Realitas Politik Mathla’ul Anwar Pasca Orde Baru
nuraninya, terutama yang memperjuangkan kesejahteraan dan tegaknya keadilan. Ketiga, menjaga eksistensi organisasi yang bergerak dalam bidang kultural.
Namun, menurut Mohammad Zen,
98
walaupun organisasi MA menyatakan independen mandiri tanpa adanya ketergantungan dan tidak lagi berafiliasi
dengan partai politik. Tetapi, secara realitas tidak ditunjukan oleh ketua umum M. Irysad Djuwaeli dan tokoh-tokoh lainnya yang masih mendominasi untuk
membawa kepentingan diri dan kelompok Golkar di atas kepentingan organisasi MA. Misalnya, seperti yang terjadi pada acara perayaan Hari Ulang Tahun HUT
MA ke-87, dan Rapat Kerja Nasional rakernas Pengurus Besar Mathla’ul Anwar PBMA tanggal 28-30 Mei 2004 di Bandar Lampung.
Kebijakan-kebijakan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli yang dinilai terlalu “politis” memaksakan kehendaknya dengan memutuskan dan mendeklarasikan
diri tetapi secara organisasi tidak secara sepihak membawa organisasi MA untuk menyalurkan aspirasi politiknya yang kemudian menginstruksikan kepada
pengurus MA yang ada di daerah dan provinsi untuk menjadi pendukung tim sukses pasangan Presiden dan Wakil Presiden H. Wiranto dan Salahuddin Wahid
pada pemilihan umum pemilu tahun 2004.
99
Keputusan tersebut, selain menimbulkan reaksi keras dari para pengurus MA yang berbeda partai maupun
non partai yang diakibatkan oleh sikap kepemimpinan M. Irsyad Djuwaeli yang dinilai otoriter dan arogan, bahkan tidak segan-segan melakukan pengusiran
98
Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010.
99
Kebijakan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli selain mengajurkan pilihan politiknya untuk pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid, juga memberikan waktu orasi politik Wiranto
pada acara Rekernas dan HUT MA ke-87 di Lampung. Sehingga membuat para peserta kecewa dengan sikap Ketua Umum yang dinilai hanya mementingkan karir politiknya.
peserta atau pengurus didalam forum acara HUT dan Rakernas MA bagi mereka yang menolak “syahwat” politiknya.
100
Hal tersebut terjadi, selain untuk kepentingan pribadi M. Irsyad Djuwaeli dan kelompok, juga karena kuatnya cengkraman elit Golkar yang mempunyai
kepentingan untuk menjaga massa yang begitu besar dari MA. Langkah yang dilakukan Golkar adalah mendekati dan mempertahankan beberapa elit di tubuh
MA untuk tetap masuk kedalam Partai Golkar. Asumsi yang dipakai adalah dengan istilah “ekor mengikuti kepala” dimana pilihan politik individu warga
suatu organisasi keagamaan akan ditentukan atau disinyalir akan sama dengan pilihan politik organisasi atau pemimpinnya. Sehingga asumsi yang dibangun
kemudian dapat diterima, khususnya para pemilih Partai Golkar yang memiliki kedekatan emosional yang kuat dengan organisasi keagamaan dan pemimpinnya
dapat menjaga hubungan yang telah lama dibangun sejak munculnya Orde Baru sampai pasca Orde Baru tetap terpelihara.
Hubungan historis dengan Golkar dan ikatan emosional para elit yang masih ada dalam struktural organisasi MA yang berkiprah di dunia politik
menyebabkan konsentrasinya bercabang dua; pendidikan keagamaan dan politik kenegaraan. Tentunya, sebagai sebuah kekuatan politik yang mapan Golkar bukan
tidak mungkin menarik dan mempertahankan massa untuk memperkuat posisi para elit organisasi keagamaan di partai Golkar pasca runtuhnya Soeharto.
Kemudian, sistem dalam tubuh MA telah melanggengkan hubungan yang harmonis antara elit MA dengan Partai Golkar. Sehingga menyebabkan para elit
100
Mohammad Zen, ”Diusir dari Sidang Mathla’ul Anwar,” artikel diakses pada 13 September 2010 dari http:majalah.tempointeraktif.comidarsip20040621SRTmbm.20040621
SRT92296.id.html
MA non partisan seperti akademisi dan lain sebagainya tidak dapat menembus sistem yang telah terbentuk, hal ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.
101
Harmonisasi Mathla’ul Anwar dan Partai Golkar
Proses harmonisasi hubungan simbiosis mutualisme antara MA dan Partai Golkar terjadi akibat tidak adanya ketegasan sanksi dari organisasi MA untuk
merealisasikan peraturan-peraturan ADART bagi para elit-elit MA yang memiliki kepengurusan ganda, menjadi pengurus MA dan pengurus di partai
politik Golkar. Kondisi tersebut secara tidak langsung telah melegitimasi para elit untuk menjadi pengurus partai politik yang lebih dominan. Sementara garis
demarkasi yang terlihat di gambar tidak dapat ditembus oleh para elit non partisan, mengingat akan terjadinya pergeseran ketika elit-elit yang tidak memiliki
afiliasi politik tidak dapat menembus garis tersebut yang akan dapat merombak atau merubah sistem yang telah lama terbentuk antara MA dan Partai Golkar.
