Biologi Tetranychus urticae Pada Tanaman Mawar
1
BIOLOGI Tetranychus urticae PADA TANAMAN MAWAR
ALICE MAYELLA AYUDYA
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
2
ABSTRAK
ALICE MAYELLA AYUDYA. Biologi Tetranychus urticae pada Tanaman
Mawar. Dibimbing oleh SUGENG SANTOSO.
Mawar (Rosa hybrida L.) salah satu komoditi floriculture yang bernilai
tinggi. Kerusakan akibat serangan tungau menjadi masalah penting dalam
pengembangan budidaya tanaman mawar. Survei pada pertanaman mawar di
lapang dan percobaan laboratorium untuk mengetahui kelimpahan tungau di
daerah Cipanas, dan menguraikan biologi tungau pada daun mawar. Hasil
pengamatan lapang di Cipanas hanya mendapatkan satu spesies tungau yaitu
Tetranychus urticae. Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium T.urticae pada
daun mawar memiliki siklus hidup 7.7 ± 1.9 hari. Imago betina dapat bertahan
hidup selama 12.06 hari, sedangkan untuk imago jantan dapat hidup selama 11.98
hari. Rata-rata peletakan telur harian adalah 8.24 ± 2.59 dengan keperidian imago
betina 83.23 ± 48.6 butir/betina. Laju pertumbuhan intrinsik (rm) T. urticae pada
daun mawar adalah 0.79, berarti bahwa dalam nilai waktu generasi selama 15.32
hari memiliki laju reproduksi bersih (R0) 27.78 individu.
Hasil survei lapangan diperoleh proporsi stadia telur paling banyak
ditemukan dan adanya tungau predator dari Amblyseius (Acari: Phytosiidae).
Kata kunci: Rosa hybrida L., Tetranychus urticae.
3
BIOLOGI Tetranychus urticae PADA TANAMAN MAWAR
ALICE MAYELLA AYUDYA
A34070076
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
4
Judul
: Biologi Tetranychus urticae
Mawar
Nama Mahasiswa
: Alice Mayella Ayudya
NIM
: A34070076
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr
NIP 19640304 198903 1004
Mengetahui,
Ketua Departemen
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.
NIP 19650621 198910 2001
Tanggal Lulus :
Pada Tanaman
5
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Alice Mayella Ayudya, dilahirkan di Jakarta 6 Maret
1989. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak
Ir. Antonius Birawan dan Ibu Cresentia Dwi Agustin Adriani. di Jakarta, Jawa
Barat pada tanggal 06 Maret 1989 sebagai anak kedua dari empat bersaudara.
Tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikannya di SMA Sint Louis Semarang
kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Universitas Katolik
Soegiapranata dengan program studi Teknologi Pangan. Melalui Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2007 penulis melanjutkan
pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan program studi Proteksi
Tanaman. Selama menjadi mahasiswa penulis mengikuti beberapa kegiatan dalam
departemen yang diadakan oleh angkatan 44 Proteksi Tanaman, serta turut
menjadi panitia dan berpartisipasi dalam beberapa kegiatan keagamaan di dalam
kelompok Kesatuan Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI) saat masa Tingkat
Persiapan Bersama (TPB).
6
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang
berjudul Biologi Tetranychus urticae pada Tanaman Mawar. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah mendukung dan
membimbing penelitian dan penulisan tugas akhir ini, antara lain:
1. Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr sebagai dosen pembimbing skripsi
yang senantiasa memberikan bimbingan, motivasi, dan arahan kepada
penulis.
2. Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc atas kesediaan dan kehadirannya baik
dalam seminar dan ujian akhir menjadi dosen penguji tamu.
3. Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, M.Agr selaku dosen pembimbing
akademik yang memberikan konsultasi dan solusi selama menjadi
mahasiswa.
4. Kedua orang tua, kakak, dan kedua adik yang selalu memberikan doa
dan dukungan moril materil.
5. Bapak Wawan selaku staf Laboratorium Ekologi yang membantu
selama penelitian.
6. Bapak Murwanto dan Bapak Yiyin
7. Bapak Sodik, Bapak Ndang, Ibu Euis, dan semua staf di dalam
departemen Proteksi Tanaman
8. Andra, Avanty, Anda, Harwan, Parulian Julio, Mas Kiki, Rizky “Eter”,
Radhy, Sherly, Gama, Anik, Mey, Mia, Ichan, Eja, Ibu Andi Sherly,
Christopher, Fajar, dan seluruh mahasiswa Proteksi Tanaman angkatan
44 yang selalu memberikan semangat dan doanya.
Akhir kata penulis menyadari bahwa dalam penulisan penelitian terdapat
berbagai kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Semoga penelitian ini dapat
bermanfaat bagi yang membaca dan menekuni bidang terkait.
Bogor, Agustus 2012
Alice Mayella Ayudya
7
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………………………..... ix
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………
x
PENDAHULUAN………………………………………………………………
1
Latar Belakang………………………………………………………………
1
Tujuan……………………………………………………………………….
3
Manfaat………………………………………………………………….......
3
BAHAN DAN METODE……………………………………………………….
4
Waktu dan Tempat…………………………………………………………… 4
Bahan dan Alat………………………………………………………….......
4
Metode………………………………………………………………………. 4
Survei lapang kelimpahan Tetranychus urticae…………………………
4
Arena percobaan/pemeliharaan………………………………………….. 4
Perbanyakan Tetranychus urticae……………………………………….
5
Pengamatan biologi dan siklus hidup tungau…………………………….. 5
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………………
7
Pengamatan di lapangan……………………………………………………..
7
Tungau yang ditemukan di pertanaman mawar ………………………..
7
Keadaan serangan T.urticae di pertanaman mawar……………………..
7
Musuh alami……………………………………………………………… 8
Penelitian di laboratorium……………………………………………….......
9
Morfologi Tetranychus urticae………………………………………….. 9
Biologi stadia pradewasa……………………………………………...... 12
Parameter biologi……………………………………………………….. 15
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………….....
17
Kesimpulan………………………………………………………………….. 17
Saran…………………………………………………………………………. 17
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………....... 18
LAMPIRAN……………………………………………………………………. 21
8
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Siklus hidup Tetranychus urticae pada tanaman mawar (hari)…......... 13
Tabel 2 Parameter biologi tungau Tetranychus urticae……………………..... 14
Tabel 3 Statistik demografi T.urticae……………………………………………..... 16
9
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Populasi Tetranychus urticae pada daun mawar di Pasir Saronggee 8
Gambar 2 Populasi Tetranychus urticae pada daun mawar di Segunung…… 8
Gambar 3 Tungau predator dari Amblyseius (Acari: Phytosiidae)…………..
9
Gambar 4 Stadia T.urticae; a: Telur, b: Larva, c: Protonimfa, d: Deutonimfa
e: Imago Jantan, f: Imago betina…………………………………
12
Gambar 5 Kesintasan imago T. urticae pada daun mawar…………………..
15
Gambar 6 Peletakan telur harian T. urticae per hari pada daun mawar……..
15
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mawar (Rosa hybrid L.) merupakan salah satu komoditi floriculture yang
memiliki nilai tinggi. Mawar mempunyai potensial nilai ekonomi cukup tinggi
dikarenakan bentuk keindahan bunga dan memiliki keharuman yang khas.
Keunggulan tersebut membuat mawar banyak dikomersilkan sebagai bunga
potong dan penggunaan minyak atsirinya dalam industri parfum. Bunga mawar
juga merupakan bahan dasar bagi pembuatan minyak wangi ( Crockett 1975; Ray
dan McCaskey 1981). Bunga mawar mengandung minyak atsiri yang baik
kualitasnya yaitu mengandung finel etil alcohol, citronellol, dan nerol geraniol
yang memberikan bau parfum yang harum. Ekstrak bunga mawar bila disuling
akan menghasilkan minyak mawar murni sebagai bahan baku minyak wangi
(parfum) (Ashari, 1995; Rukmana, 1995).
Mawar yang dikenal dengan sebutan Ratu Bunga (Queen of flowers)
sangat digemari dan sudah sangat tua keberadaannya. Menurut catatan sejarah,
mawar mulai dibudidayakan pertama kali di Cina ± 5000 tahun yang lalu dan
dipopulerkan oleh dinasti Han. Pada periode yang sama orang –orang Mesir mulai
mengkomersilkan bunga mawar yang pada waktu itu banyak dimanfaatkan oleh
bangsa Romawi. Sejak saat itu bunga mawar mulai disukai banyak orang dan
penggemarnya mulai tersebar di seluruh bumi ( Crockett 1975).
Sukarno dan Nampiah (1990) menyebutkan
mawar didatangkan ke
Indonesia oleh pemerintah Belanda dari Eropa. Mawar berasal dari dataran Cina,
Timur Tengah dan Eropa Timur. Dalam perkembangannya, menyebar luas di
daerah-daerah beriklim dingin (sub-tropis) dan panas (tropis). Berdasarkan sifat
tumbuhnya mawar digolongkan menjadi mawar semak dan mawar merambat
(Lourie & Ries 1951).
Daerah pusat tanaman mawar terkonsentrasi di kawasan Alaska atau
Siberia, India, Afrika Utara dan Indonesia. Sentra penanaman bunga potong, tabur
dan tanaman pot di Indonesia dihasilkan dari daerah Jawa Barat, Sumatera Utara,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jakarta. Tanaman mawar mempunyai adaptasi luas
terhadap lingkungan tumbuh. Penanaman bisa dilakukan di daerah beriklim
2
dingin/sub-tropis maupun di daerah panas/tropis dengan suhu udara sejuk 180260C pada kelembaban 70-80%. Suhu optimum tanaman mawar adalah 15.623.9oC (Edmond et al. 1975). Tanah yang cocok untuk tanaman mawar adalah
tanah lempung yang mengandung 20-30% liat. Tanah dengan kondisi demikian
menjadikan drainase cukup baik, sehingga pertumbuhan akar tidak terhambat.
Kisaran pH untuk pertumbuhan optimal antara 5.5-7.2 (Anderson 1973).
Sistem usaha tani bunga mawar potong di daerah sentra produksi telah
mengarah ke usaha yang bersifat agribisnis. Komoditas ini telah mempunyai
pangsa pasar yang cukup besar dan memberikan pendapatan yang lumayan bagi
petani, melihat peningkatan permintaan meningkat hingga 10% setiap tahunnya.
Selama periode tahun 1985–1991 ekspor komoditas ini meningkat dari 476 ton
menjadi 4.881 ton. Permintaan bunga mawar di pasar dalam negeri meningkat
terutama di kota-kota besar. Kota Jakarta menyerap bunga-bunga terbesar dengan
omzet dan peredaran uang mencapai Rp 25,8 miliar per tahun. Permintaan bunga
mawar tidak kurang dari 20.000 kuntum per hari (Rukmana, 1995).
Salah satu masalah yang penting dalam budidaya tanaman mawar adalah
serangan hama dan penyakit. Seranga hama dan penyakit dalam intensitas yang
tinggi bisa menurunkan kuantitas dan kualitas bunga mawar yang dihasilkan.
Salah satu hama yang banyak menyerang dan dianggap merugikan tanaman
mawar adalah tungau.
Tungau berasal dari bahasa Yunani yaitu acari yang berarti seekor tungau
(Borror et al. 1996). Tetranychus urticae termasuk ke dalam kelas Arachnida,
ordo Acarina, subordo Trombodiformes, superfamili Tetranycoidea, famili
Tetranychidae, subfamili Tetranychinae, genus Tetranychus ( Krantz 1978).
Tungau bersifat polifag sehingga memiliki kisaran inang yang luas,
berukuran kecil dengan sebaran mobilitas yang sangat tinggi dan terdapat dalam
jumlah besar menjadikan tungau sebagai salah satu hama penting dalam tanaman
mawar. Tungau merah yang dijumpai menyerang tanaman mawar termasuk dalam
genus Tetranychus. Tungau ini lebih dikenal dengan nama Two-spotted spider
mite. Tungau berukuran kurang lebih 0,3 mm berwarna merah, hijau, atau kuning.
Hama ini berkembang biak dengan cepat pada keadaan cuaca lembab dan panas,
serta sirkulasi udara di sekitar kebun kurang baik (Rukmana, 1995).
3
Tungau dari famili Tetranychidae merupakan salah satu jenis tungau yang
banyak terdapat pada pertanaman mawar. Gejala serangan tungau adalah
perubahan warna daun dari hijau menjadi kuning keperakan dan pada serangan
berat daun akan gugur (Wijayanti, 1990). Gejala serangan tungau pada daun yang
menguning akibat bekas tusukan tungau karena menghisap nutrisi tanaman.
Serangan tungau ini dapat menyebabkan penurunan hasil karena tungau merusak
pelindung permukaan daun, stomata, jaringan palisade, jaringan bunga karang.
Populasi tungau yang tinggi dengan intensitas serangan meningkat tidak hanya
akan
menurunkan
aktivitas
fotosintesis
yang diakibatkan
oleh
adanya
pengurangan jumlah klorofil pada daun yang dapat mencapai 60%, tetapi juga
meningkatkan kecepatan transpirasi. Tungau Tetranychidae juga mengeluarkan
toksin pada saat menghisap cairan (makan) bersamaan dengan proses ekskresi
ludah. Toksin yang masuk ke tanaman inang akan menganggu sistem
metabolisme. Hal ini membuat pengendalian tungau merupakan salah satu faktor
penting dalam pemeliharaan tanaman mawar. Informasi dasar mengenai biologi
hama diperlukan dalam menentukan konsep pengendalian terpadu yang tepat.
Tujuan
Mengetahui keragaman jenis tungau hama yang menyerang mawar dan
biologi Tetranychus urticae pada daun mawar di laboratorium.
Manfaat
Menjadi informasi dasar untuk penelitian lebih lanjut tentang pengelolaan
tungau hama pada tanaman mawar.
4
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Bogor, Institut Pertanian Bogor mulai April
2011-Januari 2012.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan antara lain imago Tetranychus urticae
(Acari: Tetranychidae), daun mawar, air, kapas, busa, kantong plastik, polybag,
mikroskop stereo, cawan petri, kuas halus, coolbox, kotak plastik persegi.
Metode
Survei lapang kelimpahan Tetranychus urticae
Pengambilan contoh dilakukan pada pertanaman mawar di daerah Pasir
Sarongge, Cipanas, Bogor dan sekitar Balithi Segunung, Cipanas, Bogor, dengan
ketinggian 900-1200 mdpl. Sampel daun diambil secara acak. Pada setiap petak
diambil 25 tanaman secara acak, dan dari setiap tanaman diambil dua daun
berumur sedang. Sampel daun kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik
secara satu persatu dan disimpan dalam coolbox. Sampel daun kemudian diamati
dengan menggunakan mikroskop stereo.
