60 2 Kewenangan Mahkamah Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1,
didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3 Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Pasal 26 : 1
Mahkamah Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat 1 terdiri atas Mahkamah Syariah KabupatenSagoe dan KotaBanda atau nama lain
sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Mahkamah Syari’ah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. 2
Mahkamah Syari’ah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
3 Hakim Mahkamah Syari’ah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai
Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung.
4.2. Program dan Kebijakan yang berkaitan dengan Meunasah
Program-program berskala nasional seperti Posyandu, PKK, dimana program ini di berlakukan sampai ke desa-desa seluruh Indonesia membutuhkan
sebuah tempat berkumpul, musyawarah dan mejalankan programnya. Minimnya fasilitas gampong yang tidak memiliki tempat berkumpul khusus seperti balai
desa dan menampung banyak warga menjadikan meunasah sebagai tempat
61 alternatif warga untuk berkumpul dan menjalankan kegiatan-kegiatan yang ada.
Hampir semua meunasah di Kecamatan Paya Bakong pada bagian depan pintu masuk selalu terdapat pamlet atau Papan Posyandu dan PKK di bagian depan
pintu masuknya. Pada kota-kota besar seperti Medan pamplet seperti itu biasa ada di balai desa atau kelurahan.
Maryam informan salah seorang kader Posyandu yang biasa membantu bidan-bidan desa dalam memeriksa kesehatan balita dan ibu hamil di Tanjong
Beureunyong tidak mengetahui sejak kapan kegiatan tersebut dilakukan di meunasah, tapi saat ini kegiatan pemeriksaan bulanan tersebut tidak hanya
dilakukan di meunasah tetapi juga di rumah warga-warga yang ada di sekitar meunasah. Meunasah dipakai jika terdapat penyuluhan atau kegiatan-kegiatan
tertentu saja. Mala istri dari Keuchik yang juga ketua PKK Tanjong Beureunyong juga memanfaatkan meunasah tersebut sebagai Pendidikan Anak Usia Dini
PAUD pada tahun 2009 sebagai bentuk kegiatan PKK dalam bidang pendidikan, tetapi program tersebut tidak berjalan lama karena kurangnya biaya dan minat dari
masyarakat setempat.
4.3. Fungsi Meunasah Tanjong Beurunyong
Djalil 2011 menjelaskan meunasah dalam bentuk fisik adalah rumahnya orang se-gampông dalam berbagai aktifitasnya. pada aspek keagamaan meunasah
berfungsi sebagai tempat ibadah langgarmushalla. Dilihat dari fungsi sosial kemasyarakatan, maka meunasah dapat menjadi pusat proses kebudayaan,
khususnya sebagai tempat ibadah sebagaimana mesjid, meunasah juga harus
62 bernafaskan seni Islam, berbagai seni kaligrafi dan ornamen model kesenian turut
menjadikan meunasah sebagai bangunan yang berwibawa, bangunan-bangunan yang didirikan di Aceh pada masa klasik memang benar-benar memperhatikan
aspek budaya Islam, baik dari proses pendiriannya, akhlak mengelolanya dan memaksimalkan aspek fungsional keagamaannya.
Fungsi sosial menurut Malinowskidalam Koentjaraningrat 1987:171 menjelaskan fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks, tetapi inti dari
fungsi unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah pendirian bahwa segala aktifitas kebudayaan sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah
kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.
Gani dalam Djalil, 2011, menjelaskan dalam Kerajaan Aceh Darussalam meunasah mempunyai fungsi, antara lain; 1 Sebagai Balai Musyawarah Rakyat;
2 Sebagai lembaga pendidikan; 3 Sebagai taman hiburan yang selaras dengan budaya Islam; 4 Sebagai wisma yang baru aqil baligh menginjak dewasa; 5
Wisma bagi musafir; 6 Sebagai tempat upacara nikahruju’; 7 Sebagai Mahkamah Pengadilan Damai; 8 Sebagai tempat upacara-upacara keagamaan
dan ritual lainnya upacara Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Tadarrus, Qasidah, dan sebagainya. Hal yang hampir sama juga di ungkap Ismail yang berpendapat
bahwa meunasah mempunyai berbagai fungsi praktis pada masa dahulu; antara lain: 1 Lembaga musyawarah; 2 Lembaga pendidikan dan pengajian; 3
Lembaga ibadah shalatibadah lainnya; 4 Lembaga hiburan dan kesenian, 5 Asah terampil asah otak meucabang catur tradisional Aceh sambil diskusi.