101
Hardi Putra Wirman, “Menakar Peran Politik Organisasi Sosial Keagamaan di Sumatera Barat Pasca Orde Baru Studi Kasus Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah,
” artikel diakses pada 10 September 2010 dari http:dualmode.depag.go.idacis09filedokumen HardiPutraWirman.pdf
Harmonisasi di tubuh MA dengan
Partai Golkar Elit yang terlibat
dalam partai Golkar
Elit non partisan terdiri dari para akademisi
dan lain sebagainya
…Elit yang masuk dalam Partai Golkar seakan-akan tidak tersentuh oleh elit non partisan, sehingga terjadi harmonisasi di tubuh MA. Elit non partisan dan lainnya tidak dapat
menyentuh sistem yang telah dibuat oleh elit partai dan elit pengurus MA. Tidak terjadinya pergeseran yang dilakukan oleh elit masa terhadap elit.
Selain itu, tidak adanya ketegasan dari organisasi MA menyebabkan kondisi tersebut memperkuat legitimasi adanya “proses pembenaran”
102
para elit MA untuk tetap aktif di partai politik Golkar yang secara tidak langsung adanya
stigmatisasi buruk terhadap organisasi MA. Walaupun, aspirasi warga MA yang non partisan menginginkan agar organisasi untuk tetap menjaga independensinya.
Namun, kondisi tersebut terkadang berbenturan dengan kuatnya kepentingan politis para elit MA yang menjadi pengurus partai politik, justeru melegitimasi
diri dengan menyatakan yang mereka lakukan merupakan bagian dari hak asasi dari individu-individu di organisasi MA.
Meskipun demikian, sikap oposisi dari kaum idealis atau non partisan diberbagai daerah dan provinsi yang menuntut ketua umum M. Irsyad Djuwaeli
dan elit-elit MA Golkar untuk menghormati dan memberikan keleluasan terhadap pilihan dan aspirasi politik para kader MA yang aktif diberbagai partai
politik selain Golkar dan organisasi lainnya. Sebagaimana kebebasan dalam menyalurkan aspirasi politik merupakan hasil keputusan Muktamar MA ke-XVI
2001. Kuatnya aspirasi para kader untuk diberikan kebebasan menyalurkan aspirasi politik, maka aspirasi tersebut kemudian akhirnya diberikan oleh para elit
MA untuk para kader yang aktif di partai politik dan organisasi lainnya, diberikan keleluasan pilihan politiknya pada putaran kedua pemilu 2004 untuk putaran
pertama warga MA disarankan memilih pasangan H. Wiranto dan Salahuddin Wahid. Selain itu, untuk memberikan kesempatan dan keleluasan warga MA
102
Wawancara Pribadi dengan KH. Wahid Sahari, Mantan Ketua Majlis Fatwa PBMA Menes, 07 Agustus 2010.
yang mencalonkan diri di partai politik selain Golkar untuk menjadi wakil rakyat baik ditingkat Legislativ maupun di Eksekutiv.
Kebebasan dan keleluasan untuk menyalurkan aspirasi politik pada akhirnya membuahkan hasil khususnya bagi para kader MA untuk mencalonkan
diri di partai manapun. Para kader MA yang mendapat kesempatan duduk di Eksekutiv diantaranya adalah Andung Nitiharja 2004 sebagai Menteri
Perindustrian pada kabinet Indonesia Bersatu, sementara kader-kader MA yang duduk di DPR RI adalah ketua umum organisasi Mathla’ul Anwar MA yakni M.
Irsyad Djuwaeli 2004, Ali Yahya dan Usep Fathuddin menjadi anggota MPR RI Fraksi Golkar-2004 yang ketiganya dari partai Golkar, Jajuli Juwaeni dari Partai
Keadilan Sejahtera 2004-2010. Sedangkan untuk tingkat provinsi Banten dari PKS dan Partai Bulan Bintang PBB adalah KH. Sadeli Karim 2004, Mas’a
Toyib 2004, Asnin Syafiuddin dan Jaenal Abibin Suja’i 2004, Bueti Nasir, Saris Priada Rahmat dan Babay Sujawandi dari Partai Bintang Reformasi PBR-
2004. Untuk tingkat Kabupaten Pandeglang dan Serang adalah HM. Acang
2004-2010 dari Partai Golkar dan menjabat sebagai anggota DPRD, Aksan Sukroni dari Partai Amanah Nasional PAN-2004, Ace Zaenal Sholihin PKS-
2004, A. Baehaqi PBB-2004 dan Wahyudin Wahab PBR-2004. Sedangkan ditingkat Kabupaten Serang terdapat tiga orang kader MA, yaitu H. Daifun dari
Partai Persatua Pembangunan PPP-2004 dan A. Basuni dari PAN, Mohammad 73
Idjen 2004 anggota DPRD dari Fraksi PPP dan terakhir Ratu Tatu Chasanah Wakil Bupati Serang periode 2010-2015.
103
Realitas orietasi politik MA sebagaimana di atas, mengalami perubahan yang lebih akomodatif dari para elit MA untuk mentoleransi bagi anggota yang
non Golkar maupun non partai. Sehingga anggota MA di era reformasi memiliki kebebasan dan keleluasan untuk menyalurkan aspirasi politiknya tidak hanya di
satu partai maupun organisasi kemasyarakatn lainnya. Keleluasan dan kebebasan politik pada perkembangannya mendapat banyak keuntungan bagi organisasi MA
yang lebih terbuka dan tidak lagi adanya stigmatisasi buruk. Selain itu, adanya kepedulian dari anggota dan warga MA untuk melakukan dan menata kembali
kehidupan organisasi yang lebih maju dalam bidang kultural. Sehingga, beberapa anggota MA yang duduk dalam pemerintahan dapat membantu masalah
pendanaan sumbangan anggota dan memperluas jaringan organisasi untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan pembangunan masyarakat.