Arena Percobaan/Pemeliharaan
Arena percobaan adalah cawan petri plastik berukuran tinggi 2 cm dan
diameter 9 cm yang berisi busa plastik berukuran tinggi 1 cm dan diameter 8 cm,
dan dilengkapi kapas berukuran 6 x 5 cm. Di atas kapas diletakkan potongan
daun mawar dengan posisi permukaan bawah daun berada di atas. Busa dan
kapas dijenuhi air untuk mencegah tungau keluar arena percobaan dan untuk
menjaga kesegaran daun mawar. Kelembaban arena percobaan terus dijaga
dengan pemberian air yang teratur.
5
Perbanyakan Tetranychus urticae
Tungau hama diambil dari pertanaman mawar di Pasir Sarongge dan
Segunung. Tungau yang terdiri dari berbagai stadia kemudian dipelihara dalam
arena pemeliharaan. Selama pemeliharaan, daun mawar diganti setiap 2-3 hari
sekali dengan daun yang segar.
Pengamatan biologi dan siklus hidup tungau
Seratus imago betina tungau hama diletakkan pada 100 arena percobaan.
Tungau-tungau tersebut dibiarkan selama dua jam agar meletakkan telur. Setelah
dua jam, semua imago betina disingkirkan dan pada setiap arena percobaan
disisakan satu butir telur tungau hama. Telur diamati setiap enam jam sekali
sampai menjadi imago. Bentuk morfologi dan lama lama setiap stadia yang
dilalui diamati dan dicatat. Setelah menjadi imago, pengamatan dilakukan setiap
hari sampai semua individu mati. Masa perkembangan setiap stadia, masa
praoviposisi, masa oviposisi, masa pasca oviposisi, nisbah kelamin, dan
keperidian betina diamati, serta setiap terjadi kematian imago dicatat.
Pengamatan parameter biologi tungau Tetranychus urticae dengan
merumuskan neraca hayati untuk menghitung laju intrinsik (rm). Perhitungan
hanya didasarkan pada populasi imago betina saja. Beberapa parameter yang
digunakan untuk perhitungan adalah :
1. x adalah kelas umur (hari);
2. ax adalah jumlah umur yang hidup pada setiap pengamatan;
3. lx adalah proporsi yang hidup pada umur x (lx = ax/ao);
4. dx adalah jumlah individu yang mati di setiap umur x (dx = lx-lx-1);
5. qx adalah proporsi mortalitas pada masing-masing umur (qx = dx/ax);
6. Lx adalah jumlah rata-rata individu pada kelas umur x dan kelas umur
berikutnya, x+1 [Lx = (lx+lx+1)/2];
7. Tx adalah jumlah individu yang hidup pada kelas umur x = 0…w (x = w
adalah kelas umur terakhir);
8. ex adalah harapan hidup individu pada setiap umur x (ex = Tx / lx );
9. mx adalah keperidian spesifik individu-individu pada setiap kelas umur x
atau jumlah anak betina perkapita yang lahir pada kelas x;
6
10. lx mx adalah banyaknya anak yang dilahirkan pada kelas umur x, ∑ lx mx
merupakan proporsi banyaknya anak dilahirkan oleh semua individu
(betina) sepanjang generasi atau disebut laju reproduksi bersih (R0);
11. x lx mx adalah perkalian x, lx , dan mx untuk setiap kelas umur x yang
digunakan untuk mengaprokimasi lamanya generasi (Tc);
12. px (peluang survival) adalah proporsi individu yang hidup pada kelas umur
x dan mencapai kelas umur x+1 (px = Lx+1/Lx).
Data kemampuan hidup dan keperidian disusun dalam tabel bentuk neraca
kehidupan (life table). parameter demografi yang diikuti meliputi:
1) Laju Reproduksi Bersih (R0) dihitung dengan rumus:
R0 = ∑ Lxmx
2) Laju Reproduksi Kotor (GRR), dihitung dengan rumus:
GRR = ∑ mx
3) Rataan Massa Generasi (Tc), dihitung dengan rumus:
∑
∑
4) Laju Pertambahan Intrinsik (rm), dihitung dengan rumus:
∑ lxmx e-rmx = 1,
dengan
Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini diolah menggunakan software Microsoft
Excel 2007.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan di Lapangan
Tungau yang ditemukan di pertanaman mawar
Pengamatan yang telah dilakukan di Pasir Sarongge dan Segunung
menemukan hanya satu jenis tungau. Tungau yang ditemukan mempunyai ciri-ciri
morfologi sebagai berikut:
Bagian tubuhnya dibagi atas gnatosoma (bagian depan) yang terdiri
palpus, chelicerae, epistoma, dan idiosoma (bagian belakang).
Memiliki ukuran ± 0.55 mm untuk imago dengan tubuh ditutupi oleh
setae.
Memiliki empat pasang tungkai pada imago dan tiga pasang tungkai pada
stadia larva.
Terdapat dua bercak hitam pada bagian lateral tubuh tungau.
Imago berbentuk oval telur untuk yang betina, sedangkan untuk imago
jantan pada bagian posterior idiosoma ramping dan meruncing.
Telur berbentuk bulat berwarna kuning dengan diameter ± 0.15 mm.
Keadaan serangan T. urticae di pertanaman mawar
Hasil pengamatan di pertanaman mawar, tungau hama yang ditemukan
hanya Tetranychus urticae Koch (Acari: Tetranychidae). Tungau ini ditemukan
dalam berbagai stadia, yaitu telur, larva, nimfa, serta imago. Tungau banyak
ditemukan di sekitar pertulangan daun, khususnya pada permukaan bawah daun.
Tungau menyukai permukaan bawah daun sebagai upaya pertahanan diri terhadap
pengaruh berbagai faktor lingkungan.
Meskipun lebih menyukai permukaan
bawah daun, namun dalam populasi tinggi tungau ini juga bisa ditemukan pada
permukaan atas daun. Stadia telur ditemukan dalam proporsi yang paling tinggi
(Gambar 1 dan 2). Serangan tungau ini pada daun menyebabkan gejala perubahan
warna pada daun. Daun menjadi berbintik-bintik keputih-putihan. Pada serangan
berat, daun bisa menjadi kering. Tanda lain dari serangan tungau ini adalah
ditemukannya benang-benang halus berwarna keputih-putihan yang terdapat pada
8
daun.
Benang-benang ini banyak ditemukan khususnya pada daun yang
terinfestasi tungau dalam populasi yang sangat tinggi.
60
50
51.38
(78.96%)
40
27.28
(54.57%)
30
20
11.85
(19.62%)
11.67
(30%)
2.4
(1.42%)
10
5.4
(15.43%)
0
Bella Vita
Telur
Sexy Red
Pradewasa
Imago
Gambar 1 Populasi Tetranychus urticae pada daun mawar di Pasir Sarongge
63.29
(60.11%)
70
60
50
37
(33.68%)
40
30
20
7.85
(6.21%)
10
0
Grand Gala
Telur
Pradewasa
Imago
Gambar 2 Populasi Tetranychus urticae pada daun mawar di Segunung
Musuh Alami
Tungau predator sebagai salah satu musuh alami, menurut Huffaker &
Messenger (1989) menemukan enam famili tungau yang bersifat predator hama
Tetranychus
sp.
yaitu
Bdellidae,
Trombidiidae,
Anystidae,
Erytracidae,
Stigmaetidae, dan Phytoseiidae. Banyak spesies tungau (Acari) dan laba-laba
(Araneae) hidup sebagai predator, memangsa kelompok sendiri, atau serangga
9
(Soemarsono & untung 2000). Contohnya yaitu Phytoseiulus persemilis (Ath
Henr) yang merupakan tungau spesialis pengendali tungau laba-laba seperti
Tetranychus urticae ( two spotted spidermite) (Davidson & Cransaw 2004).
Phytoseiidae dapat bertahan hidup pada populasi mangsa yang rendah dan dengan
demikian berpotensi untuk mengatur populasi tungau pada tingkat kepadatan
rendah (Klashoven 1981).
Hasil inventarisasi di lapang ditemukan tungau predator dari famili
Phytoseiidae (Gambar 3).
Gambar 3 Tungau predator dari Amblyseius (Acari: Phytosiidae).
Tungau ini ditemukan tidak dalam jumlah yang banyak di lokasi
pertanaman mawar di kedua lokasi. Tungau Phytoseiid bersifat generalis sehingga
mangsa yang dimangsa tidak hanya tungau Tetranychid namun dapat pula
memangsa tungau selain Tetranychid, serangga-serangga kecil, dan apabila dalam
kekurangan mangsa dapat mengkonsumsi embun madu, polen, atau tepung sari.
Penelitian di Laboratorium
Morfologi Tetranychus urticae
Tetranychus sp. mengalami beberapa tahap perkembangan yaitu telur,
larva, protonimfa, deutonimfa, dan imago ( Krantz 1978). Tungau
Tetranychus
sp. Menurut Helle dan Sabelis (1985) disebut juga Red Mites atau tungau merah,
sedangkan Banks (1900) menyebutnya sebagai tungau pemintal, karena tungau ini
memintal benang-benang berwarna putih di tempat hidupnya. Fungsi benangbenang tersebut adalah untuk melindungi tungau dari kemungkinan tercuci oleh
hujan (Ikegami et al. 2000).
10
Telur berwarna kuning muda berbentuk bulat dengan diameter ± 0.15 mm
(Kalshoven 1981). Awal peletakkan telur berwarna kuning bening dan seiring
dengan perkembangan telur tersebut tampak perubahan warna menjadi semakin
kuning hingga terlihat kuning kecoklatan (Gambar 4). Imago betina biasanya
meletakkan telur di daerah sekitar pertulangan daun. Pada sekitar tempat
peletakkan telur melekat terdapat benang-benang sutera. Bila terjadi perubahan
warna telur menjadi semakin kuning keruh kecoklatan maka kemungkinan telur
tidak berkembang dengan baik atau lambat bahkan tidak akan menetas. Menjelang
menetas pada telur tersebut terdapat bintik berwarna merah (Wilson 1931). Pada
telur yang akan menetas terlihat tungkai yang akan terus mendorong hingga kulit
telur pecah.
Stadia larva, protonimfa, dan deutonimfa masing-masing diselingi satu
periode tidak aktif (diam) yang secara berturut-turut disebut protokrisalis,
deutokrisalis, dan teliokrisalis. Selama periode tidak aktif tungau akan mengaitkan
dirinya pada substrat dan sebuah kulit baru terbentuk sebelum terjadi pelepasan
eksuvium.
Integumen robek di bagian dorsal kemudian tungau akan
membebaskan diri dari eksuvium. Kulit lama tetap melekat pada substrat (Helle &
Sabelis 1985). Masa inaktif atau istirahat merupakan bentuk strategi pertahanan
hidup dari keadaan lingkungan yang buruk, khususnya terpaan air hujan (Herbert
1981). Terdapat lapisan udara diantara kutikula baru dengan eksuvia yang akan
lepas (Ikegami 2000).
Larva yang baru menetas berwarna kuning bening dengan tiga pasang
tungkai berwarna bening dan ukuran larva tidak jauh berbeda dengan ukuran telur
(Gambar 4). Larva yang baru keluar lunak karena tidak mengalami sklerotisasi.
Perubahan warna dan ukuran terjadi sejalan dengan perkembangan larva yang
menjadi kuning keruh dengan dua bintik hitam pada bagian lateral dan ukurannya
akan semakin besar. Larva cenderung tidak aktif dan tidak banyak bergerak.
Protokrisalis (larva inaktif) merupakan stadia inaktif antara larva dan
protonimfa. Pada masa inaktif warna tidak jauh berbeda dengan larva, mengkilat
dan melekat pada substrat di permukaan daun. Posisi dua pasang tungkai merapat
ke tubuh dan direntangkan lurus ke arah anterior, sedangkan satu pasang lainnya
11
akan mengarah ke posterior. Menjelang ganti kulit warna larva menjadi keputihputihan dan mengkilat.
Protonimfa berukuran lebih besar sedikit dari larva dan memiliki dua
bintik hitam pada bagian lateral dengan tungkai empat pasang tidak berwarna
(bening) (Gambar 4). Pada saat keluar dari kulit lamanya berwarna kuning bening,
lama kelamaan terjadi perubahan warna menjadi kuning, dan dua bintik yang
terdapat di bagian lateral semakin jelas terlihat.
Deutokrisalis (protonimfa inaktif) berukuran dan berwarna tidak jauh
berbeda dengan protonimfa. Sama seperti stadia protokrisalis, stadia ini juga
melekat pada permukaan daun, mengkilat, dua pasang tungkainya merapat ke
tubuh bagian anterior dan dua pasang lainnya mengarah ke posterior. Menjelang
pergantian kulit warna akan menjadi keputih-putihan.
Deutonimfa berukuran lebih besar dari protonimfa dan dua bintik hitam
pada bagian lateral akan semakin melebar (Gambar 4). Tungkai tidak berwarna
dan seta pada dorsum idiosoma tampak jelas. Pada stadia ini sudah dapat
dibedakan antara jantan dan betina karena tubuh jantan lebih ramping daripada
betina.
Teliokrisalis (deutonimfa inaktif) memiliki ukuran dan warna tidak jauh
berbeda dengan deutonimfa, mengkilat dan melekat pada permukaan daun. Dua
pasang tungkai depan merapat ke arah anterior dan dua pasang tungkai belakang
merapat ke arah posterior. Menjelang pergantian kulit warna akan berubah
keputih-putihan.
Imago betina berbentuk oval dan memiliki empat pasang tungkai (Gambar
4). Imago betina saat masa praoviposisi, masa oviposisi dan masa pascaoviposisi
dibedakan melalui warna dan ukuran tubuh. Masa praoviposisi imago betina
berwarna pucat dengan ukuran tubuh lebih besar dari deutonimfa. Saat imago
masa oviposisi dan pascaoviposisi berukuran sedikit lebih besar dari imago
praoviposisi. Imago betina oviposisi berwarna cerah dan imago pascaoviposisi
berwarna kusam. Panjang tubuh imago betina ± 0.49 mm.
Imago jantan berukuran lebih kecil daripada imago betina dan bagian
posterior idiosoma ramping dan meruncing (Gambar 4). Tungkainya berukuran
12
lebih panjang daripada tubuhnya, dan biasanya tungkai depan digunakan untuk
memperebutkan betina atau bertarung dengan imago lainnya. Ukuran panjang
tubuh imago jantan ± 0.32 mm.
a.
b.
d.
e.
c.
f.
Gambar 4 Stadia T.urticae; a: Telur, b: Larva, c: Protonimfa, d: Deutonimfa,
e: Imago Jantan, f: Imago betina.
Tungau berkembang biak dengan cara arenotoki, imago betina akan
menghasilkan keturunan jantan apabila telur tidak dibuahi dan menghasilkan
keturunan betina jika telur dibuahi oleh jantan (Rodriguez 1979).
Biologi Stadia Pradewasa
Pada tanaman mawar, Tetranychus urticae melalui stadia telur, larva,
nimfa dan imago (Tabel 1).
Masa inkubasi telur Tetranychus urticae yang
berkembang menjadi jantan adalah 3.55 ± 0.59 hari, dan untuk betina 3.51 ± 0.6
hari. Menurut Belloti & Schoonhoven (1978) telur Tetranychidae menetas setelah
berumur 3-4 hari. Lama stadia larva T. urticae pada individu yang menjadi jantan
adalah 0.98 ± 0.33 hari, dan untuk individu yang menjadi betina 0.87 ± 0.23 hari.
Lama stadia nimfa T. urticae pada individu jantan adalah 3.2 hari, dan untuk
individu betina adalah 3.3 hari. Total lama perkembangan pradewasa mulai telur
menetas hingga menjadi imago pada individu jantan adalah 7.73 ± 1.88 hari,
sedangkan pada individu betina adalah 7.68 ± 1.84 hari.
13
Tabel 1 Siklus hidup Tetranychus urticae pada tanaman mawar (hari)
Telur
̅ ± SD (Jantan)
3.55 ± 0.59
3.51 ± 0.6
Larva
0.98 ± 0.33
0.87 ± 0.23
Protokrisalis
0.74 ± 0.23
0.75 ± 0.25
Protonimfa
0.66 ± 0.17
0.7 ± 0.19
Deutokrisalis
0.66 ± 0.16
0.68 ± 0.16
Deutonimfa
0.67 ± 0.20
0.72 ± 0.19
Teliokrisalis
0.46 ± 0.2
0.44 ± 0.2
7.73 ± 1.88
7.68 ± 1.84
Stadia
Total
̅ ± SD (Betina)
Total masa inaktif T. urticae pada daun mawar mencapai 24.20 % dari
total waktu sejak telur menetas sampai menjadi imago. T. urticae menghabiskan
sebagian waktu mulai dari telur menetas sampai muncul imago sebagai stadia
inaktif yaitu sebesar 53% (Herbert 1981). Perkembangan tungau yang berbeda
menurut hasil pengamatan di laboratorium dapat terjadi karena faktor kandungan
nutrisi pada daun tanaman mawar yang digunakan. Kondisi daun sebagai media
makanan dan nutrisi juga harus diganti dan dijaga kelembabannya. Daun dengan
kualitas nutrisi yang baik akan memacu pertumbuhan populasi tungau yang lebih
cepat (Wrensch & Young 1978). Kandungan nutrisi berpengaruh terhadap
perkembangan pradewasa, mortalitas, dan keperidian. Protein merupakan
komponen utama dalam pertumbuhan dan perkembangan tungau, khususnya
pembentukan telur. Menurut DeBoer (1985), telur yang dibuahi mempunyai
peluang menetas lebih baik daripada telur yang tidak dibuahi.
Lama hidup imago jantan dan betina tidak berbeda. Imago jantan bisa
hidup selama 11.98 hari, sedangkan imago betina selama 12.06 hari. Sebelum
meletakkan telur untuk pertama kali, imago betina memerlukan waktu 1.78 hari.
Imago betina bisa meletakkan 83.23 telur selama masa peletakan telur yang
berlangsung selama 10.34 hari. Rata-rata peletakan telur harian oleh imago betina
mencapai 8.24 butir/ekor. Imago betina masih bisa hidup selama 1.85 hari setelah
masa peletakan telur berakhir (Tabel 2)
14
Tabel 2 Parameter biologi tungau Tetranychus urticae
Parameter
̅ ± SD
Masa praoviposisi (hari)
1.78
± 0.69
Masa oviposisi (hari)
10.34 ± 4.8
Masa pascaoviposisi (hari)
1.85
Lama hidup imago betina (hari)
12.06 ± 6.11
Lama hidup imago jantan (hari)
11.98 ± 4.53
Peletakkan telur harian (butir/hari)
8.24
Keperidian (butir/betina)
83.23 ± 48.6
± 0.72
± 2.59
Hasil pengamatan telur T.urticae pada daun mawar yang menetas sampai
menjadi imago didapatkan jumlah betina lebih banyak yang muncul daripada
jumlah jantannya. Menurut Huffaker (1969) jumlah keturunan betina pada tungau
Tetranychidae umumnya lebih banyak dibandingkan jantan. Lebih banyak jumlah
telur yang menjadi betina dapat terjadi akibat masa kopulasi pada awal imago
betina terbentuk. Pada saat betina berada pada masa deutonimfa inaktif, imago
jantan selalu terlihat berada di sekitar tempat betina melekat. Ketika tiba masa
stadia inaktif (istirahat) berakhir maka imago jantan akan ikut menarik kulit lama
agar betina dapat keluar dari eksuvia. Setelah itu akan terjadi proses kopulasi.
Imago jantan yang mendampingi betina selama masa stadia teliokrisalis disebut
precopulatory guarding (pendampingan prakopulasi). Calon betina semakin lama
semakin menarik jantan. Semakin mendekati waktu ganti kulit semakin banyak
jantan yang mendekat (Cone et al. 1971).
Kesintasan menunjukkan tingkat keberhasilan hidup dari suatu populasi
dalam bentuk persen. Penurunan sintasan terus terjadi sampai semua tungau mati
yaitu pada saat tungau berumur 29 hari (Gambar 3).
Sampai umur 15 hari,
peluang hidup T. urticae masih cukup tinggi, dan terus menurun tajam setelah itu.
Jumlah telur yang diletakkan oleh seekor imago betina setiap harinya berfluktuasi.
Peletakan telur harian maksimum terjadi pada umur imago 4-10 hari. Setelah
imago berumur lebih dari 10 hari, peletakan telur cenderung menurun. Rata-rata
jumlah telur yang diletakkan harian oleh imago betina T. urticae yang dipelihara
15
adalah 8.24 butir. Jumlah telur yang dihasilkan umumnya akan semakin berkurang
Proporsi tungau yang hidup (%)
dengan semakin meningkatnya umur imago betina.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Umur (hari)
Gambar 5 Kesintasan imago T. urticae pada daun mawar
Jumlah telur yang dihasilkan umumnya akan semakin berkurang dengan
semakin meningkatnya umur imago betina. Imago betina yang mendapatkan
nutrisi lebih baik akan menghasilkan telur yang 11% lebih banyak daripada imago
betina yang hidup dari sumber makanan kurang baik (Wrensch 1979).
Peletakan tekur harian
(butir/ekor)
10
8
6
4
2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Umur (hari)
Gambar 6 Peletakan telur harian T. urticae per hari pada daun mawar
Parameter Biologi
GRR (Gross Reproduction Rate ) dan
R0 (Laju Reproduksi Bersih)
menunjukkan tingkat reproduksi (Tabel 3). Nilai Laju reproduksi kotor (GRR)
sebesar 119.08 individu menunjukkan rata-rata jumlah keturunan betina per
generasi. T.urticae memiliki laju reproduksi bersih (R0) sebesar 27.78 butir telur
per generasi menunjukkan populasi meningkat 27.78 kali lipat tiap generasi. Nilai
16
waktu generasi (Tc ) sebesar 15.32 hari berarti T.urticae dapat berkembang
sebanyak 27.78 individu/induk/generasi dalam satu generasi selama 15.32 hari.
Nilai laju pertambahan intrinsik yang dimiliki T.urticae pada daun mawar adalah
sebesar 0.79 individu/induk/hari. Berdasarkan pada nilai laju pertambahan
intrinsik kemampuan T.urticae untuk bertambah populasinya dalam keadaan tak
terbatas 0.79 ekor per harinya.
Tabel 3 Statistik demografi T.urticae
Parameter demografi
Nilai
Satuan
GRR
119.08
Individu
R0
27.78
Individu/induk/generasi
r
0.79
Individu/induk/hari
17
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tungau yang ditemukan pada tanaman mawar di Cipanas adalah
Tetranychus urticae Koch (Acari: Tetranychidae). Siklus hidup T. urticae pada
daun mawar adalah 7.73 hari (jantan) dan 7.68 hari (betina). Imago betina bisa
hidup selama 12.06 hari dan bisa meletakkan telur sebanyak 83.3 butir selama
10.34 hari masa oviposisi, dengan rata-rata peletakan telur harian 8.24 butir. Laju
pertumbuhan intrinsik T.urticae pada tanaman mawar adalah 0.79.
Saran
Penelitian lebih lanjut pada berbagai kultivar mawar tentang biologi
tungau Tetranyhcus sp. Perlu dilakukan pengamatan dilapang secara teratur untuk
mengetahui daya tahan suatu kultivar terhadap serangan Tetranychus sp. . Perlu
juga dilakukan inventarisasi musuh alami dan biologi dari musuh alami (tungau
predator) untuk melihat keefektifan pengendalian secara hayati.
18
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, R.H. 1973. Complete book of the garden reader disgest. Services.
Sydney. 58p.
Ashari S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Universitas Indonesia: Jakarta.
485p.
Banks, N. 1900. The Red Spider of The United States. U. S. Dept. Agric., div of
Ent. Tech. Ser. p 65-77.
Belloti AC and Schoonhoven AV. 1978. World Distribution, Identification and
Control of Cassava Pest in Cock J, Mac Intye and Graham M (eds). Proc.
IV. Sym. Int. Soc. Trop Root Crops. 1-7 Aug. 1976. Colombia: CIAT,
Cali.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Terjemahan dari: An Introduction To The Study of Insects.
Cone WW, McDonough LM, Maitlen JC, Burdajewics S. 1971. Pheromone
studies of two spotted spider mite, Tetranychus urticae Koch: evidence of
sex pheromone. Journal Economic Entomology 64: 355-358.
Crockett, J. U. 1975. Roses. The Time-Life Encyclopedia of Gardening. Time-Life
Books Inc, Canada. 160h.
Davidson J, Cranshaw W. 2004. Phytoseiidae.
http://www.entomology.umn.edu/cues/web/252. [Januari 2012]
DeBoer R. 1985. Reproductive barriers. Di dalam Helle W, Sabelis MW, editor.
Spider Mites: their Biology, Natural Enemies, and Control Vol 1A.
Tokyo: Elsevier. hlm. 193-199.
Edmond J.B., A.M. Musser and Andrews. 1975. Fundamental of Horticulture.
Mc. Graw Hill Book. Co. New York. 500p.
19
Helle, W. and M. W. Sabelis. 1985. Spider Mites Their Biologi Natural Enemies
and Control Volume IA and IB. Elsevier, Amsterdam.
Huffaker CB, Flaherty DI. 1996. Potential of biological control of two-spotted
spider mite on strawberries in California. J Econ Entomol. 59: 768-792.
Huffaker CB, Messeger PS. 1989. Teori dan Praktek Pengendalian Biologi.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Kalshoven LGE,
1981. The pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der
penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen
van de Cultuurgewassen in Indonesie.
Krantz, G. W. 1978. A manual of Acarologi. OSU Book Stores Inc, CorvalisOregon. 335p.
Ikegami Y, Yano S, Takabasyi J, Takafuji A. 2000. Function of quiescence of
Tetranychus kanzawai (Acari: Tetranychidae), as a defence mechanism
against rain. App Entomol Zool 35(3): 339-343.
Lourie, A. and V.H. Ries. 1951. Floriculture. Fundamental and Practices. Mc.
Graw Hill Books Co. Luc. New York.
Ray, R and M. McCaskey. 1981. Roses. How to Select, Grow and Enjoy.
Horticultural Publishing Co, Inc, Tuscon. 160h.
Rukmana R. 1995. Mawar. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. 63p
Sosromarsono S, Untung K. 2000. Keanekaragaman hayati artropoda, predator
dan
parasitoid
di
Indonesia
dan
pemanfaatannya.
http://kasumbogo.staff.ugm.ac.id/detailarticle.php?mesid=27&kata_kunci
=keanekaragaman%20hayati%20artropoda,%20predator,%20parasit.
[Januari 2012]
Sukarno & Nampiah. 1990. Mawar. Penebar Swadaya. Jakarta. 40 hal.
Wijayanti R.
1990.
Inventarisasi hama mawar (rosa hybrid hort.) Dan
pengamatan sebaran thrips pada tanaman mawar di desa cihideung,
sukajaya dan sukamaju, kecamatan cisarua, kabupaten bandung. Laporan
20
praktek lapang. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
IPB, Bogor.
Wilson JW. 1931. The two spotted mite (Tetranychus telarius L.) on asparagus
plumous. Technical Bull No.34. Agric. Exp. Stat: Univ of Florida.
Wrensch DL. 1979. Component of Reproduction Success in Spider Mites. Di
dalam Rodriguez JG editor. Recent advances in acarology. New York:
Academic Press, inc. Hal 155-164.
21
LAMPIRAN
Lampiran 1 Lokasi pengambilan Tetranychus urticae di Pasir Sarongge, Cianjur,
Jawa barat
Lampiran 2 Lokasi pengambilan Tetranychus urticae di Segunung, Cipanas, Jawa
Barat
Lampiran 3 Gejala serangan Tetranychus urticae di lapang
22
Lampiran 4 Tempat pemeliharaan Tetranychus urticae di Laboratorium Ekologi
Serangga
Lampiran 5 Arena percobaan
23
Lampiran 6 Tabel jumlah telur yang dihasilkan imago per hari (butir)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
1
5
6
12
10
4
5
4
14
14
12
5
6
4
5
3
6
21
5
7
3
8
10
13
2
11
18
8
5
5
7
3
7
4
8
12
8
12
0
25
3
10
14
8
31
12
3
10
17
10
0
3
4
4
13
6
9
13
14
23
2
40
7
2
9
10
8
12
4
4
7
12
12
6
6
7
10
2
10
9
10
9
7
2
2
1
8
4
4
5
6
6
23
10
9
12
5
13
9
6
12
7
15
18
4
6
3
18
23
4
6
4
10
11
22
6
15
9
1
15
7
5
6
2
2
9
8
2
3
7
12
9
20
12
16
5
18
12
9
12
0
4
0
27
2
0
8
6
10
1
13
0
4
10
6
4
12
0
5
0
18
3
0
9
7
5
6
2
9
4
9
6
1
8
6
0
-
Hari ke10
11
2
4
8
5
4
4
5
9
13
6
8
7
3
8
6
3
0
1
0
1
6
0
0
-
12
0
1
0
9
8
17
2
1
8
-
13
0
5
0
14
0
9
5
4
4
-
14
2
3
11
4
4
3
8
-
15
5
8
0
2
3
8
7
-
16
3
2
0
0
2
0
4
-
17
0
0
0
0
0
0
5
-
18
0
0
0
0
0
0
-
19
0
-
24
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
6
6
5
6
12
7
4
6
10
6
25
6
16
12
11
11
6
22
10
4
10
6
6
0
9
12
12
10
4
9
5
13
2
20
9
16
21
11
10
2
5
13
17
3
7
10
11
31
16
5
5
12
19
17
5
11
7
3
10
11
10
0
6
9
22
11
3
8
11
6
6
1
9
20
30
7
8
17
6
9
11
7
2
59
14
10
15
10
8
11
4
6
6
4
22
0
2
20
15
6
0
7
3
14
4
0
1
0
12
10
1
2
26
12
6
4
3
0
17
7
0
0
2
5
23
1
0
4
0
0
7
10
1
0
0
0
0
3
7
0
-
0
5
3
4
-
3
2
3
-
0
0
0
-
0
0
-
-
25
Lampiran 7 Tabel waktu perkembangan Tetranychus urticae
No
Telur
Larva
Protokrisalis
Protonimfa
Deutokrisalis
Deutonimfa
Teliokrisalis
Jantan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
3.75
3.5
3.75
4
4.25
3.75
2.75
4.25
3.5
3.75
3.5
3.75
3.5
3.5
3.5
3.5
3.5
3.75
3.5
3.5
4
0.75
1.25
1
1.25
1
1
1
0.75
1
1.25
1.25
1.25
0.75
1
0.5
0.75
0.75
0.75
1
1
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
1
1
0.75
0.5
0.75
1
0.75
0.75
0.5
0.75
0.75
0.75
0.75
0.5
0.5
1
0.5
0.5
0.75
1
0.75
0.75
0.75
0.75
1
0.75
0.75
0.75
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
0.75
0.5
0.75
0.5
0.75
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
0.75
0.5
0.75
0.75
0.75
0.75
0.75
0.5
0.75
0.75
0.75
0.5
0.5
0.75
0.75
0.75
0.5
0.5
0.75
0.5
0.75
0.5
0.75
0.75
0.5
0.75
0.75
0.75
1
0.75
0.75
0.5
0.25
0.75
0.5
0.5
0.5
0.25
0.25
0.25
0.75
0.5
0.5
0.25
0.75
0.75
0.5
0.75
0.5
0.25
0.75
0.5
0.5
20.75
14
13.75
18.25
15
17
16.75
16.75
11
-
Betina
Pra
oviposisi
2
1.25
1.25
1.75
2.25
3.75
2.25
2.25
1.25
Betina
oviposisi
1
6
8
16
16
11
8
5
11
Betina
Pasca
oviposisi
2
2
2
1
1
Betina
total
6.25
10.75
6.75
3
7.25
9.25
19.75
20.25
16.75
11.25
7.25
13.25
26
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
3.75
4.25
3.25
3.5
4
3.75
3.5
2.75
3.25
3.25
2.75
4
3.75
4
3.75
3.5
3.5
4.25
3.75
4
4
3.75
3.75
4
4
0.75
1
1
1
0.75
1
0.75
1.25
0.75
0.75
1.25
0.75
0.75
1
0.5
0.75
0.75
0.75
1
1
0.5
0.5
0.5
0.75
0.75
0.5
0.75
0.75
0.5
1
0.5
0.5
0.5
0.75
0.75
0.75
0.75
0.5
0.75
0.5
0.75
0.5
0.75
1.25
1
0.5
0.5
0.5
1
1
0.75
0.5
0.75
1.25
0.75
0.75
0.75
0.75
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.75
0.5
0.75
1
1
0.5
0.75
0.75
0.75
1
0.75
0.75
1
0.5
0.75
0.75
0.75
0.75
0.5
0.75
0.75
0.75
1
0.75
0.75
0.5
0.75
0.75
0.5
0.75
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.75
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
1
0.5
0.5
1
0.5
0.75
0.75
0.5
1
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
1
0.5
0.5
0.75
0.25
0.25
0.75
0.25
0.25
0.5
0.75
0.75
0.75
0.75
0.25
0.25
0.75
0.5
0.5
0.75
0.25
0.25
0.25
0.25
0.75
0.75
0.25
0.25
0.25
11
16
11.75
5
11.5
7
6.75
11.25
10
6.25
11
16
-
1.25
0.5
1
1.25
2.25
2
1
1.25
2
2
-
6
5
14
11
1
15
17
15
8
3
-
3
1
3
2
3
-
3
7.25
5.5
18
13.25
2.75
3.25
20
20
19.25
10
5
1.75
27
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
3
3.25
3.25
3.5
4
3.25
2.25
4
3.75
3.75
4
3.75
4.25
2.25
3
4
5
2.75
3.5
2.25
2.5
3.75
3.75
2.25
4.5
2
1
1
0.75
0.75
0.75
0.75
0.75
1.5
1.75
0.75
1.25
1
1
0.75
1.25
0.75
0.5
0.75
0.5
0.75
0.5
0.75
1
1
1
1
1
0.75
0.75
0.75
0.75
0.75
0.75
1
0.5
1.5
0.75
1
0.75
0.75
1.5
1
1
0.5
0.5
0.75
0.75
0.75
0.75
0.75
0.5
1
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
0.75
0.5
1
1
0.75
0.75
0.5
0.5
1
0.5
0.75
0.75
0.5
0.75
0.75
0.75
0.5
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.75
1
0.75
0.75
1
0.5
0.75
0.5
0.5
0.75
0.5
0.75
1
0.5
0.75
0.75
0.75
1
1
0.75
0.75
1.25
0.5
0.5
0.75
0.75
0.5
0.5
1
0.75
0.5
0.5
1
1
1.25
0.5
1.25
0.75
0.75
0.75
1
0.75
0.5
0.5
0.75
0.25
0.25
0.5
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
0.5
0.25
0.25
0.5
0.5
0.5
0.75
0.75
0.25
0.25
0.75
0.25
0.5
2
13.25
16
13.25
17.25
17.25
11.75
15
10.25
11
15.75
18
12
16.75
-
1.5
1.75
1
2.5
1.5
1.5
2
2
1.75
3
17
10
10
8
10
12
13
2
12
14
2
1
2
2
3
1
1
2
20.5
12.75
13
10.5
13.5
16.5
16
4
14.75
19
28
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
2.25
3.75
4
2.25
2.25
2
4
2.75
3.5
4
3
3.25
3.5
3.25
3.25
3.5
4.5
4.75
3.5
4
3
3
0.75
0.75
0.75
0.75
1
1
1.25
1.75
1
1.25
1
0.75
1
2
1.75
1
1
0.75
0.75
0.75
1.25
1
1
0.5
0.75
1.5
0.75
1
0.5
1
1
1
1
0.5
0.75
1
0.5
0.5
0.75
0.75
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.75
1
1
0.5
0.75
0.75
1
0.5
0.5
0.5
0.75
0.75
0.75
0.75
0.5
0.75
1
0.5
0.75
0.75
0.5
0.5
0.75
0.75
0.75
0.5
1
0.75
0.5
0.5
1
0.5
0.75
0.75
0.5
1
1
0.75
0.75
0.5
0.5
0.5
1
0.75
0.5
0.75
0.75
0.75
1
0.75
0.5
1
0.75
0.5
1
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
1
0.25
0.25
0.5
0.25
0.75
0.5
0.25
0.25
0.5
0.25
0.25
0.75
0.25
0.25
0.75
7.25
16
12
11
3
6.75
13
7.25
13.75
6.25
3
7.75
3.5
2
1.25
1.5
1.25
2
-
16
16
11
5
16
13
-
1
2
2
-
20.5
20
12.25
6.5
19.25
15
2
ABSTRAK
ALICE MAYELLA AYUDYA. Biologi Tetranychus urticae pada Tanaman
Mawar. Dibimbing oleh SUGENG SANTOSO.
Mawar (Rosa hybrida L.) salah satu komoditi floriculture yang bernilai
tinggi. Kerusakan akibat serangan tungau menjadi masalah penting dalam
pengembangan budidaya tanaman mawar. Survei pada pertanaman mawar di
lapang dan percobaan laboratorium untuk mengetahui kelimpahan tungau di
daerah Cipanas, dan menguraikan biologi tungau pada daun mawar. Hasil
pengamatan lapang di Cipanas hanya mendapatkan satu spesies tungau yaitu
Tetranychus urticae. Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium T.urticae pada
daun mawar memiliki siklus hidup 7.7 ± 1.9 hari. Imago betina dapat bertahan
hidup selama 12.06 hari, sedangkan untuk imago jantan dapat hidup selama 11.98
hari. Rata-rata peletakan telur harian adalah 8.24 ± 2.59 dengan keperidian imago
betina 83.23 ± 48.6 butir/betina. Laju pertumbuhan intrinsik (rm) T. urticae pada
daun mawar adalah 0.79, berarti bahwa dalam nilai waktu generasi selama 15.32
hari memiliki laju reproduksi bersih (R0) 27.78 individu.
Hasil survei lapangan diperoleh proporsi stadia telur paling banyak
ditemukan dan adanya tungau predator dari Amblyseius (Acari: Phytosiidae).
Kata kunci: Rosa hybrida L., Tetranychus urticae.
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mawar (Rosa hybrid L.) merupakan salah satu komoditi floriculture yang
memiliki nilai tinggi. Mawar mempunyai potensial nilai ekonomi cukup tinggi
dikarenakan bentuk keindahan bunga dan memiliki keharuman yang khas.
Keunggulan tersebut membuat mawar banyak dikomersilkan sebagai bunga
potong dan penggunaan minyak atsirinya dalam industri parfum. Bunga mawar
juga merupakan bahan dasar bagi pembuatan minyak wangi ( Crockett 1975; Ray
dan McCaskey 1981). Bunga mawar mengandung minyak atsiri yang baik
kualitasnya yaitu mengandung finel etil alcohol, citronellol, dan nerol geraniol
yang memberikan bau parfum yang harum. Ekstrak bunga mawar bila disuling
akan menghasilkan minyak mawar murni sebagai bahan baku minyak wangi
(parfum) (Ashari, 1995; Rukmana, 1995).
Mawar yang dikenal dengan sebutan Ratu Bunga (Queen of flowers)
sangat digemari dan sudah sangat tua keberadaannya. Menurut catatan sejarah,
mawar mulai dibudidayakan pertama kali di Cina ± 5000 tahun yang lalu dan
dipopulerkan oleh dinasti Han. Pada periode yang sama orang –orang Mesir mulai
mengkomersilkan bunga mawar yang pada waktu itu banyak dimanfaatkan oleh
bangsa Romawi. Sejak saat itu bunga mawar mulai disukai banyak orang dan
penggemarnya mulai tersebar di seluruh bumi ( Crockett 1975).
Sukarno dan Nampiah (1990) menyebutkan
mawar didatangkan ke
Indonesia oleh pemerintah Belanda dari Eropa. Mawar berasal dari dataran Cina,
Timur Tengah dan Eropa Timur. Dalam perkembangannya, menyebar luas di
daerah-daerah beriklim dingin (sub-tropis) dan panas (tropis). Berdasarkan sifat
tumbuhnya mawar digolongkan menjadi mawar semak dan mawar merambat
(Lourie & Ries 1951).
Daerah pusat tanaman mawar terkonsentrasi di kawasan Alaska atau
Siberia, India, Afrika Utara dan Indonesia. Sentra penanaman bunga potong, tabur
dan tanaman pot di Indonesia dihasilkan dari daerah Jawa Barat, Sumatera Utara,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jakarta. Tanaman mawar mempunyai adaptasi luas
terhadap lingkungan tumbuh. Penanaman bisa dilakukan di daerah beriklim
2
dingin/sub-tropis maupun di daerah panas/tropis dengan suhu udara sejuk 180260C pada kelembaban 70-80%. Suhu optimum tanaman mawar adalah 15.623.9oC (Edmond et al. 1975). Tanah yang cocok untuk tanaman mawar adalah
tanah lempung yang mengandung 20-30% liat. Tanah dengan kondisi demikian
menjadikan drainase cukup baik, sehingga pertumbuhan akar tidak terhambat.
Kisaran pH untuk pertumbuhan optimal antara 5.5-7.2 (Anderson 1973).
Sistem usaha tani bunga mawar potong di daerah sentra produksi telah
mengarah ke usaha yang bersifat agribisnis. Komoditas ini telah mempunyai
pangsa pasar yang cukup besar dan memberikan pendapatan yang lumayan bagi
petani, melihat peningkatan permintaan meningkat hingga 10% setiap tahunnya.
Selama periode tahun 1985–1991 ekspor komoditas ini meningkat dari 476 ton
menjadi 4.881 ton. Permintaan bunga mawar di pasar dalam negeri meningkat
terutama di kota-kota besar. Kota Jakarta menyerap bunga-bunga terbesar dengan
omzet dan peredaran uang mencapai Rp 25,8 miliar per tahun. Permintaan bunga
mawar tidak kurang dari 20.000 kuntum per hari (Rukmana, 1995).
Salah satu masalah yang penting dalam budidaya tanaman mawar adalah
serangan hama dan penyakit. Seranga hama dan penyakit dalam intensitas yang
tinggi bisa menurunkan kuantitas dan kualitas bunga mawar yang dihasilkan.
Salah satu hama yang banyak menyerang dan dianggap merugikan tanaman
mawar adalah tungau.
Tungau berasal dari bahasa Yunani yaitu acari yang berarti seekor tungau
(Borror et al. 1996). Tetranychus urticae termasuk ke dalam kelas Arachnida,
ordo Acarina, subordo Trombodiformes, superfamili Tetranycoidea, famili
Tetranychidae, subfamili Tetranychinae, genus Tetranychus ( Krantz 1978).
Tungau bersifat polifag sehingga memiliki kisaran inang yang luas,
berukuran kecil dengan sebaran mobilitas yang sangat tinggi dan terdapat dalam
jumlah besar menjadikan tungau sebagai salah satu hama penting dalam tanaman
mawar. Tungau merah yang dijumpai menyerang tanaman mawar termasuk dalam
genus Tetranychus. Tungau ini lebih dikenal dengan nama Two-spotted spider
mite. Tungau berukuran kurang lebih 0,3 mm berwarna merah, hijau, atau kuning.
Hama ini berkembang biak dengan cepat pada keadaan cuaca lembab dan panas,
serta sirkulasi udara di sekitar kebun kurang baik (Rukmana, 1995).
3
Tungau dari famili Tetranychidae merupakan salah satu jenis tungau yang
banyak terdapat pada pertanaman mawar. Gejala serangan tungau adalah
perubahan warna daun dari hijau menjadi kuning keperakan dan pada serangan
berat daun akan gugur (Wijayanti, 1990). Gejala serangan tungau pada daun yang
menguning akibat bekas tusukan tungau karena menghisap nutrisi tanaman.
Serangan tungau ini dapat menyebabkan penurunan hasil karena tungau merusak
pelindung permukaan daun, stomata, jaringan palisade, jaringan bunga karang.
Populasi tungau yang tinggi dengan intensitas serangan meningkat tidak hanya
akan
menurunkan
aktivitas
fotosintesis
yang diakibatkan
oleh
adanya
pengurangan jumlah klorofil pada daun yang dapat mencapai 60%, tetapi juga
meningkatkan kecepatan transpirasi. Tungau Tetranychidae juga mengeluarkan
toksin pada saat menghisap cairan (makan) bers
BIOLOGI Tetranychus urticae PADA TANAMAN MAWAR
ALICE MAYELLA AYUDYA
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
2
ABSTRAK
ALICE MAYELLA AYUDYA. Biologi Tetranychus urticae pada Tanaman
Mawar. Dibimbing oleh SUGENG SANTOSO.
Mawar (Rosa hybrida L.) salah satu komoditi floriculture yang bernilai
tinggi. Kerusakan akibat serangan tungau menjadi masalah penting dalam
pengembangan budidaya tanaman mawar. Survei pada pertanaman mawar di
lapang dan percobaan laboratorium untuk mengetahui kelimpahan tungau di
daerah Cipanas, dan menguraikan biologi tungau pada daun mawar. Hasil
pengamatan lapang di Cipanas hanya mendapatkan satu spesies tungau yaitu
Tetranychus urticae. Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium T.urticae pada
daun mawar memiliki siklus hidup 7.7 ± 1.9 hari. Imago betina dapat bertahan
hidup selama 12.06 hari, sedangkan untuk imago jantan dapat hidup selama 11.98
hari. Rata-rata peletakan telur harian adalah 8.24 ± 2.59 dengan keperidian imago
betina 83.23 ± 48.6 butir/betina. Laju pertumbuhan intrinsik (rm) T. urticae pada
daun mawar adalah 0.79, berarti bahwa dalam nilai waktu generasi selama 15.32
hari memiliki laju reproduksi bersih (R0) 27.78 individu.
Hasil survei lapangan diperoleh proporsi stadia telur paling banyak
ditemukan dan adanya tungau predator dari Amblyseius (Acari: Phytosiidae).
Kata kunci: Rosa hybrida L., Tetranychus urticae.
3
BIOLOGI Tetranychus urticae PADA TANAMAN MAWAR
ALICE MAYELLA AYUDYA
A34070076
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
4
Judul
: Biologi Tetranychus urticae
Mawar
Nama Mahasiswa
: Alice Mayella Ayudya
NIM
: A34070076
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr
NIP 19640304 198903 1004
Mengetahui,
Ketua Departemen
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.
NIP 19650621 198910 2001
Tanggal Lulus :
Pada Tanaman
5
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Alice Mayella Ayudya, dilahirkan di Jakarta 6 Maret
1989. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak
Ir. Antonius Birawan dan Ibu Cresentia Dwi Agustin Adriani. di Jakarta, Jawa
Barat pada tanggal 06 Maret 1989 sebagai anak kedua dari empat bersaudara.
Tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikannya di SMA Sint Louis Semarang
kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Universitas Katolik
Soegiapranata dengan program studi Teknologi Pangan. Melalui Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2007 penulis melanjutkan
pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan program studi Proteksi
Tanaman. Selama menjadi mahasiswa penulis mengikuti beberapa kegiatan dalam
departemen yang diadakan oleh angkatan 44 Proteksi Tanaman, serta turut
menjadi panitia dan berpartisipasi dalam beberapa kegiatan keagamaan di dalam
kelompok Kesatuan Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI) saat masa Tingkat
Persiapan Bersama (TPB).
6
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang
berjudul Biologi Tetranychus urticae pada Tanaman Mawar. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah mendukung dan
membimbing penelitian dan penulisan tugas akhir ini, antara lain:
1. Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr sebagai dosen pembimbing skripsi
yang senantiasa memberikan bimbingan, motivasi, dan arahan kepada
penulis.
2. Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc atas kesediaan dan kehadirannya baik
dalam seminar dan ujian akhir menjadi dosen penguji tamu.
3. Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, M.Agr selaku dosen pembimbing
akademik yang memberikan konsultasi dan solusi selama menjadi
mahasiswa.
4. Kedua orang tua, kakak, dan kedua adik yang selalu memberikan doa
dan dukungan moril materil.
5. Bapak Wawan selaku staf Laboratorium Ekologi yang membantu
selama penelitian.
6. Bapak Murwanto dan Bapak Yiyin
7. Bapak Sodik, Bapak Ndang, Ibu Euis, dan semua staf di dalam
departemen Proteksi Tanaman
8. Andra, Avanty, Anda, Harwan, Parulian Julio, Mas Kiki, Rizky “Eter”,
Radhy, Sherly, Gama, Anik, Mey, Mia, Ichan, Eja, Ibu Andi Sherly,
Christopher, Fajar, dan seluruh mahasiswa Proteksi Tanaman angkatan
44 yang selalu memberikan semangat dan doanya.
Akhir kata penulis menyadari bahwa dalam penulisan penelitian terdapat
berbagai kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Semoga penelitian ini dapat
bermanfaat bagi yang membaca dan menekuni bidang terkait.
Bogor, Agustus 2012
Alice Mayella Ayudya
7
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………………………..... ix
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………
x
PENDAHULUAN………………………………………………………………
1
Latar Belakang………………………………………………………………
1
Tujuan……………………………………………………………………….
3
Manfaat………………………………………………………………….......
3
BAHAN DAN METODE……………………………………………………….
4
Waktu dan Tempat…………………………………………………………… 4
Bahan dan Alat………………………………………………………….......
4
Metode………………………………………………………………………. 4
Survei lapang kelimpahan Tetranychus urticae…………………………
4
Arena percobaan/pemeliharaan………………………………………….. 4
Perbanyakan Tetranychus urticae……………………………………….
5
Pengamatan biologi dan siklus hidup tungau…………………………….. 5
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………………
7
Pengamatan di lapangan……………………………………………………..
7
Tungau yang ditemukan di pertanaman mawar ………………………..
7
Keadaan serangan T.urticae di pertanaman mawar……………………..
7
Musuh alami……………………………………………………………… 8
Penelitian di laboratorium……………………………………………….......
9
Morfologi Tetranychus urticae………………………………………….. 9
Biologi stadia pradewasa……………………………………………...... 12
Parameter biologi……………………………………………………….. 15
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………….....
17
Kesimpulan………………………………………………………………….. 17
Saran…………………………………………………………………………. 17
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………....... 18
LAMPIRAN……………………………………………………………………. 21
8
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Siklus hidup Tetranychus urticae pada tanaman mawar (hari)…......... 13
Tabel 2 Parameter biologi tungau Tetranychus urticae……………………..... 14
Tabel 3 Statistik demografi T.urticae……………………………………………..... 16
9
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Populasi Tetranychus urticae pada daun mawar di Pasir Saronggee 8
Gambar 2 Populasi Tetranychus urticae pada daun mawar di Segunung…… 8
Gambar 3 Tungau predator dari Amblyseius (Acari: Phytosiidae)…………..
9
Gambar 4 Stadia T.urticae; a: Telur, b: Larva, c: Protonimfa, d: Deutonimfa
e: Imago Jantan, f: Imago betina…………………………………
12
Gambar 5 Kesintasan imago T. urticae pada daun mawar…………………..
15
Gambar 6 Peletakan telur harian T. urticae per hari pada daun mawar……..
15
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mawar (Rosa hybrid L.) merupakan salah satu komoditi floriculture yang
memiliki nilai tinggi. Mawar mempunyai potensial nilai ekonomi cukup tinggi
dikarenakan bentuk keindahan bunga dan memiliki keharuman yang khas.
Keunggulan tersebut membuat mawar banyak dikomersilkan sebagai bunga
potong dan penggunaan minyak atsirinya dalam industri parfum. Bunga mawar
juga merupakan bahan dasar bagi pembuatan minyak wangi ( Crockett 1975; Ray
dan McCaskey 1981). Bunga mawar mengandung minyak atsiri yang baik
kualitasnya yaitu mengandung finel etil alcohol, citronellol, dan nerol geraniol
yang memberikan bau parfum yang harum. Ekstrak bunga mawar bila disuling
akan menghasilkan minyak mawar murni sebagai bahan baku minyak wangi
(parfum) (Ashari, 1995; Rukmana, 1995).
Mawar yang dikenal dengan sebutan Ratu Bunga (Queen of flowers)
sangat digemari dan sudah sangat tua keberadaannya. Menurut catatan sejarah,
mawar mulai dibudidayakan pertama kali di Cina ± 5000 tahun yang lalu dan
dipopulerkan oleh dinasti Han. Pada periode yang sama orang –orang Mesir mulai
mengkomersilkan bunga mawar yang pada waktu itu banyak dimanfaatkan oleh
bangsa Romawi. Sejak saat itu bunga mawar mulai disukai banyak orang dan
penggemarnya mulai tersebar di seluruh bumi ( Crockett 1975).
Sukarno dan Nampiah (1990) menyebutkan
mawar didatangkan ke
Indonesia oleh pemerintah Belanda dari Eropa. Mawar berasal dari dataran Cina,
Timur Tengah dan Eropa Timur. Dalam perkembangannya, menyebar luas di
daerah-daerah beriklim dingin (sub-tropis) dan panas (tropis). Berdasarkan sifat
tumbuhnya mawar digolongkan menjadi mawar semak dan mawar merambat
(Lourie & Ries 1951).
Daerah pusat tanaman mawar terkonsentrasi di kawasan Alaska atau
Siberia, India, Afrika Utara dan Indonesia. Sentra penanaman bunga potong, tabur
dan tanaman pot di Indonesia dihasilkan dari daerah Jawa Barat, Sumatera Utara,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jakarta. Tanaman mawar mempunyai adaptasi luas
terhadap lingkungan tumbuh. Penanaman bisa dilakukan di daerah beriklim
2
dingin/sub-tropis maupun di daerah panas/tropis dengan suhu udara sejuk 180260C pada kelembaban 70-80%. Suhu optimum tanaman mawar adalah 15.623.9oC (Edmond et al. 1975). Tanah yang cocok untuk tanaman mawar adalah
tanah lempung yang mengandung 20-30% liat. Tanah dengan kondisi demikian
menjadikan drainase cukup baik, sehingga pertumbuhan akar tidak terhambat.
Kisaran pH untuk pertumbuhan optimal antara 5.5-7.2 (Anderson 1973).
Sistem usaha tani bunga mawar potong di daerah sentra produksi telah
mengarah ke usaha yang bersifat agribisnis. Komoditas ini telah mempunyai
pangsa pasar yang cukup besar dan memberikan pendapatan yang lumayan bagi
petani, melihat peningkatan permintaan meningkat hingga 10% setiap tahunnya.
Selama periode tahun 1985–1991 ekspor komoditas ini meningkat dari 476 ton
menjadi 4.881 ton. Permintaan bunga mawar di pasar dalam negeri meningkat
terutama di kota-kota besar. Kota Jakarta menyerap bunga-bunga terbesar dengan
omzet dan peredaran uang mencapai Rp 25,8 miliar per tahun. Permintaan bunga
mawar tidak kurang dari 20.000 kuntum per hari (Rukmana, 1995).
Salah satu masalah yang penting dalam budidaya tanaman mawar adalah
serangan hama dan penyakit. Seranga hama dan penyakit dalam intensitas yang
tinggi bisa menurunkan kuantitas dan kualitas bunga mawar yang dihasilkan.
Salah satu hama yang banyak menyerang dan dianggap merugikan tanaman
mawar adalah tungau.
Tungau berasal dari bahasa Yunani yaitu acari yang berarti seekor tungau
(Borror et al. 1996). Tetranychus urticae termasuk ke dalam kelas Arachnida,
ordo Acarina, subordo Trombodiformes, superfamili Tetranycoidea, famili
Tetranychidae, subfamili Tetranychinae, genus Tetranychus ( Krantz 1978).
Tungau bersifat polifag sehingga memiliki kisaran inang yang luas,
berukuran kecil dengan sebaran mobilitas yang sangat tinggi dan terdapat dalam
jumlah besar menjadikan tungau sebagai salah satu hama penting dalam tanaman
mawar. Tungau merah yang dijumpai menyerang tanaman mawar termasuk dalam
genus Tetranychus. Tungau ini lebih dikenal dengan nama Two-spotted spider
mite. Tungau berukuran kurang lebih 0,3 mm berwarna merah, hijau, atau kuning.
Hama ini berkembang biak dengan cepat pada keadaan cuaca lembab dan panas,
serta sirkulasi udara di sekitar kebun kurang baik (Rukmana, 1995).
3
Tungau dari famili Tetranychidae merupakan salah satu jenis tungau yang
banyak terdapat pada pertanaman mawar. Gejala serangan tungau adalah
perubahan warna daun dari hijau menjadi kuning keperakan dan pada serangan
berat daun akan gugur (Wijayanti, 1990). Gejala serangan tungau pada daun yang
menguning akibat bekas tusukan tungau karena menghisap nutrisi tanaman.
Serangan tungau ini dapat menyebabkan penurunan hasil karena tungau merusak
pelindung permukaan daun, stomata, jaringan palisade, jaringan bunga karang.
Populasi tungau yang tinggi dengan intensitas serangan meningkat tidak hanya
akan
menurunkan
aktivitas
fotosintesis
yang diakibatkan
oleh
adanya
pengurangan jumlah klorofil pada daun yang dapat mencapai 60%, tetapi juga
meningkatkan kecepatan transpirasi. Tungau Tetranychidae juga mengeluarkan
toksin pada saat menghisap cairan (makan) bersamaan dengan proses ekskresi
ludah. Toksin yang masuk ke tanaman inang akan menganggu sistem
metabolisme. Hal ini membuat pengendalian tungau merupakan salah satu faktor
penting dalam pemeliharaan tanaman mawar. Informasi dasar mengenai biologi
hama diperlukan dalam menentukan konsep pengendalian terpadu yang tepat.
Tujuan
Mengetahui keragaman jenis tungau hama yang menyerang mawar dan
biologi Tetranychus urticae pada daun mawar di laboratorium.
Manfaat
Menjadi informasi dasar untuk penelitian lebih lanjut tentang pengelolaan
tungau hama pada tanaman mawar.
4
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Bogor, Institut Pertanian Bogor mulai April
2011-Januari 2012.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan antara lain imago Tetranychus urticae
(Acari: Tetranychidae), daun mawar, air, kapas, busa, kantong plastik, polybag,
mikroskop stereo, cawan petri, kuas halus, coolbox, kotak plastik persegi.
Metode
Survei lapang kelimpahan Tetranychus urticae
Pengambilan contoh dilakukan pada pertanaman mawar di daerah Pasir
Sarongge, Cipanas, Bogor dan sekitar Balithi Segunung, Cipanas, Bogor, dengan
ketinggian 900-1200 mdpl. Sampel daun diambil secara acak. Pada setiap petak
diambil 25 tanaman secara acak, dan dari setiap tanaman diambil dua daun
berumur sedang. Sampel daun kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik
secara satu persatu dan disimpan dalam coolbox. Sampel daun kemudian diamati
dengan menggunakan mikroskop stereo.
Arena Percobaan/Pemeliharaan
Arena percobaan adalah cawan petri plastik berukuran tinggi 2 cm dan
diameter 9 cm yang berisi busa plastik berukuran tinggi 1 cm dan diameter 8 cm,
dan dilengkapi kapas berukuran 6 x 5 cm. Di atas kapas diletakkan potongan
daun mawar dengan posisi permukaan bawah daun berada di atas. Busa dan
kapas dijenuhi air untuk mencegah tungau keluar arena percobaan dan untuk
menjaga kesegaran daun mawar. Kelembaban arena percobaan terus dijaga
dengan pemberian air yang teratur.
5
Perbanyakan Tetranychus urticae
Tungau hama diambil dari pertanaman mawar di Pasir Sarongge dan
Segunung. Tungau yang terdiri dari berbagai stadia kemudian dipelihara dalam
arena pemeliharaan. Selama pemeliharaan, daun mawar diganti setiap 2-3 hari
sekali dengan daun yang segar.
Pengamatan biologi dan siklus hidup tungau
Seratus imago betina tungau hama diletakkan pada 100 arena percobaan.
Tungau-tungau tersebut dibiarkan selama dua jam agar meletakkan telur. Setelah
dua jam, semua imago betina disingkirkan dan pada setiap arena percobaan
disisakan satu butir telur tungau hama. Telur diamati setiap enam jam sekali
sampai menjadi imago. Bentuk morfologi dan lama lama setiap stadia yang
dilalui diamati dan dicatat. Setelah menjadi imago, pengamatan dilakukan setiap
hari sampai semua individu mati. Masa perkembangan setiap stadia, masa
praoviposisi, masa oviposisi, masa pasca oviposisi, nisbah kelamin, dan
keperidian betina diamati, serta setiap terjadi kematian imago dicatat.
Pengamatan parameter biologi tungau Tetranychus urticae dengan
merumuskan neraca hayati untuk menghitung laju intrinsik (rm). Perhitungan
hanya didasarkan pada populasi imago betina saja. Beberapa parameter yang
digunakan untuk perhitungan adalah :
1. x adalah kelas umur (hari);
2. ax adalah jumlah umur yang hidup pada setiap pengamatan;
3. lx adalah proporsi yang hidup pada umur x (lx = ax/ao);
4. dx adalah jumlah individu yang mati di setiap umur x (dx = lx-lx-1);
5. qx adalah proporsi mortalitas pada masing-masing umur (qx = dx/ax);
6. Lx adalah jumlah rata-rata individu pada kelas umur x dan kelas umur
berikutnya, x+1 [Lx = (lx+lx+1)/2];
7. Tx adalah jumlah individu yang hidup pada kelas umur x = 0…w (x = w
adalah kelas umur terakhir);
8. ex adalah harapan hidup individu pada setiap umur x (ex = Tx / lx );
9. mx adalah keperidian spesifik individu-individu pada setiap kelas umur x
atau jumlah anak betina perkapita yang lahir pada kelas x;
6
10. lx mx adalah banyaknya anak yang dilahirkan pada kelas umur x, ∑ lx mx
merupakan proporsi banyaknya anak dilahirkan oleh semua individu
(betina) sepanjang generasi atau disebut laju reproduksi bersih (R0);
11. x lx mx adalah perkalian x, lx , dan mx untuk setiap kelas umur x yang
digunakan untuk mengaprokimasi lamanya generasi (Tc);
12. px (peluang survival) adalah proporsi individu yang hidup pada kelas umur
x dan mencapai kelas umur x+1 (px = Lx+1/Lx).
Data kemampuan hidup dan keperidian disusun dalam tabel bentuk neraca
kehidupan (life table). parameter demografi yang diikuti meliputi:
1) Laju Reproduksi Bersih (R0) dihitung dengan rumus:
R0 = ∑ Lxmx
2) Laju Reproduksi Kotor (GRR), dihitung dengan rumus:
GRR = ∑ mx
3) Rataan Massa Generasi (Tc), dihitung dengan rumus:
∑
∑
4) Laju Pertambahan Intrinsik (rm), dihitung dengan rumus:
∑ lxmx e-rmx = 1,
dengan
Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini diolah menggunakan software Microsoft
Excel 2007.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan di Lapangan
Tungau yang ditemukan di pertanaman mawar
Pengamatan yang telah dilakukan di Pasir Sarongge dan Segunung
menemukan hanya satu jenis tungau. Tungau yang ditemukan mempunyai ciri-ciri
morfologi sebagai berikut:
Bagian tubuhnya dibagi atas gnatosoma (bagian depan) yang terdiri
palpus, chelicerae, epistoma, dan idiosoma (bagian belakang).
Memiliki ukuran ± 0.55 mm untuk imago dengan tubuh ditutupi oleh
setae.
Memiliki empat pasang tungkai pada imago dan tiga pasang tungkai pada
stadia larva.
Terdapat dua bercak hitam pada bagian lateral tubuh tungau.
Imago berbentuk oval telur untuk yang betina, sedangkan untuk imago
jantan pada bagian posterior idiosoma ramping dan meruncing.
Telur berbentuk bulat berwarna kuning dengan diameter ± 0.15 mm.
Keadaan serangan T. urticae di pertanaman mawar
Hasil pengamatan di pertanaman mawar, tungau hama yang ditemukan
hanya Tetranychus urticae Koch (Acari: Tetranychidae). Tungau ini ditemukan
dalam berbagai stadia, yaitu telur, larva, nimfa, serta imago. Tungau banyak
ditemukan di sekitar pertulangan daun, khususnya pada permukaan bawah daun.
Tungau menyukai permukaan bawah daun sebagai upaya pertahanan diri terhadap
pengaruh berbagai faktor lingkungan.
Meskipun lebih menyukai permukaan
bawah daun, namun dalam populasi tinggi tungau ini juga bisa ditemukan pada
permukaan atas daun. Stadia telur ditemukan dalam proporsi yang paling tinggi
(Gambar 1 dan 2). Serangan tungau ini pada daun menyebabkan gejala perubahan
warna pada daun. Daun menjadi berbintik-bintik keputih-putihan. Pada serangan
berat, daun bisa menjadi kering. Tanda lain dari serangan tungau ini adalah
ditemukannya benang-benang halus berwarna keputih-putihan yang terdapat pada
8
daun.
Benang-benang ini banyak ditemukan khususnya pada daun yang
terinfestasi tungau dalam populasi yang sangat tinggi.
60
50
51.38
(78.96%)
40
27.28
(54.57%)
30
20
11.85
(19.62%)
11.67
(30%)
2.4
(1.42%)
10
5.4
(15.43%)
0
Bella Vita
Telur
Sexy Red
Pradewasa
Imago
Gambar 1 Populasi Tetranychus urticae pada daun mawar di Pasir Sarongge
63.29
(60.11%)
70
60
50
37
(33.68%)
40
30
20
7.85
(6.21%)
10
0
Grand Gala
Telur
Pradewasa
Imago
Gambar 2 Populasi Tetranychus urticae pada daun mawar di Segunung
Musuh Alami
Tungau predator sebagai salah satu musuh alami, menurut Huffaker &
Messenger (1989) menemukan enam famili tungau yang bersifat predator hama
Tetranychus
sp.
yaitu
Bdellidae,
Trombidiidae,
Anystidae,
Erytracidae,
Stigmaetidae, dan Phytoseiidae. Banyak spesies tungau (Acari) dan laba-laba
(Araneae) hidup sebagai predator, memangsa kelompok sendiri, atau serangga
9
(Soemarsono & untung 2000). Contohnya yaitu Phytoseiulus persemilis (Ath
Henr) yang merupakan tungau spesialis pengendali tungau laba-laba seperti
Tetranychus urticae ( two spotted spidermite) (Davidson & Cransaw 2004).
Phytoseiidae dapat bertahan hidup pada populasi mangsa yang rendah dan dengan
demikian berpotensi untuk mengatur populasi tungau pada tingkat kepadatan
rendah (Klashoven 1981).
Hasil inventarisasi di lapang ditemukan tungau predator dari famili
Phytoseiidae (Gambar 3).
Gambar 3 Tungau predator dari Amblyseius (Acari: Phytosiidae).
Tungau ini ditemukan tidak dalam jumlah yang banyak di lokasi
pertanaman mawar di kedua lokasi. Tungau Phytoseiid bersifat generalis sehingga
mangsa yang dimangsa tidak hanya tungau Tetranychid namun dapat pula
memangsa tungau selain Tetranychid, serangga-serangga kecil, dan apabila dalam
kekurangan mangsa dapat mengkonsumsi embun madu, polen, atau tepung sari.
Penelitian di Laboratorium
Morfologi Tetranychus urticae
Tetranychus sp. mengalami beberapa tahap perkembangan yaitu telur,
larva, protonimfa, deutonimfa, dan imago ( Krantz 1978). Tungau
Tetranychus
sp. Menurut Helle dan Sabelis (1985) disebut juga Red Mites atau tungau merah,
sedangkan Banks (1900) menyebutnya sebagai tungau pemintal, karena tungau ini
memintal benang-benang berwarna putih di tempat hidupnya. Fungsi benangbenang tersebut adalah untuk melindungi tungau dari kemungkinan tercuci oleh
hujan (Ikegami et al. 2000).
10
Telur berwarna kuning muda berbentuk bulat dengan diameter ± 0.15 mm
(Kalshoven 1981). Awal peletakkan telur berwarna kuning bening dan seiring
dengan perkembangan telur tersebut tampak perubahan warna menjadi semakin
kuning hingga terlihat kuning kecoklatan (Gambar 4). Imago betina biasanya
meletakkan telur di daerah sekitar pertulangan daun. Pada sekitar tempat
peletakkan telur melekat terdapat benang-benang sutera. Bila terjadi perubahan
warna telur menjadi semakin kuning keruh kecoklatan maka kemungkinan telur
tidak berkembang dengan baik atau lambat bahkan tidak akan menetas. Menjelang
menetas pada telur tersebut terdapat bintik berwarna merah (Wilson 1931). Pada
telur yang akan menetas terlihat tungkai yang akan terus mendorong hingga kulit
telur pecah.
Stadia larva, protonimfa, dan deutonimfa masing-masing diselingi satu
periode tidak aktif (diam) yang secara berturut-turut disebut protokrisalis,
deutokrisalis, dan teliokrisalis. Selama periode tidak aktif tungau akan mengaitkan
dirinya pada substrat dan sebuah kulit baru terbentuk sebelum terjadi pelepasan
eksuvium.
Integumen robek di bagian dorsal kemudian tungau akan
membebaskan diri dari eksuvium. Kulit lama tetap melekat pada substrat (Helle &
Sabelis 1985). Masa inaktif atau istirahat merupakan bentuk strategi pertahanan
hidup dari keadaan lingkungan yang buruk, khususnya terpaan air hujan (Herbert
1981). Terdapat lapisan udara diantara kutikula baru dengan eksuvia yang akan
lepas (Ikegami 2000).
Larva yang baru menetas berwarna kuning bening dengan tiga pasang
tungkai berwarna bening dan ukuran larva tidak jauh berbeda dengan ukuran telur
(Gambar 4). Larva yang baru keluar lunak karena tidak mengalami sklerotisasi.
Perubahan warna dan ukuran terjadi sejalan dengan perkembangan larva yang
menjadi kuning keruh dengan dua bintik hitam pada bagian lateral dan ukurannya
akan semakin besar. Larva cenderung tidak aktif dan tidak banyak bergerak.
Protokrisalis (larva inaktif) merupakan stadia inaktif antara larva dan
protonimfa. Pada masa inaktif warna tidak jauh berbeda dengan larva, mengkilat
dan melekat pada substrat di permukaan daun. Posisi dua pasang tungkai merapat
ke tubuh dan direntangkan lurus ke arah anterior, sedangkan satu pasang lainnya
11
akan mengarah ke posterior. Menjelang ganti kulit warna larva menjadi keputihputihan dan mengkilat.
Protonimfa berukuran lebih besar sedikit dari larva dan memiliki dua
bintik hitam pada bagian lateral dengan tungkai empat pasang tidak berwarna
(bening) (Gambar 4). Pada saat keluar dari kulit lamanya berwarna kuning bening,
lama kelamaan terjadi perubahan warna menjadi kuning, dan dua bintik yang
terdapat di bagian lateral semakin jelas terlihat.
Deutokrisalis (protonimfa inaktif) berukuran dan berwarna tidak jauh
berbeda dengan protonimfa. Sama seperti stadia protokrisalis, stadia ini juga
melekat pada permukaan daun, mengkilat, dua pasang tungkainya merapat ke
tubuh bagian anterior dan dua pasang lainnya mengarah ke posterior. Menjelang
pergantian kulit warna akan menjadi keputih-putihan.
Deutonimfa berukuran lebih besar dari protonimfa dan dua bintik hitam
pada bagian lateral akan semakin melebar (Gambar 4). Tungkai tidak berwarna
dan seta pada dorsum idiosoma tampak jelas. Pada stadia ini sudah dapat
dibedakan antara jantan dan betina karena tubuh jantan lebih ramping daripada
betina.
Teliokrisalis (deutonimfa inaktif) memiliki ukuran dan warna tidak jauh
berbeda dengan deutonimfa, mengkilat dan melekat pada permukaan daun. Dua
pasang tungkai depan merapat ke arah anterior dan dua pasang tungkai belakang
merapat ke arah posterior. Menjelang pergantian kulit warna akan berubah
keputih-putihan.
Imago betina berbentuk oval dan memiliki empat pasang tungkai (Gambar
4). Imago betina saat masa praoviposisi, masa oviposisi dan masa pascaoviposisi
dibedakan melalui warna dan ukuran tubuh. Masa praoviposisi imago betina
berwarna pucat dengan ukuran tubuh lebih besar dari deutonimfa. Saat imago
masa oviposisi dan pascaoviposisi berukuran sedikit lebih besar dari imago
praoviposisi. Imago betina oviposisi berwarna cerah dan imago pascaoviposisi
berwarna kusam. Panjang tubuh imago betina ± 0.49 mm.
Imago jantan berukuran lebih kecil daripada imago betina dan bagian
posterior idiosoma ramping dan meruncing (Gambar 4). Tungkainya berukuran
12
lebih panjang daripada tubuhnya, dan biasanya tungkai depan digunakan untuk
memperebutkan betina atau bertarung dengan imago lainnya. Ukuran panjang
tubuh imago jantan ± 0.32 mm.
a.
b.
d.
e.
c.
f.
Gambar 4 Stadia T.urticae; a: Telur, b: Larva, c: Protonimfa, d: Deutonimfa,
e: Imago Jantan, f: Imago betina.
Tungau berkembang biak dengan cara arenotoki, imago betina akan
menghasilkan keturunan jantan apabila telur tidak dibuahi dan menghasilkan
keturunan betina jika telur dibuahi oleh jantan (Rodriguez 1979).
Biologi Stadia Pradewasa
Pada tanaman mawar, Tetranychus urticae melalui stadia telur, larva,
nimfa dan imago (Tabel 1).
Masa inkubasi telur Tetranychus urticae yang
berkembang menjadi jantan adalah 3.55 ± 0.59 hari, dan untuk betina 3.51 ± 0.6
hari. Menurut Belloti & Schoonhoven (1978) telur Tetranychidae menetas setelah
berumur 3-4 hari. Lama stadia larva T. urticae pada individu yang menjadi jantan
adalah 0.98 ± 0.33 hari, dan untuk individu yang menjadi betina 0.87 ± 0.23 hari.
Lama stadia nimfa T. urticae pada individu jantan adalah 3.2 hari, dan untuk
individu betina adalah 3.3 hari. Total lama perkembangan pradewasa mulai telur
menetas hingga menjadi imago pada individu jantan adalah 7.73 ± 1.88 hari,
sedangkan pada individu betina adalah 7.68 ± 1.84 hari.
13
Tabel 1 Siklus hidup Tetranychus urticae pada tanaman mawar (hari)
Telur
̅ ± SD (Jantan)
3.55 ± 0.59
3.51 ± 0.6
Larva
0.98 ± 0.33
0.87 ± 0.23
Protokrisalis
0.74 ± 0.23
0.75 ± 0.25
Protonimfa
0.66 ± 0.17
0.7 ± 0.19
Deutokrisalis
0.66 ± 0.16
0.68 ± 0.16
Deutonimfa
0.67 ± 0.20
0.72 ± 0.19
Teliokrisalis
0.46 ± 0.2
0.44 ± 0.2
7.73 ± 1.88
7.68 ± 1.84
Stadia
Total
̅ ± SD (Betina)
Total masa inaktif T. urticae pada daun mawar mencapai 24.20 % dari
total waktu sejak telur menetas sampai menjadi imago. T. urticae menghabiskan
sebagian waktu mulai dari telur menetas sampai muncul imago sebagai stadia
inaktif yaitu sebesar 53% (Herbert 1981). Perkembangan tungau yang berbeda
menurut hasil pengamatan di laboratorium dapat terjadi karena faktor kandungan
nutrisi pada daun tanaman mawar yang digunakan. Kondisi daun sebagai media
makanan dan nutrisi juga harus diganti dan dijaga kelembabannya. Daun dengan
kualitas nutrisi yang baik akan memacu pertumbuhan populasi tungau yang lebih
cepat (Wrensch & Young 1978). Kandungan nutrisi berpengaruh terhadap
perkembangan pradewasa, mortalitas, dan keperidian. Protein merupakan
komponen utama dalam pertumbuhan dan perkembangan tungau, khususnya
pembentukan telur. Menurut DeBoer (1985), telur yang dibuahi mempunyai
peluang menetas lebih baik daripada telur yang tidak dibuahi.
Lama hidup imago jantan dan betina tidak berbeda. Imago jantan bisa
hidup selama 11.98 hari, sedangkan imago betina selama 12.06 hari. Sebelum
meletakkan telur untuk pertama kali, imago betina memerlukan waktu 1.78 hari.
Imago betina bisa meletakkan 83.23 telur selama masa peletakan telur yang
berlangsung selama 10.34 hari. Rata-rata peletakan telur harian oleh imago betina
mencapai 8.24 butir/ekor. Imago betina masih bisa hidup selama 1.85 hari setelah
masa peletakan telur berakhir (Tabel 2)
14
Tabel 2 Parameter biologi tungau Tetranychus urticae
Parameter
̅ ± SD
Masa praoviposisi (hari)
1.78
± 0.69
Masa oviposisi (hari)
10.34 ± 4.8
Masa pascaoviposisi (hari)
1.85
Lama hidup imago betina (hari)
12.06 ± 6.11
Lama hidup imago jantan (hari)
11.98 ± 4.53
Peletakkan telur harian (butir/hari)
8.24
Keperidian (butir/betina)
83.23 ± 48.6
± 0.72
± 2.59
Hasil pengamatan telur T.urticae pada daun mawar yang menetas sampai
menjadi imago didapatkan jumlah betina lebih banyak yang muncul daripada
jumlah jantannya. Menurut Huffaker (1969) jumlah keturunan betina pada tungau
Tetranychidae umumnya lebih banyak dibandingkan jantan. Lebih banyak jumlah
telur yang menjadi betina dapat terjadi akibat masa kopulasi pada awal imago
betina terbentuk. Pada saat betina berada pada masa deutonimfa inaktif, imago
jantan selalu terlihat berada di sekitar tempat betina melekat. Ketika tiba masa
stadia inaktif (istirahat) berakhir maka imago jantan akan ikut menarik kulit lama
agar betina dapat keluar dari eksuvia. Setelah itu akan terjadi proses kopulasi.
Imago jantan yang mendampingi betina selama masa stadia teliokrisalis disebut
precopulatory guarding (pendampingan prakopulasi). Calon betina semakin lama
semakin menarik jantan. Semakin mendekati waktu ganti kulit semakin banyak
jantan yang mendekat (Cone et al. 1971).
Kesintasan menunjukkan tingkat keberhasilan hidup dari suatu populasi
dalam bentuk persen. Penurunan sintasan terus terjadi sampai semua tungau mati
yaitu pada saat tungau berumur 29 hari (Gambar 3).
Sampai umur 15 hari,
peluang hidup T. urticae masih cukup tinggi, dan terus menurun tajam setelah itu.
Jumlah telur yang diletakkan oleh seekor imago betina setiap harinya berfluktuasi.
Peletakan telur harian maksimum terjadi pada umur imago 4-10 hari. Setelah
imago berumur lebih dari 10 hari, peletakan telur cenderung menurun. Rata-rata
jumlah telur yang diletakkan harian oleh imago betina T. urticae yang dipelihara
15
adalah 8.24 butir. Jumlah telur yang dihasilkan umumnya akan semakin berkurang
Proporsi tungau yang hidup (%)
dengan semakin meningkatnya umur imago betina.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Umur (hari)
Gambar 5 Kesintasan imago T. urticae pada daun mawar
Jumlah telur yang dihasilkan umumnya akan semakin berkurang dengan
semakin meningkatnya umur imago betina. Imago betina yang mendapatkan
nutrisi lebih baik akan menghasilkan telur yang 11% lebih banyak daripada imago
betina yang hidup dari sumber makanan kurang baik (Wrensch 1979).
Peletakan tekur harian
(butir/ekor)
10
8
6
4
2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Umur (hari)
Gambar 6 Peletakan telur harian T. urticae per hari pada daun mawar
Parameter Biologi
GRR (Gross Reproduction Rate ) dan
R0 (Laju Reproduksi Bersih)
menunjukkan tingkat reproduksi (Tabel 3). Nilai Laju reproduksi kotor (GRR)
sebesar 119.08 individu menunjukkan rata-rata jumlah keturunan betina per
generasi. T.urticae memiliki laju reproduksi bersih (R0) sebesar 27.78 butir telur
per generasi menunjukkan populasi meningkat 27.78 kali lipat tiap generasi. Nilai
16
waktu generasi (Tc ) sebesar 15.32 hari berarti T.urticae dapat berkembang
sebanyak 27.78 individu/induk/generasi dalam satu generasi selama 15.32 hari.
Nilai laju pertambahan intrinsik yang dimiliki T.urticae pada daun mawar adalah
sebesar 0.79 individu/induk/hari. Berdasarkan pada nilai laju pertambahan
intrinsik kemampuan T.urticae untuk bertambah populasinya dalam keadaan tak
terbatas 0.79 ekor per harinya.
Tabel 3 Statistik demografi T.urticae
Parameter demografi
Nilai
Satuan
GRR
119.08
Individu
R0
27.78
Individu/induk/generasi
r
0.79
Individu/induk/hari
17
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tungau yang ditemukan pada tanaman mawar di Cipanas adalah
Tetranychus urticae Koch (Acari: Tetranychidae). Siklus hidup T. urticae pada
daun mawar adalah 7.73 hari (jantan) dan 7.68 hari (betina). Imago betina bisa
hidup selama 12.06 hari dan bisa meletakkan telur sebanyak 83.3 butir selama
10.34 hari masa oviposisi, dengan rata-rata peletakan telur harian 8.24 butir. Laju
pertumbuhan intrinsik T.urticae pada tanaman mawar adalah 0.79.
Saran
Penelitian lebih lanjut pada berbagai kultivar mawar tentang biologi
tungau Tetranyhcus sp. Perlu dilakukan pengamatan dilapang secara teratur untuk
mengetahui daya tahan suatu kultivar terhadap serangan Tetranychus sp. . Perlu
juga dilakukan inventarisasi musuh alami dan biologi dari musuh alami (tungau
predator) untuk melihat keefektifan pengendalian secara hayati.
18
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, R.H. 1973. Complete book of the garden reader disgest. Services.
Sydney. 58p.
Ashari S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Universitas Indonesia: Jakarta.
485p.
Banks, N. 1900. The Red Spider of The United States. U. S. Dept. Agric., div of
Ent. Tech. Ser. p 65-77.
Belloti AC and Schoonhoven AV. 1978. World Distribution, Identification and
Control of Cassava Pest in Cock J, Mac Intye and Graham M (eds). Proc.
IV. Sym. Int. Soc. Trop Root Crops. 1-7 Aug. 1976. Colombia: CIAT,
Cali.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Terjemahan dari: An Introduction To The Study of Insects.
Cone WW, McDonough LM, Maitlen JC, Burdajewics S. 1971. Pheromone
studies of two spotted spider mite, Tetranychus urticae Koch: evidence of
sex pheromone. Journal Economic Entomology 64: 355-358.
Crockett, J. U. 1975. Roses. The Time-Life Encyclopedia of Gardening. Time-Life
Books Inc, Canada. 160h.
Davidson J, Cranshaw W. 2004. Phytoseiidae.
http://www.entomology.umn.edu/cues/web/252. [Januari 2012]
DeBoer R. 1985. Reproductive barriers. Di dalam Helle W, Sabelis MW, editor.
Spider Mites: their Biology, Natural Enemies, and Control Vol 1A.
Tokyo: Elsevier. hlm. 193-199.
Edmond J.B., A.M. Musser and Andrews. 1975. Fundamental of Horticulture.
Mc. Graw Hill Book. Co. New York. 500p.
19
Helle, W. and M. W. Sabelis. 1985. Spider Mites Their Biologi Natural Enemies
and Control Volume IA and IB. Elsevier, Amsterdam.
Huffaker CB, Flaherty DI. 1996. Potential of biological control of two-spotted
spider mite on strawberries in California. J Econ Entomol. 59: 768-792.
Huffaker CB, Messeger PS. 1989. Teori dan Praktek Pengendalian Biologi.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Kalshoven LGE,
1981. The pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der
penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen
van de Cultuurgewassen in Indonesie.
Krantz, G. W. 1978. A manual of Acarologi. OSU Book Stores Inc, CorvalisOregon. 335p.
Ikegami Y, Yano S, Takabasyi J, Takafuji A. 2000. Function of quiescence of
Tetranychus kanzawai (Acari: Tetranychidae), as a defence mechanism
against rain. App Entomol Zool 35(3): 339-343.
Lourie, A. and V.H. Ries. 1951. Floriculture. Fundamental and Practices. Mc.
Graw Hill Books Co. Luc. New York.
Ray, R and M. McCaskey. 1981. Roses. How to Select, Grow and Enjoy.
Horticultural Publishing Co, Inc, Tuscon. 160h.
Rukmana R. 1995. Mawar. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. 63p
Sosromarsono S, Untung K. 2000. Keanekaragaman hayati artropoda, predator
dan
parasitoid
di
Indonesia
dan
pemanfaatannya.
http://kasumbogo.staff.ugm.ac.id/detailarticle.php?mesid=27&kata_kunci
=keanekaragaman%20hayati%20artropoda,%20predator,%20parasit.
[Januari 2012]
Sukarno & Nampiah. 1990. Mawar. Penebar Swadaya. Jakarta. 40 hal.
Wijayanti R.
1990.
Inventarisasi hama mawar (rosa hybrid hort.) Dan
pengamatan sebaran thrips pada tanaman mawar di desa cihideung,
sukajaya dan sukamaju, kecamatan cisarua, kabupaten bandung. Laporan
20
praktek lapang. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
IPB, Bogor.
Wilson JW. 1931. The two spotted mite (Tetranychus telarius L.) on asparagus
plumous. Technical Bull No.34. Agric. Exp. Stat: Univ of Florida.
Wrensch DL. 1979. Component of Reproduction Success in Spider Mites. Di
dalam Rodriguez JG editor. Recent advances in acarology. New York:
Academic Press, inc. Hal 155-164.