63 Menurut Irwansyah informan secara umum terdapat dua fungsi utama
dari meunasah. Fungsi pertama yaitu fungsi utamanya sebagai rumah ibadah. “Fungsi meunasah itu sebagai tempat ibadah, dan sebagai tempat berkumpul
orang-orang gampong, seperti rapat, kenduri, ada acara tertentu...”. Meunasah merupakan tempat dimana masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiatan ibadah
dan religi yang berhubungan dengan kepercayaannnya sebagai umat Islam. Kegiatan yang biasa dilaksanakan antara lain sholat, diskusi masalah agama, dan
belajar tentang agama islam khususnya mengaji. Sedangkan fungsi lainnya dari meunasah dapat dikatakan meunasah merupakan tempat untuk berkumpul
masyarakat.
4.3.1. Meunasah sebagai Tempat Meunasah Sebagai Tempat Sholat
Di setiap daerah apapun namanya, rumah-rumah ibadah dalam Islam memiliki fungsi pertama sebagai tempat sholat. seperti tempat ibadah umat Islam
lainnya meunasah digunakan sebagai tempat ibadah sholat. Sholat di meunasah biasa dilakukan secara berjamaah, khususnya pada waktu sholat Magrib sampai
Isya, sedangkan di waktu sholat Subuh, Zuhur, dan Ashar kegiatan sholat berjamaah biasa hanya terlihat di mesjid. Kecuali di waktu Ramadhan, kegiatan
sholat berjamaah yang dilakukan di meunasah dilaksanakan di setiap waktu shalat.
Kegiatan sholat berjamaah ini dipimpin oleh seorang Tengku Imeum meunasah yang telah dipilih oleh masyarakat. Tengku Imeum bertugas untuk
memimpin tiap kegiatan keagamaan di meunasah. Apabila berhalangan hadir
64 maka imeum diganti oleh imeum lain yang telah dianggap mampu oleh
masyarakat setempat untuk menjadi pemimpin dalam mlaksanakan ibadah sholat. Pada bulan Ramadhan biasa dilaksanakan ibadah shalat Tarawih setelah
shalat Isya. Pada waktu sholat Tarawih ini peneliti hanya beberapa kali melihat Tengku Imeum meunasah memimpin sholat. Imeum manjadi panitia pada mesjid
di Mukim. Pada bulan Ramadhan sholat dipimpin oleh panitia Ramadhan yang bertugas yang telah ditetapkan melalui musyawarah penyambutan bulan
Ramadhan yang ditentukan oleh Keuchik dan para pemuka desa. panitia yang memimpin ibadah sholat Tarawih ini bergantian setiap hari, sedangkan di waktu
lain kegiatan sholat dilaksanakan seperti biasa. Meunasah biasanya sama dengan musholla, begitu juga dengan meunasah
Tanjong Beurunyong, oleh karena itu untuk sholat Jum’at yang khusus diperuntukkan untuk laki-laki tidak dilakukan di meunasah karena umumnya
meunasah di Kecamatan Paya Bakong berukuran lebih kecil dari pada mesjid. Tetapi menurut Syahriani dalam seminar proposal skripsi yang peneliti, untuk
wilayah atau kampung-kampung yang sangat ramai, meunasah juga digunakan untuk ibadah sholat Jumat.
4.3.2. Meunasah sebagai Tempat Mengaji
Mengaji menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti, membaca Alquran, selain itu mengaji yang berasal dari kata “kaji” juga dapat diartikan
menganalisis secara menyuluruh. Kegiatan mengaji yang dilakukan tidak hanya merupakan kegiatan membaca alquran, tetapi juga menganalisis isi yang ada di
dalamnya. Dalam bahasa Aceh mengaji disebut Jak Beut pergi mengaji.
