BAB 5 PEMBAHASAN
Pada penelitian ini terdapat 89 orang subjek yang terdiri dari 59 orang subjek laki-laki 66,3 dan 30 orang subjek perempuan 33,7. Hal ini sesuai dengan
penelitian Jungers et al yang menemukan hasil bahwa insiden penyakit ginjal kronis lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
34
Garibotto et al menyatakan bahwa hormon seksual mempengaruhi morfologi ginjal dan proses
keparahan penyakit ginjal kronis antara pria dan wanita. Hormon estrogen dapat melindungi ginjal dari pengaruh radikal bebas pada glomerulus ginjal. Selain itu,
estrogen juga mencegah terjadinya permbesaran glomerulus dan akumulasi matriks protein ekstraseluler MPE sehingga menghambat terjadinya glomerular sklerosis
pada ginjal. Sebaliknya, hormon testosteron bersifat profibrotik yang dapat memicu deposisi MPE pada sel mesangial glomerulus yang mengakibatkan terjadinya
ekspansi mesangial dan disfungsi ginjal. Beberapa penelitian menemukan bahwa sel- sel proinflamasi TNF-
α dan interleukin 1β lebih tinggi pada sel mesangial pria. Kondisi ini mengindikasikan adanya aksi profibrotik dan proinflamasi dari
testosteron pada ginjal. Hal ini mengakibatkan proses keparahan penyakit ginjal yang lebih cepat pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
35
Pada penelitian yang dilakukan, didapat pasien penyakit ginjal kronis yang berusia 30-59 tahun sebanyak 49 orang 55,1 dan usia
≥ 60 tahun sebanyak 40 orang 44,9. Terlihat persentase subjek lansia
≥ 60 tahun lebih kecil dibandingkan subjek usia 30-59 tahun. O’Hare et al menyatakan insidensi kematian
pada penderita penyakit ginjal berhubungan dengan usia. Individu yang berusia lanjut ≥ 60 tahun meninggal lebih cepat daripada individu yang berusia lebih muda,
walaupun individu tersebut sudah menjalani terapi pengganti ginjal hemodialisis. Hal ini menyebabkan persentase individu lansia lebih kecil dibandingkan dengan
subjek yang berusia lebih muda.
36
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini, mayoritas subjek hemodialisis mengalami xerostomia yaitu sebanyak 66 orang 74,2 sedangkan subjek yang tidak mengalami xerostomia
sebanyak 23 orang 25,. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bruda-Zwiech yang menemukan bahwa mayoritas pasien hemodialisis mengalami
xerostomia. Penelitian tersebut menemukan hasil sebanyak 71,8 pasien hemodialisis mengalami xerostomia.
9
Xerostomia pada pasien yang menjalani hemodialisis diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain adalah adanya batasan
asupan cairan, efek uremia, dan usia lanjut. Batasan asupan cairan pada pasien hemodialisis adalah faktor yang paling berperan terhadap terjadinya xerostomia.
Batasan asupan cairan harus dilakukan karena apabila tidak, dapat menyebabkan penumpukan cairan tubuh dimana tubuh tidak mampu mengeluarkan cairan melalui
urin. Tingkat ureum yang tinggi di dalam darah juga dapat mempengaruhi sel-sel pada kelenjar saliva sehingga menyebabkan penurunan laju aliran saliva. Pada pasien
lanjut usia juga terdapat atrofi pada kelenjar saliva sehingga menyebabkan berkurangnya volume saliva. Ketiga hal inilah yang dapat menyebabkan xerostomia
pada pasien penyakit ginjal kronis yang sedang menjalani hemodialisis.
9,28,30
Pada penelitian ini, dari 59 subjek laki-laki, subjek yang mengalami xerostomia sebanyak 44 orang 49,4 dan subjek laki-laki yang tidak mengalami
xerostomia sebanyak 15 orang 16,8. Dari 30 subjek perempuan, subjek yang mengalami xerostomia sebanyak 22 orang 24,8 dan subjek yang tidak mengalami
xerostomia sebanyak 8 orang 9. Berdasarkan hasil tersebut tampak bahwa persentase subjek laki-laki yang mengalami xerostomia lebih besar daripada subjek
perempuan. Pada tabel 7 didapat nilai P = 1,00 P 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia pada pasien
hemodialisis. Hasil ini sama dengan penelitian Bots et al yang menemukan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia. Menurut Bots et al,
kebiasaan merokok dan minum alkohol pada laki-laki merupakan faktor resiko yang turut berperan serta terhadap timbulnya xerostomia pada pasien hemodialisis.