21
LAMPIRAN
Lampiran 1 Lokasi pengambilan Tetranychus urticae di Pasir Sarongge, Cianjur,
Jawa barat
Lampiran 2 Lokasi pengambilan Tetranychus urticae di Segunung, Cipanas, Jawa
Barat
Lampiran 3 Gejala serangan Tetranychus urticae di lapang
22
Lampiran 4 Tempat pemeliharaan Tetranychus urticae di Laboratorium Ekologi
Serangga
Lampiran 5 Arena percobaan
23
Lampiran 6 Tabel jumlah telur yang dihasilkan imago per hari (butir)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
1
5
6
12
10
4
5
4
14
14
12
5
6
4
5
3
6
21
5
7
3
8
10
13
2
11
18
8
5
5
7
3
7
4
8
12
8
12
0
25
3
10
14
8
31
12
3
10
17
10
0
3
4
4
13
6
9
13
14
23
2
40
7
2
9
10
8
12
4
4
7
12
12
6
6
7
10
2
10
9
10
9
7
2
2
1
8
4
4
5
6
6
23
10
9
12
5
13
9
6
12
7
15
18
4
6
3
18
23
4
6
4
10
11
22
6
15
9
1
15
7
5
6
2
2
9
8
2
3
7
12
9
20
12
16
5
18
12
9
12
0
4
0
27
2
0
8
6
10
1
13
0
4
10
6
4
12
0
5
0
18
3
0
9
7
5
6
2
9
4
9
6
1
8
6
0
-
Hari ke10
11
2
4
8
5
4
4
5
9
13
6
8
7
3
8
6
3
0
1
0
1
6
0
0
-
12
0
1
0
9
8
17
2
1
8
-
13
0
5
0
14
0
9
5
4
4
-
14
2
3
11
4
4
3
8
-
15
5
8
0
2
3
8
7
-
16
3
2
0
0
2
0
4
-
17
0
0
0
0
0
0
5
-
18
0
0
0
0
0
0
-
19
0
-
24
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
6
6
5
6
12
7
4
6
10
6
25
6
16
12
11
11
6
22
10
4
10
6
6
0
9
12
12
10
4
9
5
13
2
20
9
16
21
11
10
2
5
13
17
3
7
10
11
31
16
5
5
12
19
17
5
11
7
3
10
11
10
0
6
9
22
11
3
8
11
6
6
1
9
20
30
7
8
17
6
9
11
7
2
59
14
10
15
10
8
11
4
6
6
4
22
0
2
20
15
6
0
7
3
14
4
0
1
0
12
10
1
2
26
12
6
4
3
0
17
7
0
0
2
5
23
1
0
4
0
0
7
10
1
0
0
0
0
3
7
0
-
0
5
3
4
-
3
2
3
-
0
0
0
-
0
0
-
-
25
Lampiran 7 Tabel waktu perkembangan Tetranychus urticae
No
Telur
Larva
Protokrisalis
Protonimfa
Deutokrisalis
Deutonimfa
Teliokrisalis
Jantan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
3.75
3.5
3.75
4
4.25
3.75
2.75
4.25
3.5
3.75
3.5
3.75
3.5
3.5
3.5
3.5
3.5
3.75
3.5
3.5
4
0.75
1.25
1
1.25
1
1
1
0.75
1
1.25
1.25
1.25
0.75
1
0.5
0.75
0.75
0.75
1
1
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
1
1
0.75
0.5
0.75
1
0.75
0.75
0.5
0.75
0.75
0.75
0.75
0.5
0.5
1
0.5
0.5
0.75
1
0.75
0.75
0.75
0.75
1
0.75
0.75
0.75
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
0.75
0.5
0.75
0.5
0.75
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
0.75
0.5
0.75
0.75
0.75
0.75
0.75
0.5
0.75
0.75
0.75
0.5
0.5
0.75
0.75
0.75
0.5
0.5
0.75
0.5
0.75
0.5
0.75
0.75
0.5
0.75
0.75
0.75
1
0.75
0.75
0.5
0.25
0.75
0.5
0.5
0.5
0.25
0.25
0.25
0.75
0.5
0.5
0.25
0.75
0.75
0.5
0.75
0.5
0.25
0.75
0.5
0.5
20.75
14
13.75
18.25
15
17
16.75
16.75
11
-
Betina
Pra
oviposisi
2
1.25
1.25
1.75
2.25
3.75
2.25
2.25
1.25
Betina
oviposisi
1
6
8
16
16
11
8
5
11
Betina
Pasca
oviposisi
2
2
2
1
1
Betina
total
6.25
10.75
6.75
3
7.25
9.25
19.75
20.25
16.75
11.25
7.25
13.25
26
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
3.75
4.25
3.25
3.5
4
3.75
3.5
2.75
3.25
3.25
2.75
4
3.75
4
3.75
3.5
3.5
4.25
3.75
4
4
3.75
3.75
4
4
0.75
1
1
1
0.75
1
0.75
1.25
0.75
0.75
1.25
0.75
0.75
1
0.5
0.75
0.75
0.75
1
1
0.5
0.5
0.5
0.75
0.75
0.5
0.75
0.75
0.5
1
0.5
0.5
0.5
0.75
0.75
0.75
0.75
0.5
0.75
0.5
0.75
0.5
0.75
1.25
1
0.5
0.5
0.5
1
1
0.75
0.5
0.75
1.25
0.75
0.75
0.75
0.75
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.75
0.5
0.75
1
1
0.5
0.75
0.75
0.75
1
0.75
0.75
1
0.5
0.75
0.75
0.75
0.75
0.5
0.75
0.75
0.75
1
0.75
0.75
0.5
0.75
0.75
0.5
0.75
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.75
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
1
0.5
0.5
1
0.5
0.75
0.75
0.5
1
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
1
0.5
0.5
0.75
0.25
0.25
0.75
0.25
0.25
0.5
0.75
0.75
0.75
0.75
0.25
0.25
0.75
0.5
0.5
0.75
0.25
0.25
0.25
0.25
0.75
0.75
0.25
0.25
0.25
11
16
11.75
5
11.5
7
6.75
11.25
10
6.25
11
16
-
1.25
0.5
1
1.25
2.25
2
1
1.25
2
2
-
6
5
14
11
1
15
17
15
8
3
-
3
1
3
2
3
-
3
7.25
5.5
18
13.25
2.75
3.25
20
20
19.25
10
5
1.75
27
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
3
3.25
3.25
3.5
4
3.25
2.25
4
3.75
3.75
4
3.75
4.25
2.25
3
4
5
2.75
3.5
2.25
2.5
3.75
3.75
2.25
4.5
2
1
1
0.75
0.75
0.75
0.75
0.75
1.5
1.75
0.75
1.25
1
1
0.75
1.25
0.75
0.5
0.75
0.5
0.75
0.5
0.75
1
1
1
1
1
0.75
0.75
0.75
0.75
0.75
0.75
1
0.5
1.5
0.75
1
0.75
0.75
1.5
1
1
0.5
0.5
0.75
0.75
0.75
0.75
0.75
0.5
1
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
0.75
0.5
1
1
0.75
0.75
0.5
0.5
1
0.5
0.75
0.75
0.5
0.75
0.75
0.75
0.5
0.5
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.75
1
0.75
0.75
1
0.5
0.75
0.5
0.5
0.75
0.5
0.75
1
0.5
0.75
0.75
0.75
1
1
0.75
0.75
1.25
0.5
0.5
0.75
0.75
0.5
0.5
1
0.75
0.5
0.5
1
1
1.25
0.5
1.25
0.75
0.75
0.75
1
0.75
0.5
0.5
0.75
0.25
0.25
0.5
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
0.5
0.25
0.25
0.5
0.5
0.5
0.75
0.75
0.25
0.25
0.75
0.25
0.5
2
13.25
16
13.25
17.25
17.25
11.75
15
10.25
11
15.75
18
12
16.75
-
1.5
1.75
1
2.5
1.5
1.5
2
2
1.75
3
17
10
10
8
10
12
13
2
12
14
2
1
2
2
3
1
1
2
20.5
12.75
13
10.5
13.5
16.5
16
4
14.75
19
28
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
2.25
3.75
4
2.25
2.25
2
4
2.75
3.5
4
3
3.25
3.5
3.25
3.25
3.5
4.5
4.75
3.5
4
3
3
0.75
0.75
0.75
0.75
1
1
1.25
1.75
1
1.25
1
0.75
1
2
1.75
1
1
0.75
0.75
0.75
1.25
1
1
0.5
0.75
1.5
0.75
1
0.5
1
1
1
1
0.5
0.75
1
0.5
0.5
0.75
0.75
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.75
1
1
0.5
0.75
0.75
1
0.5
0.5
0.5
0.75
0.75
0.75
0.75
0.5
0.75
1
0.5
0.75
0.75
0.5
0.5
0.75
0.75
0.75
0.5
1
0.75
0.5
0.5
1
0.5
0.75
0.75
0.5
1
1
0.75
0.75
0.5
0.5
0.5
1
0.75
0.5
0.75
0.75
0.75
1
0.75
0.5
1
0.75
0.5
1
0.5
0.75
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
1
0.25
0.25
0.5
0.25
0.75
0.5
0.25
0.25
0.5
0.25
0.25
0.75
0.25
0.25
0.75
7.25
16
12
11
3
6.75
13
7.25
13.75
6.25
3
7.75
3.5
2
1.25
1.5
1.25
2
-
16
16
11
5
16
13
-
1
2
2
-
20.5
20
12.25
6.5
19.25
15
2
ABSTRAK
ALICE MAYELLA AYUDYA. Biologi Tetranychus urticae pada Tanaman
Mawar. Dibimbing oleh SUGENG SANTOSO.
Mawar (Rosa hybrida L.) salah satu komoditi floriculture yang bernilai
tinggi. Kerusakan akibat serangan tungau menjadi masalah penting dalam
pengembangan budidaya tanaman mawar. Survei pada pertanaman mawar di
lapang dan percobaan laboratorium untuk mengetahui kelimpahan tungau di
daerah Cipanas, dan menguraikan biologi tungau pada daun mawar. Hasil
pengamatan lapang di Cipanas hanya mendapatkan satu spesies tungau yaitu
Tetranychus urticae. Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium T.urticae pada
daun mawar memiliki siklus hidup 7.7 ± 1.9 hari. Imago betina dapat bertahan
hidup selama 12.06 hari, sedangkan untuk imago jantan dapat hidup selama 11.98
hari. Rata-rata peletakan telur harian adalah 8.24 ± 2.59 dengan keperidian imago
betina 83.23 ± 48.6 butir/betina. Laju pertumbuhan intrinsik (rm) T. urticae pada
daun mawar adalah 0.79, berarti bahwa dalam nilai waktu generasi selama 15.32
hari memiliki laju reproduksi bersih (R0) 27.78 individu.
Hasil survei lapangan diperoleh proporsi stadia telur paling banyak
ditemukan dan adanya tungau predator dari Amblyseius (Acari: Phytosiidae).
Kata kunci: Rosa hybrida L., Tetranychus urticae.
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mawar (Rosa hybrid L.) merupakan salah satu komoditi floriculture yang
memiliki nilai tinggi. Mawar mempunyai potensial nilai ekonomi cukup tinggi
dikarenakan bentuk keindahan bunga dan memiliki keharuman yang khas.
Keunggulan tersebut membuat mawar banyak dikomersilkan sebagai bunga
potong dan penggunaan minyak atsirinya dalam industri parfum. Bunga mawar
juga merupakan bahan dasar bagi pembuatan minyak wangi ( Crockett 1975; Ray
dan McCaskey 1981). Bunga mawar mengandung minyak atsiri yang baik
kualitasnya yaitu mengandung finel etil alcohol, citronellol, dan nerol geraniol
yang memberikan bau parfum yang harum. Ekstrak bunga mawar bila disuling
akan menghasilkan minyak mawar murni sebagai bahan baku minyak wangi
(parfum) (Ashari, 1995; Rukmana, 1995).
Mawar yang dikenal dengan sebutan Ratu Bunga (Queen of flowers)
sangat digemari dan sudah sangat tua keberadaannya. Menurut catatan sejarah,
mawar mulai dibudidayakan pertama kali di Cina ± 5000 tahun yang lalu dan
dipopulerkan oleh dinasti Han. Pada periode yang sama orang –orang Mesir mulai
mengkomersilkan bunga mawar yang pada waktu itu banyak dimanfaatkan oleh
bangsa Romawi. Sejak saat itu bunga mawar mulai disukai banyak orang dan
penggemarnya mulai tersebar di seluruh bumi ( Crockett 1975).
Sukarno dan Nampiah (1990) menyebutkan
mawar didatangkan ke
Indonesia oleh pemerintah Belanda dari Eropa. Mawar berasal dari dataran Cina,
Timur Tengah dan Eropa Timur. Dalam perkembangannya, menyebar luas di
daerah-daerah beriklim dingin (sub-tropis) dan panas (tropis). Berdasarkan sifat
tumbuhnya mawar digolongkan menjadi mawar semak dan mawar merambat
(Lourie & Ries 1951).
Daerah pusat tanaman mawar terkonsentrasi di kawasan Alaska atau
Siberia, India, Afrika Utara dan Indonesia. Sentra penanaman bunga potong, tabur
dan tanaman pot di Indonesia dihasilkan dari daerah Jawa Barat, Sumatera Utara,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jakarta. Tanaman mawar mempunyai adaptasi luas
terhadap lingkungan tumbuh. Penanaman bisa dilakukan di daerah beriklim
2
dingin/sub-tropis maupun di daerah panas/tropis dengan suhu udara sejuk 180260C pada kelembaban 70-80%. Suhu optimum tanaman mawar adalah 15.623.9oC (Edmond et al. 1975). Tanah yang cocok untuk tanaman mawar adalah
tanah lempung yang mengandung 20-30% liat. Tanah dengan kondisi demikian
menjadikan drainase cukup baik, sehingga pertumbuhan akar tidak terhambat.
Kisaran pH untuk pertumbuhan optimal antara 5.5-7.2 (Anderson 1973).
Sistem usaha tani bunga mawar potong di daerah sentra produksi telah
mengarah ke usaha yang bersifat agribisnis. Komoditas ini telah mempunyai
pangsa pasar yang cukup besar dan memberikan pendapatan yang lumayan bagi
petani, melihat peningkatan permintaan meningkat hingga 10% setiap tahunnya.
Selama periode tahun 1985–1991 ekspor komoditas ini meningkat dari 476 ton
menjadi 4.881 ton. Permintaan bunga mawar di pasar dalam negeri meningkat
terutama di kota-kota besar. Kota Jakarta menyerap bunga-bunga terbesar dengan
omzet dan peredaran uang mencapai Rp 25,8 miliar per tahun. Permintaan bunga
mawar tidak kurang dari 20.000 kuntum per hari (Rukmana, 1995).
Salah satu masalah yang penting dalam budidaya tanaman mawar adalah
serangan hama dan penyakit. Seranga hama dan penyakit dalam intensitas yang
tinggi bisa menurunkan kuantitas dan kualitas bunga mawar yang dihasilkan.
Salah satu hama yang banyak menyerang dan dianggap merugikan tanaman
mawar adalah tungau.
Tungau berasal dari bahasa Yunani yaitu acari yang berarti seekor tungau
(Borror et al. 1996). Tetranychus urticae termasuk ke dalam kelas Arachnida,
ordo Acarina, subordo Trombodiformes, superfamili Tetranycoidea, famili
Tetranychidae, subfamili Tetranychinae, genus Tetranychus ( Krantz 1978).
Tungau bersifat polifag sehingga memiliki kisaran inang yang luas,
berukuran kecil dengan sebaran mobilitas yang sangat tinggi dan terdapat dalam
jumlah besar menjadikan tungau sebagai salah satu hama penting dalam tanaman
mawar. Tungau merah yang dijumpai menyerang tanaman mawar termasuk dalam
genus Tetranychus. Tungau ini lebih dikenal dengan nama Two-spotted spider
mite. Tungau berukuran kurang lebih 0,3 mm berwarna merah, hijau, atau kuning.
Hama ini berkembang biak dengan cepat pada keadaan cuaca lembab dan panas,
serta sirkulasi udara di sekitar kebun kurang baik (Rukmana, 1995).
3
Tungau dari famili Tetranychidae merupakan salah satu jenis tungau yang
banyak terdapat pada pertanaman mawar. Gejala serangan tungau adalah
perubahan warna daun dari hijau menjadi kuning keperakan dan pada serangan
berat daun akan gugur (Wijayanti, 1990). Gejala serangan tungau pada daun yang
menguning akibat bekas tusukan tungau karena menghisap nutrisi tanaman.
Serangan tungau ini dapat menyebabkan penurunan hasil karena tungau merusak
pelindung permukaan daun, stomata, jaringan palisade, jaringan bunga karang.
Populasi tungau yang tinggi dengan intensitas serangan meningkat tidak hanya
akan
menurunkan
aktivitas
fotosintesis
yang diakibatkan
oleh
adanya
pengurangan jumlah klorofil pada daun yang dapat mencapai 60%, tetapi juga
meningkatkan kecepatan transpirasi. Tungau Tetranychidae juga mengeluarkan
toksin pada saat menghisap cairan (makan) bers