Tren Ijazah Karbitan

  

Tren “Ijazah Karbitan” di Dunia Pendidikan

  Niat baik pemerintah untuk memajukan dunia pendidikan dengan mensyaratkan semua pendidik minimal berijazah sarjana strata satu, ternyata tidak sepenuhnya dipahami oleh pendidik bahwa hal tersebut merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas kinerja pendidik dalam bentuk penguasaan kompetensi pedagogik, pribadi, sosial maupun profesional. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit pendidik yang memaknai peraturan tersebut “hanya” sebagai perintah untuk mendapatkan selembar kertas yang bernama “ijazah sarjana strata satu”, akibatnya tujuan awal yang dikeluarkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan malah menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Betapa tidak, dengan menggenggam ijazah sarjana strata satu maka secara otomatis pangkat pendidik yang bersangkutan akan menyesuaikan dengan ijazah yang dimiliki, hal tersebut tentu juga berimbas kepada kenaikan gaji yang ujung- ujungnya menambah beban APBN, dilain pihak ijazah sarjana strata satu yang dimiliki ternyata tidak menunjukkan kualitas sebagaimana harusnya seorang pemilik ijazah sarjana strata satu. Lebih tepatnya laksana rumah megah tanpa isi.

  Bukan rahasia jika saat ini ada beberapa perguruan tinggi yang menyediakan perkuliahan instan tanpa memperhatikan kuantitas apalagi kualitas perkuliahan. Dan bukan rahasia pula jika tidak sedikit dari pendidik kita yang berminat mengikuti perkuliahan seperti ini dengan argumen bahwa perkuliahan seperti ini lebih praktis dan “hemat waktu”, ibarat kata yang penting saling menguntungkan, maka perkuliahan seperti ini tetap eksis sampai sekarang. Yang paling dirugikan dengan adanya praktik perkuliahan seperti ini tentu dunia pendidikan kita. Kabar beberapa waktu lalu yang menyebutkan bahwa pemerintah menarik sebanyak 1600 lembar ijazah sarjana strata satu maupun strata dua merupakan bukti konkrit bahwa dunia pendidikan kita sedang mengalami krisis mental yang luar biasa kronisnya, sehingga dengan sadar sebagian orang yang dianggap pintar di negara kita tetapi kemampuannya bisa dikatakan “ecek- ecek” alias belum memadai tetapi tetap bangga dengan “embel-embel” yang dimiliki, dan lebih ironis lagi ini terjadi pada sebagian besar pendidik yang notabenenya merupakan pencetak generasi bangsa yang akan datang.

  Kinerja seorang pendidik sudah tentu berkaitan dengan ijazah sarjana pendidik yang dimiliki. Jika ijazah sarjana pendidik yang dimiliki diperoleh dengan cara yang seharusnya maka kemungkinan besar ilmu yang dimilikinyapun adalah ilmu yang memang seharusnya untuk dimiliki, tetapi jika ijazah sarjana pendidik yang dimiliki diperoleh dengan jalan yang tidak seharusnya, maka di khawatirkan ilmu yang dimiliki tidak sesuai dengan yang seharusnya dimiliki, dan pada akhirnya akan membuat malu diri sendiri, karena dengan gelar yang begitu bergengsi ternyata tidak bisa melakukan “sesuatu” yang bergengsi.

  Tidak bermaksud menyudutkan apalagi menyalahkan para pendidik yang menempuh pilihannya masing-masing terhadap kualitas ilmunya, tetapi karena hal tersebut akan berdampak kurang baik terutama bagi dunia pendidikan maka semua pihak yang terkait sudah sepatutnya menjadikan hal ini perhatian khusus agar masalah ini dapat bisa segera diatasi dan cita-cita menajdikan dunia pendidikan kita yang berkualitas dapat tercapai. Salah satu faktor pendukung masalah ini tetap terjadi sampai saat ini adalah kurangnya kontrol terhadap pencantuman gelar bagi para pegawai negeri sipil. Tidak sedikit pegawai negeri sipil khususnya pendidik yang menempuh perkuliahan semacam ini dengan seenaknya mencantumkan gelar yang mereka peroleh tanpa melalui prosedur yang semestinya. Bahkan banyak diantara pegawai negeri sipil yang tidak memiliki ijin belajar dengan “tanpa dosa” mencantumkan gelar yang mereka dapatkan, bukankah untuk mencantumkan gelar harus memenuhi beberapa persyaratan yang semestinya dilengkapi antara lain ijin/tugas belajar dan permohonan pencantuman gelar. Yang aneh, hal ini seolah dibiarkan oleh pihak yang seharusnya menangani masalah ini. Sungguh ironi, jika hal ini dibiarkan terus menerus maka akan “gelar siluman” yang melekat di depan maupun belakang nama pegawai negeri sipil.

  Jika memang serius ingin menangani masalah ijazah karbitan dan gelar siluman ini, maka langkah awal yang bisa dilakukan adakah dengan tertib administrasi terhadap pencantuman gelar, sehingga para pegawai negeri sipil akan berpikir dua kali untuk mengikuti perkuliahan instan semacam itu karena pada akhirnya ijazah yang dimiliki tidak dapat dipakai. Jika tidak, jangan harap perkuliahan semacam itu akan berhenti dengan sendirinya, karena tidak mungkin produsen akan berhenti selama konsumen masih membutuhkan. Hal lain yang ditakutkan jika hal tersebut dibiarkan adalah bukan tidak mungkin dengan suksesnya perkuliahan instan di strata satu maka akan melebarkan sayapnya untuk strata yang lebih tinggi yaitu strata dua bahkan strata tiga, bisa kita bayangkan bagaimana nasib pendidikan kita jika hal ini terjadi.

  Sudah saatnya dunia pendidikan melakukan reformasi administrasi demi kualitas pendidikan yang cita-citakan. Kerjasama semua pihak untuk mencapai hal tersebut tentu sangat diperlukan, bimbingan kepada para pendidik agar memahami benar akan tujuan persyaratan minimal bagi para pendidik untuk memiliki ijazah strata satu sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus ditanamkan, kontrol terhadap pencantuman gelar terhadap pegawai negeri sipil juga harus terapkan, sehingga gelar yang dimiliki pegawai memang merupakan refleksi ilmu pegawai tersebut, bukan embel-embel kosong tanpa makna. Semoga!

  Muhammad Syamsuri, M.Pd Guru SMPN 4 Kintap