6
Pada penelitian ini, peneliti tidak menganalisis faktor resiko tersebut pada subjek
penelitian, sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti penyebab xerostomia pada
Universitas Sumatera Utara
laki-laki yang menjalani hemodialisis. Pada penelitian ini, subjek yang berusia 30-59 tahun yang mengalami
xerostomia sebanyak 28 orang 31,4 dan subjek yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 21 orang 23,6. Subjek usia
≥ 60 tahun mengalami xerostomia yaitu sebanyak 38 orang 42,6 dan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 2 orang
2,4. Didapatkan hasil bahwa persentase pasien hemodialisis berusia ≥ 60 tahun
yang mengalami xerostomia lebih besar dibandingkan dengan xerostomia pada pasien hemodialisis yang berusia 30-59 tahun. Pada tabel 8 didapat nilai p 0,001 p 0,05
sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan antara usia dengan xerostomia pada pasien hemodialisis. Hal ini disebabkan karena pada pasien usia lanjut usia
≥ 60 tahun terjadi penurunan fungsi organ tubuh, termasuk juga penurunan fungsi kelenjar
saliva. Kelenjar saliva pada pasien usia lanjut akan mengalami atropi sehingga terdapat penurunan laju aliran saliva yang menyebabkan xerostomia.
28
Pada penelitian ini, subjek yang menjalani hemodialisis jangka pendek 3-60 bulan mayoritas mengalami xerostomia yaitu sebanyak 31 orang 34,8, sedangkan
yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 22 orang 24,7. Sama halnya pada pasien yang menjalani hemodialisis jangka panjang 60 bulan mayoritas mengalami
xerostomia, yaitu sebanyak 35 orang 39,4 dan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 1 orang 1,1. Tingkat kepercayaan pada tabel ini adalah sebesar 0,05.
Pada tabel 9 didapat nilai P 0,001 P 0,05 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan xerostomia.
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian oleh Postorino et al pada tahun 2003 yang membandingkan laju aliran saliva pada pasien yang menjalani
hemodialisis ≤ 6 tahun dan 6 tahun. Penelitian tersebut menemukan adanya
hubungan antara xerostomia dengan lama menjalani hemodialisis. Pemeriksaan histopatologi kelenjar saliva pada pasien hemodialisis jangka panjang menemukan
adanya atropi dan fibrosis pada kelenjar saliva yang merupakan faktor utama terjadinya xerostomia pada pasien hemodialisis jangka panjang.
37
Hasil ini juga sesuai dengan pendapat beberapa sumber yang menyatakan adanya hubungan antara pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis
Universitas Sumatera Utara
dengan xerostomia. Xerostomia pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis disebabkan oleh interaksi dari berbagai faktor, antara lain batasan asupan cairan, efek uremia, konsumsi obat-obatan, dan usia lanjut.
9,28-9,30
Batasan asupan cairan harus terus dipatuhi oleh pasien selama menjalani hemodialisis
sehingga pasien sering mengeluh mulut kering dan rasa haus berlebihan.
9
Pasien penyakit ginjal kronis memiliki kadar ureum dan zat-zat toksik yang tinggi di dalam
darah sehingga menyebabkan penurunan fungsi kelenjar saliva.
28,29
Konsumsi obat- obatan, terutama obat antihipertensi dapat menyebabkan depresi saraf otonom yang
menyebabkan berkurangnya sekresi saliva.
30
Pasien usia lanjut akan mengalami atropi pada kelenjar saliva sehingga dapat menyebabkan xerostomia.
28
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Bots et al yang membandingkan laju aliran saliva non stimulasi pada pasien dengan lama
hemodialisis ≤ 24 bulan dan 24 -60 bulan. Penelitian tersebut menemukan tidak
terdapat hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan xerostomia. Perbedaan tersebut karena kategori hemodialisis jangka panjang yang singkat, yaitu selama 24-
60 bulan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN