara. Kawasan infrastruktur pengelolaan ini di-overlay pada Citra Landsat yang digunakan. Overlay dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari perusahaan mengenai jaringan jalan, base camp, log pond, dan persemaian.

3.3.3.4. Overlay Daerah Larangan dan Perkampungan Penduduk

Daerah larangan dan perkampungan penduduk merupakan areal non produksi yang ada di PT. Mamberamo Alasmandiri. Kawasan ini di-overlay pada Citra Landsat yang digunakan. Overlay dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari perusahaan mengenai daerah larangan dan perkampungan penduduk.

3.3.4. Penataan Areal

Penataan areal adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengatur areal kerja tahunan ke dalam petak – petak kerja guna memudahkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam setiap kegiatan pengusahaan yang dilakukan. Dalam penataan areal terlebih dahulu dilakukan pembagian blok rencana kerja lima tahunan (RKL). Setelah dilakukan pembagian blok RKL, dilakukan pembagian blok rencana kerja tahunan (RKT) yang lokasinya sesuai dengan blok RKL. Data pembagian blok RKT yang digunakan diperoleh dari perusahaan, blok RKT tersebut di-overlay-kan pada citra. Setelah blok RKT terbagi selanjutnya dilakukan pembagian petak kerja per blok RKT. Petak kerja yang dipakai adalah petak kerja yang diperoleh dari data perusahaan dan di-overlay-kan juga pada citra. Dari pembagian petak diteruskan ke pembagian anak petak. Pembagian anak


(31)

petak di delineasi berdasarkan kawasan produksi dan non produksi pada setiap petak kerja.

3.3.5.Pembuatan Model Database

Database merupakan himpunan kelompok data (file/arsip) yang saling

berhubungan dan disimpan bersama sedemikian rupa agar kelak dapat dimanfaatkan kembali dengan cepat dan mudah (Fathan 1999 dalam Prahasta 2009). Model yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model data relasional. Menurut Jaya (2009) terdapat beberapa kelebihan model data relasional diantaranya lebih fleksibel, mempunyai landasan teori yang baik untuk teori matematik, organisasi data mudah dimengerti dan dikomunikasikan, database yang sama dapat disajikan dengan mengurangi redudancy, search atribut tabel lain dapat dilakukan dengan link atribut dari dua atau lebih tabel yang disebit Join operation.

Setelah petak dan anak petak dideliniasi berdasarkan areal produksi dan non produksi dilakukan penginputan data. Data yang dimasukkan adalah data-data penting yang dapat memberikan informasi tentang setiap petak kerja. Data tersebut adalah data yang merupakan hasil identifikasi, LHC tahun 2009 - 2012, data LHP tahun 2009 - 2012, dan data pembinaan hutan. Sesuai model relasional, tabel-tabel data relasional harus ditetapkan strukturnya yakni nama kolom, tipe data, lebar kolom dan yang terpenting adalah adanya relasi antar tabel. Contoh model database relasional dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Model Database Relasional No. Petak No. Blok Thn Tebangan Kelas Potensi ID Petak No. Petak Masukkan atributnya Masukkan atributnya Join Tabel


(32)

19

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Letak dan Luas IUPHHK

Areal kerja IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri termasuk ke dalam kelompok hutan sungai Mamberamo – sungai Gesa. Berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan, areal kerja IUPHHK-HA terletak di dalam wilayah distrik Mamberamo Hulu, Mamberamo Tengah, dan Mamberamo Hilir, serta distrik Waropen Atas, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua. Batas dari areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Batas Areal Kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri

No Arah lokasi Batas areal

1 Utara Batas buatan (belum ditata batas)

2 Timur Sungai Mamberamo, Hutan Suaka Alam Wisata Pegunungan Foja, dan Hutan Lindung

3 Selatan Hutan Suaka Alam dan Habitat Buaya

4 Barat PT. Semey Matoa Timber, PT. Kayu Ekaria, dan Hutan Lindung

Berdasarkan status fungsi hutan, areal kerja IUPHHK PT Mamberamo Alasmandiri seluas 677.310 ha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 910/Kpts-IV/1999 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1071/Kpts-II/92 Tanggal 12 Nopember 1992 terdiri atas Hutan Produksi (HPK) dengan luas:

Hutan Produksi Bebas (HP) : ± 117.010 ha (±17,30%) Hutan Produksi Terbatas (HPT) : ± 513.570 ha (±75,80%) Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi : ± 46.730 ha (± 6,90%) Jumlah : ± 677. 310 ha

4.2. Kondisi Topografi dan Kelerengan

Menurut peta garis bentuk areal kerja IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri 1:50.000 yang dibuat secara fotogrametris dari potret udara skala 1:50.000 hasil pemotretan tahun 1986 dan 1987, menginformasikan bahwa


(33)

hamparan areal kerja IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri bervariasi dari datar sampai bergelombang dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar 100-648 mdpl.

Kelas kelerengan sesuai dengan ketentuan dalam keputusan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 dan keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980 kelas lereng di areal kerja IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri terdiri atas kelas lereng A (< 8%) sampai kelas lereng E (> 40%). Luas kelas di areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Kelas lereng di areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri Kelerengan Kelas lereng Luas (ha)

< 8% (datar) A 202.658 8 - 15% (landai) B 185.784 15 - 25% (agak curam) C 215.920 25 - 40% (curam) D 60.106 > 40% (sangat curam) E 12.843 Jumlah 677.310

4.3. Kondisi Tanah

Peta Tanah Provinsi Irian Jaya skala 1:1.000.000 (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1993), menunjukkan bahwa areal kerja IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri terdiri atas 5 jenis tanah. Jenis tanah tersebut adalah Aluvial (tidak peka) seluas 145.700 ha, Latosol (agak peka) seluas 255.110 ha, Podsolik (peka) 250.870 ha, Litosol (sangat peka) seluas 23.190 ha, dan Regosol (sangat peka) seluas 2.440 ha.

4.4. Kondisi Geologi, Iklim dan Intensitas Hujan

Struktur geologi khususnya diareal kerja IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri didominasi oleh sesar (sesar naik dan geser) dan lipatan. Sesar naik utama pada bagian tersebut membatasi Cekungan Wapoga dan Cekungan Mamberamo. Struktur lipatan terdiri dari antikilin dan sinklin. Antikilin dikenal sebagai Antiklin Gesa yang memotong aliran Sungai Gesa yang mengalir ke utara.


(34)

Perkembangan struktur tersebut adalah dampak kompresi pemekaran lempeng Samudra Pasifik.

Berdasarkan klasifikasi iklim secara umum menurut Schmidt & Ferguson atau Af-Am Koppen areal IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri dengan tipe iklim A, yaitu daerah sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropis dengan curah hujan tanpa bulan kering (< 60.00 mm) merata sepanjang tahun. Data yang diperoleh dari stasiun Pencatat Curah Hujan Camp Gesa (tahun 1994-2001) diperoleh nilai Q = 0% dan IH (Intensitas Hujan) = 17,4 mm/hh, dengan curah hujan rata-rata adalah sebesar 285,6 mm perbulan dan tingkat minimum yang terjadi pada bulan November (208,8 mm perbulan) maksimum pada bulan Oktober (354,1 mm perbulan).

4.5. Penutupan Lahan dan Fungsi Hutan

Penutupan lahan areal kerja IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri didasarkan pada penafsiran Citra Landsat LS-7 ETM+US, Departement of the Interior, US Geological Survey band 542, Mozaik Path 102 Row 62 liputan pada tanggal 19 November 2005. Sedangkan berdasarkan status fungsi hutan, areal kerja yang mempunyai luas 677.310 ha ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 910/Kpts-IV/99 tanggal 14 Oktober 1999 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1071/Kpts-II/92 Tanggal 12 November 1992 mengenai Pemberian Hak Pengusahaan Hutan PT Mamberamo Alasmandiri.

Penutupan lahan/vegetasi di areal kerja IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri menurut fungsi hutannya disajikan pada Tabel 6.


(35)

Tabel 6 Penutupan vegetasi pada fungsi hutan PT Mamberamo Alasmandiri

No Penutupan lahan Fungsi hutan (ha) BZ Jumlah Persen (%)

HPT HP HPK

1. Hutan primer 287.203 66.966 6.176 12.230 372.575 55,00

2. Hutan bekas

Tebangan 105.825 40.100 30.651 1.948 178.524 26,40 3. Non hutan 6.209 5.169 592 127 12.097 1,80 4. Hutan rawa primer - 1.890 10.951 - 12.841 1,90 5. Hutan rawa bekas

tebangan 8.268 783 - - 9.051 1,30

6. Non hutan rawa - 71 1.111 - 1.182 0,20

7. Tubuh air/danau - 636 - 12 648 0,10

8. Tertutup awan 74.295 10.511 - 5.586 90.392 13,30 Jumlah 481.800 126.126 49.481 19.903 677.310 100,00

Sumber : Pengesahan Citra Landsat Nomor S.35/VII/Pusin-1/2006 tanggal 22 Januari 2007. (PT.MAM 2009)

4.6. Sosial dan Ekonomi Masyarakat

Penduduk asli disekitar kelompok hutan Sungai Mamberamo – Sungai Gesa adalah suku Baudi Bira, Kerema, Obogui Dai, Kapso Apawer, Birara Noso, Bodo dan suku Haya. Hubungan suku-suku yang berbeda wilayah masih bersifat tradisional dan masing-masing suku masih memegang kuat adat istiadatnya, hal ini ditunjukkan oleh adanya bahasa yang cukup mencolok diantara suku-suku asli yang ada dan masing-masing suku berkembang sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu.

Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk di sekitar kelompok hutan ini adalah bahasa sukunya masing-masing sedangkan bahasa Indonesia hanya dimengerti oleh sebagian kecil saja dari mereka. Agama dan kepercayaan yang dianut adalah Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Total 20.494 jiwa terbagi dalam empat distrik sekitar areal kerja IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri tercatat sebanyak 19.449 jiwa (94,90%) penganut agama resmi dengan rincian 7.795 jiwa (38,03%) beragama Kristen Protestan, 361 jiwa (1,76%) beragama Islam, dan 11.293 jiwa (55,10%) beragama Kristen Katolik.


(36)

Budaya masyarakat di dalam dan di sekitar areal IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri merupakan gambaran kecil dari budaya Papua. Kebudayaan di Papua menunjukkan gejala aneka warna yang ekstrim. Hal ini disebabkan oleh suku-suku/bangsa-bangsa yang berdatangan dari berbagai daerah menduduki pulau-pulau yang ada secara terpisah satu dari yang lainnya (karena isolasi geografis).

Proses sosial yang ada di kawasan areal kerja IUPHHK berupa proses asosiatif (keserasian) dan proses disosiatif (pertentangan). Proses asosiatif dapat dikaji dari proses akomodasi diawali dengan kegiatan kerjasama, gotong royong, dalam kegiatan perkawinan, membangun rumah ibadah, dan lain-lain. Kegiatan akomodasi juga terlihat dalam kegiatan meramu, dimana masyarakat saling membantu dalam mencari sumber sagu dan hewan buruan.

Mata pencaharian penduduk yang berada di sekitar areal kerja IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri dapat diklasifikasikan menurut keadaaan alam tempat penduduk menetap. Umumnya penduduk yang tinggal di sepanjang Sungai Mamberamo dan Danau Bira memiliki mata pencaharian sebagai pencari ikan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani sehari-hari dan jika ada kelebihan dari hasil tangkapan, dipertukarkan (barter) dengan bahan makanan seperti umbi-umbian, jagung dan talas. Bahan makanan ini dihasilkan oleh penduduk yang tinggal di pedalaman yang umumnya hidup dari ladang berpindah. Sistem barter dilakukan pada setiap kesempatan, karena di kawasan ini belum berkembang sistem pasar dan perekonomian uang. Disamping mencari ikan dan bercocok tanam dengan berladang berpindah, ada sebagian masyarakat yang melakukan kegiatan “meramu” (mencari sagu, umbi dan berburu). Sedangkan masyarakat yang tinggal di pusat-pusat pemerintah (Distrik dan Kabupaten) yang umumnya sebagai pendatang berprofesi sebagai pegawai negeri dan buruh harian.


(37)

24

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Identifikasi dan Analisis Areal Non Produksi

PT. Mamberamo Alasmandiri merupakan Perusahaan Modal Dalam Negeri (PMDN) yang bergerak di bidang pengelolaan hutan dan mendapatkan kepercayaan mengelola hutan seluas 677.310 ha sesuai SK Menhut No. 1071/Kpts-II/1992 (Addendum SK Menhutbun No.910/Kpts-II/1999). Kawasan PT. Mamberamo Alasmandiri dengan luas 677.310 ha tidak semuanya merupakan areal yang dapat di produksi karena terdapat beberapa areal non produksi. Areal non produksi tersebut berupa kawasan lindung, sarana dan prasarana, daerah larangan dan perkampungan penduduk.

5.1.1.Kawasan Lindung

Menurut Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian fungsi lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kawasan lindung yang diidentifikasi adalah kawasan lindung yang tercantum dalam buku Pedoman Penyusunan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Bidang Kehutanan yang diterbitkan oleh Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan yang sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.3/Menhut-II/2008 tentang Deliniasi Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman. Kawasan lindung tersebut adalah hutan lindung, kawasan hutan dengan skoring faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah dan curah hujan > 175 (SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980), lereng lapangan > 40%, ketinggian > 2000 m dan lereng lapangan > 15% untuk jenis tanah sangat peka erosi, kawasan bergambut di hulu sungai dan rawa, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, buffer zone hutan lindung, buffer zone kawasan suaka alam/kawasan pelestarian alam, kawasan pelestarian plasma


(38)

nutfah (KPPN), kawasan pengungsian/perlindungan satwa liar, kawasan pantai berhutan mangrove, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, kawasan rawan bencana alam dan hutan produksi alam yang masih tetap dipertahankan keberadaannya dalam areal kerja.

5.1.1.1. Sempadan Sungai

Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung pasal 1 ayat 7 sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Penentuan lebar sempadan sungai diperlukan untuk perbaikan fungsi ekologi aquatik dan kualitas air. Menurut pasal 9 Permenhut No. P.3/Menhut-II/2008 kriteria sempadan sungai adalah 100 m di kiri kanan sungai besar dan 50 m di kiri kanan anak sungai, untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10-15 m. Lebih terperinci lagi kriteria lebar sempadan sungai dijelaskan dalam buku Pedoman Penyusunan Dokumen AMDAL Bidang Kehutanan yang diterbitkan oleh Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan untuk lebar sungai kurang dari 30 m sempadan sungainya 50 m dan untuk lebar sungai lebih dari 30 m sempadan sungainya 100 m. Sempadan sungai diidentifikasi dengan cara dideliniasi sesuai alur jaringan sungai dan lebarnya sesuai peraturan untuk sungai besar dan sungai kecil. Kondisi sempadan sungai dilapangan dapat dilihat pada Gambar 3.


(39)

5.1.1.2. Skoring Kawasan Lindung

Peta penetapan fungsi hutan yang digunakan sebagai referensi untuk mengoreksi skoring yang dibuat yaitu peta yang diperoleh dari PT. Mamberamo Alasmandiri sesuai Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 910/Kpts-IV/99 tanggal 14 Oktober 1999 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1071/Kpts-II/92 Tanggal 12 November 1992 mengenai Pemberian Hak Pengusahaan Hutan PT Mamberamo Alasmandiri. Peta referensi penetapan fungsi kawasan hutan dalam format shp yang diperoleh dari PT. Mamberamo Alasmandiri dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta penetapan fungsi kawasan hutan dalam format shp yang diperoleh dari PT. Mamberamo Alasmandiri.

Skoring dilakukan untuk mengetahui penetapan fungsi hutan pada suatu areal. Skoring pada penelitian ini ditujukan untuk mengetahui areal kawasan lindung dengan skoring ≥ 175 (SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980). Skoring kawasan lindung menggunakan peta kelas lereng dengan skala 1:650.000 memberikan hasil yang kurang memadai. Hal ini dikarenakan penentuan skoring seharusnya menggunakan peta dengan skala yang lebih besar, sehingga diperoleh informasi kelas lereng yang lebih detail.

Penentuan skoring kawasan lindung memegang peranan penting terhadap fungsi hidroorologis. Fungsi hidroorologis suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) akan optimal jika daerah-daerah yang berkelerengan tinggi dalam suatu DAS dipertahankan tetap berhutan, sehingga penentuan kawasan lindung dengan


(40)

menggunakan kriteria skoring sangat dibutuhkan untuk menjaga kelestarian fungsi hidroorologis.

5.1.1.3. Kawasan Sekitar Danau

Terdapat satu danau di dalam areal PT. Mamberamo Alasmandiri yaitu Danau Bira. Kelestarian fungsi Danau Bira tetap terjaga apabila perusahaan wajib membuat kawasan sekitar danau yang tidak boleh di produksi. Menurut pasal 9 Permenhut No. P.3/Menhut-II/2008 kriteria kawasan sekitar danau adalah 500 m dari tepi danau. Lebar kawasan sekitar Danau Bira di PT. Mamberamo Alasmandiri tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah yaitu 500 m dari tepi danau, tetapi memiliki lebar yang berbeda setiap tepiannya. Luas seluruh tepian Danau Bira adalah 11.057 Ha. Hal ini ditetapkan perusahaan karena banyak aliran sungai yang menuju ke arah Danau Bira. Danau Bira merupakan sumber penghidupan dan asal muasal kehidupan masyarakat di sekitar danau karena memiliki banyak potensi ikan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai mata pencaharian, sehingga perusahaan harus ikut melestarikan kawasan Danau Bira dengan membuat daerah kawasan sekitar danau lebih lebar dan tidak melakukan kegiatan pemanenan di kawasan Danau Bira. Kawasan sekitar Danau Bira di lapangan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Kawasan sekitar Danau Bira di lapangan.

5.1.1.4. Kawasan Penyangga (Buffer zone)

Buffer zone berperan sangat penting untuk mempertahankan kelestarian

fungsi suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Buffer zone di kawasan PT. Mamberamo Alasmandiri berupa buffer zone hutan lindung Waropen, buffer zone hutan lindung suaka margasatwa Foja, dan buffer zone kawasan konservasi habitat buaya. Buffer zone ini tidak dideliniasi melainkan menggunakan data yang diperoleh dari perusahaan.


(41)

Hutan lindung Waropen, hutan lindung suaka margasatwa Foja, dan kawasan konservasi habitat buaya merupakan areal yang berbatasan dengan PT. Mamberamo Alasmandiri sehingga harus diberikan buffer zone di daerah perbatasan untuk melindungi kelestarian fungsi hutan lindung dan kawasan konservasi tersebut. Menurut buku Pedoman Penyusunan Dokumen AMDAL Bidang Kehutanan yang diterbitkan oleh Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan buffer zone hutan lindung dan kawasan konservasi lebarnya 500 m (telah ditata batas) atau 1000 m (belum ditata batas). Buffer zone hutan lindung Waropen, buffer zone hutan lindung suaka margasatwa Foja, dan buffer zone kawasan konservasi habitat buaya dapat dilihat pada Gambar 6 serta kondisi buffer zone Hutan Lindung Suaka Margasatwa Foja di lapangan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 6 Buffer zone PT. Mamberamo Alasmandiri.

Gambar 7 Buffer zone Hutan Lindung Suaka Margasatwa Foja.

5.1.1.5. Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN)

Plasma nutfah adalah substansi yang terdapat dalam kelompok makhluk hidup, dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan

BZ HL Waropen

BZ HL SM Foja BZ Konservasi Habitat


(42)

dikembangkan atau dirakit untuk menghasilkan jenis tumbuhan maupun hewan. Keragaman jenis yang tinggi merupakan sumber plasma nutfah yang tak ternilai harganya yang dapat memberikan nilai ekonomi dan sosial yang sangat penting. Tujuan dari pembuatan KPPN adalah untuk melestarikan dan mengelolanya secara berkelanjutan serta memanfaatkan untuk kelestarian alam. KPPN di lapangan ditempatkan pada hutan yang masih virgin dengan keadaan topografi yang mewakili, yaitu adanya topografi tinggi sampai dengan lokasi rendah serta juga memperhatikan faktor keamanan lokasi, baik dari gangguan kegiatan manusia ataupun dari bahaya kebakaran hutan. Kriteria daerah perlindungan plasma nutfah menurut Keppres No. 32 Tahun 1990 adalah areal yang ditunjuk memiliki jenis plasma nutfah tertentu yang belum terdapat di dalam kawasan konservasi yang telah ditetapkan, areal tempat pemindahan satwa yang merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa, mempunyai luas yang cukup dan lapangan yang tidak membahayakan.

PT. Mamberamo Alasmandiri mempunyai dua KPPN yang luasnya 300 ha untuk setiap KPPN. Kedua KPPN itu berada di bagian hutan Gesa (petak 2J, 3J, 4J) dan bagian hutan Aja (petak 30AH, 31AI, 31AH). Plasma nutfah yang dilindungi di kawasan ini adalah jenis flora seperti Cemara (Casuarina sp.) dan fauna seperti Kasuari (Casuarius casuarius), Elang bondol (Haliastur indus), Babi hutan (Sus sp.), Cendrawasih (Paradisaea sp.), Maleo (Macrocephalon maleo) dan beberapa satwa lainnya. KPPN dideliniasi sesuai dengan data yang diperoleh. Kondisi KPPN di lapangan dapat dilihat pada Gambar 8.

(a) (b) (c)

Gambar 8 Papan nama KPPN Bagian Hutan Aja di lapangan (a), jejak kaki Babi di KPPN (b) dan jejak kaki burung Kasuari di KPPN (c).

PT. Mamberamo Alasmandiri juga memiliki beberapa kawasan lindung lain, yaitu kawasan dengan kelerengan 40%, kawasan perlindungan satwa liar (koridor


(43)

satwa), kawasan in situ Cemara (Casuarina sp) seluas 1,9 ha, kawasan pengamatan tegakan alami Duabanga (Duabanga moluccana) 1,42 ha, dan tegakan benih Merbau (Intsia bijuga). Kawasan ini tidak dipetakan karena data yang diperoleh dari perusahaan tidak memadai untuk melakukan identifikasi. Kawasan lindung lain di lapangan yang ada di PT. Mamberamo Alasmandiri dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Kawasan Lindung lain di PT. Mamberamo Alasmandiri

Kawasan Lindung Gambar

Kawasan kelerengan 40%

Koridor Satwa

Kawasan konservasi in situ Cemara

Pengamatan tegakan alami Duabanga


(44)

Kawasan lindung yang tercantum pada buku Pedoman Penyusunan Dokumen AMDAL Bidang Kehutanan yang diterbitkan oleh Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan yang sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung tidak terdapat di PT. Mamberamo Alasmandiri adalah kawasan bergambut di hulu sungai dan rawa, kawasan resapan air, sempadan pantai, kawasan pantai berhutan mangrove, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, kawasan rawan bencana alam. Kawasan bergambut, sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan mangrove tidak terdapat di areal PT. Mamberamo Alasmandiri karena areal pengelolaan merupakan areal hutan lahan kering dan tidak berada disekitar pantai.

Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran. Curah hujan di areal PT. Mamberamo Alasmandiri cukup tinggi sehingga diperlukan adanya kawasan resapan air untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir. Kriteria kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah tempat serta ruang disekitar bangunan bernilai budaya tinggi, situs purbakala dan kawasan dengan bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat tinggi untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Bangunan bernilai budaya tinggi, situs purbakala dan kawasan dengan bentukan geologi tertentu tidak terdapat di areal PT. Mamberamo Alasmandiri, sehingga areal pengelolaan ini tidak memiliki kawasan lindung berupa kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan alam. Potensi terjadinya bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi dan tanah longsor diareal PT. Mamberamo Alasmandiri sangat kecil sehingga PT. Mamberamo Alasmandiri tidak menetapkan kawasan rawan bencana alam.

5.1.2.Kawasan Infrastruktur Pengelolaan

Infrastruktur pengelolaan merupakan sarana dan prasarana yang sangat dibutuhkan demi menunjang kegiatan pengelolaan hutan. Terdapat beberapa infrastrukur pengelolaan di PT. Mamberamo Alasmandiri, yaitu base camp, log pond, Tempat Pengumpulan Kayu (TPn), quary, jaringan jalan dan persemaian.


(45)

Infrastruktur tersebut diidentifikasi menggunakan data sekunder yang diperoleh dari perusahaan. Data yang diperoleh hanya terdapat informasi mengenai base camp, persemaian, jaringan jalan dan log pond, sementara untuk TPn dan quary tidak diidentifikasi karena perusahaan tidak mempunyai data keseluruhan letak TPn dan quary. Perusahaan perlu melakukan pengumpulan data mengenai TPn dan quary untuk mengetahui letak dan luas seluruh TPn dan quary karena akan berpengaruh terhadap luas kawasan non produksi di areal pengelolaan. Berdasarkan data yang diperoleh luas log pond yang terletak di lokasi bagian hutan Aja seluas 7 ha dan luas persemaiannya 2 ha.

Data yang diperoleh berupa polygon, point dan garis yang menunjukkan letak base camp, persemaian, jaringan jalan dan log pond. Data tersebut

di-overlay ke Citra Landsat yang digunakan untuk kemudian dilakukan proses

selanjutnya. Kondisi infrastruktur pengelolaan sebenarnya di lapangan dapat dilihat pada Gambar 9.

(a) (b) (c)

Gambar 9 Jaringan jalan (a), Logpond (b) dan Base camp induk lokasi Aja (c).

5.1.3.Daerah Larangan dan Perkampungan Penduduk

Daerah larangan merupakan suatu daerah yang berada di dalam kawasan PT. Mamberamo Alasmandiri yang dianggap masyarakat sebagai kawasan yang sakral dan keramat oleh masyarakat setempat, sehingga daerah larangan tersebut tidak dapat di produksi atau dijamah oleh perusahaan maupun pihak lain. Beberapa daerah terlarang di areal PT. Mamberamo Alasmandiri antara lain tanah adat Towao, Kuburan Marga Meop Tanjung, Gunung Keramat Tiwang, kuburan tua, Dusun Lama Saire, Hutan Keramat Enghwarasit, Hutan Agathis dan beberapa


(46)

daerah larangan lainnya. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, pohon agathis dianggap sebagai nenek moyang masyarakat sehingga daerah tempat tumbuh pohon agathis sama sekali tidak boleh dijamah maupun ditebang. Lokasi hutan keramat dan tegakan pohon agathis dapat dilihat pada Gambar 10.

(a) (b)

Gambar 10 Lokasi Hutan Keramat (a) dan Tegakan Pohon Agathis (b). Perkampungan penduduk merupakan daerah non produksi yang ada areal kerja PT. Mamberamo Alasmandiri. Perkampungan penduduk yang terletak di dalam wilayah kerja kawasan ini terdiri dari Distrik Kasonaweja, Kampung Batiwa, Kampung Baudi dan Kampung Burmeso. Perkampungan penduduk ini dideliniasi berupa point yang menunjukkan letak perkampungan penduduk di citra. Perkampungan penduduk Distrik Kasonaweja di PT. Mamberamo Alasmandiri dapat dilihat pada Gambar 11.


(47)

Peta areal non produksi yang terdapat di PT. Mamberamo Alasmandiri yang telah diidentifikasi dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Peta Areal Non Produksi IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri.

5.2. Penataan Areal Hutan

Menurut Rahmawati (2006) penataan areal hutan adalah penataan ruang hutan sebagaimana dipersyaratkan oleh prinsip pengelolaan hutan lestari didasarkan atas identifikasi areal dan kualitas lahan dari suatu areal kerja pengusahaan hutan agar terselenggara kegiatan pengelolaan hutan yang lestari, efisien dan berwawasan lingkungan. Kegiatan Penataan areal hutan produksi bertujuan memperoleh gambaran jelas tentang potensi dan keadaan hutan serta cara pengaturan pemanfaatan dan pembinaannya agar terjamin azas kelestarian dan hasil yang optimal. Pembagian hutan ke dalam unit-unit pengelolaan yang


(48)

lebih kecil merupakan langkah awal kegiatan pengusahaan hutan pada hutan produksi. Tujuan dari pembagian hutan adalah untuk memberikan kepastian wilayah kerja, memudahkan inventarisasi sumber daya dan jenis kegiatan serta memudahkan dalam hal perencanaan organisasi dan manajemen hutan. Melalui pembagian hutan suatu kelompok hutan dapat diatur pemungutan hasilnya dengan tidak melampaui daya produksi hutan sehingga kesinambungan produksi dapat terjamin. PT. Mamberamo Alasmandiri memiliki luas areal sebesar 677.310 Ha, areal ini sangat luas untuk dilakukan pengelolaan dengan satu unit manajemen, maka untuk mempermudah pengelolaan PT. Mamberamo Alasmandiri pada tahun 2009 membagi dua unit pengelolaan menjadi bagian hutan Gesa dan bagian hutan Aja. Pembagian kedua bagian hutan ini menggunakan batas alam yaitu sungai. Pembagian hutan ini juga berfungsi sebagai unit kelestarian dimana dengan dua unit manajemen, maka kelestarian hutan akan lebih terlindungi.