65 Sejak kecil anak-anak Aceh di ajarkan untuk mengaji, bahkan sejak dalam
kandungan ataupun bayi, dibiasakan untuk mendengar ayat-ayat Alquran. Seorang ibu yang hamil atau baru melahirkan pada masyarakat ini dengan membaca ayat-
ayat terentu mengharapkan sesuatu untuk anaknya di kemudian hari. Salah satu surat yang umum dibaca saat anak dalam kandungan ialah, surat Yusuf. Membaca
surat ini pada saat ibu hamil, umumnya si ibu beharap bahwa anaknya akan lahir berwajah menarik dan disenangi orang.
Saat anak-anak Aceh telah berusia yang cukup untuk menerima pendidikan dasar, mereka biasanya juga mulai diberikan pendidikan agama secara
serius. Banyak dari anak-anak ini yang dibawa balee-balee pengajian atau ke tempat tengku-tengku yang mengajarkan tentang membaca Alquran dan agama
Islam, bahkan ada cukup banyak yang untuk pendidikan formal anak-anak ini orang tua lebih memilih memasukkan anak-anak mereka ke Madrasah Ibtidaiah
,atau dayah daripada sekolah dasar biasa, karena dianggap sekolah jenis ini lebih mampu member ilmu agama daripada sekolah dasar biasa.
Untuk orang-orang yang lebih dewasa, mengaji tetap dilakukan dalam bentuk pengajian-pengajian rutin yang dilaksanakan setiap minggu ataupun setiap
bulan. Pengajian ini biasa dilakukan di meunasah atau mesjid yang ada di setiap gampong maupun mukim. Di Gampong Tanjong Beureunyong sendiri pengajian
ini dilaksanakan setiap selasa malam, dan juga terdapat pengajian di mesjid yang dilaksanakan setiap kamis malam.
Pengajian rutin yang dilaksanakan setiap minggu di Meunasah Tanjong beurunyong dilaksanakan setelah sholat Magrib sampai tiba waktu Isya. Pengajian
66 ini dipimpin oleh Imuem Meunasah yang membaca, dan mengkaji tentang hukum-
hukum, adab, dan segala permasalahan tentang Islam. Buku atau kitab yang dibaca adalah kitab Beurukunan kitab ini ditulis dengan huruf Arab berbahasa
Melayu atau Indonesia. Imeum meunasah biasa membaca dahulu isi buku tersebut, kemudian setiap kalimat di jelaskan tentang penjelasan lengkapnya.
Biasanya dari setiap kalimat yang dijelaskan para makmum, atau jamaah yang mendengarkan akan bertanya lebih lanjut tentang masalah yang dibahas di sela-
sela setiap pembahasan tentang.permasalahan tersebut.sehingga pengajian ini lebih seperti diskusi.
Gambar 5. Suasana pengajian mingguan di Gampong Tanjong Beurunyong
Bentuk pengajian lain yang dilakukan di meunasah ialah tadarus. Tadarus ialah sebuah kegiatan mengaji membaca Alquran secara bergiliran, dimana
peserta yang membaca Al-Quran bergiliran membaca beberapa ayat atau surat yang dilaksanakan dari selesai Tarawih dan Witir sampai waktu Sahur tiba. Selain
itu juga terdapat pengajian rutin di mesjid yang biasa dihadiri masyarakat yang
67 tinggal satu mukim di Gampong Keude Chik Payabakong. Pengajian ini
dilaksanakan setelah Isya, dan biasanya lebih ramai karena dihadiri oleh masyarakat satu mukim. Berbeda dengan pengajian di meunasah, pengajian di
mesjid ini lebih seperti khutbah, karena tidak disertai dengan tanya jawab antara tengku dengan jamaahnya.
4.3.3. Khauri Kenduri
Kenduri dalam Kamus Bahasa Indonesia merupakan acara perjamuan untuk memperingati suatu peristiwa, meminta berkat atau, mendoakan atas
sesuatu. Kegiatan kenduri biasanya dilakukan untuk mendoakan orang yang teah meninggal daan dirayakan pada hari-hari tertentu yang dianggap penting, seperti
nujuh hari hari ke tujuh, empat puluh hari atau setahun. Kenduri juga dilakukan untuk meminta doa tertentu maupun untuk mensyukuri suatu peristiwa dan hari-
hari besar Islam lainnya. Kenduri yang biasa dilakukan di meunasah dilaksanakan pada umumnya
saat malam hari, kegiatan ini dilakukan dengan diawali pembacaan surat-surat pendek dalam Al-Quran setelah Magrib sampai waktu Isya. Kegiatan perjamuan
makan yang dilakukan biasanya dilakukan setelah sholat Isya. Jamuan makan dilakukan bersama dengan seluruh jamaah. Sedangkan kenduri yang dilakukan
pada hari besar seperti Nuzulul Qur’an lebih pada kegiatan perjamuan bersama dengan banyak masyarakat yang membawa jamuan, dan dimakan bersama saat
berbuka puasa.
68 Gambar 6. Kenduri dan buka bersama pada perayaan Nuzulul Qur’an
Selain kenduri yang dilakukan di meunasah, masyarakat Gampong Tanjong Beureunyong juga biasa melakukan kenduri Jrat kuburan, kenduri ini
dilakukan khusus untuk mendoakan orang yang telah meninggal. Kenduri yang dilkukan di meunasah ataupun di kuburan ini dipimpin oleh Teuku Imuem. Teuku
Imuem memimpin doa dalam setiap kegiatan keagamaan di gampong, baik itu sholat, mengaji, atau pun kenduri. Kenduri-kenduri ini dilakukan pada waktu-
waktu tertentu seperti empat puluh hari, seratus hari, ataupun setahun meninggalnya anggota keluarga yang memiliki hajatan. Jika hajatan kenduri yng
dilakukan pada saat siang, maka hajatan dilakukan di rumah, sedangkan jika di laksanakan pada malam hari umumnya dilaksanakan di meunasah.
4.3.4. Meunasah sebagai Tempat Berkumpul dan Balai Serba Guna
Meunasah tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat dimana masyarakat menjalankan ibadah dan hubunngannya terhadap tuhan, tetapi juga memiliki
fungsi lain sebagai tempat manusia menjalin hubungan dengan manusia lainnya.
69 Meunasah juga merupakan tempat dimana masyarakat salling berhubungan dan
bertemu pada saat-saat tertentu.
4.3.4.1. Meunasah sebagai Tempat Musyawarah dan Mufakat
Musyawarah di Aceh, khususnya di gampong-gampong kecil seperti Tanjong Beureunyong umumnya dilaksanakan di meunasah. Meunasah
merupakan tempat dimana para pemuka gampong berkumpul dan bermusyawarah dalam membahas hal-hal yang berhubungan dengan gampong. Para pemuka desa
ini antara lain: Kadus-Kadus kepala dusun, Kaur, Sekertaris Desa, Tuha Peut dan Tuha Lapan jika ada, serta Imum Meunasah dan dipimpin oleh Keuchik
sebagai pemimpin gampong. Musyawah-musyawarah ini biasa merupakan musyawarah yng membahas masalah pembangunan gampong, pemilihan dalam
menentukan bagian tugas khusus, Qanun gampong, ataupun masalah yang terjadi antara warga.
Para aparat-aparat gampong ini melakukan musyawarah tidak selalu secara bersama-sama, pada kesehariannya mereka juga biasa saling mengobrol dan
membahas masalah gampong serta masalah lainnya secara pribadi. Setiap selesai sholat berjamaah, biasanya setelah Maghrib merupakan saat dimana para jamaah
saling mengobrol dengan Keuchik ataupun Imuem yang biasa hadir untuk sholat. Dan jika untuk urusan-urusan yang lebih pribadi biasanya mereka akan
mendatangi langsung ke rumah Keuchik. Keuchik saat ini, Syamsarif dan beberapa penduduk gampong yang biasa
mengikuti shalat Magrib berjamaah, biasanya tidak langsung pulang ke rumah setiap selesai shalat dan berdoa selesai Magrib. Sering peneliti perhatikan
70 Keuchik, Imeum dan beberapa penduduk biasa mengobrol dahulu sambil
menunggu masuk shalat Isya. Pembicaraan santai ini membahas banyak hal mulai dari masalah pertanian dan sawah mereka sampai, masalah-masalah warganya.
4.3.4.2. Meunasah Tempat Menginap Laki-Laki Lajang
Kebiasaan menginap bagi laki-laki yang belum menikah atau lajang di meunasah telah ada sejak dulu dan merupakan kebiasaan bagi laki-laki Aceh.
Tetapi kebiasaan ini sudah mulai jarang terlihat, pemuda-pemuda Aceh saat ini lebih sering menginap di rumah mereka dari pada di meunasah, kecuali pada saat-
saat tertentu. Mereka umumnya hanya menginap di meunasah ketika mereka pulang terlalu larut atau ada acara tertentu. Begitu pula yang terjadi di gampong
Tanjong Beureunyong. Anak laki-laki Aceh telah biasa untuk tidak tinggal di rumah, sejak kecil
mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar bersama dengan teman-teman laki-laki mereka. Anak laki-laki Aceh belajar untuk dewasa dari lingkngannya di
luar rumah sedangkan anak perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ataupun berkumpul di teras-teras rumah bersama anak perempuan lain.
Seperti yang ditulis oleh Siegel Ihromi, 2006:208-209 dijelaskan: “menjelang pubertas anak laki-laki hanya pulang kerumah, jika
ada keperlan atau jika mereka dibutuhkan di rumah. Sama seperti bapa mereka juga tidak terlama dirumah. Ruang gerak anak
perempuan terbatas pada rumah tangga. Kalau sudah besar mereka membantu mengajar adiknya atau anak kakaknya. Mereka
juga membantu di dapur memasang api atau menggiling bumbu…”
Anak laki-laki sejak usia dini telah diterapkan untuk hidup di luar rumah,
sejak usia dini mereka telah belajar mengaji, kemudian di khitan dengan harapan
71 agar mereka malu terhadap perempuan yang bukan muhrim mereka. Semakin
dewasa mereka di berikan tanggung jawab di luar rumah dengan membantu di sawah atau bekerja, dan shalat lima waktu di Meunasah hingga tinggal disana.
Kebiasaan menginap di Meunasah Tanjong Beureunyong pun sudah mulai berkurang. Para pemuda di Gampong Tanjong Beureunyong mulai sedikit yang
terlihat menginap di meunasah pada hari-hari biasa, kecuali pada bulan Ramadhan jumlah pemuda yang tinggal di meunasah sedikit lebih ramai. Syamsarif selaku
Keuchik tidak terlalu menyukai para pemuda yang menginap dan tidur di meunasah saat ini, karena menurutnya mereka adakalanya sesuka hati
menggunakan karpet untuk sholat sebagai alas tidur mereka, dan juga para pemuda ini sangat susah dibanguni untuk shalat subuh.
4.3.4.3. PKK, Posyandu, dan PAUD
PKK Pembangunan Kesejahtraan Keluarga adalah salah satu program pemerintah yang pertama kali ibu Isriati Moenadi sebagai isteri Gubernur Jawa
Tengah pada tahun 1967 sebagai gerakan masyarakat yang bertujuan “mewujudkan kesejahteraan keluarga, atas kesadaran dan kemampuan keluarga
itu sendiri”. Pada tahun 1972 Menteri Dalam Negeri menginstruksikan kepada Gubernur di seluruh Indonesia, agar gerakan PKK dilaksanakan dan ditingkatkan
di seluruh wilayah Indonesia. Tim Penggerak PKK dibentuk di semua tingkat administrasi : Pusat, Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa dan Kelurahan, yang
diketuai oleh
isteri Pimpinan
Daerah setempat
http:tppkkpusat.orgindex.php?option=com_contentview=articleid=62Itmi d=69.
72 Salah satu program yang dikelola oleh PKK adalah program Posyandu.
Desa-desa yang masih sederhana posyandu dan PKK hanya berupa tempat atau sebuah rutinitas tertentu, walaupun begitu posyandu ini tetap memiliki nama,
nama posyandu Tanjuong Beureunyong adalah Posyandu Bungong Mawar. Didepan Pada Gampong Tanjong Buruyong Posyandu hanya sebuah kegiatan
pemeriksaan bulanan yang dilaksanakan oleh Bidan Desa yang datang setiap bulan ke desa. Kegiatan Posyandu di Gampong Tanjong Beureunyong
dilaksanakan pada hari jum’at minggu ketiga setiap bulannya. Kegiatan ini dilaksanakan di bagian bawah meunasah yang berbentuk rumah panggung atau
rumah-rumah penduduk di sekitar meunasah. Posyandu bulanan ini merupakan kegiatan pemeriksaan kesehatan ibu dan anak khususnya yang masih balita dan
ibu hamil. Bidan desa yang melakukan tugas ini dibantu oleh Kader Posyandu yang merupakan penghubung antara Bidan Desa dan masyarakat.
Paud Pendidikan Anak Usia Dini merupakan jenjang pendidikan informal untuk anak dibawah usia sekolah dasar. Pendidikan ini hampir sama
dengan taman kanak-kanak yang mengajarkan pelajaran dasar sambil bermain. Paud merupakan salah satu kegiatan PKK Tanjong Beureunyong. Pendidikan di
Paud sendiri biasanya mengajarkan pengenalan huruf, menghitung, ilmu agama dan juga permainan anak. Pelajaran ini biasa digabungkan dengan kegiatan
bermain dan kreatifitas agar mudah diterima oleh anak. Tetapi kegiatan ini hanya bertahan selama setahun 2009-2010 karena kurangnya anggaran dana yang ada.
73 Gambar 7. Gotong royong yang dilakukan di meunasah
Meunasah merupakan tempat berkumpul masyarakat hampir dalam segala kegiatan, baik itu kegiatan keagamaan, sosial, maupun dalam peristiwa sehari-
hari. Dalam kegiatan gotong royong masyarakat, meunasah merupakan tempat semua masyarakat berkumpul. Dalam kegiatan gotong-royong pun meunasah
menjadi prioritas masyarakat berkumpul untuk membersihkan setelah dusun masing-masing. Jika ada kegiatan-kegiatan atau acara tertentu di luar desapun,
masyarakat akan berkumpul di meunasah sebelum berangkat. Meunasah dalam kehidupan sehari-hari merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat
Aceh.
4.4. Perubahan di Gampong Tanjong Beurunyong
Seperti yang telah dijelaskan dalam bab-bab diatas sebelumnya, fungsi meunasah yang semula sebagai rumah ibadah tradisional dalam masyarakat Aceh,
dalam kesehariannya juga memiliki fungsi lain. Fungsi yang awalnya hanya
74 sebagai tempat ibadah dan kegiatan-kegiatan keagamaan, kini juga meliputi,
fungsi, sosial, hukum dan juga ekonomi. Perubahan ini mengalami pertambahan dan perubahan dalam perkembangannya.Perubahan ini terjadi karena adanya
beberapa faktor yang terjadi di masyarakat yang ada di sekitarnya. Masuknya budaya luar terjadi melalui interaksi masyarakat lokal dengan
masyarakat luar menyebabkan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Interaksi ini dapat terjadi melalui banyak cara, antara lain pernikahan, akulturasi, dan
interaksi. Perubahan ini juga dibawa oleh penduduk lokal sendiri yang berinteraksi dengan budaya luar dan kembali dengan kebiasaan dan budaya baru
yang dibawanya misalnya saat seseorang merantau. Budaya merantau di Indonesia dimiliki oleh sebagian besar suku-suku di
Indonesia. budaya merantau ini biasa dilakukan oleh laki-laki di banyak suku- suku di Indonesia, begitu pula pada suku Aceh. Laki-laki dibiasakan untuk hidup
dan beraktifitas di luar rumah kecuali untuk keperluan tertentu. Minimnya lapangan pekerjaan yang ada di gampong membuat mereka mencoba untuk
mencari peruntungan di luar daerahnya. Keinginan untuk merantau karena melihat adanya kerabat atau teman-teman mereka yang memiliki kehidupan yang lebih
baik di kota. Selain untuk bekerja, banyak juga diantara mereka yang merantau untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.
Para laki-laki yang perantau ini kebanyakan akan kembali ke gampong halamannya jika dirasa kehidupan di kota tidak lebih baik dari kehidupannya di
gampong. Banyak juga dari mereka yang tinggal dan menetap di daerah perantauan jika dia telah memiliki tempat tinggal sendiri dan menikah dengan
75 orang diluar gampong mereka, biasanya mereka hanya akan kembali pada saat-
saat tertentu. Para perantau yang kembali ini membawa kebiasaan dan pengetahuan mereka yang mereka dapat di kota ketika kembali ke gampong.
Azis Informan misalnya pria paruh baya yang memiliki tujuh anak yang lima diantaranya adalah laki-laki, menyatakan kelima anaknya pernah merantau,
empat diantaranya pernah bekerja di Medan dan yang satu saat ini bekerja dan tinggal di Takengon. Empat yang paling tua yang telah menikah lebih dahulu
sebelum menikah saat masih lajang merantau dari gampong dan tinggal tempat kakak mereka yang ada di Medan. Anak yang terakhir yang tinggal di Takengon
baru saja menikah dia lebih memilih menetap di Takengon karena memiliki usaha dan toko sendiri di sana. Hal yang sama juga peneliti dapat dari keterangan Jufri
24 tahun, seorang pemuda setempat yang saya kenal juga mengakui bahwa dia, teman, dan abang-abangnya juga merantau beberapa saat setelah menamatkan
SMA, dia pernah bekerja, di Medan dan Banda Aceh mengikuti abang dan juga temannya. Tetapi kemudian dia kembali karena dirasa pekerjaan yang dimiliki
tidak sesuai dengannya.
Selain itu, adanya keadaan-keadaan tertentu seperti perang dan darurat militer yang beberapa kali terjadi di Aceh membuat masyarakat luar memiliki
akses ke menuju gampong. Masyarakat luar yang datang ini pun membawa pengetahuan dan kebiasaan mereka ke daerah tujuan. Interaksi masyarakat
pendatang dengan masyarakat asli membuat semakin beragamnya kebudayaan yang ada di daerah gampong tersebut.
76 Pada saat masa konflik GAM Gerakan Aceh Merdeka, banyak pasukan
TNI Tentara Nasional Indonesia yang dikirim ke Aceh. Tentara ini di kirim dari banyak wilayah di Indonesia. Para tentara nasional dikirim hampir di seluruh
wilayah Aceh, termaksud di Kecamatan Paya Bakong. Pasukan TNI ini mendirikan kamp-kamp di wilayah tugas mereka, yang membuat mereka juga
harus berinteraksi dengan penduduk lokal. Masyarakat gampong yang terbuka terhadap kebudayaan luar tidak jarang menyerap dan menerima perubahan
tersebut sehingga sedikit-sedikit merubah keadaan di gampong. perubahan yang terjadi antara lain terlihat pada cara berbahasa, pakaian, dan bentuk rumah.
Perubahan yang terlihat antara lain perubahan pada pola pemukiman, dimana jika dahulu rumah-rumah tradisional Aceh berbentuk rumah panggung.
Kini bentuk rumah panggung mulai ditinggalkan dengan rumah yang berdiri di atas tanah. Bentuk rumah panggung dimana rumah berdiri iatas tiang-tiang
penyangga. Rumah panggung Aceh biasa terdiri dari dua kamar dengan dapur yang terletak dibelakang rumah panggung. Kamar biasa diperuntukkan untuk
pasangan yang telah menikah dan anak perempuan dan anak kecil, sedangkan anak laki-laki telah dibiasakan untuk tidur di meunasah. Bagian dapur ini biasa
tidak berada di atas rumah panggung tetapi ditanah tetapi masih menyatu dengan rumah panggung. Rumah ini biasa disebut rumah Aceh.
Di Gampong Tanjong Beurunyong sendiri masih terdapat beberapa rumah panggung, sekitar sepuluh rumah panggung masih tersisa di Tanjong Beurunyong.