Areal PT. Mamberamo Alasmandiri yang telah dibagi menjadi dua bagian, selanjutnya kawasan hutan produksi dibagi dalam blok pengelolaan untuk mengoptimalkan pengelolaan. Pada umumnya tiap kesatuan kerja dirancang agar areal yang bersangkutan mempunyai satu arah pengangkutan hasil hutan. Blok pengelolaan pertama adalah blok rencana kerja lima tahun (RKL). Blok RKL ini dibuat dengan memperhatikan arah pengangkutan hasil hutan, batas alam dan rotasi tebangan. Blok RKL dibutuhkan untuk mengatur pembagian blok rencana karya tahunan (RKT) sehingga lebih tertata. Data yang diperoleh dari perusahaan tidak terdapat blok RKL. Blok RKL mempunyai peranan penting dalam pembagian blok RKL sehingga PT. Mamberamo Alasmandiri seharusnya menyediakan data mengenai blok RKL sehingga lebih mudah dalam penataan selanjutnya.

Pembagian blok RKT dilakukan setelah pembagian blok RKL. Blok RKT adalah blok yang dibuat pada areal hutan di dalam Unit Pengelolaan Hutan yang akan ditebang pilih atau kegiatan pembinaan hutan dalam waktu satu tahun, yang luasnya sama, ditentukan dengan pertimbangan daur/rotasi tebang, keadaan hutan dan keadaaan lapangan. Kriteria dalam pembagian blok RKT juga memperhatikan arah pengangkutan hasil hutan, batas alam, rotasi tebangan dan pertimbangan luas yang sama. Pembagian blok RKT di PT. Mamberamo Alasmandiri sudah teratur


(49)

dan sudah memperhatikan kriteria seperti diatas. Sampai saat ini pembagian blok RKT yang sudah ada hanya dari tahun 1994 hingga 2014. Blok RKT seharusnya sudah ada sepanjang rotasi tebangan sehingga mempermudah manajemen pengelolaan hutan selanjutnya dalam menata areal.

Blok RKT tersebut dibagi menjadi petak-petak pengelolaan yang terkait dengan pemanfaatan hasil hutan terutama kayu. Petak kerja adalah bagian dari blok kerja tahunan yang luasnya disesuaikan dengan topografi dan idealnya berbentuk bujur sangkar dengan luas ± 100 ha dengan tanda-tanda batas yang permanen, petak pengelolaan ini merupakan unit pengelolaan terkecil pada hutan produksi. Pada petak pengelolaan inilah seluruh kegiatan pengelolaan dilaksanakan. Penataan areal ini memiliki tujuan, salah satunya adalah untuk mengatur areal kerja tahunan ke dalam petak – petak kerja guna memudahkan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam setiap kegiatan pengusahaan yang dilakukan. Petak kerja PT. Mamberamo Alasmandiri di peta telah ditentukan untuk keseluruhan areal kerja dan seluruh petak ini telah diberi nomor petak. Sesuai data yang ada dalam atribut petak, informasi yang diperoleh adalah nomor petak, luas petak, RKT dan koordinat petak. Petak kerja PT. Mamberamo Alasmandiri dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Petak kerja PT. Mamberamo Alasmandiri.

Pada masing-masing petak mempunyai nomor petak yang memudahkan dalam pengelolaannya. Penomoran petak-petak ini menggunakan angka dan abjad, dengan format penomoran untuk baris nomor petak tidak berubah pada angka tetapi yang berubah adalah abjad, sedangkan untuk kolom nomor petak yang tidak berubah adalah abjad dan yang berubah adalah angka. Perusahaan


(50)

menggunakan sistem penomoran seperti ini karena dianggap paling mudah dan sederhana untuk dijadikan nomor petak. Penomoran pada petak kerja PT. Mamberamo Alasmandiri dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Penomoran petak kerja

Setelah dilakukan pembagian petak lalu petak dibagi lagi ke dalam anak petak untuk mempermudah pengelolaan. Anak petak adalah bagian dari petak yang bersifat sementara yang akan dibuat apabila karena berbagai faktor, terutama yang berupa gangguan terhadap tumbuhan, terjadi perubahan dalam bagian tertentu dari petak sehingga keadaan bagian ini berbeda dari keadaan umum dari petaknya yang dapat diukur oleh ciri-ciri fisik, ciri vegetasi dan ciri fasilitas pengembangan (Sarbini dan Santoso 2009). Anak petak dibuat berdasarkan kawasan produksi dan non produksi yang terdapat di dalam satu petak. Peta penataan areal PT. Mamberamo Alasmandiri dapat dilihat pada Gambar 15.


(51)

Gambar 15 Peta Penataan Areal IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri.

5.3. Penataan Anak Petak dan Informasi untuk Pengelolaan

Pada penataan areal blok RKT yang digunakan adalah blok RKT lima tahun terakhir dari tahun 2009 hingga 2012. Blok RKT yang terdiri dari petak kerja tersebut dibagi ke dalam layer yang terpisah sehingga lebih mudah dalam pengolahannya. Layer blok RKT dan blok RKT 2009 B (Agathis) dapat dilihat pada Gambar 16.

(a) (b)

Gambar 16 Layer blok RKT (a) dan Blok RKT 2009 B (Agathis) (b).


(1)

Gambar 18 Model database yang menjadi data atribut SIG.

Pemanggilan database yang berisi informasi semua petak seperti pada gambar diatas dapat dilakukan menggunakan ArcGIS dengan cara menampilkan Layer petak pada ArcGIS lalu klik kanan pada Layer petak pilih open atribut table, maka semua informasi mengenai petak akan muncul. Cara pemanggilan database petak keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 19.


(2)

Jika hanya ingin memanggil database suatu petak saja dilakukan juga menggunakan ArcGIS dengan cara menampilkan layer petak pada ArcGIS lalu klik tanda dan klik ke petak yang ingin diketahui informasinya maka akan tampil informasi mengenai satu petak tersebut. Informasi satu petak dapat dilihat pada Gambar 20.


(3)

43

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1.Kesimpulan

1. Kawasan hutan produksi tidak semuanya dapat diproduksi, sehingga identifikasi areal non produksi perlu dilakukan untuk mengetahui luas areal yang dapat diproduksi dalam suatu kawasan hutan. Kawasan non produksi yang terdapat di PT. Mamberamo Alasmandiri terdiri dari kawasan lindung, kawasan infrastruktur pengelolaan, daerah larangan dan perkampungan penduduk.

2. Penataan areal suatu kawasan hutan menjadi penting untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang potensi dan keadaan hutan, serta menentukan cara pengaturan pemanfaatan dan pembinaan hutan untuk menegakkan asas kelestarian yang optimal sehingga kesinambungan produksi dapat terjamin.

3. Informasi mengenai petak dan anak petak seperti data survey hutan dapat menjadi database SIG setelah dilakukan pemasukan data survey ke dalam data atribut SIG. Data atribut SIG ini merupakan model database register petak yang telah dihasilkan.

6.2.Saran

1. Perlunya peta dengan skala yang memadai untuk kemudahan pengelolaan kawasan.

2. Perlu dilakukannya identifikasi lebih lanjut terhadap kawasan non produksi yang belum teridentifikasi.

3. Perusahaan perlu melengkapi data-data informasi yang terdapat dalam setiap petak kerja guna pencatatan register yang lebih lengkap.

4. Penataan batas areal yang belum ditata batas dan pemberian batas sempadan sungai, buffer zone danau, buffer zone hutan lindung dan buffer zone kawasan konservasi.


(4)

44

DAFTAR PUSTAKA

[Departemen Kehutanan]. 1999. Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta.

[Departemen Kehutanan]. 2004. Menata Kawasan Lindung Menuju Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari [internet]. [diunduh 2012 November 12]. Tersedia pada http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI&LIN GKUNGAKEHUTAN/info 5 1 0604/isi 2.htm.

[Departemen Kehutanan]. 2012. Data dan Informasi Kehutanan [internet].

[diunduh 2012 November 12]. Tersedia pada

http://www.dephut.go.id/halaman/pranalogi_kehutanan/bab7.pdf.

[GKAN] GIS Konsorsium Aceh Nias. 2007. Modul Pelatihan ArcGIS Tingkat Dasar. Banda Aceh: GIS Konsorsium Aceh Nias.

Humaidi D. 2005. Pemanfaatan Citra Landsat ETM+ dalam Penyusunan Model Pengaturan Hasil Hutan: Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Provinsi Sumatera Selatan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Kustiyo. 2010. Pengembangan model koreksi geometri ortho Landsat untuk pemetaan penutup lahan wilayah Indonesia. Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara 5 (4): 168-173.

Jaya INS. 2009. Slide Basisdata Spasial. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Jaya INS. 2010. Analisis Citra Digital: Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor: IPB Press.

[KEPPRES]. 1990. Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Jakarta.

Lillesand TM, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

[Kementrian Kehutanan]. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.3/Menhut-II/2008 tentang Deliniasi Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman. Jakarta.

[Peraturan Pemerintah]. 2007. Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta.

Prahasta E. 2009. Sistem Informasi Geografis: Konsep – Konsep Dasar (Perspektif Geodesi dan Geomatika). Bandung: Informatika Bandung. [PT. MAM] PT Mamberamo Alasmandiri. 2009. RKUPHHK dalam Hutan Alam


(5)

Purwadhi FSH, Sanjoto TB. 2010. Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh. Jakarta: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan Universitas Negeri Semarang.

Purwadhi FSH. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Rahmawati. 2006. Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia. Medan: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Sarbini B, Santoso P. 2009. Modul Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan Produksi [internet]. [diunduh 2012 Oktober 15]. Tersedia pada: http://mrbudisantoso.files.wordpress.com/2009/01/isi-modul-tata-hut-renp hp.pdf.

Utami S. (2012). Manfaat SIG [internet]. [diunduh 2012 Oktober 15]. Tersedia pada: http://shaquandra.wordpress.com/2012/02/15 /manfaat-gis/.


(6)