Rumah ini telah jauh berkurang sejak beberapa tahun terakhir diganti dengan rumah-rumah bata dan kayu yang berdiri di langsung atas tanah. Walaupun
77 semakin banyak rumah yang dibangun, tetapi bentuk rumah panggung telah di
tinggalkan. Meunasah Tanjong Beurunyong sendiri masih mengambil bentuk rumah panggung Aceh sebagai bentuk dasar dengan motif khas lukisan rencong
pada bagian atapnya, walaupun tidak sepenuhnya terbuat dari kayu seperti rumah Aceh pada umumnya.
Bentuk rumah-rumah saat ini telah banyak mengikuti rumah-rumah yang ada di kota pada umumnya walaupun rumah tersebut masih semi batu. Rumah-
rumah yang dibangun juga memiliki beberapa kamar, umumnya sekitar dua sampai tiga kamar. Jika dahulu anak laki-laki dibiasakan untuk tinggal dan tidur
di meunasah, kini anak laki-laki juga telah memiliki kamar sendiri di dalam rumah. Anak laki-laki sampai sekarang masih lebih banyak untuk bergaul dan
melakukan aktifitas di luar rumah, rumah dan kamar hanya menjadi tempat istirahat mereka saja.
Zulfan dan Jufri, mengatakan lebih nyaman tidur di rumah daripada di meunasah. Menurutnya rumah lebih aman dan nyaman, serta tidak terganggu oleh
nyamuk. Walau demikian terkadang aktifitas menginap di meunasah masih di lakukan sesekali khususnya pada saat mereka pulang sangat larut. Syamsarif
selaku Keuchik sendiri tidak terlalu mengukai pemuda yang menginap di meunasah ini, khususnya jika pemuda itu tidak bangun saat Subuh dan tidak
menjaga dan merapikan barang-barang seperti sejadah dan karpet yang biasa digunakan pemuda-pemuda ini sebagai alas tidur mereka.
Pada saat ini anak laki-laki dibiasakan untuk kembali pulang pada malam hari. Di lokasi penelitian, peneliti melihat beberapa kali orang tua akan mencari
78 anaknya jika pada saat sehabis isya belum kembali ke rumahnya. Tetapi hal ini
cendrung dilakukan pada anak yang masih berada di bangku pendidikan dasar, kemudian, pada tahap usia berikutnya anak akan terbiasa untuk pulang kembali ke
rumah jika malam tiba. Ketika anak telah masuk ke tahap lebih dewasa, dan menamatkan pendidikannya di gampong banyak diantara mereka yang kemudian
memilih untuk merantau.
79
BAB V KESIMPULAN
Nanggroe Aceh Darussalam sebagai sebuah bagian dari negara Indonesia yang majemuk dan multikultur, sangat dipengaruhi oleh Islam. Bagi masyarakat
Aceh agama Islam telah manjadi bagian dari kehidupan religi, hukum, dan adat yang ada di sana. Seperti yang telah dijelaskan dalam sejarah, perkembangan
agama Islam telah dimulai sebelum kerajaan Islam pertama di Aceh Kerajaan Peureulak dan semakin berkembang setelah itu. Besar dan Pesatnya
perkembangan Agama Islam di Aceh tidak luput dari perhatian raja-raja atau sultan pada masa kerajaan Islam dahulu pada penerapan hukum dan pendidikan
yang sesuai dengan hukum dan syariat Islam. Penelitian ini telah menjawab kelima pertanyaan penelitian yang diajukan
dalam permasalan penelitian. Pertanyaan pertama dapat dijelaskan bagaimana meunasah ada dan berkembang sejak zaman kerajaan Islam di Aceh dahulu.
Meunasah yang menurut banyak ahli berasal dari kata “madrasah” telah menjadi lembaga pendidikan pertama bagi masyarakat Aceh dalam penyebaran agama
Islam. Kemudian dalam perkembangannya meunasah telah menjadi kebutuhan sebagai tempat ibadah bagi masyarakat Aceh yang umumnya beragama Islam.
Pertanyaan kedua dapat dijawab bahwa bagi masyarakat Aceh sendiri meunasah memiliki peran penting dalam masyarakat, bukan hanya sebagai tempat
ibadah dan segala aktifitas keagamaan. Untuk daerah yang masih tradisional dan sederana, meunasah juga merupakan tempat dilaksanakannya berbagai kegiatan